Jurnal Psikohumanika: Empati Dan Peran Bystander Dalam Cyberbullying: Family Communication Pattern Sebagai Mediator
Jurnal Psikohumanika: Empati Dan Peran Bystander Dalam Cyberbullying: Family Communication Pattern Sebagai Mediator
Jurnal Psikohumanika: Empati Dan Peran Bystander Dalam Cyberbullying: Family Communication Pattern Sebagai Mediator
JURNAL PSIKOHUMANIKA
http://ejurnal.setiabudi.ac.id/ojs/index.php/psikohumanika
Charyna Ayu Rizkyanti1, Asti Hesti Cahyani2, Salfira Salsabilla3, Asti Aulia4
Fakultas Psikologi, Universitas Pancasila,
Jl. Raya Lenteng Agung, Srengseng Sawah, Jakarta, Indonesia 12640
Alamat Korespondensi:
Fakultas Psikologi, Universitas Pancasila, p-ISSN: 1979-0341
Jl. Raya Lenteng Agung, Srengseng Sawah, Jakarta, e-ISSN : 2302-0660
Indonesia 12640
E-mail:
[email protected]
[email protected]
[email protected]
[email protected]
Charyna Ayu Rizkyanti¹, Asti Hesti Cahyani², Salfira Salsabilla³, Asti Aulia4 10
Jurnal Psikohumanika, Volume 13, No 2 Desember 2021 Hal 10-24
PENDAHULUAN
Pandemi COVID-19 telah membuat berbagai aktivitas berpindah lokus, yaitu di rumah.
Sekarang, baik pekerja maupun pelajar sekolah melakukan aktivitasnya kebanyakan melalui
internet. Khususnya bagi remaja yang merupakan digital native, kehidupan modern ini
menempatkan aktivitas mereka berpusat di sekitar teknologi informasi dan komunikasi. Prensky
(2001) menyebut generasi muda yang fasih dalam TIK ini sebagai "digital native". Namun,
meskipun sejumlah remaja mungkin memahami bagaimana menggunakan teknologi pada tingkat
yang lebih maju daripada orang dewasa, mereka belum tentu lebih mahir dalam menavigasi
situasi online yang sulit (Cassidy et al., 2013).
Survei yang dilakukan We are Social & Hootsuite (2021) pada bulan Januari 2021
menemukan, bahwa Indonesia memiliki jumlah pengguna media sosial yaitu 170 juta atau 61.8%
dari total populasi. Temuan ini sejalan dengan hasil survei yang dilakukan oleh Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), (2020) yang menemukan bahwa tujuan utama
masyarakat Indonesia menggunakan internet adalah untuk mengakses media sosial. Berdasarkan
penjabaran hasil survei di atas peningkatan jumlah pengguna media sosial di Indonesia
disebabkan salah satunya karena tujuan utama penggunaan internet untuk mengakses media
sosial.
Remaja dapat terlibat dalam penggunaan media sosial yang positif yaitu mencari unggahan
positif seperti hiburan, mencari dukungan sosial, berbagi ide. Namun, mereka juga dapat
terkoneksi secara sosial dan negatif antara lain terlibat dalam perundungan, merendahkan dan
membandingkan diri terhadap orang lain, terlibat dalam unggahan yang sensitif, kejam, dan
terkait permusuhan (Radovic dkk., 2017; Weinstein dkk., 2021). Meskipun beberapa remaja
mungkin memahami bagaimana menggunakan teknologi pada tingkat yang lebih maju daripada
orang dewasa, mereka belum tentu lebih mahir dalam menavigasi situasi online yang sulit
(Cassidy et al., 2013). Artinya, media sosial dapat digunakan untuk kegiatan positif dan negatif.
Charyna Ayu Rizkyanti¹, Asti Hesti Cahyani², Salfira Salsabilla³, Asti Aulia4 11
Jurnal Psikohumanika, Volume 13, No 2 Desember 2021 Hal 10-24
Berkaitan dengan penggunaan media sosial, Microsoft (2021) melakukan survei di Indonesia
terkait digital civility index atau kesopanan digital yang menggunakan tiga kategori indikator
utama yaitu false information, hate speech, dan discrimination. Hasil survei tersebut menyatakan
bahwa Indonesia memiliki skor digital civility index tertinggi di Asia Tenggara karena
meningkat delapan poin dari tahun sebelumnya. Survei tersebut juga menjelaskan 68% remaja
berkontribusi untuk meningkatnya skor digital civility index di Indonesia. Berdasarkan
pemaparan data survei di atas peningkatan jumlah pengguna media sosial akan diikuti dengan
meningkatnya perilaku false information, hate speech, dan discrimination di media sosial
Indonesia.
Bukan hanya dijuluki sebagai netizen yang tidak sopan se-Asia Tenggara saja, namun
ternyata setengah dari netizen Indonesia pernah mengalami perundungan di media sosial.
Menurut survey yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII)
menunjukkan bahwa 49% pengguna internet pernah mengalami dirisak “cyberbullying”, baik
dalam bentuk ejekan ataupun dilecehkan di media sosial (Jayani, 2019). Perundungan yang
terjadi di dunia maya juga dikenal dengan istilah cyberbullying, dimana pengguna internet
melakukan aktivitas seperti mengngunggah konten yang berbahaya atau melakukan agresi sosial
didalamnya (Williard, 2005).
Cyberbullying sendiri adalah jenis spesifik dari cyberaggression, yang biasanya
didefinisikan oleh kriteria yang ditetapkan untuk perilaku bullying (Olweus, 1994) sebagai
tindakan agresif yang disengaja yang dilakukan oleh kelompok atau individu, menggunakan
bentuk kontak elektronik, berulang kali dan dari waktu ke waktu terhadap korban. yang tidak
dapat dengan mudah membela dirinya (Smith et al., 2008). Cyberbullying dapat terjadi ketika
seseorang mendapat penghinaan atau ejekan oleh orang lain secara berulang-ulang menggunakan
media internet (Patchin dan Hinduja, 2012).
Bauman dan Yoon (2014) menyatakan bahwa cyberbullying secara unik berbeda dari
bullying tradisional dalam beberapa hal. Secara khusus, cyberbullying berkaitan erat dg unsur
anonimitas, bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, tidak melibatkan komunikasi nonverbal,
bisa dilihat oleh siapapun, dan konten yang ditayangkan biasanya ada di internet secara
permanen. Faktor-faktor ini memberi cyberbullying kecenderungan untuk menimbulkan lebih
banyak kerusakan dibanding intimidasi yang terjadi langsung. Selain itu, semakin paham
seseorang akan teknologi maka semakin tinggi risiko mereka untuk terlibat dalam insiden
cyberbullying (Leung & Lee, 2012).
Hal yang memprihatinkan dari hasil survey yang dilakukan APJII (2019) sebelumnya,
bahwa sebesar 31.6% respon pengguna internet hanya membiarkan tindakan tersebut. Sisanya
merespon dengan membalas (7.9%), menghapus ejekan (5.2%), dan yang melaporkan kepada
pihak berwajib sebesar 3.6%. Survey yang dilakukan oleh APJII tersebut yang menunjukkan
persentase terbesar pengguna media sosial cenderung menjadi ‘pengamat’ sesungguhnya
merupakan representasi dari peristiwa perundungan dunia maya di dunia. Tambahan lagi,
laporan mengenai rendahnya angka kesopanan netizen Indonesia se - Asia Tenggara
menunjukkan betapa rentannya remaja terlibat dalam peristiwa perundungan dunia maya,
termasuk membiarkan perundungan terjadi di sekitar mereka tanpa menunjukkan respon apapun.
Charyna Ayu Rizkyanti¹, Asti Hesti Cahyani², Salfira Salsabilla³, Asti Aulia4 12
Jurnal Psikohumanika, Volume 13, No 2 Desember 2021 Hal 10-24
Oleh karenanya, selama beberapa tahun terakhir ini perhatian penelitian yang substansial telah
dipusatkan pada apa yang disebut sebagai “cyberbystander” atau pengamat dunia maya, yang
merupakan saksi dari agresi siber atau perundungan dunia maya, dan secara khusus untuk
memahami bagaimana dan mengapa pengamat siber bereaksi terhadap insiden agresi siber yang
mereka saksikan (Machackova, 2020).
Cyberbystander adalah orang yang menyaksikan cyberbullying tetapi bukan pelaku atau
target langsung, memiliki potensi untuk menghentikan cyberbullying, mengurangi hasil
kesehatan yang negatif, dan mencegah insiden cyberbullying berikutnya (Blackwell dkk, 2018;
Polder-Verkiel, 2012). Adapun fokus terhadap perilaku cyberbystander ini diperlukan karena
reaksi pengamat memiliki peran penting dalam proses perundungan dunia maya (Pfetsch, 2016).
Secara umum, cyberbystander dapat mempengaruhi insiden dengan membantu atau membela
korban dan dengan membantu atau memperkuat penyerang, tetapi juga dengan kepasifan
mereka, yang dapat ditafsirkan sebagai memaafkan tindakan dan membuat situasi menjadi lebih
parah (Machacova et al., 2018). Selain itu, tingkat prevalensi secara total untuk cyberbystander
berkisar antara 20 dan 55% (Pfetsch, 2016), dimana ini merupakan tingkat yang lebih tinggi
daripada tingkat prevalensi rata-rata sekitar 15% untuk cyberbullies dan cybervictims (Modecki
et al., 2014).
Bystander mewakili kelompok terbesar pengguna media sosial yang terlibat dengan
cyberbullying, dengan perkiraan antara 60% sampai 70% orang Amerika telah menyaksikan
cyberbullying diarahkan pada orang lain (Lenhart dkk, 2016). Namun, mayoritas pengamat gagal
merespons ketika mereka menyaksikan insiden pelecehan, dengan hanya 30% orang Amerika
yang melaporkan telah melakukan intervensi setelah menyaksikan insiden semacam itu secara
online (Taylor dkk., 2018). Sebuah studi yang dilakukan dengan 806 mahasiswa yang terdaftar
di 10 Universitas di Kolombia menunjukkan bahwa lebih dari 79% mahasiswa dilaporkan
berperan sebagai bystander pada kasus cyberbullying (Sarmiento & Leguizamón, 2016).
Berdasarkan hasil-hasil penelitian mengenai cyberbystander dapat diambil kesimpulan
walaupun banyak orang yang menyaksikan perilaku cyberbullying namun tak banyak dari
mereka yang memutuskan untuk campur tangan (Gini, Albiero, Benelli, & Altoe, 2008).
Sehingga, kegagalan dari seorang bystander dalam campur tangan pada situasi bullying diartikan
sebagai persetujuan dari perilaku tersebut (Paluck & Shepherd, 2012). Sikap seorang bystander
pada kasus cyberbullying mungkin akan berbeda dengan sikap bystander pada kasus bullying
tradisional biasanya. Hal ini dikarenakan keadaan pada korban kasus cyberbullying tidak dapat
diamati secara langsung sehingga mengakibatkan bystander tidak dapat melihat kerugian yang
dialami korban (DeSmet dkk., 2016). Seorang bystander pada cyberbullying dapat dengan
mudah terlibat dalam perbuatan tersebut misalnya dengan meneruskan atau memposting gambar
yang bertujuan untuk mempermalukan korban (Kowalski, 2008). Selain itu, menurut Kraft
(2011) seringkali seorang bystander tidak menganggap diri mereka sebagai salah satu peserta
yang sebenarnya, meskipun mereka sudah melakukan tindakan dan berkontribusi pada kasus
cyberbullying. Selanjutnya, bystander pada kasus cyberbullying lebih kecil kemungkinannya
untuk melaporkan intimidasi kepada orang dewasa dibandingkan dengan bystander pada kasus
bullying tradisional (Smith, 2008).
Charyna Ayu Rizkyanti¹, Asti Hesti Cahyani², Salfira Salsabilla³, Asti Aulia4 13
Jurnal Psikohumanika, Volume 13, No 2 Desember 2021 Hal 10-24
Charyna Ayu Rizkyanti¹, Asti Hesti Cahyani², Salfira Salsabilla³, Asti Aulia4 14
Jurnal Psikohumanika, Volume 13, No 2 Desember 2021 Hal 10-24
mana saja, diantaranya dukungan dari orang tua, teman sebaya maupun guru korban (Raysidi,
2019). Dalam kondisi ini, komunikasi dalam keluarga, komunikasi memiliki aspek penting
dalam membentuk perilaku anggota keluarganya. Komunikasi setiap keluarga berlangsung terus
menerus dan memiliki keunikan tersendiri (Segrin dan Flora, 2011; Odenweller dan Harris,
2018). Sehingga, pola komunikasi yang terbuka dalam kelaurga sangat penting terutama pada
saat anak menginjak usia remaja.
Pola komunikasi atau Family communication pattern dikembangkan oleh Koerner dan
Fitzpatrick (2002), digunakan untuk meningkatkan pemahaman tentang wacana keluarga dan
mekanisme yang terjadi dalam keluarga dalam proses belajar mengajar terkait nilai, kepercayaan
dan sikap. Dijelaskan lebih lanjut, pola komunikasi keluarga (family communication pattern)
memiliki dua dimensi yaitu, conversation orientation dan conformity orientation. Conversation
orientation didefinisikan dimana setiap anggota diberikan dorongan untuk berinteraksi dengan
bebas tentang topik yang beragam. Sedangkan, conformity orientation didefinisikan sejauh mana
komunikasi keluarga memiliki kesamaan sikap, keyakinan, dan nilai.
Penelitian mengenai empati terhadap reaksi cyberbystander telah dibuktikan melalui
berbagai hasil penelitian (Barlinska dkk., 2013, 2015; Pfetsch & Ittel, 2014; Machácková dkk.,
2015; Pfetsch, 2017). Empati secara konsisten telah ditemukan untuk memprediksi perilaku
membela korban (defender) dalam bullying tradisional (Nickerson dkk., 2008) maupun
cyberbullying (Macaula dan Boulton, 2017). Data yang berfokus pada cyberbystander
menunjukkan empati sebagai salah satu faktor pelindung yang berperan terhadap perilaku online
yang negatif (sebagai cyberbully atau cyberbystander pasif) (Barlinska dkk., 2013, 2015;
DeSmet dkk., 2016), dan juga sebagai salah satu yang meningkatkan probabilitas perilaku
prososial online (mendukung korban) (Pfetsch & Ittel, 2014; Machácková dkk., 2015; Macaula
& Boulton, 2017). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang dengan empati disposisional
yang lebih tinggi mungkin lebih mungkin untuk melakukan intervensi secara prososial (Freis &
Gurung, 2013; Machácková dkk., 2013; Macaula & Boulton, 2017).
Adapun penelitian mengenai peran orang tua terhadap perilaku cyberbullying telah banyak
dilakukan, namun khusus yang berfokus pada peran cyberbystander masih sangat minim. Hasil
penelitian sebelumnya membuktikan bahwa keterlibatan orang tua dalam kehidupan anak sangat
penting untuk memerangi cyberbullying secara efektif (Aboujaoude dkk., 2015). Adanya
keterlibatan orang tua terbukti mengurangi perilaku intimidasi secara signifikan (Farington &
Ttofi, 2009), dimana keterlibatan orang tua digambarkan secara sederhana dengan
mendiskusikan peristiwa cyberbullying secara terbuka dengan anak-anak mereka (Moreno,
2014). Para perundung dunia maya dilaporkan memiliki ikatan emosional yang lebih lemah
dengan orang tua (kepercayaan, kedekatan, waktu yang dihabiskan bersama), tingkat disiplin
yang lebih kuat oleh orang tua, dan pemantauan orang tua yang lebih jarang terhadap aktivitas
online mereka (Ybarra & Mitchell, 2004a, 2004b).
Berdasarkan penjabaran teoritis dan hasil penelitian yang telah dikemukakan oleh peneliti
sebelumnya, masih perlu dikaji lebih dalam mengenai pengaruh empati terhadap peran
cyberbystander yang dimediasi oleh family communication pattern pada remaja yang aktif
menggunakan media sosial, khususnya dalam kondisi pandemi COVID-19. Family
Charyna Ayu Rizkyanti¹, Asti Hesti Cahyani², Salfira Salsabilla³, Asti Aulia4 15
Jurnal Psikohumanika, Volume 13, No 2 Desember 2021 Hal 10-24
communication pattern digunakan sebagai mediator karena menurut Uzun (2021) menyatakan
bahwa pandemi COVID-19 ini cukup efektif disebut sebagai bencana alam karena sangat
mempengaruhi struktur dan hubungan keluarga bahkan di daerah sekalipun. Terlebih lagi, hal ini
telah mengakibatkan perubahan besar dalam rutinitas dan ritual keluarga yang sering dianggap
alami, mengingat bahwa di Indonesia hampir dua tahun ini (masih berlangsung sekarang) sedang
diberlakukannya kebijakan untuk berada dirumah saja selama pandemi Covid-19. Sehingga,
peneliti tertarik untuk melihat bagaimana pola komunikasi keluarga selama berkumpul di rumah
sebagai mediator dari empati terhadap perilaku cyberbystander pada remaja pengguna media
sosial.
METODE
1) Variabel penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
Dependent variable (DV) : Cyberbystander
Independent variable (IV) : Empati
Mediator variable (M) : Family Communication Pattern
2) Desain penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif.
Berdasarkan jumlah kontak yang dilakukan saat pengambilan data, peneliti menggunakan cross-
sectional study yaitu bentuk desain yang paling sesuai yang bertujuan untuk mengetahui
prevalensi situasi fenomena, masalah, sikap atau persoalan, dengan mengambil bagian populasi
(Kumar, 2011).
3) Populasi dan sampel
Populasi pada penelitian ini adalah generasi Z pada kategori remaja. Sampel yang digunakan
pada penelitian ini adalah pria maupun wanita yang memiliki rentang usia 12-21 tahun dan
merupakan responden yang termasuk ke dalam generasi Z kategori remaja. Responden pada
penelitian ini di khususkan untuk individu yang aktif menggunakan media sosial dan
memiliki peran sebagai bystander yaitu sebagai seseorang yang tidak terlibat langsung pada
kasus cyberbullying. Pada penelitian ini peneliti memiliki target sebanyak 447 responden.
Tabel 1.
Data Demografi
Charyna Ayu Rizkyanti¹, Asti Hesti Cahyani², Salfira Salsabilla³, Asti Aulia4 16
Jurnal Psikohumanika, Volume 13, No 2 Desember 2021 Hal 10-24
Charyna Ayu Rizkyanti¹, Asti Hesti Cahyani², Salfira Salsabilla³, Asti Aulia4 17
Jurnal Psikohumanika, Volume 13, No 2 Desember 2021 Hal 10-24
Teknik analisis validitas dan reliabilitas menggunakan Rasch Model Winstep software.
Teknik analisis data menggunakan regresi sederhana untuk mengetahui pengaruh empati kognitif
terhadap phubbing pada remaja akhir yang menggunakan media sosial. Adapun perhitungan
analisis dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan software IBM SPSS Statistics 22.
a) Cyberbystander
Alat ukur yang digunakan pada penelitian ini adalah Cyberbullying Bystander Scale (CBS) yang
dikembangkan oleh Sarmiento, dkk. (2019). Penelitian ini hanya menggunakan tiga dari enam
faktor saja yang khusus dalam konteks online, yaitu faktor Passive outsider online (5 item),
Defender of the cybervictim online (6 item), Reinforcer of the cyberbullying online (7 item)
dengan total berjumlah 18 item pernyataan. Hal ini dikarenakan peneliti hanya ingin melihat tiga
faktor dari peran bystander yang menjadi pengamat pada cyberbullying online. Alat ukur ini
menggunakan skala Likert yang terdiri dari empat pilihan respon jawaban dimulai dari 1 (Sangat
Tidak Setuju) hingga 4 (Sangat Setuju).
Tabel 2
Validitas dan Reliabilitas Passive Cyberbystander
Tabel 3
Validitas dan Reliabilitas Defender Cyberbystander
Charyna Ayu Rizkyanti¹, Asti Hesti Cahyani², Salfira Salsabilla³, Asti Aulia4 18
Jurnal Psikohumanika, Volume 13, No 2 Desember 2021 Hal 10-24
Tabel 4
Validitas dan Reliabilitas Reinforcer Cyberbystander
b) Empati
Alat ukur yang digunakan pada penelitian ini adalah Jolliffe dan Farrington (2006) dan memiliki
jumlah sebanyak 20 item. Alat ukur ini menggunakan skala likert dengan empat pilihan jawaban
yaitu sangat tidak setuju (STS), tidak setuju (TS), setuju (S) dan sangat setuju (SS).
Tabel 5
Validitas dan Reliabilitas empati afektif
Tabel 6
Validitas dan Reliabilitas empati kognitif
Validity The Basic Empathy Scale
No. Item Valid No. Item Not Valid Total Item
3, 6, 9, 10, 12, 14, 16, 19, 20 - 9
Reliability The Basic Empathy Scale
Reliability Score Values
Person Reliability 0.72 Cukup
Test Reliability 0.76 Cukup
Item Reliability 0.91 Bagus Sekali
Charyna Ayu Rizkyanti¹, Asti Hesti Cahyani², Salfira Salsabilla³, Asti Aulia4 19
Jurnal Psikohumanika, Volume 13, No 2 Desember 2021 Hal 10-24
Tabel 8
Validitas dan Reliabilitas conformity orientation family communication pattern
HASIL PENELITIAN
1) Uji Normalitas
Berdasarkan tabel 9, hasil uji normalitas skor residual dari variabel > 0.05, artinya data termasuk
dalam kategori terdistribusi normal yang ditunjukan oleh nilai Sig. 0,07 dengan hasil terlampir.
Charyna Ayu Rizkyanti¹, Asti Hesti Cahyani², Salfira Salsabilla³, Asti Aulia4 20
Jurnal Psikohumanika, Volume 13, No 2 Desember 2021 Hal 10-24
Tabel 9
Hasil Uji Kolmogorov Smirnov
Unstandardize Residual
N 447
Asymp. Sig. (2-tailed) 0,07
2) Uji Korelasi
Pada tabel 10 nilai sig. 0,001 < 0,05 sehingga empati dan cyberbystander berhubungan dengan
arah negatif (R= -0,154). Artinya, semakin tinggi empati maka semakin rendah cyberbystander
pada remaja yang menggunakan media sosial. Sebaliknya, semakin rendah empati maka semakin
tinggi cyberbystander pada remaja yang menggunakan media sosial.
Selanjutnya nilai sig. 0,005 < 0,05 sehingga family communication pattern dan cyberbystander
berhubungan dengan arah positif (R= 0,134). Artinya, semakin tinggi family communication
pattern maka semakin tinggi cyberbystander pada remaja yang menggunakan media sosial.
Tabel 10
Hasil Uji Korelasi
Charyna Ayu Rizkyanti¹, Asti Hesti Cahyani², Salfira Salsabilla³, Asti Aulia4 21
Jurnal Psikohumanika, Volume 13, No 2 Desember 2021 Hal 10-24
Artinya, empati tetap memiliki pengaruh langsung terhadap cyberbystander meski terdapat
pengaruh mediasi dari family communication.
Tabel 12
Uji Regresi Model F Hayes
Family
Communication
Pattern (M)
c’ = -0,0807, p = 0,0011
Empati (X) Cyberbystander (Y)
Tabel 13
Hasil Uji Analisis Tambahan
Charyna Ayu Rizkyanti¹, Asti Hesti Cahyani², Salfira Salsabilla³, Asti Aulia4 22
Jurnal Psikohumanika, Volume 13, No 2 Desember 2021 Hal 10-24
melakukan ‘stay at home’ ini membuat remaja dan orang tua akhirnya melakukan aktivitas dari
rumah. Hal ini sebetulnya memberikan kesempatan yang lebih besar antara orang tua dan remaja
untuk melakukan conversation secara terbuka, termasuk tentang isu yang ditemui dalam media
sosial. Orang tua sebaiknya juga mulai terjun untuk mengetahui lebih dalam isu yang ada di
kalangan remaja pengguna media sosial, salah satunya adalah perundungan dalam dunia maya.
Oleh karena keluarga merupakan unit terkecil dan utama dalam lingkaran kehidupan anak, orang
tua perlu terus mengembangkan kemampuan berempati anak remajanya secara optimal sehingga
anak mampu merespon hal-hal negative yang ia temui di media sosial secara tepat. Menjauhkan
anak sebagai seorang cybystander lah yang pada akhirnya akan secara signifikan membantu
menghentikan perilaku cyberbullying.
DAFTAR PUSTAKA
Blackwell, L., Chen, T., Schoenebeck, S. & Lampe, C. (2018). When online harassment is
perceived as justified. In Twelfth International AAAI Conference on Web and Social Media,
22–31.
Cassidy, W., Faucher, C., & Jackson, M. (2013). Cyberbullying among youth: A comprehensive
review of current international research and its implications and application to policy and
practice. School Psychology International, 34(6), 575-612. DOI:
10.1177/0143034313479697.
DeSmet, A., Bastiaensens, S., Van Cleemput, K., and Poels, K. (2016). Deciding whether to look
after them, to like it, or leave it: a multidimensional analysis of predictors of positive and
negative bystander behavior in cyberbullying among adolescents. Comp. Hum. Behav. 57,
398–415. DOI: 10.1016/j.chb.2015. 12.051.
Freis, S. D., & Gurung, R. A. R. (2013). A Facebook analysis of helping behavior in online
bullying. Psychology of Popular Media Culture, 2(1), 11-19. DOI: 10.1037/a0030239.
Hoffman, M. L. (2000). Empathy and moral development: Implications for caring and justice.
New York, NY: Cambridge University Press. DOI: 10.1017/CBO9780511805851.
Jayani, D. H. (2019). Survei APJII: 49% Pengguna Internet Pernah Dirisak di Medsos. Diakses
dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/05/16/survei-apjii-49-pengguna-
internet-pernah-dirisak-di-medsos.
Jolliffe, D., & Farrington, D. (2004). Empathy and offending: A systematic review and meta-
analysis. Aggression and Violent Behavior, 9(5), 441-476. DOI: 10.1016/j.avb.2003.03.001.
Jolliffe, D., & Farrington, D. P. (2006). Development and validation of the basic empathy scale.
Journal of Adolescence, 29, 589–611. DOI: 10.1016/j.adolescence.2005.08.010.
Koerner, A. F., & Fitzpatrick, M, A. (2002). Understanding Family Communication Patterns and
Family Functioning: The Roles of Conversation Orientation and Conformity Orientation.
Annals of the International Communication Association, 26(1), 36–65. DOI:
10.1080/23808985.2002.11679010.
Koerner, A. F., & Fitzpatrick, M. A. (2006). Family communication patterns theory: A social
cognitive approach. Engaging theories in family communication: Multiple perspectives, 50-
65.
Kumar, R. (2011). Research methodology : a step by step guide for beginners (3th ed). India,
SAGE Publications
Lenhart, A., Ybarra, M., Zickuhr, K. & Price-Feeney, M. (2016). Online Harassment, Digital
Abuse, and Cyberstalking in America. Data and Society Research Institute.
Charyna Ayu Rizkyanti¹, Asti Hesti Cahyani², Salfira Salsabilla³, Asti Aulia4 23
Jurnal Psikohumanika, Volume 13, No 2 Desember 2021 Hal 10-24
Leung, L., & Lee, P. (2012). The influences of information literacy, internet addiction and
parenting styles on internet risks. New Media & Society, 14(1), 117–136. DOI:
10.1177/1461444811410406.
Machackova, H. (2020). Bystander reactions to cyberbullying and cyberaggression: individual,
contextual, and social factors. Journal Pre-proof. DOI: 10.1016/j.copsyc.2020.06.003.
Machackova, H., Dedkova, L., Sevcikova, A. & Cerna, A. (2018). Bystanders’ supportive and
passive responses to cyberaggression. Journal of School Violence, 17, 99-110. DOI:
10.1080/15388220.2016.122249.
Microsoft. (2021). Civility, Safety & Interaction online : Indonesia. Diakses dari
https://www.microsoft.com/en-us/digital-skills/digital-
civility?activetab=dci_reports:primaryr4
Modecki, K. L., Minchin, J., Harbaugh, A. G., Guerra, N. G., and Runions, K. C. (2014).
Bullying prevalence across contexts: a meta-analysis measuring cyber and traditional
bullying. J. Adolesc. Health 55, 602–611. DOI: 10.1016/j. jadohealth.2014.06.007
Olweus,. (1994). Bullying at school: Basic facts and effects of a school based intervention
program. Journal of Child Psychology and Psychiatry, 35, 1171-1190. DOI:
10.1111/j.1469-7610.1994.tb01229.x.
Pfetsch, J. (2016). Who is who in cyberbullying? Conceptual and empirical perspectives on
bystanders in cyberbullying. A social-ecological approach to cyberbullying, 121-149.
Poyhonen, V., Juvonen, J., & Salmivalli, C. (2010). What does it take to stand up for the victim
of bullying? The interplay between personal and social factors. Merrill-Palmer
Quarterly, 56(2), 143-164.
Pozzoli, T., & Gini, G. (2013). Why do bystanders of bullying help or not? A multidimensional
model. The Journal of Early Adolescence, 33, 315-340. DOI: 10.1177/0272431612440172.
Prensky, M. (2001). Digital natives, digital immigrants part 2: Do they really think
differently?. On the horizon. DOI: 10.1108/10748120110424843.
Salmivalli, C. (2010). Bullying and the peer group: A review. Aggression and Violent Behavior,
15,112– 120. DOI: 10.1016/j.avb.2009.08.007.
Sarmiento, A., Herrera-López, M., & Zych, I. (2019). Is cyberbullying a group process? Online
and offline bystanders of cyberbullying act as defenders, reinforcers and
outsiders. Computers in Human Behavior, 99, 328-334. DOI: 10.1016/j.chb.2019.05.037.
Smith, P. K., Mahdavi, J., Carvalho, M., Fisher, S., Russell, S. & Tippett, N. (2008).
Cyberbullying: Its nature and impact in secondary school pupils. Journal of Child
Psychology and Psychiatry, 49,376- 385. DOI: 10.1111/j.1469-7610.2007.01846.x.
Taylor, S. H., DiFranzo, D., Choi, Y. H., Sannon, S., & Bazarova, N. N. (2019). Accountability
and empathy by design: Encouraging bystander intervention to cyberbullying on social
media. Proceedings of the ACM on Human-Computer Interaction, 3(CSCW), 1-26. DOI:
10.1145/3359220.
Van Cleemput, K., Vandebosch, H., & Pabian, S. (2014). Personal characteristics and contextual
factors that determine “helping,”“joining in,” and “doing nothing” when witnessing
cyberbullying. Aggressive behavior, 40(5), 383-396. DOI: 10.1002/ab.21534.
van der Ploeg, R., Kretschmer, T., Salmivalli, C., & Veenstra, R. (2017). Defending victims:
What does it take to intervene in bullying and how is it rewarded by peers? Journal of
School Psychology, 65, 1-10. DOI: 10.1016/j.jsp. 20
Charyna Ayu Rizkyanti¹, Asti Hesti Cahyani², Salfira Salsabilla³, Asti Aulia4 24