Bioper

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 3

Untuk mengendalikan gulma secara efektif dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan

akibat pengaplikasian herbisida, terdapat 4 pendekatan bioteknologi dalam pengelolaan gulma


diantaranya yaitu

Pengembangan tanaman tahan herbisida Tanaman direkayasa secara genetiknya melalui pemuliaan
tanaman, seleksi mutan in vitro, hibridisasi somatik, mutagenesis mikrospora, dan transformasi
genetik pada tanaman.

Agen biokontrol, seperti bakteri dan jamur, dapat ditingkatkan efektivitasnya melalui pengenalan
gen yang meningkatkan virulensi atau patogenisitas, serta pengembangan bioherbisida yang ramah
lingkungan.

Pengembangan Alelopati Transgenik pada Tanaman Melalui isolasi dan transfer gen penghasil
senyawa alelopatik ke tanaman target untuk mengendalikan gulma secara alami tanpa merusak
lingkungan.

Karakterisasi Gulma Menggunakan Sistematika Molekuler Sistematika molekuler adalah teknik yang
menggunakan analisis DNA untuk mengidentifikasi spesies gulma dan mengetahui hubungan
kekerabatan serta resistensi terhadap herbisida.

Herbisida adalah senyawa kimia yang digunakan untuk membunuh gulma, tetapi seringkali juga
dapat merusak tanaman yang ditanam. Tanaman tahan herbisida adalah tanaman yang telah
dimodifikasi sehingga dapat bertahan terhadap dosis herbisida yang biasanya mematikan, sehingga
hanya gulma yang mati, sementara tanaman tetap tumbuh tanpa kerusakan.

Salah satu contoh dalam pemuliaan tanaman adalah transfer gen resistensi triazine dari Brassica
campestris L. (sawi) ke Brassica napus L. (kanola) melalui teknik persilangan balik (backcrossing). gen
resistensi triazine dari Brassica campestris L. ditransfer ke dalam Brassica napus L. melalui
persilangan silang. Selanjutnya, keturunan hasil persilangan tersebut yang memiliki gen resistensi
dikawinkan kembali (backcrossed) dengan tanaman Brassica napus L, sehingga menghasilkan varietas
baru dari kanola yang memiliki sifat resistensi terhadap herbisida triazine.

Seleksi mutan in vitro adalah teknik bioteknologi yang digunakan untuk mengembangkan tanaman
tahan herbisida dengan memanfaatkan variasi somaklonal pada sel tanaman yang dikultur untuk
memilih mutan yang tahan herbisida. Tembakau Tahan Bentazon. Mutagenesis: tembakau haploid
dimutasikan dengan menggunakan bahan kimia mutagen. Daun muda dari tanaman tembakau yang
telah dimutasikan disemprot dengan herbisida bentazon. Setelah penyemprotan herbisida, daun
yang menunjukkan area hijau kecil (dikenal sebagai 'Green islands') pada permukaan daun yang
seharusnya mati atau kuning dipilih. Area hijau ini menunjukkan bagian daun yang sel atau
jaringannya berhasil bertahan terhadap herbisida. Daerah hijau ini (disebut "pulau hijau") kemudian
dipotong dan ditempatkan pada media kultur yang dirancang untuk menginduksi regenerasi tunas.

Hibridisasi somatik adalah teknik yang memungkinkan manipulasi genom seluler melalui fusi
protoplas. Contoh aplikasi dari teknik ini adalah pengembangan kentang tahan atrazin dari Solanum
nigrum (terong hitam). dua sel protoplas (sel yang telah dihilangkan dinding selnya) dari spesies yang
berbeda digabungkan menjadi satu sel tunggal untuk membentuk organisme hibrida yang
mengandung gen dari kedua induknya. Protoplas dari kedua spesies dicampurkan dalam larutan yang
mengandung PEG. Protoplas yang berhasil difusikan kemudian dikulturkan pada medium selektif
untuk mendorong regenerasi sel menjadi tanaman baru.
Mutagenesis Mikrospora dan Biji: Pengembangan mutasi secara sengaja menggunakan mutagen
kimia, seperti ethyl methanesulfonate (EMS). Teknik ini digunakan untuk mengembangkan tanaman
tomat tahan diphenamid. Biji atau mikrospora tanaman direndam dalam larutan EMS. Setelah
direndam, biji atau mikrospora dicuci untuk menghilangkan sisa EMS dan kemudian ditanam di
media yang mengandung diphenamid. Bibit yang bertahan hidup dan tumbuh dengan baik dianggap
memiliki mutasi yang memberikan resistensi.

Transformasi tanaman adalah proses memasukkan gen baru ke dalam sel tanaman. Menggunakan
bakteri yang disebut Agrobacterium tumefaciens. Plasmid Ti dari bakteri ini dimodifikasi untuk
membawa gen yang diinginkan dan kemudian digunakan untuk menginfeksi sel tanaman. DNA yang
diinginkan kemudian dimasukkan ke dalam genom tanaman.

Sebagai contoh, strain Colletotrichum coccodes yang lemah mengalami peningkatan virulensi
sembilan kali lipat dengan memperkenalkan gen NEP1 yang mengkode protein fitotoksik efektif
terhadap Abutilon theophrasti.

Gen NEP1, yang mengkode protein fitotoksik, diisolasi dari sumber aslinya. Protein ini dikenal mampu
meningkatkan virulensi terhadap tanaman target. Gen NEP1 dimasukkan ke dalam vektor plasmid
yang akan mengantarkan gen tersebut ke dalam sel Colletotrichum coccodes. Vektor yang membawa
gen NEP1 diperkenalkan ke dalam sel Colletotrichum coccodes melalui teknik transformasi, seperti
elektroporasi atau Agrobacterium-mediated transformation. Sel jamur yang telah berhasil menerima
gen NEP1 diseleksi menggunakan marker seleksi. Koloni yang tumbuh kemudian diverifikasi
keberadaan dan ekspresi gen NEP1 menggunakan teknik seperti PCR. Strain Colletotrichum coccodes
yang telah dimodifikasi diuji terhadap Abutilon theophrasti untuk memastikan peningkatan virulensi.

Protein fitotoksik yang dikode oleh gen NEP1 dapat menyebabkan kerusakan sel pada gulma target
dengan cara merusak membran sel atau mengganggu proses fisiologis penting dalam sel gulma,
sehingga menyebabkan kematian sel dan akhirnya mematikan gulma. Misalnya, gen alelopatik dari
spesies padi liar seperti Oryza longistaminata, yang dikenal memiliki sifat alelopatik kuat, diisolasi
dan ditransfer ke varietas padi yang dibudidayakan. Setelah gen alelopatik berhasil ditransfer ke padi
budidaya, tanaman padi transgenik ini dapat menghasilkan dan menyimpan senyawa alelopatik di
berbagai bagian tanaman, seperti akar, daun, dan batang. Ketika tanaman ini mati dan membusuk,
senyawa alelopatik yang ada di dalam residu tanaman dilepaskan ke tanah. Senyawa ini kemudian
berinteraksi dengan benih atau bibit gulma di sekitarnya, menghambat proses perkecambahan dan
pertumbuhan mereka. Rumput teki

Fungi patogen tertentu digunakan sebagai bioherbisida, dikenal sebagai mycoherbicides. Misalnya,
Alternaria alternata digunakan untuk mengontrol gulma eceng gondok. Peningkatan agen biokontrol
melalui pengembangan bioherbisida yang ramah lingkungan dapat dicapai dengan menggunakan
fungi patogen sebagai bioherbisida, yang dikenal sebagai mycoherbicides. Mycoherbicides
memanfaatkan jamur patogen untuk mengendalikan gulma tertentu secara alami. Jamur Alternaria
alternata ini menginfeksi daun eceng gondok, menyebabkan nekrosis dan kematian tanaman,
sehingga mengurangi populasi gulma tersebut.

Proses Analisis DNA

Ekstraksi DNA: DNA diekstraksi dari jaringan gulma.

Amplifikasi DNA: Sekuen DNA tertentu yang berfungsi sebagai penanda molekuler diperbanyak
menggunakan teknik seperti PCR (Polymerase Chain Reaction).
Sequencing: Sekuen DNA yang telah diperbanyak diurutkan untuk memperoleh urutan nukleotida
spesifik.

Analisis Komparatif: Urutan DNA yang diperoleh dibandingkan dengan urutan yang ada di database
untuk mengidentifikasi spesies dan menganalisis hubungan kekerabatan.

Identifikasi Spesies Gulma:

Teknik sistematika molekuler dapat mengidentifikasi spesies gulma seperti Amaranthus palmeri, yang
memiliki resistensi terhadap herbisida glifosat. Dengan menggunakan penanda molekuler seperti
sekuen gen EPSPS (5-enolpiruvilshikimat-3-fosfat sintetase), spesies ini dapat dibedakan dari spesies
Amaranthus lainnya yang tidak resisten.

Deteksi Gen Resistensi Herbisida:

Misalnya, gen ALS (Acetolactate Synthase) yang bermutasi dapat menyebabkan resistensi terhadap
herbisida kelompok sulfonilurea. Dengan mendeteksi mutasi pada gen ALS menggunakan sistematika
molekuler, resistensi ini dapat dideteksi pada tahap awal, memungkinkan pengelolaan yang lebih
efektif.

Hubungan Kekerabatan Antar Spesies:

Teknik ini juga dapat digunakan untuk memetakan hubungan filogenetik antara spesies gulma.
Contohnya, hubungan kekerabatan antara spesies Lolium rigidum yang resisten terhadap herbisida
dan spesies Lolium multiflorum yang tidak resisten dapat dipelajari melalui analisis sekuen gen
tertentu seperti gen ACCase (Acetyl-CoA Carboxylase).

Identifikasi Spesies Gulma:

Penggunaan gen EPSPS untuk identifikasi Amaranthus palmeri yang resisten terhadap glifosat.

Deteksi Gen Resistensi Herbisida:

Penggunaan gen ALS dalam deteksi resistensi herbisida sulfonilurea.

Penggunaan strategi overproduksi dan modifikasi gen untuk mengembangkan tanaman transgenik
yang resisten terhadap herbisida.

Hubungan Kekerabatan Antar Spesies:

Analisis filogenetik menggunakan gen ACCase untuk memetakan hubungan kekerabatan antar
spesies

Gen EPSPS: Over-ekspresi gen EPSPS yang ditemukan pada Petunia dan diintroduksi ke tanaman lain
melalui transfer gen mediasi Agrobacterium. Tanaman transgenik ini mampu mentoleransi glifosat
dua hingga empat kali lebih tinggi daripada tanaman tipe liar.

Gen ALS: Mutasi pada gen ALS ditemukan di beberapa mikroorganisme dan tanaman seperti
Arabidopsis thaliana. Gen ALS mutan ini kemudian diisolasi dan ditransfer ke tanaman budidaya
untuk memberikan resistensi terhadap herbisida sulfonilurea.

Gen ACCase: Analisis sekuen gen ACCase memungkinkan pemetaan hubungan filogenetik antara
spesies yang resisten dan tidak resisten terhadap herbisida, seperti antara Lolium rigidum dan Lolium
multiflorum

Anda mungkin juga menyukai