Full Download Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat Sustainable Integrated Farming System SIFAS Approach Dr. Ir. Ardi Novra PDF

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 59

Full download test bank at ebook ebookstep.

com

Membangun Industri Peternakan Sapi


Potong Rakyat Sustainable Integrated
Farming System SIFAS Approach Dr. Ir.
Ardi Novra

DOWLOAD EBOOK
OR CLICK LINK

http://ebookstep.com/product/membangun-industri-
peternakan-sapi-potong-rakyat-sustainable-
integrated-farming-system-sifas-approach-dr-ir-
ardi-novra/

Go to download the full and correct Download More ebooks [PDF].


content document Format PDF ebook download PDF
https://ebookstep.com KINDLE
More products digital (pdf, epub, mobi) instant
download maybe you interests ...

Industri Kimia Dr. Ir. Hasmawaty A.R.

https://ebookstep.com/product/industri-kimia-dr-ir-hasmawaty-a-r/

Wacana Agribisnis Pertanian dan Peternakan Prof Dr Ir


Sutawi M P

https://ebookstep.com/product/wacana-agribisnis-pertanian-dan-
peternakan-prof-dr-ir-sutawi-m-p/

Model Bisnis Integrated Farming Management Pada Lahan


Basah Rusniati M Riza Firdaus

https://ebookstep.com/product/model-bisnis-integrated-farming-
management-pada-lahan-basah-rusniati-m-riza-firdaus/

Entrepreneurship Membangun Jiwa Entrepreneur Anak


Melalui Pendidikan Kejuruan Dr Ir Hasanah M T

https://ebookstep.com/product/entrepreneurship-membangun-jiwa-
entrepreneur-anak-melalui-pendidikan-kejuruan-dr-ir-hasanah-m-t/
Sexing Spermatozoa Hasil Penelitian Laboratorium dan
Aplikasi pada Sapi dan Kambing Prof Dr Ir Trinil
Susilawati M S

https://ebookstep.com/product/sexing-spermatozoa-hasil-
penelitian-laboratorium-dan-aplikasi-pada-sapi-dan-kambing-prof-
dr-ir-trinil-susilawati-m-s/

Membangun Ekosistem Industri Halal di Indonesia Puji


Muniarty

https://ebookstep.com/product/membangun-ekosistem-industri-halal-
di-indonesia-puji-muniarty/

Creativepreneurship: Membangun Bisnis di Industri


Kreatif Rudy Aryanto

https://ebookstep.com/product/creativepreneurship-membangun-
bisnis-di-industri-kreatif-rudy-aryanto/

Membangun Karakter Berwawasan Kebangsaan Ir. Helena Ras


Ulina Sembiring

https://ebookstep.com/product/membangun-karakter-berwawasan-
kebangsaan-ir-helena-ras-ulina-sembiring/

Desain Rumah Tinggal Berbasis Kearifan Lokal Suku Bugis


yang Berwawasan Lingkungan Prof Dr H Muhammad Ardi M S
Dr Ir Bakhrani Rauf M T Dr Mithen M T

https://ebookstep.com/product/desain-rumah-tinggal-berbasis-
kearifan-lokal-suku-bugis-yang-berwawasan-lingkungan-prof-dr-h-
muhammad-ardi-m-s-dr-ir-bakhrani-rauf-m-t-dr-mithen-m-t/
i
PENULIS
Dr. Ir. Ardi Novra, MP

ISBN: 9786025094637

EDITOR:
Ir. M. Afdhal, MSc., PhD
Prof. Dr. Ir. H. Nurhayati, MSc.agr
Dr. Sc.agr. Ir. Tedja Kaswari, MSc

PENYUNTING:
Dr. Ir. Pahantus Maruli, MSi

DESAIN SAMPUL DAN TATA LETAK:


Dr. Ir. Ardi Novra, MP

PENERBIT:
Unit Publikasi Fakultas Peternakan Universitas Jambi

REDAKSI:
Fakultas Peternakan Universitas Jambi
Kampus UNJA Pinang Masak Jl. Jambi - Muaro Bulian KM. 15
Mendalo Indah - JAMBI 36361
Tel. 0741-582907
Fax. 0741-582907
Email: [email protected]

DISTRIBUTOR TUNGGAL
Unit Publikasi Fapet Unja Kampus UNJA Pinang Masak
Jl. Jambi - Muaro Bulian KM. 15 Mendalo Darat - JAMBI 36361
Tel. 0741-582907
Fax. 0741-582907
Email: [email protected]

Cetakan Pertama, Desember 2019

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan
cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit

ii
PENGANTAR
Rektor Universitas Jambi

NKRI membutuhkan model kebijakan pembangunan yang mampu mendorong


pemanfaatan sumberdaya alam secara efisien, efisien dan berkelanjutan.
Kebijakan yang didasari pada keselarasan antara kebutuhan dan potensi yang
dikembangkan secara kreatif dan inovatif melalui riset dan pengembangan
jangka panjang. Kebijakan- kebijakan yang berorientasi untuk kemakmuran dan
berkeadilan melalui pemberdaan kelompok masyarakat sasaran.
Model pembangunan partisipatif dan kolektif pada sektor peternakan sapi potong
diharapkan mampu mengurangi dan bahkan melepaskan negara ini dari
ketergantungan yang tinggi kepada negara lain guna memenuhi kebutuhan salah
satu bahan pangan sumber protein hewani ini. Sumberdaya alam yang melimpah
dengan kondisi iklim yang mendukung kegiatan produksi sepanjang tahun sudah
selayaknya menjadikan Indonesia sebagai negara produsen atau ekportir daging
dan ternak sapi dunia.
Sebagai Rektor Universitas Jambi, saya sangat berharap curahan pemikiran staf
pengajar dalam buku ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam
pengambilan kebijakan. Kepada dosen atau staf pengajar, saya menghimbau
untuk dapat memanfaatkan buku ini sebagai bahan ajar dalam matakuliah terkait.
Sangat jarang ditemui buku-buku yang disusun berdasarkan pengalaman
panjang sebuah riset dan didasarkan analisis kondisi lapangan. Melalui tulisan
yang komprehensif ini tujuan bersama kita untuk membekali dan memperluas
wawasan peserta didik dapat terwujud.
Akhir kata, saya ucapkan selamat kepada Penulis dan teruslah berkarya dengan
ilmu dan pengetahuan yang sudah dikarunia Allah SWT demi kemasyalahatan
umat manusia.
Wassalam dan terima kasih

Jambi, Januari 2020

Prof. Drs. H. Sutrisno, MSc., PhD


Rektor Universitas Jambi

iii
PENGANTAR
Dekan Fakultas Peternakan Universitas Jambi

Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris yang kaya akan sumber daya
alam termasuk sumber daya pendukung pengembangan sub sektor peternakan.
Ketersediaan daging yang cukup pada era orde baru dan awal reformasi mampu
memenuhi kebutuhan daging nasional sehingga tidak tergantung pada daging
impor. Pasca reformasi, situasi ini berubah dimana perubahan fungsi lahan yang
cukup signifikan menyebabkan sistem peternakan yang dikembangkan tidak
berkelanjutan dan penghargaan terhadap petani peternak semakin rendah.
Akibatnya upaya pemenuhan kebutuhan protein hewani tidak dapat dicapai dan
solusi pemerintah melalui impor daging beku juga tidak dapat menyelesaikan
persoalan harga daging dan pemenuhan kebutuhan protein hewani. Terbitnya
buku ini ‘Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat, Sustainable
Integrated Farming System (SIFAS) Approach” diharapkan dapat menjadi acuan
bagi pemangku kepentingan terkait pengembangan peternakan rakyat sehingga
Indonesia tidak lagi menjadi negara pengimpor daging.
Buku ini selain menggambarkan kondisi peternakan rakyat dan permasalahan
yang ada juga memberikan alternatif solusi program dan kegiatan yang dapat
dilakukan guna kembali memberdayakan peternakan rakyat yang terintegrasi
dengan potensi wilayah setempat terutama dengan perkebunan sawit sehingga
dapat mengurangi biaya produksi, meningkatkan kuantitas dan kualitas daging
yang dihasilkan juga ramah lingkungan dengan memanfaatkan limbah
perkebunan sawit sebagai bahan pakan dan limbah peternakan sebagai pupuk di
lahan perkebunan.
Akhirnya semoga buku ini dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya sebagai
acuan bagi mahasiswa dan dosen Peternakan, pengambil kebijakan dan
pemangku kepentingan lainnya untuk kembali menjadikan Indonesia sebagai
negara penghasil daging yang cukup secara kualitas dan kuantitas guna
pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat Indonesia.

Jambi, Januari 2020

Prof. Dr. Ir. Hj. Nurhayati, MSc. agr


Dekan Fapet Universitas Jambi

iv
PENGANTAR
Pengamat Pembangunan Peternakan

Diantara banyak penulis buku yang diterbitkan mengenai ternak sapi potong di
Indonesia, buku yang ditulis Saudara Ardi Novra, merupakan buku yang cukup
komprehensif mengungkap semua masalah yang terjadi mengenai
pembangunan peternakan sapi potong. Penulis mampu mengungkap berbagai
persoalan aktual dan sangat spesifik, mulai dari Kebijakan dasar pembangunan
peternakan sapi potong sampai kepada masalah zooteknis yang sangat detail.
Buku ini, sangat layak dibaca berbagai lapisan masyarakat terutama pelajar,
mahasiswa dan kalangan kampus karena akan sangat bemanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan ternak sapi potong. Sedangkan bagi para
praktisi dan pengusaha sangat penting karena mereka memerlukan informasi
aktual mengenai kebijakan dan aspeksosial ekonomi lainnya tentang
pembangunan peternakan terutama berkaitan dengan berbagai alternatif
pengembangan peternakan pada masa akan agar tidak lagi konvensional.
Beberapa contoh-contoh alternatif integrasi yang aktual dan implementatif dapat
diadopsi para penentu kebijakan, khususnya pemerintah baik pusat maupun
daerah.
Saya percaya dan sangat yakin dengan kemampuan dan pengalaman Penulis
menuangkannya dalam buku ini sangat sarat dengan data-data akurat. Sehingga
sangat pantas buku ini dijadikan rujukan bagi para pihak yang memerlukannya.
Sebagai rekan sejawat di Perhimpunan Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan
(PERSEPSI), saya mengucapkan selamat atas penerbitan buku ini, kiranya kami
menunggu karya-karya berikutnya yang mampu mewarnai pembangunan
peteranakn sapi potong nasional.
Wassalam dan terima kasih

Bandung, 10 Januari 2020

Dr. Ir. Rochadi Tawaf, MS

v
PRAKATA

Indonesia adalah net importir daging sapi dengan trend perkembangan volume
dan nilai impor selama periode 2010 sampai 2017 terus mengalami peningkatan
dari tahun ke tahun. Ketidakberdayaan produksi domestik guna memenuhi
kebutuhan konsumen yang terus meningkat menyebabkan negara yang kaya
sumberdaya alam peternakan ini terus mengalami pengurasan devisa. Salah
satu sumber yang diduga menjadi penyebab adalah inkonsistensi dalam
kebijakan seperti yang akan disajikan pada BAB I tentang analisis kebijakan
pembangunan peternakan sapi potong sejak dicanangkannya program PSDS
2007 sampai berlangsung program UPSUS SIWAB era pemerintahan kabinet
kerja sekarang. Inkonsistensi kebijakan yang menyebabkan tidak hanya terjadi
pembangunan yang tidak fokus dan tidak berkelanjutan tetapi juga menyebabkan
pemborosan sumberdaya dan kebingungan implementasi bagi instansi teknis
dan pengambil kebijakan di daerah. Semoga pada masa akan datang, kebijakan
yang didasari oleh ego sektoral dan kekuasan dan bahkan ego keilmuan tidak
lagi terjadi seiring dengan terbentuknya pemerintahan baru terlepas dari
siapapun nanti yang terpilih sebagai nahkoda Negara Kesatuan Republik
Indonesia tercinta ini.
Kata orang bijak “menjadi berguna tidak harus menunggu jadi utama” adalah
ungkapan penuh makna yang dapat diaplikasikan dalam peningkatan peran
sektor peternakan dalam pembangunan. Posisi mayoritas usaha peternakan sapi
potong selama ini bukan sebagai sumber pendapatan (pekerjaan) utama tetapi
lebih sebagai sumber pendapatan tambahan dan malahan sebagai tabungan.
Posisi peternakan sapi potong dalam kenyataannya tidak membuat komoditas ini
merasa terabaikan karena mampu hadir sebagai solusi pemecahan masalah
dalam kehidupan masyarakat terutama rumah tangga pertanian. Pada BAB II
tentang Perkembangan Sistem Integrasi akan dijelaskan tentang peran usaha
ternak sapi potong dalam berbagai kondisi perekonomian. Usaha ternak sapi
potong bisa hadir sebagai solusi alternatif dalam krisis ekonomi 1997 dan
ekonomi global 2008, serta pasca kebakaran hutan dan lahan 2015 dan program
pengendalian karhutla berbasis pemberdayaan masyarakat sekitas kawasan
konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI). Bahkan peternakan sapi potong
berpotensi bisa hadir sebagai solusi pemecahan masalah kehilangan
pendapatan sementara (temporary lost income) sebelum dan selama proses
peremajaan sawit dan karet rakyat.
Buku sistem integrasi tanaman ternak berkelanjutan (Sustainable integrated
farming system atau SIFAS) ini merupakan rangkuman perjalanan panjang
kegiatan penelitian dan pengabdian pada masyarakat, serta kerjasama
penyusunan rencana program dan kegiatan beberapa lembaga terkait sejak
tahun 2007, antara lain:
1. Percepatan Swasembada Daging Sapi 2012 menuju Surplus Produksi 2017:
Roadmap Produk Unggulan Peternakan Provinsi Jambi, kerjasama dengan
Dinas Peternakan Provinsi Jambi (2007)
2. Study Kelayakan Pengembangan Wilayah Integrasi Ternak Sapi Potong
Provinsi Jambi, kerjasama dengan Dinas Peternakan Provinsi Jambi (2008).

vi
3. Solusi Alternatif Penanganan Dampak Krisis Global Terhadap Keragaan
Sosial Ekonomi Rumah Tangga Perkebunan, Hibah Kompetitif Penelitian
Sesuai Strategis Nasional Bacth III, Kerjasama Kementan RI dan Dikti
(2009)
4. Kajian Teknologi Tepat Guna (TTG) untuk Mendukung Program SAMISAKE,
Kerjasama dengan BALITBANGDA Provinsi Jambi (2010)
5. Pengembagan Kelompok Mitra Pengelola “Buffer Stock” Ternak Sapi
Pemerintah untuk Tujuan Stabilisasi Harga Daging, kerjasama dengan
BAPPEDA Provinsi Jambi (2010)
6. Study Kelayakan Usaha Integrasi Sawit Sapi (ISS) PT. Perkebunan
Nusantara VI, kerjasama dengan PTPN VI Persero Wilayah Sumbar-Jambi
(2011)
7. Redesain Sistem Distribusi Ternak Bibit dalam Rangka Penguatan Kapasitas
Kelembagaan Untuk Penanganan Dini Pengurasan Sapi Betina Produktif,
Penelitian Hibah Bersaing DP2M Dikti (2012)
8. Desain Kebijakan dan Model Kelembagaan Partisipatif Program
Penanganan Pengurasan Ternak Sapi Betina Produktif, Hibah Penelitian
Hibah Strategis Nasional DP2M Dikti (2012 - 2013).
9. Pengembangan dan Penguatan Kelompok Usaha Pelaku Integrasi Sawit
Sapi berbasis Limbah di Kecamatan Mestong, IPTEKDA-LIPI (2013 dan
2015).
10. Pemulihan Ekonomi Rumah Tangga Petani Sawit Terkena Dampak
Kebakaran Hutan dan Lahan, Program Pengabdian kepada Masyarakat
(PPM) Karhutla LPPM Universitas Jambi (2016)
11. Rencana Pengembangan Kawasan SPR (Sentra Peternakan Rakyat)
Kabupaten Merangin, kerjasama dengan Dinas Perikanan dan Peternakan
Kabupaten Merangin (2016).
12. Model Aksi Kolektif untuk Kemandirian Rumah Tangga Menghadapi
“Temporary Lost Income” Program Replanting Karet Rakyat, Hibah
Penprinas MP3EI DPRM Kemenristek Dikti (2015 - 2017).
13. Implementasi Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan Berbasis Desa di
Sekitar Perkebunan Sawit PT. Bahari Gembira Ria, kerjasama LPPM Unja,
PT. BGR dan Minamas Plantation (2018)
Ucapan terima kasih disampaikan khusus kepada Rektor, Dekan Fakultas
Peternakan dan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
(LPPM) Universitas Jambi. Teruntuk rekan-rekan staf pengajar Fapet Unja yang
selama ini telah berkerja sama dalam berbagai kegiatan penelitian, pengabdian
dan kerjasama terucap salah kompak selalu. Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir.
Adriani, MSi., Dr. Ir. Yusrizal, MSc., Dr. Ir. Suparjo, MP, Dr. Firmansyah, SPt, MP.,
Ir. Sri Novianti, MP., Drs. Nelson, MSi, Ir. Abdul Latief, MSi., Ir. Suhessy Syarif,
MP dan lain-lain atas kerjasama dan dukungannya.
Ucapan terima kasih juga untuk Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan,
Kepala BAPPEDA dan BALITBANGDA Provinsi Jambi periode 2007 sampai
2016 atas kepercayaan yang telah diberikan. Terspesial untuk para petani mitra
kerjasama lapangan terutama Kelompok Tani Sumber Rezeki Desa Mestong
Kabupaten Batanghari dan Kelompok Tani Mekar Jaya Desa Dataran Kempas

vii
Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Semangat dan motivasi kalian adalah pemacu
bagi Penulis untuk dapat berkontribusi dalam lebih besar dalam
mengembangkan riset berbasis kebutuhan “At this type of event you meet people
that you wouldn’t ordinarily meet, and they can give you really interesting insights
into the kinds of things that are needed. And there are a lot of users here, as
opposed to researchers, and therefore you start thinking about the kinds of
products that we need to deliver as scientists. We essentially want to make our
research demand-driven”.
Bak kata pepatah Tidak Ada Gading yang Tak Retak karena kesempurnaan itu
hanya milik Sang Pencipta Langit dan Bumi Allah, SWT. Masih banyak
kelemahan dan kekurangan dalam tulisan ini dan untuk itu Penulis membuka luas
masukan dan kritikan.
Akhirnya, semoga isi dalam buku ini bermanfaat bagi kita semua baik dalam
pengambilan kebijakan, implementasi lapangan, dan pengembangan ilmu
pengetahuan. Sbelumnya diucapkan salam dan terima kasih atas masukan dan
kritik yang disampaikan.

Jambi, 12 Januari 2020


Penulis

Dr. Ir. Ardi Novra, MP

viii
DAFTAR ISI

PENGANTAR .............................................................................................. iii


PRAKATA .................................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................. viii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xi
BAB I. Ternak Sapi Potong: Masalah dan Kebijakan ............................. 1
1.1. Pemenuhan Kebutuhan Daging Nasional ........................... 2
1.2. Dilema Kebijakan Pengembangan Sapi Potong .................. 6
BAB II. Industrialisasi Peternakan: Reposisi Peran Usaha Ternak Sapi
Potong ......................................................................................... 10
2.1. Grand Desain Pengembangan Ternak Sapi dan Kerbau .... 11
2.2. Agenda Besar Pembangunan Peternakan Sapi Potong
2045 ..................................................................................... 14
2.2.1. Transformasi Usaha Peternakan Rakyat ................. 16
2.2.2. Membangkitkan Wirausaha Sapi Potong.................. 18
2.2.3. Jadi “Kita” Pilih yang Mana? .................................... 22
2.3. Reposisi Peran dan Kedudukan Peternakan Sapi Potong .. 23
2.3.1. Skala Makro: Spesialisasi Wilayah dan Fokus
Prioritas .................................................................... 24
2.3.2. Reposisi Skala Mikro: Berdaya Guna Tak Harus
Jadi yang Utama ...................................................... 29
2.4. Implementasi: Beberapa Contoh Program dan Kegiatan .... 34
2.4.1. Penguatan Kelompok Usaha Pelaku Integrasi
Sawit-Sapi ................................................................ 34
2.4.2. Pemulihan Ekonomi Rumah Tangga Petani Sawit
Pasca Karhutla 2015 ................................................ 37
2.4.3. Pengembangan Intercropping Sekitar Tegakan
Karet Replanting ...................................................... 41
BAB III. Integrasi Ternak Sapi: Warisan Budaya dan Perkembangan....... 47
3.1. Integrasi: Warisan Budaya Melayu ...................................... 47
3.2. Usahatani Monokultur dan Kebangkitan Integrasi................ 49
3.3. Pembelajaran Kejadian Karhutla Besar tahun 2015 ............ 51
3.4. Pembelajaran Apa yang Bisa Diambil? ............................... 56
BAB IV. Kawasan Integrasi: Teori Dasar dan Model Integrasi ................. 58
4.1. Konsep Dasar Pengembangan Kawasan ............................ 59
4.2. Pengembangan Kawasan Peternakan ................................ 62
4.3. Kawasan Integrasi Tanaman dan Ternak Sapi .................... 69
4.4. Interaksi Antar Komoditas Pada Sistem Integrasi ............... 71
4.4.1. Kawasan Integrasi Sapi Sawit ................................. 72
4.4.2. Kawasan Integrasi Sapi Karet ................................. 73
4.4.3. Kawasan Integrasi Sapi Pangan .............................. 75
4.4.4. Kawasan Integrasi Sapi Tebu .................................. 78
4.5. Profil Investasi Integrasi Tanaman Ternak Sapi .................. 80
4.5.1. Integrasi Pangan dan Sapi Potong Rakyat .............. 82
4.5.2. Integrasi Sawit dan Sapi Potong Rakyat .................. 86
4.5.3. Dukungan Kebijakan Pengembangan IFS Sapi
Potong Rakyat ......................................................... 93

ix
4.6. Model dan Kelayakan Integrasi Sawit Sapi (ISS) BUMN
Perkebunan .......................................................................... 95
4.6.1. Analisis Potensi Pasar dan Strategi Pemasaran...... 97
4.6.2. Aspek Managemen dan Organisasi ......................... 101
4.6.3. Aspek Teknis dan Produksi ..................................... 105
4.6.4. Aspek Finansial dan Ekonomi ................................. 109
4.6.5. Kesimpulan Analisis Kelayakan ISS ........................ 113
BAB V. SIFAS: Sustainable Integrated Farming Siystem ........................ 116
5.1. Sistem Integrasi Tanaman dan Ternak ................................ 117
5.2. Membangun Sistem Integrasi Berkelanjutan ....................... 119
5.2.1. Teknologi Sebagai Penghubung .............................. 120
5.2.2. Teknologi Introduksi dan Penguatan Kelembagaan. 122
5.2.3. Kebijakan Pendukung .............................................. 124
BAB VI. Kelembagaan SIFAS: Tatakelola Kolektif Industrialisasi Sapi
Potong ......................................................................................... 126
6.1. Model Kelembagaan SIFAS ................................................ 127
6.2. Peran dan Kedudukan Pelaku dalam SIFAS ...................... 129
6.2.1. Peran dan Kedudukan Rumah Tangga Peternak..... 129
6.2.2. Peran dan Kedudukan Kelompok Peternak ............. 131
6.2.3. Peran dan Kedudukan Sentra Jasa Layanan .......... 136
BAB VII. Penutup ....................................................................................... 139
REFERENSI ................................................................................................ 142
APPENDIX 1. PANDUAN PRODUKSI: Trychokompos Insitu (Pupuk
Organik Padat) ..................................................................... 145
APPENDIX 2. PANDUAN PRODUKSI: Biourine “A” Plus (Pupuk Organik
Cair) ..................................................................................... 153

x
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Perkembangan Harga Daging Sejenis Lembu Negara Asal


Impor Indonesia (CIF: US$/kg) …………………………………. 4
Tabel 2.1. Produktivitas Tanaman Pangan Intercropping dan Estimasi
Biaya dan Penerimaan ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, 44
Tabel 2.2. Dampak Budidaya Intercropping terhadap Tanaman Karet
Replanting …………………………………………………………. 45
Tabel 2.3. Daya Substitusi Masing-masing Tanaman Pangan ………….. 45
Tabel 4.1. Analisis Kelayakan Finansial Usaha Integrasi Sapi-Sawit
PTPN VI …………………………………………………………… 112
Tabel 5.1. Daftar Teknologi Pengolahan Limbah Tersedia sebagai
Penghubung (Interfance) Sistem Integrasi Tanaman dan
Ternak Sapi ……………………………………………………….. 120
Tabel 5.2. Matrix Skala Prioritas Kebutuhan Teknologi Penghubung
dalam Sistem Integrasi Tanaman dan Ternak Sapi ………….. 121
Tabel 5.3. Jenis Layanan Teknologi Introduksi yang Dibutuhkan dalam
Peningkatan Daya Saing Ternak Sapi dalam Sistem Integrasi 122

xi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. 1. Perkembangan Volume dan Nilai Impor Daging Sejenis


Lembu Indonesia (2010 - 2017) ………..……………………. 2
Gambar 1. 2. Negara Asal Impor Daging Sejenis Lembu Indonesia
Tahun 2017……………………………………………………... 3
Gambar 1. 3. Perkembangan Harga Daging Sapi Dunia 2010 - 2019 …... 4
Gambar 1. 4. Perkembangan Populasi dan Pemotongan Ternak Sapi
dan Kerbau (2010 - 2017) ……………………………………. 5
Gambar 2.1. Roadmap Pengembangan Sapi dan Kerbau ………………. 11
Gambar 2.2. Tahapan Transformasi Struktur Produksi Daging Sapi dan
Kerbau 14
Gambar 2.3. Rumah Besar Industri Peternakan Sapi Potong …..………. 26
Gambar 2.4. Skema Pengembangan Industri Peternakan Sapi
Potong ………………………………………………………….. 28
Gambar 2.5. Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat…….. 33
Gambar 2.6. Model Tatakelola Usaha Kelompok KIAT ….………………. 36
Gambar 2.7. Aliran Sumberdaya Pada Kelompok Mekar Jaya …………. 39
Gambar 2.8. Mekanisme Pengelolaan Program Aksi Kolektif ..…………. 42
Gambar 2.9. Metode Sharing Cropping antara Kelompok dan Pemilik
Lahan……………………………………………………………. 43
Gambar 4.1. Model Pengembangan Cluster ………………………………. 65
Gambar 4.2. Konsepsi Pengembangan Sentra Peternakan Rakyat ……. 67
Gambar 4.3. Pola Interaksi Tinggi Wilayah Integrasi Sawit-Sapi ……….. 72
Gambar 4.4. Pola Interaksi Rendah Wilayah Integrasi Sawit-Sapi ……... 73
Gambar 4.5. Pola Interaksi Wilayah Integrasi Karet-Sapi ……………….. 74
Gambar 4.6. Pola Interaksi Wilayah Integrasi Padi-Sapi ………………… 77
Gambar 4.7. Potensi Integrasi Sapi-Pangan Lahan Kering ……………… 78
Gambar 4.8. Pola Interaksi Wilayah Integrasi Tebu-Sapi …………..…… 80
Gambar 4.9. Aliran Sumberdaya dalam Integrasi Pangan-Sapi…………. 83
Gambar 4.10. Aliran Sumberdaya dalam Integrasi Sawit-Sapi……………. 87
Gambar 4.11. Fluktuasi dan Trend Harga Daging dan Sapi Siap Potong .. 100
Gambar 4.12. Aktivitas dalam Manajemen Fattening …………………….... 102
Gambar 4.13. Prosedur Tetap dan Tahapan Usaha Pembibitan Sapi
Potong ………………………………………………………….. 103
Gambar 4.14. Struktur Manajemen Usaha Integrasi Sawit-Sapi ………….. 104
Gambar 5.1. Sistem Integrasi Tanaman dan Ternak Sapi ……………….. 119
Gambar 5.2. Tiga Komponen dalam Menuju Integrasi Berkelanjutan…… 119
Gambar 5.3. Unit Usaha dan Keuangan Jasa Layanan Teknologi
Introduksi ……………………………………………………….. 124
Gambar 5.4. Rangkaian Program dalam Membangun Integrasi
Berkelanjutan ………………………………………………….. 125

xii
Gambar 6.1. Kebijakan Satu Pintu dalam Tatakelola Kawasan SIFAS…. 128
Gambar 6.2. Bak Koleksi Urine dan Pengeringan Limbah Padat ………. 130
Gambar 6.3. Peran dan Kedudukan Kelompok Peternak ……………….. 132
Gambar 6.4. Pohon Industri Komoditas Sapi Potong ……………………. 134
Gambar 6.5. Pemberdayaan dan Kelembagaan Kelompok Peternak
Sapi ……………………………………………………………... 135
Gambar 6.6. Jasa Layanan Peternakan …………………………………… 136
Gambar 6.7. Siteplan Pengembangan Sentra Jasa Layanan …………… 137

xiii
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat

Masalah utama dalam pengembangan


sapi potong di Indonesia masih berputar
pada kesenjangan antara konsumsi
(demand) dan produksi (supply) yang
menyebabkan harga daging sapi tidak
terjangkau dan bahkan menjadi barang
mewah (luxury) terutama bagi rumah
tangga berpendapatan rendah. Hal ini
menyebabkan kebijakan pembangunan
peternakan sapi potong masih fokus
pada sektor produksi tetapi dalam
pengambilan kebijakan seringkali terasa
tidak berkesinambungan. Pergantian
rezim dan pejabat pengambil keputusan
selalu diikuti dengan perubahan fokus
kebijakan sehingga terlihat beberapa
program yang belum tuntas diganti
dengan program dan kebijakan baru.

Kebijakan yang terkadang esensinya


sama tetapi diurai dalam kalimat berbeda
tidak hanya menimbulkan pemborosan
sumberdaya tetapi juga membingungkan
bagi pemerintah daerah dan pelaku
usaha baik dunia usaha maupun
peternak rakyat di lapangan. Fenomena
ini terlihat dari perjalanan kebijakan

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-1
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat

pembangunan peternakan pasca reformasi sampai pada saat sekarang, dimana


konsistensi dan keberlanjutan tidak terjaga secara baik. Kebijakan baru sering
benar-benar baru dan mengabaikan program-program dalam kebijakan
sebelumnya. Padahal dalam suatu kebijakan baru seharusnya menjadi pelengkap
dan dapat diintegrasikan dengan program sebelumnya guna menghindari
terjadinya inefisiensi dalam pembangunan. Untuk itu pada bagian awal akan
dibahas tentang dilema kebijakan pembangunan peternakan sapi potong dengan
dasar kinerja dan permasalahan dalam pembangunan peternakan sapi potong itu
sendiri.

1.1. Pemenuhan Kebutuhan Daging

Indonesia merupakan negara net impor produk daging sapi dengan volume dan
nilai impor (harga CIF) pada tahun 2017 masing-masing 160.198 ton dan US $
572.029 ribu. Volume dan nilai impor daging sejenis lembu ini mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun seperti disajikan pada Gambar 1.1

Gambar 1.1.
Perkembangan Volume dan Nilai Impor Daging Sejenis Lembu Indonesia (2010 - 2017)

Volume impor daging sejenis lembu mengalami peningkatan sebesar 20,04% dari
140.141 ton tahun 2010 menjadi 160.198 ton pada tahun 2017 atau mengalami
peningkatan rata-rata 2,86% (2.865 ton) setiap tahunnya. Peningkatan laju
pertumbuhan volume impor diikuti dengan kenaikan laju pertumbuhan nilai impor
yang lebih besar yaitu 48,59% dari US$ 394.99 juta tahun 2010 menjadi US$

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-2
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat

572,03 juta pada tahun 2017 atau mengalami peningkatan sebesar 6,94% (US$
177,04 juta) setiap tahunnya. Perkembangan data impor daging ini tidak hanya
menyajikan laju pertumbuhan impor yang semakin meningkat tetapi dengan laju
pertumbuhan nilai yang lebih besar dibanding volume impor mengindikasikan
terjadinya kenaikan harga daging sapi di pasar internasional atau negara asal
daging impor..

Negara utama asal impor daging sejenis lembu di Indonesia berdasarkan data
perdagangan luar negeri Badan Pusat Statistik (BPS) adalah Australia, Amerika
Serikat dan Selandia Baru seperti disajikan pada Gambar 1.2.

Gambar 1.2.
Negara Asal Impor Daging Sejenis Lembu Indonesia Tahun 2017

Pada tahun 2017 negara asal terbesar impor daging sejenis lembu adalah
Australia dengan proporsi 53,18% atau lebih dari separo impor daging Indonesia,
kemudian diikuti Selandia Baru dan USA. Komposisi impor daging terbesar dari
Australia dan Selandia Baru ini diduga bukan karena faktor harga yang lebih
murah tetapi lebih kepada sejarah hubungan perdagangan bilateral antara kedua
negara serta faktor kedekatan wilayah dan ketersediaan daging di Australia dan
Selandia Baru. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan harga daging (CIF)
masing-masing negara asal impor daging Indonesia pada Tabel 1.1.

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-3
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat

Tabel 1.1.
Perkembangan Harga Daging Sejenis Lembu Negara Asal Impor Indonesia
(CIF: US$/kg).

Harga (US$/kg) Kenaikan pertahun


No Negara Asal
2010 2017 US$/kg %

1 Australia 2,88 3,48 0,09 2,69

2 Selandia Baru 3,04 3,44 0,06 1,78

3 Amerika Serikat 1,90 3,88 0,28 9,81

4 Lainnya 1,82 3,68 0,27 9,70

Rataan 2,82 3,57 0,11 3,36


Sumber: Olahan Data BPS (2018)

Harga CIF (Cost Insurance, and Freight) adalah harga daging setelah
ditambahkan dengan biaya pengiriman termasuk asuransi sampai ke pelabuhan
Indonesia yang ditanggung oleh eksportir. Perbandingan harga CIF ini
mengindikasikan bahwa harga pokok pembelian daging sapi pada setiap negara
hampir sama tetapi karena biaya pengiriman dari Australia lebih murah maka
harga CIFnya juga lebih rendah. Terkait dengan perkembangan harga impor,
yang lebih menarik untuk dibahas adalah terjadinya kenaikan harga pada pasar
internasional. Selama periode tahun 2010 - 2017 setiap tahun harga daging impor
mengalami kenaikan sebesar 3,36% (US$ 0,11/kg). Kenaikan volume yang diikuti
dengan kanaikan harga impor akan menyebabkan semakin besarnya devisa
negara terkuras untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri.

Gambar 1.3.
Perkembangan Harga Daging Sapi Dunia 2010 - 2019

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-4
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat

Kenaikan harga daging sapi global (Gambar 1.3) diduga karena peningkatan
permintaan (demand) daging sapi dunia lebih besar dibanding pertumbuhan
produksi (supply). Harga daging sapi dunia sudah mulai mengalami kenaikan
sejak tahun 2010 sampai mencapai puncaknya pada tahun 2014 dimana harga
mendekati sekitar US$ 5/kg. Harga tertinggi ini tidak bertahan lama karena pada
tahun 2015 terjadi penurunan drastis sehingga mencapai tingkat harga US$ 4,061
pada tahun 2016. Trend kenaikan volume, nilai dan harga daging impor ternyata
belum mampu mendorong perbaikan kinerja peternakan sapi potong domestik
yang terlihat dari laju pertumbuhan populasi yang negatif seperti Gambar 1.4.

Gambar 1.4.
Perkembangan Populasi dan Pemotongan Ternak Sapi dan Kerbau (2010 - 2017)

Selama periode tahun 2010 - 2017 masih terjadi peningkatan pemotongan ternak
sapi domestik yang menyebabkan populasi ternak sapi mengalami penurunan
penurunan. Laju pertumbuhan pemotongan ternak sapi 2,72%/tahun diikuti
dengan laju penurunan populasi sebesar 2,35%/tahun. Peningkatan jumlah
pemotongan ternak sapi berkaitan dengan menurunnya laju pertumbuhan
pemotongan ternak kerbau. Laju penurunan pemotongan ternak kerbau
6,91%/tahun diikuti dengan laju penurunan populasi yang lebih cepat yaitu
14.32%/tahun. Banyak indikasi yang dapat kita ambil dari perkembangan kinerja
kedua jenis ternak ruminansia besar ini antara lain tekanan terhadap populasi
ternak sapi masih terus terjadi dengan semakin meningkatnya pemotongan dan
semakin langkanya ketersediaan barang substitusi sempurnanya yang berasal
dari pemotongan ternak kerbau.

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-5
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat

1.2. Dilema Kebijakan Pengembangan Sapi Potong

Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) 2014 yang merupakan program yang
keempat kalinya sejak dicanangkan pada tahun 1995 telah gagal dalam
pencapaiannya (Tawaf, 2015). Penyebab kegagalan karena ‘kesalahan hitung”
yang dikemukakan Mentan Suswono pada akhir masa jabatannya merupakan
manivestasi dari kontroversi yang terjadi antara ‘farming system versus sistem
agribisnis’ yang sejak lama menjadi perdebatan dalam implementasi. Pilihan
antara pengembangan farming system yang lebih dikenal dengan istilah usaha
ternak rakyat/peternakan rakyat, atau perusahaan peternakan yang menganut
konsep sistem agribisnis dalam membangun peternakan.

Kebijakan pembangunan peternakan di Indonesia terutama pasca reformasi


cenderung berubah, inkonsistensi dan dapat dikatakan tanpa keberlanjutan.
Anekdot “kebijakan berubah sesuai selera penguasa” maka salah satunya dapat
ditemukan dalam kebijakan pembangunan sektor peternakan. Pada awal
terbentuknya Kabinet Indonesia Kerja 2014 - 2019, pemerintah melalui dirjend
PKH mencanangkan program SPR (Sentra Peternakan Rakyat) sebagai
pengganti Program Swasembada Daging Sapi (PSDS). Program SPR menurut
Dirjend PKH Muladno (2016) merupakan program penataan ternak sekaligus
peternak rakyat bertujuan untuk mewujudkan usaha peternakan rakyat dalam
suatu perusahaan kolektif yang dikelola dalam satu manajemen, meningkatkan
daya saing usaha peternakan melalui peningkatan pengetahuan, kesadaran dan
penguatan keterampilan peternak rakyat. Program yang lebih menekankan pada
transfer pengetahuan dan teknologi (knowledge and technolgy transfer) ini pada
awalnya disebut sebagai salah satu terobosan baru yang bertujuan untuk
menyejahterakan rakyat Indonesia.

Program SPR baru berjalan dalam hitungan tahunan (< 2 tahun) tiba-tiba
digantikan dengan Upsus-Siwab (Upaya Khusus Percepatan Populasi Sapi dan
Kerbau Bunting). Salah satu penyebab program ini belum berjalan baik karena
masih ada tarik menarik soal jumlah SPR antara Dirjen PKH yang mencanangkan
500 ribu SPR, sementara Menteri Pertanian hanya menginginkan 50 SPR.
Program Upsus Siwab yang diluncurkan Kementan sejak 2016 mencakup dua
program utama yaitu peningkatan populasi melalui Inseminasi Buatan (IB) dan
Intensifikasi Kawin Alam (Inka). Secara teoritis menurut Ilham (2017) kerangka

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-6
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat

pikir siklus kerja dan faktor-faktor yang menentukan keberhasilan program Upsus
Siwab dimulai dari kondisi ternak betina sasaran, kondisi ternak pejantan atau
petugas, fasilitas IB, dan kemampuan peternak. Program Siwab merupakan
amanat dari Peraturan Menteri Pertanian Nomor 48/Permentan/PK.210/10/2016
tentang Upaya Khusus Percepatan Peningkatan Populasi Sapi dan Kerbau
Bunting menghadapi banyak tantangan. Salah satunya adalah penanganan
gangguan reproduksi dan IB yang membutuhkan keahlian dan dukungam fasilitas
berupa kontainer di depo Kabupaten/Kota, serta komunikasi dan harmonisasi
pelaksanaan lapangan.

Program Upsus-Siwab yang kinerjanya dinyatakan cukup berhasil pada tahun


2017 dimana capaian kinerja pelayanan IB dari Januari 2017 sampai Maret 2018
(14 bulan), yaitu a) relisasi IB pada 4.905.881 ekor jauh melebihi target yang
ditetapkan yaitu 4 juta ekor, b) menghasilkan sapi dalam kondisi bunting
2.186.892 ekor dan kelahiran ternak sampai bulan Maret 2018 sebanyak
1.051.688 ekor. Penulis coba komparasi dengan target yang ditetapkan
pemerintah yaitu dari 4 juta ekor betina produktif apsektor IB ditargetkan minimal
75% (3 juta ekor) dapat bunting dan memperoleh pedet baru (Kementan 2017).
Sepertinya dengan angka konsepsi (conception rate) 44,56% dan kelahiran
(fertilty rate) sementara 21,44% baru target realisasi pelaksanaan IB yang sudah
dan bahkan melampaui target tetapi capaian kinerja IB itu sendiri masih jauh di
bawah yang ditargetkan.

Melakukan justifikasi apakah program Upsus-Siwab telah berhasil atau gagal


dengan perjalanan yang masih pendek 1 - 2 tahun bukan merupakan sesuatu
yang fair juga. Secara teknis apakah itu efektif dalam akselerasi pertumbuhan
populasi dan secara ekonomi apakah efektif mendorong kesejahteraan
masyarakat peternak kita harus menunggu beberapa tahun lagi. Namun demikian
ada satu hal yang perlu dipertimbangkan yaitu penggunaan kata WAJIB dalam
Siwab (betina produktif wajib bunting) yang sepertinya mendahului kehendak
yang maha kuasa, karena menyangkut makhluk hidup (bernyawa) yang hanya
Tuhan yang maha berkehendak. Sekedar untuk penyegaran saja sebelum
membaca lebih lanjuta “takutnya nanti akan timbul pula peraturan yang mengatur
sanksi bagi betina bunting karena adanya kata WAJIB tersebut”. Sebagai bangsa
yang berkeTuhanan Yang Maha Esa kita hanya bisa berusaha untuk akselerasi
pertumbuhan populasi ternak sapi potong sementara haslnya adalah atas izinNya.

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-7
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat

Meski terkesan “receh bin remeh” selayaknya juga dipertimbangkan misalnya


mengganti kata Wajib Bunting dengan Ayo Bunting (Siwab menjadi Siab) atau
lainnya sepanjang tidak merubah esensi dari program ini sendiri.

Program Upsus-Siwab tidak hanya menyebabkan program SPR menjadi tidak


tuntas tetapi membuat para pengambil kebijakan di daerah menjadi “sedikit
bingung dan pusing” tentang pengelolaan kawasan yang telah ditetapkan.
Perangkat SPR berupa 50 Gugus Perwakilan Pemilik Ternak (GPPT) yang telah
direkrut, dilatih dan bahkan sudah diperintah untuk melakukan koordinasi
pelaksanaan kegiatan pada tahun 2016 mau diarahkan kemana?. Bagaimana
kelanjutan nasib para manajer SPR dan perangkat yang dipimpinnya serta
peternak yang sudah dilatih dan diberi berbagai program pembekalan. Banyak
pertanyaan yang muncul dan tidak akan terjawab tetapi “kebingungan terbesar”
adalah menjawab ketika masyarakat bertanya dan menagih janji yang telah
tersosialisasikan. Guna meningkatkan produksi peternakan sapi potong
pemerintah gencar menggulirkan program baru yaitu program Sentra Peternakan
Rakyat (SPR) yang rencananya mulai dilaksanakan tahun 2016 dan setiap SPR
mendapatkan alokasi dari APBN sekitar Rp 1 Miliar (Jatimprov.go.id, 2015).

Sebelum program SPR ada kawasan sentra-sentra produksi (KSP) yang


terbengkalai atau dalam istilah kita bersama sudah menjalani “mati suri” dan
sekarang menyusul kawasan SPR yang bernasib sama. Padahal menurut
pemikiran Penulis antara program SPR dan Upsus-Siwub potensial dan sangat
baik bila diintegrasikan dalam suatu program pembangunan peternakan yang
berkelanjutan. Program SPR yang bertujuan untuk menata usaha peternakan
rakyat melalui aksi kolektif dimana setiap SPR terdiri dari beberapa kelompok
dengan jumlah ternak sapi minimal 1.000 ekor akan meningkatkan efektivitas dan
efisiensi biaya implementasi program Upsus-Siwub. Kita semua pasti sepakat
dengan populasi ternak yang terkonsentrasi dan terkoordinasi pada suatu
kawasan SPR akan memudahkan implementasi sinkronisasi birahi dan IB
(Inseminasi Buatan) yang menjadi rohnya Upsus-Siwub. Monitoring dan evaluasi
keberhasilan program Upsus-Siwub akan lebih mudah termasuk dalam
menentukan lokasi dan kapasitas sarana dan prasarana pendukung seperti ruang
dan tabung penyimpanan sperma IB dan bahan untuk sinkronisasi birahi, evaluasi
keberhasilan dan transfer IPTEK reproduksi terkoordinasi melalui kelembagaan
yang terstruktur dan jelas. Harapan kita bersama semoga dengan terbentuknya

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-8
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat

kabinet baru diiringi dengan kebijakan yang lebih implementatif, terintegrasi dan
berkelanjutan. Kebijakan yang lebih mengutamakan kemakmuran stakeholder
peternakan dan bukan karena adanya ego kekuasaan, ego sektoral apalagi ego
bidang keilmuan.

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-9
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Industrialisasi peternakan yang tangguh,


terjadi karena terintegrasinya proses
produksi dari hulu ke hilir yang dibangun
berdasarkan potensi dan kemampuan
industri hulu. Pembangunan peternakan
berbasis industri dimulai sejak pemerintah
menetapkan konsep sistem agribisnis,
pada era tahun 2000an. Pada era
digitalisasi saat ini, konsep pembangunan
industrialisasi peternakan tidak bisa lepas
dari efisiensi usaha dengan memadukan
sistem agribisnis dengan pengembangan
usaha peternakan rakyat. Konsep ini bisa
dilakukan melalui pola klustering, dimana
para peternak rakyat dengan usaha
sejenis beraktiivtas dalam suatu kawasan
(horizontal agribisnis). Kegiatan lanjutan
dari klustering ini dihubungkan oleh
sistem aplikasi digital yang bersifat
tertutup secara vertikal antar kelompok
peternak kluster.

Hubungan usaha antar sub-sistem


bersifat kaptif akan memberikan suatu
kepastian (certainty) pasar dan jaminan
(insurance) dalam menjalankan usaha.

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-10
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Konsep ini merupakan model industri peternakan pada masa akan datang yang
menggabungkan antara konsep farming system dengan sistem agribisnis yang
berkerakyatan (Tawaf, 2019). Arah dan kebijakan pembangunan peternakan sapi
potong terlihat dari grand desain atau lebih terinci pada roadmap (peta jalan)
pengembangan sapi dan kerbau tahun 2016 - 2045.

2.1. Grand Desain Pengembangan Sapi dan Kerbau

Grand desain pengembangan sapi dan kerbau tahun 2045 dicapai melalui 4
(empat) tahapan sesuai dengan roadmap pengembangan sapi dan kerbau
(Gambar 2.1), yaitu a) swasembada dan rintisan ekspor pada tahun 2022, b)
ekspor pada tahun 2026, c) pemantapan ekspor pada tahun 2035, dan d)
lumbung pangan Asia pada tahun 2045.

Gambar 2.1.
Roadmap Pengembangan Sapi dan Kerbau
(Sumber: Dirjen PKH)

Pondasi menuju swasembada daging sapi tahun 2022 yaitu dengan percepatan
peningkatan populasi sapi, khususnya jumlah indukan sapi sebagai basis sumber
produksi melalui program Upsus Siwab 2017 dengan target kebuntingan
sapi/kerbau tiga juta ekor dari empat juta ekor asepktor (75%). Kebijakan

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-11
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

pengembangan sapi adalah peningkatan populasi untuk mendorong peningkatan


share produksi daging domestik/lokal, meningkatnya kemampuan ekspor dan
bertambahnya usaha sapi berskala komersial. Upaya mewujudkan capaian
tersebut menurut Dirjen PKH Kementan Diarmita dalam Infovet (2018). yaitu

1. Melakukan sosialisasi tentang program dan kegiatan tersebut baik pada


jajaran pemerintah, akademisi, swasta dan masyarakat peternak. Kemudian
mendorong kinerja petugas teknis lapangan dengan melakukan bimbingan
teknis pelaporan untuk petugas inseminator, pelatihan petugas baru dibidang
IB (inseminator, PKb dan ATR) dan menyediakan alat dan sarana IB (semen
beku, N2 cair, kontainer, gun, plastik glove dan lain lain), serta menyediakan
insentif berupa biaya operasional pelayanan kepada para petugas
inseminator, PKb dan ATR.

2. Memperkuat aspek perbenihan dan perbibitan untuk menghasilkan benih dan


bibit unggul berkualitas dan tersertifikasi dengan penguatan tujuh Unit
PelaksanaTeknis (UPT) Perbibitan yaitu BPTU HPT (Balai Pembibitan
Ternak Unggul) Padang Mangatas, BPTU HPT Siborong-borong, BPTU HPT
Pelaihari, BPTU HPT Denpasar, BPTU HPT Sembawa, BPTU HPT
Baturraden, BPTU HPT Indrapuri, dengan demikian diharapkan adanya
peningkatan kualitas genetik dan populasi di masing-masing UPT Perbibitan.

3. Penambahan indukan impor baik oleh pemerintah ataupun melalui peran dan
kontribusi swasta (feedlotter) yang memasukkan indukan sebagai prasyarat
impor sapi bakalan. Penambahan sapi indukan impor pengembangannya
akan difokuskan pada enam UPT Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan,
yaitu BPTU-HPT Indrapuri, Siborong-borong, Sembawa, Padang Mangatas,
Pelaihari dan BBPTU-HPT Baturraden, 39 UPTD provinsi/kabuapten/kota
dan padang penggembalaan milik pemerintah daerah.

4. Pengembangan HPT (Hijauan Pakan Ternak) melalui penyediaan


lahan/penanaman HPT seluas 338,5 ha pada 2018. Pengembangan HPT
untuk pengembangan sapi potong juga dilakukan melalui pengembangan
padang penggembalaan dengan target pembangunan seluas 200 ha pada
2018, melalui optimalisasi lahan ex-tambang dan kawasan padang
penggembalaan di Indonesia Timur. Selain itu, juga dilakukan pemeliharaan

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-12
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

terhadap 600 ha padang penggembalaan yang sudah dibangun oleh Ditjen


PKH.

5. Penanganan gangguan reproduksi bertujuan untuk mempertahankan jumlah


sapi betina produktif, sehingga angka jumlah akseptor yang akan dilakukan
IB dan bunting meningkat. Target pelaksanaan gangguan reproduksi sebesar
200.000 ekor. Operasional pendanaan penanganan gangguan reproduksi
dialokasikan pada delapan UPT Kesehatan Hewan (BBVet atau Bvet) dan
lima provinsi, yaitu Bengkulu, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan
dan Lampung. Komponen penanganan gangguan reproduksi terdiri dari
pelaksanaan identifikasi status reproduksi, pengadaan obat dan hormon.

6. Pengendalian pemotongan betina produktif, bekerjasama dengan Baharkam


Mabes Polri, bertujuan untuk menurunkan jumlah pemotongan sapi betina
produktif, mempertahankan akseptor Upsus-Siwab dan menyelamatkan
kelahiran pedet melalui pencegahan pemotongan sapi betina bunting.

Target bertambahnya usaha sapi skala menengah dan besar jika dimaknai
dengan peningkatan skala kepemilikan rumah tangga dan target kontirbusi usaha
peternakan rakyat 20% tahun 2045, maka ada beberapa simpulan yang bisa
diambil:

1. Ada upaya mendorong perkembangan populasi ternak dalam rumah tangga


meskipun tidak disebutkan secara rinci besaran skala menengah dan besar
tersebut.

2. Peningkatan skala usaha rakyat menjadi skala menengah dan besar secara
tidak langsung akan menggeser peran usaha ternak sapi dalam rumah
tangga dari usaha sambilan atau sekedar tabungan menjadi industri atau
usaha pokok (utama) atau minimal cabang usaha.

3. Tranformasi dari usaha peternakan rakyat (skala kecil) menuju usaha


peternakan menengah dan besar sebagai andalan dalam pemenuhan
kebutuhan daging nasional dan untuk tujuan ekspor.

Tahapan swasembada dan rintisan ekspor tahun 2022, berdasarkan roadmap


pengembangan sapi potong dan kerbau (Gambar 2.1) menargetkan a) populasi
ternak sapi dan kerbau mencapai 23,23 juta ekor, b) kebutuhan dan produksi
domestik masing-masing 769.566 ton dan 688.914 ton (90% kebutuhan)

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-13
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

diharapkan 75% masih dari usaha peternakan rakyat. Memasuki SDG


(sustainable development goal) yaitu pada tahun 2045 diharapkan Indonesia
telah menjadi lumbung pangan dunia (daging sapi) dengan populasi sapi dan
kerbau mencapai 41,74 juta, produksi domestik menembus angka satu juta yaitu
1.151. 698 ton dengan kontribusi usaha peternakan rakyat hanya tinggal 5% dan
sisanya 95% dari peternakan menengah dan besar. Pada tahun 2045 jumlah
penduduk di Indonesia diroyeksi mencapai 309 juta jiwa (Mulyani, 2019)
sedangkan konsumsi daging sapi meningkat menjadi 2,79 kg/kapita/tahun (10,3%)
pada tahun 2025, dan 3,04 kg/kapita/tahun (20,4%) pada tahun 2045 (Arifin,
2019). Artinya, pada tahun 2045 Indonesia membutuhkan daging sapi sekitar
939,36 ribu ton/tahun atau hampir 78,28 ribu ton/bulan atau 2,57 ribu ton/hari.
Artinya dengan angka proyeksi kebutuhan tahun 2045 sebesar 1.151.698 ton
dipenuhi dari ternak sapi 939,36 ribu ton dan kerbau 212,34 ribu ton.

2.2. Agenda Besar Pembangunan Peternakan Sapi Potong 2045

Agenda besar pencapaian target sasaran untuk menjadi lumbung pangan Asia
tahun 2045 tidak hanya ditandai dengan peningkatan produksi, populasi dan
ekpor komoditas ternak sapi dan kerbau tetapi juga dengan perubahan struktural
pelaku usaha peternakan. Jika selama ini pemasok utama kebutuhan daging
domestik adalah usaha peternakan rakyat, maka pada tahun 2045 lebih
mengandalkan usaha ternak sapi potong skala menengah dan besar (80%) dan
sisanya 20% dari usaha peternakan rakyat (Gambar 2.2)..

Gambar 2.2.
Tahapan Transformasi Struktur Produksi Daging Sapi dan Kerbau

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-14
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Hasil sensus peternakan tahun 2013 sebagai basis, maka 5,07 juta rumah tangga
peternak sapi potong dimana 66,34% mengusahakan hanya 1 - 2 ekor ternak sapi
dan 75,75% tujuan pemeliharaan rumah tangga adalah untuk dikembangbiakan
dan bukan untuk dijual. Pemeliharaan ternak sapi hanya 65,96% dari 5,07 juta
rumah tangga peternak yang mengandangkan ternaknya, sedangkan 34,14%
sengaja dilepas seperti pola peternakan di Australia (Suryamin, 2014). Survey
Pertanian Antar Sensus (SUTAS) 2018 mencatat populasi ternak sapi potong
mencapai 16,4 juta ekor, sapi perah 0,58 juta ekor dan kerbau 0,89 juta ekor yang
dijadikan sebagai Angka Tetap (Populasi Awal) untuk estimasi angka populasi
sampai sensus berikutnya tahun 2023. Jika kita asumsikan bahwa jumlah
populasi ternak sapi yang dipelihara usaha peternakan rakyat tahun 2045 adalah
8,35 juta (20% dari 41,74 juta). Artinya, dengan rata-rata kepemilikan 2 ekor maka
akan diperoleh jumlah rumah tangga peternak rakyat sekitar 4,17 juta. Suatu
angka penurunan yang sangat cukup realistis dari 5,07 juta rumah tangga tahun
2013 atau menurun sebesar 0,90 juta atau mengalami penurunan 17,75% selama
kurun waktu 2013-2045 (32 tahun) atau rata-rata menurun sekitar 0.55%/tahun.

Bak “Naik Turun Tangga”, menurun akan terasa lebih mudah dibanding dengan
naik tangga yang membutuhkan sumberdaya dan energi yang lebih besar untuk
sampai pada anak tangga terakhir. Turun dalam roadmap tidak serta merta
diartikan sebagai penurunan total jumlah rumah tangga peternak tetapi sebagian
peternak rakyat bertransformasi menjadi peternak skala menengah dan/atau
besar. Transformasi struktural inilah yang seharusnya menjadi agenda terbesar
dalam pencapaian target dan sasaran grand desain dan roadmap pengembangan
sapi dan kerbau, yaitu melalui.

1. Transformasi sebahagian usaha peternakan skala kecil (rakyat) menjadi


usaha skala menengah/besar (peningkatan kepemilikan ternak pada tingkat
rumah tangga).

2. Peningkatan jumlah pelaku wirausaha atau pengusaha baru pada sektor


usaha peternakan sapi potong.

Artinya bahwa tidak akan ada niat dari pemerintah untuk mengurangi atau
menghambat peternakan rakyat tetapi didorong untuk memiliki skala ekonomis
dengan tetap memotivasi timbulnya wirausaha baru. Kembali kepada naik turun
tangga maka kita abaikan cara untuk turun dan fokus pada bahasan cara naik

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-15
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

karena butuh energi besar dan kadang banyak ditemui kendala. Pengalaman
berbagai program dan kegiatan pada masa lalu tentu dapat menjadi rujukan agar
lebih mudah menapaki setiap anak tangga untuk mencapai tujuan utama. Agar
pada masa datang tak timbul lagi “kebijakan yang tidak bijak” dan bahkan
bernuansa “komedi”. Kebijakan yang katanya berorientasi kepada rakyat tetapi
dalam implikasinya terkesan mengabaikan peternakan rakyat, kebijakan yang
katanya berbasis pemanfaatannya potensi sumberdaya yang kaya raya tetapi
dalam skenarionya masih tetap fokus pada wilayah prioritas tertentu yang kadang
sudah eksis dan sulit dipaksakan untuk berkembang. Pada program PSDS 2014,
dari 18 provinsi sebagai sentra sapi potong telah dikelompokkan menjadi 3
kelompok daerah prioritas.

1. Kelompok I Daerah Prioritas Inseminasi Buatan yaitu Provinsi Jawa Barat,


Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur dan Bali.

2. Kelompok II Daerah Campuran Inseminasi Buatan dan Kawin Alam yaitu


Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat,
Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Nusa
Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo.

3. Kelompok III Daerah Prioritas Kawin Alam yaitu Provinsi Nusa Tenggara
Timur, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.

2.2.1. Transformasi Usaha Peternakan Rakyat

Upaya mendorong peningkatan skala kepemlikan (usaha) rumah tangga peternak


sapi potong selama ini dapat dikatakan kurang berhasil dan selalu dikaitkan
dengan faktor permodalan. Faktor ketersediaan modal diakui memang menjadi
salah satu faktor kendala tetapi hanya menjadi bagian kecil karena lebih banyak
dipengaruhi oleh karakteristik dan perilaku rumah tangga peternak sapi itu sendiri.
Fenomena lapangan yang terjadi selama ini menunjukkan beberapa karakteristik
dan perilaku yang melekat pada rumah tangga peternak potensial menjadi faktor
kendala peningkatan skala usaha, antara lain:

1. Ternak sapi yang dipelihara oleh mayoritas rumah tangga peternak sapi
rakyat adalah bagian tak terpisahkan dari usahatani lainnya baik rumah
tangga petani pangan maupun perkebunan atau dengan kata lain usaha
ternak sapi bukan merupakan usaha tunggal (utama) .

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-16
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

2. Tujuan utama pemeliharaan ternak sapi bagi rumah tangga perdesaan bukan
untuk dijual tetapi lebih sebagai tabungan yang hanya akan dilepas untuk
memenuhi kebutuhan yang memerlukan dana besar seperti acara selamatan
(aqiqah, kitanan, pernikahan), memasuki tahun ajaran baru sekolah, dan
ibadah (haji, umroh dan lainnya) serta kebutuhan acara adat istiadat terkait
dengan budaya setempat.

3. Usaha ternak bukan merupakan sumber pendapatan yang bersifat harian


dan bahkan bulanan (short run) tetapi lebih bersifat tahunan (long run) bagi
rumah tangga terutama untuk ternak sapi pembibitan. Harga jual ternak sapi
berfluktuasi sepanjang tahun tetapi memiliki kecenderungan terus mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Fluktuasi harga pasar komoditas ternak
sapi sudah sangat mudah diprediksi sehingga proses pelepasan ternak oleh
rumah tangga biasanya dilakukan pada periode waktu tertentu.

4. Ternak sapi bagi rumah tangga usahatani terdiversifikasi adalah asset yang
fleksibel, sehingga ketika terjadi kelangkaan sumberdaya tenaga kerja maka
dalam rangka rasionalisasi pilihan prioritas utama adalah pelepasan ternak
sapi dibanding pelepasan asset lain seperti lahan. Kasus yang dapat
dijadikan contoh adalah pada saat musim kemarau panjang dan kebakaran
hutan dan lahan akibat elnino tahun 2015. Pada saat terjadi kelangkaan
sumber pakan hijauan ternak banyak rumah tangga yang melakukan
rasionalsasi usaha ternak dengan menjual ternak sapi karena tenaga kerja
yang tersedia tidak mampu memenuhi kebutuhan pakan ternak.

5. Peningkatan kesejahteraan dan aktiivtas ekonomi rumah tangga pada


beberapa kasus juga menjadi faktor pendorong pelepasan ternak sapi.
Contoh kasus pada rumah tangga petani eks-transmigran di Provinsi Jambi
yang berhenti melakukan usaha ternak sapi pasca tanaman karet dan sawit
sudah mampu memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga terutama pasca
krisis ekonomi 1997 dimana harga kedua komoditas melambung tinggi.
Kecamatan Rimbo Bujang, Jujuhan, Kuamang Kuning, Sungai Bahar dan
Rantau Rasau yang dulunya dikenal sebagai lumbung ternak sapi mengalami
pengurasan populasi yang sangat drastis.

Beberapa karakteristik dan perilaku tersebut diatas tidak akan pernah terungkap
dalam data statistik termasuk dalam buku-buku teks tetapi merupakan realita

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-17
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

yang diyakini pasti ada pada peternakan sapi potong rakyat. Secara teoritis ilmu
ekonomi semua dapat dijelaskan yang akan berujung pada suatu kesimpulan
bahwa “rumah tangga peternak sapi potong adalah pelaku ekonomi yang
rasional” yang selayaknya jadi bahan pemikiran dalam pengambilan keputusan
atau kebijakan. Selama ini mereka hanya dianggap sebagai objek bagi kita yang
“merasa sangat tahu”, padahal peran mereka sebagai pelaku sangat menentukan
keberhasilan suatu kebijakan. Semuanya tergantung para pemegang kuasa
kebijakan, apakah akan memaksakan target skala usaha dengan mengabaikan
perilaku peternak atau tetap mengakomodir perilaku tersebut dengan mengurangi
target sasaran yang ingin dicapai.

2.2.2. Membangkitkan Wirausaha Sapi Potong

Agenda kedua dalam transformasi dari usaha peternakan skala kecil menuju
usaha menengah dan besar adalah membangkitkan wirausaha baru dalam
bidang usaha peternakan sapi potong. Selama ini investasi dalam usaha
peternakan sapi potong masih relatif “sangat rendah” dan hanya terbatas pada
sektor jasa dan perdagangan seperti feedlot (penggemukan). Feedlot adalah
suatu sistem manajemen di mana penggembalaan ternak sapi dilakukan secara
alami pada areal terbatas yang tidak menghasilkan pakan dan pakan ternak
dipasok dari tempat lain atau stok pakan yang ada. Sejauh ini dikenal empat
sistem penggemukan yang diterapkan, yakni sistem pasture fattening, dry lot
fattening, sistem kombinasi yakni pasture dan dry lot fattening, dan sistem
kereman (penggemukan) dry lot fattening yang lebih sederhana.

Penggemukan merupakan usaha budidaya ternak dalam waktu tertentu dengan


cara membeli bakalan untuk kemudian diberi pakan untuk meningkatkan bobot
badan sapi, dan pada waktu yang telah ditentukan sapi tersebut dijual untuk
dipotong. Pada feedlot pemeliharaan dan penggemukan dilakukan secara intensif
dengan waktu tertentu yang telah ditetapkan (misalkan 3, 4, 6 dan 9 bulan) dan
sering dilakukan rekayasa pakan untuk mendapatkan pakan dengan kualitas
nutrisi baik tapi bernilai ekonomis, sehingga bobot potong yang tinggi dan kualitas
karkas yang baik dapat tercapai. Keuntungan yang dapat diperoleh dengan
menerapkan teknologi feedlot dibandingkan dengan penggemukan yaitu lahan
yang dibutuhkan untuk budidaya relatif tidak sebanyak biasanya, karena sudah
diprogram dengan lahan tertentu untuk jumlah ternak tertentu dan dalam jangka

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-18
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

waktu tertentu ternak tersebut diganti dengan ternak bakalan yang baru.
Manajemen tata laksana pemeliharaannya juga relatif lebih mudah dan lebih
sederhana, sehingga kita dapat dengan mudah melakukan pengawasan terhadap
aktivitas usaha ternak.

Pada sisi lain, investasi dalam usaha peternakan sapi untuk tujuan pembibitan
masih sangat langka dan mayoritas merupakan investasi publik yang dilakukan
terbatas hanya oleh pemerintah pusat. Peran pemerintah daerah dan dunia usaha
dalam usaha pengembangbiakan ini masih sangat rendah karena membutuhkan
investasi besar dan bersifat jangka panjang (long-run investment) serta memiliki
margin keuntungan yang rendah. Hasil analisis kelayakan Balai Pembibitan
Ternak (BPT) Sapi Potong Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi
menunjukkan bahwa pada aspek finansial diperoleh tingkat pengembalian modal
(IRR) hanya 3,56% (Novra et al, .2009).

Pengembangan BPT ini meskipun masih layak bagi proyek pembangunan sektor
publik tetapi kurang diminati para pemilik modal swasta karena daya saing
investasi sektor atau proyek pembibitan sapi potong relatif lebih rendah dibanding
sektor lainnya. Padahal dari aspek ekonomi dampak pegembangan BPT Sapi
Potong melalui pola kemitraan memberikan keuntungan finansial bagi masyarakat
mitra binaan, mengurangi ketergantungan dan belanja daerah untuk pengadaan
bibit, memperkuat daya tahan ekonomi rumah tangga perdesaan melalui
diversifikasi sumber-sumber pendapatan serta dapat diintegrasikan dengan
pengembangan desa mandiri energi dan pangan, pemenuhan kebutuhan pupuk
organik substitusi pupuk komersial dan upaya transformasi sistem pemeliharaan
menuju sistem pemeliharaan ternak sapi secara intensif.

Pengembangan usaha pembibitan sangat penting karena selama ini usaha


penggemukan skala menengah mulai mengalami kelangkaan pasokan bakalan,
sedang usaha feedlot skala besar lebih mengandalkan pasokan bakalan dari luar
negeri (impor). Kementerian Pertanian mencatat realisasi impor sapi bakalan
hingga akhir 2018 mencapai 205.527 ekor, sementara impor sapi indukan baru
sebanyak 21 ribu ekor. Permentan No. 02/Permentan/PK.440/2/2017 tentang
perubahan Permentan No. 49/Permentan/PK.440/10/2016 tentang Pemasukan
Ternak Ruminisia Besar ke Dalam Wilayah RI telah menerbitkan skema 5 : 1 bagi
importir sapi. Skema 5:1 mewajibkan perusahaan pengimpor sapi diwajibkan lima

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-19
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

sapi bakalan dan satu sapi indukan yang diperuntukkan untuk budidaya kembali
oleh petani.

Upaya pemerintah dalam mendorong lahirnya para peternak atau pengusaha


peternakan sapi potong skala menengah sudah pernah dilakukan melalui jalur
akademisi yaitu program SMD (Sarjana Membangun Desa). Kegagalan program
SMD dalam mencetak wirausahawan baru usaha sapi potong dapat dijadikan
proses pembelajaran untuk membangun industri sapi potong skala menengah.
Kegagalan program ini menunjukkan bahwa mencetak pengusaha bukan hanya
sekedar penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) tetapi lebih
dari itu adalah bagaimana membangkitkan motivasi. Saat seleksi sering timbul
pertanyaan tentang siapa dan bagaimana kriteria calon pengusaha yang kita cari,
apakah yang kita cari calon peternak atau pengusaha ternak sapi. Jawaban
“pasti” semua pihak adalah kita mencari calon pengusaha ternak sapi tetapi
mayoritas yang terjaring malah “calon wirausaha berCAP pengusaha” bukan
“calon wirausaha yang pengusaha”. Banyak peserta SMD yang kemudian
usahanya tidak berkembang dan bahkan meninggalkan usaha kelompoknya
karena mendapatkan pekerjaan baru.

Padahal keberadaan SMD di kelompok ternak berbekal ilmu dan teknologi,


kreativitas serta wawasan agribisnis, diharapkan dapat berinteraksi dan bersinergi
membangun kerjasama yang harmonis dengan mengelola agribisnis berbasis
peternakan. Program SMD dilaksanakan sejak tahun 2007 dan sampai tahun
2012 tercatat jumlah total penerima manfaat program sebanyak 2,694 kelompok
dengan total anggaran yang telah dikucurkan sebesar Rp 778.82 Miliar. Hasil
penelitian Refita et al (2017) menunjukkan bahwa program SMD belum
dilaksanakan berdasarkan potensi wilayah kelompok penerima dan belum efektif
baik ditinjau dari indikator ekonomi dan teknis maupun kelembagaan. Faktor
penghambat efektivitas program SMD adalah belum adanya rencana strategis,
partisipasi para pemimpin pemerintahan dan masyarakat setempat masih rendah,
dan kurang efektivitasnya proses seleksi (perekrutan), pelaporan, serta
monitoring dan evaluasi program.

Gambaran singkat tentang program SMD dalam menciptakan para pengusaha


peternakan terutama sapi potong ini sangat mirip dengan struktur pasar tenaga
kerja alumni perguruan tinggi peternakan dan kesehatan hewan. Meskipun tidak
tersedia data dan informasi yang cukup valid tapi dari fenomena yang ada sangat

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-20
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

sedikit dari mereka yang bertahan jadi pengusaha peternakan sapi potong.
Banyak penyebab dari kegagalan bertahan tersebut dan tidak hanya berkaitan
dengan hal teknis misalnya kerugian usaha akibat kinerja usaha tidak mencapai
target sasaran. Sebahagian ada yang berhenti karena mendapatkan pekerjaan
baru dan bahkan karena performans yang bagus diangkat menjadi pegawai
pemerintah meskipun sebagai honorer dengan gaji yang lebih kecil.

Makna di balik semua itu adalah ternyata mereka yang sudah mencoba untuk
terjun jadi pengusaha peternakan sapi potong itu sendiri tidak percaya bahwa
usaha yang dimodali pemerintah bisa menjadi jaminan hidup. Mereka lebih
memilih pekerjaan lain meskipun untuk sementara harus mendapat gaji yang
lebih kecil tetapi lebih bisa menjamin keberlangsungan kehidupan masa depan.
Menyalahkan mereka juga “sesuatu yang salah” karena memang realitanya
seperti itu karena hal yang sama juga terjadi pada para pengusaha yang sudah
teruji memiliki naluri bisnis. Seberapa banyak para pemilik modal dinegeri ini yang
tertarik untuk investasi pada usaha peternakan sapi potong dan jika ada
mayoritas cenderung pada bisnis perdagangan dan feedlotter dibanding sektor
produksi. Padahal dari sisi ilmu ekonomi, insentif apa yang kurang dari komoditas
penghasil daging merah di negeri ini. Bukankah, harga yang tinggi dan cenderung
mengalami kenaikan dari tahun ke tahun merupakan insentif untuk investasi dan
didukung dengan pangsa pasar terbuka lebar dan selalu akan meningkat seiring
meningkatnya pendapatan dan taraf hidup konsumen.

Pemerintah juga sudah berupaya memotivasi dengan berbagai insentif seperti


kredit pembiayaan bunga rendah (subsidi) seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR)
khusus Peternakan. KUR yang mulai disalurkan pada tanggal 6 Desember 2018
sebesar Rp 8,9 miliar pada 69 anggota kelompok peternakan rakyat di Kabupaten
Wonogiri, Jawa Tengah dengan skema subdisi bunga. Suku bunga yang
sebelumnya 12% selanjutnya sejak 1 Januari 2018, tersebut diturunkan pada titik
terendah sebesar 7%. Pada pemerintahan periode sebelumnya dikenal juga
Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) yang diatur melalui Peraturan Menteri
Pertanian No. 40/Permentan/PD.400/9/2009 tanggal 8 September 2009 tentang
Pedoman Pelaksanaan Kredit Usaha Pembibitan Sapi. Suku bunga yang
dibebankan kepada pelaku usaha sebesar 5 %/tahun dalam jangka waktu kredit
paling lama 6 tahun, dengan masa tenggang (grace period) paling lama 24 (dua
puluh empat) bulan. Meski menjadi tulang punggung pencapaian swasembada

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-21
Another random document with
no related content on Scribd:
LXVI
A person who is full of secrets is a knave or a fool, or both.
LXVII
The error of Mandeville, as well as of those opposed to him, is in
concluding that man is a simple and not a compound being. The
schoolmen and divines endeavour to prove that the gross and
material part of his nature is a foreign admixture, distinct from and
unworthy of the man himself. The misanthropes and sceptics, on the
other hand, maintain the falsity of all human virtues, and that all
that is not sensual and selfish is a mere theatrical deception. But in
order that man should be a wholly and incorrigibly selfish being, he
should be shut up like an oyster in its shell, without any possible
conception of what passes beyond the wall of his senses; and the
feelers of his mind should not extend their ramifications under any
circumstance or in any manner, to the thoughts and sentiments of
others. Shakspeare has expressed the matter better than the pedants
on either side, who wish unreasonably to exalt or degrade human
nature.—‘The web of our lives is as of a mingled yarn, good and ill
together: our virtues would be proud, if our faults whipped them not,
and our vices would despair, if they were not cherished by our
virtues.’
LXVIII
People cry out against the preposterous absurdity of such
representations as the German inventions of the Devil’s Elixir and
the Bottle Imp. Is it then a fiction that we see? Or is it not rather a
palpable reality that takes place every day and hour? Who is there
that is not haunted by some heated phantom of his brain, some
wizard spell, that clings to him in spite of his will, and hurries him on
to absurdity or ruin? There is no machinery or phantasmagoria of a
melo-drame, more extravagant than the workings of the passions.
Mr. Farley may do his worst with scaly forms, with flames, and
dragon’s wings: but after all, the true demon is within us. How many,
whose senses are shocked at the outward spectacle, and who turn
away startled or disgusted might say, pointing to their bosoms, ‘The
moral is here!’
LXIX
Mr. L—— asked Sir Thomas —— who had been intimate with the
Prince, if it was true that he was so fine a gentleman as he was
generally represented? Sir Thomas —— made answer, that it was
certainly true that the Prince was a very fine gentleman indeed: ‘but,’
added he, ‘if I am to speak my mind, the finest gentleman I ever saw,
was Sadi Baba, the ambassador to Constantinople, from the Usbek
Tartars.’
LXX
‘Man is in no haste to be venerable.’ At present, it seems as if there
were no occasion to become so. People die as usual; but it is not the
fashion to grow old. Formerly, men subsided and settled down into a
respectable old age at forty, as they did into a bob-wig, and a brown
coat and waistcoat of a certain cut. The father of a family no longer
pretended to pass for a gay young fellow, after he had children grown
up; and women dwindled, by regular and willing gradations, into
mothers and grandmothers, transferring their charms and
pretensions to a blooming posterity; but these things are never
thought of now-a-days. A matron of sixty flaunts it in ‘La Belle
Assemblée’s dresses for May:’ and certainly M. Stultz never inquires
into the grand climacteric of his customers. Dress levels all ages as
well as all ranks.
A CHAPTER ON EDITORS

The Monthly Magazine.]


[November, 1830.
‘Our withers are unwrung.’

Editors are (to use an approved Scotch phrase—for what that is


Scotch is not approved?) a ‘sort of tittle-tattle‘—difficult to deal with,
dangerous to discuss. ‘A capital subject for an article, great scope,
complete novelty, and ground never touched upon!’ Very true; for
what Editor would insert an article against himself? Certainly none
that did not feel himself free from and superior to the common
foibles of his tribe. What might, therefore, be taken for a satire in
manuscript, turns to a compliment in print—the exception in this, as
in other cases, proves the rule—an inference we have endeavoured to
express in our motto.
With one exception, then, Editors in general partake of the usual
infirmity of human nature, and of persons placed in high and
honorary situations. Like other individuals raised to authority, they
are chosen to fill a certain post for qualities useful or ornamental to
the reading public; but they soon fancy that the situation has been
invented for their own honour and profit, and sink the use in the
abuse. Kings are not the only servants of the public who imagine that
they are the state. Editors are but men, and easily ‘lay the flattering
unction to their souls’ that they are the Magazine, the Newspaper, or
the Review they conduct. They have got a little power in their hands,
and they wish to employ that power (as all power is employed) to
increase the sense of self-importance; they borrow a certain dignity
from their situation as arbiters and judges of taste and elegance, and
they are determined to keep it to the detriment of their employers
and of every one else. They are dreadfully afraid there should be any
thing behind the Editor’s chair, greater than the Editor’s chair. That
is a scandal to be prevented at all risks. The publication they are
entrusted with for the amusement and edification of the town, they
convert, in theory and practice, into a stalking-horse of their own
vanity, whims, and prejudices. They cannot write a whole work
themselves, but they take care that the whole is such as they might
have written: it is to have the Editor’s mark, like the broad R, on
every page, or the N. N. at the Tuileries; it is to bear the same image
and superscription—every line is to be upon oath: nothing is to be
differently conceived or better expressed than the Editor could have
done it. The whole begins in vanity, and ends too often in dulness
and insipidity.
It is utterly impossible to persuade an Editor that he is nobody. As
Mr. Horne Tooke said, on his trial for a libel before Lord Kenyon,
‘There are two parties in this cause—myself and the jury; the judge
and the crier of the court attend in their respective places:’ so in
every periodical miscellany, there are two essential parties—the
writers and the public; the Editor and the printer’s-devil are merely
the mechanical instruments to bring them together. There is a secret
consciousness of this on the part of the Conductor of the Literary
Diligence, that his place is one for shew and form rather than use;
and as he cannot maintain his pretended superiority by what he does
himself, he thinks to arrive at the same end by hindering others from
doing their best. The ‘dog-in-the-manger’ principle comes into full
play. If an article has nothing to recommend it, is one of no mark or
likelihood, it goes in; there is no offence in it. If it is likely to strike, to
draw attention, to make a noise, then every syllable is scanned, every
objection is weighed: if grave, it is too grave; if witty, it is too witty.
One way or other, it might be better; and while this nice point is
pending, it gives place, as a matter of course, to something that there
is no question about.
The responsibility, the delicacy, the nervous apprehension of the
Editor, naturally increase with the probable effect and popularity of
the contributions on which he has to pass judgment; and the nearer
an effusion approaches to perfection, the more fatal is a single flaw,
or its falling short of that superhuman standard by a hair’s-breadth
difference, to its final reception. If people are likely to ask, ‘Who
wrote a certain paper in the last number of ——?’ the Editor is bound,
as a point of honour, to baulk that impertinent curiosity on the part
of the public. He would have it understood that all the articles are
equally good, and may be equally his own. If he inserts a paper of
more than the allowed average merit, his next care is to spoil by
revising it. The sting, with the honey, is sure to be left out. If there is
any thing that pleased you in the writing, you look in vain for it in the
proof. What might electrify the reader, startles the Editor. With a
paternal regard for the interests of the public, he takes care that their
tastes should not be pampered, and their expectations raised too
high, by a succession of fine passages, of which it is impossible to
continue a supply. He interposes between the town and their vicious
appetite for the piquant and high-seasoned, as we forbid children to
indulge in sweetmeats. The trite and superficial are always to be had
to order, and present a beautiful uniformity of appearance. There is
no unexpected relief, no unwelcome inequality of style, to disorder
the nerves or perplex the understanding: the reader may read, and
smile, and sleep, without meeting a single idea to break his repose!
Some Editors, moreover, have a way of altering the first
paragraph: they have then exercised their privileges, and let you
alone for the rest of the chapter. This is like paying ‘a pepper-corn
rent,’ or making one’s bow on entering a room: it is being let off
cheap. Others add a pointless conclusion of their own: it is like
signing their names to the article. Some have a passion for sticking in
the word however at every opportunity, in order to impede the
march of the style; and others are contented and take great pains
(with Lindley Murray’s Grammar lying open before them) to alter ‘if
it is’ into ‘if it be.’ An Editor abhors an ellipsis. If you fling your
thoughts into continued passages, they set to work to cut them up
into short paragraphs: if you make frequent breaks, they turn the
tables on you that way, and throw the whole composition into
masses. Any thing to preserve the form and appearance of power, to
make the work their own by mental stratagem, to stamp it by some
fiction of criticism with their personal identity, to enable them to run
away with the credit, and look upon themselves as the master-spirits
of the work and of the age! If there is any point they do not
understand, they are sure to meddle with it, and mar the sense; for it
piques their self-love, and they think they are bound ex-officio to
know better than the writer. Thus they substitute (at a venture, and
merely for the sake of altering) one epithet for another, when
perhaps the same word has occurred just before, and produces a
cruel tautology, never considering the trouble you have taken to
compare the context and vary the phraseology.
Editors have no misplaced confidence in the powers of their
contributors: they think by the supposition they must be in the right
from a single supercilious glance,—and you in the wrong, after
poring over a subject for a month. There are Editors who, if you
insert the name of a popular actor or artist, strike it out, and, in
virtue of their authority, insert a favourite of their own,—as a
dexterous attorney substitutes the name of a friend in a will. Some
Editors will let you praise nobody; others will let you blame nobody.
The first excites their jealousy of contemporary merit; the last excites
their fears, and they do not like to make enemies. Some insist upon
giving no opinion at all, and observe an unarmed neutrality as to all
parties and persons;—it is no wonder the world think very little of
them in return. Some Editors stand upon their characters for this;
others for that. Some pique themselves upon being genteel and well-
dressed; others on being moral and immaculate, and do not perceive
that the public never trouble their heads about the matter. We only
know one Editor who openly discards all regard to character and
decency, and who thrives by the dissolution of partnership, if indeed
the articles were ever drawn up. We shall not mention names, as we
would not advertise a work that ‘ought to lie on no gentleman’s
table.’ Some Editors drink tea with a set of blue stockings and
literary ladies: not a whisper, not a breath that might blow away
those fine cobwebs of the brain—
‘More subtle web Arachne cannot spin;
Nor those fine threads which oft we woven see
Of scorched dew, do not in the air more lightly flee!’

Others dine with Lords and Academicians—for God’s sake, take care
what you say! Would you strip the Editor’s mantel-piece of the cards
of invitation that adorn it to select parties for the next six months?
An Editor takes a turn in St. James’s-street, and is congratulated by
the successive literary or political groups on all he does not write;
and when the mistake is found out, the true Simon Pure is dismissed.
We have heard that it was well said by the proprietor of a leading
journal, that he would take good care never to write a line in his own
paper, as he had conflicting interests enough to manage, without
adding literary jealousies to the number. On the other hand, a very
good-natured and warm-hearted individual declared, ‘he would
never have another man of talents for an Editor’ (the Editor, in this
case, is to the proprietor as the author to the Editor), ‘for he was tired
of having their good things thrust in his teeth.’ Some Editors are
scrubs, mere drudges, newspaper-puffs: others are bullies or quacks:
others are nothing at all—they have the name, and receive a salary
for it! A literary sinecure is at once lucrative and highly respectable.
At Lord’s-Ground there are some old hands that are famous for
‘blocking out and staying in:’ it would seem that some of our literary
veterans had taken a lesson from their youthful exercises at Harrow
or Eton.
All this is bad enough; but the worst is, that Editors, besides their
own failings, have friends who aggravate and take advantage of
them. These self-styled friends are the night-shade and hemlock
clinging to the work, preventing its growth and circulation, and
dropping a slumberous poison from its jaundiced leaves. They form a
cordon, an opake mass round the Editor, and persuade him that they
are the support, the prop, and pillar of his reputation. They get
between him and the public, and shut out the light, and set aside
common sense. They pretend anxiety for the interest of some
established organ of opinion, while all they want is to make it the
organ of their dogmas, prejudices, or party. They want to be the
Magazine or the Review—to wield that power covertly, to warp that
influence to their own purposes. If they cannot do this, they care not
if it sinks or swims. They prejudge every question—fly-blow every
writer who is not of their own set. A friend of theirs has three articles
in the last number of ——; they strain every nerve and make pressing
instances to throw a slur on a popular contribution by another hand,
in order that he may write a fourth in the next number. The short
articles which are read by the vulgar, are cut down to make room for
the long ones, which are read by nobody but the writers and their
friends. If an opinion is expressed contrary to the shibboleth of the
party, it is represented as an outrage on decency and public opinion,
when in truth the public are delighted with the candour and boldness
displayed. They would convert the most valuable and spirited journal
into a dull pamphleteer, stuffed with their own lucubrations on
certain heavy topics. The self-importance of these people is in
proportion to their insignificance; and what they cannot do by an
appeal to argument or sound policy, they effect by importunity and
insinuation. They keep the Editor in continual alarm as to what will
be said of him by the public, when in fact the public will think (in
nine cases out of ten) just what he tells them.
These people create much of the mischief. An Editor should have
no friends—his only prompter should be the number of copies of the
work that sell. It is superfluous to strike off a large impression of a
work for those few squeamish persons who prefer lead to tinsel.
Principle and good manners are barriers that are, in our estimate,
inviolable: the rest is open to popular suffrage, and is not to be
prejudged by a coterie with closed doors. Another difficulty lies here.
An Editor should, in one sense, be a respectable man—a
distinguished character; otherwise, he cannot lend his name and
sanction to the work. The conductor of a periodical publication
which is to circulate widely and give the tone to taste and opinion,
ought to be of high standing, should have connections with society,
should belong to some literary institution, should be courted by the
great, be run after by the obscure. But ‘here’s the rub’—that one so
graced and gifted can neither have his time nor his thoughts to
himself. Our obligations are mutual; and those who owe much to
others, become the slaves of their good opinion and good word. He
who dines out loses his free agency. He may improve in politeness;
he falls off in the pith and pungency of his style. A poem is dedicated
to the son of the Muses:—can the critic do otherwise than praise it? A
tragedy is brought out by a noble friend and patron:—the severe
rules of the drama must yield in some measure to the amenities of
private life. On the contrary, Mr. —— is a garretteer—a person that
nobody knows; his work has nothing but the contents to recommend
it; it sinks into obscurity, or addresses itself to the canaille. An
Editor, then, should be an abstraction—a being in the clouds—a mind
without a body—reason without passion.——But where find such a
one?
THE LETTER-BELL

The Monthly Magazine.]


[March, 1831.

Complaints are frequently made of the vanity and shortness of


human life, when, if we examine its smallest details, they present a
world by themselves. The most trifling objects, retraced with the eye
of memory, assume the vividness, the delicacy, and importance of
insects seen through a magnifying glass. There is no end of the
brilliancy or the variety. The habitual feeling of the love of life may be
compared to ‘one entire and perfect chrysolite,’ which, if analysed,
breaks into a thousand shining fragments. Ask the sum-total of the
value of human life, and we are puzzled with the length of the
account, and the multiplicity of items in it: take any one of them
apart, and it is wonderful what matter for reflection will be found in
it! As I write this, the Letter-Bell passes: it has a lively, pleasant
sound with it, and not only fills the street with its importunate
clamour, but rings clear through the length of many half-forgotten
years. It strikes upon the ear, it vibrates to the brain, it wakes me
from the dream of time, it flings me back upon my first entrance into
life, the period of my first coming up to town, when all around was
strange, uncertain, adverse—a hubbub of confused noises, a chaos of
shifting objects—and when this sound alone, startling me with the
recollection of a letter I had to send to the friends I had lately left,
brought me as it were to myself, made me feel that I had links still
connecting me with the universe, and gave me hope and patience to
persevere. At that loud-tinkling, interrupted sound (now and then),
the long line of blue hills near the place where I was brought up
waves in the horizon, a golden sunset hovers over them, the dwarf-
oaks rustle their red leaves in the eveningbreeze, and the road from
—— to ——, by which I first set out on my journey through life, stares
me in the face as plain, but from time and change not less visionary
and mysterious, than the pictures in the Pilgrim’s Progress. I should
notice, that at this time the light of the French Revolution circled my
head like a glory, though dabbled with drops of crimson gore: I
walked comfortable and cheerful by its side—
‘And by the vision splendid
Was on my way attended.’

It rose then in the east: it has again risen in the west. Two suns in
one day, two triumphs of liberty in one age, is a miracle which I hope
the Laureate will hail in appropriate verse. Or may not Mr.
Wordsworth give a different turn to the fine passage, beginning—
‘What, though the radiance which was once so bright,
Be now for ever vanished from my sight;
Though nothing can bring back the hour
Of glory in the grass, of splendour in the flower?’

For is it not brought back, ‘like morn risen on mid-night‘; and may
he not yet greet the yellow light shining on the evening bank with
eyes of youth, of genius, and freedom, as of yore? No, never! But
what would not these persons give for the unbroken integrity of their
early opinions—for one unshackled, uncontaminated strain—one Io
pæan to Liberty—one burst of indignation against tyrants and
sycophants, who subject other countries to slavery by force, and
prepare their own for it by servile sophistry, as we see the huge
serpent lick over its trembling, helpless victim with its slime and
poison, before it devours it! On every stanza so penned should be
written the word Recreant! Every taunt, every reproach, every note
of exultation at restored light and freedom, would recal to them how
their hearts failed them in the Valley of the Shadow of Death. And
what shall we say to him—the sleep-walker, the dreamer, the sophist,
the word-hunter, the craver after sympathy, but still vulnerable to
truth, accessible to opinion, because not sordid or mechanical? The
Bourbons being no longer tied about his neck, he may perhaps
recover his original liberty of speculating; so that we may apply to
him the lines about his own Ancient Mariner—
‘And from his neck so free
The Albatross fell off, and sank
Like lead into the sea.’

This is the reason I can write an article on the Letter-Bell, and other
such subjects; I have never given the lie to my own soul. If I have felt
any impression once, I feel it more strongly a second time; and I have
no wish to revile or discard my best thoughts. There is at least a
thorough keeping in what I write—not a line that betrays a principle
or disguises a feeling. If my wealth is small, it all goes to enrich the
same heap; and trifles in this way accumulate to a tolerable sum. Or
if the Letter-Bell does not lead me a dance into the country, it fixes
me in the thick of my town recollections, I know not how long ago. It
was a kind of alarm to break off from my work when there happened
to be company to dinner or when I was going to the play. That was
going to the play, indeed, when I went twice a year, and had not been
more than half a dozen times in my life. Even the idea that any one
else in the house was going, was a sort of reflected enjoyment, and
conjured up a lively anticipation of the scene. I remember a Miss D
——, a maiden lady from Wales (who in her youth was to have been
married to an earl), tantalised me greatly in this way, by talking all
day of going to see Mrs. Siddons’ ‘airs and graces’ at night in some
favourite part; and when the Letter-Bell announced that the time was
approaching, and its last receding sound lingered on the ear, or was
lost in silence, how anxious and uneasy I became, lest she and her
companion should not be in time to get good places—lest the curtain
should draw up before they arrived—and lest I should lose one line
or look in the intelligent report which I should hear the next
morning! The punctuating of time at that early period—every thing
that gives it an articulate voice—seems of the utmost consequence;
for we do not know what scenes in the ideal world may run out of
them: a world of interest may hang upon every instant, and we can
hardly sustain the weight of future years which are contained in
embryo in the most minute and inconsiderable passing events. How
often have I put off writing a letter till it was too late! How often had
to run after the postman with it—now missing, now recovering the
sound of his bell—breathless, angry with myself—then hearing the
welcome sound come full round a corner—and seeing the scarlet
costume which set all my fears and self-reproaches at rest! I do not
recollect having ever repented giving a letter to the postman, or
wishing to retrieve it after he had once deposited it in his bag. What I
have once set my hand to, I take the consequences of, and have been
always pretty much of the same humour in this respect. I am not like
the person who, having sent off a letter to his mistress, who resided a
hundred and twenty miles in the country, and disapproving, on
second thoughts, of some expressions contained in it, took a post-
chaise and four to follow and intercept it the next morning. At other
times, I have sat and watched the decaying embers in a little back
painting-room (just as the wintry day declined), and brooded over
the half-finished copy of a Rembrandt, or a landscape by Vangoyen,
placing it where it might catch a dim gleam of light from the fire;
while the Letter-Bell was the only sound that drew my thoughts to
the world without, and reminded me that I had a task to perform in
it. As to that landscape, methinks I see it now—
‘The slow canal, the yellow-blossomed vale,
The willow-tufted bank, the gliding sail.’

There was a windmill, too, with a poor low clay-built cottage


beside it:—how delighted I was when I had made the tremulous,
undulating reflection in the water, and saw the dull canvas become a
lucid mirror of the commonest features of nature! Certainly, painting
gives one a strong interest in nature and humanity (it is not the
dandy-school of morals or sentiment)—
‘While with an eye made quiet by the power
Of harmony and the deep power of joy,
We see into the life of things.’

Perhaps there is no part of a painter’s life (if we must tell ‘the secrets
of the prison-house’) in which he has more enjoyment of himself and
his art, than that in which after his work is over, and with furtive,
sidelong glances at what he has done, he is employed in washing his
brushes and cleaning his pallet for the day. Afterwards, when he gets
a servant in livery to do this for him, he may have other and more
ostensible sources of satisfaction—greater splendour, wealth, or
fame; but he will not be so wholly in his art, nor will his art have such
a hold on him as when he was too poor to transfer its meanest
drudgery to others—too humble to despise aught that had to do with
the object of his glory and his pride, with that on which all his
projects of ambition or pleasure were founded. ‘Entire affection
scorneth nicer hands.’ When the professor is above this mechanical
part of his business, it may have become a stalking-horse to other
worldly schemes, but is no longer his hobby-horse and the delight of
his inmost thoughts—
‘His shame in crowds, his solitary pride!’

I used sometimes to hurry through this part of my occupation, while


the Letter-Bell (which was my dinner-bell) summoned me to the
fraternal board, where youth and hope
‘Made good digestion wait on appetite
And health on both—’

or oftener I put it off till after dinner, that I might loiter longer and
with more luxurious indolence over it, and connect it with the
thoughts of my next day’s labours.
The dustman’s bell, with its heavy, monotonous noise, and the
brisk, lively tinkle of the muffin-bell, have something in them, but
not much. They will bear dilating upon with the utmost licence of
inventive prose. All things are not alike conductors to the
imagination. A learned Scotch professor found fault with an
ingenious friend and arch-critic for cultivating a rookery on his
grounds: the professor declared ‘he would as soon think of
encouraging a froggery.’ This was barbarous as it was senseless.
Strange, that a country that has produced the Scotch novels and
Gertrude of Wyoming should want sentiment!
The postman’s double knock at the door the next morning is ‘more
germain to the matter.’ How that knock often goes to the heart! We
distinguish to a nicety the arrival of the Two-penny or the General
Post. The summons of the latter is louder and heavier, as bringing
news from a greater distance, and as, the longer it has been delayed,
fraught with a deeper interest. We catch the sound of what is to be
paid—eight-pence, nine-pence, a shilling—and our hopes generally
rise with the postage. How we are provoked at the delay in getting
change—at the servant who does not hear the door! Then if the
postman passes, and we do not hear the expected knock, what a pang
is there! It is like the silence of death—of hope! We think he does it
on purpose, and enjoys all the misery of our suspense. I have
sometimes walked out to see the Mail-Coach pass, by which I had
sent a letter, or to meet it when I expected one. I never see a Mail-
Coach, for this reason, but I look at it as the bearer of glad tidings—
the messenger of fate. I have reason to say so. The finest sight in the
metropolis is that of the Mail-Coaches setting off from Piccadilly. The
horses paw the ground, and are impatient to be gone, as if conscious
of the precious burden they convey. There is a peculiar secresy and
despatch, significant and full of meaning, in all the proceedings
concerning them. Even the outside passengers have an erect and
supercilious air, as if proof against the accidents of the journey. In
fact, it seems indifferent whether they are to encounter the summer’s
heat or winter’s cold, since they are borne on through the air in a
winged chariot. The Mail-Carts drive up; the transfer of packages is
made; and, at a signal given, they start off, bearing the irrevocable
scrolls that give wings to thought, and that bind or sever hearts for
ever. How we hate the Putney and Brentford stages that draw up in a
line after they are gone! Some persons think the sublimest object in
nature is a ship launched on the bosom of the ocean: but give me, for
my private satisfaction, the Mail-Coaches that pour down Piccadilly
of an evening, tear up the pavement, and devour the way before them
to the Land’s-End!
In Cowper’s time, Mail-Coaches were hardly set up; but he has
beautifully described the coming in of the Post-Boy:—
‘Hark! ’tis the twanging horn o’er yonder bridge,
That with its wearisome but needful length
Bestrides the wintry flood, in which the moon
Sees her unwrinkled face reflected bright:—
He comes, the herald of a noisy world,
With spattered boots, strapped waist, and frozen locks;
News from all nations lumbering at his back.
True to his charge, the close-packed load behind.
Yet careless what he brings, his one concern
Is to conduct it to the destined inn;
And having dropped the expected bag, pass on.
He whistles as he goes, light-hearted wretch!
Cold and yet cheerful; messenger of grief
Perhaps to thousands, and of joy to some;
To him indifferent whether grief or joy.
Houses in ashes and the fall of stocks,
Births, deaths, and marriages, epistles wet
With tears that trickled down the writer’s cheeks
Fast as the periods from his fluent quill,
Or charged with amorous sighs of absent swains
Or nymphs responsive, equally affect
His horse and him, unconscious of them all.’

And yet, notwithstanding this, and so many other passages that seem
like the very marrow of our being, Lord Byron denies that Cowper
was a poet!—The Mail-Coach is an improvement on the Post-Boy;
but I fear it will hardly bear so poetical a description. The
picturesque and dramatic do not keep pace with the useful and
mechanical. The telegraphs that lately communicated the
intelligence of the new revolution to all France within a few hours,
are a wonderful contrivance; but they are less striking and appalling
than the beacon-fires (mentioned by Æschylus), which, lighted from
hill-top to hill-top, announced the taking of Troy, and the return of
Agamemnon.
ON THE SPIRIT OF MONARCHY

The Liberal.]
[1822.
‘Strip it of its externals, and what is it but a jest?’
Charade on the word Majesty.

‘As for politics, I think poets are Tories by nature, supposing them to be by
nature poets. The love of an individual person or family, that has worn a crown for
many successions, is an inclination greatly adapted to the fanciful tribe. On the
other hand, mathematicians, abstract reasoners, of no manner of attachment to
persons, at least to the visible part of them, but prodigiously devoted to the ideas of
virtue, liberty, and so forth, are generally Whigs. It happens agreeably enough to
this maxim, that the Whigs are friends to that wise, plodding, unpoetical people,
the Dutch.’—Skenstone’s Letters, 1746.

The Spirit of Monarchy then is nothing but the craving in the


human mind after the Sensible and the One. It is not so much a
matter of state-necessity or policy, as a natural infirmity, a disease, a
false appetite in the popular feeling, which must be gratified. Man is
an individual animal with narrow faculties, but infinite desires,
which he is anxious to concentrate in some one object within the
grasp of his imagination, and where, if he cannot be all that he
wishes himself, he may at least contemplate his own pride, vanity,
and passions, displayed in their most extravagant dimensions in a
being no bigger and no better than himself. Each individual would
(were it in his power) be a king, a God: but as he cannot, the next
best thing is to see this reflex image of his self-love, the darling
passion of his breast, realized, embodied out of himself in the first
object he can lay his hands on for the purpose. The slave admires the
tyrant, because the last is, what the first would be. He surveys
himself all over in the glass of royalty. The swelling, bloated self-
importance of the one is the very counterpart and ultimate goal of
the abject servility of the other. But both hate mankind for the same
reason, because a respect for humanity is a diversion to their
inordinate self-love, and the idea of the general good is a check to the
gross intemperance of passion. The worthlessness of the object does
not diminish but irritate the propensity to admire. It serves to
pamper our imagination equally, and does not provoke our envy. All
we want is to aggrandize our own vain-glory at second-hand; and the
less of real superiority or excellence there is in the person we fix
upon as our proxy in this dramatic exhibition, the more easily can we
change places with him, and fancy ourselves as good as he. Nay, the
descent favours the rise; and we heap our tribute of applause the
higher, in proportion as it is a free gift. An idol is not the worse for
being of coarse materials: a king should be a common-place man.
Otherwise, he is superior in his own nature, and not dependent on
our bounty or caprice. Man is a poetical animal, and delights in
fiction. We like to have scope for the exercise of our mere will. We
make kings of men, and Gods of stocks and stones: we are not
jealous of the creatures of our own hands. We only want a peg or
loop to hang our idle fancies on, a puppet to dress up, a lay-figure to
paint from. It is ‘Thing Ferdinand, and not King Ferdinand,’ as it
was wisely and wittily observed. We ask only for the stage effect; we
do not go behind the scenes, or it would go hard with many of our
prejudices! We see the symbols of majesty, we enjoy the pomp, we
crouch before the power, we walk in the procession, and make part of
the pageant, and we say in our secret hearts, there is nothing but
accident that prevents us from being at the head of it. There is
something in the mock-sublimity of thrones, wonderfully congenial
to the human mind. Every man feels that he could sit there; every
man feels that he could look big there; every man feels that he could
bow there; every man feels that he could play the monarch there. The
transition is so easy, and so delightful! The imagination keeps pace
with royal state,
‘And by the vision splendid
Is on its way attended.’

The Madman in Hogarth who fancies himself a king, is not a solitary


instance of this species of hallucination. Almost every true and loyal
subject holds such a barren sceptre in his hand; and the meanest of

Anda mungkin juga menyukai