Full Download Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat Sustainable Integrated Farming System SIFAS Approach Dr. Ir. Ardi Novra PDF
Full Download Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat Sustainable Integrated Farming System SIFAS Approach Dr. Ir. Ardi Novra PDF
Full Download Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat Sustainable Integrated Farming System SIFAS Approach Dr. Ir. Ardi Novra PDF
com
DOWLOAD EBOOK
OR CLICK LINK
http://ebookstep.com/product/membangun-industri-
peternakan-sapi-potong-rakyat-sustainable-
integrated-farming-system-sifas-approach-dr-ir-
ardi-novra/
https://ebookstep.com/product/industri-kimia-dr-ir-hasmawaty-a-r/
https://ebookstep.com/product/wacana-agribisnis-pertanian-dan-
peternakan-prof-dr-ir-sutawi-m-p/
https://ebookstep.com/product/model-bisnis-integrated-farming-
management-pada-lahan-basah-rusniati-m-riza-firdaus/
https://ebookstep.com/product/entrepreneurship-membangun-jiwa-
entrepreneur-anak-melalui-pendidikan-kejuruan-dr-ir-hasanah-m-t/
Sexing Spermatozoa Hasil Penelitian Laboratorium dan
Aplikasi pada Sapi dan Kambing Prof Dr Ir Trinil
Susilawati M S
https://ebookstep.com/product/sexing-spermatozoa-hasil-
penelitian-laboratorium-dan-aplikasi-pada-sapi-dan-kambing-prof-
dr-ir-trinil-susilawati-m-s/
https://ebookstep.com/product/membangun-ekosistem-industri-halal-
di-indonesia-puji-muniarty/
https://ebookstep.com/product/creativepreneurship-membangun-
bisnis-di-industri-kreatif-rudy-aryanto/
https://ebookstep.com/product/membangun-karakter-berwawasan-
kebangsaan-ir-helena-ras-ulina-sembiring/
https://ebookstep.com/product/desain-rumah-tinggal-berbasis-
kearifan-lokal-suku-bugis-yang-berwawasan-lingkungan-prof-dr-h-
muhammad-ardi-m-s-dr-ir-bakhrani-rauf-m-t-dr-mithen-m-t/
i
PENULIS
Dr. Ir. Ardi Novra, MP
ISBN: 9786025094637
EDITOR:
Ir. M. Afdhal, MSc., PhD
Prof. Dr. Ir. H. Nurhayati, MSc.agr
Dr. Sc.agr. Ir. Tedja Kaswari, MSc
PENYUNTING:
Dr. Ir. Pahantus Maruli, MSi
PENERBIT:
Unit Publikasi Fakultas Peternakan Universitas Jambi
REDAKSI:
Fakultas Peternakan Universitas Jambi
Kampus UNJA Pinang Masak Jl. Jambi - Muaro Bulian KM. 15
Mendalo Indah - JAMBI 36361
Tel. 0741-582907
Fax. 0741-582907
Email: [email protected]
DISTRIBUTOR TUNGGAL
Unit Publikasi Fapet Unja Kampus UNJA Pinang Masak
Jl. Jambi - Muaro Bulian KM. 15 Mendalo Darat - JAMBI 36361
Tel. 0741-582907
Fax. 0741-582907
Email: [email protected]
ii
PENGANTAR
Rektor Universitas Jambi
iii
PENGANTAR
Dekan Fakultas Peternakan Universitas Jambi
Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris yang kaya akan sumber daya
alam termasuk sumber daya pendukung pengembangan sub sektor peternakan.
Ketersediaan daging yang cukup pada era orde baru dan awal reformasi mampu
memenuhi kebutuhan daging nasional sehingga tidak tergantung pada daging
impor. Pasca reformasi, situasi ini berubah dimana perubahan fungsi lahan yang
cukup signifikan menyebabkan sistem peternakan yang dikembangkan tidak
berkelanjutan dan penghargaan terhadap petani peternak semakin rendah.
Akibatnya upaya pemenuhan kebutuhan protein hewani tidak dapat dicapai dan
solusi pemerintah melalui impor daging beku juga tidak dapat menyelesaikan
persoalan harga daging dan pemenuhan kebutuhan protein hewani. Terbitnya
buku ini ‘Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat, Sustainable
Integrated Farming System (SIFAS) Approach” diharapkan dapat menjadi acuan
bagi pemangku kepentingan terkait pengembangan peternakan rakyat sehingga
Indonesia tidak lagi menjadi negara pengimpor daging.
Buku ini selain menggambarkan kondisi peternakan rakyat dan permasalahan
yang ada juga memberikan alternatif solusi program dan kegiatan yang dapat
dilakukan guna kembali memberdayakan peternakan rakyat yang terintegrasi
dengan potensi wilayah setempat terutama dengan perkebunan sawit sehingga
dapat mengurangi biaya produksi, meningkatkan kuantitas dan kualitas daging
yang dihasilkan juga ramah lingkungan dengan memanfaatkan limbah
perkebunan sawit sebagai bahan pakan dan limbah peternakan sebagai pupuk di
lahan perkebunan.
Akhirnya semoga buku ini dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya sebagai
acuan bagi mahasiswa dan dosen Peternakan, pengambil kebijakan dan
pemangku kepentingan lainnya untuk kembali menjadikan Indonesia sebagai
negara penghasil daging yang cukup secara kualitas dan kuantitas guna
pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat Indonesia.
iv
PENGANTAR
Pengamat Pembangunan Peternakan
Diantara banyak penulis buku yang diterbitkan mengenai ternak sapi potong di
Indonesia, buku yang ditulis Saudara Ardi Novra, merupakan buku yang cukup
komprehensif mengungkap semua masalah yang terjadi mengenai
pembangunan peternakan sapi potong. Penulis mampu mengungkap berbagai
persoalan aktual dan sangat spesifik, mulai dari Kebijakan dasar pembangunan
peternakan sapi potong sampai kepada masalah zooteknis yang sangat detail.
Buku ini, sangat layak dibaca berbagai lapisan masyarakat terutama pelajar,
mahasiswa dan kalangan kampus karena akan sangat bemanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan ternak sapi potong. Sedangkan bagi para
praktisi dan pengusaha sangat penting karena mereka memerlukan informasi
aktual mengenai kebijakan dan aspeksosial ekonomi lainnya tentang
pembangunan peternakan terutama berkaitan dengan berbagai alternatif
pengembangan peternakan pada masa akan agar tidak lagi konvensional.
Beberapa contoh-contoh alternatif integrasi yang aktual dan implementatif dapat
diadopsi para penentu kebijakan, khususnya pemerintah baik pusat maupun
daerah.
Saya percaya dan sangat yakin dengan kemampuan dan pengalaman Penulis
menuangkannya dalam buku ini sangat sarat dengan data-data akurat. Sehingga
sangat pantas buku ini dijadikan rujukan bagi para pihak yang memerlukannya.
Sebagai rekan sejawat di Perhimpunan Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan
(PERSEPSI), saya mengucapkan selamat atas penerbitan buku ini, kiranya kami
menunggu karya-karya berikutnya yang mampu mewarnai pembangunan
peteranakn sapi potong nasional.
Wassalam dan terima kasih
v
PRAKATA
Indonesia adalah net importir daging sapi dengan trend perkembangan volume
dan nilai impor selama periode 2010 sampai 2017 terus mengalami peningkatan
dari tahun ke tahun. Ketidakberdayaan produksi domestik guna memenuhi
kebutuhan konsumen yang terus meningkat menyebabkan negara yang kaya
sumberdaya alam peternakan ini terus mengalami pengurasan devisa. Salah
satu sumber yang diduga menjadi penyebab adalah inkonsistensi dalam
kebijakan seperti yang akan disajikan pada BAB I tentang analisis kebijakan
pembangunan peternakan sapi potong sejak dicanangkannya program PSDS
2007 sampai berlangsung program UPSUS SIWAB era pemerintahan kabinet
kerja sekarang. Inkonsistensi kebijakan yang menyebabkan tidak hanya terjadi
pembangunan yang tidak fokus dan tidak berkelanjutan tetapi juga menyebabkan
pemborosan sumberdaya dan kebingungan implementasi bagi instansi teknis
dan pengambil kebijakan di daerah. Semoga pada masa akan datang, kebijakan
yang didasari oleh ego sektoral dan kekuasan dan bahkan ego keilmuan tidak
lagi terjadi seiring dengan terbentuknya pemerintahan baru terlepas dari
siapapun nanti yang terpilih sebagai nahkoda Negara Kesatuan Republik
Indonesia tercinta ini.
Kata orang bijak “menjadi berguna tidak harus menunggu jadi utama” adalah
ungkapan penuh makna yang dapat diaplikasikan dalam peningkatan peran
sektor peternakan dalam pembangunan. Posisi mayoritas usaha peternakan sapi
potong selama ini bukan sebagai sumber pendapatan (pekerjaan) utama tetapi
lebih sebagai sumber pendapatan tambahan dan malahan sebagai tabungan.
Posisi peternakan sapi potong dalam kenyataannya tidak membuat komoditas ini
merasa terabaikan karena mampu hadir sebagai solusi pemecahan masalah
dalam kehidupan masyarakat terutama rumah tangga pertanian. Pada BAB II
tentang Perkembangan Sistem Integrasi akan dijelaskan tentang peran usaha
ternak sapi potong dalam berbagai kondisi perekonomian. Usaha ternak sapi
potong bisa hadir sebagai solusi alternatif dalam krisis ekonomi 1997 dan
ekonomi global 2008, serta pasca kebakaran hutan dan lahan 2015 dan program
pengendalian karhutla berbasis pemberdayaan masyarakat sekitas kawasan
konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI). Bahkan peternakan sapi potong
berpotensi bisa hadir sebagai solusi pemecahan masalah kehilangan
pendapatan sementara (temporary lost income) sebelum dan selama proses
peremajaan sawit dan karet rakyat.
Buku sistem integrasi tanaman ternak berkelanjutan (Sustainable integrated
farming system atau SIFAS) ini merupakan rangkuman perjalanan panjang
kegiatan penelitian dan pengabdian pada masyarakat, serta kerjasama
penyusunan rencana program dan kegiatan beberapa lembaga terkait sejak
tahun 2007, antara lain:
1. Percepatan Swasembada Daging Sapi 2012 menuju Surplus Produksi 2017:
Roadmap Produk Unggulan Peternakan Provinsi Jambi, kerjasama dengan
Dinas Peternakan Provinsi Jambi (2007)
2. Study Kelayakan Pengembangan Wilayah Integrasi Ternak Sapi Potong
Provinsi Jambi, kerjasama dengan Dinas Peternakan Provinsi Jambi (2008).
vi
3. Solusi Alternatif Penanganan Dampak Krisis Global Terhadap Keragaan
Sosial Ekonomi Rumah Tangga Perkebunan, Hibah Kompetitif Penelitian
Sesuai Strategis Nasional Bacth III, Kerjasama Kementan RI dan Dikti
(2009)
4. Kajian Teknologi Tepat Guna (TTG) untuk Mendukung Program SAMISAKE,
Kerjasama dengan BALITBANGDA Provinsi Jambi (2010)
5. Pengembagan Kelompok Mitra Pengelola “Buffer Stock” Ternak Sapi
Pemerintah untuk Tujuan Stabilisasi Harga Daging, kerjasama dengan
BAPPEDA Provinsi Jambi (2010)
6. Study Kelayakan Usaha Integrasi Sawit Sapi (ISS) PT. Perkebunan
Nusantara VI, kerjasama dengan PTPN VI Persero Wilayah Sumbar-Jambi
(2011)
7. Redesain Sistem Distribusi Ternak Bibit dalam Rangka Penguatan Kapasitas
Kelembagaan Untuk Penanganan Dini Pengurasan Sapi Betina Produktif,
Penelitian Hibah Bersaing DP2M Dikti (2012)
8. Desain Kebijakan dan Model Kelembagaan Partisipatif Program
Penanganan Pengurasan Ternak Sapi Betina Produktif, Hibah Penelitian
Hibah Strategis Nasional DP2M Dikti (2012 - 2013).
9. Pengembangan dan Penguatan Kelompok Usaha Pelaku Integrasi Sawit
Sapi berbasis Limbah di Kecamatan Mestong, IPTEKDA-LIPI (2013 dan
2015).
10. Pemulihan Ekonomi Rumah Tangga Petani Sawit Terkena Dampak
Kebakaran Hutan dan Lahan, Program Pengabdian kepada Masyarakat
(PPM) Karhutla LPPM Universitas Jambi (2016)
11. Rencana Pengembangan Kawasan SPR (Sentra Peternakan Rakyat)
Kabupaten Merangin, kerjasama dengan Dinas Perikanan dan Peternakan
Kabupaten Merangin (2016).
12. Model Aksi Kolektif untuk Kemandirian Rumah Tangga Menghadapi
“Temporary Lost Income” Program Replanting Karet Rakyat, Hibah
Penprinas MP3EI DPRM Kemenristek Dikti (2015 - 2017).
13. Implementasi Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan Berbasis Desa di
Sekitar Perkebunan Sawit PT. Bahari Gembira Ria, kerjasama LPPM Unja,
PT. BGR dan Minamas Plantation (2018)
Ucapan terima kasih disampaikan khusus kepada Rektor, Dekan Fakultas
Peternakan dan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
(LPPM) Universitas Jambi. Teruntuk rekan-rekan staf pengajar Fapet Unja yang
selama ini telah berkerja sama dalam berbagai kegiatan penelitian, pengabdian
dan kerjasama terucap salah kompak selalu. Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir.
Adriani, MSi., Dr. Ir. Yusrizal, MSc., Dr. Ir. Suparjo, MP, Dr. Firmansyah, SPt, MP.,
Ir. Sri Novianti, MP., Drs. Nelson, MSi, Ir. Abdul Latief, MSi., Ir. Suhessy Syarif,
MP dan lain-lain atas kerjasama dan dukungannya.
Ucapan terima kasih juga untuk Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan,
Kepala BAPPEDA dan BALITBANGDA Provinsi Jambi periode 2007 sampai
2016 atas kepercayaan yang telah diberikan. Terspesial untuk para petani mitra
kerjasama lapangan terutama Kelompok Tani Sumber Rezeki Desa Mestong
Kabupaten Batanghari dan Kelompok Tani Mekar Jaya Desa Dataran Kempas
vii
Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Semangat dan motivasi kalian adalah pemacu
bagi Penulis untuk dapat berkontribusi dalam lebih besar dalam
mengembangkan riset berbasis kebutuhan “At this type of event you meet people
that you wouldn’t ordinarily meet, and they can give you really interesting insights
into the kinds of things that are needed. And there are a lot of users here, as
opposed to researchers, and therefore you start thinking about the kinds of
products that we need to deliver as scientists. We essentially want to make our
research demand-driven”.
Bak kata pepatah Tidak Ada Gading yang Tak Retak karena kesempurnaan itu
hanya milik Sang Pencipta Langit dan Bumi Allah, SWT. Masih banyak
kelemahan dan kekurangan dalam tulisan ini dan untuk itu Penulis membuka luas
masukan dan kritikan.
Akhirnya, semoga isi dalam buku ini bermanfaat bagi kita semua baik dalam
pengambilan kebijakan, implementasi lapangan, dan pengembangan ilmu
pengetahuan. Sbelumnya diucapkan salam dan terima kasih atas masukan dan
kritik yang disampaikan.
viii
DAFTAR ISI
ix
4.6. Model dan Kelayakan Integrasi Sawit Sapi (ISS) BUMN
Perkebunan .......................................................................... 95
4.6.1. Analisis Potensi Pasar dan Strategi Pemasaran...... 97
4.6.2. Aspek Managemen dan Organisasi ......................... 101
4.6.3. Aspek Teknis dan Produksi ..................................... 105
4.6.4. Aspek Finansial dan Ekonomi ................................. 109
4.6.5. Kesimpulan Analisis Kelayakan ISS ........................ 113
BAB V. SIFAS: Sustainable Integrated Farming Siystem ........................ 116
5.1. Sistem Integrasi Tanaman dan Ternak ................................ 117
5.2. Membangun Sistem Integrasi Berkelanjutan ....................... 119
5.2.1. Teknologi Sebagai Penghubung .............................. 120
5.2.2. Teknologi Introduksi dan Penguatan Kelembagaan. 122
5.2.3. Kebijakan Pendukung .............................................. 124
BAB VI. Kelembagaan SIFAS: Tatakelola Kolektif Industrialisasi Sapi
Potong ......................................................................................... 126
6.1. Model Kelembagaan SIFAS ................................................ 127
6.2. Peran dan Kedudukan Pelaku dalam SIFAS ...................... 129
6.2.1. Peran dan Kedudukan Rumah Tangga Peternak..... 129
6.2.2. Peran dan Kedudukan Kelompok Peternak ............. 131
6.2.3. Peran dan Kedudukan Sentra Jasa Layanan .......... 136
BAB VII. Penutup ....................................................................................... 139
REFERENSI ................................................................................................ 142
APPENDIX 1. PANDUAN PRODUKSI: Trychokompos Insitu (Pupuk
Organik Padat) ..................................................................... 145
APPENDIX 2. PANDUAN PRODUKSI: Biourine “A” Plus (Pupuk Organik
Cair) ..................................................................................... 153
x
DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xii
Gambar 6.1. Kebijakan Satu Pintu dalam Tatakelola Kawasan SIFAS…. 128
Gambar 6.2. Bak Koleksi Urine dan Pengeringan Limbah Padat ………. 130
Gambar 6.3. Peran dan Kedudukan Kelompok Peternak ……………….. 132
Gambar 6.4. Pohon Industri Komoditas Sapi Potong ……………………. 134
Gambar 6.5. Pemberdayaan dan Kelembagaan Kelompok Peternak
Sapi ……………………………………………………………... 135
Gambar 6.6. Jasa Layanan Peternakan …………………………………… 136
Gambar 6.7. Siteplan Pengembangan Sentra Jasa Layanan …………… 137
xiii
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat
Indonesia merupakan negara net impor produk daging sapi dengan volume dan
nilai impor (harga CIF) pada tahun 2017 masing-masing 160.198 ton dan US $
572.029 ribu. Volume dan nilai impor daging sejenis lembu ini mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun seperti disajikan pada Gambar 1.1
Gambar 1.1.
Perkembangan Volume dan Nilai Impor Daging Sejenis Lembu Indonesia (2010 - 2017)
Volume impor daging sejenis lembu mengalami peningkatan sebesar 20,04% dari
140.141 ton tahun 2010 menjadi 160.198 ton pada tahun 2017 atau mengalami
peningkatan rata-rata 2,86% (2.865 ton) setiap tahunnya. Peningkatan laju
pertumbuhan volume impor diikuti dengan kenaikan laju pertumbuhan nilai impor
yang lebih besar yaitu 48,59% dari US$ 394.99 juta tahun 2010 menjadi US$
572,03 juta pada tahun 2017 atau mengalami peningkatan sebesar 6,94% (US$
177,04 juta) setiap tahunnya. Perkembangan data impor daging ini tidak hanya
menyajikan laju pertumbuhan impor yang semakin meningkat tetapi dengan laju
pertumbuhan nilai yang lebih besar dibanding volume impor mengindikasikan
terjadinya kenaikan harga daging sapi di pasar internasional atau negara asal
daging impor..
Negara utama asal impor daging sejenis lembu di Indonesia berdasarkan data
perdagangan luar negeri Badan Pusat Statistik (BPS) adalah Australia, Amerika
Serikat dan Selandia Baru seperti disajikan pada Gambar 1.2.
Gambar 1.2.
Negara Asal Impor Daging Sejenis Lembu Indonesia Tahun 2017
Pada tahun 2017 negara asal terbesar impor daging sejenis lembu adalah
Australia dengan proporsi 53,18% atau lebih dari separo impor daging Indonesia,
kemudian diikuti Selandia Baru dan USA. Komposisi impor daging terbesar dari
Australia dan Selandia Baru ini diduga bukan karena faktor harga yang lebih
murah tetapi lebih kepada sejarah hubungan perdagangan bilateral antara kedua
negara serta faktor kedekatan wilayah dan ketersediaan daging di Australia dan
Selandia Baru. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan harga daging (CIF)
masing-masing negara asal impor daging Indonesia pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1.
Perkembangan Harga Daging Sejenis Lembu Negara Asal Impor Indonesia
(CIF: US$/kg).
Harga CIF (Cost Insurance, and Freight) adalah harga daging setelah
ditambahkan dengan biaya pengiriman termasuk asuransi sampai ke pelabuhan
Indonesia yang ditanggung oleh eksportir. Perbandingan harga CIF ini
mengindikasikan bahwa harga pokok pembelian daging sapi pada setiap negara
hampir sama tetapi karena biaya pengiriman dari Australia lebih murah maka
harga CIFnya juga lebih rendah. Terkait dengan perkembangan harga impor,
yang lebih menarik untuk dibahas adalah terjadinya kenaikan harga pada pasar
internasional. Selama periode tahun 2010 - 2017 setiap tahun harga daging impor
mengalami kenaikan sebesar 3,36% (US$ 0,11/kg). Kenaikan volume yang diikuti
dengan kanaikan harga impor akan menyebabkan semakin besarnya devisa
negara terkuras untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri.
Gambar 1.3.
Perkembangan Harga Daging Sapi Dunia 2010 - 2019
Kenaikan harga daging sapi global (Gambar 1.3) diduga karena peningkatan
permintaan (demand) daging sapi dunia lebih besar dibanding pertumbuhan
produksi (supply). Harga daging sapi dunia sudah mulai mengalami kenaikan
sejak tahun 2010 sampai mencapai puncaknya pada tahun 2014 dimana harga
mendekati sekitar US$ 5/kg. Harga tertinggi ini tidak bertahan lama karena pada
tahun 2015 terjadi penurunan drastis sehingga mencapai tingkat harga US$ 4,061
pada tahun 2016. Trend kenaikan volume, nilai dan harga daging impor ternyata
belum mampu mendorong perbaikan kinerja peternakan sapi potong domestik
yang terlihat dari laju pertumbuhan populasi yang negatif seperti Gambar 1.4.
Gambar 1.4.
Perkembangan Populasi dan Pemotongan Ternak Sapi dan Kerbau (2010 - 2017)
Selama periode tahun 2010 - 2017 masih terjadi peningkatan pemotongan ternak
sapi domestik yang menyebabkan populasi ternak sapi mengalami penurunan
penurunan. Laju pertumbuhan pemotongan ternak sapi 2,72%/tahun diikuti
dengan laju penurunan populasi sebesar 2,35%/tahun. Peningkatan jumlah
pemotongan ternak sapi berkaitan dengan menurunnya laju pertumbuhan
pemotongan ternak kerbau. Laju penurunan pemotongan ternak kerbau
6,91%/tahun diikuti dengan laju penurunan populasi yang lebih cepat yaitu
14.32%/tahun. Banyak indikasi yang dapat kita ambil dari perkembangan kinerja
kedua jenis ternak ruminansia besar ini antara lain tekanan terhadap populasi
ternak sapi masih terus terjadi dengan semakin meningkatnya pemotongan dan
semakin langkanya ketersediaan barang substitusi sempurnanya yang berasal
dari pemotongan ternak kerbau.
Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) 2014 yang merupakan program yang
keempat kalinya sejak dicanangkan pada tahun 1995 telah gagal dalam
pencapaiannya (Tawaf, 2015). Penyebab kegagalan karena ‘kesalahan hitung”
yang dikemukakan Mentan Suswono pada akhir masa jabatannya merupakan
manivestasi dari kontroversi yang terjadi antara ‘farming system versus sistem
agribisnis’ yang sejak lama menjadi perdebatan dalam implementasi. Pilihan
antara pengembangan farming system yang lebih dikenal dengan istilah usaha
ternak rakyat/peternakan rakyat, atau perusahaan peternakan yang menganut
konsep sistem agribisnis dalam membangun peternakan.
Program SPR baru berjalan dalam hitungan tahunan (< 2 tahun) tiba-tiba
digantikan dengan Upsus-Siwab (Upaya Khusus Percepatan Populasi Sapi dan
Kerbau Bunting). Salah satu penyebab program ini belum berjalan baik karena
masih ada tarik menarik soal jumlah SPR antara Dirjen PKH yang mencanangkan
500 ribu SPR, sementara Menteri Pertanian hanya menginginkan 50 SPR.
Program Upsus Siwab yang diluncurkan Kementan sejak 2016 mencakup dua
program utama yaitu peningkatan populasi melalui Inseminasi Buatan (IB) dan
Intensifikasi Kawin Alam (Inka). Secara teoritis menurut Ilham (2017) kerangka
pikir siklus kerja dan faktor-faktor yang menentukan keberhasilan program Upsus
Siwab dimulai dari kondisi ternak betina sasaran, kondisi ternak pejantan atau
petugas, fasilitas IB, dan kemampuan peternak. Program Siwab merupakan
amanat dari Peraturan Menteri Pertanian Nomor 48/Permentan/PK.210/10/2016
tentang Upaya Khusus Percepatan Peningkatan Populasi Sapi dan Kerbau
Bunting menghadapi banyak tantangan. Salah satunya adalah penanganan
gangguan reproduksi dan IB yang membutuhkan keahlian dan dukungam fasilitas
berupa kontainer di depo Kabupaten/Kota, serta komunikasi dan harmonisasi
pelaksanaan lapangan.
kabinet baru diiringi dengan kebijakan yang lebih implementatif, terintegrasi dan
berkelanjutan. Kebijakan yang lebih mengutamakan kemakmuran stakeholder
peternakan dan bukan karena adanya ego kekuasaan, ego sektoral apalagi ego
bidang keilmuan.
Konsep ini merupakan model industri peternakan pada masa akan datang yang
menggabungkan antara konsep farming system dengan sistem agribisnis yang
berkerakyatan (Tawaf, 2019). Arah dan kebijakan pembangunan peternakan sapi
potong terlihat dari grand desain atau lebih terinci pada roadmap (peta jalan)
pengembangan sapi dan kerbau tahun 2016 - 2045.
Grand desain pengembangan sapi dan kerbau tahun 2045 dicapai melalui 4
(empat) tahapan sesuai dengan roadmap pengembangan sapi dan kerbau
(Gambar 2.1), yaitu a) swasembada dan rintisan ekspor pada tahun 2022, b)
ekspor pada tahun 2026, c) pemantapan ekspor pada tahun 2035, dan d)
lumbung pangan Asia pada tahun 2045.
Gambar 2.1.
Roadmap Pengembangan Sapi dan Kerbau
(Sumber: Dirjen PKH)
Pondasi menuju swasembada daging sapi tahun 2022 yaitu dengan percepatan
peningkatan populasi sapi, khususnya jumlah indukan sapi sebagai basis sumber
produksi melalui program Upsus Siwab 2017 dengan target kebuntingan
sapi/kerbau tiga juta ekor dari empat juta ekor asepktor (75%). Kebijakan
3. Penambahan indukan impor baik oleh pemerintah ataupun melalui peran dan
kontribusi swasta (feedlotter) yang memasukkan indukan sebagai prasyarat
impor sapi bakalan. Penambahan sapi indukan impor pengembangannya
akan difokuskan pada enam UPT Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan,
yaitu BPTU-HPT Indrapuri, Siborong-borong, Sembawa, Padang Mangatas,
Pelaihari dan BBPTU-HPT Baturraden, 39 UPTD provinsi/kabuapten/kota
dan padang penggembalaan milik pemerintah daerah.
Target bertambahnya usaha sapi skala menengah dan besar jika dimaknai
dengan peningkatan skala kepemilikan rumah tangga dan target kontirbusi usaha
peternakan rakyat 20% tahun 2045, maka ada beberapa simpulan yang bisa
diambil:
2. Peningkatan skala usaha rakyat menjadi skala menengah dan besar secara
tidak langsung akan menggeser peran usaha ternak sapi dalam rumah
tangga dari usaha sambilan atau sekedar tabungan menjadi industri atau
usaha pokok (utama) atau minimal cabang usaha.
Agenda besar pencapaian target sasaran untuk menjadi lumbung pangan Asia
tahun 2045 tidak hanya ditandai dengan peningkatan produksi, populasi dan
ekpor komoditas ternak sapi dan kerbau tetapi juga dengan perubahan struktural
pelaku usaha peternakan. Jika selama ini pemasok utama kebutuhan daging
domestik adalah usaha peternakan rakyat, maka pada tahun 2045 lebih
mengandalkan usaha ternak sapi potong skala menengah dan besar (80%) dan
sisanya 20% dari usaha peternakan rakyat (Gambar 2.2)..
Gambar 2.2.
Tahapan Transformasi Struktur Produksi Daging Sapi dan Kerbau
Hasil sensus peternakan tahun 2013 sebagai basis, maka 5,07 juta rumah tangga
peternak sapi potong dimana 66,34% mengusahakan hanya 1 - 2 ekor ternak sapi
dan 75,75% tujuan pemeliharaan rumah tangga adalah untuk dikembangbiakan
dan bukan untuk dijual. Pemeliharaan ternak sapi hanya 65,96% dari 5,07 juta
rumah tangga peternak yang mengandangkan ternaknya, sedangkan 34,14%
sengaja dilepas seperti pola peternakan di Australia (Suryamin, 2014). Survey
Pertanian Antar Sensus (SUTAS) 2018 mencatat populasi ternak sapi potong
mencapai 16,4 juta ekor, sapi perah 0,58 juta ekor dan kerbau 0,89 juta ekor yang
dijadikan sebagai Angka Tetap (Populasi Awal) untuk estimasi angka populasi
sampai sensus berikutnya tahun 2023. Jika kita asumsikan bahwa jumlah
populasi ternak sapi yang dipelihara usaha peternakan rakyat tahun 2045 adalah
8,35 juta (20% dari 41,74 juta). Artinya, dengan rata-rata kepemilikan 2 ekor maka
akan diperoleh jumlah rumah tangga peternak rakyat sekitar 4,17 juta. Suatu
angka penurunan yang sangat cukup realistis dari 5,07 juta rumah tangga tahun
2013 atau menurun sebesar 0,90 juta atau mengalami penurunan 17,75% selama
kurun waktu 2013-2045 (32 tahun) atau rata-rata menurun sekitar 0.55%/tahun.
Bak “Naik Turun Tangga”, menurun akan terasa lebih mudah dibanding dengan
naik tangga yang membutuhkan sumberdaya dan energi yang lebih besar untuk
sampai pada anak tangga terakhir. Turun dalam roadmap tidak serta merta
diartikan sebagai penurunan total jumlah rumah tangga peternak tetapi sebagian
peternak rakyat bertransformasi menjadi peternak skala menengah dan/atau
besar. Transformasi struktural inilah yang seharusnya menjadi agenda terbesar
dalam pencapaian target dan sasaran grand desain dan roadmap pengembangan
sapi dan kerbau, yaitu melalui.
Artinya bahwa tidak akan ada niat dari pemerintah untuk mengurangi atau
menghambat peternakan rakyat tetapi didorong untuk memiliki skala ekonomis
dengan tetap memotivasi timbulnya wirausaha baru. Kembali kepada naik turun
tangga maka kita abaikan cara untuk turun dan fokus pada bahasan cara naik
karena butuh energi besar dan kadang banyak ditemui kendala. Pengalaman
berbagai program dan kegiatan pada masa lalu tentu dapat menjadi rujukan agar
lebih mudah menapaki setiap anak tangga untuk mencapai tujuan utama. Agar
pada masa datang tak timbul lagi “kebijakan yang tidak bijak” dan bahkan
bernuansa “komedi”. Kebijakan yang katanya berorientasi kepada rakyat tetapi
dalam implikasinya terkesan mengabaikan peternakan rakyat, kebijakan yang
katanya berbasis pemanfaatannya potensi sumberdaya yang kaya raya tetapi
dalam skenarionya masih tetap fokus pada wilayah prioritas tertentu yang kadang
sudah eksis dan sulit dipaksakan untuk berkembang. Pada program PSDS 2014,
dari 18 provinsi sebagai sentra sapi potong telah dikelompokkan menjadi 3
kelompok daerah prioritas.
3. Kelompok III Daerah Prioritas Kawin Alam yaitu Provinsi Nusa Tenggara
Timur, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.
1. Ternak sapi yang dipelihara oleh mayoritas rumah tangga peternak sapi
rakyat adalah bagian tak terpisahkan dari usahatani lainnya baik rumah
tangga petani pangan maupun perkebunan atau dengan kata lain usaha
ternak sapi bukan merupakan usaha tunggal (utama) .
2. Tujuan utama pemeliharaan ternak sapi bagi rumah tangga perdesaan bukan
untuk dijual tetapi lebih sebagai tabungan yang hanya akan dilepas untuk
memenuhi kebutuhan yang memerlukan dana besar seperti acara selamatan
(aqiqah, kitanan, pernikahan), memasuki tahun ajaran baru sekolah, dan
ibadah (haji, umroh dan lainnya) serta kebutuhan acara adat istiadat terkait
dengan budaya setempat.
4. Ternak sapi bagi rumah tangga usahatani terdiversifikasi adalah asset yang
fleksibel, sehingga ketika terjadi kelangkaan sumberdaya tenaga kerja maka
dalam rangka rasionalisasi pilihan prioritas utama adalah pelepasan ternak
sapi dibanding pelepasan asset lain seperti lahan. Kasus yang dapat
dijadikan contoh adalah pada saat musim kemarau panjang dan kebakaran
hutan dan lahan akibat elnino tahun 2015. Pada saat terjadi kelangkaan
sumber pakan hijauan ternak banyak rumah tangga yang melakukan
rasionalsasi usaha ternak dengan menjual ternak sapi karena tenaga kerja
yang tersedia tidak mampu memenuhi kebutuhan pakan ternak.
Beberapa karakteristik dan perilaku tersebut diatas tidak akan pernah terungkap
dalam data statistik termasuk dalam buku-buku teks tetapi merupakan realita
yang diyakini pasti ada pada peternakan sapi potong rakyat. Secara teoritis ilmu
ekonomi semua dapat dijelaskan yang akan berujung pada suatu kesimpulan
bahwa “rumah tangga peternak sapi potong adalah pelaku ekonomi yang
rasional” yang selayaknya jadi bahan pemikiran dalam pengambilan keputusan
atau kebijakan. Selama ini mereka hanya dianggap sebagai objek bagi kita yang
“merasa sangat tahu”, padahal peran mereka sebagai pelaku sangat menentukan
keberhasilan suatu kebijakan. Semuanya tergantung para pemegang kuasa
kebijakan, apakah akan memaksakan target skala usaha dengan mengabaikan
perilaku peternak atau tetap mengakomodir perilaku tersebut dengan mengurangi
target sasaran yang ingin dicapai.
Agenda kedua dalam transformasi dari usaha peternakan skala kecil menuju
usaha menengah dan besar adalah membangkitkan wirausaha baru dalam
bidang usaha peternakan sapi potong. Selama ini investasi dalam usaha
peternakan sapi potong masih relatif “sangat rendah” dan hanya terbatas pada
sektor jasa dan perdagangan seperti feedlot (penggemukan). Feedlot adalah
suatu sistem manajemen di mana penggembalaan ternak sapi dilakukan secara
alami pada areal terbatas yang tidak menghasilkan pakan dan pakan ternak
dipasok dari tempat lain atau stok pakan yang ada. Sejauh ini dikenal empat
sistem penggemukan yang diterapkan, yakni sistem pasture fattening, dry lot
fattening, sistem kombinasi yakni pasture dan dry lot fattening, dan sistem
kereman (penggemukan) dry lot fattening yang lebih sederhana.
waktu tertentu ternak tersebut diganti dengan ternak bakalan yang baru.
Manajemen tata laksana pemeliharaannya juga relatif lebih mudah dan lebih
sederhana, sehingga kita dapat dengan mudah melakukan pengawasan terhadap
aktivitas usaha ternak.
Pada sisi lain, investasi dalam usaha peternakan sapi untuk tujuan pembibitan
masih sangat langka dan mayoritas merupakan investasi publik yang dilakukan
terbatas hanya oleh pemerintah pusat. Peran pemerintah daerah dan dunia usaha
dalam usaha pengembangbiakan ini masih sangat rendah karena membutuhkan
investasi besar dan bersifat jangka panjang (long-run investment) serta memiliki
margin keuntungan yang rendah. Hasil analisis kelayakan Balai Pembibitan
Ternak (BPT) Sapi Potong Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi
menunjukkan bahwa pada aspek finansial diperoleh tingkat pengembalian modal
(IRR) hanya 3,56% (Novra et al, .2009).
Pengembangan BPT ini meskipun masih layak bagi proyek pembangunan sektor
publik tetapi kurang diminati para pemilik modal swasta karena daya saing
investasi sektor atau proyek pembibitan sapi potong relatif lebih rendah dibanding
sektor lainnya. Padahal dari aspek ekonomi dampak pegembangan BPT Sapi
Potong melalui pola kemitraan memberikan keuntungan finansial bagi masyarakat
mitra binaan, mengurangi ketergantungan dan belanja daerah untuk pengadaan
bibit, memperkuat daya tahan ekonomi rumah tangga perdesaan melalui
diversifikasi sumber-sumber pendapatan serta dapat diintegrasikan dengan
pengembangan desa mandiri energi dan pangan, pemenuhan kebutuhan pupuk
organik substitusi pupuk komersial dan upaya transformasi sistem pemeliharaan
menuju sistem pemeliharaan ternak sapi secara intensif.
sapi bakalan dan satu sapi indukan yang diperuntukkan untuk budidaya kembali
oleh petani.
sedikit dari mereka yang bertahan jadi pengusaha peternakan sapi potong.
Banyak penyebab dari kegagalan bertahan tersebut dan tidak hanya berkaitan
dengan hal teknis misalnya kerugian usaha akibat kinerja usaha tidak mencapai
target sasaran. Sebahagian ada yang berhenti karena mendapatkan pekerjaan
baru dan bahkan karena performans yang bagus diangkat menjadi pegawai
pemerintah meskipun sebagai honorer dengan gaji yang lebih kecil.
Makna di balik semua itu adalah ternyata mereka yang sudah mencoba untuk
terjun jadi pengusaha peternakan sapi potong itu sendiri tidak percaya bahwa
usaha yang dimodali pemerintah bisa menjadi jaminan hidup. Mereka lebih
memilih pekerjaan lain meskipun untuk sementara harus mendapat gaji yang
lebih kecil tetapi lebih bisa menjamin keberlangsungan kehidupan masa depan.
Menyalahkan mereka juga “sesuatu yang salah” karena memang realitanya
seperti itu karena hal yang sama juga terjadi pada para pengusaha yang sudah
teruji memiliki naluri bisnis. Seberapa banyak para pemilik modal dinegeri ini yang
tertarik untuk investasi pada usaha peternakan sapi potong dan jika ada
mayoritas cenderung pada bisnis perdagangan dan feedlotter dibanding sektor
produksi. Padahal dari sisi ilmu ekonomi, insentif apa yang kurang dari komoditas
penghasil daging merah di negeri ini. Bukankah, harga yang tinggi dan cenderung
mengalami kenaikan dari tahun ke tahun merupakan insentif untuk investasi dan
didukung dengan pangsa pasar terbuka lebar dan selalu akan meningkat seiring
meningkatnya pendapatan dan taraf hidup konsumen.
Others dine with Lords and Academicians—for God’s sake, take care
what you say! Would you strip the Editor’s mantel-piece of the cards
of invitation that adorn it to select parties for the next six months?
An Editor takes a turn in St. James’s-street, and is congratulated by
the successive literary or political groups on all he does not write;
and when the mistake is found out, the true Simon Pure is dismissed.
We have heard that it was well said by the proprietor of a leading
journal, that he would take good care never to write a line in his own
paper, as he had conflicting interests enough to manage, without
adding literary jealousies to the number. On the other hand, a very
good-natured and warm-hearted individual declared, ‘he would
never have another man of talents for an Editor’ (the Editor, in this
case, is to the proprietor as the author to the Editor), ‘for he was tired
of having their good things thrust in his teeth.’ Some Editors are
scrubs, mere drudges, newspaper-puffs: others are bullies or quacks:
others are nothing at all—they have the name, and receive a salary
for it! A literary sinecure is at once lucrative and highly respectable.
At Lord’s-Ground there are some old hands that are famous for
‘blocking out and staying in:’ it would seem that some of our literary
veterans had taken a lesson from their youthful exercises at Harrow
or Eton.
All this is bad enough; but the worst is, that Editors, besides their
own failings, have friends who aggravate and take advantage of
them. These self-styled friends are the night-shade and hemlock
clinging to the work, preventing its growth and circulation, and
dropping a slumberous poison from its jaundiced leaves. They form a
cordon, an opake mass round the Editor, and persuade him that they
are the support, the prop, and pillar of his reputation. They get
between him and the public, and shut out the light, and set aside
common sense. They pretend anxiety for the interest of some
established organ of opinion, while all they want is to make it the
organ of their dogmas, prejudices, or party. They want to be the
Magazine or the Review—to wield that power covertly, to warp that
influence to their own purposes. If they cannot do this, they care not
if it sinks or swims. They prejudge every question—fly-blow every
writer who is not of their own set. A friend of theirs has three articles
in the last number of ——; they strain every nerve and make pressing
instances to throw a slur on a popular contribution by another hand,
in order that he may write a fourth in the next number. The short
articles which are read by the vulgar, are cut down to make room for
the long ones, which are read by nobody but the writers and their
friends. If an opinion is expressed contrary to the shibboleth of the
party, it is represented as an outrage on decency and public opinion,
when in truth the public are delighted with the candour and boldness
displayed. They would convert the most valuable and spirited journal
into a dull pamphleteer, stuffed with their own lucubrations on
certain heavy topics. The self-importance of these people is in
proportion to their insignificance; and what they cannot do by an
appeal to argument or sound policy, they effect by importunity and
insinuation. They keep the Editor in continual alarm as to what will
be said of him by the public, when in fact the public will think (in
nine cases out of ten) just what he tells them.
These people create much of the mischief. An Editor should have
no friends—his only prompter should be the number of copies of the
work that sell. It is superfluous to strike off a large impression of a
work for those few squeamish persons who prefer lead to tinsel.
Principle and good manners are barriers that are, in our estimate,
inviolable: the rest is open to popular suffrage, and is not to be
prejudged by a coterie with closed doors. Another difficulty lies here.
An Editor should, in one sense, be a respectable man—a
distinguished character; otherwise, he cannot lend his name and
sanction to the work. The conductor of a periodical publication
which is to circulate widely and give the tone to taste and opinion,
ought to be of high standing, should have connections with society,
should belong to some literary institution, should be courted by the
great, be run after by the obscure. But ‘here’s the rub’—that one so
graced and gifted can neither have his time nor his thoughts to
himself. Our obligations are mutual; and those who owe much to
others, become the slaves of their good opinion and good word. He
who dines out loses his free agency. He may improve in politeness;
he falls off in the pith and pungency of his style. A poem is dedicated
to the son of the Muses:—can the critic do otherwise than praise it? A
tragedy is brought out by a noble friend and patron:—the severe
rules of the drama must yield in some measure to the amenities of
private life. On the contrary, Mr. —— is a garretteer—a person that
nobody knows; his work has nothing but the contents to recommend
it; it sinks into obscurity, or addresses itself to the canaille. An
Editor, then, should be an abstraction—a being in the clouds—a mind
without a body—reason without passion.——But where find such a
one?
THE LETTER-BELL
It rose then in the east: it has again risen in the west. Two suns in
one day, two triumphs of liberty in one age, is a miracle which I hope
the Laureate will hail in appropriate verse. Or may not Mr.
Wordsworth give a different turn to the fine passage, beginning—
‘What, though the radiance which was once so bright,
Be now for ever vanished from my sight;
Though nothing can bring back the hour
Of glory in the grass, of splendour in the flower?’
For is it not brought back, ‘like morn risen on mid-night‘; and may
he not yet greet the yellow light shining on the evening bank with
eyes of youth, of genius, and freedom, as of yore? No, never! But
what would not these persons give for the unbroken integrity of their
early opinions—for one unshackled, uncontaminated strain—one Io
pæan to Liberty—one burst of indignation against tyrants and
sycophants, who subject other countries to slavery by force, and
prepare their own for it by servile sophistry, as we see the huge
serpent lick over its trembling, helpless victim with its slime and
poison, before it devours it! On every stanza so penned should be
written the word Recreant! Every taunt, every reproach, every note
of exultation at restored light and freedom, would recal to them how
their hearts failed them in the Valley of the Shadow of Death. And
what shall we say to him—the sleep-walker, the dreamer, the sophist,
the word-hunter, the craver after sympathy, but still vulnerable to
truth, accessible to opinion, because not sordid or mechanical? The
Bourbons being no longer tied about his neck, he may perhaps
recover his original liberty of speculating; so that we may apply to
him the lines about his own Ancient Mariner—
‘And from his neck so free
The Albatross fell off, and sank
Like lead into the sea.’
This is the reason I can write an article on the Letter-Bell, and other
such subjects; I have never given the lie to my own soul. If I have felt
any impression once, I feel it more strongly a second time; and I have
no wish to revile or discard my best thoughts. There is at least a
thorough keeping in what I write—not a line that betrays a principle
or disguises a feeling. If my wealth is small, it all goes to enrich the
same heap; and trifles in this way accumulate to a tolerable sum. Or
if the Letter-Bell does not lead me a dance into the country, it fixes
me in the thick of my town recollections, I know not how long ago. It
was a kind of alarm to break off from my work when there happened
to be company to dinner or when I was going to the play. That was
going to the play, indeed, when I went twice a year, and had not been
more than half a dozen times in my life. Even the idea that any one
else in the house was going, was a sort of reflected enjoyment, and
conjured up a lively anticipation of the scene. I remember a Miss D
——, a maiden lady from Wales (who in her youth was to have been
married to an earl), tantalised me greatly in this way, by talking all
day of going to see Mrs. Siddons’ ‘airs and graces’ at night in some
favourite part; and when the Letter-Bell announced that the time was
approaching, and its last receding sound lingered on the ear, or was
lost in silence, how anxious and uneasy I became, lest she and her
companion should not be in time to get good places—lest the curtain
should draw up before they arrived—and lest I should lose one line
or look in the intelligent report which I should hear the next
morning! The punctuating of time at that early period—every thing
that gives it an articulate voice—seems of the utmost consequence;
for we do not know what scenes in the ideal world may run out of
them: a world of interest may hang upon every instant, and we can
hardly sustain the weight of future years which are contained in
embryo in the most minute and inconsiderable passing events. How
often have I put off writing a letter till it was too late! How often had
to run after the postman with it—now missing, now recovering the
sound of his bell—breathless, angry with myself—then hearing the
welcome sound come full round a corner—and seeing the scarlet
costume which set all my fears and self-reproaches at rest! I do not
recollect having ever repented giving a letter to the postman, or
wishing to retrieve it after he had once deposited it in his bag. What I
have once set my hand to, I take the consequences of, and have been
always pretty much of the same humour in this respect. I am not like
the person who, having sent off a letter to his mistress, who resided a
hundred and twenty miles in the country, and disapproving, on
second thoughts, of some expressions contained in it, took a post-
chaise and four to follow and intercept it the next morning. At other
times, I have sat and watched the decaying embers in a little back
painting-room (just as the wintry day declined), and brooded over
the half-finished copy of a Rembrandt, or a landscape by Vangoyen,
placing it where it might catch a dim gleam of light from the fire;
while the Letter-Bell was the only sound that drew my thoughts to
the world without, and reminded me that I had a task to perform in
it. As to that landscape, methinks I see it now—
‘The slow canal, the yellow-blossomed vale,
The willow-tufted bank, the gliding sail.’
Perhaps there is no part of a painter’s life (if we must tell ‘the secrets
of the prison-house’) in which he has more enjoyment of himself and
his art, than that in which after his work is over, and with furtive,
sidelong glances at what he has done, he is employed in washing his
brushes and cleaning his pallet for the day. Afterwards, when he gets
a servant in livery to do this for him, he may have other and more
ostensible sources of satisfaction—greater splendour, wealth, or
fame; but he will not be so wholly in his art, nor will his art have such
a hold on him as when he was too poor to transfer its meanest
drudgery to others—too humble to despise aught that had to do with
the object of his glory and his pride, with that on which all his
projects of ambition or pleasure were founded. ‘Entire affection
scorneth nicer hands.’ When the professor is above this mechanical
part of his business, it may have become a stalking-horse to other
worldly schemes, but is no longer his hobby-horse and the delight of
his inmost thoughts—
‘His shame in crowds, his solitary pride!’
or oftener I put it off till after dinner, that I might loiter longer and
with more luxurious indolence over it, and connect it with the
thoughts of my next day’s labours.
The dustman’s bell, with its heavy, monotonous noise, and the
brisk, lively tinkle of the muffin-bell, have something in them, but
not much. They will bear dilating upon with the utmost licence of
inventive prose. All things are not alike conductors to the
imagination. A learned Scotch professor found fault with an
ingenious friend and arch-critic for cultivating a rookery on his
grounds: the professor declared ‘he would as soon think of
encouraging a froggery.’ This was barbarous as it was senseless.
Strange, that a country that has produced the Scotch novels and
Gertrude of Wyoming should want sentiment!
The postman’s double knock at the door the next morning is ‘more
germain to the matter.’ How that knock often goes to the heart! We
distinguish to a nicety the arrival of the Two-penny or the General
Post. The summons of the latter is louder and heavier, as bringing
news from a greater distance, and as, the longer it has been delayed,
fraught with a deeper interest. We catch the sound of what is to be
paid—eight-pence, nine-pence, a shilling—and our hopes generally
rise with the postage. How we are provoked at the delay in getting
change—at the servant who does not hear the door! Then if the
postman passes, and we do not hear the expected knock, what a pang
is there! It is like the silence of death—of hope! We think he does it
on purpose, and enjoys all the misery of our suspense. I have
sometimes walked out to see the Mail-Coach pass, by which I had
sent a letter, or to meet it when I expected one. I never see a Mail-
Coach, for this reason, but I look at it as the bearer of glad tidings—
the messenger of fate. I have reason to say so. The finest sight in the
metropolis is that of the Mail-Coaches setting off from Piccadilly. The
horses paw the ground, and are impatient to be gone, as if conscious
of the precious burden they convey. There is a peculiar secresy and
despatch, significant and full of meaning, in all the proceedings
concerning them. Even the outside passengers have an erect and
supercilious air, as if proof against the accidents of the journey. In
fact, it seems indifferent whether they are to encounter the summer’s
heat or winter’s cold, since they are borne on through the air in a
winged chariot. The Mail-Carts drive up; the transfer of packages is
made; and, at a signal given, they start off, bearing the irrevocable
scrolls that give wings to thought, and that bind or sever hearts for
ever. How we hate the Putney and Brentford stages that draw up in a
line after they are gone! Some persons think the sublimest object in
nature is a ship launched on the bosom of the ocean: but give me, for
my private satisfaction, the Mail-Coaches that pour down Piccadilly
of an evening, tear up the pavement, and devour the way before them
to the Land’s-End!
In Cowper’s time, Mail-Coaches were hardly set up; but he has
beautifully described the coming in of the Post-Boy:—
‘Hark! ’tis the twanging horn o’er yonder bridge,
That with its wearisome but needful length
Bestrides the wintry flood, in which the moon
Sees her unwrinkled face reflected bright:—
He comes, the herald of a noisy world,
With spattered boots, strapped waist, and frozen locks;
News from all nations lumbering at his back.
True to his charge, the close-packed load behind.
Yet careless what he brings, his one concern
Is to conduct it to the destined inn;
And having dropped the expected bag, pass on.
He whistles as he goes, light-hearted wretch!
Cold and yet cheerful; messenger of grief
Perhaps to thousands, and of joy to some;
To him indifferent whether grief or joy.
Houses in ashes and the fall of stocks,
Births, deaths, and marriages, epistles wet
With tears that trickled down the writer’s cheeks
Fast as the periods from his fluent quill,
Or charged with amorous sighs of absent swains
Or nymphs responsive, equally affect
His horse and him, unconscious of them all.’
And yet, notwithstanding this, and so many other passages that seem
like the very marrow of our being, Lord Byron denies that Cowper
was a poet!—The Mail-Coach is an improvement on the Post-Boy;
but I fear it will hardly bear so poetical a description. The
picturesque and dramatic do not keep pace with the useful and
mechanical. The telegraphs that lately communicated the
intelligence of the new revolution to all France within a few hours,
are a wonderful contrivance; but they are less striking and appalling
than the beacon-fires (mentioned by Æschylus), which, lighted from
hill-top to hill-top, announced the taking of Troy, and the return of
Agamemnon.
ON THE SPIRIT OF MONARCHY
The Liberal.]
[1822.
‘Strip it of its externals, and what is it but a jest?’
Charade on the word Majesty.
‘As for politics, I think poets are Tories by nature, supposing them to be by
nature poets. The love of an individual person or family, that has worn a crown for
many successions, is an inclination greatly adapted to the fanciful tribe. On the
other hand, mathematicians, abstract reasoners, of no manner of attachment to
persons, at least to the visible part of them, but prodigiously devoted to the ideas of
virtue, liberty, and so forth, are generally Whigs. It happens agreeably enough to
this maxim, that the Whigs are friends to that wise, plodding, unpoetical people,
the Dutch.’—Skenstone’s Letters, 1746.