HUKUM Makalah

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 19

KATA PENGANTAR

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT,


atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini tepat waktu dengan judul “Ruang Lingkup, Sistem, Struktur, dan
Budaya hukum”.
Dengan ini penulis ucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing yang
telah mengarahkan penulis. Penulis ucapkan terimakasih juga kepada pihak-pihak
yang telah membantu dalam penyelesaian tugas ini. Semoga tugas yang penulis
buat dapat bermanfaat bagi penulis pribadi maupun pihak yang membaca.
Penulis menyadari bahwa tugas ini sangat jauh dari sempurna, masih
banyak kelemahan dan kekurangan. Setiap saran, kritik, dan komentar yang
bersifat membangun dari pembaca sangat penulis harapkan untuk meningkatkan
kualitas dan menyempurnakan tugas ini.

Sigli, 26 Oktober 2023

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................................... i
Daftar Isi ......................................................................................................... ii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.................................................... 1
B. Rumusan Masalah.............................................................. 2
C. Tujuan ............................................................................... 2
BAB II : PEMBAHASAN
A. Ruang Lingkup Ilmu Hukum............................................. 3
B. Sistem Hukum.................................................................... 3
C. Struktur Hukum.................................................................. 13
D. Budaya Hukum..................................................................13
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................ 19

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................20
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Hukum pada dasarnya harus sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa yang
bersangkutan. Sampai saat ini masih banyak peraturan perundang-undangan yang
tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, khususnya peraturan
perundang-undangan peninggalan Pemerintahan Hindia Belanda. Peraturan
peninggalan Pemerintahan Hindia Belanda salah satunya adalah Hukum yang
mengatur tata cara penyelesaian sengketa keperdataan, yaitu Hukum Acara Perdata
seperti, Herzienne Indonesisch Reglement ( HIR ) – S. 1941 No. 44 untuk Jawa –
Madura, Rechtsreglement Buitengeweten (RBg) – S. 1927 No. 277 untuk luar Jawa –
Madura. Hukum Acara Perdata ini sudah tidak sesuai dengan perkembangan
dankebutuhan masyarakat dewasa ini, sehingga tidak dapat menampung berbagai
perkembangan hukum.
Perkembangan masyarakat yang sangat cepat dan pengaruh globalisasi,
menuntut adanya Hukum yang dapat mengatasi persengketaan dengan cara yang
efektif dan efisien sesuai dengan asas sederhana, mudah, dan biaya ringan.
Pentingnya hukum adalah untuk mengatur tingkah laku manusia; menentukan
mana yang dapat dilakukan dan mana yang dilarang. Dalam hal ini penulis akan
membahas lebih lanjut tentang ruang lingkup hukum, sistem hukum, struktur hukum
dan budaya hukum.
B. Rumusan Masalah

1. Apa saja ruang lingkup ilmu hukum?


2. Sebutkan macam-macam sumber hukum?
3. Apa itu struktur hukum?
4. Apa itu budaya hukum?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa saja ruang lingkup ilmu hukum


2. Untuk mengetahui macam-macam sumber hukum
3. Untuk mengetahui apa itu struktur hukum
4. Untuk mengetahui apa itu budaya hukum
BAB II

PEMBAHASAN

A. Ruang Lingkup Ilmu Hukum


Ruang Lingkup Ilmu Hukum Menurut Prof. DR. Soerjono Soekanto, S.H.,
M.A. yang mencakup sebagai berikut ini:
1. Normwissenschaften atau Sollenwinssenschaften, yakni ilmu yang
mempelajari hukum sebagai norma/kaedah, yang terdiri dari:
 Ilmu tentang pengertian hukum.
 Ilmu tentang kaidah hukum.
2. Tatsachenwissenschaften atau Seinwissenschaften, yakni ilmu hukum yang
mempelajari hukum sebagai gejala sosial, yang terdiri dari:
 Sosiologi Hukum.
 Antropologi Hukum.
 Psikologi Hukum.
 Sejarah Hukum
 Perbandingan Hukum.1
B. Sistem Hukum
Sistem hukum adalah kesatuan sistem yang tersusun atas integralitas
berbagai komponen pada hukum, serta masing-masing memiliki fungsi tersendiri
dan terikat dalam satu kesatuan hubungan yang saling terkait.
1. Sistem Civil Law
Pada dasarnya sistem civil law dianut oleh negara-negara Eropa
Kontinental yang berdasarkan atas hukum Romawi. Hukum Romawi sendiri
bersumber pada Corpus Iuris Civils karya dari Kaisar Iustinianus.
Dalam perkembangan historinya, Ehrenzweic dalam (Marpi, 2020: 116)
menyebutkan Corpus Iuris Civils mengatur tentang hukum yang dapat
menyelesaikan secara memuaskan ‘pusparagam’ masalah ekonomi yang lebih
aktif dan problem masyarakat yang lebih berkembang dalam menggunakan
tanahnya. Hukum Romawi menawarkan unifikasi hukum yang berlaku bagi
1
https://peradi-tasikmalaya.or.id/ruang-lingkup-ilmu-hukum-menurut-prof-dr-soerjono-
soekanto, diakses pada jumat 27 Oktober 2023
semua unit politis. Hukum Romawi sendiri terbentuk dari pelbagai kebiasaan dan
pranata-pranata sosial Eropa Barat.
Sebagaimana diketahui, salah satu ciri yang paling menonjol dalam sistem
civil law adalah dengan melakukan pembagian hukum, yakni hukum privat dan
hukum publik. Syahdan, dalam perjalanan histori yang begitu panjang, sistem
civil law jamak dihegemoni oleh ajaran hukum alam. Menurut ajaran hukum
alam, faktor akal sangat membawa pengaruh terhadap sistem civil law.
Adapun sistem civil law yang didasarkan pada hukum Romawi bersumber
pada unsur-unsur, yakni, Pertama, hukum Romawi. Kedua, hukum Gereja. Ketiga,
hukum Jerman sendiri. Selanjutnya, ciri dari sistem civil law antara lain, yakni
pembentukan dimulai dari peran universitas-universitas yang ada pada saat itu.
Periode peran dari universitas tersebut lumrah disebut jua masa renaissance. Ciri
berikutnya yang menonjol dalam sistem civil law adalah sumber hukum yang
utama adalah undang-undang atau lazim disebut code law. Dalam sistem civil law
metode pendekatan yang digunakan oleh ahli hukum (legal expert) dalam ihwl ini
para hakim, yakni abstrak dan teoritis, yaitu dengan menggunakan metode
deduksi atawa berangkat dari hal-ihwal yang generik atau umum menuju kepada
hal-ihwal yang spesifik atau konkret.
Sistem civil law sebagaimana diuraikan sebelumnya bersumber dari
produk manusia yang kemudian disebut dengan peraturan perundang-undangan
atau galib pula disebut dengan hukum tertulis. Untuk itu konsep kodifikasi
merupakan akhir atau tujuan dari sistem civil law. Sistem civil law apabila
dibandingkan dengan sistem common law dalam hal sumber yang tertulis,
tentunya lebih jelas dan mudah.
Untuk itu, tak mengherankan para hakim di negara-negara yang menganut
sistem civil law dalam memutuskan suatu perkara lebih melihat pada hukum
tertulis atau peraturan perundang-undangan. Hakim tidak terikat pada suatu kasus
yang pernah diputus sebagaimana yang dianut dalam sistem common law. Hakim
diberi keluasan untuk memutuskan suatu perkara tanpa terikat pada putusan-
putusan hakim terdahulu. Hakim hanya terikat pada aturan tertulis, yakni
peraturan perundang-undangan. (Marpi, 2020: 117-118).
2. Sistem Common Law
Sebagaimana menurut Bodenheimer, pada dasarnya sistem common law
dianut oleh negara-negara Anglo saxon. Dalam sistem ini mempunyai disparitas
yang begitu signifikan dengan sistem civil law. Seperti pula ditandaskan oleh
Satjipto Rahardjo, distingsi yang menyolok antara kedua sistem civil law dan
common law, yakni pada sistem common law menekankan pada ciri tradisonal
hukumnya. Sementara sistem civil law memberikan aksentuasi pada ciri logis dan
rasionalnya.
Dalam beberapa literatur yang ada, ciri utama yang ada pada sistem
common law, yaitu: Pertama, adanya pengakuan terhadap supremasi hukum
(supremacy of law). Kedua, adanya pengakuan persamaan hukum. Ketiga,
proteksi terhadap hak-hak individu atau perseorangan.
Selain yang diuraikan di atas, ciri yang menonjol pula pada sistem
common law adalah lebih mendasarkan pada prosedur dalam menyelesaikan setiap
sengketa. Kondisi demikian menciptakan tidak munculnya istilah antara hukum
privat dan hukum publik. Dalam proses peradilan, hakim yang menganut sistem
common law lebih condong mengikuti putusan yang pernah diputuskan dalam
perkara yang sama.
Menurut Peter Mahmud Mardzuki (2015: 250-251), pada dasarnya sistem
common law memiliki tiga karakteristik, yaitu: Pertama, yurisprudensi dipandang
sebagai sumber hukum (source of law, rechtsbron) yang utama. Kedua, hakim
terikat pada yang disebut stare decisis, yang berarti hakim terikat untuk
menerapkan putusan yang diputuskan oleh peradilan terdahulu dalam kasus yang
serupa. Ketiga, adanya adversary sistem dalam proses peradilan.
Hal yang menarik dalam sistem common law, hakim yang memeriksa
perkara bertindak seolah-olah seperti wasit. Perihal ini disebabkan para pihak
dalam berperkara dipersilahkan sebanyak mungkin mengagregasikan alat bukti di
pengadilan, dan hakim hanya menilai apa saja alat bukti yang diajukan tersebut.
Selanjutnya hakim menyerahkan kepada jury untuk memutuskan perkara tersebut.
3. Sistem Hukum Sosialis
Sistem hukum sosialis (Wantu, 2015: 55-56) awalnya berkembang dari
negara nan dulunya disebut Republik Sosialis Uni Soviet yang kontemporer kita
kenal dengan nama Rusia, yakni negara di mana menganut paham komunis.
Dalam sistem hukum sosialis, hukum ditempatkan sebagai alat atawa instrumen
untuk mencapai kebijakan sosialisme. Artinya, hukum berada pada posisi di
bawah kebijakan-kebijakan sosialisme. Dalam konsep sistem hukum sosialis, hak
kepemilikan pribadi atau privat tidak diperkenankan atawa dihilangkan dan
diganti dengan kepemilikan bersama. Paham sistem hukum sosialis jamak
dipengaruhi oleh ajaran Marxis dan Lenin, yakni ajaran yang paling dikenal dalam
paham komunis.
Menurut ajaran Marxis dan Lenin, menyebutkan sebuah masyarakat
sosialis tidak membutuhkan suatu perangkat hukum. Negara dan hukum hanya
akan ditentukan perkembangnnya oleh tujuan ekonomi. Dalam kondisi demikian
kedudukan pengadilan dalam sistem hukum sosialis hanya sebagai alat untuk
mendorong dan mengimplementasikan kebijakan negara dan pemerintah.
4. Sistem Hukum Islam
Sistem hukum Islam (Marpi, 2020: 120) pada dasarnya dianut oleh negara-
negara yang menganut paham agama Islam. Kebanyakan negara-negara yang ada
di Timur Tengah dan sebagian di Asia Tenggara. Sistem hukum ini melandaskan
kekuasaan yang didasarkan pada hukum Islam nan bersumber dari Al-Quran dan
Hadis.
Menurut M. Tahir Azhary dalam (Wantu, 2015: 56), menandaskan bahwa
sistem hukum Islam memiliki prinsip-prinsip, yang kemudian asas tersebut diberi
eksplanasi oleh Zairin Harahap sebagai berikut:
1. Prinsip kekuasaan sebagai amanah. Artinya, kekuasaan itu amanah
Allah SWT. Lantaran itu, manusia yang menerima amanah tersebut dituntut harus
jujur dalam mengamalkan amanah itu jumbuh dengan yang diamanahkan. Dengan
demikian, tidak boleh menyelewengkan amanah itu untuk tujuan lain.
2. Prinsip musyawarah. Artinya, segala urusan harus terlebih dahulu
dimusyawarahkan, tak boleh diputuskan sendiri yang notabene dapat menjurus
pada sifat absolutisme, kecuali dalam keadaan sangat mendesak, walakin itupun
harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Oleh karenanya, harus ditetapkan
kriteria-kriterianya.
3. Prinsip keadilan. Artinya, manusia yang diberi amanah harus bertindak
adil, berpihak pada kebenaran dan keadilan bukan berpihak pada hawa nafsu,
yang tendensi bertindak arbitrer, pilih kasih, baik lantaran faktor agama, ras, suku,
nasab dan faktor kebangsaan.
4. Prinsip persamaan. Artinya, semua manusia adalah egaliter. Maka dari
itu, kudu diperlakukan sama dan tak boleh mengutamakan suatu golongan. Semua
manusia mempunyai kans. Manusia yang satu dengan yang lain berbeda hanya
karena ketakwaan.
5. Prinsip pengakuan dan proteksi terhadap hak asasi manusia. Artinya
saban manusia berhak untuk hidup, bebas dari segala macam paksaan termasuk
masalah agama atau keyakinannya.
6. Prinsip peradilan bebas. Artinya, hakim harus memutuskan perkara
dengan adil, tidak dapat dipengaruhi oleh kekuasaan lain, tak boleh memutus
perkara di bawah tekanan- tekanan sehingga mempengaruhi hakim dalam
memberikan putusan yang adil.
7. Prinsip perdamaian. Artinya, melakukan relasi kerjasama dengan
negara-negara lain yang dijalin atas dasar prinsip perdamaian. Sikap bermusuhan
dan perang hanya merupakan suatu tindakan.
8. Prinsip kesejahteraan. Artinya, untuk mengejawantahkan keadilan
dalam segala bidang menuju masyarakat adil dan makmur bagi seluruh
masyarakat atau rakyat. Sesungguhnya pada harta orang kaya terdapat hak yang
dimiliki oleh para fakir miskin.
9. Prinsip ketaatan rakyat. Artinya, mengatur hubungan antara pemerintah
dengan rakyat.

5. Sistem Hukum Kanonik


Adalah hukum gerejawi internal yang mengatur Gereja Katolik (baik
gereja Latin dan Gereja Katolik Timur), Gereja Ortodoks Timur (Gereja Ortodoks
Oriental), dan Komuni Anglikan. (Jaya, 2019: 125). Kitab hukum Kanonik
dikeluarkan pada tanggal 25 Januari 1983 oleh Paus Yohanes Paulus II dan
berkekuatan hukum sejak Minggu Pertama Adven (27 November 1983). Konon
ini menggantikan Kitab Hukum Kanonik 1917 yang dikeluarkan oleh Paus
Benediktus XV pada tanggal 27 Mei 1917.
6. Sistem Hukum Adat
Sistem hukum adat (Windari, 2018: 41) sebagian besar terdapat dalam
lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya, seperti
China, India, Jepang, dan negara lain. Istilah hukum adat pertama kali
dikemukakan oleh Snouck Hurgronje, yakni “Adatrecht” (Belanda). Sumber
hukum adat lumrahnya ada pada peraturan-peraturan hukum tidak tertulis, yang
tumbuh berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum (legal
consciousness) masyarakatnya. Hukum adat mempunyai tipe yang bersifat
tradisional dengan berpangkal kepada kehendak nenek moyang serta dapat
menyesuaikan diri dan elastis. Disparitas dari hukum adat dengan hukum-hukum
lainnya adalah hukumnya bergantung di daerah masing-masing atawa berlaku di
daerahnya sendiri-sendiri dan memiliki pelbagai macam hukum. Sebagai amsal,
Hukum Adat Jawa, Hukum Adat Bugis, Hukum Adat Aceh, dan masih bejibun
hukum adat lainnya. Hukum adat lazimnya dalam menyelesaikan perkara mereka
menggunakan metode musyawarah dengan orang tertua atau orang dituakan di
daerah tersebut, dan orang yang dituakan maupun orang tua menjadi penengah
dalam suatu perkara sehingga perkara tersebut diselesaikan oleh ketua adat
ataupun orang tua di daerah lingkungan masyarakatnya. Selain itu, hukumnya
bersumber dari suatu kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan perenial dan menjadi
suatu kewajiban nan harus dilakukan oleh masyarakat itu.
7.Sistem Hukum Masyarakat Eropa
Sistem hukum masyarakat eropa atau Uni Eropa (Asikin, 2019: 89-91)
memiliki karakter yang khusus, tunggal, nan lahir dari suatu entitas politik,
sehingga melahirkan sebuah sistem hukum yangsui generic(memiliki kelasnya
sendiri), yang terpisah dari rumpun sistem hukumCivil Law dan Common
Lawsehingga bersifat "supranasional".
Sistem hukum masyarakat Eropa yang didasari oleh lahirnya Perjanjian
Paris Tahun 1951 dan Perjanjian Roma Tahun 1957, telah melahirkan suatu
fondasi bagi lahirnya "common law Eropa", sebuah peraturan yang telah
diimplementasikan, baik oleh institusi yang merancang perjanjian maupun oleh
agensi pembentukan dan penegakan hukum dari negara anggota. Artinya, hukum
ini dapat diberlakukan jikalau memang diinginkan oleh para individu dari negara-
negara anggota.
Sistem hukum masyarakat Eropa semakin kokoh menjadi sebuah peraturan
tunggal bagi Uni Erpa pasca dilakukan beberapa kali amandemen Perjanjian
Roma sehingga melahirkan "Single Europe Act 1986" (Undang-undang Eropa
Tunggal), yang ditandatangani di Luxemburg serta mulai berlaku sejak 1 Juli
1987 dan acap disebut SEA (Single European Act).
Seperti layaknya sebuah perjanjian internasional, maka hukum-hukum
masyarakat Eropa (Uni Eropa) akan mulai berlaku manakala perjanjian itu telah
diratifikasi oleh negara peserta, dan aplikasi lebih lanjut tergantung pada sistem
konstitusi yang dianut oleh negara peserta. Negara Eropa (Uni Eropa) pada
galibnya menganut dua prinsip, yaitu:MonoismedanDualisme.
Dalam konstitusi monoisme, bahwa kewajiban hukum internasional
memiliki sifat superior terhadap kewajiban-kewajiban hukum nasional.
Berdasarkan pendekatan ini, maka sebuah peraturan adat kebiasaan internasional
atau sebuah regulasi yang dibentuk atas dasar perjanjian internasional, di mana
negara tersebut telah menjadi pesertanya, maka secara otomatis hukum
interrnasional itu menjadi bagian hukum nasional negara peserta. Negara yang
menganut sistem ini adalah konstitusi Perancis dan Belanda.
Dalam konstitusi dualis, di mana hanya ada sejumlah status tertentu, nan
terbatas yang diberikan kepada peraturan internasional, Peraturan internasional
baru akan berlaku di satu negara apabila telah diimplementasikan ke dalam hukum
nasional via proses legislasi (pengundangan nasional)atawa melalui sebuah
Ketetapan Parlemen. Negara yang menganut sistem ini adalah Inggris.2

2
https://ilmuhukum.uin-suka.ac.id/id/kolom/detail/656/sistem-hukum-dan-klasifikasi-
hukum, diakses jumat 27 Oktober 2023
C. Struktur Hukum
Struktur hukum atau legal structure adalah institusionalisasi dari entitas-
entitas hukum. Sebagai contohnya dapat dilihat pada struktur kekuasaan
pengadilan di Indonesia yang terdiri dari pengadilan tingkat I, Pengadilan
Banding, serta Pengadilan Tingkat Kasasi, jumlah hakim dan integrated justice
system.Selain itu, juga dikenal dengan adanya Peradilan Umum, Peradilan Tata
Usaha Negara, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Pajak.3
D. Budaya Hukum
Budaya hukum atau legal culture merupakan sikap dan nilai-nilai yang
saling terkait dengan tingkah laku bersama dan berhubungan langsung dengan
hukum serta lembaga-lembaga negara. Budaya hukum adalah unsur dari sistem
hukum yang paling sulit untuk dibentuk karena membutuhkan jangka waktu
relatif panjang. Hal ini terjadi karena budaya berkaitan dengan nilai-nilai. Apa
yang berkaitan dengan nilai, pasti membutuhkan proses internalisasi agar nilai-
nilai itu tidak sekadar diketahui, tetapi juga dipraktikkan dalam kehidupan sehari-
hari.
Ada jargon klasik dalam bahasa Belanda yang kerap dikutip penulis buku-
buku teks hukum: ‘Het recht hinkt achter de feiten aan,’ yang artinya hukum itu
berjalan terseok-seok mengikuti fakta. Jadi, hukum sebenarnya ada di belakang
fakta, dalam arti kenyataan itulah yang menginspirasi munculnya hukum. Tentu
saja ada banyak fakta yang terjadi di sekitar kita dan tidak semuanya harus
dikukuhkan menjadi norma hukum.
Fakta-fakta yang layak untuk dikukuhkan menjadi hukum adalah fakta-
fakta yang terjadi berulang kali, yang kemudian membentuk pola perilaku yang
sama secara berulang-ulang. Pola ini dirasakan mengikat, dalam arti membebani
kewajiban bagi orang-orang yang menjalankannya. Bahkan, apabila ada orang
yang melanggar kewajiban itu, ada kesan kuat bahwa terhadap orang itu
seharusnya dijatuhkan sanksi.

3
https://www.gramedia.com/literasi/sistem-hukum/#1_Struktur_Hukum, diakses pada
Jumat 27 Oktober 2023
Apa yang digambarkan di atas membawa kita pada satu topik tentang
budaya hukum. Tulisan ini akan menggambarkan secara sekilas tentang makna
budaya dan kebudayaan secara umum, lalu masuk ke pengertian budaya hukum.
Lalu, akan diulas tentang budaya hukum masyarakat serta peran hakim dalam
penciptaan budaya hukum yang sehat. Terakhir akan disinggung tentang peran
masyarakat dalam budaya hukum yang tidak sehat.
Tatkala para subjek hukum bersentuhan dengan hukum, maka hukum yang
dimaksud tidak lagi sepenuhnya bermakna tekstual sebagaimana tertulis di dalam
undang-undang atau sumber hukum positif lainnya. Hukum tersebut pasti sudah
dikaitkan dengan fakta konkret yang tengah dihadapi. Dengan perkataan lain,
hukum yang in abstracto itu dihubungkan dengan kontekst fakta konkret yang
terjadi, sehingga pada akhirnya akan ditemukan jawaban seperti apa suatu kasus
hukum akan diselesaikan. Jawaban ini, jika dituangkan di dalam putusan hakim,
akan menjadi hukum yang in concreto.
Kalimat di atas memberi penegasan bahwa teks hukum memang tidak
pernah lepas dari konteks. Dalam proses ketika sebuah hukum dibentuk, misalnya
oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah sebagai pembentuk undang-
undang, rancangan hukum tersebut pasti menampung kebutuhan-kebutuhan
masyarakat yang menjadi sasaran norma hukum itu. Artinya, hukum yang dibuat
harus sejalan dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Tuntutan kebutuhan ini
bukan sesuatu yang berada di awang-awang, melainkan kebutuhan yang
senyatanya ada di dalam kehidupan masyarakat, yang dipandang mendesak untuk
diatur ke dalam hukum positif. Hal ini berarti ketika suatu hukum positif,
khususnya undang-undang ditetapkan, maka di situ sudah ada jaminan hukum
positif ini dapat berlaku secara sosiologis (karena masyarakat memang
membutuhkan) dan berlaku secara filosofis (karena masyarakat memandang
seyogianya memang hal itu perlu dibuat aturannya). Dengan demikian, menjadi
tugas negara untuk menetapkan pengaturan itu ke dalam hukum positif, sehingga
peraturan itu berlaku secara yuridis.
Dalam hal ini terlihat bahwa hukum positif, baik ketika dibentuk maupun
pada saat diterapkan dalam kasus-kasus konkret di lapangan, akan bersentuhan
dengan faktor ruang dan waktu. Faktor ruang menunjuk pada tempat (lokasi)
tempat para subjek hukum berada dan berinteraksi dengan sesama dan alam
sekitarnya. Faktor waktu menunjuk pada kurun masa tertentu pada saat subjek
hukum ini hidup dan beraktivitas. Kedua faktor ini membingkai aktivitas manusia
sebagai mahluk individu dan mahluk sosial, sehingga faktor ruang dan waktu ini
dapat membentuk pola perilaku anggota-anggota masyarakat. Adat dan kebiasaan
adalah contoh dari pola perilaku orang-orang yang berada dalam ruang yang sama
pada kurun waktu tertentu. Kesamaan ini membentuk budaya.
Secara leksikal, ’budaya’ diartikan sebagai pikiran, akal budi, adat istiadat,
atau sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah. Sementara
itu ada kata ’kebudayaan’ yang dimaknai sebagai hasil kegiatan dan penciptaan
batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat. Bisa
juga diartikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial
yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang
menjadi pedoman tingkah lakunya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005: 169-
170).
Seorang antropolog dan budayawan Indonesia, Koentjaraningrat (1985)
menyebutkan tujuh unsur universal yang terkandung dalam kebudayaan, yaitu: (1)
sistem religi dan upacara keagamaan, (2) sistem dan organisasi kemasyarakatan,
(3) sistem pengetahuan, (4) bahasa, (5) kesenian, (6) sistem mata pencaharian
hidup, dan (7) sistem teknologi dan peralatan. Selanjutnya, ketujuh unsur itu lalu
mewujud ke dalam tiga macam fenomena, yaitu: (1) suatu kompleks ide, nilai,
dan norma, (2) kompleks aktivitas kelakukan berpola, dan (3) benda-benda hasil
karya manusia.
Konsep lain tentang budaya dan kebudayaan disampaikan oleh Bernardo
Bernadi yang kemudian disederhanakan ole Soerjanto Poespowardojo (1993: 7-9),
dengan membagi fenomena kebudayaan ke dalam empat faktor dasar, yaitu: (1)
anthropos, (2) oikos, (3) tekne, dan (4) ethnos. Keempat faktor dasar ini dapat
dipandang sebagai unsur yang menentukan perkembangan suatu kebudayaan.
Faktor anthropos berkaitan dengan manusia. Pada dasarnya manusia
bukanlah mahluk rasional yang sudah selesai dan sempurna. Artinya, manusia
perlu berkarya agar dapat membuat dunianya menjadi lebih bermakna. Potensi
manusia inilah yang menjadikannya sebagai agen kebudayaan yang kreatif. Faktor
kedua, yaitu oikos, yang berarti alam atau lingkungan tempat manusia melakukan
proses kreativitasnya. Lingkungan inilah yang menjadi medan perjuangan
manusia, sehingga muncul hubungan antara manusia dan alam sekitarnya. Faktor
ketiga adalah tekne, yakni akar kata dari teknologi sebagai sarana/prasarana yang
dgunakan manusia dalam membantunya mengelola kehidupannya. Hukum dapat
saja dipandang sebagai tekne apabila dipahami sebagai alat untuk mencapai tujuan
kehidupan bermasyarakat yang lebih baik. Faktor terakhir atau keempat adalah
ethnos, yaitu komunitas. Karya manusia yang sebaik apapun, termasuk hukum
positif yang dibuat oleh manusia, tidak akan bermakna jika tidak didukung oleh
semangat kolektif. Hukum yang baik harus dilahirkan karena memang
dikehendaki oleh masyarakat dan diterapkan sebagai konsekuensi dari
kesepakatan sosial.
Keempat faktor dasar dalam budaya ini sejalan dengan pernyataan dari
Lawrence M. Friedman (1984: 6) tentang budaya hukum. Ia menyatakan:
… people’s attitudes toward law and legal system―their beliefs, values,
ideas, and expectations. . . The legal culture, in other words, is the climate of
social thought and social force which determines how law is used, avoided, or
abused. Without legal culture, the legal system is inert―a dead fish lying in a
basket, not a living fish swimming in its sea.
Ahli hukum Jerman, F.C. von Savigny meyakini bahwa faktor budaya
sangat berperan untuk menentukan corak hukum suatu masyarakat, bahkan
bangsa. Setiap bangsa yang dipersatukan oleh bingkai sejarah yang sama,
biasanya memiliki satu jiwa bangsa (Volksgeist). Hukum tidak dibuat, melainkan
tumbuh bersama dengan masyarakat. Dalam teori yang lebih modern, Leon
Duguit dari Prancis menyimpulkan bahwa hukum objektif itu tidak tumbuh dari
jiwa bangsa atau dari undang-undang, melainkan dibangun oleh solidaritas sosial.
Artinya, berkat ikatan solidaritas sosial itulah maka kehidupan suatu bangsa bisa
berjalan dengan tertib, dan hukum bisa ditegakkan. Dua pendekatan berpikir ala
Savigny dan Duguit mencerminkan pandangan bahwa hukum sebagai pola
perilaku sosial dalam skala makro. Hukum dikaitkan dengan jiwa bangsa dan
solidaritas sosial.
Di sisi lain, ada pandangan yang lebih melihat hukum sebagai pola-pola
perilaku sosial dalam skala meso dan mikro. Perilaku masyarakat tatkala
bersentuhan dengan hukum dapat dijadikan contoh. Perilaku pengendara mobil
dan sepeda motor dalam menghadapi rambu-rambu lalu lintas di jalan, atau
perilaku masyarakat yang hadir di persidangan saat mengikuti persidangan, adalah
beberapa contoh konkret dari pendekatan meso dan mikor dalam budaya hukum
masyarakat.
Dilihat dari subjek yang membentuk budaya hukum tersebut, oleh
Friedman dibedakan menjadi dua. Ada budaya hukum eksternal yang melibatkan
masyarakat luas secara umum. Selain itu ada budaya hukum internal, yaitu budaya
yang dikembangkan oleh para aparat penegak hukum. Kedua jenis budaya hukum
ini saling mempengaruhi. Jika budaya hukum ekternalnya sehat, maka dengan
sendirinya budaya hukum internal akan ikut menyesuaikan karena aparat penegak
hukum pada hakikatnya adalah produk dari masyarakatnya sendiri. Jika
masyarakat tidak terbiasa memberi suap maka aparat penegak hukum juga tidak
akan terbiasa meminta suap. Pada sisi sebaliknya, jika aparat penegak hukum
terbiasa menolak dengan tegas setiap bentuk penyuapan, maka masyarakat juga
tidak akan berani memulai berinisiatif memberi suap.
Terlepas apakah pola-pola perilaku yang dibiarkan terjadi terus-menerus
itu baik atau buruk bagi kehidupan hukum di dalam masyarakat, maka
demikianlah suatu budaya hukum akan tercipta. Di sini berlaku hukum tidak
tertulis, bahwa pola perilaku yang berulang-ulang akhirnya akan ”disepakati”
mengikat bagi seluruh warga masyarakat. Budaya hukum yang baik akan
berkontribusi membentuk sistem hukum yang sehat, sementara budaya hukum
yang tidak baik akan mendorong timbulnya sistem hukum yang sakit.
Budaya hukum yang sehat diwujudkan dalam bentuk kesadaran hukum
(rechtsbewustzijn), sedangkan budaya hukum yang sakit (tidak sehat) ditunjukkan
melalui perasaan hukum (rechtsgevoel). J.J. von Schmid (1965: 63) dengan tepat
membedakan kedua terminologi itu. Menurutnya, ”Van rechtsgevoel dient men te
spreken bij spontaan, onmiddelijk als waarheid vastgestelde rechtswaardering,
terwijl bij het rechtsbewustzijn men met waarderingen te maken heeft, die eerst
middelijk, door nadenken, redeneren en argumentatie aan nemelijk gemaakt
worden.” Schmid kurang lebih menyatakan bahwa perasaan hukum adalah
penilaian masyarakat atas hukum yang diungkapkan mereka secara spontan,
langsung, dan apa adanya, sementara kesadaran hukum lebih merupakan penilaian
tidak langsung karena kesadaran hukum berangkat dari hasil pemikiran,
penalaran, dan argumentasi.
Sebagai contoh, kegeraman masyarakat terhadap pelaku kejahatan yang
meresahkan, sering ditunjukkan dengan tindakan yang justru destruktif, termasuk
merusak ruang pengadilan atau fasilitas umum. Juga pernah terjadi tawuran
selepas hakim menutup persidangan karena salah satu pihak tidak puas dengan
putusan hakim. Kasus-kasus yang dipandang sebagai penghinaan terhadap
martabat peradilan (contempt of court) bermula dari perasaan hukum.
Untuk mengetahui seberapa sehat suatu sistem hukum, dapat dicermati
pada saat hukum ditegakkan dalam kasus-kasus konkret. Apa yang dihadapi oleh
para hakim di ruang-ruang pengadilan merupakan batu ujian untuk memahami
sehat tidaknya suatu sistem hukum, termasuk di dalamnya unsur budaya hukum
yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Oleh sebab itu, budaya hukum dan
penegakan hukum merupakan dua mata rantai yang saling berhubungan.4

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

4
https://business-law.binus.ac.id/2019/10/04/apa-itu-budaya-hukum, diakses pada Jumat
27 Oktober 2023
Ruang Lingkup Ilmu Hukum Menurut Prof. DR. Soerjono Soekanto, S.H.,
M.A. yang mencakup sebagai berikut ini: Normwissenschaften atau
Sollenwinssenschaften, yakni ilmu yang mempelajari hukum sebagai
norma/kaedah, yang terdiri dari:
 Ilmu tentang pengertian hukum.
 Ilmu tentang kaidah hukum
Sistem hukum : Sistem Hukum Masyarakat Eropa, Sistem Hukum Adat,
Sistem Hukum Kanonik, Sistem Hukum Islam, Sistem Hukum Sosialisi, Sistem
Common Law, Sistem Civil Law.
Struktur hukum atau legal structure adalah institusionalisasi dari entitas-
entitas hukum. Sebagai contohnya dapat dilihat pada struktur kekuasaan
pengadilan di Indonesia yang terdiri dari pengadilan tingkat I, Pengadilan
Banding, serta Pengadilan Tingkat Kasasi, jumlah hakim dan integrated justice
system.Selain itu, juga dikenal dengan adanya Peradilan Umum, Peradilan Tata
Usaha Negara, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Pajak.
Budaya hukum atau legal culture merupakan sikap dan nilai-nilai yang
saling terkait dengan tingkah laku bersama dan berhubungan langsung dengan
hukum serta lembaga-lembaga negara. Budaya hukum adalah unsur dari sistem
hukum yang paling sulit untuk dibentuk karena membutuhkan jangka waktu
relatif panjang. Hal ini terjadi karena budaya berkaitan dengan nilai-nilai. Apa
yang berkaitan dengan nilai, pasti membutuhkan proses internalisasi agar nilai-
nilai itu tidak sekadar diketahui, tetapi juga dipraktikkan dalam kehidupan sehari-
hari.

DAFTAR PUSTAKA

_________. 1997. Legal Philosophies. Ed. 2. London: Butterworths.


Friedman, Lawrence M. 1984. American Law: An Introduction. New York: W.W.
Norton & Co.

Harris, J.W. 1982. Law and Legal Science: An Inquiry into the Concepts Legal
Rule and Legal System. Oxford: Clarendon Press.

https://business-law.binus.ac.id/2019/10/04/apa-itu-budaya-hukum, diakses pada


Jumat 27 Oktober 2023
https://ilmuhukum.uin-suka.ac.id/id/kolom/detail/656/sistem-hukum-dan-
klasifikasi-hukum, diakses jumat 27 Oktober 2023
https://peradi-tasikmalaya.or.id/ruang-lingkup-ilmu-hukum-menurut-prof-dr-
soerjono-soekanto, diakses pada jumat 27 Oktober 2023
https://www.gramedia.com/literasi/sistem-hukum/#1_Struktur_Hukum, diakses
pada Jumat 27 Oktober 2023

Peursen, C.A. van. 1985. Strategi Kebudayaan. Terjemahan Dick Hartoko. Cet. 5.
Jakarta-Yogyakarta: BPK Gunung Mulia-Kanisius.

Pudjosewojo, Kusumadi. 1976. Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia.


Jakarta: Aksara Baru.

Schmid, J.J. von. 1965. Het Denken over Staat en Recht in de Tegenwoordige
Tijd. Haarlem: De Erven F. Bohn.

Shidarta. 2005. “Penegakan Hukum dalam Perspektif Budaya Hukum.” PPH


Newsletter. No. 62, September. Hlm. 13-15.

Soekanto, Soerjono. 1982. Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum. Jakarta:


Rajawali.

Anda mungkin juga menyukai