HUKUM Makalah
HUKUM Makalah
HUKUM Makalah
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................................................................................... i
Daftar Isi ......................................................................................................... ii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.................................................... 1
B. Rumusan Masalah.............................................................. 2
C. Tujuan ............................................................................... 2
BAB II : PEMBAHASAN
A. Ruang Lingkup Ilmu Hukum............................................. 3
B. Sistem Hukum.................................................................... 3
C. Struktur Hukum.................................................................. 13
D. Budaya Hukum..................................................................13
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................20
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum pada dasarnya harus sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa yang
bersangkutan. Sampai saat ini masih banyak peraturan perundang-undangan yang
tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, khususnya peraturan
perundang-undangan peninggalan Pemerintahan Hindia Belanda. Peraturan
peninggalan Pemerintahan Hindia Belanda salah satunya adalah Hukum yang
mengatur tata cara penyelesaian sengketa keperdataan, yaitu Hukum Acara Perdata
seperti, Herzienne Indonesisch Reglement ( HIR ) – S. 1941 No. 44 untuk Jawa –
Madura, Rechtsreglement Buitengeweten (RBg) – S. 1927 No. 277 untuk luar Jawa –
Madura. Hukum Acara Perdata ini sudah tidak sesuai dengan perkembangan
dankebutuhan masyarakat dewasa ini, sehingga tidak dapat menampung berbagai
perkembangan hukum.
Perkembangan masyarakat yang sangat cepat dan pengaruh globalisasi,
menuntut adanya Hukum yang dapat mengatasi persengketaan dengan cara yang
efektif dan efisien sesuai dengan asas sederhana, mudah, dan biaya ringan.
Pentingnya hukum adalah untuk mengatur tingkah laku manusia; menentukan
mana yang dapat dilakukan dan mana yang dilarang. Dalam hal ini penulis akan
membahas lebih lanjut tentang ruang lingkup hukum, sistem hukum, struktur hukum
dan budaya hukum.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
PEMBAHASAN
2
https://ilmuhukum.uin-suka.ac.id/id/kolom/detail/656/sistem-hukum-dan-klasifikasi-
hukum, diakses jumat 27 Oktober 2023
C. Struktur Hukum
Struktur hukum atau legal structure adalah institusionalisasi dari entitas-
entitas hukum. Sebagai contohnya dapat dilihat pada struktur kekuasaan
pengadilan di Indonesia yang terdiri dari pengadilan tingkat I, Pengadilan
Banding, serta Pengadilan Tingkat Kasasi, jumlah hakim dan integrated justice
system.Selain itu, juga dikenal dengan adanya Peradilan Umum, Peradilan Tata
Usaha Negara, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Pajak.3
D. Budaya Hukum
Budaya hukum atau legal culture merupakan sikap dan nilai-nilai yang
saling terkait dengan tingkah laku bersama dan berhubungan langsung dengan
hukum serta lembaga-lembaga negara. Budaya hukum adalah unsur dari sistem
hukum yang paling sulit untuk dibentuk karena membutuhkan jangka waktu
relatif panjang. Hal ini terjadi karena budaya berkaitan dengan nilai-nilai. Apa
yang berkaitan dengan nilai, pasti membutuhkan proses internalisasi agar nilai-
nilai itu tidak sekadar diketahui, tetapi juga dipraktikkan dalam kehidupan sehari-
hari.
Ada jargon klasik dalam bahasa Belanda yang kerap dikutip penulis buku-
buku teks hukum: ‘Het recht hinkt achter de feiten aan,’ yang artinya hukum itu
berjalan terseok-seok mengikuti fakta. Jadi, hukum sebenarnya ada di belakang
fakta, dalam arti kenyataan itulah yang menginspirasi munculnya hukum. Tentu
saja ada banyak fakta yang terjadi di sekitar kita dan tidak semuanya harus
dikukuhkan menjadi norma hukum.
Fakta-fakta yang layak untuk dikukuhkan menjadi hukum adalah fakta-
fakta yang terjadi berulang kali, yang kemudian membentuk pola perilaku yang
sama secara berulang-ulang. Pola ini dirasakan mengikat, dalam arti membebani
kewajiban bagi orang-orang yang menjalankannya. Bahkan, apabila ada orang
yang melanggar kewajiban itu, ada kesan kuat bahwa terhadap orang itu
seharusnya dijatuhkan sanksi.
3
https://www.gramedia.com/literasi/sistem-hukum/#1_Struktur_Hukum, diakses pada
Jumat 27 Oktober 2023
Apa yang digambarkan di atas membawa kita pada satu topik tentang
budaya hukum. Tulisan ini akan menggambarkan secara sekilas tentang makna
budaya dan kebudayaan secara umum, lalu masuk ke pengertian budaya hukum.
Lalu, akan diulas tentang budaya hukum masyarakat serta peran hakim dalam
penciptaan budaya hukum yang sehat. Terakhir akan disinggung tentang peran
masyarakat dalam budaya hukum yang tidak sehat.
Tatkala para subjek hukum bersentuhan dengan hukum, maka hukum yang
dimaksud tidak lagi sepenuhnya bermakna tekstual sebagaimana tertulis di dalam
undang-undang atau sumber hukum positif lainnya. Hukum tersebut pasti sudah
dikaitkan dengan fakta konkret yang tengah dihadapi. Dengan perkataan lain,
hukum yang in abstracto itu dihubungkan dengan kontekst fakta konkret yang
terjadi, sehingga pada akhirnya akan ditemukan jawaban seperti apa suatu kasus
hukum akan diselesaikan. Jawaban ini, jika dituangkan di dalam putusan hakim,
akan menjadi hukum yang in concreto.
Kalimat di atas memberi penegasan bahwa teks hukum memang tidak
pernah lepas dari konteks. Dalam proses ketika sebuah hukum dibentuk, misalnya
oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah sebagai pembentuk undang-
undang, rancangan hukum tersebut pasti menampung kebutuhan-kebutuhan
masyarakat yang menjadi sasaran norma hukum itu. Artinya, hukum yang dibuat
harus sejalan dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Tuntutan kebutuhan ini
bukan sesuatu yang berada di awang-awang, melainkan kebutuhan yang
senyatanya ada di dalam kehidupan masyarakat, yang dipandang mendesak untuk
diatur ke dalam hukum positif. Hal ini berarti ketika suatu hukum positif,
khususnya undang-undang ditetapkan, maka di situ sudah ada jaminan hukum
positif ini dapat berlaku secara sosiologis (karena masyarakat memang
membutuhkan) dan berlaku secara filosofis (karena masyarakat memandang
seyogianya memang hal itu perlu dibuat aturannya). Dengan demikian, menjadi
tugas negara untuk menetapkan pengaturan itu ke dalam hukum positif, sehingga
peraturan itu berlaku secara yuridis.
Dalam hal ini terlihat bahwa hukum positif, baik ketika dibentuk maupun
pada saat diterapkan dalam kasus-kasus konkret di lapangan, akan bersentuhan
dengan faktor ruang dan waktu. Faktor ruang menunjuk pada tempat (lokasi)
tempat para subjek hukum berada dan berinteraksi dengan sesama dan alam
sekitarnya. Faktor waktu menunjuk pada kurun masa tertentu pada saat subjek
hukum ini hidup dan beraktivitas. Kedua faktor ini membingkai aktivitas manusia
sebagai mahluk individu dan mahluk sosial, sehingga faktor ruang dan waktu ini
dapat membentuk pola perilaku anggota-anggota masyarakat. Adat dan kebiasaan
adalah contoh dari pola perilaku orang-orang yang berada dalam ruang yang sama
pada kurun waktu tertentu. Kesamaan ini membentuk budaya.
Secara leksikal, ’budaya’ diartikan sebagai pikiran, akal budi, adat istiadat,
atau sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah. Sementara
itu ada kata ’kebudayaan’ yang dimaknai sebagai hasil kegiatan dan penciptaan
batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat. Bisa
juga diartikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial
yang digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang
menjadi pedoman tingkah lakunya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005: 169-
170).
Seorang antropolog dan budayawan Indonesia, Koentjaraningrat (1985)
menyebutkan tujuh unsur universal yang terkandung dalam kebudayaan, yaitu: (1)
sistem religi dan upacara keagamaan, (2) sistem dan organisasi kemasyarakatan,
(3) sistem pengetahuan, (4) bahasa, (5) kesenian, (6) sistem mata pencaharian
hidup, dan (7) sistem teknologi dan peralatan. Selanjutnya, ketujuh unsur itu lalu
mewujud ke dalam tiga macam fenomena, yaitu: (1) suatu kompleks ide, nilai,
dan norma, (2) kompleks aktivitas kelakukan berpola, dan (3) benda-benda hasil
karya manusia.
Konsep lain tentang budaya dan kebudayaan disampaikan oleh Bernardo
Bernadi yang kemudian disederhanakan ole Soerjanto Poespowardojo (1993: 7-9),
dengan membagi fenomena kebudayaan ke dalam empat faktor dasar, yaitu: (1)
anthropos, (2) oikos, (3) tekne, dan (4) ethnos. Keempat faktor dasar ini dapat
dipandang sebagai unsur yang menentukan perkembangan suatu kebudayaan.
Faktor anthropos berkaitan dengan manusia. Pada dasarnya manusia
bukanlah mahluk rasional yang sudah selesai dan sempurna. Artinya, manusia
perlu berkarya agar dapat membuat dunianya menjadi lebih bermakna. Potensi
manusia inilah yang menjadikannya sebagai agen kebudayaan yang kreatif. Faktor
kedua, yaitu oikos, yang berarti alam atau lingkungan tempat manusia melakukan
proses kreativitasnya. Lingkungan inilah yang menjadi medan perjuangan
manusia, sehingga muncul hubungan antara manusia dan alam sekitarnya. Faktor
ketiga adalah tekne, yakni akar kata dari teknologi sebagai sarana/prasarana yang
dgunakan manusia dalam membantunya mengelola kehidupannya. Hukum dapat
saja dipandang sebagai tekne apabila dipahami sebagai alat untuk mencapai tujuan
kehidupan bermasyarakat yang lebih baik. Faktor terakhir atau keempat adalah
ethnos, yaitu komunitas. Karya manusia yang sebaik apapun, termasuk hukum
positif yang dibuat oleh manusia, tidak akan bermakna jika tidak didukung oleh
semangat kolektif. Hukum yang baik harus dilahirkan karena memang
dikehendaki oleh masyarakat dan diterapkan sebagai konsekuensi dari
kesepakatan sosial.
Keempat faktor dasar dalam budaya ini sejalan dengan pernyataan dari
Lawrence M. Friedman (1984: 6) tentang budaya hukum. Ia menyatakan:
… people’s attitudes toward law and legal system―their beliefs, values,
ideas, and expectations. . . The legal culture, in other words, is the climate of
social thought and social force which determines how law is used, avoided, or
abused. Without legal culture, the legal system is inert―a dead fish lying in a
basket, not a living fish swimming in its sea.
Ahli hukum Jerman, F.C. von Savigny meyakini bahwa faktor budaya
sangat berperan untuk menentukan corak hukum suatu masyarakat, bahkan
bangsa. Setiap bangsa yang dipersatukan oleh bingkai sejarah yang sama,
biasanya memiliki satu jiwa bangsa (Volksgeist). Hukum tidak dibuat, melainkan
tumbuh bersama dengan masyarakat. Dalam teori yang lebih modern, Leon
Duguit dari Prancis menyimpulkan bahwa hukum objektif itu tidak tumbuh dari
jiwa bangsa atau dari undang-undang, melainkan dibangun oleh solidaritas sosial.
Artinya, berkat ikatan solidaritas sosial itulah maka kehidupan suatu bangsa bisa
berjalan dengan tertib, dan hukum bisa ditegakkan. Dua pendekatan berpikir ala
Savigny dan Duguit mencerminkan pandangan bahwa hukum sebagai pola
perilaku sosial dalam skala makro. Hukum dikaitkan dengan jiwa bangsa dan
solidaritas sosial.
Di sisi lain, ada pandangan yang lebih melihat hukum sebagai pola-pola
perilaku sosial dalam skala meso dan mikro. Perilaku masyarakat tatkala
bersentuhan dengan hukum dapat dijadikan contoh. Perilaku pengendara mobil
dan sepeda motor dalam menghadapi rambu-rambu lalu lintas di jalan, atau
perilaku masyarakat yang hadir di persidangan saat mengikuti persidangan, adalah
beberapa contoh konkret dari pendekatan meso dan mikor dalam budaya hukum
masyarakat.
Dilihat dari subjek yang membentuk budaya hukum tersebut, oleh
Friedman dibedakan menjadi dua. Ada budaya hukum eksternal yang melibatkan
masyarakat luas secara umum. Selain itu ada budaya hukum internal, yaitu budaya
yang dikembangkan oleh para aparat penegak hukum. Kedua jenis budaya hukum
ini saling mempengaruhi. Jika budaya hukum ekternalnya sehat, maka dengan
sendirinya budaya hukum internal akan ikut menyesuaikan karena aparat penegak
hukum pada hakikatnya adalah produk dari masyarakatnya sendiri. Jika
masyarakat tidak terbiasa memberi suap maka aparat penegak hukum juga tidak
akan terbiasa meminta suap. Pada sisi sebaliknya, jika aparat penegak hukum
terbiasa menolak dengan tegas setiap bentuk penyuapan, maka masyarakat juga
tidak akan berani memulai berinisiatif memberi suap.
Terlepas apakah pola-pola perilaku yang dibiarkan terjadi terus-menerus
itu baik atau buruk bagi kehidupan hukum di dalam masyarakat, maka
demikianlah suatu budaya hukum akan tercipta. Di sini berlaku hukum tidak
tertulis, bahwa pola perilaku yang berulang-ulang akhirnya akan ”disepakati”
mengikat bagi seluruh warga masyarakat. Budaya hukum yang baik akan
berkontribusi membentuk sistem hukum yang sehat, sementara budaya hukum
yang tidak baik akan mendorong timbulnya sistem hukum yang sakit.
Budaya hukum yang sehat diwujudkan dalam bentuk kesadaran hukum
(rechtsbewustzijn), sedangkan budaya hukum yang sakit (tidak sehat) ditunjukkan
melalui perasaan hukum (rechtsgevoel). J.J. von Schmid (1965: 63) dengan tepat
membedakan kedua terminologi itu. Menurutnya, ”Van rechtsgevoel dient men te
spreken bij spontaan, onmiddelijk als waarheid vastgestelde rechtswaardering,
terwijl bij het rechtsbewustzijn men met waarderingen te maken heeft, die eerst
middelijk, door nadenken, redeneren en argumentatie aan nemelijk gemaakt
worden.” Schmid kurang lebih menyatakan bahwa perasaan hukum adalah
penilaian masyarakat atas hukum yang diungkapkan mereka secara spontan,
langsung, dan apa adanya, sementara kesadaran hukum lebih merupakan penilaian
tidak langsung karena kesadaran hukum berangkat dari hasil pemikiran,
penalaran, dan argumentasi.
Sebagai contoh, kegeraman masyarakat terhadap pelaku kejahatan yang
meresahkan, sering ditunjukkan dengan tindakan yang justru destruktif, termasuk
merusak ruang pengadilan atau fasilitas umum. Juga pernah terjadi tawuran
selepas hakim menutup persidangan karena salah satu pihak tidak puas dengan
putusan hakim. Kasus-kasus yang dipandang sebagai penghinaan terhadap
martabat peradilan (contempt of court) bermula dari perasaan hukum.
Untuk mengetahui seberapa sehat suatu sistem hukum, dapat dicermati
pada saat hukum ditegakkan dalam kasus-kasus konkret. Apa yang dihadapi oleh
para hakim di ruang-ruang pengadilan merupakan batu ujian untuk memahami
sehat tidaknya suatu sistem hukum, termasuk di dalamnya unsur budaya hukum
yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Oleh sebab itu, budaya hukum dan
penegakan hukum merupakan dua mata rantai yang saling berhubungan.4
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
4
https://business-law.binus.ac.id/2019/10/04/apa-itu-budaya-hukum, diakses pada Jumat
27 Oktober 2023
Ruang Lingkup Ilmu Hukum Menurut Prof. DR. Soerjono Soekanto, S.H.,
M.A. yang mencakup sebagai berikut ini: Normwissenschaften atau
Sollenwinssenschaften, yakni ilmu yang mempelajari hukum sebagai
norma/kaedah, yang terdiri dari:
Ilmu tentang pengertian hukum.
Ilmu tentang kaidah hukum
Sistem hukum : Sistem Hukum Masyarakat Eropa, Sistem Hukum Adat,
Sistem Hukum Kanonik, Sistem Hukum Islam, Sistem Hukum Sosialisi, Sistem
Common Law, Sistem Civil Law.
Struktur hukum atau legal structure adalah institusionalisasi dari entitas-
entitas hukum. Sebagai contohnya dapat dilihat pada struktur kekuasaan
pengadilan di Indonesia yang terdiri dari pengadilan tingkat I, Pengadilan
Banding, serta Pengadilan Tingkat Kasasi, jumlah hakim dan integrated justice
system.Selain itu, juga dikenal dengan adanya Peradilan Umum, Peradilan Tata
Usaha Negara, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Pajak.
Budaya hukum atau legal culture merupakan sikap dan nilai-nilai yang
saling terkait dengan tingkah laku bersama dan berhubungan langsung dengan
hukum serta lembaga-lembaga negara. Budaya hukum adalah unsur dari sistem
hukum yang paling sulit untuk dibentuk karena membutuhkan jangka waktu
relatif panjang. Hal ini terjadi karena budaya berkaitan dengan nilai-nilai. Apa
yang berkaitan dengan nilai, pasti membutuhkan proses internalisasi agar nilai-
nilai itu tidak sekadar diketahui, tetapi juga dipraktikkan dalam kehidupan sehari-
hari.
DAFTAR PUSTAKA
Harris, J.W. 1982. Law and Legal Science: An Inquiry into the Concepts Legal
Rule and Legal System. Oxford: Clarendon Press.
Peursen, C.A. van. 1985. Strategi Kebudayaan. Terjemahan Dick Hartoko. Cet. 5.
Jakarta-Yogyakarta: BPK Gunung Mulia-Kanisius.
Schmid, J.J. von. 1965. Het Denken over Staat en Recht in de Tegenwoordige
Tijd. Haarlem: De Erven F. Bohn.