Makalah Ilmu Fiqh Kelompok 6

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 17

ILMU FIQH

UNSUR-UNSUR AKHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

Dosen Pengampu : Dr. H. Junaidi Abdillah, M.S.I

Disusun oleh :

1. Maulida Maghfirotul Mudrikah (2102016160)


2. Rachmad Fathuriza Adi (2102019158)
3. Ahmad Rizal Fikri (2102016138)

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI WALISONGO SEMARANG


PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah Hukum keluarga Islam sebagai tawaran untuk


menyelesaikan beberapa permasalahan, sebab hukum keluarga dianggap sebagai inti
syariah. Pada hakikatnya bukan dimaksudkan untuk mengajarkan kepada umat Islam agar
kelak dalam berumah tangga dapat mempraktekkannya, akan tetapi hukum disini bersifat
solutif, artinnya hukum Islam memberikan solusi-solusi dalam menyelesaikan
permasalahan keluarga yang terjadi. Akan tetapi terkadang, hukum-hukum yang telah ada
belum dapat dipahami terkait hikmah dan filsafatnya, sehingga berakibat kepada
anggapan hukum Islam yang tidak lagi representatif dalam menyelesaikan perkara
perdata keluarga Islam.
Secara historis, berbagai regulasi hukum keluarga di Indonesia dijabarkan secara
personal oleh para ulama atas dasar pembacaan dan pembelajaran mereka dari guru-guru
mereka. Pada sisi inilah maka progresivitas hukum menjadi terhambat karena penjelasan
dari para ulama dianggap sakral dan tidak boleh dipertentangkan apalagi dievaluasi dan
direvisi. Tidak bisa dipungkiri bahwa era stagnasi (jumud) ilmu pernah terjadi pada masa
lalu akibat sakralisasi masyarakat terhadap ulama, baik pribadinya maupun
pemikirannya.

BAB II
PEMBAHASAN

1. Nikah

Pernikahan adalah suatu bentuk keseriusan dalam sebuah hubungan. Selain


merupakan bentuk cinta, pernikahan dalam Islam merupakan salah satu bentuk ibadah
kepada Allah. Bahkan, disebutkan bahwa pernikahan adalah menggenapkan setengah
agama.

Penyatuan dua insan, laki-laki dan perempuan ini diharapkan menjadi media dan tempat
yang sempurna untuk mendapatkan pahala dan ridho dari Allah SWT. Oleh karena itu,
pernikahan dalam islam merupakan sesuat yang sakral, jadi sebisa mungkin harus dijaga
bahkan hingga maut memisahkan.
Allah SWT memberikan keterangan mengenai keutamaan menikah. Bahkan, Allah SWT
akan memberikan karunia-Nya kepada laki-laki dan perempuan yang menikah karena-
Nya. Dalam salah satu ayat di dalam Alquran, Allah berfirman:

“Dan nikahkan lah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-
orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan.
Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-
Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.” (An-Nur: 32).

A. Definisi Pernikahan dalam Islam

Kata pernikahan berasal dari Bahasa Arab, yaitu ‘An-nikah’ yang memiliki
beberapa makna. Menurut bahasa, kata nikah berarti berkumpul, bersatu dan
berhubungan. Definisi pernikahan dalam Islam lebih diperjelas oleh beberapa ahli
ulama yang biasa dikenal dengan empat mahzab fikih. Yakni:

 Imam Maliki. Menurut Imam Maliki, pernikahan adalah sebuah akad yang
menjadikan hubungan seksual seorang perempuan yang bukan mahram, budak dan
majusi menjadi halal dengan shighat.
 Imam Hanafi. Menurut Imam Hanafi, pernikahan berarti seseorang memperoleh
hak untuk melakukan hubungan seksual dengan seorang perempuan. Dan
perempuan yang dimaksud ialah seseorang yang hukumnya tidak ada halangan
sesuai syar’i untuk dinikahi.
 Imam Syafi’i. Menurut Imam Syafii, pernikahan adalah akad yang membolehkan
hubungan seksual dengan lafadz nikah, tazwij atau lafadz lain dengan makna
serupa.
 Imam Hambali. Menurut Imam Hambali, pernikahan merupakan proses terjadinya
akad perkawinan. Nantinya, akan memperoleh suatu pengakuan dalam lafadz nikah
ataupun kata lain yang memiliki sinonim.

Pada dasarnya, semua pengertian pernikahan yang disampaikan oleh keempat


imam tersebut mengandung makna yang hampir sama. Yakni,
mengubah hubungan antara laki-laki dan perempuan yang sebelumnya tidak halal
menjadi halal dengan akad atau shighat.

B. Tujuan Pernikahan dalam Islam

Banyak tujuan yang ingin dicapai oleh pasangan saat akan mengarungi
bahtera rumah tangga. Tentunya salah satunya adalah ingin memiliki keluarga
yang bahagia dunia akhirat bersama seseorang yang dicintainya.Tujuan pernikahan
dalam Islam juga bersandar pada kebutuhan dan keinginan manusia, seperti:

 Memenuhi Kebutuhan Manusia. Pernikahan dalam Islam adalah hal yang suci
dan menjadi pertalian antar manusia yang disaksikan oleh Allah. Melalui
pernikahan, kebutuhan manusia terutama kebutuhan biologis akan tersalurkan
dengan benar dan sesuai aturan Allah. Rasulullah SAW bersabda: "Wahai para
pemuda, barang siapa dari kamu telah mampu memikul tanggung jawab keluarga,
hendaknya segera menikah, karena dengan pernikahan engkau lebih mampu untuk
menundukkan pandangan dan menjaga kemaluanmu." (Bukhari Muslim).
 Membangun Rumah Tangga. Pernikahan juga bertujuan untuk membangun
sebuah keluarga yang tenteram, nyaman, damai, dan penuh cinta serte terwujudnya
keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah. Allah Berfirman: “Dan di antara tanda-
tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari
jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia
menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang
berpikir.” (Ar Ruum: 21).
 Meningkatkan Ibadah . Dengan pernikahan, diharapkan akan meningkatkan
ibadah, lebih taat dan saling meningkatkan ketakwaaan. Rasulullah SAW
bersabda, "Apabila seorang hamba menikah, maka telah sempurna separuh
agamanya. Maka takut lah kepada Allah SWT untuk separuh sisanya." (HR.
Baihaqi).
 Mendapatkan Keturunan. Tujuan pernikahan dalam Islam ini untuk
mendapatkan generasi yang akan meneruskan nasab keluarga. Anak-anak soleh
solehah akan terlahir dari pasangan yang selalu taat beribadah kepada Allah.
Rasulullah SAW bersabda "Nikahi lah perempuan-perempuan yang bersifat
penyayang dan subur (banyak anak), karena aku akan berbangga-bangga dengan
(jumlah) kalian di hadapan umat-umat lainnya kelak pada hari kiamat.” (HR
Ahmad, Ibnu Hibban, dan Thabrani)

C. Hukum Pernikahan dalam Islam

Karena merupakan kegiatan sakral dan bernilai ibadah, pernikahan memiliki


hukum-hukum yang harus ditaati. Hukum pernikahan ini dilaksanakan berdasarkan
kondisi yang terjadi pada kedua calon pasangan pengantin . Hukum pernikahan
dalam Islam dibagi kepada beberapa jenis, yakni:

 Wajib, jika baik pihak laki-laki dan perempuan sudah memasuki usia wajib nikah,
tidak ada halangan, memiliki kemauan untuk berumah tangga dan khawatir terjadi
zina. Kondisi seperti ini menjadi wajib untuk segera melangsungkan pernikahan.
 Sunnah. Menurut pendapat para ulama, sunnah adalah kondisi di mana seseorang
memiliki kemauan dan kemampuan untuk menikah namun belum juga
melaksanakannya. Orang ini juga masih dalam kondisi terhindar atau terlindung
dari perbuatan zina sehingga meskipun belum menikah, tidak khawatir terjadi zina.
 Haram, ketika pernikahan dilaksanakan saat seseorang tidak memiliki keinginan
dan kemampuan untuk menikah, namun dipaksakan. Nantinya dalam menjalani
kehidupan rumah tangga, dikhawatirkan istri dan anaknya ditelantarkan.
 Makruh, apabila seseorang memiliki kemampuan untuk menahan diri dari
perbuatan zina. Akan tetapi belum berkeinginan untuk melaksanakan pernikahan
dan memenuhi kewajiban sebagai suami.
 Mubah, jika pernikahan dilakukan oleh orang yang memiliki kemampuan dan
keinginan, akan tetapi jika tidak pun dia bisa menahan diri dari zina. Jika
pernikahan dilakukan, orang tersebut juga tidak akan menelantarkan istrinya.

D. Syarat dan Rukun Pernikahan dalam Islam

Saat melangsungkan pernikahan, bukan hanya terikat dengan akad saja,


tetapi juga memiliki rukun dan syarat.

Rukun nikah adalah semua perkara yang wajib dilaksanakan untuk


menentukan sah atau tidaknya sebuah pernikahan. Rukun pernikahan dalam Islam
ada 5 hal yaitu:

 Calon Pengantin Pria, yang memiliki persyaratan seperti beragama islam ,


identitas jelas, sehat, baligh, adil dan merdeka.
 Calon Pengantin Perempuan, yang memenuhi persyaratan seperti beragama
islam, bukan mahram, tidak dalam kondisi terlarang, baligh, sehat dan sebagainya.
 Wali, adalah ayah dari pihak perempuan yang diwajibkan kehadirannya.
 Saksi, adalah orang yang akan menyaksikan pelaksanaan prosesi pernikahan.
Dianjurkan mendatangkan 2 saksi laki-laki yang memenuhi syarat sebagai saksi.
 Ijab dan Qabul, adalah akad yang dilakukan calon pengantin pria dan wali dalam
prosesi pernikahan.

Meskipun bukan bagian dari rukun nikah, pemberian mahar dari pihak laki-
laki kepada mempelai perempuan dinilai sebagai budaya dan bersifat tidak wajib
dan mengikat. Mahar hanya ditekankan untuk meringankan pihak mempelai
perempuan.

Syarat sahnya pernikahan dalam islam terbagi kepada beberapa hal, yakni:

 Beragama Islam bagi pengantin laki-laki. Untuk non muslim, wajib beragama
Islam terlebih dahulu baru pernikahan dapat dilanjutkan.
 Bukan laki-laki mahrom bagi calon istri
 Mengetahui wali akad nikah. Dalam Islam, pemilihan wali sudah diatur dengan
tepat dan tidak sembarangan. Allah menjadikan keluarga dari pihak perempuan
seperti ayah, kakek dan seterusnya secara berurutan sebagai wali.
 Tidak sedang melaksanakan haji. Rasulullah bersabda: “Seorang yang sedang
ber-ihram tidak boleh menikahkan, tidak boleh dinikahkan, dan tidak boleh
mengkhitbah.” (HR. Muslim).
 Tidak karena paksaan. Pernikahan yang dilangsungkan bukan merupakan
paksaan dari pihak manapun. Karena menikah adalah atas dasar keinginan calon
pengantin sendiri.

Apabila tidak dilengkapi, maka pernikahan dalam Islam dianggap tidak sah.
Selain syarat sah nikah di atas, calon pengantin perempuan juga tidak memiliki
kondisi terlarang. Ketika diketahui bahwa sang perempuan terlarang untuk menikah,
misalnya dalam masa iddah, maka pernikahannya dianggap tidak sah.

Karena posisinya yang bisa menggenapkan setengah agama, maka pernikahan


dalam Islam merupakan sesuatu yang tidak boleh disepelekan.

2. Talak

Secara bahasa, talak berarti melepaskan ikatan. Dengan kata lain, talak adalah
memutuskan hubungan antara suami istri dari ikatan pernikahan yang sah menurut syariat
agama. Meski demikian, Islam juga memperbolehkan adanya rujuk setelah suami menjatuhkan
talak pada istrinya, tapi tetap dengan beberapa catatan.
Sebenarnya, talak merupakan hak suami, artinya istri nggak bisa melepaskan diri dari
ikatan pernikahan kalau nggak dijatuhkan talak oleh suami. Meski begitu, suami juga nggak
dibenarkan menggunakan haknya tersebut dengan semena-mena dan gegabah dalam
memutuskan talak, apalagi jika hanya menuruti hawa nafsunya saja. Ucapan talak juga nggak
bisa dianggap main-main. Ketika suami mengucapkan talak secara mutlak, meski kondisinya
sedang bercanda sekalipun, maka talak itu tetap jatuh pada sang istri.
A. Hukum Talak

Asal hukum talak adalah makruh karena talak merupakan perbuatan halal tetapi sangat
dibenci oleh Allah Swt. Nabi Muhammad Saw, bersabda:

”Perbuatan halal, tetapi paling dibenci oleh Allah adalah talak”. (HR. Abu Daud).Para ulama
sepakat membolehkan talak. Hukum talak menjadi wajib ketika terjadi perselisihan antara suami
istri, sedangkan dua hakim yang mengurus perkara keduanya sudah memandang perlu supaya
keduanya bercerai. Talak berhukum sunah jika suami sudah tidak sanggup lagi membayar dan
mencukupi kewajibannya (nafkahnya) atau perempuan tidak menjaga kehormatan dirinya. Lalu
ada keadaan yang menyebabkan talak menjadi haram hukumnya, yaitu menjatuhkan talak saat
istri dalam keadaan haid dan menjatuhkan talak sewaktu suci yang telah dicampurinya dalam
waktu suci itu.

B. Rukun Talak

1. Yang menjatuhkan talak adalah suami. Syaratnya baligh, berakal, dan kehendak sendiri.

2. Yang dijatuhi talak adalah istrinya.

3. Ada dua macam cara menjatuhkan talak, yaitu dengan cara sharih (tegas) maupun dengan cara
kinayah (sindiran).

- Cara sharih, misalnya “Saya talak engkau!” atau “Saya cerai engkau!”. Ucapan talak dengan
cara sharih tidak memerlukan niat. Jadi kalau suami mentalak istrinya dengan cara sharih,
jatuhlah talaknya walupun tidak berniat mentalaknya.
- Cara kinayah, misalnya “Pulanglah engkau pada orang tuamu!”, atau “Kawinlah engkau
dengan orang lain, saya sudah tidak butuh lagi kepadamu!”, Ucapan talak memerlukan niat. Jadi
kalau suami mentalak istrinya dengan cara kinayah, padahal sebenarnya tidak berniat
mentalaknya, talaknya tidak jatuh.

- Lafal dan Bilangan Talak. Lafal talak dapat diucapkan/dituliskan dengan kata-kata yang jelas
atau dengan kata-kata sindiran. Adapun bilangan talak maksimal tiga kali talak satu dan talak
dua masih boleh rujuk (kembali) sebelum habis masa Iddahnya dan apabila masa Iddahnya telah
habis harus dilakukan akad nikah lagi.

Pada talak tiga suami tidak boleh rujuk dan tidak boleh nikah lagi sebelum istrinya itu menikah
dengan laki-laki lain dan sudah digauli serta telah ditalak oleh suami keduanya itu.

C. Jenis-jenis talak

Jenis jenis talak dibagi menjadi dua yaitu, talak Raj’i dan talak Bain. Macam-macam talak ini
ada berdasarkan masa iddah istri. Berikut macam-macam talak:

1. Talak Raj’i

Talak Raj’i, yaitu talak ketika suami boleh rujuk tanpa harus dengan akad nikah lagi.
Talak raj’i ini dijatuhkan suami kepada istrinya untuk pertama kalinya atau kedua kalinya dan
suami boleh rujuk kepada istri yang telah ditalaknya selama masih dalam masa Iddah.

Talak Raj’i juga disebut talak satu dan talak dua. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), Talak
raj’i adalah talak kesatu atau kedua dalam talak ini suami berhak rujuk selama isteri dalam masa
iddah. Talak ini sesuai dengan firman Allah Swt di surat al-Baqarah ayat 229 yang berbunyi:

"Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma´ruf atau
menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari
yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat
menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak
dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran
yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah
kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-
orang yang zalim".

2. Talak Bain

Talak Bain adalah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya yang telah habis masa
iddahnya. Talak bain dibagi menjadi dua macam yaitu talak bain sughra dan talak bain kubra.
3. Talak bain sughra

Talak bain sughra yaitu talak yang dijatuhkan kepada istri yang belum dicampuri dan
talak khuluk (karena permintaan istri). Suami istri boleh rujuk dengan cara akad nikah lagi, baik
masih dalam masa Iddah maupun sudah habis masa Iddahnya.

4. Talak bain kubro

Talak bain kubro yaitu talak yang dijatuhkan suami sebanyak tiga kali (talak tiga) dalam
waktu yang berbeda. Dalam talak ini suami tidak boleh rujuk atau menikah dengan bekas istri
kecuali dengan syarat :

- Bekas istri telah menikah lagi dengan laki-laki lain;

- Bekas istri telah dicampuri oleh suami yang baru;

- Bekas istri telah dicerai oleh suami yang baru.

- Bekas istri telah selesai masa Iddahnya setelah dicerai suami yang baru.

D. Alasan Jatuhnya Talak

Alasan jatuhnya talak menurut hukum Islam di antaranya adalah:

1. Ila’

Ila’ yaitu sumpah seorang suami bahwa ia tidak akan mencampuri istrinya. Ila’
merupakan adat Arab jahiliyah. Masa tunggunya adalah empat bulan. Jika sebelum empat bulan
sudah kembali maka suami harus menbayar denda sumpah. Bila sampai empat bulan/lebih hakim
berhak memutuskan untuk memilih membayar sumpah atau mentalaknya.

2. Lian

Lian yaitu sumpah seorang suami yang menuduh istrinya berbuat zina. Sumpah itu
diucapkan empat kali dan yang kelima dinyatakan dengan kata-kata : ”Laknat Allah Swt. atas
diriku jika tuduhanku itu dusta”. Istri juga dapat menolak dengan sumpah empat kali dan yang
kelima dengan kata-kata: ”Murka Allah Swt. atas diriku bila tuduhan itu benar”.

3. Dzihar

Dzihar yaitu ucapan suami kepada istrinya yang berisi penyerupaan istrinya dengan
ibunya seperti:”Engkau seperti punggung ibuku”. Ucapan ini mengandung pengertian
ketidaktertarikan lagi dari suami kepada istri. Adapun jika suami memanggil istrinya dengan
sebutan ”Mama atau Ibu” dengan niat suami mengutarakan rasa sayang kepada istri bukanlah
disebut Dzihar.

4. Khulu’ (talak tebus)

Khulu’ yaitu talak yang diucapkan oleh suami dengan cara istri membayar kepada suami.
Talak tebus biasanya atas kemauan istri. Penyebab talak antara lain:

- istri sangat benci kepada suami;

- suami tidak dapat memberi nafkah;

- suami tidak dapat membahagiakan istri.

5. Fasakh

Fasakh ialah rusaknya ikatan perkawinan karena sebab-sebab tertentu yaitu:

Karena rusaknya akad nikah seperti:

- diketahui bahwa istri adalah mahram suami;

- salah seorang suami / istri keluar dari agama Islam;

- semula suami/istri musyrik kemudian salah satunya masukIslam.

Karena rusaknya tujuan pernikahan, seperti:

- terdapat unsur penipuan, misalnya mengaku laki-laki baikternyata penjahat;

- suami/istri mengidap penyakit yang dapat mengganggu hubungan rumah tangga;

- suami dinyatakan hilang.

- suami dihukum penjara 5 tahun/lebih.


3. Rujuk

Rujuk berasal dari bahasa arab yaitu raja‟a - yarji‟u - ruju‟an yang berarti kembali atau
mengembalikan. Rujuk menurut istilah adalah mengembalikan status hukum perkawinan secara
penuh setelah terjadi thalak raj‟i yang dilakukan oleh bekas suami terhadap bekas istrinya dalam
masa iddahnya dengan ucapan tertentu. 1 Rujuk ialah mengembalikan istri yang telah dithalak
pada pernikahan yang asal sebelum diceraikan.

Sedangkan rujuk menurut para ulama madzhab adalah sebagai berikut:

1. Hanafiyah, rujuk adalah tetapnya hak milik suami dengan tanpa adanya penggantian dalam
masa iddah, akan tetapi tetapnya hak milik tersebut akan hilang bila masa iddah.

2. Malikiyah, rujuk adalah kembalinya istri yang dijatuhi talak, karena takut berbuat dosa tanpa
akad yang baru, kecuali bila kembalinya tersebut dari talak ba‟in, maka harus dengan akad baru,
akan tetapi hal tersebut tidak bisa dikatakan rujuk.

3. Syafi‟iyah, rujuk adalah kembalinya istri ke dalam ikatan pernikahan setelah dijatuhi talak
satu atau dua dalam masa iddah. Menurut golongan ini bahwa istri diharamkan berhubungan
dengan suaminya sebagaimana berhubungan dengan orang lain, meskipun sumi berhak
merujuknya dengan tanpa kerelaan. Oleh karena itu rujuk menurut golongan syafi‟iyah adalah
mengembalikan hubungan suami istri kedalam ikatan pernikahan yang sempurna.

4. Hanabilah, rujuk adalah kembalinya istri yang dijtuhi talak selain talak ba‟in kepada suaminya
dengan tanpa akad. Baik dengan perkataan atau perbuatan (bersetubuh) dengan niat ataupun
tidak.

A. Hukum Rujuk
Bukan saja pengertian rujuk yang harus Anda pahami, tetapi tentang hukum, syarat,
rukun, dan contohnya harus juga dipelajari lebih mendalam. Perihal hukum rujuk, para ulama
sepakat, berdasarkan berdasarkan hukum asalnya yaitu mubah (boleh), kemudian bisa berubah
menjadi wajib, sunnah, makruh, dan haram, tergantung dari kondisi dan situasi dalam kasus
perceraiannya. Berikut hukum rujuk dan alasannya:
1. Mubah (boleh), adalah hukum asalnya
2. Wajib, yaitu ketika suami memiliki istri lebih dari satu dan pernyataan talak dijatuhkan
sebelum menyelesaikan hak-hak istri tersebut, maka wajib hukumnya bagi suami untuk kembali
(rujuk) pada istri yang di talak-nya.
3. Sunnah, yaitu ketika percerian berdampak buruk bagi kedua belah pihak dan keluarga, maka
rujuk adalah jalan terbaik.
4. Makruh, yaitu apabila setelah perceraian segalanya menjadi lebih baik dibanding harus
kembali (rujuk).
5. Haram, yaitu apabila dimaksudakan untuk menyakiti dan menganiaya salah satu pihak.
B. Macam-macam Rujuk
1. Talak Satu dan Dua
Macam rujuk ini disebut juga dengan istilah rujuk talak raj’i. Sesuai pula dengan firman Allah
SWT.
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau
menceraikan (talak ketiga) dengan cara yang baik. (QS. Al-Baqarah : 229).
Dan diperkuat lagi dengan hadist rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh sahabat Umar
Radhiyallahu ‘Anhu dan dipastikan status hadisnya shahih.
“Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘Anhu, waktu itu beliau ditanya oleh seseorang dan ia berkata:
“adapun engkau yang telah menceraikan (istri) baru sekali atau dua kali, maka sesungguhnya
Rasulullah SAW menyuruh aku merujuk istriku kembali.” (HR. Muslim)
2. Talak Tiga
Rujuk talak ba’in ini tidak bisa dilakukan meskipun istri masih dalam masa ‘iddah, seperti
halnya rujuk talak raj’i. Akan tetapi, bekas istri harus menikah terlebih dahulu dengan orang lain,
keduanya sudah bersetubuh, lalu suami kedua menceraikan wanita tersebut.
Setelah ia diceraikan dan masa ‘iddahnya sempurna, barulah suami pertama bisa merujuk
istrinya kembali.
C. Rukun dan Syarat Rujuk
a. Istri, syaratnya : pernah digauli, talaknya talak raj'i (bukan talak tiga) dan masih dalam masa
iddah.
b. Suami, syaratnya : Islam, berakal sehat dan tidak terpaksa.
c. Sighat (lafaz rujuk). Lafaz yang menunjukkan maksud rujuk, misalnya kata suami “aku rujuk
engkau” atau “aku kembalikan engkau kepada nikahku”.
d. Saksi, yaitu 2 orang laki-laki yang adil.

D. Hikmah Rujuk
Hikmah di balik kebolehan rujuk terdapat nilai-nilai positif baik bagi bekas pasangan
tersebut maupun bagi anak-anaknya. Diantaranya adalah :
1. Sarana memikir ulang substansi perceraian yang telah dilakukan; apakah karena emosi, hawa
nafsu atau karena kemaslahatan.
2. Sarana mempertanggung jawabkan anak secara bersama-sama.
3. Sarana menjalin kembali pasangan suami istri yang bercerai, sehingga pasangan tersebut bisa
lebih hati-hati, saling menghargai dan menghormati.
4. Saran perbaikan hubungan diantara 2 manusia atau lebih, sehingga muncul rasa saling
menyayangi yang lebih besar.
5. Rujuk akan menghindari perpecahan hubungan kekerabatan diantara keluarga suami atau istri.

4. Waqaf
Menurut ahli fiqh kata wakaf berasal dari kata wakaf atau waqf berasal dari bahasa arab
waqqafa. Asal kata Waqqafa berarti menahan atau berhenti atau diam ditempat atau tetap
berdiri.
 Menurut ulama hanafiyah waqaf adalah mmenahan substansi hartapada kepemilikan
wakif dan menyedekahkanya.
 Kemudian, Muhammad Jawad Mughniyah, mengatakan Istilah wakaf adalah
sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan
(pemilikan), lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum. Menahan barang yang
diwakafkan dimaksudkan agar tidak diwariskan, digunakan dalam bentuk dijual,
dihibahkan, digadaikan, disewakan, dipinjamkam dan sejenisnya. Sedangkan,
pemanfaatannya dengan menggunakan sesuai dengan kehendak pemberi wakaf
tanpa imbalan.(Mughniyah, 2007: 635)
 Sedangkan menurut mundhir qahaf yaitu memberikan harta atau pokok benda yang
produktif tanpa ada campur tangan pribadi., menyalurkan hati dan manfaatnya secara
secara kursus, sesuai dengantujuan wakaf, baik untuk kepentingan perorangan,
 masyarakat dan agama. (Qahaf, 1995: 64) Dan menurut Sayyid Sabiq, wakaf
adalah menahan harta dan memberikan mafaatnya di jalan Allah.(Sabiq, t.t: 378)
 Maka, wakaf secara umum, jika dilihat dari perbuatan orang yang mewakafkan,
wakaf adalah suatu perbuatan hukum dari seseorang yang sengaja memisahkan
atau mengeluarkan harta bendanya yang mana manfaatnya untuk keperluan di jalan
Allah dan dapat pengertian dari beberapa definisi diatas bahwa harta benda
milik sesorang atau kelompok

Dasar hukum waqaf


Dalil yang menjadi dasar disyariatkan wakaf bersumber dari al-Qur‟an, Sunnah
dan Ijma‟.
1. Dalil al-Qur‟an
Dalam Al-Qur‟an Surah Al-Hajj ayat 77.
Penjelasan pada ayat tersebut bahwa dalam melakukan kebajikan setelah ruku‟
dan sujud (shalat). Maka, seseorang melakukan shalat dilengkapi dengan berbuat
kebajikan dan diantara pelaku kebajikan yaitu dengan wakaf.

Macam-Macam Wakaf
Wakaf terbagi menjadi beberapa macam berdasarkan batasan waktunya, tujuan,
penggunaan barangnya, bentuk manajemen dan jenis barangnya.

a. Macam-macam wakaf berdasarkan batasan waktu


Berdasarkan batas waktunya, wakaf dibagi menjadi dua bagian. Pertama,
wakaf mu‟abbad yaitu wakaf selamanya, apabila berbentuk barang yang bersifat abadi
seperti tanah dan bangunan dengan tanahnya. Kedua, wakaf mu‟aqqat (sementara/
dalam waktu tertentu), seperti barang yang diwakafkan berupa barang yang mudah
rusak dan wakaf sementara juga bisa dikarenakan oleh keinginan wakif yang
memberikan batasan waktu ketika mewakafkan barangnya.

b. Wakaf berdasarkan tujuan


Berdasarkan tujuannya, wakaf terbagi menjadi tiga macam yaitu pertama,
wakaf ahli yang mana ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau lebih,
keluarga wakif atau bukan. Wakaf ahli disebut juga wakaf dzurri yang mana bertujuan
untuk memberikan manfaat kepada wakif, keluarganya, keturunannya dan orang-orang
tertentu tanpa melihat kaya atau miskin, sehat atau sakit serta tua ataupun muda.
Kedua, wakaf Khairi yang bertujuan untuk kepentingan agama atau
kemasyarakatan yang diserahkan untuk keperluan umum seperti: pembangunan
masjid, sekolah, jembatan, rumah sakit, panti asuhan anak yatim dan lain sebagainya

c. Wakaf berdasarkan penggunaan harta


Wakaf berdasarkan penggunaannya, wakaf terbagi menjadi dua macam yaitu
pertama, wakaf langsung yang mana wakaf pokok barangnya digunakan untuk
mencapai tujuannya seperti rumah sakit, masjid, sekolah dan lainnya. Kedua, wakaf
produktif wakaf yang pokok barangnya digunakan untuk kegiatan produksi dan
hasilnya di peruntukkan untuk tujuan waka

d. waqaf berdasarkan bentuk managemen


Wakaf berdasarkan manajemennya dibagi menjadi empat empat: pertama,
wakaf dikelola oleh wakif sendiri atau salah satu dari keturunanya. Kedua, wakaf
dikelola oleh oleh orang lain yang ditunjuk wakif mewakili suatu jabatan atau lembaga
tertentu, seperti imam masjid dimana hasil wakafnya untuk kepentingan masjid
tersebut. Ketiga, wakaf yang dokumennya telah hilang, sehingga hakim menunjuk
seseorang untuk megatur wakaf tersebut. Keempat, wakaf yang dikelola oleh
pemerintah.
e. Wakaf berdasarkan jenis barangnya
Wakaf berdasarkan jenis barangnya, mencakup semua jenis harta benda.
Diantara benda wakaf tersebut adalah wakaf pokok berupa tanah bukan berupa
pertanian. Menurut ekonomi modern, wakaf harta benda bergerak yang dijadikan
pokok tetap seperti alat-alat pertanian, al-Qur‟an, sajadah untuk masjid dan lain
sebagainya. Akan tetapi, semua benda bergerak akan punah dan tidak berfungsi.
Karena, para ahli fiqih berpendapat bahwa benda wakaf berakhir dengan hilangnya
bentuk benda wakaf atau kerusakannya.

5. Wasiat
adalah pesan terakhir dari orang yang akan meninggal dunia, baik disampaikan secara lisan
maupun secara tulisan.

Pesan terakhir ini umumnya tertulis di surat wasiat yang mana isinya berkaitan dengan
pembagian harta warisan serta pesan-pesan terakhir yang ditujukan kepada ahli waris
atau orang-orang yang dikenal.
2. Sumber Hukum Wasiat
Setiap hukum Islam mestilah didasari oleh dalil naqli atau juga dalil
akli. Hukum berwasiat adalah dibolehkan. Di antara sumber-sumber hukum
wasiat adalah melalui dalil Al-Quran, Sunnah, amal para sahabat dan ijmak
ulama.
a. Nas-nas al-Quran
Wasiat didasari dari firman Allah di dalam Al-Quran Surat Al- Baqarah ayat 180.
‫ُك ِتَب َع َلۡی ُك ۡم ِإَذ ا َحَضَر َأَح َد ُك ُم ٱۡل َم ۡو ُت ِإن َتَر َك َخ ۡی ًرا ٱۡل َوِص َّیُة ِلۡل َٰو ِلَد ۡی ِن َو ٱۡأل َ ۡق َر ِبیَن‬
١٨٠ ‫ِب ٱۡل َم ۡع ُروِۖف َح ًّقا َع َلى ٱۡل ُم َّتِقیَن‬
Artinya : “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara
kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta
yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya
secara ma´ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa.”29
(Al-Baqarah 2:180)
28 Mustafa al-Khin, al-fiqh al-manhaji, juz 2, h. 255. 29 Q.S.2. (Al-Baqarah) ayat 180.
Selain itu, sumber hukum wasiat juga terdapat didalam al-Quran
surat al-Maidah ayat 106 yang berbunyi :
‫َٰٓیَأُّیَھا ٱَّلِذ یَن َء اَم ُنوْا َش َٰھ َد ُة َبۡی ِنُك ۡم ِإَذ ا َحَضَر َأَح َد ُك ُم ٱۡل َم ۡو ُت ِح یَن ٱۡل َو ِص َّیِة ٱۡث َناِن َذ َو ا‬
‫َع ۡد ٖل ِّم نُك ۡم َأۡو َء اَخ َر اِن ِم ۡن َغ ۡی ِر ُك ۡم ِإۡن َأنُتۡم َض َر ۡب ُتۡم ِفي ٱۡأل َ ۡر ِض َفَأَٰص َبۡت ُك م‬
‫ُّمِص یَبُة ٱۡل َم ۡو ِۚت َتۡح ِبُسوَنُھَم ا ِم ۢن َب ۡع ِد ٱلَّص َلٰو ِة َفُیۡق ِس َم اِن ِب ٱَّ ِ ِإِن ٱۡر َتۡب ُتۡم َال َنۡش َتِر ي‬
seorang salah apabila, beriman yang orang-orang Hai : Artinya ‫ۦِبِھ َثَم ٗن ا َو َلۡو َك اَن َذ ا ُقۡر َبٰى َو َال َنۡك‬
١٠٦ ‫ُتُم َش َٰھ َد َة ٱَّ ِ ِإَّنٓا ِإٗذ ا َّلِم َن ٱۡأل ٓ ِثِم یَن‬
kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka
hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di
antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu,jika kamu dalam
perjalanan dimuka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu
sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama
Allah, jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) kami tidak akan membeli dengan sumpah ini
harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak
(pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya
kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa
Syarat-syarat wasiat, Syarat-syarat wasiat ada 4,yaitu :
a. Pemberi wasiat
Pemberi wasiat adalah seorang yang memberi harta warisannya
kepada orang yang tidak mendapat bagian dari harta warisannya
akibat dari halangan tertentu. Ada beberapa krateria bagi pemberi
wasiat. Antaranya ialah :
1) Berakal, Wasiat tidak sah jika dilakukan oleh orang gila atau
terencat akal, orang yang pengsan dan orang yang mabuk.
Kesemua mereka dianggap orang-orang yang kehilangan akal
yang meerupakan asas kepada taklif, dengan ini orang-orang ini
tidaka layak memberi wasiat
2) Baligh, Syarat ini juga asas kepada taklif. Dengan ini, adalah tidak
sah wasiat daripada seorang kanak-kanak walaupun telah
mumaiyiz kerana ia tidak layak berwasiat.
3) Merdeka, Tidak sah wasiat daripada seorang hamba sama ada
qinna, mudabbir atau mukatib kerana hamba bukan pemilik.
Bahkan diri dan hartanya adalah milik tuannya.
4) Kemauan sendiri, wasiat tidak sah jika dilakukan oleh orang yang
dipaksa. Ini kerana wasiat bermakna menyerahkan hak milik maka
ia perlu melalui keredaan dan pilihan pemiliknya.
Adapun syarat-syarat bagi barang atau benda yang diwasiatkan adalah:

1) Barang itu dikira sebagai harta dan ia boleh diwarisi.


perlu melalui keredaan dan pilihan pemilik
2) 2) Barang tersebut dari harta yang boleh dinilai atau mempunyai
3) nilai kewangan sama ada melibatkan benda atau manfaat dari
4) susut syarak.
5) 3) Barang tersebut boleh dipindahmilik sekalipun tiada pada
6) waktu berwasiat.
7) 4) Barang itu dimiliki oleh pemberi wasiat ketika berwasiat jika
8) zatnya ditentukan.
9) 5) Barang itu bukanlah sesuatu yang maksiat seperti mewasiatkan
10) rumah untuk dijadikan gereja, pusat judi dan sebagainya.
11) Harta atau barang tersebut hendaklah tidak melebihi kadar 1/3
12) harta pewasiat.

PENUTUP

A. kesimpulan

Pernikahan adalah suatu bentuk keseriusan dalam sebuah hubungan. Selain merupakan
bentuk cinta, pernikahan dalam Islam merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah.
Bahkan, disebutkan bahwa pernikahan adalah menggenapkan setengah agama. Wasiat
adalah perbuatan yang dilakukan dengan kemauan hati si pewasiat, atas dasar kemauan
hati itu, tidak bisa wasiat itu untuk tidak dilaksanakan/dieksekusi. Semua yg kita jalani
sekarang ataupun nanti sudah tentu ada ketentuannya masing-masing agar mempermudah
kita dalam menyesakan berbagai permasalahan.
B. Saran

Kami sebagai penulis, menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kesalahan dan sangat
jauh dari kesempurnaan. Tentunya, penulis akan terus memperbaiki makalah dengan
mengacu pada sumber yang dapat dipertanggung jawabkan nantinya. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan kritik dan saran tentang pembahasan makalah diatas.

Anda mungkin juga menyukai