Jelita Putri K - 1111190016 - Resume Hukum Pidana Khusus

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 20

Nama : jelita putri kiswianti

Kelas : 3F
Nim : 1111190016

" Resume Hukum Pidana khusus "

Pertemuan ke-2
(4 September 2020)

√ Hukum pidana di Indonesia dibagi 2


1. Hukum pidana umum
2. Hukum pidana khusus

• Secara definitif hk Pidana umum dpt diartikan sebagai perundang undangan pidana dan
berlaku umum yg tercantum dalam Kitab Undang-Undang hukum Pidana serta semua
perundang undangan yg mengubah dan menambah KUHP
• Hukum pidana khusus (peraturan perundang-undangan Tindak Pidana Khusus) bisa
dimaknai sebagai perundang-undangan di bidang tertentu yang memiliki sanksi pidana, atau
tindak tindak pidana yang diatur dalam perundang undangan khusus, diluar KUHP, baik
perundang undangan pidana maupun bukan pidana tetapi memiliki sanksi pidana (ketentuan
yang menyimpang dari KUHP)
Menurut Para Ahli :
• Andi hamzah menulis, peraturan hukum pidana yg tercantum di luar KUHP dpt disebut
Undang undang (Pidana) tersendiri atau disebut juga hukum pidana di luar kodifikasi atau
non kodifikasi.
• H.J.A Nolte membuat disertasi di universitas Utrecht, Belanda, pada 1949, berjudul het
strafrecht in de afzonderlijke wetten, yg jika dibahasa indonesiakan akan menjadi “hukum
pidana di dalam UU tersendiri).
• WP.J Pompe, dlm kata pengantar buku nolte hasil disertasi tersebut mengatakan bahwa
nolte mulai dengan pandangan dasar filosofis dan sejarah hukum. Ada hukum pidana
sebagian di dalam KUHP (kodifikasi) dan sebagian di luar KUHP atau di dalam undang-
undang tersendiri (Andi Hamzah: 2005)

Latar belakang pengaturan tindak pidana khusus


• Perkembangan kriminalitas dlm masyarakat telah mendorong lahirnya UU tindak pidana
khusus, yaitu UU hukum pidana yg ada di luar KUHP.
• Kedudukan UU hk pidana khusus dlm sistem hk pidana adalah pelengkap dari hukum
pidana yg dikodifikasikan dlm KUHP.
• Suatu kodifikasi hukum pidana betapa pun sempurnanya pada suatu saat akan sulit
memenuhi kebutuhan hukum dari masyarakat.
• Di Indonesia kini berkembang dg subur UU tersendiri di luar KUHP, seperti:
• UU TPE, UU pemberantasan TP korupsi
• Dan banyak perundang undangan administrasi yg bersanksi pidana, dg ancaman pidana
penjaranya sangat berat 10 th, 15 th, sampai seumur hidup bahkan ada pidana mati ( UU
narkotika, UU psikotropika, UU perbankan, UU lingkungan hidup)

Pertemuan ke-3
(11 September 2020)

Pengertian dan Sumber-sumber Hukum Pidana Khusus


A. Pengertian Hukum Pidana Khusus
Hukum pidana yang berlaku diindonesia dibedakan menjadi 2 macam, yaitu : KUHP dan Hukum
Pidana Khusus.
Pengertian hukum pidana khusus, yang dalam Bahasa inggris ( special criminal law ), sedangkan
Bahasa belanda (special crimineel recht).
Menurut pandangan ahli :
1. Rudy Satriyo
‘kalau tidak ada penyimpangan, tidaklah disebut hokum pidana khusus atau hokum tindak pidana
khusus. Hokum tindak pidana khusus mengatur perbuatan tertentu atau berlaku terhadap orang
tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain orang tertentu. Oleh karena itu, hokum
tindak pidana khusus harus dilihat dari substansi dan berlaku kepada siapa hokum tindak pidana
khusus itu’.
2. Sudarto
‘hukum pidana yang ditetapkan untuk golongan orang khusus atau yang berhubungan dengan
perbuatan-perbuatan khusus. Termasuk didalamnya hokum pidana militer(golongan orang khusus)
dan hokum pidana fiscal(perbuatan khusus). Termasuk hokum pidana khusus adalah hokum pidana
ekonomi’
3. Van Hattum
‘hukum pidana yang dengan sengaja telah dibentuk untuk diberlakukan bagi orang tertentu saja
misalnya bagi anggota angkatan bersenjata, ataupun merupakan hokum pidana yang mengatur
tindak pidana tertentu saja misalnya tindak pidana fiskal’.
4. Aziz Syamsuddin
‘sebagai perundang-undangan dibidang tertentu yang memiliki sanksi pidana, atau tindak pidana
yang diatur dalam undang-undang khusus, diluar KUHP, baik perundang-undangan pidana maupun
bukan pidana, tetapi memiliki sanksi pidana (ketentuan yang menyimpang dari KUHP)’.

Menurut pengertian diatas, hokum pidana khusus dikonsepkan sebagai :


‘keseluruhan dari kaidah-kaidah atau norma-norma hokum yang mengkaji dan menganalisis tentang
pelaku, jenis pidana dan sanksi pidana yang tersebar diluar didalam berbagai peraturan perundang-
undangan, baik yang disebutkan secara khusus, namun tercantum sanksi pidananya’.

Ada 3 unsur Hukum Pidana Khusus, meliputi :


1. Adanya kaidah atau norma hokum
2. Focus kajiannya pada ;
a. Pelaku yang khusus;
b. Jenis pidana ; dan
c. Sanksi pidana
3. Tersebar diLuar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Jenis pidana yang dilakukan oleh pelaku juga beraneka macam, seperti;
a. Mengambil uang negara secara melawan hokum
b. Ada pelaku yang menerima suap, dan lainnya
B. Ruang Lingkup Kajian Hukum Pidana Khusus
Hokum pidana yang disebar diluar KUHP cukup banyak, namun hanya mengkaji dan menganalisis 7
jenis tindak pidana, yang meliputi ;
1. Tindak pidana korupsi
2. Tindak pidana narkotika
3. Tindak pidana perikanan
4. Tindak pidana pertambangan
5. Tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
6. Tindak pidana perdagangan orang
7. Tindak pidana pencucian uang

C. Asas-asas Hukum Pidana Khusus


Asas-asas hukum pidana khusus dapat dianalisis dari asas hukum didalam KUHP dan diluar KUHP.
Asas hukum dalam KUHP , meliputi ;
1. Asas Legalitas, artinya tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali atas kekuatan
aturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu
dillakukan. Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam peraturan perundang-
undangan, maka yang dipakai adalah aturan yang paling ringan sanksinya bagi terdakwa
(pasal 1 ayat (2) KUHP)
2. Asas Teritorial, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku atas semua peristiwa
pidana yang terjadi didaerah yang menjadi wilayah territorial Negara Kesatuan Republik
Indonesia, termasuk pula kapal berbendera Indonesia, pesawat terbang Indonesia, dan
Gedung kedutaan dan konsul Indonesia dinegara asing.
3. Asas Nasionalitas Aktif, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi semua WNI
yang melakukan tindak pidana dimana pun ia berada. Asas nasionalitas pasif, artinya
ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi semua tindak pidana yang merugikan
kepentingan negara Indonesia.
Asas hukum pidana yang tersebar diluar KUHP cukup banyak, namun asas hukum yang terpenting,;
1. Asas Pembuktian Terbalik, asas ini berisi ketentuan bahwa terdakwa diberi kesempatan
untuk membuktikan harta kekayaan bukan berasal dari tindak pidana. Asas ini dikenal dalam
tindak pidana korupsi
2. Asas Kriminalitas Ganda (double criminality), asas dimana tindak pidana yang dilakukan oleh
pelaku diluar wilayah negara republic Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan
tindak pidana menurut hukum Indonesia, maka undang-undang ini dalam menentukan hasil
tindak pidana menganut asas kriminalitas ganda. Asas ini dikenal dalam undang-undang
pencucian uang.

D. Sumber-sumber Hukum Pidana Khusus


1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
3. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan
4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga
6. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang
7. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
E. Hubungan hukum pidana khusus dengan hukum pidana, hukum acara pidana dan
kriminologi
1. Hubungan hukum pidana khusus dengan hukum pidana
Hukum pidana khusus mempunyai hubungan yang sangat erat dengan hukum pidana,
karena hukum pidana merupakan hukum atau undang-undang yang bersifat umum,
sedangkan hukum pidana khusus merupakan ketentuan yang bersifat khusus. Sehingga
berlaku asas lex specialis drogat lex generale. Artinya undang-undang yang khusus
mengesampingkan undang-undangan yang bersifat umum.
2. Hubungan hukum pidana khusus dengan hukum acara pidana
Hukum acara pidana mengkaji dan menganalisis tentang proses beracara. Apabila pelaku
melakukan tindak pidana diluar KUHPm seperti tindak pidana kekerasan rumah tangga,
narkotika, dll, maka pelaku tersebut akan diproses menurut hukum acara pidana, karena
didalam undang-undang yang berkaitan dengan tindak pidana tersebut tidak diatur tentang
proses beracara
3. Hukun pidana khusus dengan kriminologi
Kriminologi mengkaji dan menganalisis tentang penyebab pelaku melakukan tindak pidana
diluar KUHP. Misalnya, A telah melakukan korupsi, sedangkan yang menjadi penyebabnya,
yaitu ingin menjadi kaya.

Pertemuan ke-4
( 18 September 2020)

Konsep Teoritis dan Penggolongan Tindak Pidana


A. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana terdiri atas 2 suku kata, yang meliputi ;
a. Tindak, diartikan sebagai langkah atau perbuatan
b. Pidana, { inggris (criminal), belanda (strafrechtelijke), dan jerman (verbrecher) }
Pengertian pidana, menurut para ahli :
1. Andi Amzah
‘istilah hukuman adalah istilah umum yang dipergunakan untuk semua jenis sanksi baik dalam ranah
hukum perdata, administrative,disiplin dan pidana, sedangkan arti sempit yaitu hanya sanksi yang
berkaitan dengan hukum pidana’.
2. Sudarto
‘penderitaan yang sengaja dibebabnkan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi
syarat-sayarat tertentu’.
Unsur-unsur dalam pengertian pidana oleh sudarto :
a. Penderitaan
b. Adanya orang
c. Memenuhi syarat-syarat tertentu
3. KBBI, pidana artinya kejahatan atau criminal. Kejahatan merupakan perilaku yang
bertentangan dengan ;
a. Nilai-nilai
b. Norma-norma yang berlaku
Pengertian tindak pidana ;
“perbuatan jahat yang dilakukan oleh pelaku dimana perbuatan yang dilakukannya bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan, baik yang tercantum dalam KUHP maupun yang tersebar
diluar KUHP”.
Ada 3 unsur yang tercantum dalam definisi tindak pidana tersebut ;
a. Adanya perbuatan jahat
b. Adanya subjek pidana
c. Sifat perbuatannya

B. Penggolongan Tindak Pidana


Pidana yang dikenal dalam KUHP diklasifikasi menjadi 2 macam, meliputi :
1. Kejahatan
2. Pelanggaran
Tindak pidana yang tersebar diluar KUHP dibedakan menjadi 2 macam, yaitu :
1. Tindak pidana yang telah ditentukan secara tersendiri dalam undang-undang
2. Tindak pidana yang tersebar dalam berbagai undang-undang sektoral
Tindak pidana dalam undang-undang secara khusus, meliputi:
1. Tindak pidana korupsi
2. Tindak pidana pencucian uang
3. Tindak pidana terorisme

C. Sanksi Pidana
Sanksi pidana dalam Bahasa inggris criminal sanctions, Bahasa belanda strafrechtelijke sanscties
merupakan hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku yang melakukan perbuatan pidana.
Sanksi pidana dibagi 2 jenis, yaitu :
a. Pidana pokok
b. Pidana tambahan
Pidana pokok merupakan pidana yang dapat dijatuhkan tersendiri oleh hakim. Pidana pokok dibagi 5
macam :
1. Pidana mati, merupakan pidana yang dijatuhkan kepada terpidana atau terhukum, yang
berupa pencabutan nyawa yang bersangkutan.
2. Pidana penjara, ketentuannya di pasal 12 KUHP, berkaitan dengan jangka waktu terhukum
melaksanakan hukuman penjara.
3. Pidana kurungan, berupa hilangnya kemerdekaan yang bersifat sementara bagi seseorang
yang melanggara hukum. Pidana unu lebuih ringan daripada pidana penjara
4. Pidana denda, ‘pidana yang dijatuhkan kepada pelaku untuk pembayaran sejumlah uang
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pidana
denda dihitung menurut lamanya maksimum pidana kurungan pengganti yang ditentukan
untuk perbuatan itu’.
5. Pidana tutupan, ‘pidana yang dapat dijatuhkan kepada orang yang melakukan kejahatan
yang diancam dengan hukuman penjara karena terdorong oleh maksud yang patut
dihormati. Pidana tutupan disediakan bagi para politisi yang melakukan kejahatan oleh
ideolog yang dianutnya’.
Pidana tambahan merupakan pidana yang dijatuhkan kepada pelaku, tidak hanya pidana pokok
tetapu juga pidana tambahan. Pidana tambahan terdiri dari 3 macam, yaitu :
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan barang-barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim

Pertemuan ke-5
(September 2020)

Tindak Pidana Korupsi


A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
1. Pasal 1 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, :
“Dihukum karena tindak pidana korupsi ialah :
a) barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
lain, atau suatu Badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara
dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan
tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
b) barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu Badan,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara;
2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, yang termasuk dalam tindak pidana korupsi adalah :
“setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan mapupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugiukan leuangan negara atau perekonomian negara”.

Subjek pidana atau pelaku yang melakukan tindak pidana korupsi, yaitu:
1. Setiap orang
2. Pegawai negri
3. Penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji
4. Pemborong
5. Ahli bangunan
6. Penjual bahan-bahan bangunan
7. Pemberi gratifikasi
8. Hakim; dan/atau
9. Advokat

B. Landasan Filosofis,Yuridis,dan Sosiologis Tindak Pidana Korupsi


Landasan filosofis
1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Landasan filosofis ditetapkan, karena perbuatan korupsi sangat:
a. Merugikan keuangan/perekonomian negara
b. Menghambat pembangunan nasional
2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4. Ada empat hal yang tercantum dalam pertimbangan hukum Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang meliputi :
a. Tingginya jumlah tindak pidana korupsi
b. Akibat dari tindak pidana korupsi
c. Penggolongan tindak pidana korupsi
d. Filosofi ditetapkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan
secara luar biasa (extraordinary crime), Artidjo Alkostar mengemukakan bahwa :
“Tindak Pidana Korupsi (KPK) mengklasifikasikan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa
(extraordinary crime), karena korupsi diIndonesia sudah meluas dan sistematis yang melanggar hak-
hak ekonomi masyarakat. Untuk itu memerlukan cara-cara pemberantasan korupsi yang luar biasa”.
Landasan Yuridis
1. Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang penyelenggara negara yang bersih dan
bebas korupsi,kolusi, dan nepotisme
2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan
bebas dari korupsi,kolusi, dan nepotisme
4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
5. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
6. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
7. Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
8. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran serta
Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
9. Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
10. Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Landasan Sosiologis
Ditetapkannya dari berbagai peraturan perundang-undangan diatas, yaitu karena banyaknya orang,
korporasi maupun swasta yang melakukan tindak pidana korupsi diIndonesia. Berdasarkan data dari
tahun 2004-2016, jumlah tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK sebanyak 2.642 perkara.

C. Asas-asas Hukum dalam Pelaksanaan dalam Tindak Pidana Korupsi


Asas-asas hukumnya telah dicantumkan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu :
1. Kepastian Hukum
2. Keterbukaan
3. Akuntabilitas
4. Kepentingan Umum
5. Proposionalitas

D. Subjek Pidana dalam Tindak Pidana Korupsi


Subjek pidana atau pelaku yang melakukan tindak pidana korupsi, meliputi :
1. Setiap orang
2. Pegawai negri
3. Penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji
4. Pemborong
5. Ahli bangunan
6. Penjual bahan-bahan bangunan
7. Pemberi gratifikasi
8. Hakim; dan/atau
9. Advokat
E. Lembaga yang Berwenang Melakukan Penyidikan dan Penuntutan terhadap Tindak Pidana
Korupsi
Lembaga yang berwenang melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana
korupsi, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK adalah bersifat independen dan bebas dari
pengaruh kekuasaan manapun.
Tujuan dibentuknya lembaga KPK, yaitu meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah :
“ serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya
koordinasi,supervise,monitor,penyelidikan,penyidikan,penuntutan dan pemeriksaan disidang
pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku”.
Filosofi dari pemberantasan korupsi adalah untuk meniadakan orang-orang yang melakukan tindak
pidana korupsi. Dengan tidak adanya orang yang melakukan korupsi, maka uang negara dapat
digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Tugas KPK, Meliputi :
1. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi
2. Supervise terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi
3. Melakukan penyelidikan,penyidikan,dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi
4. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi
5. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara

KPK juga mempunyai kewajiban, meliputi :


1. Memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan
ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi
2. Memberikan informasi kepada masyarakat yang memerlukan atau memberikan bantuan
untuk memperoleh data lain yang berkaitan dengan hasil penuntutan tindak pidana korupsi
yang ditanganinya
3. Menyusun laporan tahunan dan menyampaikannya kepada Presiden RI, DPR RI, dan BPK
4. Menegakkan sumpah jabatan
5. Menjalankan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya berdasarkan asas-asas kepastian
hukum, keterbukaan,akuntabilitas,kepentingan umum, dan proporsionalitas

Pertemuan ke-6
( September 2020)

F. Lembaga yang Berwenang Memeriksa, Mengadili, dan Memutus Perkara Tindak Pidana
Korupsi
Lembaga yang Berwenang Memeriksa, Mengadili, dan Memutus Perkara Tindak Pidana Korupsi,
yaitu Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Ciri khas pengadilan tindak pidana korupsi, yaitu :
1. Pengadilan khusus yang berada dilingkungan peradilan umum
2. Berkedudukan disetiap ibu kota kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi daerah
hukum pengadilan negri yang bersangkutan
3. Berwenang memeriksa,mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi
4. Tindak pidana korupsi yang diperiksa,diadili, dan diputus, meliputi :
a. Tindak pidana korupsi
b. Tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi
5. Tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak
pidana korupsi
6. Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh warga negara Indonesia diluar wilayah negara
republik Indonesia
7. Hakim memeriksa,mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi terdiri dari hakim
karier dan hakim ad hoc.
Hakim Karier adalah hakim pada ;
a. Pengadilan Negri
b. Pengadilan Tinggi
c. Pengadilan Agung
Hakim ad hoc adalah seseorang yang diangkat berdasarkan persyaratan yang ditentukan dalam
undang-undang ini sebagao hakim tindak pidana korupsi. Sifat hakim ad hoc adalah sementara.

G. Jenis-jenis Tindak Pidana Korupsi


Secara normatif, jenis tindak pidana korupsi telah ditentukan dalam pasal 2-13 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 5-12 Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terdapat kesepuluh jenis tindak pidana itu, meliputi :
1. Memperkaya diri
2. Menyalahgunakan jabatan atau kedudukan
3. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang pejabat atau hakim
4. Melakukan perbuatan curang
5. Melakukan penggelapan uang atau surat berharga
6. Melakukan pemalsuan buku-buku daftar yang khusus
7. Melakukan penggelapan,perusakkan, dan penghancuran barang-barang
8. Menerima Hadiah
9. Menerima,pemerasan, dan pemborongan
10. Pemberian hadiah

H. Jenis- jenis sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi
Sanksi hukum bagi pelaku tindak pidana korupsi, tidak hanya berupa pidana penjara dan denda,
tetapi juga dijatuhkan pidana tambahan.
Pidana tambahan, meliputi :
1. Perampasan barang bergerak yang terwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak
bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi
2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda
yang diperoleh dari tindak pidana korupsi
3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 tahun
4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian
keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.

I. Sanksi Pidana dalam Tindak Pidana Korupsi


Sanksi pidana bagi pelaku yang telah melakukan tindak pidana korupsi ditentukan dalam pasal 2-13
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 5-12
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Jenis sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku, meliputi :
1. Pidana seumur hidup
2. Pidana penjara
3. Pidana denda

Kesepuluh jenis sanksi dan lamanya pidana, meliputi :


1. Sanksi bagi pelaku yang memperkaya diri
Memperkaya diri adalah upaya dari pelaku menjadikan dirinya lebih kaya. Sanksi bagi orang yang
memperkaya diri diatur dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 2 berbunyi :
1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam
keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.
2. Sanksi bagi pelaku yang menyalahgunakan jabatan atau kedudukan
Sanksi pidana bagu orang atau pelaku yang menyalahgunakan jabatan atau kedudukan yang
memperkaya diri diatur dalam pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 3 berbunyi :
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda
paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).”
3. Sanksi pidana bagi pelaku yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang pejabat
atau hakim
Sanksi pidana bagi pelaku yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang pejabat dan
hakim telah ditentukan dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kini ketentuan itu telah diubah dan disempurnakan dengan
pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 5 berbunyi :
1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun
dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang :
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut
berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau
berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau
tidak dilakukan dalam jabatannya.
2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang
sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Sementara itu, Sanksi pidana bagi pelaku yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang
hakim telah ditentukan dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kemudian ketentuan diubah dan disempurnakan dengan
pasal 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 6 berbunyi :
1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi
putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau
b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang
pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan
diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
4. Sanksi pidana bagi pelaku yang melakukan perbuatan curang
Sanksi pidana bagi pelaku yang melakukan perbuatan curang telah ditentukan dalam pasal 7
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kini
ketentuan itu telah diubah dan disempurnakan dengan pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Pasal 7 berbunyi :

1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun
dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):
a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan
bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan
curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan
negara dalam keadaan perang;
b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan
bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf
a;
c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional
Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang
yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau
d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional
Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan
perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima
penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara
Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).
5. Sanksi pidana bagi pelaku yang melakukan penggelapan uang atau surat berharga
Sanksi pidana bagi pelaku yang melakukan penggelapan uang atau surat berharga telah ditentukan
dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, kini ketentuan itu telah diubah dan disempurnakan dengan pasal 8 Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 8 berbunyi :
“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain
pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk
sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena
jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang
lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.”
6. Sanksi pidana bagi pelaku yang melakukan pemalsuan buku-buku daftar-daftar yang khusus
untuk pemeriksaan administrasi
Sanksi pidana bagi pelaku yang melakukan pemalsuan buku-buku daftar-daftar yang khusus untuk
pemeriksaan administrasi telah ditentukan dalam pasal 9 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Pasal 9 berbunyi :
“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri
yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara
waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftardaftar yang khusus untuk pemeriksaan
administrasi.”
7. Sanksi pidana bagi pelaku yang melakukan penggelapan, perusakan dan penghancuran
barang-barang
Sanksi pidana bagi pelaku yang melakukan penggelapan, perusakan dan penghancuran barang-
barang telah ditentukan dalam pasal 10 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 10
berbunyi :
“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri
yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara
waktu, dengan sengaja:
a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang,
akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka
pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau
b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak
dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau
c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak
dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.”

Pertemuan ke-7
(September 2020)

8. Sanksi pidana bagi pelaku yang menerima hadiah (gratifikasi)


Sanksi pidana bagi pelaku yang menerima hadiah (gratifikasi) telah ditentukan dalam pasal 11
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 11 berbunyi :
“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan
atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang
menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan
jabatannya.”
9. Sanksi pidana bagi pelaku yang menerima, pemerasan dan pemborongan
Sanksi pidana bagi pelaku yang menerima hadiah (gratifikasi) telah ditentukan dalam pasal 12
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 12 berbunyi :
“ Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan
agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau
patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya;
c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah
atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan
kepadanya untuk diadili;
d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi
advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui
atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau
pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada
pengadilan untuk diadili;
e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri
atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya
memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan
potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta,
menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara
yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa
hal tersebut bukan merupakan utang;
g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta
atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada
dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah
menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan
peraturan perundangundangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya
bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundangundangan; atau
i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan
sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat
dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau
mengawasinya.”
10. Sanksi bagi pelaku yang melakukan pemberian hadiah
Sanksi pidana bagi pelaku yang melakukan pemberian hadiah terhadap PNS telah ditentukan dalam
pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 13 berbunyi :
“Setiap orang yang memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat
kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi
hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) dan atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh
juta rupiah).”
J. Tindak Pidana Lain yang Berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi
Didalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga
diatur tentang tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Ada 4 jenis tindak pidana
lain, yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, yaitu :
1. Sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tersangka atau
terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi ( sanksi pidana telah ditentukan dalam
pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi).
2. Sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar ( sanksi
pidana telah ditentukan dalam pasal 22 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
3. Pelanggaran terhadap ketentuan dalam pasal 220,231,241,422,429,atau pasal 430 KUHP; (
sanksi pidana telah ditentukan dalam pasal 23 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
4. Saksi yang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memberikan
kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor ( sanksi pidana telah ditentukan dalam
pasal 24 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi).

Pertemuan ke-9
( September 2020)

Tindak Pidana HAM dan Terorisme


A. Pengenalan Hak Asasi Manusia
1. Sejarah dan Perkembangan Hak Asasi Manusia
Sejarah hak asasi manusia berawal dari Magna Charta di Inggris pada tahun 1215. Magna Charta merupakan
cikal bakal kebebasan warga negara Inggris yang berupa kompromi pembagian kekuasaan antara Raja John dan
bangsawannya (Davidson, 1994). Langkah penting selanjutnya adalah keputusan Raja Charles I Inggris dalam
“Petition of Rights” pada tahun 1628 sebagai garansi terhadap hak habeas corpus, yaitu hak seseorang untuk
dibawa sebelum pengadilan untuk menentukan apakah dia bisa dibebaskan.
Teori tentang hak-hak alami manusia muncul seiring dengan terjadinya revolusi di berbagai negara dalam waktu
yang berbeda, yaitu Revolusi Inggris (1688) yang memunculkan “Bill of Rights”, Revolusi Amerika (1776) dengan
“Rights of Man” sebagai awal deklarasi kemerdekaan Amerika, dan Revolusi Prancis (1789) dengan Deklarasi Hak
Manusia dan Warganegara. Revolusi-revolusi tersebut menekankan bahwa kebebasan individu adalah natural
dan pemerintah tidak bisa membatasinya.
Hak asasi manusia mengalami perkembangan dalam bidang hukum internasional berawal ketika abad ke-18 dan
19 di Eropa, terutama dari Traktat Perdamaian Paris (1814) antara Inggris dan Prancis. Kemudian
pembentukan International Committee of the Red Cross atau ICRC (1863) diikuti dengan Konvensi Genewa I (1864)
untuk melindungi tawanan perang, mengatur cara-cara perang dan perlindungan terhadap masyarakat sipil yang
tidak terlibat dalam perang (noncombatan). Pada abad ke-20, melalui Traktat Versailles (1919)
dibentuklah International Labor Organization atau ILO yang fokus kepada upaya keadilan sosial dan kepedulian
atas standar perlakuan terhadap kaum buruh. Lebih lanjut, Liga Bangsa-Bangsa menggencarkan upaya untuk
menghapuskan perbudakan melalui Konvensi untuk Melenyapkan Perbudakan dan Perdagangan Budak (1926).
Globalisasi isu hak asasi manusia ditandai dengan adanya Universal Declaration on Human Rights (UDHR) pada
tahun 1948, kemudian International Covenant on Civil and Political Rights (hak-hak sipil dan politik)
dan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (hak-hak ekonomi, sosial dan budaya) pada
tahun 1966, serta beberapa konvensi seperti CEDAW, CAT, CRC, CERD, dan CMW.

2. Relasi Individu dengan Negara


Hak-hak asasi manusia harus diletakkan dalam relasi antara individu (manusia) dan negara (state/state
apparatus). Pihak yang mempunyau hak adalah individu(pribadi) atau kelompok, seperti kelompok minoritas.
Karena individua tau kelompok orang adalah pemegang HAM, negara atau aparat negara adalah pengemban
kewajiban.
Kewajiban negara untuk menghormati HAM bertalian dengan hak sipil dan politik. Contohnya, pemerintah tidak
perlu membuat pengakuan atas 5 agama yang mengakibatkan agama atau kepercayaan lain menjadi tidak
diakui. Kewajiban negara untuk melindungi bertalian dengan tindak pidana atau kejahatan.
Lebih dari itu, janji negara Republik Indonesia(RI) diperkuat dengan komitmen hukumnya, yaitu dengan
meratifikasi atau mengesahkan semua perjanjian internasional tentang HAM sebagai hukum dan kebijakan
nasionalnya. CEDAW menjadi UU No. 7 Tahun 1984, CRC menjadi Keppres No. 36 Tahun 1990, CAT menjadi UU
No. 5 Tahun 1998, ICERD menjadi UU No.29 Tahun 1999, ICESCR menjadi UU No.11 Tahun 2005, dan ICCPR
menjadi UU No.12 Tahun 2005. Kewajiban negara dalam HAM sebenarnya untuk membatasi atau mengurangi-
jika tidak untuk menghapuskan operasi kekuasaan negara yang sewenang-wenang.
Prinsip Universalitas HAM berlaku atas semua orang di muka Bumi. Tujuannya adalah Nondiskrimasi.
3. Pelanggaran
Apabila negara tidak mampu menunaikan kewajibannya berarti negara telah melakukan pelanggaran
HAM atau pengingkaran;
Pertama pelanggaran terjadi jika negara yang seharusnya tak perlu melakukan tindakan apa pun
demi menghormati hak dan kebebasan setiap orang, justru campur tangan.
Kedua, seharusnya negara campur tangan untuk menyeret pelaku tindak pidana ke muka umum
demi melindungi korban kejahatan, tetapi membiarkannya tanpa melakukan apa pun.
Ketiga, pengingkaran hak-hak ekonomi, social, dan budaya akan terjadi jika negara pasif, tidak
mengambil tindakan atau kebijakan untuk pemenuhan hak.

Dalam HAM terdapat 2 kategori ;


Pertama , Hak-hak yang tak dapat ditangguhkan yaitu :
a) Hak untuk hidup
b) Hak atas keutuhan pribadi
c) Hak untuk tidak diperbudak
d) Hak atas kebebasan berpikir,beragama,dan berkeyakinan
e) Hak untuk diperlakukan sama dimuka hukum
f) Hak untuk tidak dipercaya atas kegagalan memenuhi kewajiban kontraktual
g) Hak untuk tidak dipidana berdasarkan hukum yang berlaku surut
Kedua, hak-hak yang boleh atau dapat ditangguhkan. Akan tetapi, pembatasan atau pengekangan
hak-hak ini harus didasarkan atas hukum (UU).
B. Tanggung Jawab Negara dan Hak Asasi Manusia
secara substansi, hak-hak manusia yang diatur dalam konstitusi tertulis diIndonesia senantiasa
mengalami perubahan seiring dengan konteks perubahan peta rezim politik yang berkuasa. Dari
UUD,Konstitusi RIS 1949,UUDS 1950,UUD 1945, dan UUD 1945 Pasca-Amandemen.
Masalah HAM dirumuskan menjadi 2 hal ;
Pertama, bagaimana perkembangan aturan HAM dalam konstitusi tertulis di Indonesia, terutama
dihubungkan dengan UUD Pasca Amandemen?
Kedua, dalam rangka kajian system ketatanegaraan, bagaimana sesungguhnya corak
konstitutionalisme yang memengaruhi konsepsi tanggung jawab negara dalam pemajuan HAM
diIndonesia?
Prinsip mendasar yang mengkaji HAM ;
1. Nondiskriminasi
2. Equality atau Persamaan
3. Indivisibility
4. Inalienability
5. Interdependency (saling ketergantungan)
6. Responsibilitas atau pertanggungjawaban (responsibility)

Pertemuan ke-11
(September 2020)

1. Hak Asasi Manusia Pasca-Amandemen


Pasca-Amandemen UUD 1945, tujuan negara tidak mengalami perubahan dalam amandemen I-IV
yang dilakukan sejak tahun 1999-2002. Dalam UUD 1945 terselip konsepsi tanggung jawab negara
dalam HAM, sebagaimana terlihat dalam pasal 281 ayat 4 dan 5 yang menyatakan
“perlindungan,pemajuan,penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara,
terutama pemerintah.
Sidang umum PBB untuk melihat laporan hasil kemajuan rutin masalah HAM disetiap negara, dikenal
juga konsepsi tanggung jawab negara dalam mandate Hukum Internasional
Konsepsi “ undertakes to take steps” atau mengambil langkah-langkah merupakan elemen pertama
menegaskan bahwa negara akan bertanggung jawab atas segala tindakan dalam upaya perlindungan
dan pemenuhan HAM
Konsepsi “to the maximum avaible resources atau upaya pemaksimalan sumber daya. Artinya
negara memiliki kewajiban untuk memprioritaskan program-programnya dan mendayagunakan
alokasi sumber dayanya secara optimal.
2. Sarana Perlindungan Hak Asasi Manusia
Hadjon, menyatakan “tindakan pemerintahan” sebagai titik sentral, dibedakan menjadi 2 macam
perlindungan hukum bagi rakyat, yaitu perlindungan hukum preventif dan perlindungan represif.
Perlindungan hukum preventif, rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau
pendapatnya sebelum keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitive, yang sifatnya
mencegah sengketa.
Perlindungan hukum represif, perlindungan hukum berdasarkan penyelesaian suatu sengketa, yang
didalamnya terdapat keragaman dalam berbagai system hukum didunia ini.
3. Corak Konstitusionalisme UUD 1945 Pasca-Amandemen
Ide Konstitusionalisme memiliki 2 esensi doctrinal. Pertama, doktrin kebebasan sebagai HAM yang
tak hanya asasi, tetapi juga kodrati, yang tidak bias diambil alih kapan pun oleh kekuasaan manapun
dalam kehidupan bernegara. Kedua, doktrin rule of law atau doktrin supremacy state of law, yang
mengajarkan otoritas hukum secara universal mestilah mengatasi otoritas politik, dan tidak
sebaliknya.

C. Tindak Pidana Terorisme dari Segi Materiil dan Formal


Jack Gibbs, menyatakan suatu tindakan dapat didefinisikan sebagai terorisme apabila merupkan
suatu kejahatan atau ancaman secara langsung terhadap kemanusiaan atau objek tertentu. Untuk
memahami definisi terorisme, Gibbs menambahkan beberapa ciri perbuatan yang merupakan
terorisme dengan merujuk pada hal berikut :
1. Perbuatan yang dilaksanakan atau ditujukan dengan maksud mengubah atau
mempertahankan paling sedikit suatu norma dalam suatu wilayah atau suatu populasi;
2. Memiliki kerahasiaan, tersembunyi tentang keberadaan para partisipan, identitas anggota,
dan tempat persembunyian
3. Tidak bersifat menetap pada suatu area tertentu
4. Bukan merupakan tindakan peperangan biasa karena mereka menyembunyikan identitas
mereka, lokasi penyerangan, berikut ancaman dan pergerakan mereka
5. Adanya partisipan yang memiliki pemikiran atau ideologi yang sejalan dengan konseptor
terror, dan pemberian kontribusi untuk memperjuangkan norma yang dianggap benar oleh
kelompok tersebut tanpa memperhitungkan kerusakan atau akibat yang ditimbulkan.

1. Karakteristik Organisasi Terorisme


Secara umum, dapat dijabarkan sebagai berikut :
a) Nonstate-suported group, organisasi terorisme yang paling sederhana. Organisasi ini tidak
didukung oleh salah satu negara, organisasi ini adalah kelompok kecil yang memiliki
kepentingan khusus, seperti kelompok anti korupsi, kelompok anti globalisasi dll.
b) State-sponsored groups, organisasi ini memperoleh dukungan, baik berupa dukungan
logistic, pelatihan militer, maupun dukungan administratif dari negara asing. Kelompok ini
bersifat professional.
c) State-directed groups, organisasi kelompok teroris ini berupa organisasi yang didukung
langsung oleh suatu negara. Contohnya organisasi special force yang dibentuk Iran 1984,
untuk tujuan penyebaran paham islam fundamentalis diwilayah Teluk Persia dan Afrika
Utara.
Pertemuan ke-12
( September 2020)

2. Terorisme diIndonesia dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003


Pada konsideran Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, dijelaskan “ terorisme telah
menghilangkan nyawa tanpa memandang korban dan menimbulkan ketakutan masyarakat secara
luas, atau hilangnya kemerdekaan, serta kerugian harta benda, oleh karena itu perlu dilaksanakan
langkah pemberantasan.”
Contoh Pasal Terorisme yang menggunakan unsur tindak pidana , Pasal 6 “Setiap orang
yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana
teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat
massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang
lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang
strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana
dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.”
Secara terperinci dari pasal tersebut berdasarkan unsur subjektif dan unsur objektif ;
a. Unsur Subjektif
1. Setiap orang
2. Dengan sengaja
3. Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana terror atau
rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat
massal.
b. Unsur Objektif
1. Merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain
2. Mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis
3. Lingkungan hidup atau fasilitas public
4. Fasilitas Internasional
Syarat suatu percobaan tindak pidana :
a) Ada niat
b) Permulaan pelaksanaan
c) Gagal/tidak selesainya tindakan pelaku tindak pidana adalah diluar kehendak pelaku
tindak pidana.
Menurut Pasal 27 Undang-Undang No.15 Tahun 2003,Alat bukti pemeriksaan tindak
pidana terorisme, meliputi :
1. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana
2. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan,dikirimkan,diterima, atau disimpan
secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu; dan
3. Data,rekaman, atau informasi yang dapat dilihat,dibaca dan/atau didengar, yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas,
benda fisik, apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi
tidak terbatas pada :
a) Tulisan,suaram atau gambar
b) Peta,rancangan,foto,atau sejenisnya
c) Huruf,angka,tanda,symbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat
dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya
Pertemuan ke-13
( September 2020)

Hukum Lingkungan di Indonesia


A. Pengertian Hukum Lingkungan
Dalam hukum lingkungan terkandung 2 pengertian, yaitu ; pengertian hukum dan pengertian
lingkungan. Pengertian lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan hidup (lingkungan fisik), atau
disebut juga lingkungan hidup manusia atau yang sehari-hari disebut lingkungan.
Menurut Munadjat Danusaputro membedakan hukum lingkungan menjadi 2 , yaitu; hukum
lingkungan modern yang berorientasi pada lingkungan(environmental oriented law) dan hukum
lingkungan klasik yang berorientasi pada penggunaan lingkungan (use oriented law).
Hukum Lingkungan mengatur ketentuan tentang tingkah laku manusia dalam bermasyarakat agar
mematuhi hukum lingkungan.
B. Dinamika Perubahan Undang-Undang
Ide pembaruan hukum pidana tertuang dalam beberapa bentuk, antara lain :
1. Kesepakatan pembaruan hukum pidana dalam pertemua ilmiah nasional (antara lain
dalam Seminar Hukum Nasional 1/1963,Simposium Pengaruh Kebudayaan/Agama
terhadap Hukum Pidana 1975;IV/1979,VIII/2003; dan Simposium Pembaruan Hukum
Pidana Nasional Tahun 1980).
2. Kebijakan Legislatif Nasional
3. Laporan Kongres PBB
Menurut UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lingkungan hidup adalah
kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan
perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta
makhluk hidup lain.
Pengertian Agraria
Pasal 1 UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, sebagai berikut :
a) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia
yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
b) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa
adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan
nasional.
c) Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termaksud
dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi.
d) Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di
bawahnya serta yang berada di bawah air.
e) Dalam pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah
Indonesia

Pertemuan ke-14
(September 2020)

C. Undang – Undang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup


Undang-undang No.23 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup telah dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku lagi, digantikan dengan Undang-undang No.32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Beberapa point penting Undang-undang No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, antara lain;
1. Keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup
2. Kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah
3. Penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup
4. Penguatan instrument pencegahan pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup
5. Pendayagunaan perizinan sebagai instrument pengendalian
6. Pendayagunaan pendekatan ekosistem
7. Kepastian dalam merespons dan mengantisipasi perkembangan lingkungan global
8. Penguatan demokrasi lingkungan
9. Penegakkan hukum perdata
10. Penguatan kelembagaan
11. Penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup
D. Penegakkan Hukum Lingkungan di Indonesia
Penegakkan hukum lingkungan dalam beberapa kasus pencemaran dan perusakan lingkungan,
melalui instrument hukum pidana lingkungan dinilai lemah. Hal ini disebabkan oleh kompleksnya
aspek yang muncul dalam proses penegakkan hukum lingkungan. Dalam hukum lingkungan,
pengajuan tuntutan melalui jalur pidana dimungkinkan setelah pendekatan penyelesaian melalui
hukum administrasu negara dan hukum perdata.

Pertemuan ke-15
( 10 Desember 2020)

Pendekatan dalam Penegakan Hukum Lingkungan


Penegakan Hukum Lingkungan dilakukan lembaga formal, seperti pengadilan dan pemerintah belum
bergeser dari pendekatan positivis formal dan prosedural.
Oleh karena itu, sudah saatnya perlu dilakukan rekruitmen dan pembinaan aparat dan penegak
secara khusus, yang nantinya diharapkan dapat menjalankan tugas khusus dalam menangani
sengketa ataupun pengaduan masalah lingkungan,berupa perusakan pencemaran lingkungan.
Hakim yang diangkat atau ditunjuk dapat direkrut dari kalangan akademisi atau pakar hukum
lingkungan, ataupun kalangan aktivis yang selama ini gigih memperjuangkan lingkungan.
Pada akhirnya pembinaan aparat penegakan hukum yang akan melakukan penegakan hukum
lingkungan tidak hanya didasarkan peningkatan kemampuan IQ atau EQ, tetapi sudah mulai diasah
dengan pendekatan SQ sebagai Creative,Insiqhtful,Rule-making,Rule-breaking thinking.
Pembinaan aparat penegak hukum (hakim) dengan pendekatan SQ, didalamnya terdapat
penyadaran dan pesan spiritual yang dalam bahwa seorang hakim adalah wakil Allah dimuka bumi.
Dengan demikian, apa yang dilakukan aparat penegak hukum (hakim) dalam rangka menjalankan
amanat mulia sebagai hamba untuk menyejahterakan alam lingkungan,sekaligus didalamnya
terkandung amanat pengabdian (ibadah) kepada Tuhannya.

Anda mungkin juga menyukai