demokrasi dan kultur

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 4

Page |1

Demokrasi dan Budaya

Dalam pandangan non-culturalist, tidak ada budaya demokrasi yg dibutuhkan negara


untuk meletakkan institusi demokrasi karena tidak ada yg mempertahankan mereka. Dalam
pandangan weakly-culturalist, budaya demokrasi dibutuhkan untuk demokrasi agar bisa
memperkuat atau malah memperlemah, tetapi kecocokkan budaya demokrasi ini dengan
tradisi masyarakat yang umum dipertanyakan krn tradisi ini dapat ditundukkan. Akhirnya dalam
pandangan strongly-culturalist, beberapa budaya lebih sederhananya tidak cocok dengan
demokrasi.

Dengan demikian, apakah institusi demokrasi dapat berfungsi didalam semua


lingkungan kebudayaan atau apakah kita harus menerima bahwa beberapa budaya cocok hanya
dengan bentuk-bentuk berbeda dari sifat yang otoriter. Agama yg dominan memiliki sedikit
hubungan terhadap munculnya dan daya tahan demokrasi. Sebab itu, sementara mungkin ada
alasan yang bagus untuk memperkirakan budaya sebagai perkara. Bukti empiris yang ada
menyediakan sedikit dukungan untuk pandangan bahwa demokrasi membutuhkan budaya
demokrasi.

Pandangan non-kulturalis didukung kuat oleh bukti – bukti dalam pandangan ini.
Demokrasi berlangsung karena kekuatan politik yang berlangsung lebih baik, dalam masa murni
self interest, mengikuti keputusan yang salah dibanding melakukan hal yang lain. Walaupun ke
pihak yang kalah dalam kompetisi demokratis, akan lebih baik dalam jangka pendek.
Memberontak dibandingkan hasil dari kompetisi yang sekarang. Mereka menghadapi
keuntungan besar yang cukup dikompetisi yang akan datang dan perubahan yang cukup untuk
menuruti keputusan demokratis.

Ada beberapa alasan untuk menyangsikan bahwa budaya contoh peradaban lebih
memilih untuk memikirkan islam. Menyediakan keperluan untuk atau halangan yang tidak bisa
dipindahkan untuk atau halangan yang tidak bisa dipindahkan terhadap demokrasi. Pertama,
yang berkaitan dengan peradaban terhadap demokrasi kelihatan tonggak yang buruk. Jika
banyak negara didominasi oleh protertan adalah demokratis, yang mempromosikan demokrasi
jika tidak negara muslim adalah demokrasi. Kami melihat pilar dari proterstanianisme yang
Page |2

mempromosikan demokrasi jika tidak negara muslim adalah demokrasi, jelas harus ada sesuatu
tentang islam yang arti demokrat. Sebagai contoh, peradaban indian ditemukan memiliki apa
yang ada tetapi confusionism dan islam tidak, dan seseorang membayangkan apa yang akan dia
lakukan jika menemukan dunia adalah demokrasi dan indian tidak.

Protestan dan katolik lebih demokrasi dibanding muslim dan yang lain. Untuk menguji
pentingnya agama dalam dinamika rezim, kita menghitung pengaruh perbedaan variabel yang
ada dalam kemungkinan bahwa demokrasi bisa dibangun dan bisa diruntuhkan.
Page |3

Demokrasi tidak hanya milik pemerintah atau negara, melainkan masyarakat atau rakyat. Untuk
itu demokrasi harus didorong dari dua sisi, yaitu sisi struktur dan kultur. Struktur dimaknai bahwa
negara atau pemerintah hendaknya konsekuen dengan aturan yang telah disahkan. Sedangkan kultur,
apa yang telah ada dalam masyarakat serta sesuai dengan nilai – nilai demokrasi hendaknya perlu
dilestarikan. Sebagai contoh : budaya kebersamaan, saling menghargai, tanggung jawab, transparansi,
dan sebagainya.
Demokrasi tidaklah seperti yang diasumsikan oleh kaum naturalis, berkembang seiring laju
pertumbuhan ekonomi, bukan pula seperti yang diandalkan kaum institusionalis yang sangat
mempertaruhkan perkembangannya pada pembangunan lembaga demorasi. 1Pertumbuhan ekonomi
dan lahirnya kelas menengah justru menjadi pemicu kontra demokrasi. Bahkan partai politik, pemilu
reguler, serta DPR tidak mengarah pada penguatan demokrasi. Penguatan demokrasi yang sukses justru
melalui gerakan kultural (budaya) yang lebih menekankan pada aspek sikap dan perilaku.
Memang tidak mudah untuk membangun rasa saling percaya (interpersonal trust) di antara
warga. Karena berbicara tentang budaya berarti menyangkut dengan mentalitas yang terkait dengan
sistem pengetauan yang dimiliki oleh suatu masyarakat atau komunitas. Berarti dengan sendirinya
memiliki hubungan dengan aspek bagaimana demokrasi tersebut diterima dan ditransmisikan kedalam
struktur berpikir masyarakat dan itu sangat bersifat askriptif. Yakni suatu proses pembelajaran yang
didapat seseorang melalui yang ‘dipaksa’. Dan hal ini terkait pula dengan aspek pendidikan, baik formal
maupun informal. Konsolidasi demokrasi tak hanya bisa dibangun dengan sejumlah perangkat prosedur
dan mekanisme pengelolaan penguasaan, seperti sistem hubungan eksekutif-legislatif-yudikatif, sistem
pemilihan umum, partai politik, dan lain – lain. Tetapi banyak faktor yang mempengaruhi sejauh mana
sebuah negara dapat mengkonsolidasikan demokrasi tersebut. Salah satu yang amat penting dari
konteks itu adalah adanya kultur demokrasi yang berkembang dalam masyarakat di suatu negara.
2
Demokrasi tak akan tumbuh dalam sebuah masyarakat yang tidak memiliki kultur demokrasi.
Kultur demokrasi erat kaitannya dengan sikap saling pe rcaya antar warga negara yang diyakini menjadi
pendorong yang cukup kuat ke arah demokrasi.
Faktor budaya sangat penting dalam demokrasi. 3“The expectation...of regular, honest, and
cooperative behavior, based on commonlyshared norms”. Semangat dan nilai – nilai kultur tersebut
akan melahirkan social capital (modal sosial) yang mendorong masyarakat untuk saling bekerja sama

1
Aswab Mahasin, Menyemai Kultur Demokrasi, Jakarta : LP3ES, 2000.
2
Roland Inglehart, Trust Well-being dan Democracy, 1999.
3
Francis Fukuyama, Trust : The Social Virtues and Creation of Prosperity, 1995.
Page |4

dan berasosiasi antara satu dengan yang lainnya. Tetapi landasan utamanya adalah sikap saling percaya
(trust).
4
”Arises from the prevalence of trust in a society”. Dalam kerangka inilah civic engagement
dibutuhkan, bukan hanya sekedar political engagement. Jika yang political engagement menyangkut
keterlibatan dan keterkaitan warga negara dalam urusan – urusan politik dan pemerintahan, maka civic
engagement menyangkut keterlibatan warga negara di dalam kegiatan – kegiatan sosial secara sukarela
dan trust antar sesama warga negara.
Menurut Parsudi Suparlan, dalam masyarakat majemuk seperti di Indonesia yang penekanannya
adalah pada perbedaan – perbedaan SARA, warganya dilahirkan, dididik, dan dibesarkan dalam suasana
yang askriptif dan primordial. Warga masyarakat tersebut juga mengembangkan dan memantapkan
chauvinisme dan etnosentrisme, dan memahami serta memperlakukan yang lainnya secara stereotip
dan penuh dengan prasangka (prejudice). Inilah pangkal kuat hancurnya sikap trust dan toleransi. Si
anak didik dari awal selalu diajarkan untuk berbangga dengan sukunya, agamanya, bahkan keluarganya
(familism). Anak didik tidak dibiarkan untuk membuka cakrawala pikirannya dengan diberikan alternatif
– alternatif pemikiran yang pluralis, bukan curiosity tapi doktrin – doktrin yang askriptif.
Demokrasi tidak hanya milik pemerintah atau negara, melainkan masyarakat atau rakyat. Untuk
itu demokrasi harus didorong dari dua sisi, yaitu sisi struktur dan kultur. Struktur dimaknai bahwa
negara atau pemerintah hendaknya konsekuen dengan aturan yang telah disahkan. Sedangkan kultur,
apa yang telah ada dalam masyarakat serta sesuai dengan nilai – nilai demokrasi hendaknya perlu
dilestarikan. Sebagai contoh : budaya kebersamaan, saling menghargai, tanggung jawab, transparansi,
dan sebagainya.

4
Francis Fukuyama, Trust : The Social Virtues and Creation of Prosperity, 1995.

Anda mungkin juga menyukai