Pembentukan

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 24

Bentuk kekuasaan dan politik Indonesia pada masa kuno

A. KULTUR PRIMUS INTERPARES MASA PRA-SEJARAH


Sampai sekarang pemilihan dengan metode Primus Interpares masih berlanjut di
Indonesia, dinamika sejarah kebudayaan manusia dari waktu ke waktu selalu
meninggalkan jejak budaya yang mencerminkan kehidupan pada zamannya. Dengan
mencermati dan memanfaatkan nilai-nilai budaya masa silam, pada saatnya kelak kita
akan dapat menegakkan jati diri sebagai suatu bangsa yang besar. Sampai saat ini,
sistem pemilihan pemilihan melalui musyawarah yang dilandasi dengan sistem
Demokrasi masih banyak dilakukan. Secara langsung peserta pemilihan masih
menggunakan menggunakan kultur Primus Intepares. Para peserta masuh
menggunakan kemampuan menganalisis mereka dengan melihat bagaimana kelebihan
dari calon yang menngajukan diri dan bahkan dipilih secara tanpa adanya pencalonan
diri. Peserta akan melihat bagaimana kemampuandari para calon pemimpin. Namun di
masa sekarang, akan dilakukan pemilihan dengan metode demokrasi yang menentukan
siapa yang akan menjadi pemimpin dalam sebuah organisasi ataupun dalam sebuah
perkumpulan. Lahirnya figur kuat yang melampaui sistem dan institusi yang merusak
bangunan politik karena sistem tercipta tidak lain adalah cermin dan kepanjangan dari
dirinya sendiri. Seharusnya pemimpin yang kuat adalah mereka yang mampu
membangun sistem yang berkelanjutan. Tidak perlu diingkari adanya orang-orang yang
meraup keuntungan dari situasi paternalistik di dalam suatu organisasi. Masyarakat
perlu diajak dan dididik untuk percaya pada sistem dan cita-cita, bukan semata-semata
pada orang. Figur yang kuat harus secara sadar dilembagakan menjadi kekuatan
sistem yang mapan. Ilmu sosiologi mengenalkan "ascribed status" dan "achieved
status." Ascribed status adalah status sosial yang melekat pada seseorang karena
kelahiran atau afiliasi keturunan. Status ini tidak dapat dipilih atau diraih oleh seseorang
namun "terberi" oleh keadaan. Sebaliknya, achieved status adalah posisi sosial yang
diperoleh melalui usaha dan kemampuan seseorang. Tantangan bagi budaya
demokrasi adalah ketika ascribed status menjadi lebih penting dan determinan
dibanding achieved status dalam masalahmasalah yang membutuhkan tanggung jawab.
Lagi-lagi, itulah masalah yang akan mengerdilkan kebebasan, kompetisi, dan
meritokrasi. Tantangan terhadap budaya demokrasi yang tidak kalah pentingnya adalah
yang menang tidak bisa atau tidak mau menerima yang kalah; dan yang kalah tidak
mampu menghormati yang menang. Kerugian dari situasi ini adalah hilangnya potensi
sinergi dari dua pihak yang memiliki kemampuan. Muryanto kemudian menyatakan,
maka kebebasan, kompetisi dan meritokrasi menjadi agenda terpenting dalam
membangun budaya demokrasi. Tiga persyaratan penting dalam budaya demokrasi
harus dijaga dari polusi politik uang dan akan membentengi suatu organisasi dari politik
uang. Ketiganya juga akan melahirkan sejumlah pemimpin yang kompeten setelah
ditempa oleh proses dan memiliki akar penerimaan publik. Sehingga tidak akan
melahirkan orang kuat yang melampaui sistem dan institusi karena pemimpin yang
dihasilkan adalah "primus interpares" atau "yang utama dari yang setara" sehingga
check and balance, baik secara formal maupun kultural, dapat berlangsung dengan
efektif. Memaknai kebebasan, kompetisi dan meritokrasi membutuhkan komitmen dari
semua pihak. Sampai sekarang pemilihan dengan metode Primus Interpares masih
berlanjut di Indonesia, baik dari kelompok kecil di masyarakat yang membutuhkan
pemimpin dalam perkumpulan mereka maupun pemilihan pemimpin-pemimpin besar
lainnya di Indonesia. Dalam sistem politik di Indonesia dapat kila lihat piramida
Kekuasaan di Indonesia (Menurut W Liddle). 1. Presiden - primus interpares yang
utama dan yang setara mengontrol political resources. 2. ABRI Sebagai stabilisator dan
dinamisator. 3. Birokrasi sebagai pembina kepatuhan ''obedience". Di atas merupakan
bagaiman Presiden tetap dilihat masyarakat bagaimana kelebihan dan bagaimana
kemenonjolan yang ia miliki dalam kepemimpinan. Presiden menjadi primus Interpares
utama dalam pemilihan pemimpin di Indonesia.

B. STRUKTUR DAN KULTUR.


Jika membahas perkembangan negara dari suatu organisasi yang sangat sederhana
sampai yang modern, pada umumnya ahli-ahli ilmu politik selalu berpijak dalam bidang
Antropologi. Dua bidang antropologi ini dalam hubungannya dengan negara membahas
organisasi, pemimpin, tradisi, dan kebudayaan. Oleh karena itu bidang Antropologi
politik sebagai pendekatan untuk menjelaskan sejarah ketatanegaraan, tidak terlepas
dari kerangka politik yang mendukungnya. Ada satu buku yang berjudul Antropologi
Sosial: Sebuah Pengantar, karangan Huizinga, salah satu babnya membahas bentuk-
bentuk negara yang primitif. Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa bentuk yang paling
umum dari sistem politik di antara masyarakat-masyarakat yang dipelajari oleh ahli
antropologi ternyata masyarakat tersebut sudah dapat dinamakan state, meskipun
masyarakat tersebut tergolong primitif yang tinggal secara terisolasi di pedalaman.
Masyarakat kesukuan atau primitif ini oleh ahli antropologi di namakan tribe. Dari
pendekatan antropologi sosial dan politik tribe sudah mempunyai sistem politik.
Masyarakat kesukuan berdasarkan kajian antropologi mempunyai ciri-ciri: 1. Jumlah
penduduk biasanya sedikit dibandingkan dengan masyarakat modern ini, hanya ada
beberapa keluarga yang mendiami wilayah-wilayah kesukuan. 2. Masyarakat kesukuan
sangat tergantung pada alam, bahkan masyarakat tersebut mengisolasi di alam.
Berdasarkan teori antropologi, yang dibangun oleh para ahli antropologi Eropa Barat
yang mempelajari masalah masyarakat di Asia sebagai tanah koloni, antara lain
dijelaskan bahwa masyarakatmasyarakat kesukuan sebenarnya merupakan masyarakat
yang sudah mempunyai sistem kekuasaan, dan hal ini dapat dilihat dari
pemimpinpemimpin sukunya. Adapun ciri-ciri pemimpin atau kepala masyarakat
kesukuan antara lain: 1. Mempunyai kelebihan dari kemampuan rata-rata anggota
suku, misalnya keberanian, melindungi warga suku dari suku lain, yang oleh ahli
antropologi disebut “primus inter pares”, yang artinya satu-satunya primus inter class. 2.
Mempunyai pengetahuan dalam hal adat-istiadat, memimpin ritual, dan penyerbuan .
Seorang pemimpin kesukuan mampu menciptakan suasana kekerabatan yang baik,
sehingga unsur-unsur dendam dapat dihilangkan. Oleh karena itu pemimpin kesukuan
harus kerja sama dalam warga kesukuan. Masyarakat kesukuan yang primitif termasuk
budayanya mencakup tahap ontologi, yaitu tahap dimana hakekat dasar hidupnya
sangat tergantung pada alam. Tahap ini diperkuat dengan tahap mistis, yaitu tahap
memitoskan alam dengan berbagai ritual seperti upacara. Sedangkan dalam
masyarakat modern, tahapannya sudah memasuki tahap fungsional, di mana logika,
nalar, pikiran, mulai digunakan untuk menguasai alam, dan tidak tergantung pada alam.
Tetapi dalam beberapa kasus mesyarakat modern seringkali lari pada tahap mistis.
Terbentuknya kepemimpinan masyarakat kesukuan, dapat dimulai dari Indonesia dan
membandingkannya dengan suku lain di dunia terutama Afrika dan Amerika Latin.
Untuk Indonesia dapat dipilih tentang masyarakat kesukuan yang ada di Irian Jaya. Ini
berarti bahwa masyarakat kesukuan dapat direkam ciri-ciri kepemimpinan kesukuan
yang dalam beberapa literatur disebut primus interpares, yaitu satu-satunya tokoh dari
sekian banyak orang. Salah satu buku yang menjelaskan primus interpares dalam
masyarakat internasional adalah Indonesian Sociologikal Studies, karangan B. Schrieke
terbitan tahun 1960 Sumur Bandung, Bandung. Dalam konsep primus interpares ini,
maka membahas masyarakat kesukuan ini, masih sangat relevan. Dan pada umumnya
konsep kepemimpinan primus interpares tidak dianut dalam masyarakat demokratis dan
masyarakat modern. Yang dimaksudkan dengan pemilu di sini adalah pemilihan oleh
umum dalam urusan politik bersifat publik, seperti memilih anggota legislatif, gubernur,
wakil gubernur, walikota dan wakil wali kota. Jabatan-jabatan ini mengurus kepentingan
publik dan siapa yang menduduki jabatan-jabatan tersebut serta program yang
ditawarkannya dalam kampanye pemilu untuk dilaksanakan akan berdampak publik,
terhadap semua warga, baik yang memilih maupun yang tidak. Pemilihan oleh publik
terhadap jabatan-jabatan publik sebenarnya mempunyai akar budaya dan sejarah yang
sudah lama dalam masyarakat kita. Bahkan jauh sebelum Republik Indonesia (RI)
berdiri, kita sudah mengenal sistem pemilihan. Pemilihan dilakukan untuk menghormati
rasa keadilan dan harapan publik. Yang dipilih mengemban kepercayaan untuk
melaksanakan harapan, keinginan, mimpi bersama untuk hidup makin manusiawi.
Bukan untuk menjadi tidak manusiawi dan memerosotkan kehidupan publik. Melihat
kembali sejarah politik dan budaya di negeri kita, saya mempertanyakan: Apa benar
negeri kita tidak mempunyai tradisi demokrasi dan hanya Barat (berbasiskan demokrasi
selektif kota Yunani Kuno, Athena) yang mengenal demokrasi. Sehingga demokrasi
Barat dikatakan sebagai model. Dalam budaya dan sejarah pemilihan di bagai daerah
negeri kita, termasuk di Tanah Dayak ini, jauh sebelum RI berdiri, orang-orang memilih
warga sungai, kampung atau suku, yang terbaik sebagai pemimpin mereka. Kualitas
baik ini dikenal oleh semua warga, sehingga yang memimpin sesungguhnya diakui
sebagai warga terbaik di antara mereka. Seorang primus interpares. Rekam jejaknya
(track record)-nya diketahui oleh semua orang. Ia dipilih dan dikampanyekan tanpa
kampanye oleh rekam jejaknya. Demikian halnya dengan tampilnya tokoh damang,
pambakal, pangirak, mantir. Rekam jejak ini membuat mereka yang dipilih mendapat
kepercayaan penuh, dipilih secara bulat (aklamasi), dan mempunyai wibawa. Wibawa
(authority) artinya pengaruh dan kekuasaan yang diterima dengan lega. Bukan
kekuasaan bersandarkan pada kekuatan paksaan (power). Wibawa seorang tokoh
merangkum kepercayaan, mutu tokoh (kemampuan mengorganisasi, tingkat visioner,
kemampuan merekam dan memahami mimpi publik dalam program publik kemudian
melaksanakannya, menghormati keadilan, pandai mendengar, memecahkan masalah
dan pandai mempersatukan). Teladan bagi warganya. Seorang primus inter pares pada
masa itu tidak lain adalah jiwa suku, sungai, dan kampung dengan ketrampilan
menyeluruh. Demikian dulu di Masyarakat Adat (MA). Bagaimana melihat, apakah
tokoh itu seorang primus interpares relatif dalam syarat sekarang ini? Pertama-tama
kita membaca rekam jejaknya. Karena itu sejarah diri termasuk prestasi kandidat perlu
dibeberkan dan disimak. Dicek dan direcek. Rekam jejak bisa diusut dan tercatat dalam
sejarah, baik tulisan maupun lisan. Dalam rekam jejak ini, bisa dibaca kemampuan,
pola pikir dan mentalitas kandidat, wacana dan mimpi-mimpinya. Kemampuannya
menangani persoalan. Kedua, dengan membaca dan menelaah program menyeluruh
yang ditawarkan oleh kandidat. Melalui program, bisa diketahui apa-apa yang akan
dikerjakan oleh kandidat jika ia keluar sebagai pemenang. Sebaliknya dengan program
ini pulalah pemilih/masyarakat mengontrol kecocokan janji dan perbuatan. Program ini
oleh kandidat perlu disebarluaskan ke kalangan masyarakat untuk dipelajari, dikritisi,
sehingga kandidat tidak menjadi “kucing dalam karung” yang diperjualbelikan kepada
pemilih. Seniscayanya kampanye pemilukada adalah upaya mesosialisasikan program,
bukan menabur janji dalam kalimat-kalimat cekak, jargonal, tanpa penjelasan. Dengan
penyebar luasan program oleh kandidat, maka program itu bisa dipelajari dan dikritis
publik, baik dalam debat atau pun di rapat kampanye. Alasan debat tidak menyediakan
waktu cukup untuk mengenal kandidat, saya kira kurang berdasar. Apalagi jika dalam
kampanye, kandidat juga menjelaskan rekam jejaknya dan debat merupakan bagian
dari kampanye. Kampanye tidakkah intinya mensosialisasikan program? Debat publik
adalah salah satu cara terbaik untuk mengkhayati dan membedah program? Program
kandidat sekaligus berfungsi sebagai standar dalam melakukan kontrol terhadap
kandidat pemenang di kemudian hari. Program sebagai standar kontrol terhadap
gubernur atau kandidat pemenang menjadi penting dalam menyongsong keluarnya
penguatan hak DPRD melalui revisi UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah
Daerah, untuk mengajukan usul pencopotan gubernur yang melakukan penyimpangan
(lihat: Harian Tabengan, Palangkaraya, 25 Januari 2010). Dalam konteks inilah maka
peran kontrol masyarakat dan lembaga-lembaganya akan menjadi nyata, bahkan
efektif. Kontrol untuk melahirkan pengelola kekuasaan yang sehat, bersih, efektif dan
berkemampuan. Jika hal ini terjadi maka bisa diharapkan ada keseimbangan antara
kekuatan rakyat dan negara. Negara menjurus ke arah perwujudan nilai republik (res
publica, untuk kepentingan umum dan liberté, egalité dan fraternité) serta
berkeindonesiaan.Sementara itu, jika dalam proses pemilu, masih berlangsung praktek
politik uang (money politic) dan “serangan fajar”, maka perbuatan demikian
mempertanyakan: Apakah kandidat memang calon yang berkualitas primus interpares
dalam arti politik dan spiritualitas? Politik uang dan “serangan fajar” apakah bukannya
lahir dari wacana “kekuasaan untuk kekuasaan”, “kekuasaan untuk kami” bukan untuk
“kita”, wacana bahwa politik menghalalkan segala cara? Memilih primus interpares
adalah cara pemilihan yang mempunyai dasar pada sejarah budaya dan politik Tanah
Dayak. Primus interpares adalah kualitas menyeluruh yang dipilih dan terpilih serta
membuka diri untuk kontrol. Primus interpares menunjukkan sekaligus mutu pemilu
kada dan masyarakat kita. Untuk zaman sekarang memilih yang primus inter pares
tentu bukanlah hal yang mudah. Dunia politik kita sudah demikian kompleks dan kotor,
tapi paling tidak, primus inter pares bisa jadi patokan memilih yang primus di antara
yang ada sebagai bagian dari upaya menata ulang republik ini.
C. KEKUASAAN ERA HINDU-BUDHA DI INDONESIA.
Masyarakat Nusantara terkenal sebagai bangsa yang kuat dan pemberani. Mereka
mampu berlayar hingga mencapai berbagai kawasan di dunia. Kegiatan pelayaran
bukan hanya berlangsung untuk kegiatan mencari ikan, hasil alam, atau penjelajahan
semata. Mereka juga melakukan hubungan pedagangan dengan masyarakat asing.
Hubungan ini pelayaran dan perdagangan kuno ini sudah berkembang sejak jaman pra-
aksara. Didasari oleh prinsip kebutuhan dan ketersedaan barang hubungan
perdagangan berkembang dengan baik. Hal ini diperkuat dengan keuntungan letak
Nusantara yang sangat strategis. Kepulauan Nusantara terletak di antara dua benua
yaitu Asia dan Australia, serta dua samudera yaitu Hindia dan Pasifik. Persilangan ini
merupakan daerah persimpangan lalu lintas perdagangan dunia. Memang pada tahun-
tahun sebelum masehi jalur perdagangan tidak lagi melewati jalur darat (jalur sutera).
Kemudian pada awal abad Masehi, jalur perdagangan beralih ke jalur laut, sehingga
secara tidak langsung perdagangan anatara Cina dan India melewati selat Malaka.
Untuk itu kepulauan Nusantara menjadi bertambah ramai. Selain itu nyatanya
Nusantara memiliki hasil alam yang melimpah. Hubungan pelayaran dan perdagangan
awal masyarakat Nusantara dengan bangsa luar dapat dibuktikan dari berbagai sumber
sejarah dan diruntut dari beberapa anggapan sejarawan yang antara lain:Melalui
hubungan pelayaran dan perdagangan antara Nusantara dengan bangsa asing muncul
berbagai pengaruh bagi kedua pihak. Salah satu bangsa asing yang melakukan
hubungan dengan bangsa Nusantara adalah bangsa India. Masyarakat Nusantara
mendapat berbagai kebudayaan baru dan kemudian mengadopsi sebagian
kebudayaan dari bangsa India. Pengaruh tersebut muncul bukan merupakan hasil dari
hubungan yang berlangsung secepat kilat. Dimulai pada awal tahun masehi dan
berjalan hingga ratusan tahun lamanya hingga meninggalkan kesan dan pertukaran
kebudayaan (Notosusanto, 1998: 311). Pengaruh hubungan tersebut dapat
dikategorikan dalam beberapa bidang berikut:
Bidang Agama Sebelum masuknya pengaruh kebudayaan India ke Nusantara,
masyarakat masih menganut kepercayaan anismisme dan dinamisme. Kepercayaan ini
dipegang teguh oleh masyarakat Indonesia ketika kebudayaan India masuk ke
Indonesia. Hingga membentuk periode sejarah di Nusantara yaitu sejarah pada masa
Hindu-Budha. Salah satu periode sejarah yang sangat berpengaruh di Nusantara
adalah periode Hindu-Budha. Periode Hindu-Budha dimulai sekitar abad ke-3, dimana
pada masa itu masyarakat Nusantara belum mengenal agama dan umumnya masih
menganut kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Begitu banyak opini dan teori yang
diberikan para ahli-ahli sejarah tentang kedatangan atau bagaimana masuknya agama
Hindu-Budha di Nusantara. Dikarenakan periode ini sangat berpengaruh dalam lukisan
sejarah untuk Nusantara. Pengaruh yang diberikan pun sangat Beragam di berbagai
bidang kehidupan. Dalam pembahasan kali ini, pengaruh yang akan dibahas
adalahbagaimana sistem politik atau birokrasi atau sistem penguasaan dan
pemerintahan pada masa Hindu-Budha di Nusantara. Jika membahasan tentang proses
kedatangan, ada beberapa teori masuknya agama Hindu-Budha di Nusantara, meski
masih banyak kontroversi tentang teori ini namun ada kekurangan dan kelebihan dari
setiap teori. Berikut beberapa teori atau hipotesis masuknya agama Hindu-Budha:
Hipotesis Waisya Hipotesis ini dikemukakan oleh N.J. Krom yang menyebutkan bahwa
proses masuknya kebudayaan Hindu melalui hubungan dagang antara India dan
Indonesia. Kaum pedagang (Waisya) India yang berdagang di Indonesia mengikuti
angin musim. Apabila angin musim tidak memungkinkan mereka untuk kembali, dalam
waktu tertentu mereka menetap di Indonesia. Biasanya selama 6 bulan. Selama para
pedagang India tersebut menetap di Indonesia, mereka manfaatkan untuk
menyebarkan agama Hindu-Buddha. Hipotesis Kesatria Hipotesis kesatria
mengungkapkan bahwa pembawa agama dan kebudayaan Hindu masuk ke Indonesia
adalah kaum Kesatria atau bangsawan. Menurut hipotesis ini, pada masa lampau di
India terjadi peperangan antar kerajaan. Para prajurit yang kalah kemudian
mengadakan migrasi ke daerah lain. Tampaknya diantara mereka ada yang sampai ke
Indonesia dan mendirikan koloni-koloni melalui penaklukan. Mereka menyebarkan
budaya dan agama Hindu di Indonesia. Salah seorang pendukung hipotesis ini adalah
sejarawan C.C. Berg. Hipotesis Brahmana Hipotesis ini diungkap oleh J.C. Van Leur.
Dia mengatakan bahwa kebudayaan Hindu-Buddha India yang menyebar ke Indonesia
dibawa oleh golongan Brahmana. Pendapatnya itu didasarkan pada pengamatan
terhadap sisa-sisa peninggalan kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha di
Indonesia. Terutama pada prasasti-prasasti yang menggunakan bahasa Sanskerta dan
huruf Pallawa. Karena hanya golongan Brahmana yang menguasai bahasa dan huruf
itu, maka sangat jelas disini adanya peran Brahmana. Hipotesis Sudra Teori ini
disampaikan oleh Von Van Faber yang menyebutkan bahwa peperangan yang terjadi di
India menyebabkan golongan Sudra menjadi buangan. Mereka kemudian
meninggalkan India dengan mengikuti kaum Waisya. Dengan jumlah yang besar,
diduga golongan Sudra yang memberi andil dalam penyebaran budaya Hindu-Buddha
ke Indonesia. Hipotesis Arus Balik Teori ini dikemukakan oleh F.D.K. Bosch, yaitu
banyak orang Indonesia yang sengaja datang ke India untuk berziarah dan belajar
agama Hindu-Buddha. Setelah kembali ke Indonesia, mereka menyebarkan agama
tersebut. Teori tersebut juga di dukung dengan pendapat Van Leur, dimana menurutnya
orang Indonesia juga memiliki peran dalam proses masuknya kebudayaan India.Para
pedagang dari Indonesia, datang sendiri ke India karena penasaran dengan
kebudayaan tersebut. Mereka menetap di India selama beberapa waktu kemudian
pulang kembali dengan membawa kebudayaan India dan menyebarkannya. Menurut
Bosch (dalam Ririn Darini 2016:32), Indonesia berperan dalam proses masuknya
pengaruh kebudayaan India ketika terjadinya arus balik biksu dari Indonesia setelah
belajar di India. Mereka berperan dalam mengembangkan kebudayaan India di
nusantara. Proses masuknya budaya India dimungkinkan dengan adanya hubungan
dagang antara Indonesia dengan India dan proses penyuburan budaya terjadi karena
inisiatif dari bangsa Indonesia. Dalam proses tersebut bangsa Indonesia aktif sehingga
unsur-unsur budaya India tidak pernah menjadi unsur yang dominan dalam kerangka
budaya Indonesia secara keseluruhan. Jika membicarakan tentang kekuasaan,
masyarakat menganut agama Hindu dan Budha dikarenakan penguasa mereka yang
memerintah pada saat itu lebih dulu menganut agama Sehingga kedudukan kekuasaan
mempengaruhi masyarakat untuk ikut menganut agama tersebut. Peran penguasa
sangat penting dalam mempengaruhi bagaimana kondisi masyarakat dalam berbagai
bidang khususnya bidang bidang kehidupan yang mempengaruhi politik. Proses
datangnya Hindu dan Budha yang memiliki cerita yang panjang sehingga menuliskan
banyak pengaruh untuk Nusantara. Setelah kedatangan India yang awalnya untuk
berdagang namun diikuti dengan penyebaran agama kepercayaan mereka, lama
kelamaan berdirilah kerajaan yang bercorak Hindu Budha di nusantara.
1. Kerajaan Kutai
Keterlibatan Indonesia dengan dunia luar telah dimulai sejak abad pertama
Masehi. Mereka telah mengadakan komunikasi, hubungan dagang, dan diduga
juga ada yang menikah dengan orang-orang India. Pernikahan menyebabkan
orang-orang India menetap di wilayah Indonesia dan mulailah terjadi perubahan.
Pengaruh datangnya kebudayaan India terutama kebudayaan Hindu
menyebabkan Kutai yang semula merupakan kelompok masyarakat yang
berbentuk suku berubah sistem pemerintahannya. Kepala pemerintahannya
yang semula seorang kepala suku berubah menjadi raja. Bukti yang
menunjukkan adanya pengaruh India dalam kelompok masyarakat Kutai adalah
penggunaan nama yang berunsurkan India pada salah satu pemimpin mereka
dalam salah satu prasasti peninggalannya. Satu-satunya bukti yang dapat
digunakan untuk menguak sejarah kerajaan Kutai sebagai kerajaan Hindu tertua
di Indonesia, adalah ditemukannya 7 buah prasasti yupa yang diperkirakan
berasal dari sekitar tahun 400M/abad 5M. Yupa adalah tugu batu peringatan
dan tempat menambatkan hewan kurban dalam upacara-upacara kurban Hindu.
Tulisan di yupa berhuruf Pallawa, berbahasa Sanskerta. Dalam prasasti-prasasti
yang ditemukan di Kutai, terdapat salah satu prasasti yang didalamnya tetulis
“Sang Maharaja Kundungga yang amat mulia mempunyai putra yang mashur,
Sang Aswawarman namanya, yang seperti Sang Ansuman (Dewa Matahari)
menumbuhkan keluarga yang sangat mulia. Sang Aswawarman mempunyai
putra tiga, seperti api (yang suci) tiga. Yang terkemuka dari ketiga putra itu
adalah Sang Mulawarman, raja yang berperadaban baik, kuat, dan kuasa. Sang
Mulawarman telah mengadakan kenduri (selamatan) emas amat banyak. Buat
peringatan kenduri itulah tugu batu ini didirikan oleh para Brahmana.” Dari
prasasti tersebut dapat diketahui nama-nama raja yang pernah memerintah di
Kerajaan Kutai. Raja pertama bernama Kundungga yang merupakan nama
Indonesia asli. Ia mempunyai seorang anak yang bernama Aswawarman yang
dianggap sebagai pendiri dinasti atau pembentuk keluarga (Wamsakerta). Nama
anak Kundungga di atas menunjukkan telah masuknya pengaruh Hindu dalam
Kerajaan Kutai. Selanjutnya, dapat diketahui pula bahwa Aswawarman itu
mempunyai 3 orang putra. Salah seorang di antara putranya itu sangat terkenal,
bernama Mulawarman. Kedua nama terakhir menggunakan bahasa Sanskerta.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada masa kerajaan Kutai, mereka
telah mengenal sistem pemerintahan. Pemerintahan bukan lagi dipimpin oleh
kepala suku, tetapi dipimpin oleh Raja. Dalam prasasti tersebut juga
membuktikan bahwa raja-raja Kutai adalah orang Indonesia asli yang telah
memeluk agama Hindu. Ada banyak raja-raja yang pernah memerintah di
kerajaan Kutai ini, namun yang paling memiliki peran pentingyang di tuliskan
dalam sejarah diantaranya adalah: Maharaja Kudungga Adalah raja pertama di
Kerajaan Kutai. Kedudukan Kudungga pada awalnya adalah seorang kepala
suku, dengan masuknya pengaruh Hindu maka ia mengubah struktur
pemerintahannya menjadi kerajaan dan menjadikan dirinya sebagai raja, dan
pergantian kekuasaan dengan keturuanan-keturunannya. Raja Kudungga
merupakan penduduk asli Indonesia yang belum terpengaruh dengan ajaran
Hindu pada zamannya. Oleh karena itu, Raja Kudungga tidak dianggap sebagai
pendiri keluarga kerajaan, melainkan anaknya yaitu Raja Aswawarman, karena
pada masa pemerintahannya sudah masuk pengaruh agama Hindu dana
RajaAswawarman menjadi pemeluk Hindu hingga keturunan berikutberikutnya.
Kondisi keadaan politik pada masa pemerintahan kudungga adalah terpengaruh
budaya Hindu dan belum adanya sistem kepemerintahan yang sistematis serta
teratur. Hal ini di karenakan pada saat itu di peradaban Kutai Martadipura,
menurut prasasti peninggalan sejarah peradapan Kutai Martadipura berada di
abad 4 Masehi atau kurang lebih di tahun 350 Masehi dan saat itu Kudungga
belum menjabat sebagai seorang Raja akan tetapi hanya sebatas kepala suku
dan mendapatkan gelar Maha raja Kudungga Anumerta Dewawarman. Menurut
prasasti pula dari seorang Kudungga ini lahirlah pemimpinpemimpin kerajaan
Kutai yang mahsyur, mendapat pengaruh budaya Hindu dari para pedagang
India yang dulu bersistem kesukuan menjadi sistem kerajaan, pemimpin Kutai
Martadipura yang tercatat dalam prasasti. Maharaja Aswawarman Raja
Aswawarman adalah putra Raja Kudungga. Raja Aswawarman adalah Raja
pertama yang menganut kepercayaan Hindu. Sebelumnya pada masa
pemerintahaan Raja Kudungga, kerajaan Kutai menganut kepercayaan
animisme. Raja Aswawarman merupakan pendiri dinasti Kerajaan Kutai,
sehingga mendapat gelar Wangsakerta yang artinya sebagai pembentuk
keluarga raja. Pemberiaan gelar ini juga disebutkan pada stupa, selain itu stupa
itu juga menjelaskan bahwa Raja Aswawarman mendapat sebutan sebagai
Dewa Ansuman (Dewa Matahari). Raja Aswawarman memiliki peranan besar
dalam perluasan wilayah kekuasaan kersjaan kutai. Perluasan wilayah diakukan
oleh Aswawarman dengan cara melakukan upacara Asmawedha, yaitu upacara
pelepasan kuda untuk menentukan batas wilayah kerajaan. Kuda-kuda yang
dilepaskan ini akan diikuti oleh prajurit kerajaan yang akan menentukan wilayah
kerajaan sesuai dengan sejauh mana jejak telapak kaki kuda dapat ditemukan.
Maharaja Mulawarman Raja Mulawarman merupakan anak dari Raja
Aswawarman yang menjadi penerusnya. Nama Mulawarman dan Aswawarman
sangat kental dengan pengaruh bahasa Sanskerta bila dilihat dari cara
penulisannya. Raja Mulawarman adalah raja terbesar dari Kerajaan Kutai. Di
bawah pemerintahannya, Kerajaan Kutai mengalami masa kejayaannya.
Rakyat-rakyatnya hidup tentram dan sejahtera hingga Raja Mulawarman
mengadakan upacara kurban emas yang amat banyak. Kerajaan Hindu pertama
dan terbesar di tanah air dikenal dengan sebutan Kerajaan Kutai Martapura atau
disebut juga dengan Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Kerajaan
yang berdiri sejak abad ke-4 itu melalui berbagai musim dan rintangan dalam
mempertahankan kerajaan, tentu saja dilaukannya pergantian raja di interen
kerajaan cukup membuat masalah tersendiri. Selama bertahun-tahun bahkan
berabad lamanya masa kejayaan Kutai Martapura mencatat kesuksesan raja-
rajanya dalam memimpin kerajaan. Catatan tersebut didapat dari yupa yang
masih utuh. Pada yupa yang tersebar tersebut tidak ada yang mencatat secara
detail mengenai kelahiran hingga kematian tokoh mereka. Namun, pada yupa
tersebut dicatat bagaimana masa kepemimpinan mereka dari awal hingga akhir.
Tercatat seorang raja yang cukup terkenal di Kerajaan Kutai Martapura bernama
Raja Mulawarman. Nama yang mengandung begitu kental unsur India ini
merupakan anak dari Raja Aswawarman serta cucu dari Raja Kudungga yang
dikenal sebagai raja pertama dan pendiri Kerajaan Kutai Martapura ini. Nama
Mulawarman cukup dikenal setelah ia menjadi pemimpin di abad ke-4 Masehi.
Ia terctat sebagai raja dengan segudang prestasi dan kedermawanannya.
Mulawarman adalah raja terkenal dari Kutai, seperti diungkapkan pada salah
satu yupa berikut: ”Sang Maharaja Kudungga yang amat mulia mempunyai
putra yang masyur bernama Aswawarman. (Dia) mempunyai tiga orang putra
yang seperti api. Yang terkemuka di antara ketiga putranya adalah sang
Mulawarman, raja yang besar, yang berbudi baik, kuat, dan kuasa, yang telah
upacara korban emas amat banyak dan untuk memperingati upacara korban
itulah tugu ini didirikan.” Mulawarman, menurut yupa tersebut, sering diwujudkan
dengan Ansuman, yaitu Dewa Matahari. Raja Mulawarman dikenal sangat
dekat dengan rakyatnya. Ia juga memiliki hubungan yang baik dengan kaum
brahmana yang datang ke Kutai. Diceritakan bahwa Mulawarman sangat
dermawan. Ia memberikan sedekah berupa minyak dan lampu. Ia juga
memberikan hadiah 20.000 lembu kepada brahmana di suatu tempat yang
disebut Waprakeswara (tempat suci untuk memuja Dewa Siwa). Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa Mulawarman menganut Hindu-Siwa. Dari
besarnya sedekah raja Mulawarman ini memperlihatkan keadaan masyarakat
Kutai yang sangat makmur. Kemakmuran ini didukung oleh peranan yang besar
Kutai dalam pelayaran dan perdagangan di sekitar Asia Tenggara. Hal ini
disebabkan karena letak Kutai yang strategis, yaitu berada dalam jalur
perdagangan utama Cina-India. Masa keemasan Kuatai Martapura di tangan
Mulawarman mencangkup daerah kekuasaan yang terus meluas hingga
menguasai seluruh wilayah Kalimantan Timur juga sekitarnya. Dari luasnya
kerajaan yang didapat Mulawarman, tak satu pun rakyatnya yang tidak
merasakan kemakmuran. Kemakmuran ini dirasakan rakyat Kutai hingga raja
selanjutnya. Tidak diketahui pasti kapan masa berakhirnya kepemimpinan
Mulawarman. Namun, kejayaan yang diraihnya membawa kebaikan bagi raja
dan rakyat setelahnya hingga masuknya pengaruh Islam dan kehadiran VOC
Belanda. Kemudian raja-raja selanjutnya yaitu Maharaja Irwansyah, Maharaja Sri
Aswawarman, Maharaja Marawijaya Warman, Maharaja Gajayana Warman,
Maharaja Tungga Warman, Maharaja Jayanaga Warman, Maharaja Nalasinga
Warman, Maharaja Nala Parana Tungga, Maharaja Gadingga Warman Dewa,
Maharaja Indra Warman Dewa, Maharaja Sangga Warman Dewa, Maharaja
Singsingamangaraja XXI, Maharaja Candrawarman, Maharaja Prabu Nefi
Suriagus, Maharaja Ahmad Ridho Darmawan, Maharaja Riski Subhana,
Maharaja Sri Langka Dewa, Maharaja Guna Parana Dewa, Maharaja Wijaya
Warman,Maharaja Indra Mulya, Maharaja Sri Aji Dewa, Maharaja Mulia Putera,
Maharaja Nala Pandita, Maharaja Indra Paruta Dewa, Maharaja Dharma Setia.
Raja raja kerajaan kutai diatas merupakan seseorang yang berperan dalam
kehidupan rakyar, baik dari segi ekonomi, sosial dan budaya. Berdasarkan
letaknya, kerajaan kutai dijadikan sebagai jalur perdagangan dan pelayaran dari
arah Barat maupun Timur. Perdagangan inilah yang menjadi mata pencaharian
utama bagi rakyat kerajaan Kutai. Rakyat kerajaan Kutai juga ikut berperan aktif
dalam perdagangan Internasional dan melakukan perdagangan ke perairan
Indonesia Timur dan Jawa. Para rakyat Kutai memeluk agama Siwa yang
dibuktikan dengan prasasti Yupa. Dalam prasasti tersebut terdapat tempat
bernama Wapakeswara yaitu tempat pemujaan Dewa Siwa. Di dalam sejarah
disebutkan bahwa Kerajaan Kutai runtuh saat raja Kerajaan Kutai terakhir yang
bernama Maharaja Dharma Setia tewas di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-
13, Aji Pangeran Anum Panji Mendapa. Kerajaan Kutai Kartanegara selanjutnya
menjadi Kerajaan Islam yang bernama Kesultanan Kutai Kartanegara. Kerajaan
Kutai berakhir pada saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma Setia
tewas dalam peperangan di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, Aji Pangeran
Anum Panji Mendapa. Perlu diingat bahwa Kutai ini (Kutai Martadipura) berbeda
dengan Kerajaan Kutai Kartanegara yang saat itu ibukota di Kutai Lama
(Tanjung Kute). Kutai Kartanegara inilah, di tahun 1365, yang disebutkan dalam
sastra Jawa Negarakertagama. Kutai Kartanegara selanjutnya menjadi kerajaan
Islam. Sejak tahun 1735 kerajaan Kutai Kartanegara yang semula rajanya
bergelar Pangeran berubah menjadi bergelar Sultan (Sultan Aji Muhammad
Idris) dan hingga sekarang disebut Kesultanan Kutai Kartanegara.
2. Kerajaan Sriwijaya
Kekuasaan di Kerajaan Sriwijaya Sriwijaya merupakan kerajaan maritim yang
cukup besar, karena wilayah ini dilalui oleh perdagangan internasional. Dalam
sistem pemerintahan Sriwijaya menerapkan aturan-aturan yang tidak
menghendaki kebebasan bertindak yang terlalu besar bagi para penguasa
daerahnya, dengan memunculkan kutukan dan sumpah yang tertuang di dalam
prasastinya. Adapun prasasti yang ditemukan mengenai kerajaan Sriwijaya
antara lain yaitu: a. Prasasti tertua yang ditemukan terdapat di daerah
Kedudukan Bukit dekat palembang, angka tahunnya 604 S atau 682 M. b.
Prasasti Talang Tuo dari sebelah barat kota Palembang sekarang, prasasti ini
terdiri dari 14 baris berangka tahun 606 S. Isinya tentang perintah dari Dapunta
hyang Sri Jayanasa untuk membuat taman Sri Ksetra yang berisi segala
macam tumbuhan dan buah-buahan buat kemakmuran semua makhluk
(Poerbatjaraka, 1952 : 35-38). c. Prasasti Telaga Batu dekat Palembang,
prasasti ini dihiasi dengan tujuh kepala ular kobra berbentuk pipih dengan
mahkota berbentuk permata bulat, leher yang mengembang dengan hiasan
kalung, prasasti ini berisi 28 baris dalam kondisi aus dan beberapa huruf tidak
terbaca. d. Di Pulau Bangka bagian barat, prasasti ini mungkin dibawa dari luar
pulau karena melihat jenis batu yang diipakai tidak dijumpai di pulau bangka.
Jumlah barisnya 10 baris dan berangka tahun 608 S. Prasasti yang memuat
mengenai kutukan bagi siapa saja termasuk rajaraja yang melakukan kejahatan
dan rakyat biasa yang tidak mematuhi perintah raja ada di dalam prasasti
Telaga Batu. Menurut de Casparis, dengan berpatokan pada prasasti Telaga
Batu, kedatuan Sriwijaya dapat dibagi menjadi beberapa mandala (semacam
provinsi) dan setiap mandala dikuasai oleh seorang datu (Casparis, 1986: 18).
Sesorang yang menjadi datu juga harus dari kalangan putra raja atau
bangsawan, dibawah datu ada seorang pembesar yangbergelar parvvanda yang
bertugas sebagai ketua hulubalang dan bertanggung jawab dalam hal
ketentaraan (Utomo, 2006: 152). Berkenaan dengan struktur birokrasinya hanya
dapat dilihat melalui sumber prasasti Telaga Batu. Kepala pemerintahannya
adalah seorang raja, yang dalam istilah kerajaan Sriwijaya disebut sebagai
Dapunta Hyang. Di bawah Dapunta Hyang berkuasa mentri dan pegawai tinggi
di bawah martabat mentri yang dinamai Parvvanda. Diduga struktur tersebut
adalah sebagai berikut (Yamin, 1958:31): 1. Dapunta hyang. 2. Yuwara,
Pratiyuwaraja, raja kumara. 3. Samwarddhi (Pengangkatan menjadi datu atau
pegawai tinggi). 4. Rajaputra, samantaraja (pegawai lain, baik yang dipusat
atau di daerah). 5. Senapati, nayaka, pratyaya, hajipratyaya,
dandanoyaka/hakim, murdaka (pegawai pelaksana hakim dan panglima
perang). 6. Kumaramatya, cathachata, adhikarana (martabat menteri/amatya).
7. Koyastha, sthapaka/arsitek, puhawam, vaniyoga, pratisara, marsi haji, hulun
haji (pegawai teknik). Berdasarkan beberapa Prasasti yang ditemukan hampir
keseluruhan prasasti bercerita mengenai kutukan atau sumpah yang akan
diberikan bagi raja dan rakyat yang melakukan kejahatan. Di dalam prasasti
diceritakan bahwa jika raja berlaku tidak setia, berbuat onar, bersepakat dengan
orang jahat dan melindungi orang jahat maka akan dimakan oleh sumpah.
Begitu juga bagi rakyat yang tidak setia maka akan dibunnuh oleh sumpah.
Kerajaan Sriwijaya yang merupakan sebuah negara maritim yang bertumpu
pada sektor perdagangan telah mengembangka suatu diplomasi sehingga
kerajaan tersebut menjadi lebih metropolitan sifatnya. Untuk dapat
mempertahankan eksistensinya kerajaan Sriwijaya sangat sadar akan
pentingnnya kekuatan militer. Kerajaan Sriwijaya juga menjamin keselamatan
pedagang yang menggunakan jalur-jalur perdagangan menuju Sriwijaya
sehingga pedagang lebih merasa aman dan nyaman melewati jalur tersebut
sehingga otomatis jalur tersebut ramai dilalui para pedagang asing. Kerajaan
Sriwijaya juga merupakan kerajaan mahsyur dan dianggap sebagai pusat
agama Buddha, hal ini ditulis dalam karya-karya I-tsing yang ditulisnya di
Sumatera pada tahun 689 dan 692. Kemasyuhuran Sriwijaya sebagai pusat
pengajaran agama Buddha tentu bukan hasil suatu perkembangan dalam waktu
yang singkat. Raja-raja Sriwijaya selalu tampil sebagai pelindung agama
Buddha dan penganut yang taat. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan agama
Buddha yang sampai meluas ke luar negeri.

3. Tarumanegara
Tarumanegara dalam sejarah Indonesia dikenal sebagai salah satu kerajaan
yang didirikan oleh bangsa Sunda. Kerajaan ini juga digolongkan kedalam
kerajaan-kerajaan tertua yang pernah berdiri di Indonesia. Adanya pandangan
tersebut didasarkan pada penemuanpenemuan sumber sejarah baik prasasti
maupun naskah kuno. Berdirinya Kerajaan Tarumanagara masih dipertanyakan
oleh para ahli sejarah. Satu-satunya sumber sejarah yang secara lengkap
membahas mengenai Kerajaan Tarumanagara adalah Naskah Wangsakerta.
Naskah Wangsakerta tersebut masih menjadi perdebatan diantara para
sejarawan tentang keaslian isinya. Menurut Naskah Wangsakerta, pada abad
ke-4 Masehi, pulau dan beberapa wilayah Nusantara lainnya didatangi oleh
sejumlah pengungsi dari India yang mencari perlindungan akibat terjadinya
peperangan besar di sana. Para pengungsi itu umumnya berasal dari daerah
Kerajaan Palawa dan Calankayana di India, pihak yang kalah dalam
peperangan melawan Kerajaan Samudragupta (India). Salah satu dari
rombongan pengungsi Calankayana dipimpin oleh seorang Maharesi yang
bernama Jayasingawarman. Setelah mendapatkan persetujuan dari raja yang
berkuasa di barat Jawa (Dewawarman VIII, raja Salakanagara), maka
Jayasingawarman membuka tempat pemukiman baru di dekat sungai Citarum.
Pemukimannya oleh Jayasingawarman diberi nama Tarumadesya (desa
Taruma). Sepuluh tahun kemudian desa ini banyak didatangi oleh penduduk
dari desa lain, sehingga Tarumadesya menjadi besar. Akhirnya dari wilayah
setingkat desa berkembang menjadi setingkat kota (Nagara). Semakin hari, kota
ini semakin menunjukan perkembangan yang pesat, karena itulah
Jayasingawarman kemudian membentuk sebuah Kerajaan yang bernama
Tarumanagara. Raja Purnawarman adalah raja besar yang telah berhasil
meningkatkan kehidupan rakyatnya. Hal ini dibuktikan dari prasasti tugu yang
menyatakan bahwa Raja Purnawarmantelah memerintahkan untuk menggali
sebuah kali (Sejarah Daerah Jawa Barat, 1979:45). Penggalian sebuah kali ini
sangat besar artinya, karena pembuatan kali ini berarti pembuatan saluran
irigasi untuk memperlancar pengairan sawahsawah pertanian rakyat. Dengan
upaya itu, Raja Purnawarman dipandangsebagai raja besar yang
memperhatikan kehidupan rakyatnya. Penjelasan tentang Tarumanagara cukup
jelas di Naskah Wangsakerta. Pada Naskah Wangsakerta dari Cirebonitu,
Tarumanegara didirikan oleh Raja dirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358,
yang kemudian digantikan oleh putranya, Dharmayawarman (382-395).
Jayasingawarman dipusarakan di tepi kali Gomati, sedangkan putranya di tepi
kali Candrabaga. Maharaja Purnawarman adalah raja Tarumanagara yang
ketiga (395-434 M). Iamembangun ibukota kerajaan baru pada tahun 397 yang
terletak lebih dekat ke pantai. Dinamainya kota itu Sundapura–pertama kalinya
nama “Sunda” digunakan. Prasasti Pasir Muara yang menyebutkan peristiwa
pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu dibuat tahun 536 M. Dalam
tahun tersebut yang menjadi penguasa Tarumanagara adalah Suryawarman
(535-561 M) Raja Tarumanagara ke-7. Pemerintahan Candrawarman (515-535
M), ayah Suryawarman, banyak penguasa daerah yang menerima kembali
kekuasaan pemerintahan atas daerahnya sebagai hadiah atas kesetiaannya
terhadap Tarumanagara. Ditinjau dari segi ini, maka Suryawarman melakukan
hal yang sama.Baik sumber-sumber prasasti maupun sumber-sumber Cirebon
memberikan keterangan bahwa Purnawarman berhasil menundukkan musuh-
musuhnya. Prasasti Munjuldi Pandeglang menunjukkan bahwa wilayah
kekuasaannya mencakup pula pantai Selat Sunda. Kekuasaan Purnawarman
terdapat 48 raja daerah yang membentang dari Salakanagaraatau Rajatapura
(di daerah Teluk Lada Pandeglang) sampai ke Purwalingga (sekarang
Purbolinggo) di Jawa Tengah. Secara tradisional Cipamali (Kali Brebes)
memang dianggap batas kekuasaan raja-raja penguasa Jawa Barat pada masa
silam di Tarumanegara hanyalah raja Purnawarman. Raja Purnawarman adalah
raja besar yang telah berhasil meningkatkan kehidupan rakyatnya. Hal ini
dibuktikan dari prasasti tugu yang menyatakan raja Purnawarman telah
memerintah untuk menggali sebuah kali. Penggalian sebuah kali ini sangat
besar artinya, karena pembuatan kali ini merupakan pembuatan saluran irigasi
untuk memperlancar pengairan. Kehadiran Prasasti Purnawarman di Pasir
Muara, yang memberitakan Raja Sunda dalam tahun 536 M, merupakan gejala
bahwa Ibu kota Sundapura telah berubah status menjadi sebuah kerajaan
daerah. Hal ini berarti, pusat pemerintahan Tarumanagara telah bergeser ke
tempat lain. Contoh serupa dapat dilihat dari kedudukaan Rajatapura atau
Salakanagara (kota Perak. Kota ini sampai tahun 362 menjadi pusat
pemerintahan Raja-raja Dewawarman (dari Dewawarman I-VIII). Prasasti tugu
prasasti merupakan prasati yang terpanjang dan terpenting dari raja
Purnawarman. Ketika pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke
Tarumangara, maka Salakanagara berubah status menjadi kerajaan daerah.
Jayasingawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman
VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Salankayana di India yang mengungsi ke
Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta
dari Kerajaan Magada. Suryawarman tidak hanya melanjutkan kebijakan politik
ayahnya yang memberikan kepercayaan lebih banyak kepada raja daerah untuk
mengurus pemerintahan sendiri, melainkan juga mengalihkan perhatiannya ke
daerah bagian timur. Dalam tahun 526 M, misalnya, Manikmaya, menantu
Suryawarman, mendirikan kerajaan baru di Kendan, daerah Nagreg antara
Bandung dan Limbangan, Garut. Masa keruntuhan Kerajaan Tarumanegara
terjadi setelah kerajaan ini dipimpin oleh raja generasi ke-13 yang bernama Raja
Tarusbawa. Runtuhnya kerajaan Hindu pertama diPulau Jawa ini disebabkan
tidak adanya kepemimpinan karena Raja Tarusbawa lebih menginginkan
memimpin kerajaan kecilnya di hilir sungai Gomati. Selain itu, gempuran
beberapa kerajaan lain di nusantara pada masa itu terutama Kerajaan Majapahit
memegang andil penting dalam keruntuhan Kerajaan Tarumanegara pada masa
itu. Pada masa pemerintahan Sudawarman, Kerajaan Tarumanegara sudah
mulai terlihat mengalami kemunduran. Ada beberapa faktor yang menjadi
penyebab kemunduran atau keruntuhan Kerajaan Tarumanegara tersebut,
diantaranya adalah memberikan ekonomi pada raja-raja di bawah Kerajaan
Tarumanegara yang di berikan kepada raja sebelumnya. Sudawarman secara
emosional tidak menguasai persoalan di Kerajaan Tarumanegara, beliau dari
kecil tinggal di kanci, wilayah pallawa, sehingga hal tersebut menyebabkan
beliau tidak begitu perduli pada masalah yang menimpa di kerajaan tersebut.
Diatas merupakan penjelasan singkat dari Kerajaan Tarumanegara, mulai dari
silsilah, peninggalan, letak, agama, kehidupan politik, kehidupan sosial,
kehidupan ekonomi, kehidupan budaya hingga runtuhnya Kerajaan
Tarumanegara. Semoga penjelasan tersebut bermanfaat. Raja ke-12
Tarumanagara, Linggawarman, memiliki dua orang putri. Putri pertamanya
bernama Dewi Manasih yang kemudian menikah dengan Tarusbawa dan
Sobakencana yang kemudian menjadi isteri Dapunta Hyang Sri Jayanasa,
pendiri Kerajaan Sriwijaya. Tangku kepemimpinan Kerajaan Tarumanegara pun
jatuh pada suami Manasih yaitu Tarusbawa. Pada masa kepemerintahan
Tarusbawa, pusat kerajaan Tarumanagara ke kerajaanya sendiri yaitu Kerajaan
Sunda (Kerajaan bawahan Tarumanagara) dan kemudian mengganti Kerajaan
Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda.
4. Kerajaan Mataram Kuno
Pusat kerajaan Mataram Kuno terletak di Lembah sungai Progo, meliputi
daratan Magelang, Muntilan, Sleman, dan Yogyakarta. Kerajaan mataram kuno
dipimpin pertama kali oleh Raja Sanjaya yang terkenal sebagai seorang raja
yang besar, gagah berani dan bijaksana serta sangat toleran terhadap agama
lain. Ia adalah penganut Hindu Syiwa yang taat. Setelah Rakai Mataram Sang
Ratu Sanjaya meninggal dunia, beliau kemudian digantikan oleh putranya yang
bernama Sankhara yang bergelar Rakai Panangkaran Dyah Sonkhara Sri
Sanggramadhanjaya. Raja Panangkaran lebih progresif dan bijaksana daripada
Sanjaya sehingga Mataram Kuno lebih cepat berkembang. Daerah-daerah
sekitar Mataram Kuno segera ditaklukkan, seperti kerajaan Galuh di Jawa Barat
dan Kerajaan Melayu di Semenanjung Malaya. Ketika Rakai Panunggalan
berkuasa, kerajaan Mataram Kuno mulai mengadakan pembangunan beberapa
candi megah seperti candi Kalasan, candi Sewu, candi Sari, candi Pawon, candi
Mendut, dan Candi Borobudur. Kemudian setelah Rakai Panunggalan
meninggal, beliau digantikan oleh Rakai Warak. Pada zaman pemerintahan
Rakai Warak, ia lebih mengutamakan agama Buddha dan Hindu sehingga pada
saat itu banyak masyarakat yang mengenal agama tersebut. Setelah Rakai
Warak meninggal kemudian digantikan oleh Rakai Garung. Pada masa
pemerintahan Rakai garung pembangunan kompleks candi dilanjutkan di Jawa
Tengah bagian utara terutama di sekitar pegunungan Dieng. Hal itu dapat
dibuktikan dengan adanya kompleks bangunan candi Hindu di dataran tinggi
Dieng, seperti candi Semar, candi Srikandi, candi Punta dewa, candi Arjuna dan
candi Sembadra. Selain itu di bangun pula kompleks candi Gedong Sanga yang
terletak di sebelah kota Semarang sekarang. Setelah Rakai Garung meninggal
ia digantikan oleh Rakai Pikatan. Berkat kecakapan dan keuletan Rakai
Pikatan, semangat kebudayaan Hindu dapat dihidupkan kembali. Kekuasaannya
pun bertambah luas meliputi seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur serta ia pun
memulai pembangunan candi Hindu yang lebih besar dan indah yaitu candi
Prambanan (Candi Lara Jonggrang) di desa Prambanan. Setelah Raja Pikatan
wafat ia digantikan oleh Rakai Kayuwangi. Pada masa pemerintahan Rakai
Kayuwangi Kerajaan banyak menghadapi masalah dan berbagai persoalan
yang rumit sehingga timbullah benih perpecahan di antara keluarga kerajaan.
Selain itu zaman keemasan Mataram Kuno mulai memudar serta banyak terjadi
perang saudara. Saat Rakai Kayuwangi meninggal ia digantikan oleh Rakai
Watuhumalang. Rakai Watuhumalang berhasil melanjutkan pembangunan
Candi Prambanan. Kemudian setelah Rakai Watuhumalang meninggal ia
digatikan oleh Rakai Watukura Dyah Balitung. Pada masa pemerintahan Rakai
Dyah Balitung dikenal 3 jabatan penting, yaitu rakryan i hino (pejabat tinggi
sesudah raja), rarkyan i halu dan rarkyan i sirikan. Ketiganya merupakan
tritunggal. Dyah Balitung memerintah sampai tahun 910 M dan meninggalkan
banyak prasasti (20 buah). Ada prasasti yang menyebutkan bahwa Raja Balitung
pernah menyerang Bantan (Bali). Setelah Rakai Watukura Dyah Balitung wafat
ia digantikan oleh Daksa dengan gelar Sri Maharaja Sri Daksottama Bahubajra
Pratipaksaksaya. Sebelumnya ia menjabat sebagai rakryan. Ia memerintah dari
tahun 913-919 M. Pada masa pemerintahan Raja Daksa inilah pembangunan
Candi Prambanan berhasil diselesaikan. Bahwa perpindahan Kerajaan Mataram
dari Jawa Tengah ke Jawa Timur dilalukan sekitar perempat pertama abad X.
Timbul berbagai teori kemungkinan alasan perpindahan Istana Kerajaan
Mataram ke Jawa Timur. Menurut N.J. Krom perpindahan pusat kerajaan
tersebut terjadi pada kurun perempat awal abad X, dengan alasan yang tidak
begitu jelas. Sementara menurut B. Schrieke, yang menjadi penyebab kenapa
pusat pemerintahan pindah ke Jawa Timur adalah karena pembangunan Candi
Borobudur yang menghabiskan seluruh kejayaan kerajaan waktu itu yang
sedang jaya-jayanya. Pembangunan Candi Borobudur yang menyita banyak
tenaga dari rakyat Mataram dan meninggalkan pekerjaan seperti pertain,
berdagang dan aktivitas yang lainya sehingga terjadilah migrasi missal ke Jawa
Timur. Mataram di Jawa Timur Pusat pemerintahan dinasti ini terletak di
Watuguluh, antara gunung Sumeru dan gunung Wilis.Empu sindok beragama
Hindu syiwa. Jadi, kerajaan mpu Sindok termasuk kerajaan yang bercorak
Hindu. Namun, pada saat itu agama Budha Tantrayana juga berkembang baik.
Hal itu membuktikan adanya toleransi agama sejak dahulu. Pada zamannya
disusun sebuah kitab suci agama Budha Tantrayana yang berjudul Sang Hyang
Kamahayanikan. Dari sumber 23 prasasti Mpu Sindok dapat diketahui struktur
pemerintahan kerajaan Mataram setelah pusatnya dipindahkan ke Jawa Timur,
pada awalnya masih mengikuti struktur pemerintahan sebelumnya. Hal ini
disebabkan Mpu Sindok pernah menjadi pejabat tinggi pada masa pemerintahan
raja Rakai Layang Dyah Tulodhong dan raja Rakai Sumba Dyah Wawa.
Demikian juga dengan sejumlah pejabat pada masa pemerintahan raja Wawa
tetap dipakai sebagai pembantunya. Dalam perkembangannya kemudian
dilakukan perubahan, terutama pada pejabat yang menerima dan yang
melaksanakan perintah raja, Serta pejabatan yang masuk dalam dewan
penasehat raja. Sementara itu struktur perwilayahan juga mengalami
perubahan. Jika pada masa pemerintahan Raja Wawa, wilayah dibagi menjadi
wilayah pusat pemerintahan di mana raja dan para pejabat tinggi kerajaan
tuggal, dikenal dengan sebutan wanna i jro turns (wilayah di dalam
tembok/benteng/pagar). Wilayah ini dibatasi dengan wilayah wanna yang ada di
empat penjuru mata angin. Kemudian ada wilayah watak dengan para Rakai
(bangsawan keluarga raja) sebagai penguasanya. Wilayah warak ini tidak selalu
sama luasnya. Ada wilayah walak yang membawahi 4 wanna (desa), tetapi ada
juga yang membawahi lebih dari 12 wanna. Berdasarkan prasasti-prasasti yang
didapatkan kembali pada Mpu Sindok hingga Airlangga, dapat diketahui
bagaimana Keadaan sosial masyarakat pada waktu itu. Waktu Mpu Sindok
Memindahkan istananya di Jawa Timur. Hampir tidak berbeda
denganmasyarakat Jawa kuno pada masa Kerajaan Mataran kuno Jawa tengah,
pola kehidupan masyarakat tampaknya terbagi menjadi dua, masyarakat kota
dan masyarakat desa. Masyarakat Kota adalah mereka-mereka yang hidup di
istana atau di sekitar Istana raja. Sedangkan masyarakat desa adalah mereka-
mereka yang jauh dari istana. Mereka hidup di satu wilayah yang disebut
wanua, Yang di atur oleh pejabat wanua, yaitu Rama. Pendudukdesa (disebut
anak wanua pada masa Mpu Sindok,disebut anak thani Pada masa Airlangga)
hidup dari pola agraris yang ditunjang oleh macam-macam keahlian. Dalam
prasasti disebut namanama pekerjaan mereka seperti petani, pengrajin, dan
pedagang, atau sebagai apa saja yang menjadi mata pencahariannya.
5. Kerajaan Kediri
Kediri merupakan salah satu kerajaan Hindu yang terletak di tepi Sungai
Brantas, Jawa Timur. Kerajaan yang berdiri pada abad ke-12 ini merupakan
bagian dari Kerajaan Mataram Kuno. Keadaan politik pemerintahan dan
keadaan masyarakat di Kediri ini dicatat dalam berita dari Cina, yaitu dalam
kitab Ling-Wai-tai-ta yang ditulis oleh Chou K’u-fei pada tahun 1178 dan pada
kitab Chu-fan-chi yang disusun oleh Chaujukua pada tahun 1225. Kitab itu
melukiskan keadaan pemerintahan dan masyarakat zaman Kediri. Kitab itu
menggambarkan masa pemerintahan Kediri termasuk stabil dan pergantian
tahta berjalan lancar tanpa menimbulkan perang saudara. Raja pertama Kediri
bernama Samarawijaya yang menamakan dirinya sebagai titisan Wisnu. Selama
menjadi raja Kediri, Samarawijaya selalu berselisih paham dengan saudaranya,
Mapanji garasakan yang berkuasa di Jenggala. Keduanya merasa berhak atas
seluruh tahta Raja Airlangga, ayahanda mereka berdua (Kerajaan Medang
kamulan) yang meliputi hampir seluruh wilayah Jawa Timur dan sebagian jaw
Tengah. Akhirnya perselisihan tersebut menimbulkan perang saudara yang
berlangsung hingga tahun 1052. Peperangan tersebut dimenangkan oleh
Samarawijaya dan berhasil menaklukan Jenggala. Kerajaan Kediri mencapai
puncak kejayaan pada masa pemerintahan Jayabaya. Saat itu wilayah
kekuasaan Kediri meliputi seluruh bekas wilayah Kerajaan Medang Kamulan.
Selama menjadi raja Kediri, Jayabaya berhasil kembali menaklukan jenggala
yang sempat memberontak ingin memisahkan diri dari Kediri. Keberhasilan
tersebut diberitakan dalam prasasti hantang yang berangka tahun 1135.
Prasasti ini memuat tulisan yang berbunyi Panjalu Jayati yang artinya Panjalu
menang. Prasasti tersebut dikeluarkan sebagai piagam pengesahan anugrah
dari Jayabay untuk penduduk Desa Hantang yang setia pada Kediri selama
perang melawan Jenggala. Pada masa pemerintahannya kesusastraan
diperhatikan. Mpu Sedah dan Mpu Panuluh menggubah karya sastra kitab
Bharatayudha yang menggambarkan peperangan antara Pandawa dan Kurawa
yang untuk menggambarkan peperangan antara jenggala dengan Kediri.
Jayabaya juga terkenal sebagai Pujangga yang ahli meramal kejadian masa
depan, terutama yang akan menimpa tanah Jawa. Ramalannya terkenal dengan
istilah “Jangka Jayabaya”. Sebagai kemenangan atas jenggala, nama Jayabaya
diabadikan dalam kitab Bharatayuda. Kitab ini merupakan kitab yang digubah
oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh.Bharatayuda memuat kisah perang
perebutan takhta Hastinapura antara keluarga Phandawa dan Kurawa.Sejarah
partikaian anatar panjalu dan Jenggala mirip dengan kisah tersebut sehinggah
kitab Bharatayuda dianggap sebagai legimitasi (klaim) Jayabaya untuk
memperkuat kekuasaannya atas seluruh wilayah bekas Kerajaan Medang
Kamulan. Selain itu, untuk menunjukkan kebesaran dan kewibawaan sebagai
Raja Kediri, Jayabaya menyatan dirinya sebagai keturunan Airlangga dan titisan
Dewa Wisnu.Selanjutnya ia mengenakan lencana narasinga sebagai lambang
kerajaan kediri. Pada awal pemerintahan Jayabaya, kekacauan dikerajaan masih
berlangsung. Pada tahun 1135 M, jayabaya berhasil memadamkan kekacauan
tersebut. Sebagai bukti, adanya kata- kata Panjalu Jayati pada prasasti
Hantang. Setelah kerajaan stabil, jayabaya mulai menata dan mengembangkan
kerajaannya. Mata pencaharian paling penting adalah pertanian dengan hasil
uatama padi. Pelayaran dan perdagangan juga berkembang. Hal ini ditopang
oleh Angkatan Laut Kediri yang cukup tangguh. Di Kediri telah ada Senopati
Sarwajala (Panglima angkatan Laut). Barang perdagangan di Kediri antara lain
emas, perak, gading, kayu, cendana, dan pinang. Kesadaran rakyat mengenai
pajak juga cukup tinggi. Rakyat menyerahkan barang atau sebagian hasil
buminya kepada pemerintah. Kerajaan Kediri runtuh pada masa pemerintahaan
Raja Kertajaya, dimana terjadi pertentangan antara raja dengan Kaum
Brahmana. Raja Kertajaya dianggap melanggar agama dengan memaksakan
mereka menyembah kepadanya sebagai dewa. Kaum Brahmana meminta
pertolongan kepada Ken Arok, pemimpin daerah Tumapel yang ingin
memisahkan diri dari Kediri. Kemudian terjadilah perang antara rakyat Tumapel
yang dipimpin Ken Arok dengan Kerajaan Kediri. Akhirnya pada tahun 1222
Masehi, Ken Arok berhasil mengalahkan Kertajaya dan Kerajaan Kediri menjadi
wilayah bawahan Tumapel atau Singhasari. Sebagai pemimpin di Kerajaan
Singhasari, Ken Arok mengangkat Jayasabha (putra Kertajaya) sebagai bupati
Kediri. Jayasabha digantikan oleh putranya Sastrajaya pada tahun 1258.
Kemudian Sastrajaya digantikan putranya Jayakatwang (1271). Jayakatwang
berusaha ingin membangun kembali Kerajaan Kediri dengan memberontak
Kerajaan Singhasari yang dipimpin Kertanegara. Terbunuhlah Raja Kertanegara
dan Kediri berhasil dibangun oleh Jayakatwang.
6. Kerajaan Singasari
Pendiri Kerajaan Singasari ialah Ken Arok yang menjadi Raja Singasari dengan
gelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabumi. Munculnya Ken Arok sebagai raja
pertama Singasari menandai munculnya suatu dinasti baru, yakni Dinasti Rajasa
(Rajasawangsa) atau Girindra (Girindrawangsa). Ken Arok hanya memerintah
selama lima tahun (1222–1227). Pada tahun 1227 Ken Arok dibunuh oleh
seorang suruhan Anusapati (anak tiri Ken Arok). Ken Arok dimakamkan di
Kegenengan dalam bangunan Siwa– Buddha. Dengan meninggalnya Ken Arok
maka takhta Kerajaan Singasari jatuh ke tangan Anusapati. Dalam jangka waktu
pemerintahaannya yang lama, Anusapati tidak banyak melakukan
pembaharuan-pembaharuan karena larut dengan kesenangannya menyabung
ayam. Peristiwa kematian Ken Arok akhirnya terbongkar dan sampai juga ke
Tohjoyo (putra Ken Arok dengan Ken Umang). Tohjoyo mengetahui bahwa
Anusapati gemar menyabung ayam sehingga diundangnya Anusapati ke
Gedong Jiwa (tempat kediamanan Tohjoyo) untuk mengadakan pesta sabung
ayam. Pada saat Anusapati asyik menyaksikan aduan ayamnya, secara tiba-tiba
Tohjoyo menyabut keris buatan Empu Gandring yang dibawanya dan langsung
menusuk Anusapati. Dengan demikian, meninggallah Anusapati yang
didharmakan di Candi Kidal. Dengan meninggalnya Anusapati maka takhta
Kerajaan Singasari dipegang oleh Tohjoyo. Namun, Tohjoyo memerintah
Kerajaan Singasari tidak lama sebab anak Anusapati yang bernama
Ranggawuni berusaha membalas kematian ayahnya. Dengan bantuan Mahesa
Cempaka dan para pengikutnya, Ranggawuni berhasil menggulingkan Tohjoyo
dan kemudian menduduki singgasana. Pada tahun 1248 M Ranggawuni
dinobatkan menjadi raja dengan bergelar Sri Jayawisnuwardhana Sang Mapanji
Seminingrat Sri Sakala Kalana Kulama Dhumardana Kamaleksana (menurut
prasasti Maribong 1248). Dalam menjalankan pemerintahannya dia dibantu oleh
Mahisa Campaka. Hal ini merupakan penerapan dari adanya struktur birokrasi
pemerintahan yang mana para kerabat kerajaan memegang jabatan tinggi
pemerintahan baik dipusat maupun di daerah. Raja Wisnuwardhana
mengangkat Mahisa Campaka sebagai Ratu Angabhaya dengan gelar
Narasinghamurti. Pengadaan jabatan Ratu Angabhaya sengaja dilakukan oleh
raja Wisnuwardhana. Fungsi dari Ratu Angabhaya, adalah sebagai peniadaan
bahaya. Hal ini didasari dari adanya keinginan raja Wisnuwardhana untuk
mempersatukan kerajaan Kediri dan Tumapel. Dalam proses pemersatuan
kedua kerajaan yang terpisah ini, maka dilakukan beberapa upaya. Adapun
upaya yang dilakukan tidak hanya dibidang politik, namun juga di bidang religi
keagamaan. Pada bidang politik dengan mengadakan jabatan Ratu Angabhaya
beserta penguruspengurus pemerintahan kerajaan. Salah satu cara yang
ditempuh oleh kedua pemimpin yang diprakarsai oleh Ken Dedes yaitu
menyatukan kedua keturunan dari satu ibu yang berbeda ayah. Bisa dikatakan
dengan pernikahan politik, yakni dengan menikahkan dua cucu keturunannya.
Adapun cucu dari Ken Dedes adalah Ranggawuni (putra dari Anusapati) dan
Waning Hyun (putri dari Mahisa Wonga Teleng). Pada tahun 1254
Wisnuwardhana meresmikan Singasari sebagai ibukota kerajaan Tumapel, yang
sebelumnya nama ibukotanya adalah Kutaraja. Namun seiring berjalannya
waktu nama kerajaan Singasari lebih terkenal dibandingkan dengan nama
kerajaan Tumapel. Pada tahun yang sama Raja Wisnuwardhana menobatkan
puteranya Sri Kertanegara sebagai Yuwaraja. Kertanegara adalah Raja
Singasari terakhir dan terbesar karena mempunyai cita-cita untuk menyatukan
seluruh Nusantara. Ia naik takhta pada tahun 1268 dengan gelar Sri
Maharajadiraja Sri Kertanegara. Dalam pemerintahannya, ia dibantu oleh tiga
orang mahamentri, yaitu mahamentri i hino, mahamentri i halu, dan
mahamenteri i sirikan. Untuk dapat mewujudkan gagasan penyatuan Nusantara,
ia mengganti pejabat-pejabat yang kolot dengan yang baru, seperti Patih
Raganata digantikan oleh Patih Aragani. Banyak Wide dijadikan Bupati di
Sumenep (Madura) dengan gelar Aria Wiaraja. Setelah Jawa dapat diselesaikan,
kemudian perhatian ditujukan ke daerah lain. Kertanegara mengirimkan utusan
ke Melayu yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu 1275 yang berhasil
menguasai Kerajaan Melayu. Hal ini ditandai dengan mengirimkan patung
Amogapasa ke Dharmasraya atas perintah raja Kertanegara. Tujuannya untuk
menguasai Selat Malaka. Selain itu juga menaklukkan Pahang, Sunda, Bali,
Bakulapura (Kalimantan Barat) dan Gurun (Maluku). Kertanegara juga menjalin
hubungan persahabatan dengan raja Champa, dengan tujuan untuk menahan
perluasan kekuasaan Kublai Khan dari Dinasti Mongol. Kublai Khan menuntut
raja-raja di daerah selatan termasuk Indonesia mengakuinya sebagai yang
dipertuan. Kertanegara menolak dengan melukai utusannya yang bernama
Mengki. Tindakan Kertanegara ini membuat Kublai Khan marah besar dan
bermaksud menghukumnya dengan mengirikan pasukannya ke Jawa.
Mengetahui sebagian besar pasukan Singasari dikirim untuk menghadapi
serangan Mongol, maka Jayakatwang menggunakan kesempatan untuk
menyerangnya. Jayakatwang adalah keturunan Kertajaya - Raja terakhir
Kerajaan Kediri. Serangan dilancarakan oleh Jayakatwang dari dua arah, yakni
dari arah utara merupakan pasukan pancingan dan dari arah selatan merupakan
pasukan inti. Pasukan Kediri dari arah selatan dipimpin langsung oleh
Jayakatwang dan berhasil masuk istana dan menemukan Kertanagera berpesta
pora dengan para pembesar istana. Kertanagera beserta pembesar-pembesar
istana tewas dalam serangan tersebut. Raden Wijaya (menantu Kertanegara)
berhasil menyelamatkan diri dan menuju Madura dengan maksud minta
perlindungan dan bantuan kepada Aria Wiraraja (Buapati Sumenep). Atas
bantuan Aria Wiraraja, Raden Wijaya mendapat pengampunan dan mengabdi
kepada Jayakatwang serta diberikan sebidang tanah yang bernama Tanah Terik
yang nantinya menjadi asal usul Kerajaan Majapahit. Dengan gugurnya
Kertanegara pada tahun 1292, Kerajaan Singasari dikuasai oleh Jayakatwang.
Ini berarti berakhirlah kekuasan Kerajaan Singasari. Sesuai dengan agama yang
dianutnya, Kertanegara kemudian didharmakan sebagai Siwa-Buddha (Bairawa)
di Candi Singasari. Sedangkan arca perwujudannya dikenal dengan nama Joko
Dolog, yang sekarang berada di Taman Simpang, Surabaya. Masa
kegemilangan Kerajaan Singasari pada era kepemimpinan Kertanegara,
ternyata menjadi akhir eksistensi dari Singasari. Kehancuran Singasari berasal
dari pemberontakkan yang dilakukan oleh Jayakatwang. Pada awalnya,
Jayakatwang dianggap tidak akan menghianati kekuasaan Kertanegara, karena
sudah dilakukan pernikahan diantara putra-putri mereka. Raja Kertanegara telah
mengambil langkah untuk menjaga hubungan politik yang baik dengan
Jayakatwang, yaitu dengan jalan mengambil anaknya yang bernama Arddharaja
sebagai menantunya. Alasan dari pemberontakan yang dilancarkan oleh
Jayakatwang yaitu motif balas dendam, karena keturunan Singasari sudah
menghabisi Kertajaya sebagai nenek moyang dari Jayakatwang. Ketika
melaksanakan perlawanan kepada Kertanegara, Jayakatwang dibantu oleh
Kebo Mundarang dan Arya Wiraraja yang merupakan Adipati Sumenep.
Serangan Jayakatwang dilancarkan antara pertengahan bulan Mei dan
Pertengahan bulan Juni 1292 M. Serangan yang dipimpin oleh Jayakatwang
sendiri dibagi menjadi dua wilayah. Pertama dari utara kerajaan yang berfungsi
sekedar menyebarkan ketakutan dikalangan Singasari. Kedua yaitu menyerang
dari arah selatan, yang pasukannya berjumlah lebih banyak dari pasukan utara.
Pasukan Singasari berhasil dipukul mundur, sehingga pasukan Jayakatwang
berhasil memasuki kawasan Istana dari arah selatan. Pada saat pasukan
Jayakatwang masuk istana, Kertanegara dan para pembesar istana sedang
mengadakan upacara keagamaan dari aliran Tantrayana. Perlawanan tetap
dilakukan oleh Kertanegara, meskipun akhirnya dia gugur dalam pertempuran
tersebut. Para pengikut Kertanegara juga tewas dan berakhir tragis. Kematian
tragis tersebut menjadikan akhir dari eksistensi Kerajaan Singasari di
Nusantara. Atas kematiannya, Raja Kertanegara kemudian dicandikan di
Singasari
7. Kerajaan Majapahit
Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Budha terakhir yang menguasai
Nusantara dan dianggap sebagai kerajaan terbesar dalam sejarah Indonesia.
Menurut Negarakertagama, kekuasaannya terbentang dari Jawa, Sumatra,
Semenanjung Malaya, Kalimantan, hingga Indonesia timur, sementara wilayah
kekuasaannya masih diperdebatkan. Tanggal pasti yang digunakan sebagai
tanggal lahir kerajaan Majapahit adalah hari penobatan Raden Wijaya sebagai
raja, yaitu tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 M tahun yang bertepatan dengan
tanggal 10 November 1293 M. Ia dinobatkan dengan nama resmi Kertarajasa
Jayawardhana. Raden Wijaya dinobatkan menjadi Raja Majapahit pertama pada
tahun 1293 dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana. Sebagai seorang raja
yang besar, Raden Wijaya memperistri empat putri Kertanegara sebagai
permaisurinya. Dari Tribuana, ia mempunyai seorang putra yang bernama
Jayanegara, sedangkan dari Gayatri, Raden Wijaya mempunyai dua orang putri,
yaitu Tribuanatunggadewi dan Rajadewi Maharajasa. Para pengikut Raden
Wijaya yang setia dan berjasa dalam mendirikan kerajaan Majapahit, diberi
kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan. Tetapi ada saja yang tidak puas
dengan kedudukan yang diperolehnya. Hal ini menimbulkan pemberontakan di
sana-sini. Pemberontakan pertama terjadi pada tahun 1295 yang dilakukan oleh
Rangga Lawe (Parangga Lawe) Bupati Tuban. Rangga Lawe memberontak
karena tidak puas terhadap kebijaksanaan Kertarajasa yang dirasa kurang adil.
Kedudukan Patih Majapahit seharusnya diberikan kepadanya. Namun, oleh
Kertarajasa kedudukan itu telah diberikan kepada Nambi (anak Wiraraja).
Pemberontakan Rangga Lawe dapat ditumpas dan ia tewas oleh Kebo
Anabrang. Lembu Sora, sahabat Rangga Lawe, karena tidak tahan melihat
kematiannya, kemudian membunuh Kebo Anabrang. Peristiwa itu dijadikan
alasan Mahapatih yang mempunyai ambisi politik besar di Majapahit menyusun
strategi agar raja bersedia menghukum tindakan Lembu Sora. Lembu Sora
membangkang perintah raja dan mengadakan pemberontakan pada tahun
1298–1300. Lembu Sora gugur bersama sahabatnya, Jurudemung dan Gajah
Biru. Susunan pemerintahan Raden Wiajaya tidak banyak berbeda dengan
pemerintahan Singasari. Raja dibantu oleh tiga orang mahamenteri (i hino, i
sirikan, dan i halu) dan dua orang pejabat lagi, yaitu rakryan rangga dan rakryan
tumenggung. Pada tahun 1309 Raden Wiajay wafat dan didharmakan di
Simping dengan Arca Syiwa dan di Antahpura (di Kota Majapahit) dengan arca
perwujudannya berbentuk Harihara (penjelmaan Wisnu dan Syiwa). Setelah
Raden Wijaya mangkat, digantikan putranya yang bernama Kala Gemet dengan
gelar Sri Jayanegara. Kala Gemet sudah diangkat sebagai raja muda
(kumararaja) sejak ayahnya masih memerintah (1296). Ternyata, Jayanagara
adalah raja yang lemah. Oleh karena itu, pada masa pemerintahannya terus
dirongrong oleh sejumlah pemberontakan. Pada tahun 1316 timbul
pemberontakan yang dipimpin oleh Nambi yang menjabat Rakryan Patih
Majapahit. Nambi memusatkan kekuatannya di daerah Lumajang dan
Pajarakan. Pemberontakan Nambi mendapat dukungan dari ayahnya (Wiraraja).
Raja Jayanegara atas nasihat Mahapati memerintahkan Lumajang dan
Pajarakan digempur sampai hancur. Terjadilah pertempuran sengit dan Nambi
pun gugur. Keadaan belum pulih, terjadi lagi pemberontakan Semi pada tahun
1318. Setahun kemudian (1319) terjadi pemberontakan Kuti. Semi dan Kuti
adalah dua orang dari tujuh dharmmaputra. Pemberontakan inilah yang paling
berbahaya karena Kuti berhasil menduduki ibu kota Kerajaan Majapahit.
Jayanegara terpaksa melarikan diri dan mengungsi ke Badander di bawah
perlindungan pasukan Bayangkara yang dipimpin oleh Gajah Mada. Setelah raja
dalam keadaan aman, Gajah Mada kembali ke Majapahit untuk melakukan
pendekatan kepada rakyat. Ternyata masih banyak rakyat yang memihak raja
dan Gajah Mada pun berhasil menanamkan rasa kebencian kepada Kuti.
Dengan strategi yang jitu, Gajah Mada mengadakan serangan secara tiba-tiba
ke pusat kerajaan. Pasukan Kuti dapat dihancurkan dan Kuti tewas dalam
pertempuran itu. Setelah keadaan benar-benar aman, Jayanegara pulang ke ibu
kota untuk meneruskan pemerintahannya. Karena jasanya yang besar, Gajah
Mada diangkat menjadi Patih Kahuripan. Dua tahun berikutnya, ia diangkat
menjadi Patih Daha menggantikan Arya Tilan (1321). Pada tahun 1328 terjadilah
musibah yang mengejutkan. Raja Jayanegara dibunuh oleh Tanca (seorang
tabib kerajaan). Tanca kemudian dibunuh oleh Gajah Mada. Peristiwa itu
disebut Patanca. Jayanegara didharmakan di Candi Srenggapura di
Kapopongan. Raja Jayanegara tidak berputra sehingga ketika baginda mangkat,
takhta kerajaan diduduki oleh adik perempuannya dari ibu berbeda (Gayatri)
yang bernama Bhre Kahuripan. Ia dinobatkan menjadi Raja Majapahit dengan
gelar Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwarddhani. Selama memerintah,
Tribhuwanatunggadewi didampingi suaminya yang bernama Cakradhara atau
Cakreswara yang menjadi raja di Singasari (Bhre Singasari) dengan gelar
Kertawardhana. Berkat bantuan dan saran dari Patih Gajah Mada,
pemerintahannya dapat berjalan lancar walaupun masih timbul pemberontakan.
Pada tahun 1331 timbul pemberontakan Sadeng dan Keta di daerah Besuki,
tetapi dapat dihancurkan oleh pasukan Gajah Mada. Karena jasanya itu, Gajah
Mada naik pangkat lagi dari Patih Daha menjadi Mahapatih Majapahit
menggantikan Pu Naga. Setelah diangkat menjadi Mahapatih Majapahit, dalam
suatu persidangan besar yang dihadiri oleh para menteri dan pejabat negara
lainnya, Gajah Mada mengucapkan sumpah untuk menyatukan Nusantara di
bawah naungan Majapahit. Sumpahnya itu dikenal dengan nama Sumpah
Palapa. Palapa berarti garam atau rempah-rempah yang dapat melezatkan
berbagai masakan. Oleh karena itu, sumpah itu dapat diartikan bahwa Gajah
Mada tidak akan makan palapa (hidup enak) sebelum berhasil menyatukan
Nusantara. Semula banyak pejabat negara yang menertawakannya, tetapi Gajah
Mada sudah bertekad baja, bersemangat membara, dan maju terus pantang
mundur. Gajah Mada mempersiapkan segala sesuatunya untuk mewujudkan
sumpahnya, seperti prajurit pilihan, persenjataan, dan armada laut yang kuat.
Setelah persiapannya matang, tentara Majapahit sedikit demi sedikit bergerak
menyerang untuk menaklukkan wilayah kerajaan lain. Pada tahun 1334 Bali
berhasil ditaklukkan oleh Gajah Mada yang dibantu oleh Laksamana Nala dan
Adityawarman. Adityawarman adalah seorang pejabat Majapahit keturunan
Melayu dan berkedudukan sebagai werdhamantri dengan gelar Arya Dewaraja
Pu Aditya. Setelah penaklukkan Bali, satu demi satu daerah di Sumatra,
Semenanjung Malaka, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian
(Papua) bagian barat berhasil ditundukkan dan mengakui kekuasaan Majapahit.
Tugas besar itu tercapai pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Agar
pengakuan kekuasaan Majapahit di Sumatra kekal, Adityawarman diangkat
menjadi raja di Melayu menggantikan Mauliwarmadewa (1343). Adityawarman
segera menata kembali struktur pemerintahan dan meluaskan daerah
kekuasaannya hingga Pagarruyung–Minangkabau. Setelah itu, Adityawarman
memindahkan pusat kerajaan dari Jambi ke Pagarruyung. Adityawarman
memerintah hingga tahun 1375. Pada tahun 1372 Tribhuwanatunggadewi
meninggal dan didharmakan di Panggih dengan nama Pantarapurwa. Hayam
Wuruk setelah naik takhta bergelar Sri Rajasanagara dan dikenal pula dengan
nama Bhre Hyang Wekasing Sukha. Ketika Tribhuwanatunggadewi masih
memerintah, Hayam Wuruk telah dinobatkan menjadi rajamuda (kumararaja)
dan mendapat daerah Jiwana sebagai wilayah kekuasaannya. Dalam
memerintah Majapahit, Hayam Wuruk didampingi oleh Gajah Mada sebagai
patih hamangkubu Hayam Wuruk adalah raja yang cakap dan didampingi oleh
patih yang gagah berani pula. Pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk
inilah Majapahit mencapai puncak kebesaran. Wilayah kekuasaannya hampir
seluas negara Indonesia sekarang. Bahkan, pengaruhnya terasa sampai ke luar
Nusantara, yaitu sampai ke Thailand (Campa), Indocina, dan Filipina Selatan.
Dengan kenyataan itu, berarti Sumpah Palapa Gajah Mada benar-benar
terwujud sehingga seluruh pembesar kerajaan selalu hormat kepadanya.
Kecuali sebagai seorang negarawan dan jenderal perang, Gajah Mada juga ahli
hukum. Ia berhasil menyusun kitab Kutaramanawa yang digunakan sebagai
dasar hukum di Majapahit. Pada saat pemerintahan Raja Hayam Wuruk, ada
satu daerah di Pulau Jawa yang belum tunduk kepada Majapahit, yaitu Kerajaan
Sunda di Jawa Barat. Kerajaan Sunda itu diperintah oleh Sri Baduga Maharaja.
Gajah Mada ingin menundukkan secara diplomatis dan kekeluargaan.
Kebetulan pada tahun 1357 Raja Hayam Wuruk bermaksud meminang putri Sri
Baduga yang bernama Dyah Pitaloka untuk dijadikan permaisuri. Lamaran itu
diterimanya. Dyah Pitaloka dengan diantarkan oleh Sri Baduga beserta
prajuritnya berangkat ke Majapahit. Akan tetapi, ketika sampai di Bubat, Gajah
Mada menghentikan rombongan pengantin. Gajah Mada menghendaki agar
putri Kerajaan Sunda itu dipersembahkan kepada Hayam Wuruk sebagai tanda
tunduk Raja Sunda kepada Majapahit. Tentu saja maksud Gajah Mada itu
ditentang oleh raja dan kaum bangsawan Sunda. Akibatnya, terjadilah
pertempuran sengit yang tidak seimbang. Sri Baduga beserta para pengikutnya
gugur, Dyah Pitaloka bunuh diri di tempat itu juga. Peristiwa itu terkenal dengan
nama Perang Bubat. Setelah Raja Hayam Wuruk mangkat, terjadilah perebutan
kekuasaan di antara putra-putri Hayam Wuruk. Kemelut politik pertama meletus
pada tahun 1401. Seorang raja daerah dari bagian timur, yaitu Bhre Wirabhumi
memberontak terhadap Raja Wikramawardhana. Raja Wikramawardhana
adalah suami Kusumawardhani yang berhak mewarisi takhta kerajaan ayahnya
(Hayam Wuruk), sedangkan Bhre Wirabhumi adalah putra Hayam Wuruk dari
selir. Dalam kitab Pararaton, pertikaian antarkeluarga itu disebut Perang
Paregreg. Pasukan Bhre Wirabhumi dapat dihancurkan dan ia terbunuh oleh
Raden Gajah. Wikramawardhana wafat pada tahun 1429 dan digantikan oleh
putrinya yang bernama Suhita. Penobatan Suhita menjadi Raja Majapahit
dimaksudkan untuk meredakan pertikaian keluarga tersebut. Namun, benih
balas dendam sudah telanjur tertanam pada keluarga Bhre Wirabhumi.
Akibatnya, pada tahun 1433 Raden Gajah dibunuh karena dipersalahkan telah
membunuh Bhre Wirabhumi. Hal itu menunjukkan bahwa pertikaian
antarkeluarga Majapahit terus berlangsung. Pada tahun 1447 Suhita meninggal
dan digantikan Dyah Kertawijaya. Ia hanya memerintah selama empat tahun
(1447–1451) karena pada tahun 1451 meninggal dan didharmakan di
Kertawijayapura. Apa yang diperbuat oleh raja tidak ada keterangan yang jelas.
Sepeninggal Kertawijaya, pemerintahan Majapahit dipegang oleh Bhre Pamotan
dengan gelar Sri Rajawarddhana. Rajawarddhana juga disebut Sang Sinagara.
Dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa ia berkedudukan di Keling, Kahuripan.
Ini lebih dikuatkan lagi oleh Prasasti Waringin Pitu yang dikeluarkan oleh
Kertawijaya (1447). Sepeninggal Rajawarddhana (1453), Kerajaan Majapahit
selama tiga tahun (1453–1456) tidak mempunyai seorang raja. Pada tahun 1456
Majapahit diperintah oleh Bhre Wengker dengan gelar Girindrawardhana. Bhre
Wengker adalah anak Bhre Tumapel Kertawijaya. Masa pemerintahannya
berlangsung selama 10 tahun (1456–1466). Berkembangnya agama Islam di
pesisir utara Jawa yang kemudian diikuti berdirinya Kerajaan Demak
mempercepat kemunduran Kerajaan Majapahit. Raja dan pejabat penting
Demak adalah keturunan Raja Majapahit yang sudah masuk Islam. Mereka
masih menyimpan dendam nenek moyangnya sehingga Majapahit berusaha
dihancurkan. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1518–1521. Penyerangan Demak
terhadap Majapahit itu dipimpin oleh Adipati Unus (cucu Bhre Kertabhumi)

Anda mungkin juga menyukai