Pembentukan
Pembentukan
Pembentukan
3. Tarumanegara
Tarumanegara dalam sejarah Indonesia dikenal sebagai salah satu kerajaan
yang didirikan oleh bangsa Sunda. Kerajaan ini juga digolongkan kedalam
kerajaan-kerajaan tertua yang pernah berdiri di Indonesia. Adanya pandangan
tersebut didasarkan pada penemuanpenemuan sumber sejarah baik prasasti
maupun naskah kuno. Berdirinya Kerajaan Tarumanagara masih dipertanyakan
oleh para ahli sejarah. Satu-satunya sumber sejarah yang secara lengkap
membahas mengenai Kerajaan Tarumanagara adalah Naskah Wangsakerta.
Naskah Wangsakerta tersebut masih menjadi perdebatan diantara para
sejarawan tentang keaslian isinya. Menurut Naskah Wangsakerta, pada abad
ke-4 Masehi, pulau dan beberapa wilayah Nusantara lainnya didatangi oleh
sejumlah pengungsi dari India yang mencari perlindungan akibat terjadinya
peperangan besar di sana. Para pengungsi itu umumnya berasal dari daerah
Kerajaan Palawa dan Calankayana di India, pihak yang kalah dalam
peperangan melawan Kerajaan Samudragupta (India). Salah satu dari
rombongan pengungsi Calankayana dipimpin oleh seorang Maharesi yang
bernama Jayasingawarman. Setelah mendapatkan persetujuan dari raja yang
berkuasa di barat Jawa (Dewawarman VIII, raja Salakanagara), maka
Jayasingawarman membuka tempat pemukiman baru di dekat sungai Citarum.
Pemukimannya oleh Jayasingawarman diberi nama Tarumadesya (desa
Taruma). Sepuluh tahun kemudian desa ini banyak didatangi oleh penduduk
dari desa lain, sehingga Tarumadesya menjadi besar. Akhirnya dari wilayah
setingkat desa berkembang menjadi setingkat kota (Nagara). Semakin hari, kota
ini semakin menunjukan perkembangan yang pesat, karena itulah
Jayasingawarman kemudian membentuk sebuah Kerajaan yang bernama
Tarumanagara. Raja Purnawarman adalah raja besar yang telah berhasil
meningkatkan kehidupan rakyatnya. Hal ini dibuktikan dari prasasti tugu yang
menyatakan bahwa Raja Purnawarmantelah memerintahkan untuk menggali
sebuah kali (Sejarah Daerah Jawa Barat, 1979:45). Penggalian sebuah kali ini
sangat besar artinya, karena pembuatan kali ini berarti pembuatan saluran
irigasi untuk memperlancar pengairan sawahsawah pertanian rakyat. Dengan
upaya itu, Raja Purnawarman dipandangsebagai raja besar yang
memperhatikan kehidupan rakyatnya. Penjelasan tentang Tarumanagara cukup
jelas di Naskah Wangsakerta. Pada Naskah Wangsakerta dari Cirebonitu,
Tarumanegara didirikan oleh Raja dirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358,
yang kemudian digantikan oleh putranya, Dharmayawarman (382-395).
Jayasingawarman dipusarakan di tepi kali Gomati, sedangkan putranya di tepi
kali Candrabaga. Maharaja Purnawarman adalah raja Tarumanagara yang
ketiga (395-434 M). Iamembangun ibukota kerajaan baru pada tahun 397 yang
terletak lebih dekat ke pantai. Dinamainya kota itu Sundapura–pertama kalinya
nama “Sunda” digunakan. Prasasti Pasir Muara yang menyebutkan peristiwa
pengembalian pemerintahan kepada Raja Sunda itu dibuat tahun 536 M. Dalam
tahun tersebut yang menjadi penguasa Tarumanagara adalah Suryawarman
(535-561 M) Raja Tarumanagara ke-7. Pemerintahan Candrawarman (515-535
M), ayah Suryawarman, banyak penguasa daerah yang menerima kembali
kekuasaan pemerintahan atas daerahnya sebagai hadiah atas kesetiaannya
terhadap Tarumanagara. Ditinjau dari segi ini, maka Suryawarman melakukan
hal yang sama.Baik sumber-sumber prasasti maupun sumber-sumber Cirebon
memberikan keterangan bahwa Purnawarman berhasil menundukkan musuh-
musuhnya. Prasasti Munjuldi Pandeglang menunjukkan bahwa wilayah
kekuasaannya mencakup pula pantai Selat Sunda. Kekuasaan Purnawarman
terdapat 48 raja daerah yang membentang dari Salakanagaraatau Rajatapura
(di daerah Teluk Lada Pandeglang) sampai ke Purwalingga (sekarang
Purbolinggo) di Jawa Tengah. Secara tradisional Cipamali (Kali Brebes)
memang dianggap batas kekuasaan raja-raja penguasa Jawa Barat pada masa
silam di Tarumanegara hanyalah raja Purnawarman. Raja Purnawarman adalah
raja besar yang telah berhasil meningkatkan kehidupan rakyatnya. Hal ini
dibuktikan dari prasasti tugu yang menyatakan raja Purnawarman telah
memerintah untuk menggali sebuah kali. Penggalian sebuah kali ini sangat
besar artinya, karena pembuatan kali ini merupakan pembuatan saluran irigasi
untuk memperlancar pengairan. Kehadiran Prasasti Purnawarman di Pasir
Muara, yang memberitakan Raja Sunda dalam tahun 536 M, merupakan gejala
bahwa Ibu kota Sundapura telah berubah status menjadi sebuah kerajaan
daerah. Hal ini berarti, pusat pemerintahan Tarumanagara telah bergeser ke
tempat lain. Contoh serupa dapat dilihat dari kedudukaan Rajatapura atau
Salakanagara (kota Perak. Kota ini sampai tahun 362 menjadi pusat
pemerintahan Raja-raja Dewawarman (dari Dewawarman I-VIII). Prasasti tugu
prasasti merupakan prasati yang terpanjang dan terpenting dari raja
Purnawarman. Ketika pusat pemerintahan beralih dari Rajatapura ke
Tarumangara, maka Salakanagara berubah status menjadi kerajaan daerah.
Jayasingawarman pendiri Tarumanagara adalah menantu Raja Dewawarman
VIII. Ia sendiri seorang Maharesi dari Salankayana di India yang mengungsi ke
Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta
dari Kerajaan Magada. Suryawarman tidak hanya melanjutkan kebijakan politik
ayahnya yang memberikan kepercayaan lebih banyak kepada raja daerah untuk
mengurus pemerintahan sendiri, melainkan juga mengalihkan perhatiannya ke
daerah bagian timur. Dalam tahun 526 M, misalnya, Manikmaya, menantu
Suryawarman, mendirikan kerajaan baru di Kendan, daerah Nagreg antara
Bandung dan Limbangan, Garut. Masa keruntuhan Kerajaan Tarumanegara
terjadi setelah kerajaan ini dipimpin oleh raja generasi ke-13 yang bernama Raja
Tarusbawa. Runtuhnya kerajaan Hindu pertama diPulau Jawa ini disebabkan
tidak adanya kepemimpinan karena Raja Tarusbawa lebih menginginkan
memimpin kerajaan kecilnya di hilir sungai Gomati. Selain itu, gempuran
beberapa kerajaan lain di nusantara pada masa itu terutama Kerajaan Majapahit
memegang andil penting dalam keruntuhan Kerajaan Tarumanegara pada masa
itu. Pada masa pemerintahan Sudawarman, Kerajaan Tarumanegara sudah
mulai terlihat mengalami kemunduran. Ada beberapa faktor yang menjadi
penyebab kemunduran atau keruntuhan Kerajaan Tarumanegara tersebut,
diantaranya adalah memberikan ekonomi pada raja-raja di bawah Kerajaan
Tarumanegara yang di berikan kepada raja sebelumnya. Sudawarman secara
emosional tidak menguasai persoalan di Kerajaan Tarumanegara, beliau dari
kecil tinggal di kanci, wilayah pallawa, sehingga hal tersebut menyebabkan
beliau tidak begitu perduli pada masalah yang menimpa di kerajaan tersebut.
Diatas merupakan penjelasan singkat dari Kerajaan Tarumanegara, mulai dari
silsilah, peninggalan, letak, agama, kehidupan politik, kehidupan sosial,
kehidupan ekonomi, kehidupan budaya hingga runtuhnya Kerajaan
Tarumanegara. Semoga penjelasan tersebut bermanfaat. Raja ke-12
Tarumanagara, Linggawarman, memiliki dua orang putri. Putri pertamanya
bernama Dewi Manasih yang kemudian menikah dengan Tarusbawa dan
Sobakencana yang kemudian menjadi isteri Dapunta Hyang Sri Jayanasa,
pendiri Kerajaan Sriwijaya. Tangku kepemimpinan Kerajaan Tarumanegara pun
jatuh pada suami Manasih yaitu Tarusbawa. Pada masa kepemerintahan
Tarusbawa, pusat kerajaan Tarumanagara ke kerajaanya sendiri yaitu Kerajaan
Sunda (Kerajaan bawahan Tarumanagara) dan kemudian mengganti Kerajaan
Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda.
4. Kerajaan Mataram Kuno
Pusat kerajaan Mataram Kuno terletak di Lembah sungai Progo, meliputi
daratan Magelang, Muntilan, Sleman, dan Yogyakarta. Kerajaan mataram kuno
dipimpin pertama kali oleh Raja Sanjaya yang terkenal sebagai seorang raja
yang besar, gagah berani dan bijaksana serta sangat toleran terhadap agama
lain. Ia adalah penganut Hindu Syiwa yang taat. Setelah Rakai Mataram Sang
Ratu Sanjaya meninggal dunia, beliau kemudian digantikan oleh putranya yang
bernama Sankhara yang bergelar Rakai Panangkaran Dyah Sonkhara Sri
Sanggramadhanjaya. Raja Panangkaran lebih progresif dan bijaksana daripada
Sanjaya sehingga Mataram Kuno lebih cepat berkembang. Daerah-daerah
sekitar Mataram Kuno segera ditaklukkan, seperti kerajaan Galuh di Jawa Barat
dan Kerajaan Melayu di Semenanjung Malaya. Ketika Rakai Panunggalan
berkuasa, kerajaan Mataram Kuno mulai mengadakan pembangunan beberapa
candi megah seperti candi Kalasan, candi Sewu, candi Sari, candi Pawon, candi
Mendut, dan Candi Borobudur. Kemudian setelah Rakai Panunggalan
meninggal, beliau digantikan oleh Rakai Warak. Pada zaman pemerintahan
Rakai Warak, ia lebih mengutamakan agama Buddha dan Hindu sehingga pada
saat itu banyak masyarakat yang mengenal agama tersebut. Setelah Rakai
Warak meninggal kemudian digantikan oleh Rakai Garung. Pada masa
pemerintahan Rakai garung pembangunan kompleks candi dilanjutkan di Jawa
Tengah bagian utara terutama di sekitar pegunungan Dieng. Hal itu dapat
dibuktikan dengan adanya kompleks bangunan candi Hindu di dataran tinggi
Dieng, seperti candi Semar, candi Srikandi, candi Punta dewa, candi Arjuna dan
candi Sembadra. Selain itu di bangun pula kompleks candi Gedong Sanga yang
terletak di sebelah kota Semarang sekarang. Setelah Rakai Garung meninggal
ia digantikan oleh Rakai Pikatan. Berkat kecakapan dan keuletan Rakai
Pikatan, semangat kebudayaan Hindu dapat dihidupkan kembali. Kekuasaannya
pun bertambah luas meliputi seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur serta ia pun
memulai pembangunan candi Hindu yang lebih besar dan indah yaitu candi
Prambanan (Candi Lara Jonggrang) di desa Prambanan. Setelah Raja Pikatan
wafat ia digantikan oleh Rakai Kayuwangi. Pada masa pemerintahan Rakai
Kayuwangi Kerajaan banyak menghadapi masalah dan berbagai persoalan
yang rumit sehingga timbullah benih perpecahan di antara keluarga kerajaan.
Selain itu zaman keemasan Mataram Kuno mulai memudar serta banyak terjadi
perang saudara. Saat Rakai Kayuwangi meninggal ia digantikan oleh Rakai
Watuhumalang. Rakai Watuhumalang berhasil melanjutkan pembangunan
Candi Prambanan. Kemudian setelah Rakai Watuhumalang meninggal ia
digatikan oleh Rakai Watukura Dyah Balitung. Pada masa pemerintahan Rakai
Dyah Balitung dikenal 3 jabatan penting, yaitu rakryan i hino (pejabat tinggi
sesudah raja), rarkyan i halu dan rarkyan i sirikan. Ketiganya merupakan
tritunggal. Dyah Balitung memerintah sampai tahun 910 M dan meninggalkan
banyak prasasti (20 buah). Ada prasasti yang menyebutkan bahwa Raja Balitung
pernah menyerang Bantan (Bali). Setelah Rakai Watukura Dyah Balitung wafat
ia digantikan oleh Daksa dengan gelar Sri Maharaja Sri Daksottama Bahubajra
Pratipaksaksaya. Sebelumnya ia menjabat sebagai rakryan. Ia memerintah dari
tahun 913-919 M. Pada masa pemerintahan Raja Daksa inilah pembangunan
Candi Prambanan berhasil diselesaikan. Bahwa perpindahan Kerajaan Mataram
dari Jawa Tengah ke Jawa Timur dilalukan sekitar perempat pertama abad X.
Timbul berbagai teori kemungkinan alasan perpindahan Istana Kerajaan
Mataram ke Jawa Timur. Menurut N.J. Krom perpindahan pusat kerajaan
tersebut terjadi pada kurun perempat awal abad X, dengan alasan yang tidak
begitu jelas. Sementara menurut B. Schrieke, yang menjadi penyebab kenapa
pusat pemerintahan pindah ke Jawa Timur adalah karena pembangunan Candi
Borobudur yang menghabiskan seluruh kejayaan kerajaan waktu itu yang
sedang jaya-jayanya. Pembangunan Candi Borobudur yang menyita banyak
tenaga dari rakyat Mataram dan meninggalkan pekerjaan seperti pertain,
berdagang dan aktivitas yang lainya sehingga terjadilah migrasi missal ke Jawa
Timur. Mataram di Jawa Timur Pusat pemerintahan dinasti ini terletak di
Watuguluh, antara gunung Sumeru dan gunung Wilis.Empu sindok beragama
Hindu syiwa. Jadi, kerajaan mpu Sindok termasuk kerajaan yang bercorak
Hindu. Namun, pada saat itu agama Budha Tantrayana juga berkembang baik.
Hal itu membuktikan adanya toleransi agama sejak dahulu. Pada zamannya
disusun sebuah kitab suci agama Budha Tantrayana yang berjudul Sang Hyang
Kamahayanikan. Dari sumber 23 prasasti Mpu Sindok dapat diketahui struktur
pemerintahan kerajaan Mataram setelah pusatnya dipindahkan ke Jawa Timur,
pada awalnya masih mengikuti struktur pemerintahan sebelumnya. Hal ini
disebabkan Mpu Sindok pernah menjadi pejabat tinggi pada masa pemerintahan
raja Rakai Layang Dyah Tulodhong dan raja Rakai Sumba Dyah Wawa.
Demikian juga dengan sejumlah pejabat pada masa pemerintahan raja Wawa
tetap dipakai sebagai pembantunya. Dalam perkembangannya kemudian
dilakukan perubahan, terutama pada pejabat yang menerima dan yang
melaksanakan perintah raja, Serta pejabatan yang masuk dalam dewan
penasehat raja. Sementara itu struktur perwilayahan juga mengalami
perubahan. Jika pada masa pemerintahan Raja Wawa, wilayah dibagi menjadi
wilayah pusat pemerintahan di mana raja dan para pejabat tinggi kerajaan
tuggal, dikenal dengan sebutan wanna i jro turns (wilayah di dalam
tembok/benteng/pagar). Wilayah ini dibatasi dengan wilayah wanna yang ada di
empat penjuru mata angin. Kemudian ada wilayah watak dengan para Rakai
(bangsawan keluarga raja) sebagai penguasanya. Wilayah warak ini tidak selalu
sama luasnya. Ada wilayah walak yang membawahi 4 wanna (desa), tetapi ada
juga yang membawahi lebih dari 12 wanna. Berdasarkan prasasti-prasasti yang
didapatkan kembali pada Mpu Sindok hingga Airlangga, dapat diketahui
bagaimana Keadaan sosial masyarakat pada waktu itu. Waktu Mpu Sindok
Memindahkan istananya di Jawa Timur. Hampir tidak berbeda
denganmasyarakat Jawa kuno pada masa Kerajaan Mataran kuno Jawa tengah,
pola kehidupan masyarakat tampaknya terbagi menjadi dua, masyarakat kota
dan masyarakat desa. Masyarakat Kota adalah mereka-mereka yang hidup di
istana atau di sekitar Istana raja. Sedangkan masyarakat desa adalah mereka-
mereka yang jauh dari istana. Mereka hidup di satu wilayah yang disebut
wanua, Yang di atur oleh pejabat wanua, yaitu Rama. Pendudukdesa (disebut
anak wanua pada masa Mpu Sindok,disebut anak thani Pada masa Airlangga)
hidup dari pola agraris yang ditunjang oleh macam-macam keahlian. Dalam
prasasti disebut namanama pekerjaan mereka seperti petani, pengrajin, dan
pedagang, atau sebagai apa saja yang menjadi mata pencahariannya.
5. Kerajaan Kediri
Kediri merupakan salah satu kerajaan Hindu yang terletak di tepi Sungai
Brantas, Jawa Timur. Kerajaan yang berdiri pada abad ke-12 ini merupakan
bagian dari Kerajaan Mataram Kuno. Keadaan politik pemerintahan dan
keadaan masyarakat di Kediri ini dicatat dalam berita dari Cina, yaitu dalam
kitab Ling-Wai-tai-ta yang ditulis oleh Chou K’u-fei pada tahun 1178 dan pada
kitab Chu-fan-chi yang disusun oleh Chaujukua pada tahun 1225. Kitab itu
melukiskan keadaan pemerintahan dan masyarakat zaman Kediri. Kitab itu
menggambarkan masa pemerintahan Kediri termasuk stabil dan pergantian
tahta berjalan lancar tanpa menimbulkan perang saudara. Raja pertama Kediri
bernama Samarawijaya yang menamakan dirinya sebagai titisan Wisnu. Selama
menjadi raja Kediri, Samarawijaya selalu berselisih paham dengan saudaranya,
Mapanji garasakan yang berkuasa di Jenggala. Keduanya merasa berhak atas
seluruh tahta Raja Airlangga, ayahanda mereka berdua (Kerajaan Medang
kamulan) yang meliputi hampir seluruh wilayah Jawa Timur dan sebagian jaw
Tengah. Akhirnya perselisihan tersebut menimbulkan perang saudara yang
berlangsung hingga tahun 1052. Peperangan tersebut dimenangkan oleh
Samarawijaya dan berhasil menaklukan Jenggala. Kerajaan Kediri mencapai
puncak kejayaan pada masa pemerintahan Jayabaya. Saat itu wilayah
kekuasaan Kediri meliputi seluruh bekas wilayah Kerajaan Medang Kamulan.
Selama menjadi raja Kediri, Jayabaya berhasil kembali menaklukan jenggala
yang sempat memberontak ingin memisahkan diri dari Kediri. Keberhasilan
tersebut diberitakan dalam prasasti hantang yang berangka tahun 1135.
Prasasti ini memuat tulisan yang berbunyi Panjalu Jayati yang artinya Panjalu
menang. Prasasti tersebut dikeluarkan sebagai piagam pengesahan anugrah
dari Jayabay untuk penduduk Desa Hantang yang setia pada Kediri selama
perang melawan Jenggala. Pada masa pemerintahannya kesusastraan
diperhatikan. Mpu Sedah dan Mpu Panuluh menggubah karya sastra kitab
Bharatayudha yang menggambarkan peperangan antara Pandawa dan Kurawa
yang untuk menggambarkan peperangan antara jenggala dengan Kediri.
Jayabaya juga terkenal sebagai Pujangga yang ahli meramal kejadian masa
depan, terutama yang akan menimpa tanah Jawa. Ramalannya terkenal dengan
istilah “Jangka Jayabaya”. Sebagai kemenangan atas jenggala, nama Jayabaya
diabadikan dalam kitab Bharatayuda. Kitab ini merupakan kitab yang digubah
oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh.Bharatayuda memuat kisah perang
perebutan takhta Hastinapura antara keluarga Phandawa dan Kurawa.Sejarah
partikaian anatar panjalu dan Jenggala mirip dengan kisah tersebut sehinggah
kitab Bharatayuda dianggap sebagai legimitasi (klaim) Jayabaya untuk
memperkuat kekuasaannya atas seluruh wilayah bekas Kerajaan Medang
Kamulan. Selain itu, untuk menunjukkan kebesaran dan kewibawaan sebagai
Raja Kediri, Jayabaya menyatan dirinya sebagai keturunan Airlangga dan titisan
Dewa Wisnu.Selanjutnya ia mengenakan lencana narasinga sebagai lambang
kerajaan kediri. Pada awal pemerintahan Jayabaya, kekacauan dikerajaan masih
berlangsung. Pada tahun 1135 M, jayabaya berhasil memadamkan kekacauan
tersebut. Sebagai bukti, adanya kata- kata Panjalu Jayati pada prasasti
Hantang. Setelah kerajaan stabil, jayabaya mulai menata dan mengembangkan
kerajaannya. Mata pencaharian paling penting adalah pertanian dengan hasil
uatama padi. Pelayaran dan perdagangan juga berkembang. Hal ini ditopang
oleh Angkatan Laut Kediri yang cukup tangguh. Di Kediri telah ada Senopati
Sarwajala (Panglima angkatan Laut). Barang perdagangan di Kediri antara lain
emas, perak, gading, kayu, cendana, dan pinang. Kesadaran rakyat mengenai
pajak juga cukup tinggi. Rakyat menyerahkan barang atau sebagian hasil
buminya kepada pemerintah. Kerajaan Kediri runtuh pada masa pemerintahaan
Raja Kertajaya, dimana terjadi pertentangan antara raja dengan Kaum
Brahmana. Raja Kertajaya dianggap melanggar agama dengan memaksakan
mereka menyembah kepadanya sebagai dewa. Kaum Brahmana meminta
pertolongan kepada Ken Arok, pemimpin daerah Tumapel yang ingin
memisahkan diri dari Kediri. Kemudian terjadilah perang antara rakyat Tumapel
yang dipimpin Ken Arok dengan Kerajaan Kediri. Akhirnya pada tahun 1222
Masehi, Ken Arok berhasil mengalahkan Kertajaya dan Kerajaan Kediri menjadi
wilayah bawahan Tumapel atau Singhasari. Sebagai pemimpin di Kerajaan
Singhasari, Ken Arok mengangkat Jayasabha (putra Kertajaya) sebagai bupati
Kediri. Jayasabha digantikan oleh putranya Sastrajaya pada tahun 1258.
Kemudian Sastrajaya digantikan putranya Jayakatwang (1271). Jayakatwang
berusaha ingin membangun kembali Kerajaan Kediri dengan memberontak
Kerajaan Singhasari yang dipimpin Kertanegara. Terbunuhlah Raja Kertanegara
dan Kediri berhasil dibangun oleh Jayakatwang.
6. Kerajaan Singasari
Pendiri Kerajaan Singasari ialah Ken Arok yang menjadi Raja Singasari dengan
gelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabumi. Munculnya Ken Arok sebagai raja
pertama Singasari menandai munculnya suatu dinasti baru, yakni Dinasti Rajasa
(Rajasawangsa) atau Girindra (Girindrawangsa). Ken Arok hanya memerintah
selama lima tahun (1222–1227). Pada tahun 1227 Ken Arok dibunuh oleh
seorang suruhan Anusapati (anak tiri Ken Arok). Ken Arok dimakamkan di
Kegenengan dalam bangunan Siwa– Buddha. Dengan meninggalnya Ken Arok
maka takhta Kerajaan Singasari jatuh ke tangan Anusapati. Dalam jangka waktu
pemerintahaannya yang lama, Anusapati tidak banyak melakukan
pembaharuan-pembaharuan karena larut dengan kesenangannya menyabung
ayam. Peristiwa kematian Ken Arok akhirnya terbongkar dan sampai juga ke
Tohjoyo (putra Ken Arok dengan Ken Umang). Tohjoyo mengetahui bahwa
Anusapati gemar menyabung ayam sehingga diundangnya Anusapati ke
Gedong Jiwa (tempat kediamanan Tohjoyo) untuk mengadakan pesta sabung
ayam. Pada saat Anusapati asyik menyaksikan aduan ayamnya, secara tiba-tiba
Tohjoyo menyabut keris buatan Empu Gandring yang dibawanya dan langsung
menusuk Anusapati. Dengan demikian, meninggallah Anusapati yang
didharmakan di Candi Kidal. Dengan meninggalnya Anusapati maka takhta
Kerajaan Singasari dipegang oleh Tohjoyo. Namun, Tohjoyo memerintah
Kerajaan Singasari tidak lama sebab anak Anusapati yang bernama
Ranggawuni berusaha membalas kematian ayahnya. Dengan bantuan Mahesa
Cempaka dan para pengikutnya, Ranggawuni berhasil menggulingkan Tohjoyo
dan kemudian menduduki singgasana. Pada tahun 1248 M Ranggawuni
dinobatkan menjadi raja dengan bergelar Sri Jayawisnuwardhana Sang Mapanji
Seminingrat Sri Sakala Kalana Kulama Dhumardana Kamaleksana (menurut
prasasti Maribong 1248). Dalam menjalankan pemerintahannya dia dibantu oleh
Mahisa Campaka. Hal ini merupakan penerapan dari adanya struktur birokrasi
pemerintahan yang mana para kerabat kerajaan memegang jabatan tinggi
pemerintahan baik dipusat maupun di daerah. Raja Wisnuwardhana
mengangkat Mahisa Campaka sebagai Ratu Angabhaya dengan gelar
Narasinghamurti. Pengadaan jabatan Ratu Angabhaya sengaja dilakukan oleh
raja Wisnuwardhana. Fungsi dari Ratu Angabhaya, adalah sebagai peniadaan
bahaya. Hal ini didasari dari adanya keinginan raja Wisnuwardhana untuk
mempersatukan kerajaan Kediri dan Tumapel. Dalam proses pemersatuan
kedua kerajaan yang terpisah ini, maka dilakukan beberapa upaya. Adapun
upaya yang dilakukan tidak hanya dibidang politik, namun juga di bidang religi
keagamaan. Pada bidang politik dengan mengadakan jabatan Ratu Angabhaya
beserta penguruspengurus pemerintahan kerajaan. Salah satu cara yang
ditempuh oleh kedua pemimpin yang diprakarsai oleh Ken Dedes yaitu
menyatukan kedua keturunan dari satu ibu yang berbeda ayah. Bisa dikatakan
dengan pernikahan politik, yakni dengan menikahkan dua cucu keturunannya.
Adapun cucu dari Ken Dedes adalah Ranggawuni (putra dari Anusapati) dan
Waning Hyun (putri dari Mahisa Wonga Teleng). Pada tahun 1254
Wisnuwardhana meresmikan Singasari sebagai ibukota kerajaan Tumapel, yang
sebelumnya nama ibukotanya adalah Kutaraja. Namun seiring berjalannya
waktu nama kerajaan Singasari lebih terkenal dibandingkan dengan nama
kerajaan Tumapel. Pada tahun yang sama Raja Wisnuwardhana menobatkan
puteranya Sri Kertanegara sebagai Yuwaraja. Kertanegara adalah Raja
Singasari terakhir dan terbesar karena mempunyai cita-cita untuk menyatukan
seluruh Nusantara. Ia naik takhta pada tahun 1268 dengan gelar Sri
Maharajadiraja Sri Kertanegara. Dalam pemerintahannya, ia dibantu oleh tiga
orang mahamentri, yaitu mahamentri i hino, mahamentri i halu, dan
mahamenteri i sirikan. Untuk dapat mewujudkan gagasan penyatuan Nusantara,
ia mengganti pejabat-pejabat yang kolot dengan yang baru, seperti Patih
Raganata digantikan oleh Patih Aragani. Banyak Wide dijadikan Bupati di
Sumenep (Madura) dengan gelar Aria Wiaraja. Setelah Jawa dapat diselesaikan,
kemudian perhatian ditujukan ke daerah lain. Kertanegara mengirimkan utusan
ke Melayu yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu 1275 yang berhasil
menguasai Kerajaan Melayu. Hal ini ditandai dengan mengirimkan patung
Amogapasa ke Dharmasraya atas perintah raja Kertanegara. Tujuannya untuk
menguasai Selat Malaka. Selain itu juga menaklukkan Pahang, Sunda, Bali,
Bakulapura (Kalimantan Barat) dan Gurun (Maluku). Kertanegara juga menjalin
hubungan persahabatan dengan raja Champa, dengan tujuan untuk menahan
perluasan kekuasaan Kublai Khan dari Dinasti Mongol. Kublai Khan menuntut
raja-raja di daerah selatan termasuk Indonesia mengakuinya sebagai yang
dipertuan. Kertanegara menolak dengan melukai utusannya yang bernama
Mengki. Tindakan Kertanegara ini membuat Kublai Khan marah besar dan
bermaksud menghukumnya dengan mengirikan pasukannya ke Jawa.
Mengetahui sebagian besar pasukan Singasari dikirim untuk menghadapi
serangan Mongol, maka Jayakatwang menggunakan kesempatan untuk
menyerangnya. Jayakatwang adalah keturunan Kertajaya - Raja terakhir
Kerajaan Kediri. Serangan dilancarakan oleh Jayakatwang dari dua arah, yakni
dari arah utara merupakan pasukan pancingan dan dari arah selatan merupakan
pasukan inti. Pasukan Kediri dari arah selatan dipimpin langsung oleh
Jayakatwang dan berhasil masuk istana dan menemukan Kertanagera berpesta
pora dengan para pembesar istana. Kertanagera beserta pembesar-pembesar
istana tewas dalam serangan tersebut. Raden Wijaya (menantu Kertanegara)
berhasil menyelamatkan diri dan menuju Madura dengan maksud minta
perlindungan dan bantuan kepada Aria Wiraraja (Buapati Sumenep). Atas
bantuan Aria Wiraraja, Raden Wijaya mendapat pengampunan dan mengabdi
kepada Jayakatwang serta diberikan sebidang tanah yang bernama Tanah Terik
yang nantinya menjadi asal usul Kerajaan Majapahit. Dengan gugurnya
Kertanegara pada tahun 1292, Kerajaan Singasari dikuasai oleh Jayakatwang.
Ini berarti berakhirlah kekuasan Kerajaan Singasari. Sesuai dengan agama yang
dianutnya, Kertanegara kemudian didharmakan sebagai Siwa-Buddha (Bairawa)
di Candi Singasari. Sedangkan arca perwujudannya dikenal dengan nama Joko
Dolog, yang sekarang berada di Taman Simpang, Surabaya. Masa
kegemilangan Kerajaan Singasari pada era kepemimpinan Kertanegara,
ternyata menjadi akhir eksistensi dari Singasari. Kehancuran Singasari berasal
dari pemberontakkan yang dilakukan oleh Jayakatwang. Pada awalnya,
Jayakatwang dianggap tidak akan menghianati kekuasaan Kertanegara, karena
sudah dilakukan pernikahan diantara putra-putri mereka. Raja Kertanegara telah
mengambil langkah untuk menjaga hubungan politik yang baik dengan
Jayakatwang, yaitu dengan jalan mengambil anaknya yang bernama Arddharaja
sebagai menantunya. Alasan dari pemberontakan yang dilancarkan oleh
Jayakatwang yaitu motif balas dendam, karena keturunan Singasari sudah
menghabisi Kertajaya sebagai nenek moyang dari Jayakatwang. Ketika
melaksanakan perlawanan kepada Kertanegara, Jayakatwang dibantu oleh
Kebo Mundarang dan Arya Wiraraja yang merupakan Adipati Sumenep.
Serangan Jayakatwang dilancarkan antara pertengahan bulan Mei dan
Pertengahan bulan Juni 1292 M. Serangan yang dipimpin oleh Jayakatwang
sendiri dibagi menjadi dua wilayah. Pertama dari utara kerajaan yang berfungsi
sekedar menyebarkan ketakutan dikalangan Singasari. Kedua yaitu menyerang
dari arah selatan, yang pasukannya berjumlah lebih banyak dari pasukan utara.
Pasukan Singasari berhasil dipukul mundur, sehingga pasukan Jayakatwang
berhasil memasuki kawasan Istana dari arah selatan. Pada saat pasukan
Jayakatwang masuk istana, Kertanegara dan para pembesar istana sedang
mengadakan upacara keagamaan dari aliran Tantrayana. Perlawanan tetap
dilakukan oleh Kertanegara, meskipun akhirnya dia gugur dalam pertempuran
tersebut. Para pengikut Kertanegara juga tewas dan berakhir tragis. Kematian
tragis tersebut menjadikan akhir dari eksistensi Kerajaan Singasari di
Nusantara. Atas kematiannya, Raja Kertanegara kemudian dicandikan di
Singasari
7. Kerajaan Majapahit
Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Budha terakhir yang menguasai
Nusantara dan dianggap sebagai kerajaan terbesar dalam sejarah Indonesia.
Menurut Negarakertagama, kekuasaannya terbentang dari Jawa, Sumatra,
Semenanjung Malaya, Kalimantan, hingga Indonesia timur, sementara wilayah
kekuasaannya masih diperdebatkan. Tanggal pasti yang digunakan sebagai
tanggal lahir kerajaan Majapahit adalah hari penobatan Raden Wijaya sebagai
raja, yaitu tanggal 15 bulan Kartika tahun 1215 M tahun yang bertepatan dengan
tanggal 10 November 1293 M. Ia dinobatkan dengan nama resmi Kertarajasa
Jayawardhana. Raden Wijaya dinobatkan menjadi Raja Majapahit pertama pada
tahun 1293 dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana. Sebagai seorang raja
yang besar, Raden Wijaya memperistri empat putri Kertanegara sebagai
permaisurinya. Dari Tribuana, ia mempunyai seorang putra yang bernama
Jayanegara, sedangkan dari Gayatri, Raden Wijaya mempunyai dua orang putri,
yaitu Tribuanatunggadewi dan Rajadewi Maharajasa. Para pengikut Raden
Wijaya yang setia dan berjasa dalam mendirikan kerajaan Majapahit, diberi
kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan. Tetapi ada saja yang tidak puas
dengan kedudukan yang diperolehnya. Hal ini menimbulkan pemberontakan di
sana-sini. Pemberontakan pertama terjadi pada tahun 1295 yang dilakukan oleh
Rangga Lawe (Parangga Lawe) Bupati Tuban. Rangga Lawe memberontak
karena tidak puas terhadap kebijaksanaan Kertarajasa yang dirasa kurang adil.
Kedudukan Patih Majapahit seharusnya diberikan kepadanya. Namun, oleh
Kertarajasa kedudukan itu telah diberikan kepada Nambi (anak Wiraraja).
Pemberontakan Rangga Lawe dapat ditumpas dan ia tewas oleh Kebo
Anabrang. Lembu Sora, sahabat Rangga Lawe, karena tidak tahan melihat
kematiannya, kemudian membunuh Kebo Anabrang. Peristiwa itu dijadikan
alasan Mahapatih yang mempunyai ambisi politik besar di Majapahit menyusun
strategi agar raja bersedia menghukum tindakan Lembu Sora. Lembu Sora
membangkang perintah raja dan mengadakan pemberontakan pada tahun
1298–1300. Lembu Sora gugur bersama sahabatnya, Jurudemung dan Gajah
Biru. Susunan pemerintahan Raden Wiajaya tidak banyak berbeda dengan
pemerintahan Singasari. Raja dibantu oleh tiga orang mahamenteri (i hino, i
sirikan, dan i halu) dan dua orang pejabat lagi, yaitu rakryan rangga dan rakryan
tumenggung. Pada tahun 1309 Raden Wiajay wafat dan didharmakan di
Simping dengan Arca Syiwa dan di Antahpura (di Kota Majapahit) dengan arca
perwujudannya berbentuk Harihara (penjelmaan Wisnu dan Syiwa). Setelah
Raden Wijaya mangkat, digantikan putranya yang bernama Kala Gemet dengan
gelar Sri Jayanegara. Kala Gemet sudah diangkat sebagai raja muda
(kumararaja) sejak ayahnya masih memerintah (1296). Ternyata, Jayanagara
adalah raja yang lemah. Oleh karena itu, pada masa pemerintahannya terus
dirongrong oleh sejumlah pemberontakan. Pada tahun 1316 timbul
pemberontakan yang dipimpin oleh Nambi yang menjabat Rakryan Patih
Majapahit. Nambi memusatkan kekuatannya di daerah Lumajang dan
Pajarakan. Pemberontakan Nambi mendapat dukungan dari ayahnya (Wiraraja).
Raja Jayanegara atas nasihat Mahapati memerintahkan Lumajang dan
Pajarakan digempur sampai hancur. Terjadilah pertempuran sengit dan Nambi
pun gugur. Keadaan belum pulih, terjadi lagi pemberontakan Semi pada tahun
1318. Setahun kemudian (1319) terjadi pemberontakan Kuti. Semi dan Kuti
adalah dua orang dari tujuh dharmmaputra. Pemberontakan inilah yang paling
berbahaya karena Kuti berhasil menduduki ibu kota Kerajaan Majapahit.
Jayanegara terpaksa melarikan diri dan mengungsi ke Badander di bawah
perlindungan pasukan Bayangkara yang dipimpin oleh Gajah Mada. Setelah raja
dalam keadaan aman, Gajah Mada kembali ke Majapahit untuk melakukan
pendekatan kepada rakyat. Ternyata masih banyak rakyat yang memihak raja
dan Gajah Mada pun berhasil menanamkan rasa kebencian kepada Kuti.
Dengan strategi yang jitu, Gajah Mada mengadakan serangan secara tiba-tiba
ke pusat kerajaan. Pasukan Kuti dapat dihancurkan dan Kuti tewas dalam
pertempuran itu. Setelah keadaan benar-benar aman, Jayanegara pulang ke ibu
kota untuk meneruskan pemerintahannya. Karena jasanya yang besar, Gajah
Mada diangkat menjadi Patih Kahuripan. Dua tahun berikutnya, ia diangkat
menjadi Patih Daha menggantikan Arya Tilan (1321). Pada tahun 1328 terjadilah
musibah yang mengejutkan. Raja Jayanegara dibunuh oleh Tanca (seorang
tabib kerajaan). Tanca kemudian dibunuh oleh Gajah Mada. Peristiwa itu
disebut Patanca. Jayanegara didharmakan di Candi Srenggapura di
Kapopongan. Raja Jayanegara tidak berputra sehingga ketika baginda mangkat,
takhta kerajaan diduduki oleh adik perempuannya dari ibu berbeda (Gayatri)
yang bernama Bhre Kahuripan. Ia dinobatkan menjadi Raja Majapahit dengan
gelar Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwarddhani. Selama memerintah,
Tribhuwanatunggadewi didampingi suaminya yang bernama Cakradhara atau
Cakreswara yang menjadi raja di Singasari (Bhre Singasari) dengan gelar
Kertawardhana. Berkat bantuan dan saran dari Patih Gajah Mada,
pemerintahannya dapat berjalan lancar walaupun masih timbul pemberontakan.
Pada tahun 1331 timbul pemberontakan Sadeng dan Keta di daerah Besuki,
tetapi dapat dihancurkan oleh pasukan Gajah Mada. Karena jasanya itu, Gajah
Mada naik pangkat lagi dari Patih Daha menjadi Mahapatih Majapahit
menggantikan Pu Naga. Setelah diangkat menjadi Mahapatih Majapahit, dalam
suatu persidangan besar yang dihadiri oleh para menteri dan pejabat negara
lainnya, Gajah Mada mengucapkan sumpah untuk menyatukan Nusantara di
bawah naungan Majapahit. Sumpahnya itu dikenal dengan nama Sumpah
Palapa. Palapa berarti garam atau rempah-rempah yang dapat melezatkan
berbagai masakan. Oleh karena itu, sumpah itu dapat diartikan bahwa Gajah
Mada tidak akan makan palapa (hidup enak) sebelum berhasil menyatukan
Nusantara. Semula banyak pejabat negara yang menertawakannya, tetapi Gajah
Mada sudah bertekad baja, bersemangat membara, dan maju terus pantang
mundur. Gajah Mada mempersiapkan segala sesuatunya untuk mewujudkan
sumpahnya, seperti prajurit pilihan, persenjataan, dan armada laut yang kuat.
Setelah persiapannya matang, tentara Majapahit sedikit demi sedikit bergerak
menyerang untuk menaklukkan wilayah kerajaan lain. Pada tahun 1334 Bali
berhasil ditaklukkan oleh Gajah Mada yang dibantu oleh Laksamana Nala dan
Adityawarman. Adityawarman adalah seorang pejabat Majapahit keturunan
Melayu dan berkedudukan sebagai werdhamantri dengan gelar Arya Dewaraja
Pu Aditya. Setelah penaklukkan Bali, satu demi satu daerah di Sumatra,
Semenanjung Malaka, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian
(Papua) bagian barat berhasil ditundukkan dan mengakui kekuasaan Majapahit.
Tugas besar itu tercapai pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Agar
pengakuan kekuasaan Majapahit di Sumatra kekal, Adityawarman diangkat
menjadi raja di Melayu menggantikan Mauliwarmadewa (1343). Adityawarman
segera menata kembali struktur pemerintahan dan meluaskan daerah
kekuasaannya hingga Pagarruyung–Minangkabau. Setelah itu, Adityawarman
memindahkan pusat kerajaan dari Jambi ke Pagarruyung. Adityawarman
memerintah hingga tahun 1375. Pada tahun 1372 Tribhuwanatunggadewi
meninggal dan didharmakan di Panggih dengan nama Pantarapurwa. Hayam
Wuruk setelah naik takhta bergelar Sri Rajasanagara dan dikenal pula dengan
nama Bhre Hyang Wekasing Sukha. Ketika Tribhuwanatunggadewi masih
memerintah, Hayam Wuruk telah dinobatkan menjadi rajamuda (kumararaja)
dan mendapat daerah Jiwana sebagai wilayah kekuasaannya. Dalam
memerintah Majapahit, Hayam Wuruk didampingi oleh Gajah Mada sebagai
patih hamangkubu Hayam Wuruk adalah raja yang cakap dan didampingi oleh
patih yang gagah berani pula. Pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk
inilah Majapahit mencapai puncak kebesaran. Wilayah kekuasaannya hampir
seluas negara Indonesia sekarang. Bahkan, pengaruhnya terasa sampai ke luar
Nusantara, yaitu sampai ke Thailand (Campa), Indocina, dan Filipina Selatan.
Dengan kenyataan itu, berarti Sumpah Palapa Gajah Mada benar-benar
terwujud sehingga seluruh pembesar kerajaan selalu hormat kepadanya.
Kecuali sebagai seorang negarawan dan jenderal perang, Gajah Mada juga ahli
hukum. Ia berhasil menyusun kitab Kutaramanawa yang digunakan sebagai
dasar hukum di Majapahit. Pada saat pemerintahan Raja Hayam Wuruk, ada
satu daerah di Pulau Jawa yang belum tunduk kepada Majapahit, yaitu Kerajaan
Sunda di Jawa Barat. Kerajaan Sunda itu diperintah oleh Sri Baduga Maharaja.
Gajah Mada ingin menundukkan secara diplomatis dan kekeluargaan.
Kebetulan pada tahun 1357 Raja Hayam Wuruk bermaksud meminang putri Sri
Baduga yang bernama Dyah Pitaloka untuk dijadikan permaisuri. Lamaran itu
diterimanya. Dyah Pitaloka dengan diantarkan oleh Sri Baduga beserta
prajuritnya berangkat ke Majapahit. Akan tetapi, ketika sampai di Bubat, Gajah
Mada menghentikan rombongan pengantin. Gajah Mada menghendaki agar
putri Kerajaan Sunda itu dipersembahkan kepada Hayam Wuruk sebagai tanda
tunduk Raja Sunda kepada Majapahit. Tentu saja maksud Gajah Mada itu
ditentang oleh raja dan kaum bangsawan Sunda. Akibatnya, terjadilah
pertempuran sengit yang tidak seimbang. Sri Baduga beserta para pengikutnya
gugur, Dyah Pitaloka bunuh diri di tempat itu juga. Peristiwa itu terkenal dengan
nama Perang Bubat. Setelah Raja Hayam Wuruk mangkat, terjadilah perebutan
kekuasaan di antara putra-putri Hayam Wuruk. Kemelut politik pertama meletus
pada tahun 1401. Seorang raja daerah dari bagian timur, yaitu Bhre Wirabhumi
memberontak terhadap Raja Wikramawardhana. Raja Wikramawardhana
adalah suami Kusumawardhani yang berhak mewarisi takhta kerajaan ayahnya
(Hayam Wuruk), sedangkan Bhre Wirabhumi adalah putra Hayam Wuruk dari
selir. Dalam kitab Pararaton, pertikaian antarkeluarga itu disebut Perang
Paregreg. Pasukan Bhre Wirabhumi dapat dihancurkan dan ia terbunuh oleh
Raden Gajah. Wikramawardhana wafat pada tahun 1429 dan digantikan oleh
putrinya yang bernama Suhita. Penobatan Suhita menjadi Raja Majapahit
dimaksudkan untuk meredakan pertikaian keluarga tersebut. Namun, benih
balas dendam sudah telanjur tertanam pada keluarga Bhre Wirabhumi.
Akibatnya, pada tahun 1433 Raden Gajah dibunuh karena dipersalahkan telah
membunuh Bhre Wirabhumi. Hal itu menunjukkan bahwa pertikaian
antarkeluarga Majapahit terus berlangsung. Pada tahun 1447 Suhita meninggal
dan digantikan Dyah Kertawijaya. Ia hanya memerintah selama empat tahun
(1447–1451) karena pada tahun 1451 meninggal dan didharmakan di
Kertawijayapura. Apa yang diperbuat oleh raja tidak ada keterangan yang jelas.
Sepeninggal Kertawijaya, pemerintahan Majapahit dipegang oleh Bhre Pamotan
dengan gelar Sri Rajawarddhana. Rajawarddhana juga disebut Sang Sinagara.
Dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa ia berkedudukan di Keling, Kahuripan.
Ini lebih dikuatkan lagi oleh Prasasti Waringin Pitu yang dikeluarkan oleh
Kertawijaya (1447). Sepeninggal Rajawarddhana (1453), Kerajaan Majapahit
selama tiga tahun (1453–1456) tidak mempunyai seorang raja. Pada tahun 1456
Majapahit diperintah oleh Bhre Wengker dengan gelar Girindrawardhana. Bhre
Wengker adalah anak Bhre Tumapel Kertawijaya. Masa pemerintahannya
berlangsung selama 10 tahun (1456–1466). Berkembangnya agama Islam di
pesisir utara Jawa yang kemudian diikuti berdirinya Kerajaan Demak
mempercepat kemunduran Kerajaan Majapahit. Raja dan pejabat penting
Demak adalah keturunan Raja Majapahit yang sudah masuk Islam. Mereka
masih menyimpan dendam nenek moyangnya sehingga Majapahit berusaha
dihancurkan. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1518–1521. Penyerangan Demak
terhadap Majapahit itu dipimpin oleh Adipati Unus (cucu Bhre Kertabhumi)