Makalah Kelompok 6 Ushul Fiqh

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

ISTIHSAN, MASLAHAH MURSALAH, DAN ‘URF

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Terstruktur

Mata Kuliah : Ushul Fiqh

Dosen Pengampu :

Disusun Oleh :

1. Fajar Septian (1908101131)


2. Angen Setia Pratama (1908101155)
3. Ghina Rahmah Maulida (1908101151)
4. Sri Amani (1908101142)
5. Irna Maudiana (1908101145)
6. Eha Meida Kartika (1908101132)

PAI D/I
PROGRAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
IAIN SYEKH NURJATI CIREBON
2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji sukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat atas limpahan
rahmat, anugrah, hidayah, dan maunahnya kepada kita semua sehingga kita dapat
menyelesaikan makalah tentang “Istihsan, Maslahah Mursalah, dan Urf”. Sholawat serta
salam semoga senantiasa terlimpah curahkan kepada jungjungan besar kita Nabi
Muhammad SAW yang telah menunjukan jalan yang lurus pada kita semua berupa ajaran
agama islam yang sempurna dan menjadi anugrah terbesar bagi seluruh alam semesta.
Penulis sangat bersukur karena telah menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Istihsan, Maslahah Mursalah, dan Urf”. Disamping itu kami mengucapkan banyak
terimakasih kepada semua pihak yang telah mendukung selama pembuatan makalah ini
berlangsung sehingga dapat terselesaikan dengan cukup baik. Penulis juga berharap
semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.
Dengan segala kerendahan hati, kritik dan saran sangat kami harapkan untuk
meningkatkan kualitas penulisan makalah ini dimmasa yang akan datang. Kami mohon
maaf yang sebesar besarnya jika terdapat kata kata yang kurang berkenan.

Cirebon, September 2019

Kelompok 6
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pertumbuhan ushul fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum islam sejak
zaman Rasulullah SAW sampai pada masa tersusunnya ushul fiqh sebagai salah satu
bidang ilmu pada abad ke-2 Hijriah. Di zaman Rasulullah SAW sumber hukum islam
hanya dua, yaitu Al-Quran dan Sunnah. Apabila muncul suatu kasus , Rasulullah SAW
menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum kasus tersebut. Apabila wahyu
tidak turun, maka beliau menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya yang
kemudian dikenal dengan hadist atau sunnah.
Dalam menetapkan hukum dari berbagai kasus di zaman Rasulullah SAW yang
tidak ada ketentuannya dalam Al-Quran, para ulama ushul fiqh menyimpulkan bahwa ada
isyarat bahwa Rasullullah SAW menetapkannya melalui ijtihad. Hasil ijtihad Rasulullah
SAW ini secara otomatis menjadi sunnah bagi sumber hukum dan dalil bagi umat islam.
Meskipun dalam penjelasan tersebut tidak sepenuhnya tepat, namun setidaknya
dapat dipahami. Agar kekeliruan yang sama tidak terjadi lagi, dibawah ini menjelaskan
secara terperinci mengenai Istihsan, Maslahah Mursalah, dan Urf. Oleh karena itu
sebaiknya dijelaskan terlebih dahulu masing masing dari pengertiannya.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa penngertian dari Istihsan, Maslahah Mursalah, ‘Urf?
2. Bagaimana pembagian Istihsan, Maslahah Mursalah, ‘Urf?
3. Bagaimana kedudukan Istihsan, Maslahah Mursalah, ‘Urf dalam penetapan hukum?
BAB II

PEMBAHASAN

1. ISTIHSAN
1.1 PENGERTIAN ISTIHSAN
Menurut Al Sarakshi, secara etimologi istihsan berarti berusaha mendapatkan
yang terbaik untuk diikuti bagi sesuatu masalah yang diperhitungkan untuk dilaksakan.
Sementara itu, menurut Muhammad Al-Said Ali Abdur Rabuh, Istihsan dalam pengertian
bahasa berarti memperhitungkan bahwa sesuatu itu adalah baik. Adapun istihsan menurut
istilah, sebagaimana disebutkan oleh Abu Al-Hasan Al-Karkhi, seorang ulama ushul fiqh
dari mazhab Hanafi, sebagai berikut: Istihsan ialah berpindahnya seseorang mujtahid dari
hal penetapan hukum pada suatu masalah yang secara substansial serupa dengan apa yang
telah ditetapkan karena terdapatnya alasan yang lebih kuat yang menghendaki
perpindahan tersebut.
Kemudian Al Sarakshi menyebutkan bahwa istihsan ialah meninggalkan qiyas
dan menggunakan yang lebih kuat daripadanya, karena adanya dalil yang menghendaki
dan lebh sesuai untuk merealisasi kemaslahatan manusia. Senada pula dengan Al-
Sarakshi diatas, Abdul Wahab Khalaf menyebutkan pula bahwa yang dimaksud dengan
istihsan ialah berpindahnya seseorang mujtahid dari ketentuan qiyas yang jelas kepada
ketentuan qiyas yang samar (tersembunyi), atau dari ketentuan yang kulliy (umum)
kepada ketentuan hukum yang sifatnya khusus, karena menurut pandangan mujtahid itu
adalah dalil (alasan) yang lebih kuat yang menghendaki perpindahan dimaksud.
Sementara itu, menurut imam Al-Bazdawi, sebagaimana dikutip oleh Abdul
Karim Zaidan, Bahwa yang dimaksud dengan istihsan ialah berpindah dari seharusnya
menggunakan sesuatu qiyas kepada ketentuan qiyas yang lain yang lebih kuat atau
pengkhususan tertentu qiyas dengan dalil yang lebih kuat.

1.2 PEMBAGIAN ISTIHSAN

Eksistensi istihsan sebagai dalil hukum dikalangan ulama mazhab dibagi dalam
beberapa macam.
a. Menurut Mazhab Hanafi
Dalam mazhab hanafi, seperti tercermin dalam penjelasan Muhammad al-said ali
abdur rabuh, istihsan dibagi pada lima macam, yaitu:
1. Istihsan dengan Nash
Yang dimaksud dengan istihsan jenis ini ialah penyimpangan suatu ketentuan
hukum berdasarkan ketentuan qiyas kepadaa ketentuan hukum yang berlawanan dengan
yang ditetapkan berdasarkan nash al-kitab dan sunnah.
Istihsan jenis ini, sering ditemui dalam beberapa masalah yang bersumber dari
nash yang sudah pasti berlawanan dengan ketentuan hukum yang umum atau kaidah yang
sudah berlaku. Contohnya ialah tentang jual beli salam. Dalam jual beli salam untuk
kegiatannya adalah barang atau benda yang dijual belikannya yaitu sebenarnya belum
ada, tetapi harganya sudah ditetapkan dan dibayar lebih dahulu sesuai dengan perjanjian
antara pihak pembeli dan penjual. Abdul karim zaidan menjelaskan, bahwa istihsan
dengan nash ini ialah adanya nash khusus dari syari’ terhadap sesuatu masalah yang
menghendaki penetapan hukumnya tersendiri berlawanan dengan hukum yang sudah
pasti dan jelas.
2. Istihsan dengan Ijma’
Yang dimaksud dengan istihsan jenis ini ialah meninggalkan keharusan
menggunakan qiyas pada suatu persoalan karena ijma’. Hal ini terjadi karena adanya
fatwa mujtahid atas suatu peristiwa yang berlawanan dengan pokok atau kaidah umum
yang telah ditetapkan. Sebagai contohnya ialah pesanan seseorang kepada orang lain
untuk dibuatkan suatu barang. Transaksi seperti ini sebetulnya tidak boleh dilakukan
berdasarkan syarat syarat tertentu, karena barang pesanan itu belum ada wujudnya. Akan
tetapi, berdasarkan istihsan, transaksi seperti ini dibolehkan meskipun berlawanan dengan
ketentuan qiyas, karena hal seperti ini dalam praktik masyarakat telah berjalan tanpa ada
penolakan dari para mujtahid.
3. Istihsan Darurat dan Hajat
Yang dimaksud dengan istihsan jenis ini ialah seorang mujtahid meninggalkan
keharusan pemberlakuan qiyas atas suatu masalah karena berhadapan dengan kondisi
darurat, dan mujtahid berpegang kepada ketentuan yang mengharuskan memenuhi hajat
atau menolak terjadinya kemudaratan. Sebagai contoh, air sumur atau air kolam yang
terkena najis. Berdasarkan kaidah umum bahwa sumur atau kolam yang terkena najis itu
tidak boleh digunakan. Akan tetapi, karena kondisi darurat yang menghendakinya dan air
itu sangat dibutuhkan, maka dalam kondisi ini dibolehkan, meskipun berlawanan dengan
kaidah umum atau adanya dalil yang melarangnya.
4. Istihsan dengan Urf dan Adab
Yang dimaksud dengan istihsan jenis ini ialah penyimpangan atau pengalihan
penetapan hukum yang berlainan dengan ketentuan qiyas, karena adanya urf yang sudah
biasa praktikkan dan sudah dikenal dalam kehidupan masyarakat. Istihsan jenis ini sangat
banyak digunakan dalam berbagai kehidupan masyarakat yang menyalahi ketentuan
qiyas atau kaidah hukum yang berbeda. Sebagai contoh ialah menyewa wanita untuk
menyusukan bayi dengan menjamin kebutuhan makan, minum, dan pakaiannya. Menutut
Imam Abu Hanifah, menyewa atau mengupah wanita untuk menyusukan bayi dengan
upah yang sudah diketahui adalah boleh berdasarkan kesepakatan dan membolehkan
pemenuhan kebutuhan makan, minum, dan pakaian tersebut, merupakan istihsan menurut
pandangan Abu Hanifah.
5. Istihsan dengan Qiyas Khafi
Yang dimaksud istihsan jenis ini ialah memainkan suatu masalah dari ketentuan
hukum qiyas yang jelas kepada ketentuan hukum qiyas yang samar-samar dan tidak jelas,
tetapi keberadaannya lebih kuat dan lebih tepat diamalkan. Sebagai contoh ialah tentang
aurat wanita. Sesungguhnya aurat wanita itu mulai dari ujung kepala sampai kedua ujung
kakinya, kemudian dibolehkan bagian tubuhnya sekedar dibutuhkan; seperti melihat
kebaikannya. Hal seperti ini terdapat perlawanan antara dua qiyas: yang pertama,
ditetapkan berdasarkan kaidah yang jelas tentang keadaan wanita melihatnya bisa
menimbulkan fitnah; dan yang kedua, adanya suatu keadaan yang menimbulkan
masyaqah (keadaan yang mendesak) dalam beberapa keadaan seperti pengobatan ketika
tidak ada wanita yang khusus untuk itu, maka digunakanlah alasan yang membawa
kepada kemudharatan pada bagian ini. Berdasarkan pandangan dalam madzhab hanafi,
bahwa kasus yang disebut terakhir ini menunjukkan justru lebih penting meskipun
keadaannya samar-samar dan berlawanan dengan qiyas jahir tetapi alasannya lebih kuat
dan lebih besar pengaruhnya karena kebutuhan yang tidak bisa dielakkan.
b. Menurut madzhab maliki
sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Wahhab Khalaf bahwa ulama dari kalangan
madzhab maliki membagi istihsan menjadi tiga macam.
1. Istihsan yang disandarkan kepada al-urf
Contoh istihsan jenis ini ialah seseorang yang bersumpah tidak akan makan
daging, kalau ia makan daging ikan maka tidaklah dianggap melanggar sumpah,
walaupun di dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa ikan sama dengan daging.
2. Istihsan yang disandarkan kepada maslahat
Yang dimaksud dengan istihsan jenis ini adalah mengenyampingkan
pemberlakuan ketentuan hukum qiyas karena pertimbangan maslahat yang lebih penting.
Sebagai contoh, jika seseorang menyewa suatu barang kemudia barang tersebut rusak,
bukan kesalahan penyewa, maka menurut ketetuan penyewa tidak menanggung resiko
atas kerusakan tersebut.
3. Istihsan yang disandarkan pada keadaan untuk menghilangkan kesulitan
Yang dimaksud dengan istihsan ini adalah didasarkan pada meninggalkan
kesulitan yang dihadapi. Umumnya istihsan ini berkisar pada masalah muamalah dan
ibadah, sebagai upaya menghilangkan kesulitan.

Menurut penjelasan Muhammad Abu Zahrah, kalangan mazhab hanafi membagi istihsan
menjadi tiga macam:

a. Istihsan sunnah, yakni menetapkan hukum dengan dengan sunnah yang seharusnya
kembali kepada qiyas.
b. Istihsan ijma’, yakni meninggalkan qiyas pada suatu masalah karena adanya ketenuan
ijma’
c. Istihsan darurat, yakni terdapat hal yang bersifat darurat pada suatu masalah yang
mendorong mujtahid untuk meninggalkan qiyas.
1.3 KEDUDUKAN ISTIHSAN DALAM PENETAPAN HUKUM
Ada tiga sikap dan pandangan ulama dalam menggunakan istihsan sebagai
sumber hukum Islam. Ada yang menolak istihsan sebagai sumber hukum Islam sama
sekali. Mereka adalah kelompok ulama yang menafikan qiyas seperti Daud Azh Zhohiry,
Mu’tazilah dan sebagian Syi’ah. Ada yang menjadikan istihsan sebagai sumber hukum
Islam. Mereka adalah kelompok ulama Hanafiah, khususnya tokoh sentralnya Abu
Hanifah. Dan yang lain adalah kelompok yang kadang menggunakan istihsan dan kadang
menolaknya seperti Imam Syafi’i.
Secara umum ada dua pendapat ulama dalam hal ini:
1. Ada yang menganggapnya sebagai sumber hukum. Diantara ulama yang beranggapan
sebagai sumber hukum adalah Imam Hanafi dan Imam Malik sekalipun ia tidak
terlalu membedakan antara istihsan dengan Maslahah Mursalah, sehingga beliau
menyatakan bahwa istihsan telah merambah sampai 9/10 ilmu fiqh.
2. Menganggap bukan sebagai sumber hukum. Diantara ulama yang menolaknya
sebagai sumber hukum adalah Imam Syafi’i. Dalam bukunya ”Ar Risalah” beliau
menyatakan bahwa haram bagi seseorang untuk mengatakan sesuatu atas dasar
Istihsan. Karena Istihsan hanyalah talazzuz. Beliau juga berkata ”Barang siapa yang
beristihsan sungguh ia telah membuat syariat”. Menurut beliau tidak boleh seorang
hakim atau mufti menghukumi atau berfatwa kecuali dengan dalil yang kuat (khobar
lazim) yang bersumber dari kitabullah, sunnah, ucapan ulama yang tidak
diperdebatkan (ijma’) atau qiyas. Tidak boleh menetapkan hukum/ fatwa dengan
Istihsan. Bahkan ada dikalangan Asy Syafi’iyah secara ekstrim mengkafirkan dan
membid’ahkan. Adapun alasan mereka yang menolak istihsan sebagai sumber
hukum.
2. MASLAHAH MURSALAH

2.1 PENGERTIAN MASHLAHAH MURSALAH

Adalah memberikan hukum syara kepada suatu kasus yang tidak terdapat dalam
nash atau ijma atas dasar memelihara kemaslahatan.

1. Al-Maslahah yang terdapat kesaksian syara’ dalam mengakui keberadaannya (ma


syahid asy-syar’ lii’tibariha)

Al-Maslahah dalam bentuk pertama ini menjelma menjadi landasan dalam al-
qiyas (analogi) karena ia sama dengan al-munasib (‘illah yang merupakan al-maslahah)
dalam pembahasan qiyas. Maslahah ini biasa disebut dengan istilah al-maslahah al-
mu’tabarah. Semua ulama sepakat menyatakan, al maslahah ini merupakan hujjah
(landasan hukum). Sebagai contoh, mengqiyaskan keharaman perahan kurma yang
memabukkan yang tidak terdapat nash nya, kepada keharaman perahan anggur yang
memabukkan serta terdapat nash nya didalam al-qur’an maupun sunnah.

2. al maslahah yang terdapat kesaksian syara’ yang membatalkannnya/menolaknya (ma


syahid asy-syar’li buthlaniha)

Al maslahah kedua ini adalah bathil, dalam arti tidak dapat dijadikan hujjah
karena bertentangan dengan nash. Bentuk maslahah yang kedua ini biasa disebut dengan
al-maslahah al-mulgha. Sebagai contoh: Dahulu pernah seorang ulama mengeluarkan
fatwa, bahwa terhadap seorang raja yang kaya yang melakukan hubungan suami istri
pada siang bulan ramadhan dikenakann kifarat puasa 2 bulan berturut-turut, tanpa boleh
memilih antara memerdekakan hamba, atau puasa 2 bulan berturut-turut, atau memberi
makan 60 orang miskin. Dasar pemikirannya ialah, kifarat disyariatkan untuk
menimbulkan efek jera bagi yang melakukan pelanggaran dalam ibadah. Jika kepada raja
yang kaya tersebut dikenakan kifarat memerdekakan hamba atau memberi makan orang
miskin, maka efek jera tersebut tidak terwujud. Karena dengan kekayaannya ia dengan
mudah akan membayar kifarat tersebut setiap kali melakukan pelanggaran untuk
memenuhi dorongan hawa nafsunya. Tetapi jika dikenakan kifarat puasa, maka
kemungkinan besar ia akan sangat kewalahan melaksanakannya sehingga ia tidak akan
mengulangi pelanggaran tersebut.

3. Al-maslahah yang tidak terdapat kesaksian syara’, baik yang mengakuinya maupun
yang menolaknya dalam bentuk nash tertentu (ma lam yasyhad asy-syarla libuthlaniha wa
la li’tibariha nash mu’ayyan)

Al-mashlahah bentuk ketiga ini kemudian dibagi lagi menjadi 2 macam:

a) Al-mashlahah al-gharibah
Yaitu mashlahah yang sama sekali tidak terdapat kesaksian syara’ terhadapnya,
baik yang mengakui maupun yang menolaknya dalam bentuk macam ataupun
jenis tindakan syara’ (nau’aw jins tasharufat assy-syar’i). dalam kenyataannya,
mashlahah bentuk ini hanya ada dalam teori, tetapi tidak ditemukan contohnya
dalam kehidupan sehari-hari.
b) Al-mashlahah al-mula’imah
Yaitu maslahah yang meskipun tidak terdapat nash tertentu yang mengakuinya,
tetapi sesuai dengan tujuan syara’ dalam lingkup yang umum (al-ushul al-
khamsah). Tujuan syara’ ini dipahami dari makna umum yang terkandung
didalam al-qur’an, hadist, dan al-ijma’. Mashlahah inilah yang biasa disebut
dengan istilah al-mashlahah al-mursalah.

2.2 PEMBAGIAN MASHLAHAH MURSALAH


a. Maslahat dari Segi Tingkatannya
Adalah berkaitan dengan kepentingan yang menjadi hajat hidup manusia. Menurut
Mustasfa Said Al-Khind dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :
1. Maslahat Daruriat
Kemaslahatan yang menjadi dasar tegaknya kehidupan asasi menusia yang
berkaitan dengan agama maupun dunia. Jika ia luput dalam kehidupan manusia, maka
mengakibatkan rusaknya tatanan kehidupan manusia tersebut. Zakariya Al-Biri
menyebutkan, bahwa maslahat ini merupakan dasar asasi untuk terjaminnya
kelangsungan hidup manusia. Jika ia rusak, maka akan muncul fitnah dan bencana yang
besar. Dan beliau menjelaskan pula bahwa yang termasuk dalam lingkup maslahat
daruriat ini ada lima macam, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan pemeliharaan agama,
jiwa, akal, keturunan, dan harta. Seperti jalaludin Abdurrahman, Muhammadal said ali
abdul rabuh, Muhammad abu zahrah, dan Mustafa said al-kind berpendapat sama dengan
Zakariya al-biri bahwa kelima aspek tadi yang telah disebutkan merupakan maslahat yang
paling asasi yang harus dipelihara dan dilindungi, karena jika terganggu maka akan
mengakibatkan rusaknya sendi-sendi kehidupan.
2. Maslahat Hajiyat
Merupakan persoalan-persoalan yang dibutuhkan oleh manusia untuk
menghilangkan kesulitan dan kesusahan yang dihadapi. Dari segi kepentingannya,
maslahat ini lebih rendah tingkatannya dari maslahat daruriat. Diantara ketentuan hukum
yang disyariatkan untuk meringankan kepentingan manusia ialah semua keringanan yang
diajarkan Islam, seperti boleh berbuka puasa bagi musafir, dan untuk orang-orang yang
sedang sakit, dan mengqashar shalat ketika dalam perjalanan. Contoh ini merupakan
kemaslahatan yang dibutuhkan oleh manusia. Jika tidak dapat diwujudkan dalam
kehidupan, tidaklah akan mengakibatkan kegoncangan dan kerusakan, tetapihanya akan
menimbulkan kesulitan.
3. Maslahat Tahsiniyah
Maslahat ini sering disebut maslahat takmiliyah. Yang dimaksud dengan maslahat
ini ialah sifatnya untuk memelihara kebagusan dan kebaikan. Budi pekerti serta
keindahan saja. Jika kemaslahatan ini tidak dapat diwujudkan dalam kehidupan tidaklah
menimbulkan kesulitan dan kegoncangan serta rusaknya tatanan manusia. Dengan kata
lain, kemaslahatan ini lebih mengacu kepada keindahan saja. Kemaslahatan seperti ini
juga dibutuhkan oleh manusia. Seperti disebutkan oleh Muhammad Al-Said Ali Abdur
Rabi, bahwa dalam urusan ibadah Allah telah mensyariatkan berbagai bentuk kesucian,
menutup aurat, dan berpakaian yang indah, dan begitu pula dalam hadist nabi diajarkan
untuk memakai harum-haruman yang pada dasarnya menjadi kesenangan manusia. Dan
termasuk pula, misalnya yang berkenaan dengan adab dan tata cara makan, minum, serta
kebersihan diri.
b. Maslahat dari Segi Esksistensinya
sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Karim Zaidan, membaginya kepada tiga macam.
1. Maslahat Mu’tabarah
Kemaslahatan yang terdapat nash secara tegas. Seperti memelihara jiwa, agama
keturunan, dan harta benda. Olehkarena itu, Allah SWT telah menetapkan agar berusaha
dengan jihad untuk melindungi agama, melakukan qisas bagi pembunuh, menghukum
pelaku zina maupun pencurian, dan sebagainya.
2. Maslahat Mulghah
Maslahat yang berlawanan dengan ketentuan nash, karena ada ketentuan dalil
yang menunjukan bahwa ia bertentangan dengan ketentuan dalil yang jelas. Contohnya
menyamakan pembagian harta waris antara seorang perempuan dan saudara laki-laki.
Penyamaan ini memang terlihat ada lemaslahatannya, tetapi berlawanan dengan
ketentuan dalil nash yang telah jelas dan terperinci.
3. Maslahat Mursalah
Maslahat yang ssecara eksplisit tidak ada dalil satu pun baik yang mengakuinya
maupun yang menolaknya, tetapi keberadaannya sesuai dengan tujuan syari’at.

2.3 KEDUDUKAN MASLAHAT MURSALAH


Berikut ini beberapa perbedaan pendapat antara kalangan madzhab ushul yang menerima
dan menolak serta agumentasi mereka masing-masing.
a. Kelompok pertama mengatakan bahwa mashlahat mursalah merupakan salah satu
sumber hukum dan sekaligus hujjah syar’iyah. Pendapat ini dianut oleh mahzab
maliki dan Imam Ibnu Hambal. Menurut penjelasan Abdul Karim Zaidan, Imam
Malik dan pengikutnya serta Imam Ahmad menjadikan mashlahat mursalah
sebagai dalil hukum dan hujjahdalam penetapan hukum.
b. Kelompok kedua berpendapat bahwa maslahat mursalah tidak dapat diterima
sebagai hujjah dalam menetapkan hukum yang termasuk dalam kelompok yang
mengingkari hal ini dalam Mahzab Hanafi, Mahzab Syafi’I, dan Mahzab
Zahiriyah. Menurutnya semua kemaslahatan sudah dijelaskan oleh nash baik yang
diterima maupun yang ditolak. Jika berusaha mencari kemaslahatan selain
ketentuan nash maka hal yang demikian mengada-ada.
3. Al ‘Urf

2.1 Pengertian Al ‘Urf

Secara bahasa berarti sesuatu yang dikenal dan diketahui secara luas (adat
kebiasaan). Adapun secara istilah ‘urf adalah apa yang dijadikan sandaran oleh
manusia dan mereka berpijak pada ketentuan ‘urf tersebut. Baik yang berhubungan
dengan perbuatan maupun ucapan mereka.

2.2 Pembagian Al ‘Urf


Berdasarkan sifatnya, al-urf dibedakan menjadi dua macam yaitu :
a. al-urf al-amaly
yaitu al-urf yang didasarkan kepada praktik atau perbuatan yang berlaku dalam
masyarakat secara terus menerus. Misalnya berbagai transaksi yang dilakukan oleh
masyarakat dengan cara tertentu.
b. al-urf al-qauly (al-urf al-lafzy)
yaitu kebiasaan masyarakat dalam menggunakan ungkapan tertentu. Misalnya seorang
membeli ikan untuk lauk pauk tidak mengucapkan “daging ikan” (tidak memakai kata
daging), tapi kebiasaan masyarakat langsung mengatakan “ikan”. itu dibolehkan.
Berdasarkan wujudnya, dibedakan menjadi dua macam yaitu :
a. Disebut dengan al-urf al-sahih yang baik, yang telah diterima oleh masyarakat
secara luas, dibenarkan oleh pertimbangan akal sehat membawa kebaikan dan
kemaslahatan, menolak kerusakan, dan tidak menyalahi ketentuan nash Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Sebagai contoh adat tradisi di masyarakat bahwa dalam masa pertunangan
calon mempelai laki-laki memberi hadiah kepada pihak wanita, yang hadiah ini bukan
merupakan bagiandari maskawin.
b. Al-Urf Al-Fasid
yaitu adat istiadat yang tidak baik, yang bertentangan dengan nash Al-Qur’an dan As-
Sunnah serta kaidah-kaidah agama, bertentangan dengan akal sehat dan tidak diterima
oleh akal sehat, mendatangkan mudarat dan menghilangkan kemaslahatan.
3. Kehujjahan al-‘urf
Melihat keadaan al-‘urf, maka pada umumnya ulama ushul sepakat bahwa ‘urf
yang shahih dapat dijadikan hujjah dan sarana dalam menetapkan hukum syara’.
Terdapat sejumlah alasan atau dalil yang mendukung keberadaan al-‘urf sebagai
hujjah.
Firman Allah SWT yang termaktub dalam surah Al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi:
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu (istri) dengan cara
yang makruf.” (QS Al-Baqarah 2:233).
Dalam ayat ini ada kata al-ma’ruf yang secara layak dan patut. Kepatutan dan
kelayakan memberikan makan, pakaian,dan termasuk perumahan adalah bergantung
dengan kondisi dan adat atau ‘urf disuatu tempat. Ulama berpendapat bahwa al-urf
dapat dijadikan sumber dan dasar dalam penetapan hukum.
Hadits Nabi yang menunjukkan adanya pengakuan terhadap al-urf, yang berbunyi:
“… apa yang dipandang baik oleh umat islam, maka disisi Allah adalah baik” (HR.
Ahmad).
Inti hadits ini menunjukann bahwa sesuatu yang berjalan atas dasar ‘urf atau
kebiasaan umat islam dan mereka memandangnya sebagai suatu kebaikan, maka
disisi Allah adalah suatu kebaikan.
Atas dasar ini, maka dalam memahami al-urf ini diperlukan kecermatan secara
seksama sehingga mampu memahami mana al-urf yang sahih dan mana al-urf yang
fasid. Yang menjadi pegangan adalah al-urf yang sahih saja. Oleh karena itu,
dikalangan ulama ushul terdapat sejumlah kaidah yang menjadi pegangan dalam
mengamalkan ‘urf tersebut;
“Adat itu bisa dijadikan dasar penetapan hukum”
“Hukum dapat berubah karena berubahnya adat”
“Penetapan hukum yang didasarkan pada al-urf adalah sama seperti menetapkannya
dengan nash” oleh akal sehat, mendatangkan mudlarat dan menghilangkan maslahat.

Anda mungkin juga menyukai