Advance Pricing Agreement Dan Problematika Transfer Pricing
Advance Pricing Agreement Dan Problematika Transfer Pricing
Advance Pricing Agreement Dan Problematika Transfer Pricing
Iman Santoso
Staf Pengajar Fakultas Ilmu Administrasi – Universitas Indonesia
Senior Tax Manager & Tax Attorney – Ernst & Young Indonesia
Email: [email protected]
123
Jurusan Ekonomi Akuntansi, Fakultas Ekonomi - Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/~puslit/journals/
124 JURNAL AKUNTANSI & KEUANGAN VOL. 6, NO. 2, NOPEMBER 2004: 123-139
telah menjadi berlipat ganda. Saat ini pergerakan modal dan dana dari satu
negara ke negara lain menjadi lebih besar dari sebelumnya. Lahirnya General
Agreement on Trade and Tariff (GATT) dan World Trade Organisation (WTO)
telah mengurangi kendala-kendala dalam pergerakan barang, jasa dan modal
antar negara. Perusahaan-perusahaan tidak lagi membatasi operasinya hanya di
negara sendiri, akan tetapi merambah ke manca negara dan menjadi perusahaan
multinasional dan transnasional. Mereka beroperasi melalui anak usaha dan
cabang-cabangnya di hampir semua negara berkembang dan pasar-pasar yang
sedang tumbuh.
Dalam lingkungan perusahaan multinasional, terjadi berbagai transaksi
antaranggota yang meliputi penjualan barang dan jasa, lisensi hak dan harta tak
berwujud lainnya, penyediaan pinjaman dan sebagainya. Penentuan harga atas
berbagai transaksi antar anggota korporasi tersebut dikenal dengan sebut Dalam
lingkungan perusahaan multinasional, terjadi berbagai transaksi antar anggota
yang meliputi penjualan barang dan jasa, lisensi hak dan harta tak berwujud
lainnya, penyediaan pinjaman dan sebagainya. Penentuan harga atas berbagai
transaksi antar anggota dikenal dengan sebutan transfer pricing (harga transfer).
Di Indonesia, transaksi antaranggota perusahaan multinasional tidak luput dari
rekayasa transfer pricing, terutama oleh wajib pajak penanaman modal asing
(PMA) dan cabang perusahaan asing di Indonesia yang termasuk dalam kategori
bentuk usaha tetap (BUT). Sebagian besar perusahaan tersebut bergerak di
bidang manufaktur dan mempunyai kaitan internal yang cukup substansial
dengan induk perusahaan atau afiliasinya di negara manca. Perusahaan di
Indonesia terutama dimanfaatkan sebagai manufaktur barang madya
(intermediate goods) atau bahan mentah (raw materials) mereka. Produk hasil
pabrik Indonesia tersebut dipasarkan ke pasar lokal atau diekspor ke negara
ketiga (Gunadi 1999:188-189)
Dari segi manajemen, investasi asing langsung (foreign direct investment),
apakah ia berstatus sebagai perusahaan PMA yang didirikan berdasarkan hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia maupun cabang dari perusahaan yang
didirikan dan berkedudukan di luar negeri Indonesia dengan status BUT di
Indonesia, tidak sedikit yang melakukan praktek-praktek transfer pricing. Hal ini
sejalan dengan yang dikatakan oleh Gunadi, salah seorang direktur pada
Direktorat Jenderal Pajak, Departemen Keuangan Republik Indonesia bahwa:
“fenomena yang agak memprihatinkan ialah mereka begitu tega membuat
Indonesia sebagai loss centre untuk perusahaan multinasionalnya. Operasi di
Indonesia selama bertahun-tahun direkayasa untuk selalu rugi sehingga tidak
pernah membayar pajak penghasilan badannya”. Rekayasa tersebut dilakukan
dengan bermacam cara dan tujuan, tergantung pada kebijakan manajemen
perusahaan itu. Perusahaan dapat direkayasa untuk terus-menerus dalam
keadaan merugi, akan tetapi tetap terjadi pembayaran royalti atau imbalan jasa
teknis dan jasa lainnya dari perusahaan Indonesia kepada perusahaan lain di
manca negara yang sebenarnya masih berada dalam satu grup perusahaan
dengan yang ada di Indonesia. Struktur permodalan perusahaan lebih banyak
dibiayai dengan pinjaman dibanding modal sendiri (thin capitalization),
pembayaran dividen dalam jumlah besar apabila perusahaan memperoleh laba,
memanfaatkan celah ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
dalam kepemilikan atau penguasaan yang sama) dapat dipecah menjadi beberapa
pusat responsibilitas (responsibility center). Pusat ini dapat berupa divisi,
departemen atau suatu entitas legal dalam jaringan entitas ekonomi. Pusat
tersebut merupakan suatu lokasi aktivitas yang manajernya mendapat delegasi
otoritas pengendalian, dan oleh karenanya mempunyai tanggung jawab atas
aktivitas tersebut selama masa tertentu (Gunadi 1994:12). Selanjutnya, Horngren
& Foster dalam Gunadi (1994:9) memberikan pengertian tentang empat pusat
responsibilitas, yaitu: (1) Pusat biaya (cost center). Suatu pusat responsibilitas
yang manajernya mempunyai pengaruh (dan oleh karenanya bertanggung jawab)
atas biaya, yang dapat ditimbulkan oleh suatu center atau investasi yang
mendatangkan penghasilan (2) Pusat penghasilan (revenue center). Suatu pusat
responsibilitas yang manajernya bertanggung jawab atas pengendalian peng-
hasilan yang diproduksi oleh centernya (3) Pusat laba (profit center).
Suatu pusat responsibilitas yang manajernya bertanggung jawab untuk
mengendalikan biaya maupun penghasilan (4) Pusat investasi (investment center).
Suatu pusat responsibilitas yang manajernya mempunyai pengaruh atas biaya,
penghasilan dan perencanaan serta pengendalian investasi.
Berdasarkan deskripsi diatas, menurut Gunadi, cost center dan revenue
center hanya bertanggung jawab atas satu hal (biaya atau penghasilan) saja,
manajer profit center bertanggung jawab atas keduanya, sedangkan manajer
investment center selain bertanggung jawab atas laba juga bertanggung jawab
atas investasi (Gunadi 1994:13)
Dengan dikenalnya entitas dengan beberapa pusat responsibilitas dalam
suatu korporasi multinasional, istilah transfer pricing sering disebut juga dengan
istilah “intracompany pricing”, “intercorporate pricing”, “interdivisional pricing”
atau “internal pricing”.
Menurut Gunadi, dengan mempertimbangkan atribut entitas, kita dapat
menarik benang merah antara ‘intracompany’ dengan ‘intercompany’ transfer,
yang pertama merujuk pada transfer antar divisi pada satu entitas, sedangkan
yang lain mengacu pada transfer antar entitas dalam satu keluarga besar
perusahaan (Gunadi 1994). Transfer antardivisi pada satu entitas tersebut
maksudnya adalah transfer antardivisi dalam satu perusahaan yang terbagi ke
dalam beberapa divisi, sedangkan transfer antarentitas dalam satu keluarga
besar perusahaan maksudnya adalah transfer yang dilakukan antara perusahaan
satu dengan perusahaan lainnya yang masih berada dalam satu grup perusahaan.
Korporasi multinasional dengan perusahaan-perusahaan yang berada dalam satu
entitas ekonomi adalah perusahaan-perusahaan yang berada di bawah
kepemilikan atau penguasaan yang sama dan, kurang lebih, dikendalikan oleh
perusahaan induk di kantor pusat. Perusahaan induk ini pula yang berwenang
menentukan transfer pricing yang berlaku dalam perdagangan internasional
antarmereka (anak perusahaan/subsidiaries). Dalam hal ini transfer pricing
merupakan piranti pengukur hak dan kewajiban yang sangat penting diantara
subsidiaries. Sehingga, secara artifisial, transfer pricing dapat menyimpang dari
harga yang ‘normal’ atau ‘benar’ (Gunadi 1994:14)
Di lain pihak, secara pejoratif istilah transfer pricing sering dikaitkan dengan
suatu rekayasa manipulasi harga secara sistematis dengan maksud mengurangi
laba artifisial, mengupayakan agar perusahaan ‘rugi’, serta menghindari pajak
atau bea disuatu negara (Gunadi: 1994). Hal serupa juga dikatakan oleh Shapiro,
dalam Gunadi, bahwa selain motivasi bisnis, transfer pricing multinasional juga
dimaksudkan untuk mengendalikan mekanisme arus sumber daya antar anggota
group dan maksimalisasi laba setelah pajak (Gunadi 1994:15).
Organizaton for Economic Co-operation and Development (OECD) mendefi-
nisikan transfer pricing sebagai harga yang ditentukan dalam transaksi antar
anggota group dalam sebuah perusahaan multinasional (seperti transaksi
penjualan barang, jasa, pembayaran izin penggunaan hak paten, pinjaman, dan
sebagainya) dimana harga transfer yang ditentukan tersebut dapat menyimpang
dari harga pasar wajar sepanjang cocok bagi groupnya. Mereka dapat menyim-
pang dari harga pasar wajar dikarenakan posisi mereka yang berada dalam
keadaan bebas untuk mengadopsi prinsip apapun yang tepat bagi korporasinya.
“In a multinational enterprise (MNE) many transactions normally take place
between members of the group. The prices charged for such transfers do not
necessarily represent a result of the free play of market forces, but may, for a
number of reasons and because the MNE is in a position to adopt whatever
principle is convenient to it as a group” (OECD 1979:7).
Berdasarkan laporan OECD, faktor pajak dapat menjadi pemicu dilakukan-
nya transfer pricing terutama jika tujuan mereka lebih terfokus pada jumlah total
laba setelah pajak daripada bentuk dari mana mereka mendapatkan laba tersebut
(apakah berbentuk royalti, biaya, imbalan jasa, keuntungan penjualan antardivisi
atau dividen dari afiliasinya, dll). “Tax factors may effect the nature and the
amount of the payments since it is likely that MNEs will be more concerned with
the total of their net earnings after tax than with the forms which these earnings
take – whether for example they are received as royalties, cost charges, service fees,
profits from intra-group sales or dividends from their affiliates, etc” (OECD 1979)
hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh
lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara
dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir; atau (b) Wajib Pajak menguasai
Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah
penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau (c) terdapat
hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus
dan atau ke samping satu derajat.
Kewajaran (Arm’s Length Principle)
Syarat kedua dari harga transfer adalah kewajaran. Prinsip kewajaran
berarti mengacu kepada sesuatu yang dianggap wajar. Masalah yang timbul
adalah acuan yang digunakan apakah dapat dikatakan sebanding atau
comparable. Dalam artikel 9:1 dari OECD model tax convention disebutkan juga
bahwa (OECD: 2000): “… and in either case conditions are made or imposed
between the two enterprises in their commercial or financial relations which differ
from those which would be made between independent enterprises, then any profits
which would, but for those conditions, have accrued to one of the enterprises, but, by
reason of those conditions, have not so accrued may be included in the profits of
that enterprise and taxed accordingly”
Menyangkut masalah kewajaran, PSAK No.17, menyebutkan, bahwa penga-
kuan akuntansi suatu pengalihan sumber daya secara normal didasarkan pada
suatu harga yang disepakati pihak yang bersangkutan. Harga yang berlaku
antara pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa adalah harga pertu-
karan antara pihak yang independen (arm's length price). Pihak yang mempunyai
hubungan istimewa mungkin mempunyai suatu tingkat keluwesan dalam proses
penentuan harga, yang tidak terdapat dalam transaksi antara pihak yang tidak
mempunyai hubungan istimewa. Sedangkan menurut UU PPh menyebutkan
hal-hal sebagai berikut: “Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan
kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai
modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak
yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan
kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan
istimewa”.
Menurut arm’s length principle, harga-harga transfer seharusnya ditetapkan
supaya dapat mencerminkan harga yang disepakati sebagaimana transaksi
tersebut dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak terkait yang bertindak secara
bebas. Dapat dijelaskan bahwa apabila terjadi transaksi antara perusahaan yang
memiliki hubungan istimewa maka kondisi dari transaksi tersebut haruslah sama
dengan transaksi antara pihak yang independen, sehingga ketidaksesuaian, dapat
menyebabkan dilakukannya koreksi oleh pihak otoritas fiskal.
penanganannya. Isu ini baru mengemuka dan diatur secara eksplisit dengan
diterbitkannya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak (DJP) Nomor: SE-
04/PJ.7/1993 tanggal 3 September 1993 tentang Petunjuk Penanganan Kasus
Transfer Pricing dan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.01/PJ.7/1993
tanggal 9 Maret 1993 tentang Pedoman Pemeriksaan Pajak Terhadap Wajib
Pajak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa. Perhatian lebih terhadap masalah
transfer pricing ini, membuat pemerintah memasukkan klausul masalah penting
ini dalam Paket Perubahan Undang-Undang Pajak Tahun 2000. Pasal 18 ayat
(3a) UU PPh menyebutkan bahwa: “DJP berwenang melakukan perjanjian
dengan wajib pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain
untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai
hubungan istimewa, yang berlaku selama suatu periode tertentu dan mengawasi
pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut
berakhir”.
Memori penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa: “kesepakatan harga
transfer (Advance Pricing Agreement/APA) adalah kesepakatan antara wajib
pajak dengan DJP mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada
pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) dengannya.
Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalah-
gunaan transfer pricing oleh perusahaan multi nasional. Persetujuan antara wajib
pajak dengan DJP tersebut dapat mencakup beberapa hal antara lain harga jual
produk yang dihasilkan, jumlah royalty, dan lain-lain, tergantung pada
kesepakatan. Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian hukum dan
kemudahan penghitungan pajak, fiskus tidak perlu melakukan koreksi atas harga
jual dan keuntungan produk yang dijual wajib pajak kepada perusahaan dalam
grup yang sama. APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan
antara DJP dengan wajib pajak atau bilateral, yaitu kesepakatan antara DJP
dengan otoritas perpajakan Negara lain yang menyangkut wajib pajak yang
berada di wilyah yurisdiksinya”. Berdasarkan hal tersebut, pengaturan lebih jauh
mengenai bagaimana wajib pajak mencapai kesepakatan harga transfer dengan
DJP melalui APA menjadi hal yang penting mempertimbangkan resiko koreksi
fiskal yang dapat dilakukan oleh pihak otoritas pajak berkenaan dengan indikasi
ketidakwajaran harga yang diberlakukan kepada pihak-pihak yang mempunyai
hubungan istimewa.
Sangat disayangkan bahwa sampai dengan sekarang belum dikeluarkan
aturan yang jelas mengenai tindak lanjut APA, namun berdasarkan petunjuk
teknis yang telah ada (SE-04/PJ.7/1993 tanggal 3 September 1993), berikut disam-
paikan beberapa hal terkait dengan isu transfer pricing dan penanganannya.
tersebut di atas dapat terjadi pada: (1) harga penjualan; (2) harga pembelian; (3)
alokasi biaya administrasi dan umum (overhead cost); (4) pembebanan bunga atas
pemberian pinjaman oleh pemegang saham (Shareholder loan); (5) pembayaran
komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa manajemen, imbalan
atas jasa teknik dan imbalan atas jasa lainnya; (6) pembelian harta perusahaan
oleh pemegang saham (pemilik) atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa
yang lebih rendah dari harga pasar; (7) penjualan kepada pihak luar negeri
melalui pihak ketiga yang kurang/tidak mempunyai substansi usaha (misalnya
dummy company, letter box company atau reinvoicing center).
Dengan perkembangan dunia usaha yang demikian cepat, yang sering kali
bersifat transnasional dan diperkenalkannya produk dan metode usaha baru yang
semula belum dikenal dalam bidang usaha (misalnya dalam bidang keuangan dan
perbankan), maka bentuk dan variasi transfer pricing dapat menjadi tidak
terbatas. Namun demikian dengan pengaturan lebih lanjut ketentuan tentang
transaksi antar wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa diharap dapat
meminimalkan atau mengurangi praktek penghindaran/penyelundupan pajak
dengan rekayasa transfer pricing tersebut.
Perlu ditegaskan pula bahwa transfer pricing dapat terjadi antar wajib pajak
dalam negeri (WPDN) atau antara WPDN dengan pihak Luar Negeri, terutama
yang berkedudukan di tax haven countries (Negara yang tidak memungut/
memungut pajak lebih rendah dari Indonesia). Terhadap transaksi antar wajib
pajak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut, undang-undang perpajakan
kita menganut azas materiil (substance over form rule).
barang yang sejenis atau serupa, yang terjadi antar pihak-pihak yang tidak ada
hubungan istimewa. Dalam hal terdapat kesulitan untuk mendapatkan harga
pasar sebanding untuk barang yang sejenis atau serupa, karena barang tersebut
mempunyai spesifikasi khusus, misalnya semi finished products, maka
pendekatan harga pokok plus (cost plus method) dapat digunakan untuk
menentukan kewajaran harga penjualan PT A. Misalnya diketahui bahwa PT A
memperoleh bahan baku dan bahan pembantu produksinya dari para pemasok
yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Harga pokok barang yang diproduksi
per unit adalah RP 150,- dan laba kotor yang pada umumnya diperoleh dari
penjualan barang yang sama antar pihak yang tidak mempunyai hubungan
istimewa (comparable mark up) adalah 40% dari harga pokok. Dengan menerap-
kan metode harga pokok plus maka harga jual yang wajar atas barang tersebut
dari PT A kepada PT B untuk tujuan penghitungan penghasilan kena pajak/dasar
pengenaan pajak adalah Rp 210 {Rp 150+(40% X Rp 150)}.
Kasus 3: PT B menjual kembali barang dibeli dari PT A pada contoh 2 di
atas ke pihak yang tidak ada hubungan istimewa dengan harga Rp 250, - per unit.
Laba kotor sebanding untuk penjualan barang tersebut adalah 20% dari harga
jualnya. Perlakuan perpajakannya adalah: dalam menguji kewajaran harga
penjualan dari PT A ke PT B, selain pendekatan harga pokok plus, dapat pula
diterapkan pendekatan harga jual minus (sales minus/resale price method).
Dengan menerapkan metode tersebut maka harga penjualan barang PT A ke PT
B yang wajar untuk perhitungan pajak penghasilan/dasar pengenaan pajak
adalah Rp 200- [Rp 250,--(20% X Rp 250,-)]. Apabila ternyata terdapat kesulitan
dalam memperoleh harga pasar sebanding dan juga sulit menerapkan metode
harga jual minus maupun harga pokok plus maka dapat digunakan metode
lainnya, misalnya dengan pendekatan tingkat laba perusahaan sebanding
(comparable profits) atau tingkat hasil investasi (return on investment) dari usaha
yang sama, serupa atau sejenis. Misalkan diketahui bahwa persentase laba kotor
jenis usaha yang sama dengan usaha PT A dari data dunia bisnis adalah 30%.
Selanjutnya ternyata bahwa laba kotor yang dilaporkan PT A adalah 15%.
Karena terdapat deviasi tingkat laba PT A dari tingkat laba rata-rata tersebut di
atas, maka dapat diduga bahwa ada penggeseran laba melalui penjualan dengan
harga yang kurang wajar dari PT A ke PT B. Kalau misal nya PT B merupakan
pembeli tunggal (monopsoni) barang yang dijual PT A tersebut, laba kotor PT A
atas barang tersebut untuk tujuan penghitungan pajak terutang harus dihitung
kembali menjadi sebesar 30%.
Kasus 4: H Ltd. Hongkong memiliki 25% saham PT B. PT B mengimpor
barang produksi H Ltd dengan harga Rp 3.000,- per unit. Produk tersebut dijual
kembali kepada PT Y (tidak ada hubungan istimewa) dengan harga Rp 3. 500 per
unit. Perlakuan perpajakannya adalah: pada contoh tersebut di atas, pertama-
tama dicari harga pasar sebanding untuk barang yang sama, sejenis atau serupa
atas pembelian/impor dari pihak yang tidak ada hubungan istimewa atau antar
pihak-pihak yang tidak ada hubungan istimewa (sama halnya dengan kasus
harga penjualan). Apabila ditemui kesulitan, maka pendekatan harga jual minus
dapat diterapkan, yaitu dengan mengurangkan laba kotor (mark up) yang wajar
ditambah biaya lainnya yang dikeluarkan wajib pajak dari harga jual barang
kepada pihak yang tidak ada hubungan istimewa. Apabila laba yang wajar
diperoleh adalah Rp. 750, maka harga yang wajar untuk perpajakan atas pembeli-
an barang dari H Ltd di Hongkong adalah Rp 2.750 (Rp 3.500 - Rp 750). Harga ini
merupakan dasar perhitungan harga pokok PT B dan selisih Rp. 250 antara
pembayaran hutang ke H Ltd di Hongkong dengan harga pokok yang seharusnya
diperhitungkan dianggap sebagai pembayaran dividen terselubung.
Kasus 5: Pusat perusahaan (Head Office) di luar negeri dari bentuk usaha
tetap (BUT) di Indonesia sering mengalokasikan biaya administrasi dan umum
(Overhead cost) kepada BUT tersebut. Biaya yang dialokasikan tersebut antara
lain adalah: (i) Biaya training karyawan BUT di Indonesia yang diselenggarakan
kantor pusat di luar negeri; (ii) Biaya perjalanan dinas direksi kantor pusat
tersebut ke masing-masing BUT; (iii) Biaya administrasi/manajemen lainnya dari
kantor pusat yang merupakan biaya penyelenggaraan perusahaan; dan (iv) Biaya
riset dan pengembangan yang dikeluarkan kantor pusat. Perlakuan perpajakan-
nya adalah: alokasi biaya-biaya tersebut di atas diperbolehkan sepanjang
sebanding dengan manfaat yang diperoleh masing-masing BUT dan bukan
merupakan duplikasi biaya. Biaya kantor pusat yang boleh dialokasikan kepada
BUT tidak termasuk bunga atas penggunaan dana kantor pusat, kecuali untuk
jenis usaha perbankan, dan royalti/sewa atas harta kantor pusat. Dalam hal
berlaku perjanjian penghindaran pajak berganda maka pengalokasian biaya
kantor pusat, kepada BUT adalah seperti yang diatur dalam perjanjian tersebut.
Kewajaran biaya training di atas dapat diuji dengan membandingkan jumlah
biaya training yang sama atau sejenis, yang diselenggarakan oleh pihak-pihak
yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Untuk biaya lainnya, maka besarnya
biaya yang dapat dialokasikan dihitung ber dasar faktor-faktor tertentu yang
dapat mencerminkan dengan baik proporsi manfaat yang diterimanya, misalnya
perbandingan jumlah peredaran.
Kasus 6: H Ltd di Hongkong memiliki 80% saham PT C dengan modal yang
belum disetor sebesar Rp 200 juta. H Ltd juga memberikan pinjaman se besar Rp
500 juta dengan bunga 25% atau Rp 125 juta setahun. Tingkat bunga setempat
yang berlaku adalah 20%. Perlakuan perpajakannya adalah: penentuan kembali
jumlah hutang PT C. Pinjaman sebesar Rp 200 juta dianggap sebagai penyetoran
modal terselubung, sehingga besarnya hutang PT C yang dapat diakui adalah
sebesar Rp 300 juta (Rp 500 juta - Rp 200 juta). Perhitungan Pajak Penghasilan.
Bagi PT C pengurangan biaya bunga yang dapat dibebankan adalah Rp 60 juta
(20% X Rp 300 juta) yang berarti koreksi positif penghasilan kena pajak. Selisih
Rp 65 juta (Rp 125 juta - Rp 60 juta) dianggap sebagai pembayaran dividen ke
luar negeri yang dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 26 sebesar 20% atau dengan
tarip sesuai dengan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku.
Kasus 7: PT A, perusahaan komputer, memberikan lisensi kepada PT X
(tidak ada hubungan istimewa) sebagai distributor tunggal di negara X untuk
memasarkan program komputernya dengan membayar royalti 20% dari
penjualan bersih. Selain itu PT A juga memasarkan program komputernya
melalui PT B di negara B (ada hubungan istimewa) sebagai distributor tunggal
dan membayar royalti 15% dari penjualan bersih. Perlakuan perpajakannya
adalah: oleh karena program komputer yang dipasarkan PT B sama dengan yang
dipasarkan PT X, atas dasar matching transaction method untuk tujuan
perpajakan maka royalti di PT B juga harus 20%. Kalau kondisi yang sama tidak
diperoleh maka perlu diadakan penyesuaian. Pendekatan demikian disebut
comparable adjustable method (metode sebanding yang disesuaikan). Contoh
tersebut dapat juga digunakan untuk menguji kewajaran franchise atau imbalan
lain yang serupa dengan itu.
Kasus 8: G GmbH Jerman, perusahaan farmasi, memiliki 50% saham PT B
(Indonesia) yang beroperasi di bidang usaha yang sama. G GmbH mensuplai
bahan baku dan pembantu kepada PT B dengan harga DM 120 per unit.
Selanjutnya didapat informasi, misalnya dari SGS di Jerman, bahwa harga
internasional untuk bahan tersebut adalah DM 100 per unit. Perlakuan per-
pajakannya adalah: harga sebanding untuk bahan tersebut adalah DDM 100 per
unit. Untuk bahan farmasi umumnya terdapat paten atas penemuan ramuannya.
Kemungkinan tidak terdapat kontrak lisensi yang ditutup antara G GmbH
dengan PT B. Kalau dalam praktek perdagangan ternyata pada umumnya
terdapat imbalan royalti (tanpa diketahui berapa jumlah-nya), maka jumlah
sebesar DM 20 dianggap sebagai pembayaran royalti. Di lain pihak kalau
diperoleh data bahwa royalti umumnya adalah 10% dari harga maka dapat
disimpulkan bahwa royaltinya sebesar DM 10, sedang selisihnya dianggap
pembagian dividen.
Kasus 9: PT A memiliki 25% saham PT B. PT A memberikan bantuan teknik
kepada PT B dengan imbalan sebesar Rp 500. Imbalan jasa yang sama dengan
keadaan yang sama atau serupa adalah Rp 250. Perlakuan perpajakannya
adalah: dalam kasus di atas, maka imbalan jasa yang wajar adalah Rp 250.
Kasus 10: PT A memiliki 25% saham PT B. PT B juga merupakan distributor
PT A dengan komisi 5% dari harga jual. Di samping itu PT B juga sebagai
distributor produk perusahaan lain yang tidak mempunyai hubungan istimewa
dengan komisi 9%. Untuk memasarkan produk PT A, diperlukan biaya-biaya
promosi dan sebagainya yang menjadi beban PT B. Perlakuan perpajakannya
adalah: berdasarkan analisis fungsi, maka besarnya komisi dari PT A sebesar 5%
adalah kurang wajar karena sebagai distributor PT B masih menanggung biaya
promosi, dsb yang dapat melebihi jumlah komisinya. Di lain pihak diketahui
bahwa komisi dari pihak ketiga yang tidak dibebani biaya promosi adalah 9%.
Oleh karena itu maka komisi dari PT B yang wajar adalah minimal sebesar 9%
ditambah dengan suatu jumlah untuk menutup biaya yang harus dikeluarkan.
Kasus 11: A adalah pemegang 50% saham PT B. Harta perusahaan PT B
berupa kendaraan, dibeli A dengan harga Rp 10 juta. Nilai buku kendaraan
tersebut adalah Rp 10 juta. Harga pasaran kendaraan sejenis dalam keadaan
yang sama adalah Rp 30 juta. Perlakuan perpajakannya adalah: oleh karena
harga pasar sebanding untuk kendaraan tersebut adalah Rp 30 juta, maka
penghasilan kena pajak PT B dikoreksi positif Rp 20 juta (Rp 30 juta - Rp 10 juta).
Sedangkan bagi A selisih harga Rp 20 juta merupakan penghasilan berupa
dividen yang oleh PT B harus dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15%.
Kasus 12: PT I Indonesia, yang mempunyai hubungan istimewa dengan H
Ltd Hongkong, dua-duanya adalah anak perusahaan K di Korea. Dalam
usahanya PT I mengekspor barang yang langsung dikirim ke X di Amerika
Serikat atas permintaan H Ltd Hongkong. Harga pokok barang tersebut adalah
metode tersebut diterima dan akan terus dipergunakan sebagai acuan dalam
menentukan harga pasar wajar selama jangka waktu yang telah disepakati.
Sebelum kesepakatan tersebut dicapai, secara garis besar APA memiliki
empat tahap negosiasi utama, yaitu: (1) wajib pajak secara sukarela menunjukkan
ketertarikannya untuk menerapkan sistem APA dengan cara mengajukan
permintaan kepada fiskus; (2) penyampaikan aplikasi permohonan secara formal
yang ditandai dengan pemberian informasi yang ekstensif mengenai operasi
usaha serta metode transfer pricing apa yang dipergunakan guna memperoleh
harga pasar wajar, dan mempersiapkan analisis yang mendalam mengenai
perusahaan, pasar dan persaingan yang harus dihadapi; (3) dilakukannya
evaluasi oleh fiskus dengan cara melakukan audit lunak (lenient audit) untuk
memastikan apakah semua perhitungan yang diajukan oleh wajib pajak dapat
diterima; (4) tercapainya APA diantara kedua belah pihak. Persetujuan ini
kemudian akan berlaku selama jangka waktu tertentu, biasanya di dalam
keadaan normal, akan berlaku selama 3 (tiga) hingga 5 (lima) tahun, dan apabila
kesepakatan telah dicapai, APA dapat dipergunakan guna menyelesaikan kasus-
kasus transfer pricing yang terjadi saat ini maupun yang terjadi di tahun-tahun
sebelumnya.
Mekanisme kontrol yang dilakukan fiskus di dalam penerapan APA adalah
dengan cara mewajibkan wajib pajak untuk menyiapkan laporan tahunan dimana
di dalamnya wajib pajak memberikan penjelasan mengenai: (i) bagaimana APA
yang telah disepakati diterapkan di tahun tersebut; (ii) menyerahkan laporan
keuangan yang menunjukkan hasil dari penerapan metode transfer pricing yang
disepakati; (iii) menyerahkan hasil rekonsiliasi pembukuan yang telah disesuai-
kan dengan Undang-undang serta bukti pembayaran PPh badan; dan (iv) apabila
terdapat kerugian yang dikompensasikan di tahun tersebut, wajib pajak harus
dapat mendukungnya dengan data dan alasan yang kuat.
APA tidak akan berlaku lagi dikarenakan dua alasan. Pertama, jika masa
berlakunya telah habis dan pihak fiskus sesuai dengan peraturan yang telah
ditetapkan, secara formal mencabut kesepakatan tersebut. Kedua, apabila salah
satu atau lebih dari persyaratan yang tertuang di dalam persetujuan tersebut
tidak dipatuhi oleh salah satu dan/atau kedua belah pihak. Apabila terbukti
bahwa APA dibentuk berdasarkan data dan informasi yang menyesatkan, maka
dianggap APA juga tidak pernah tercapai. Namun demikian, menyadari semakin
cepatnya perubahan yang terjadi di dunia bisnis, APA memberikan fleksibilitas
dan kemudahan kepada pihak-pihak yang terkait. Salah satunya adalah dengan
memungkinkan adanya revisi dan/atau pembaharuan APA. Revisi terhadap APA
diperbolehkan selama telah disepakati dan dicantumkan di dalam persetujuan
tersebut. Sedangkan pembaharuan terhadap APA biasanya dilakukan enam
bulan sebelum masa berlakunya berakhir. Meski demikian, beberapa perubahan
khususnya yang menyangkut perubahan metodologi transfer pricing guna
menentukan arm’s length price, akan mengakibatkan wajib pajak untuk mengaju-
kan permohonan baru lagi.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Astera Primanto, Bhakti (2002) “Transfer Pricing Suatu Kajian Perpajakan”, Jurnal
Perpajakan Indonesia, No.7/2002, hal 30-34.
Borkowski, Susan C ( Spring 2000) “Transfer Pricing Advance Pricing Agreements: Current
Status by Country”, Greenvale: The International Tax Journal.
Cox, James, F., Howe, Gerry and Boyd, Lynn H (1997), Transfer Pricing Effects on Locally
Measured Organizations, Industrial Management.
Gunadi (Agustus 2001), “Pajak Penghasilan 2001” Berita Pajak No. 1425/Tahun XXXII/15
Agustus 2000, Hal. 43-44.
Gunadi (1994), Transfer Pricing: Suatu Tinjauan Akuntansi Manajemen dan Pajak,
Jakarta: Bena Rena Pariwara.
Lyon, Susan, M (1996), International Tax Glossary, 2nd Ed., Amsterdam: International
Bureau of Fiscal Documentation.
OECD Committee on Fiscal Affairs (1979), Transfer pricing and Multinational Enterprises,
Paris: OECD.
Robert, Anthony N and Govindarajan, Vijay (1998), Management Control System, 9th ed,
Irwin McGraw-Hill.
Rosenburg, Jery, M ((1983), Dictionary of Business and Management, Second Edition, New
York: Jhon Wiley&Sons, Inc.