Patogenesis Osteoporosis V PDF

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 15

Pathogenesis of Osteoporosis

Hikmat Permana
Sub Div Endocrinology and Metabolism
Div Internal Medicine
Hasan Sadikin Hospital/Padjadjaran University
Bandung

Osteoporosis, or porous bone, is a disease characterized by low bone mass and


structural deterioration of bone tissue, leading to bone fragility and an increased
susceptibility to fractures of the hip, spine, and wrist. Men as well as women suffer from
osteoporosis, a disease that can be prevented and treated.
Certain factors are linked to the development of osteoporosis or contribute to an
individual's likelihood of developing the disease. These are called "risk factors." Many
people with osteoporosis have several of these risk factors, but others who develop
osteoporosis have no identified risk factors.
Throughout of lifetime, old bone is removed (resorption) and new bone is added to the
skeleton (formation). During childhood and teenage years, new bone is added faster
than old bone is removed. As a result, bones become larger, heavier, and denser. Bone
formation continues at a pace faster than resorption until peak bone mass (maximum
bone density and strength) is reached around age 30. After age 30, bone resorption
slowly begins to exceed bone formation.
There are two main types of osteoporosis: primary and secondary. In cases of primary
osteoporosis, the condition is either caused by age-related bone loss (senile
osteoporosis) or the cause is unknown (idiopathic osteoporosis). The term idiopathic
osteoporosis is used only for men less than 70 years old; in older men, age-related bone
loss is assumed the cause. Progressive loss of bone mass is part of the normal aging
process. It begins between the third and fifth decades of life, develops more rapidly in
trabecular than cortical bone, and accelerated in women after menopause.
In cases of secondary osteoporosis, certain lifestyle behaviours, diseases or medications
cause the loss of bone mass. The most common causes of secondary osteoporosis
include exposure to glucocorticoid medication (Cushings syndrome ), Thyrotoxicosis,
alcohol abuse, Hyperparathyroidism, Diabetes Mellitus, hypogonadism, smoking,
gastrointestinal disease, Nutritional disorders, hypercalciuria and immobilization.
Patogenesis Osteoporosis

Hikmat Permana
Sub Bagian Endokrinologi dan Metabolisme
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RS Perjan Hasan Sadikin
FK Universitas Padjadjaran
Bandung

Osteoporosis atau keropos tulang adalah suatu penyakit tulang yang ditandai dengan
adanya penurunan masa tulang dan perubahan struktur pada jaringan mikroarsitektur
tulang, yang menyebabkan kerentanan tulang meningkat disertai kecenderungan
terjadinya fraktur, terutama pada proksimal femur, tulang belakang dan pada tulang
radius. Baik pada laki-laki maupun wanita mempunyai kecenderungan yang sama
terhadap ancaman fraktur tulang tersebut, walaupun demikian penyakit ini dapat
dicegah maupun diobati.
Terdapat beberapa faktor utama sebagai faktor resiko yang berhubungan erat dan
mempunyai kontribusi utama terhadap proses perkembangan osteoporosis. Faktor
resiko tersebut sering ditemukan, tetapi pada beberapa individu dengan osteoporosis
sulit ditentukan dengan jelas faktor resiko osteoporosis tersebut.
Hampir separuh masa kehidupan terjadi mekanisme kerusakan tulang ( resorpsi ) dan
pembentukan tulang ( formasi). Selama masa anak-anak dan dewasa muda,
pembentukan tulang jauh lebih cepat dibandingkan dengan kerusakan tulang. Titik
puncak massa tulang ( Peak bone mass ) tercapai pada sekitar usia 30 tahun, dan
setelah itu mekanisme resopsi tulang menjadi jauh lebih cepat dibandingkan dengan
pembentukan tulang. Penurunan massa tulang yang cepat akan menyebabkan
kerusakan pada mikroarsitektur tulang khususnya pada tulang trabekular.
Osteoporosis dibagi dalam 2 bentuk, yaitu primer dan sekunder. Dikatakan osteoporosis
primer apabila penyebabnya berhubungan dengan usia ( senile osteoporosis) atau
penyebabnya tidak diketahui sama sekali ( idiopathic osteoporosis). Pada laki-laki, istilah
idiopatik digunakan hanya pada usia lebih dari 70 tahun, dengan asumsi penyebabnya
adalah berhubungan dengan usia. Progresifitas resorpsi tulang merupakan kondisi
normal dalam penuaan ( aging process). Mekanisme ini diawali pada antara usia dekade
3 sampai 5 kehidupan, perkembangan resopsi tulang lebih cepat pada tulang trabelukar
dibanding pada tulang kortikal, dan pada wanita akan mengalami percepatan
mekanisme ini menjelang menopause.
Pada Osteoporosis sekunder ; kebiasaan gaya hidup, obat-obatan atau penyakit tertentu
merupakan penyebab utama terjadinya osteoporosis. Penyebab tersering osteoporosis
sekunder adalah terapi dengan glukokortikoid ( sindroma cushing ), tirotoksikosis,
alkoholisme, hiperparatiroid, diabetes melitus, hipogonadisme, perokok, penyakit
gastrointestinal, gangguan nutrisi, hipercalsiuria dan immobilisasi.
Patogenesis Osteoporosis

Hikmat Permana
Sub Bagian Endokrinologi dan Metabolisme
Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RS Perjan Hasan Sadikin
FK Universitas Padjadjaran
Bandung

Pendahuluan

Saat ini osteoporosis menjadi permasalahan di seluruh negara, dan menjadi isue global
dalam bidang kesehatan. Di negara berkembang insidensi osteoporosis terus meningkat
sejalan dengan meningkatnya usia harapan hidup. Dengan bertambah usia harapan
hidup ini, maka penyakit degeneratif dan metabolisme juga meningkat seperti penyakit
jantung koroner, diabetes melitus, hipertensi, obesitas, dislipidemia, dan termasuk
osteoporosis. Dari tabel dibawah ini tampak insidensi fraktur tulang panggul terus
meningkat baik di negara amerika utara, eropa, amerika latin juga di negara negara
asia. Insidensi ini sudah menjadi peringatan keras bagi petugas kesehatan di negara
tersebut.

1,000,000
800,000
600,000
400,000
200,000
0
1990 2050

North America Europe Latin America Asia

Selain insidensi yang terus meningkat tampak insidensi osteoporosis merupakan


kasus yang paling banyak di bandingkan dengan kasus kardiak event, stroke ataupun
tumor payudara.
,000
1,600 0
0 ,00
1,40
,20 0 ,000
1
0 0 ,000
1,0
0 ,000
80
,000
600
00
400,0
00 ,000
2
0 Osteoporosis Heart Attack Stroke Breast Cancer

Fraktur osteoporosis sering terjadi pada wanita

Dengan demikian osteoporosis adalah penyakit tulang metabolik yang paling sering
dijumpai. Penyakit ini sering tanpa keluhan dimana densitas tulang berkurang secara
progresif dengan kerusakan mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi rapuh,
mudah patah dan tidak terdeteksi sampai terjadi patah tulang. Tulang tulang yang sering
terjadi fraktur akibat osteoporosis adalah tulang belakang, panggul dan pergelangan
tangan.

Angka kejadian dan dampaknya.

Dari berbagai penelitian di amerika Osteoporosis saat ini sudah menjadi masalah
kesehatan masyarakat yang mengancam penduduk sebanyak 44 juta, 68 % diantaranya
adalah golongan wanita. Dan 10 juta penduduk sudah mengalami osteoporosis, 34 juta
penduduk mempunyai massa tulang yang rendah yang menjadi resiko terjadinya fraktur.
Kejadian osteoporosis dapat terjadi pada setiap umur kehidupan. Penyebabnya adalah
akibat terjadi penurunan bone turn over yang terjadi sepanjang kehidupan. Satu dari dua
wanita akan mengalami osteoporosis, sedangkan pada laki-laki hanya 1 kasus
osteoporosis dari lebih 50 orang laki-laki. Dengan demikian insidensi osteoporosis pada
wanita jauh lebih banyak daripada laki-laki. Hal ini di duga berhubungan dengan adanya
fase masa menopause dan proses kehilangan pada wanita jauh lebih banyak. Kalau
memang osteoporosis itu tetap terjadi sepanjang kehidupan timbullah pertanyaan,
Permasalahan apa yang akan di timbulkan pada penderita osteoporosis ?
Dengan insidensi yang terus meningkat, maka akan menimbulkan angka
kesakitan yang terus meningkat bahkan kematian. Selain itu juga akan menjadi beban
anggaran belanja bagi negara dalam bidang kesehatan, sehingga dari sisi segi ekonomi
akan membutuhna biaya yang sangat besar. Hal ini terbukti dengan beberapa penelitian
menyatakan bahwa 30 40 % separuh kehidupan wanita akan mengalami fraktur,
sedangkan pada laki-laki sebesar 13 %. Ini menunjukan rata rata angka kesakitan akibat
fraktur terus meningkat, dan ironisnya dinegara berkembang angka kesakitan ini lebih
besar. Di amerika sebanyak 30 % penderita yang mengami fraktur tulang panggul tidak
dapat kembali kerumah dan 20 diantaranya meninggal dunia setiap tahunnya.
Penelitian di Amerika ini pun memberikan gambaran betapa besar biaya yang
harus dikeluarkan dalam penatalaksanaan osteoporosis. Terlihat dari kasus yang
ditemukan lebih dari 1,5 juta setiap tahunnya, Fraktur yang terjadi pada tulang panggul
sebesar 300.000, vertebra lebih 700.000, serta 250.000 pada pergelangan tangan, dan
lebih 300.000 kasus terjadi fraktur pada tempat lainnya. Tentu saja akan memerlukan
biaya yang sangat besar baik selama perawatan rumah sakit maupun di rumah, yaitu
sebesar $ 14 miliar setiap tahunnya. Apabila biaya perawat ini diproyeksikan sampai
tahun 2040, yang digunakan untuk biaya medis, perawatan rumah sakit, lama
perawatan, dan jasa dokter, serta perawatan lainnya maka harus dipersiapkan biaya
sebesar $ 50 miliar.
Dengan demikian Osteoporosis ini perlu pengelolaan yang optimal. Dalam upaya
ini tentu saja perlu mengerti patofisiologi osteoporosis. Dalam makalan ini akan dibahas
mengenai patofisilogi osteoporosis. Membahas patofisiologi osteoporosis pada intinya
adalah membahas remodeling tulang, yang terdiri dari proses resorpsi dan formasi
tulang. Dengan demikian dalam makalah ini akan dibahas mengenai remodelling tulang.

Definisi Osteoporosis.

Definisi yang diajukan tampak lebih konseptual dan dan menjadi sulit dalam
penerapannya pada penderita, misalnya definisi yang diajukan oleh kelompok studi
osteoporosis sebagai berikut ; Osteoporosis atau keropos tulang adalah suatu penyakit
tulang yang ditandai dengan adanya penurunan masa tulang dan perubahan struktur
pada jaringan mikroarsitektur tulang, yang menyebabkan kerentanan tulang meningkat
disertai kecenderungan terjadinya fraktur, terutama pada proksimal femur, tulang
belakang dan pada tulang radius. Sedangkan definisi yang sering dan banyak
digunakan adalah definisi dari WHO yaitu Suatu penyakit yang disifati oleh adanya
berkurangnya massa tulang dan kelainan mikroarsitektur jaringan tulang, dengan akibat
meningkatnya kerapuhan tulang dan resiko terjadinya fraktur tulang.
Atas dasar definisi dari WHO ini maka osteoporosis diukur densitas massa
tulang dengan ditemukan nilai t-score yang kurang dari 2,5. Sedangkan dikatakan
normal nilai t-score > -1 dan Osteopenic apabila t-score antara -1 to - 2,5. Dan
dikatakan osteoporosis apabila nilai z-score < 2.

Anatomi tulang dan patogenesis osteoporosis

Patogenesis osteoporosis pada hakekatnya adalah rangkaian yang terjadi mulai


dari pembentukan tulang sampai terjadi proses resorpsi tulang yang lebih menonjol.
Oleh sebab itu untuk dapat mengerti terjadi osteoporosis maka perlu kiranya memahami
struktur tulang yang normal.

Tulang normal terdiri dari komposisi yang kompak dan padat, berbentuk bulat
dan batang padat serta terdapat jaringan berongga yang diisi oleh sumsum tulang.
Tulang ini merupakan jaringan yang terus berubah secara konstan, dan terus
diperbaharui. Jaringan yang tua akan digantikan dengan jaringan tulang yang baru.
Proses ini terjadi pada permukaan tulang dan dikatakan sebagai remodelling. Dalam
remodeling ini melibatkan osteoclast sebagai perusak jaringan tulang dan osteoblas
sebagai pembentuk sel sel tulang baru.
Menjelang usia tua proses remodeling ini berubah. Aktifitas osteoclast menjadi
lebih dominan dibandingkan dengan aktifitas osteoblast sehingga menyebabkan
osteoporosis. Separuh perjalanan hidup manusia, tulang yang tua akan di resorpsi dan
terbentuk serta bertambahnya pembentukan tulang baru ( formasi ). Pada saat kanak
kanak dan menjelang dewasa, pembentukan tulang terjadi percepatan dibadingkan
dengan proses resorpsi tulang, yang mengakibatkan tulang menjadi lebih besar, berat
dan padat. Proses pembentukan tulang ini terus berlanjut dan lebih besar dibandingkan
dengan resorpsi tulang sampai mencapai titik puncak massa tulang ( peak bone mass ),
yaitu keadaan tulang sudak mencapai densitas dan kekuatan yang maksimum. Dan
Peak bone mass ini tercapai pada umumnya pada usia menjelang 30 tahun. Setelah
usia 30 tahun secara perlahan proses resorpsi tulang mulai meningkat dan melebihi
prose formasi tulang. Kehilanga massa tulang terjadi sangat cepat pada tahun tahun
pertama masa menopause, dan Osteoporosispun berkembang akibat proses resrpsi
yang sangat cepat atau proses penggantian terjadi sangat lambat. Cepat lambatnya
terjadi Osteoporosis hampir sama cepat atau tidaknya massa tulang puncak tercapai
selama pembentukan tulang.

Dari gambar ini tampak perbedaan yang nyata antara tulang yang mengalami
osteoporosis. Pada dinding tulang yang kompak ( padat ) akan mengalami penipisan
yang mudak terjadi fraktur, dan paa tulang yang beronggapun tampak terjadi ketidak
sinambungan antara rongga. Tulang merupakan jaringan yang terus hidup dan tumbuh.
Tulang sendiri terdiri dari jaringan kolagen yang lebih dominan, yang akan membentuk
kerangka lunak dan kalsium yang akan membentuk jaringan keras dan padat. Komposisi
ini menjadikan tulang dalam keadaan yang kuat dan tidak fleksibel saat mendapat
tekanan dalam posisi berdiri. Kombinasi antara kolagen dan kalsium ini sebanyak 99 %
terdapat pada tulang dan gigi, sisanya terdapat pada sel darah darah. Ditinjau secara
anatomi, pada keadaan normal tulang rangka, sebanyak 25% volume tulang anatomi
yang spesifik sebagai jaringan tulang. Dan 75 % merupakan sumsum tulang (bone
marrow) dan lemak, tetapi ini sangat bervariasi tergantung sebagaimana besar tulang
skeletonnya. Pada jaring tulang yang spesifik, hanya 60% berupa mineral tulang dan
40% merupakan jaringan organik, berupa kolagen. Sumsum tulang mengandung
stroma, jaringan mieloid, sel lemak, pembuluh darah, sinusoid, dn beberapa jaringan
limfe.
Osteoporosis adalah identik dengan kehilangan massa tulang, yaitu kelainan
tulang yang merujuk pada kelainan kekuatan tulang. Apabila kekuatan tulang ini
menurun maka merupakan faktor predisposisi terjadinya fraktur. Bone Strength atau
kekuatan tulang adalah penggambaran dari densitas tulang dan kualitas tulang;
Densitas tulang adalah jumlah mineral dalam gram per volume, yang merupakan bagian
bari kekuatan tulang sebesar 70%, sedangkan kualitas tulang ditentukan oleh arsitektur,
perubahan, akumulasi kerusakan dan mineralisasi. Tulang terdiri atas sel dan matriks.
Terdapat dua sel yang penting pada pembentukan tulang yaitu osteoclas dan osteoblas.
Osteoblas berperan pada pembentukan tulang dan sebaliknya osteoklas pada proses
resorpsi tulang. Matriks ekstra seluler terdiri atas dua komponen, yaitu anorganik sekitar
30-40% dan matrik inorganik yaitu garam mineral sekitar 60-70 %. Matrik inorganik yang
terpenting adalah kolagen tipe 1 ( 90%), sedangkan komponen anorganik terutama
terdiri atas kalsium dan fosfat, disampinh magnesium, sitrat, khlorid dan karbonat.
Selama kehidupan proses resorpsis dan formasi tulang terus berlangsung. Pada
awalnya pembentukan tulang lebih cepat dibanding dengan resorpsi, yang
menghasilkan tulang mejadi besar, berat dan padat.
Dalam pembentukan massa tulang tersebut tulang akan mengalami perubahan
selama kehidupan melalui tiga fase: Fase pertumbuhan, fase konsolodasi dan fase
involusi. Pada fase pertumbuhan sebanyak 90% dari massa tulang dan akan berakhir
pada saat eepifisi tertutup. Sedangkan pada tahap konsolidasi yang terjadi usia 10-15
tahun. Pada saat ini massa tulang bertambah dan mencapai puncak ( peak bone mass )
pada umur tiga puluhan. Serta terdapat dugaan bahwa pada fase involusi massa tulang
berkurang ( bone Loss ) sebanyak 35-50 tahun.

Gambar ini menunjukan bahwa terjadi percepatan pertumbuhan tulang , yang


mencapai massa puncak tulang pada usia berkisar 20 30 tahun, kemudian terjadi
perlambatan formasi tulang dan dimulai resorpsi tulang yang lebih dominan. Keadaan ini
bertahan sampai seorang wanita apabila mengalami menopause akan terjadi
percepatan resorpsi tulang, sehingga keadaan ini tulang menjadi sangat rapuh dan
mudah terjadi fraktur.
Setelah usia 30 tahun, resorpsi tulang secara perlahan dimulai akhirnya akan
lebih dominan dibandingkan dengan pembentukan tulang. Kehilanga massa tulang
menjadi cepat pada beberapa tahun pertama setelah menopause dan akan menetap
pada beberapa tahun kemudian pada masa postmenopause. Proses ini terus
berlangsung pada akhirnya secara perlahan tapi pasti terjadi osteoporosis.

Gambar inipun memberikan suatu ilustrasi bahwa pada saat remodelling tulang
maka tampak terjadi percepatan pembetukan tulang dan pada saat terjadi bone turn
over yang tingg yaitu suatu keadan proses resopsi tulang lebih menonjol dibandingkan
dengan formasi tulang. Percepat osteoporosis tergantung dari hasil pembentukan tulang
sampai tercapainya massa tulang puncak.
Massa tulang puncak ini terjadi sepanjang awal kehidupan sampai dewasa
muda. Selama ini, tulang tidak hanya tumbuh tetapi juga menjdai solid. Pada usia rata
rata 25 tahun tulang mencapai pembentuk massa tulang puncak. Walaupun demikian
massa puncak tulang ini secara individual sangat bervariasi dan pada umumnya pada
laki-laki lebih tinggi dibanding pada wanita. Massa puncak tulang ini sangatlah penting,
yang akan menjadi ukuran seseorang menjadi risiko terjadonya fraktur pada
kehidupannya. Apabila massa puncak tulang ini rendah maka akan mudah terjadi
fraktur, tetapi apabila tinggi maka akan terlindung dari ancaman fraktur.
Faktor faktor yang menentukan tidak tercapainya massa tulang puncak sampai
saat ini belum dapat dimengerti sepenuhnya tetapi diduga terdapat beberapa faktor
yang berperan, yaitu genetik, intake kalsium, aktifitas fisik, dan hormon seks. Untuk
memelihara dan mempertahan massa puncak tulang adalah dengan diet, aktifitas fisik,
status reproduktif, rokok, kelebiham konsumsi alkohol, dan beberapa obat. Secara garis
besar patofisiologi osteoporosis berawal dari Adanya massa puncak tulang yang rendah
disertai adanya penurunan massa tulang. Massa puncak tulang yang rendah ini diduga
berkaitan dengan faktor genetik, sedangkan faktor yang menyebabkan penurunan
massa tulang adalah proses ketuaan, menopause, faktor lain seperi obat obatan atau
aktifitas fisik yang kurang serta faktor genetik. Akibat massa puncak tulang yang rendah
disertai adanya penurunan massa tulang menyebabkan densitas tulang menurun yang
merupakan faktor resiko terjadinya fraktur.
Di dalam Tulang yang mengalami osteoporosis akan ditemukan struktur padat
dan rongga tulang berkurang. Penipisan dinding luar tulang lebih nyata dan keadaan ini
meningkatkan resiko fraktur. Hilangnya massa tulang juga tampak pada tulang
berongga,

Gambaran Perbedaan antara :

Normal Osteoporosis Osteomalacia

Gambar ini memberikan ilustrasi bahwa penipisan yang jelas pada massa tulang
dan rongga tulang yang semakin luas, sehingga kekuatan massa tulang menjadi sangat
rendah. Keadaan ini memudahkan tulang untuk mengalami fraktur.
Aktifitas remodeling tulang ini melibatkan faktor sistemik dan faktor lokal. Faktor
sistemik adalah Hormonal hormonal yang berkainan dengan metabolisme tCalsium,
seperti Hormon Parathiroid, Vitamin D, Calcitonin, estrogen, androgen, hormon
pertumbuhan, dan hormon tiroid. Sedangkan faktor lokal adalah Sitokin dan faktor
pertumbuhan lain.
Tabel berikut di bawah menjelaskan faktor yang berperan dalam patogenesis
osteoporosis

Factors favoring net Increased Factors favoring net Decreased


in Bone mass in bone mass

Stimulation of formating: Stimulation of resorption


Compressive stressed of gravity PTH
and muscle use Osteoclast activiting factor
Thyroid hormone Prostaglandins
Growth hormone Thyroid hormone excess
Insulin Glucocorticoid excess
Fluoride Increased bone blood flow
Local inflamation
Heparin
Acidosis

Suppression of resorption Suppression of formating

Estrogen Immobilization
Androgen Glucocorticoid
Fluoride Malnutrition
High ECF calcium Chronic disease
High ECF Phosphate
Diphosphate compounds

Metabolisme kalsium
Dalam proses remodeling tulang atau bone turnover, intinya adalah terjadinya
pergerakan ion kalsium. Ion kalsium yangberada dalam osteoklas akan dilepaskan
kemudian oleh osteoblas akan digunakan sebagai bahan baku tulang di dalam
osteocyte dan pada akhirnya berperan dalam pembentukan tulang baru. Artinya
metabolisme kalsium inilah yang mempunyai peranan dominan dalam proses
pembentukan tulang. Seperti diketahui, asupan kalsium yang normal berkisar 1000
1500 mg / hari, dan akan diekskresikan juga tidak jauh berbeda dengan asupan
tersebut, melalui faeces ( 800 mg ) dan urine (200 mg). Dalam perjalanannya Kasium
akan mempunyai peran penting dalam remodeling tulang, yaitu sebanyak 300 500 mg
yang berasal dari kalsium ekstra seluler sebanyak 900 mg. Artinya dalam proses
remodeling tulang Kalsium tersebut diperlukan kadar antara 300- 500 mg. Jumlah inilah
yang akan ditambahkan dalam asupan kalsium dari luar, jadi berkisar 1000 1500 mg,
sehingga kalsium serum berada dalam keadaan homeostatis ( seimbang ).
Dalam mempertahankan keseimbangan kalsium serum ini, dua hormon secara
langsung berhubungan dengan metabolisme Kalsium, yaitu hormon paratiroid dan
calsitonin. Adanya peningkatan asupan kalsium / kalsium darah makan akan
merangsang calsitonin, upaya ini untuk menekan proses resorpsi tulang, dan
sebaliknya. Sedangkan dengan adanya kalsium yang rendah maka hormoon paratiroid
akan meningkat dalam sehingga proses remodeling tulang tetap berjalan dalam
keadaan seimbang. Apabila kalsium plasma meningkat maka akan meningkatkan
formasi tulang dan meningkatkan Calsitonin dari sel parafolikuler kelenjar thyorid.
Dengan adanya calsitonin, makan proses resopsi tulang ditekan. Dan sebaliknya
keadaan kalsium darah yang rendah akan meningkatkan sekresi hormon paratiroid dan
akan meningkatkan proses resopsi tulang serta peningkatan absorpsi kalsium di
intestinal. Mekanisme ini adalah upaya kalsium didalam darah tetap dalam keadaan
stabil. Gambaran mekanisme ini tampak pada gambar dibawah ini.
Jadi hormon paratiroid berperan dalam meningkatkan resorpsi kalsium,
menurunkan resorpsi fosfat di intestinal, dan meningkatkan sintesis vitamin D ( 1,25
(OH) 2 D di ginjal. Selain itu hormon ini juga dapat meningkatkan aktifitas osteoclast
yang menyebabkan proses resorpsi tulang meningkat.
Dalam keadaan hipertiroidi, kadar hormon tiroid meningkat menyebabkan
peningkatan mekanisme bone turn-over. Dalam keadaan ini terjadi proses resorpsi lebih
dominan daripada pembentukan tulang. Dengan peningkatan mekanisme resorpsi
tulang menyebabkan penurunan kadar hormon paratiroid, kemudian terjadi penurunan
1,25 dihidroksi vitamin D. Penurunan kadar 1,25 dehidroksi vitamin D ini menyebabkan
peningkatan absorpsi kalsium.

Vitamin D
Peran vitamin D dalam mekanisme bone turn over melalui peningkatan absorpsi
kalsium dan fosfat di intestinal. Melalui mekanisme ini maka vitamin D berperan dalam
menyediakan cadangan kadar kalsium dan fosfat untuk proses mineralisasi tulang
sehingga mempertinggi resorpsi tulang. Vitamin D mempunyai peran penting dalam
proses aborpsi kalsium dan penting dalam mendapatkan tulang yang sehat. Vitamin D
ini disintesa di kulit yang terpapar sinar matahari. Produksi Vitamin D ini menurun pada
usia lanjut, orang yang bekerja di dalam gedung, dan selama musim semi.
Dalam mempertahankan intergritas mekanisme dan struktur tulang diperlukan
proses remodelling tulang yang konstan, yaitu respon terhadap keadaan baik fisiologis
maupun patologis yang terjadi selama kehidupan. Adanya kebutuhan asupan kalsium
dan vitamin D yang meningkat terutama dengan bertambahnya umur, dengan
sendirinya akan meningkatkan proses remodelling. Baik pada laki-laki maupun wanita,
kehilangan massa tulang terjadi mulai usia 49 tahunan dan berjalan terus selama
menjalani kehidupan. Pada wanita sebanyak 35 % terjadi pada tulang panjang dan 50 %
pada tulang berongga, sedangkan pada laki-laki hanya dua pertiga dari wanita. Dengan
demikian kehilangan massa tulang pada wanita lebih besar disbandingkan dengan laki-
laki, hal ini disebabkan massa tulang wanita pada awalnya dan pada menopause terjadi
kehilangan massa tulang lebih besar dibanding laki-laki dengan usia yang sama.
Sehingga menopause merupakan suatu faktor resiko terjadinya fraktur. Diduga hal ini
berhubungan dengan defisiensi estrogen.
Faktor Risiko

Beberapa faktor resiko yang berhubuungan dengan osteoporosis atau yang


mempengaruhi seseorang mengalami osteoporosis. Pada beberapa individu yang
osteoporosisi dapat diidentifikasi faktor resiko tersebut, tetapi masih banyak individu
mengalami osteoiporisis tetapi sulit untyuk didentifikasi faktor resiko. Faktor resiko
tersebut ada yang dapat dirubah, tetapi terdapat juga yang tidak dapat dirubah seperti :
Gender
Umur
Ukuran tubuh
Etnic
Riwayat keluarga

RINGKASAN
1. Komposisi tulang terdiri dari protein dan mineral tulang termasuk kalsium
2. Selama masa kanak-kanak dan remaja, kekuatan dan densitas tulang tercapai
maksium pada usia sekitar 20 tahun.
3. Dari usia 40 tahun, kepadatan dan kekuatan tulang mulai menurun baik pada laki-
laki maupun wanita, dan kehilangan masa tulang ini terus berjalan
4. Upaya pencegahan dan pengobatan osteoporosis harus berdasarkan patofisiologi

Rujukan

1. Francis RM. Osteoporosis: Pathogenesis and management, Kluwer Academic


press, Boston, 1990.
2. Cooper et al. Osteo Int 1992; 2 : 285 -89
3. Cumming SR, Black D, Nevitt M, Browner W, Cauley J, Ensrud K, et al. Bone
density at various sites for prediction of hip fractures. Lancet 1993;341:72-75.
4. Riggs, B.L., and Melton, L.J. III, Bone Suppl.): 1995 : 17 : 505S-511S,
5. Heart and Stroke Facts: Statistical Supplement, American Heart
Association,1996
6. Kanis A., Osteoporosis, Elsevier, London, 1997
7. Cumming and Melton, Epidemiology and outcomes of osteoporotic fractures
Lancet, 2002, 359, 1761
Rujukan

1. Coopans R, General Approach to The Treatment of Diabetes in : Kahn CR,


Weir GC, Joslins Diabetes Mellitus. 13th Ed, Lea&Febiger, 1994, 397- 459
2. Rosenzweig JL, Principle of Insulin Therapy : Kahn CR, Weir GC, Joslins
Diabetes Mellitus . 13th Ed, Lea&Febiger, 1994, 461-488
3. Katz DL., Nutrition in Clinical Practice. Lippincott William & Wilkin,
Philadelphia, 2001:92- 112
4. Martindale RG., Shikora SA., Nishikawa R., Siepler JK. The Metabolic
Response to Stress and Alterations In Nutrient Metabolism, In: Shikora SA,
Martindale RG., Schwatzberg SD ed., Nutritional Considerations in The
Intensive Care Unit. Ed. Kendall/Hunt, 2002:11- 20
5. Koutkia P, Apovian CO: Nutrition Support in the Critically Ill Diabetic Patient
in Shikora SA, Martindale RG. Schwaitzberg SD. Nutritional Considerations in
the Intensive Care Unit. Kendal/Hunt Publishing Company, 2002 : 175- 186
6. Charney P, Diabetes Mellitus in: Contemporary Nutrition Support Practice,
Matarese LE., Gottschlich MM., 2 nd ed.,Saunders, 2003: 533-544
7. Armenti VT, Worthington P : Nutritional Implication of selected Medical
Kondition in Worthington P, Practical Aspect of Nutritional Support. Saunders,
2004 : 541-585.

You might also like