Pembaruan Pendidikan Islam K.H. Hasyim Asy'ari: Mahrus As'ad

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 30

Pembaruan Pendidikan Islam K.H.

Hasyim Asy’ari 105

Pembaruan Pendidikan Islam


K.H. Hasyim Asy’ari

Mahrus As’ad*
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jurai Siwo Metro
E-mail: [email protected]

Abstract

The characteristic of the Indonesia Islamic education modernism is largerly


determined by the creativity which the Muslim pointed out. The flexibility of the
Islamic education system enable it to easily adapt itself to the surrounding and to
create the new and appropriate format of its derivation in line with the new demand
of the umma for the field in the modern era. A number of experiments had been
performed by the Muslim figures, individually or collectively, to fulfill that demand in
the early decades of the 20th century. How did they adopt the elements of modernity
to keep the Islamic education remain in its own identity? For this purpose, it is important
to understand and to explain the ideas and the efforts of Syaikh Hasyim Asy’ari of
Tebuireng in modernizing his pesantren and its main contribution to the development
of the new madrasahs in the country. Using the analytical-critical method, this
examination is in conclusion that Hasyim’s allegiance to stand on his traditional bases
in modernizing his pesantren has created a something useful for directing the orientation
and giving the strong foundation of the Indonesia’s Islamic education modernism. His
success in harmonizing the elements of modernity with the Islamic traditions under
the religious inspection as the pivotal axis is his real contribution to the new madrasah
with its own identity to distinct itself with the public school, though the government
has “nationalized” the first to be in equivalent to the public school.

Corak modernisme pendidikan Islam di Indonesia banyak ditentukan oleh seberapa


besar kebutuhan serta kreativitas yang ditunjukkan oleh para tokohnya serta masyarakat
muslim sendiri sebagai pendukung utamanya. Watak dasar dari sistem kelembagaan
pendidikan Islam sendiri yang fleksibel dan dinamis memungkinkannya untuk terus
bertumbuh kembang dan beradaptasi dengan lingkungan tempat tinggalnya sendiri guna
menemukan format yang lebih baik dan cocok dalam memenuhi kebutuhan dan tuntutan
masyarakat Islam di lapangan pendidikan di kurun modern. Berbagai eksperimen, baik

* STAIN Jurai Siwo Metro jl. Ki Hajar Dewantara 15 A Kampus Kota Metro
Lampung Telpon (0725) 41507.

Vol. 8, No.1, April 2012


106 Mahrus As’ad

oleh perseorangan mapun organisasi, telah dilakukan untuk kepentingan tersebut sepanjang
dekade-dekade awal abad ke-20. Bagaiman mereka mengadopsi unsur-unsur kemodernan
agar pendidikan Islam tetap tidak kehilangan identitas aslinya? Untuk tujuan itu, menyelidiki
gagasan dan usaha pembaruan pendidikan KH. Hasyim Asy’ari serta konstribusinya bagi
pengembangan madrasah di tanah air menjadi penting. Menggunakan metode deskriptif-
analitis, diperoleh kesimpulan bahwa kesetiaan Hasyim dalam usaha pembaruannya dengan
tetap berpegang teguh pada tradisi dalam arti luas menghasilkan sebuah format baru
pendidikan Islam, yang berguna dalam peletakan fondasi yang kuat bagi modernisme
pendidikan Islam khas Indonesia. Keberhasilan K.H. Hasyim meramu unsur-unsur
kemodernan dan tradisi pendidikan Islam dengan tetap menempatkan “nur ilahiyah”
sebagai poros utamanya merupakan sumbangan terpentingnya, yang dengannya madrasah
memiliki identitasnya sendiri, yang berbeda dengan sekolah umum, walaupun pemerintah
telah “menasionalisasi” madrasah dengan menempatkannya equivalen dengan sekolah
umum.
Keywords: modernisme, modernisasi, kemodernan, nasionalisasi Islamic education.

Pendahuluan

A
wal abad ke-20 sering dikatakan sebagai masa kebangkitan
pendidikan Islam di Indonesia, ditandai dengan munculnya ide-
ide dan usaha pembaruan pendidikan Islam, baik oleh pribadi-
pribadi maupun organisasi-organisasi keagamaan yang concern di bidang
ini. Tujuannya untuk memperbaiki kondisi pendidikan kaum muslimin
yang semakin terpuruk di wilayah ini, sejak diperkenalkannya sistem
kelembagaan pendidikan baru oleh pemerintah kolonial, dalam rangka
menghadapi berbagai tuntutan dan kebutuhan hidup masyarakat di
masa modern. Ide dasarnya adalah bahwa memperbarui sistem-
kelembagaan pendidikan Islam merupakan keniscayaan yang tak bisa
ditunda-tunda, jika kaum muslimin tidak ingin mengalami
ketertinggalan dengan Barat.1 Salah seorang yang memiliki perhatian
besar dan aktif dalam usaha ini adalah KH. Hasyim Asy’ari (1871-1947),
pendiri pesantren Tebuireng yang juga salah satu arsitek berdirinya
Nahdlatul Ulama (NU), organisasi keagamaan terbesar di tanah air.
Banyak tulisan sudah dibuat, terutama pada dekade belakangan,
yang membahas ketokohan KH. Hasyim Asy’ari, sebagai ulama
1
Azyumardi Azra, “Pembaruan Pendidikan Islam: Sebuah Pengantar” dalam
Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Islam, (Jakarta: Departemen Agama RI,
1997/1998), 2.

Jurnal TSAQAFAH
Pembaruan Pendidikan Islam K.H. Hasyim Asy’ari 107

maupun tokoh agama.2 Namun, tulisan tersebut pada umumnya lebih


banyak memperhatikan aspek perjalanan hidup dan aktifitasnya
sebagai tokoh pergerakan serta pemikiran keagamaannya di tengah
masyarakat Indonesia yang sedang tumbuh. Semua ini telah
memberikan kontribusi berharga bagi upaya mengenali sosok KH.
Hasyim Asy’ari yang sangat menonjol. Hanya saja studi khusus
mengenai ide-ide dan aktifitasnya di bidang pendidikan (Islam) hingga
kini sulit ditemukan. Kalau pun ada, sifatnya masih parsial, sehingga
tidak mampu memberikan elaborasi yang mendalam.3 KH. Hasyim
Asy’ari, tak disangsikan lagi, selain menonjol dalam hal-hal seperti
ditulis di atas, juga dikenal sebagai ulama pendidik yang tekun dan
sangat peduli dengan nasib pendidikan umat serta berwawasan jauh
ke depan. Melalui aktifitas pendidikan di pesantren Tebuirengnya, ia
melancarkan serangkaian pembaruan pendidikannya sebagai upaya
memberikan landasan dasar bagi modernisasi sistem kelembagaan
pendidikan Islam Indonesia di awal abad ke-20, yang pengaruhnya sangat
kuat mewarnai corak perkembangan dan sistem kelembagaan pendidikan
Islam, khususnya pesantren, di tanah air bahkan hingga kini.4

2 Sejumlah buku yang membahas ketokohan KH. Hasyim Asy’ari antara lain:
KH. Hasjim Asj’ari: Ulama Besar Indonesia, karya Solochin Salam (1966); Hadratussyaikh
Muhammad Hasyim Asy’ari: Perintis Kemerdekaan Indonesia karya Muhamad Asad Syihab
(1994); Perkembangan dan pertumbuhan NU karya Choirul Anam (1999); Fajar Kebangkitan
Ulama: Biografi K.J. Hasyim Asy’ari karya Latiful Khuluq (2000); K.H. Hasyim Asy’ari: Figur
Ulama dan Pejuang Sejati karya Muhammad Ishom Hadzik dan Nia Daniati (2000); KH.
Hasyim Asy’ari: Biografi Singkat 1871-1947 karya Muhammad Rifa’i; Hadratussyaikh Hasyim
Asy’ari Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan karya Zuhairi Misrawi (2010).
3
Sejauh ini ditemukan dua penelitian dalam bentuk tesis S2 dari Program
Pascasarjana UIN Sunan Kalijogo Yogyakarta. Pertama oleh Maslani berjudul
“Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dalam karyanya Adâb al-‘Âlim wa al-Muta’alim: Suatu
Upaya Pengungkapan Belajara-Mengajar” pada 1997 dan kedua oleh Nurdin berjudul
“Etika Belajar: Telaah Kritis atas Konsep Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari dalam Kitab
Adâb al-‘Âlim wa al-Muta’alim pada 1999. Selain itu, ada lagi tulisan Suwendi, dalam
bukunya Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, di bawah judul “Konsep Pendidikan KH.
Hasyim Asy’ari Kajian atas Kitab Adâb al-‘Âlim wa al-Muta’alim”. Suwendi, Sejarah dan
Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004).
4
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun
Modern, (Jakarta: LP3ES, 1986), 70.

Vol. 8, No.1, April 2012


108 Mahrus As’ad

Menggunakan metode deskriptif analitis,5 penelitian ini berusaha


melengkapi kajian-kajian sebelumnya, difokuskan pada pemikiran
dan usaha-usaha KH. Hasyim Asy’ari dalam pembaruan pesantren.
Kedua aspek ini penting diperhatikan secara serempak untuk
mendapatkan gambaran yang utuh mengenai corak pembaruan
pendidikannya seperti diusahakan. Untuk maksud ini, tinjauan
pertama-tama diarahkan pada biografi KH. Hasyim Asy’ari, kemudian
dikaji secara cermat kondisi pesantren awal Abad ke-20, usaha
pembaruan pendidikannya, karakterstik pemikiran pendidikan dan
kontribusinya bagi pengembangan madrasah di tanah air secara
keseluruhan.

Kondisi Pesantren Awal Abad ke-20

Menurut catatan sejarah, proses penyebaran Islam di Indonesia


pada mulanya berpusat di kota-kota pelabuhan; para pemeluk
pertamanya mencakup para pedagang, disusul orang-orang kota
lainnya, dari lapisan atas hingga bawah.6 Dengan jatuhnnya pusat-
pusat perdagangan kaum muslimin ke tangan bangsa Eropa pada abad
ke-16, oleh Portugis kemudian digantikan Belanda, secara perlahan
dakwah Islam beralih ke pedalaman. Proses ini mendorong
berkembangnya Islam di pedesaan, yang kemudian menghasilkan
institusi pendidikan dikenal dengan pesantren.7 Seperti apa gambaran
pesantren masa awal, tidak mudah dideskripsikan.8 Yang jelas, mereka

5
Mengenai metode ini, baca Jujun S. Suriasumantri, “Penelitian Ilmian,
Kefilsafatan, dan Keagamaan: Mencari Paradigma Kebersamaan” dalam Mastuhu
dan Deden Riswan, Tradisi Penelitian Agama Islam Tinjauan Antardisiplin Ilmu, (Bandung:
Nuansa, 1998), 44-46.
6
Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit Islam di Indonesia pada Masa
Pendudukan Jepang, Terjemahan Daniel Dhakidae, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), 28.
7
Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, (Bandung: Mizan,
1986), 35
8
Tentang gambaran pesantren masa awal, ada yang mengatakan, pesantren
merupakan kelanjutan dari sistem mandala di Jawa, di mana murid belajar dasar-
dasar agama sambil mempelajari mistik dari kyai bekas pendeta Hindu. Pendapat
lain menyatakan, pesantren merupakan sambungan dari sistem zawiyah dari India
atau Timur Tengah, di mana murid-murid memperoleh pengajaran agama di bawah
bimbingan guru-guru agama yang sekaligus sufi. Munculnya guru-guru Islam yang
terkenal shaleh di Jawa pada abad-abad lalu, dikenal dengan sebutan Walisongo,

Jurnal TSAQAFAH
Pembaruan Pendidikan Islam K.H. Hasyim Asy’ari 109

disebut Natsir lebih banyak memusatkan perhatiannya pada upaya


pemantapan keimanan dengan latihan-latihan ketarekatan daripada
sebagai pusat pendalaman Islam sebagai ilmu. 9 Baru belakangan
kecenderungan terakhir seperti itu muncul. Melalui pendekatan sistem
zîwiyah ini, kata Nurcholish Madjid, selain memudahkan proses
penerimaan Islam, terutama bagi masyarakat Jawa yang umumnya
mewarisi ajaran mistik Hindu-Budha, secara perlahan Islam juga dapat
turut mempengaruhi ajaran-ajaran mistik setempat, sehingga padanya
masuk perbendaharaan keislaman.10
Sejak awal abad ke-16 telah terdapat banyak pesantren mashur,
menjadi pusat pendidikan Islam, yang mengajarkan berbagai kitab
klasik, dalam bidang fiqh, teologi, dan tasawuf.11 Meski demikian,
tidak berarti pesantren dalam perkembangannya terus dalam keadaan
statis. Usahanya mengadakan semacam “pemurnian” guna
melepaskan ajarannya dari berbagai unsur luar Islam terus dilakukan,
dan mulai memperlihatkan hasilnya sejak menerima kyai-kyai bergelar
haji pada awal abad ke-18.12 Secara kelembagaan pesantren kurun ini
memang belum mengalami perubahan. Tetapi dari segi kandungan
isinya, terjadi perubahan mendasar, seperti terlihat dari diajarkan di
dalamnya ilmu-ilmu keislaman klasik, mencakup fiqh, tafsîr, târîkh,
tauhîd, dan sebagainya.13 Hal ini terjadi terutama, sejak kepulangan
para pemuda kita setelah menetap beberapa lama di Mekkah untuk
menimba ilmu, dan selanjutnya mendirikan pesantren, sepulang
mereka di kampung halaman masing-masing kira-kira seabad
kemudian. 14

gambaran terakhir tentang pesantren tampaknya lebih mendekati kenyataan. Lihat


S. Soebardi, “Islam di Indonesia” Prisma, (Nomor Ekstra, 1978), 67; Nurcholish Madjid,
Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), 56.
9
M. Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia, (Bandung: Bulan Bintang, 1969), 21.
10
Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, 56
11
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, 34.
12
Ibid.
13
Clifford Geertz, “Modernization in Moslim Society: The Indonesian Case”,
dalam Robert N. Bellah, Religion and Progress in Modern Asia, (New York: Free Press,
1965), 99-100.
14
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten, (Jakarta: Pustaka Jaya,
1984), 223-24.

Vol. 8, No.1, April 2012


110 Mahrus As’ad

Dengan meningkatnya mutu pengetahuan para guru dari hasil


belajar di Makkah, pesantren dengan sendirinya mengalami
peningkatan mutu maupun kuantitas, sehingga berhasil mengundang
lebih banyak murid. 15 Setelah beberapa lama, struktur
kelembagaannya pun mengalami perluasan, menyusul munculnya
alumni dalam jumlah banyak, yang turut mempelopori
penyelenggaraan berbagai bentuk pengajaran di langgar-langgar
(surau), di masjid-masjid, dan di rumah-rumah pribadi. Walaupun
tidak ada data, kurun ini menunjukkan adanya kecenderungan
pertumbuhan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang cukup
menggembirakan. 16
Namun, sejak berakhirnya Perang Jawa 1825-1830, kualitas
pesantren terus mengalami kemunduran.17 Penyebabnya antara lain
adanya berbagai pembatasan dari pemerintah Belanda terhadap
pesantren. Sebab, selama perang, diketahui banyak pesantren yang
beralih fungsi menjadi kubu pertahanan bagi para pemberontak di
bawah pimpinan Diponegoro. 18 Jika hal ini dibiarkan, akan
membahayakan pihak Belanda, terbukti dengan munculnya
serangkaian pemberontakan yang melibatkan para kyai dan haji antara
1830-1847, 19 yang terus menjalar ke berbagai wilayah utara Jawa,
hingga terjadinya pemberontakan Cilegon pada 188820 yang telah

15
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, 39.
16
Ibid, 39.
17
I.J. Brugmans, “Politik Pengajaran” dalam H. Baudet dan I.J. Brugmans,
Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan, Terjemahan Amir Sutaargo, (Jakarta: Yayasan
Obor, 1987), 176.
18
Peter Caray dalam ceramahnya berjudul Kaum Santri dan Perang Jawa di
depan rombongan dosen IAIN di Universitas Oxford Inggris pada 10 april 1979
menemukan lebih dari 150 orang kyai dan haji yang turut berperang bersama
Diponegoro. Padahal sebelumnya hubungan antara satri dan kraton tidak begitu
baik. Baca Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 30.
19
Salah satu perlawanan kalangan pesantren adalah seruan kyai Kalasan
Jawa Tengah pada 1832 kepada Raja Surakarta dan Yogyakarta untuk mengambil
inisiatif memimpin “perang suci” menentang Belanda.Alwi Shihab, Membendung Arus
Respon Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung:
Mizan, 1998), 209.
20
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan, 224.

Jurnal TSAQAFAH
Pembaruan Pendidikan Islam K.H. Hasyim Asy’ari 111

membawa trauma bagi pihak Belanda. Dan hal itu terbukti. Segera
setelah pemberontakan Cilegon ditumpas, pemerintah Belanda
mengambil kebijakan dengan menempatkan pesantren di bawah
pengawasan ketat. 21
Strategi yang diterapkan pemerintah Belanda memang berbeda-
beda antara satu daerah dengan daerah lainnya; mulai dari menguji
calon-calon guru, mengeluarkan ijin mengajar, mewajibkan
pendaftaran murid, melakukan sensor terhadap buku-buku yang
dibawa dari luar negeri, hingga pengejaran terhadap guru-guru agama
(kyai). Untuk yang terakhir ini, bahkan, pemerintah meminta para
bupatinya melaporkan daftar guru di daerah masing-masing setiap
tahun.22 Sebelum peristiwa Cilegon, serangkaian pengawasan terhadap
urusan kaum muslimin digalakkan, antara lain Ordonasi Haji 1859
yang mengatur ibadah haji, Instruksi Pemerintah 1867 menyangkut
ketertiban umum, hingga pembentukan Peradilan Agama
(Priesterraden) pada 1882, sebagai upaya mengawasi segala urusan
menyangkut agama Islam, termasuk pesantren.23 Untuk keperluan
itu, pemerintah menempatkan seorang penasehat khusus Snouck
Hurgronje,24 untuk menyelidiki kegiatan jemaah haji dan muqîmîn
Indonesia di Mekkah, yang dikatakannya sebagai “berfungsi seperti
darah segar yang dipompakan ke seluruh tubuh kaum Muslim di
Indonesia”.25

21
H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1996), 179-181.
22
Karel A. Steenbrink, Kawan dalam Pertikaian Kaum Kolonial Belanda dan Islam di
Indonesia (1596-1942), (Bandung: Mizan, 1995), 106-120.
23
H. Aqib Suminto, Politik Islam, 29-30.
24
Snouck Hurgronje datang ke Indonesia pada 1889, membawa kebijaksanaan
mengenai masalah Islam dengan lebih jelas, hingga secara relatif berhasil
menurunkan ketakutan pemerintah terhadap Islam, agama sebagaian besar
penduduk pribumi. Ditegaskannya bahwa Islam tidak mengenal lapisan
kependetaan seperti Kristen: kyai tidak apriori fanatik; penghulu bawahan
pemerintah pribumi, dan bukan atasannya; ulama bukanlah komplotan jahat,
mereka hanya menginginkan ibadah; dan pergi haji ke Mekkah pun bukan berarti
fanatik berjiwa pemberontak. Harry J. Benda, The Crescent and the Rising Sun, (The
Hague, 1958), 21.
25
Christian Snouch Hurgronje, Mekka in the Latter Part of the 19th Century,
(Leiden: E.J. Brill, 1931), 291.

Vol. 8, No.1, April 2012


112 Mahrus As’ad

Menurut persepsi pemerintah, setiap pemberontakan berawal


dari para haji dan pimpinan pesantren yang mempunyai basis massa
yang kuat. Atas dasar itu, pemerintah pada 1904 mendirikan Kantoor
van Inlandsch Zaken, yang salah satu fungsinya mengawasi gerak-gerik
pesantren.26 Setahun kemudian, muncul Ordonasi Guru 1905, yang
diperbarui pada 1925.27 Dari kebijakan ini, pesantren paling banyak
dirugikan. Selain kekurangan literatur sebagai bahan ajar dan kajian,
gerak-gerik guru-gurunya juga dibatasi, sehingga mengakibatkan
aktifitas belajar-mengajar terganggu. Terlebih lagi pada masa ini
merupakan hal biasa bagi guru-guru tersebut memberikan pengajaran,
selain di pesantren sendiri, di pesantren-pesantren milik para
koleganya yang tempatnya berjauhan. Kebiasaan ini sebenarnya telah
terjalin lama, bahkan sejak periode Walisongo. Pembatasan tersebut
menyebabkan makin renggangnya hubungan mereka, yang berarti
pengembangan keahlian dalam keilmuan tertentu pada sebuah
pesantren juga makin terganggu. Singkatnya, seperti dikatakan
Azyumardi Azra, kebijakan pemerintah kolonial yang represif
menjadikan pendidikan Islam, khususnya pesantren, mengalami
setback. 28
Dalam pada itu, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam
juga tengah menyaksikan usaha pembaruan pendidikan, dimotori
kalangan reformis, yang menjadikan dirinya sendiri sebagai target
utamanya.29 Menurut mereka, pesantren selain dinilai heterodok dan
ketinggalan jaman, tidak lagi efektif untuk meningkatkan kualitas
pendidikan umat. Karena itu perlu diganti dengan lembaga baru yang
lebih cocok dan islami serta terorganisir secara formal, yang kemudian
disebut “madrasah”. 30 Memasuki abad ke-20 Jawa menyaksikan

26
Karel A. Steenbrink, Kawan dalam Pertikaian, 120-126.
27
H. Aqib Suminto, Politik Islam, 184.
28
Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Ciputat:
Logos Wacana Ilmu, 1999), 145.
29
Azyumardi Azra, “Pembaruan Pendidikan Islam..”, 2.
30
Penamaan “madrasah” sebagai lembaga pendidikan baru dimaksudkan
sebagai upaya Islamisasi pesantren yang dinilai heterodok, karena di dalamnya
mengandung unsur Hindu-Budha. Secara kelembagaan ia merupakan antitesa bagi
sistem pendidikan tradisional Islam dan adaptasi dari sistem persekolahan yang
diperkenalkan Pemerintah Kolonial. Inovasi paling menonjol darinya mencakup

Jurnal TSAQAFAH
Pembaruan Pendidikan Islam K.H. Hasyim Asy’ari 113

munculnya eksperimen pembaruan pendidikan Islam dengan


memperkenalkan madrasah model baru yang diselenggarakan
kalangan reformis, secara perorangan maupun organisasi. Kemunculan
mereka, tak pelak lagi, menimbulkan rekasi di kalangan pesantren,
karena selain telah mengundang banyak murid, juga dipandang -
meminjam istilah McVey- sebagai langkah awal menuju sekularisme,31
yang pada gilirannya dapat mengganggu harmoni tradisi umat, yang
selama ini dijaga dan dilestarikan pendidikan Islam, khususnya
pesantren.32
Secara istilah, madrasah yang dikembangkan kaum reformis
bisa disebut lembaga pendidikan Islam baru di tanah air, tetapi dari
segi substansi tidaklah demikian, karena sesungguhnya madrasah
tersebut dapat dikatakan hanyalah kopi dari sekolah-sekolah
pemerintah kolonial (Belanda) yang terlebih dahulu dibuka, sejak
pertengahan kedua abad ke-19. Sekolah-sekolah Belanda ini terbukti
tidak mampu mewadahi tuntutan dan kebutuhan pendidikan rakyat,
terutama kaum muslimin, yang terus meningkat. 33 Sementara
penyelenggaraan pendidikan pesantren sendiri sejauh ini belum
bergeming dari “pusaran”nya yang melulu berorientasi agama dalam
arti sempit.34

pengajaran ilmu-ilmu umum, pengelompokan belajar berdasar tingkatan (kelas),


pola penggunaan buku ajar dan jam-jam sekolah, sistem penilaian/ujian, ijazah,
sekolah harian (tak berasrama), serta pendidikan kaum wanita. Pengajaran agama
diberikan; akan tetapi, porsinya sangat sedikit dengan menggunakan metode baru.
Ciri-ciri lainnya adalah digunakannya alat-alat pendidikan modern, seperti bangku,
papan tulis, dan sebagainya, di samping pengajaran bahasa Eropa. Clifford Geertz,
“Modernization in Moslim Society”, 100-101. Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung:
Mizan, 1995), 153. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta:
LP3ES, 1988), 95.
31
Ruth T. McVey, “Taman Siswa and The Indonesian National Awakening”
dalam Indonesia, Vol. I (April), 1967, 133.
32
KH. Abdul Muchith Muzadi, “Dari nDandakna Awak sampai nDandakna Bangsa:
sebuah Kesaksian, dalam Marzuki Wahid, dkk., Geger di Republik NU: Perebutan Wacana,
Tafsir Sejarah, Tafsir Makna (Jakarta: Kompas-Lakpesdam NU, 1999), 307-308.
33
Lihat Cornelis Fasser, The Politics of Colonial Exploitation, (Ithaca New York,
Cornell University, 1992), 17; Ki Suratman, “Perjalanan Sekolah Taman Siswa” dalam
Prisma, No.9 (September), 1983, 41.
34
Kat Angelino, Colonial Policy, (Nijhoff: The Hague Martinus, 1931), Vol. II. h. 194.

Vol. 8, No.1, April 2012


114 Mahrus As’ad

Singkatnya, pendidikan Islam, khususnya pesantren, tengah


menghadapi dua tantangan besar yang berasal dari dirinya sendiri serta
dari luar. Kondisi pendidikan Islam seperti ini jika dibiarkan tentu
saja tidak akan membawa keuntungan bagi masa depan generasi
muslim sendiri, karena tidak akan mampu melahirkan kader-kader
pemimpin masa depan yang berpandangan luas, yang mampu
membimbing umat dalam menghadapi kondisi masyarakat baru yang
sedang tumbuh. Kondisi inilah yang mendorong Hasyim Asy’ari
mengupayakan berdirinya sebuah pesantren model baru, yang
kemudian lebih dikenal dengan Pesantren Tebuireng.35

Usaha Pembaruan Pendidikannya

Untuk memahami arah pembaruan pendidikan KH. Hasyim


Asy’ari tidak cukup hanya memfokuskan diri pada dan membaca
secara tektual pokok-pokok pikiran pendidikannya seperti tertuang
dalam bukunya Adâb al-‘Âlim wa al-Muta’allim. 36 Sebab bila
demikian, kesimpulan yang dihasilkan bisa jadi kontradiktif dengan
pandangan dan perilaku KH. Hasyim Asy’ari sendiri selama memimpin
pesantren Tebuireng bersama para stafnya hingga akhir hayatnya. Juga
tidak bisa dilakukan hanya dengan memperhatikan perilaku
kependidikannya di pesantrennya Tebuireng, yang terkesan lebih
banyak memberikan kesempatan berinovasi kepada para pembantu
dekatnya. Cara pandang seperti tentu saja bisa menghasilkan
kesimpulan yang menyesatkan, karena usaha pembaruan pendidikan
di pesantren Tebuireng bisa diklaim sebagai hasil kerja stafnya, oleh
karena mereka yang lebih mendapatkan perhatian.37
Perlu diketahui KH. Hasyim adalah sosok kyai pendidik sekaligus
manajer yang handal. Sebagai pendidik hampir seluruh waktunya

35
Saifullah Ma’shum, Kharisma Ulama, 76.
36
Contoh dalam hal ini diperlihatkan Dr. Samsu Nizar dalam bukunya Filsafat
Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Press, 2002),
155-168.
37
Tidak sedikit penulis terjebak dalam posisi seperti ini, bisa disebut antara
lain Karel A. Steenbrink dalam bukunya Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam
dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1974).

Jurnal TSAQAFAH
Pembaruan Pendidikan Islam K.H. Hasyim Asy’ari 115

didedikasikan untuk mengajar, di samping menulis, serta memimpin


pesantren Tebuireng sejak awal didirikan. Para stafnya adalah
pelaksana yang diberikan tanggung jawab mengenai operasional
pondok; namun, seluruh kebijaksaaan pendidikannya sepenuhnya
tetap berada di tangannya sebagai pemimpin tertinggi di pesantren.
Apapun yang dilakukan para stafnya tentu saja atas seizinnya. Dan ini
terbukti dengan kasus terkait anaknya sendiri Wahid Hasyim yang
tidak sepenuhnya dapat mewujudkan semua gagasannya bagi
perubahan pesantren ayahnya. Atas dasar ini, perlu diadakan
peninjauan komprehensif dari aspek pemikiran pendidikannya
maupun berbagai aktifitasnya dalam mengusahakan pembaruan
pesantrennya.
Untuk mengetahui seperti apa pembaruan pendidikan KH.
Hasyim Asy’ari perlu diadakan kajian secara cermat dari awal karirnya
di bidang pendidikan, khususnya sejak pembukaan Pesantren
Tebuireng. Seperti diketahui, pesantren ini dirikan pada 1899, dan
tampaknya sengaja dirancang dan dipersiapkan sebagai semacam
“pilot project” dalam rangka perbaikan kondisi pendidikan pesantren
di di masanya. Hal ini dapat diketahui dari keinginan Hasyim sejak
awal, yang kemudian terwujudkan, untuk membangun pesantrennya
tersendiri, yang terpisah dan berbeda dari milik ayah dan kakeknya
serta pesantren-pesantren lain yang sudah ada di sekitar Jombang,
dengan sistem yang lebih terbuka terhadap perubahan.38 Dalam hal
penggunaan metode pembelajaran, misalnya. Pada umumnya
pesantren dalam hal ini bertumpu pada metode sorogan dan
bandongan. Akan tetapi, di pesantren Tebuireng penggunaan kedua
metode ini tidak dominan sejak awal (1899-1916). Yang kemudian
dikembangkan justru penggunaan metode musyawarah, mirip sistem

38
Di sekitar Pesantren Gedang tempat pertama KH. Hasyim Asy’ari
mengajar, telah berdiri banyak pesantren, di antaranya yang terkenal Pesantren
Tambak Beras dan Denanyar. Di Jombang sendiri juga telah banyak pesantren lain,
seperti Pesantren Sambang, Pesantren Sukopuro, Pesantren Paculgoang, Pesantren
Watugaluh, Pesantren Gayam, Pesantren Suaru, Pesantren Bolongrejo, Pesantren
Kuaringan, Pesantren Wonokoyo, Pesantren Balonggadung, Pesantren Pojok Kulon,
Pesantren Rejoso, Pesantren Dukuhsari, Pesantren Seblak, dan masih banyak lagi.
Aboebakar, Sedjarah Hidup, 74, 18.

Vol. 8, No.1, April 2012


116 Mahrus As’ad

seminar di perguruan tinggi sekarang, karena dianggap lebih cocok


untuk para santrinya yang dari segi tingkatan mereka sudah senior.
Konon mereka sedang dipersiapkan menjadi tenaga penopang bagi
usaha perbaikan pendidikan yang akan dijalankannya, dalam jangka
pendek maupun jangka panjang, mengingat masih langkanya tenaga
yang bisa diharapkan untuk maksud tersebut pada saat itu. Dan ini
terbukti segera setelah masuknya sejumlah guru muda, lewat mereka
kemudian berbagai inovasi pembelajaran diperlihatkan secara bertahap
di dalamnya menuju reformasi pendidikan yang diinginkan.
Sejak diangkatnya Kyai Ma’shum, menantu KH. Hasyim sendiri,
sebagai pimpinan pondok pada 1916, pembaruan tahap pertama di
pesantren Tebuireng dimulai dengan memperkenalkan sebuah model
kelembagaan baru berbentuk madrasah, yang diberi nama Madrasah
Salafiyah. Hingga 1919 madrasah ini sepenuhnya masih berkurikulum
diniyah, yang hanya mengajarakan ilmu-ilmu agama saja. Yang
diperbarui adalah sistem pembelajarannya, yang disusun secara
bertingkat dalam 7 kelas, dibagi ke dalam dua jenjang. Tahun pertama
dan kedua dinamakan sifr awwâl dan sifr tsânî, sebagai madrasah
persiapan sebelum memasuki jenjang kedua, madrasah 5 tahun
berikutnya. Untuk memudahkan penguasaan bahasa Arab, karena
bahasa ini sebagai bahasa sumber pelajaran, Kyai Ma’shum
mengembangkan pendekatan pembelajaran baru, disebut pendekatan
morfologi (sharaf), yang dengannya pemahaman formasi kosakata
sebagai basis pemahaman teks bahasa Arab, mendapatkan perhatian.
Buku karangnya mengenai hal ini hingga kini masih menjadi pegangan
utama dalam pembelajaran bahasa Arab di pesantren.39
Pada 1919 madrasah mengadakan perombakan kurikulumnya
dengan memberlakukan kurikulum campuran, yang memberikan
pengajaran pengetahuan umum, di samping ilmu-ilmu agama yang
sudah ada, mencakup bahasa Indonesia (Melayu), matematika, dan ilmu
bumi, yang kesemuanya ditulis dengan huruf Latin.40 Pada 1926 hal
yang sama juga dilakukan dengan penambahan pengajaran bahasa

39
Buku itu berjudul Al-Amtsilât al-TaÎrifiyat yang sejak 1965 diterbitkan oleh
Penerbit Salim Nabhan Surabaya.
40
Aboebakar, Sedjarah Hidup, 85.

Jurnal TSAQAFAH
Pembaruan Pendidikan Islam K.H. Hasyim Asy’ari 117

Belanda dan sejarah, menyusul masuknya Kyai Ilyas, santri dan


keponakan KH. Hasyim Asy’ari sendiri, yang alumni HIS Surabaya,
menjadi tenaga pengajar. Sejak 1934, program madrasah 5 tahunnya
diperpanjang lagi masa belajarnya menjadi 6 tahun, sama dengan
Madrasah Ibtidaiyah sekarang, Alasannya bisa jadi karena semakin
meluasnya cakupan kurikulum di dalamnya, dengan masuknya ilmu
pengetahuan umum.41
Kesediaan KH. Hasyim mengadakan perombakan kurikulum
madrasahnya dengan memasukkan pengetahuan umum ke dalamnya,
sepertinya bukan karena mengikuti trend, yang ketika itu dunia
pendidikan Islam di tanah air memang tengah menyaksikan gelora
pembaruan. Perombakan kurikulum tersebut sudah diantisipasi
sebelumnya dengan dimasukkannya guru-guru muda, seperti Kyai
Ma’shum yang berlatar belakang pendidikan Mekkah dan Kyai Ilyas yang
berlatar belakang HIS, untuk menjadi guru sekaligus pimpinan
administratifnya. Tindakan seperti ini dapat diartikan sebagai kritik
internal atas praktek pendidikan di pesantren/madrasah yang selama ini
hanya menggeluti ilmu-ilmu keagamaan saja, melenjutkan tradisi
madrasah di masa lampau, yang tentu saja sudah tidak sesuai lagi dengan
kondisi dan kebutuhan pendidikan modern. Tanpa perlu menabuh
genderang pembaruan keras-keras, KH. Hasyim menyadari betul akan
pentingnya reformasi kurikulum dengan mengembalikan ilmu-ilmu
umum (duniawi) yang selama ini dianggap bukan bagian dari ilmu agama
ke dalam wadah tunggal,42 melengkapi ilmu-ilmu agama yang telah ada,
karena Islam sesungguhnya tidak mengenal konsep pemisahan ilmu
seperti itu. Islam hanya mengenal satu jenis ilmu yang kemudian
berkembang biak menghasilkan berbagai cabang, sesuai dengan misi
sucinya membantu manusia menjalankan peran kekhlaifahannya di
bumi. 43 Lewat pembaruan kurikulumnya, KH. Hasyim Asy’ari
sepertinya ingin mengingatkan kalangan pendidikan Islam umumnya,
khususnya pesantren, mengenai pentingnya menhimpun kembali

41
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren., 104.
42
Lihat Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas tentang Tansformasi Intelektual,
terjemahan Ahsin Muhammad (Bandung: Pustaka, 1995).
43
Muhammad Hasyim Asy’ari, Adâb al-‘Âlim wa al-Muta’alim, 12.

Vol. 8, No.1, April 2012


118 Mahrus As’ad

ilmu-ilmu tersebut dalam satu kurikulum yang padu dalam


kelembagaan pesantren untuk membendung pengaruh dikotomi ilmu
yang tengah dipromosikan pemerintah kolonial dengan sekolah-
sekolah yang mereka kembangkan.44 Kalau kemudian kandungan
isinya terjadi perluasan, konsekwensinya, seperti sudah dilakukan,
perlu diadakan penyesuaian pada aspek kelembagaannya.
Dalam soal metode pembelajaran, khususnya bahasa Arab,
sebagai bahasa materi ajar, KH. Hasyim Asy’ari juga merasa perlu
melakukan koreksi dengan memperkenalkan model pembelajaran
aktif di madrasahnya. Pendekatan baru ini memungkinkan santri
menguasai bahasa Arab secara tulisan dan lisan, selain kepandaian
membaca kitab-kitab berbahasa Arab dan menerjemahkannya ke
dalam bahasa daerah (Jawa), seperti selama ini ditekankan.45 Model
pembelajaran bahasa secara aktif pada saat itu memang belum lazim
berlaku di lingkungan pesantren. 46 Yang dipakai, disesuaikan
kepentingannya, adalah model pembelajaran bahasa Arab, istilah
teknisnya, grammar translation method (metode nahwu-tarjamah),
yang tekanannya pada penguasaan kaidah-kaidah kebahasaan, lewat
mana santri harus menghafalkan sekian banyak aturan-aturan
kebahasaan, sebagai bekal menerjemahkan teks-teks Arab.
Menggunakan buku-buku fak yang cakupannya disusun secara
hirarkis sesuai kemampuan santri, keunggulan metode ini terletak
pada kekuatannya dalam memaknai teks, sebaliknya lemah dalam
membekali santri kemampuan berkomunikasi lisan dan tulisan.
Untuk menumbuhkan keterbukaan wawasan, KH. Hasyim
membolehkan stafnya, terutama Kyai Ilyas, memasukan buku-buku
umum serta surat-surat kabar dan majalah dari berbagai penerbitan
ke dalam madrasah, setelah yang bersangkutan diangkat menjadi

44
Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, (Ciputat:
Logos Wacana Ilmu, 1999), 145.
45
Marwan Saridjo, dkk., Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, (Jakarta: Dharma
Bhakti, 1979), 97.
46
Model pembelajaran bahasa Arab secara aktif mulai popular di lingkungan
pendidikan Islam, khususnya pesantren, setelah dipromosikan Pondok Gontor
(Ponorogo) pada dekade 1930-an. Lihat Ali Saifullah HA, “Darrussalam Pondok Mod-
ern Gontor”, dalam M. Dawam Rahardjo, Pesantren dan Pembaruan, (Jakarta: LP3ES,
1985), 134-154.

Jurnal TSAQAFAH
Pembaruan Pendidikan Islam K.H. Hasyim Asy’ari 119

kepala madrasah pada 1928, menggantikan Kyai Ma’shum yang


diserahi tugas memimpin pesantren putri Seblak.47 Dengan jalan ini,
para santri dan orang tuanya serta para pendidik lain (ulama) yang
datang ke pesantren ini dapat memperoleh informasi sebanyak
mungkin tentang berbagai bidang umum dari dalam maupun luar
negeri. Ini menunjukkan bahwa usaha pembaruan, dalam hal ini
pendidikan Islam, tidak bisa dilakukan secara sepihak, institusi yang
bersangkutan saja, tetapi tak kalah pentingnya adalah masyarakat
pengguna serta pihak-pihak terkait yang secara langsung menjadi
stakeholdernya. Singkatnya, transformasi ide-ide harus melibatkan secara
intens dengan audiens. Dan proses seperti ini di pesantren Tebuireng
semakin meningkat sejak Wahid Hasyim, putra tertua KH. Hasyim, yang
dikenal agak liberal dan progresif, menjadi tenaga pengajar dan membuka
perpustakaan di dalamnya pada 1934.48
Beberapa gagasan inovatif Wahid muncul antara 1932-1933,
mencakup, pertama, mengenai perlunya revisi secara lebih luas dan
mendasar atas kandungan kurikulum madrasah yang dianggap masih
didominasi ilmu-ilmu keagamaan, melalui penambahan porsi
pengetahuan umumnya, mengingat kian meningkatnya kebutuhan
santri akan keahlian-keahlian terkait dengannya di luar ilmu-ilmu
keagamaan di masyarakat. Kedua, sebagai konsekwensi dari yang
pertama, perlunya diadakan pengurangan atas materi-materi ajar
berbahasa Arab, terutama ilmu-ilmu agama, karena dalam
pandangannya bahwa tujuan sebagian besar santri yang belajar di
pesantren tidak lagi untuk menjadi ulama. Karena itu, sudah cukup
bagi mereka dengan mengikuti latihan kehidupan beberapa bulan di
pesantren dan mempelajari Islam lewat bahasa Indonesia, dan akan

47
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, 104.
48
Perpustakaan Wahid Hasyim ini, selain mengoleksi 1.000 judul buku,
kebanyakan buku-buku agama Islam, juga berlangganan majalah dan surat kabar
antara lain Panji Islam, Dewan islam, Islam Bergerak, Berita Nahdlatul Ulama, Adil Nurul
Islam, Al-Munawarah, Panji Pustaka, Pustaka Timur, Pujangga Baru, dan Penyebar Semangat.
Ketujuh yang disebut pertama diterbitkan oleh berbagai organisasi Islam di 1930-
an, baik modern maupun tradisionalis. Keempat yang terakhir diterbitkan oleh
kalangan “Nasionalis”. Dari keseluruhan publikasi, hanya Berita Nahdlatul Ulama
saja, yang secara tegas mewakili pandangan kaum tradisionalis. Zamakhsyari
Dhofier, Tradisi Pesantren, 106.

Vol. 8, No.1, April 2012


120 Mahrus As’ad

lebih bermanfaat bila waktu mereka diperbanyak untuk menekuni


berbagai pengetahuan (umum) dan ketrampilan. Ketiga, menyangkut
perlunya penggantian metode bandongan dengan sistem tutorial yang
sistematis guna lebih mengembangkan karakter satri.49
Gagasan Wahid ini ternyata tidak semua dapat direspon ayahnya,
karena dikhawatirkan dapat menimbulkan distorsi di antara pimpinan
pesantren, yang ketika itu memang belum bisa sepenuhnya menerima
pembaruan. Mengapa? Setidaknya ada dua alasan mendasar yang
perlu dipertimbangkan. Pertama, terkait dengan kepentingan dakwah,
lewat mana para kyai berkeharusan untuk mempertahankan dasar-
dasar dan tujuan pendidikan pesantren, yang pada prinsipnya tidak
lain untuk menyebar-luaskan pengaruh ajaran agama Islam. Kedua,
alasan praktis menyangkut belum-siapnya pesantren menerima
pembaruan secara total, karena belum tersedianya sumberdaya
manusia yang dapat memenuhi kebutuhan pengajaran cabang-cabang
ilmu umum.50 Untuk kedua alasan ini tidak ada jalan lain kecuali usaha
pembaruan tersebut harus dilakukan secara bertahap, sambil
mempersiapkan berbagai perangkat yang diperlukan. Sebagai
gantinya, Wahid diperbolehkan membuka madrasah tersendiri,
sebagai “terobosan”, yang kemudian diberi nama Madrasah
Nizamiyah, sama dengan nama madrasah masa klasik yang
pendiriaannya disponsori oleh perdana menteri Saljuk Nizîm al-Mulk
(w. 1092 M). Dengan nama itu, sepertinya ada maksud Wahid Hasyim
ingin menujukkan pada khalayak Muslim di massanya bahwa sistem
pembelajaran di madrasahnya telah dimodernisasi dan diorganisir
secara teratur (nidhâm). Hal ini dapat dilihat, antara lain dari segi
struktur kurikulumnya, yang untuk ukuran jamannya, madrasah
Wahid bisa jadi sangat progresif, terlebih untuk lingkungan pesantren.
Mengapa? Karena selain bersifat campuran, kurikulum tersebut
memberikan prosi lebih besar untuk pengajaran mata pelajaran
umum, bahkan hingga 70 persen dari keseluruhan programnya,
seperti yang kemudian diadopsi dan dikembangkan pemerintah
untuk madrasah kita sejak 1975.

49
Ibid., 105.
50
Ibid., 39.

Jurnal TSAQAFAH
Pembaruan Pendidikan Islam K.H. Hasyim Asy’ari 121

Suatu kelaziman bahwa yang namanya pembaruan atau


perubahan selalu mendatangkan resistensi dari kelompok masyarakat
yang menentangnya. 51 Begitu juga dengan usaha pembaruan
pendidikan di pesantren Tebuireng. Perlawanan dan protes muncul
selain dari kalangan pendidik pesantren, juga dari para orang tua santri
sendiri, yang karena tidak menyetujuinya kemudian memindahkan
anak-anak mereka ke tempat lain. Sikap konservatifisme pada
umumnya masyarakat pesantren akarnya bisa dilacak sejak
kedatangan bangsa Eropa (Belanda) yang membuka dan
mengembangkan sistem pendidikan sendiri dalam bentuk sekolah
dan sama sekali mengabaikan pendidikan kaum muslim (pribumi).
Semangat anti penjajah yang dinilainya kafir di kalangan pesantren
awal ditujukkan dengan sikap penjauhan diri mereka dari segala atribut
yang berbau Eropa, termasuk sistem pendidikannya. Adagium man
tasyabbaha biqaumin fahuwa minhum, “barangsiapa menyerupai suatu
kaum (bangsa) maka orang tersebut sesungguhnya sama dengan
mereka”, tampaknya masih sangat kuat dipegangi mereka.52
Namun, semua ini tidak menghalangi ijtihâd Kyai Hasyim dan
usahanya untuk terus mendorong para stafnya berinovasi dengan
mengadakan berbagai perbaikan dan penyempurnaan pesantrennya,
meskipun harus mengambil referensinya dari luar. Sebab ia yakin betul
bahwa hanya dengan jalan itulah kaum Muslim bisa bangkit kembali.
Pada periode berikutnya pesantren Tebuireng menyaksikan usaha
pengembangan kurikulum, dengan memberikan para santri
pengalaman-pengalaman belajar baru, yang sekarang lazim disebut
ekstra kurikuler, dengan memasukkan berbagai kursus, seperti pidato,
bahasa Belanda dan bahasa Inggris, serta mengetik. Kursus-kursus
seperti ini, tentu saja, termasuk hal yang asing di lingkungan pesantren
waktu itu; adanya baru di sekolah-sekolah (kejuruan) milik
pemerintah. Pemberian pelajaran ekstra kurikuler ini diharapkan kelak
bisa menjadi bekal bagi santri dalam memasuki kehidupan modern

51
Pembahasan mengenai reaksi masyarakat pada umumnya terhadap
pembaruan atau perubahan dalam bidang pendidikan, dapat dibaca antara lain
Francis P. Hunkins, Curriculum Development: Program Improvement, (London: Bell & Howell
Company, 1980), 42-51.
52
Aboebakar, Sedjarah Hidup, 85-86.

Vol. 8, No.1, April 2012


122 Mahrus As’ad

yang mulai “menyerang” masyarakat kita. Eksperimen pendidikan


yang dipimpin KH. Hasyim Asy’ari ini ternyata membawa hasil positif
bagi para santrinya setelah terjun di masyarakat,53 sehingga lama-
kelamaan bisa diterima secara luas. Hal ini terbukti dengan makin
banyaknya jumlah santri yang masuk: mulai dengan 28 orang pada
1899 menjadi lebih 200 orang menjelang 1910-an, dan melonjak
hampir 2.000 orang santri pada 10 tahun berikutnya.54
Menarik bahwa pembaruan pendidikan (Islam) yang
dilancarkan KH. Hasyim Asy’ari tetap menggunakan basis pesantren
sebagai titik pijaknya, tidak seperti yang digalakkan kalangan muslim
reformis yang dengan tegas menolak keberadaan pesantren.
Pembaruan Hasyim Asy’ari bahkan dapat dikatakan tidak menggeser
sedikitpun fondasi kelembagaan pesantren sebagai lembaga
pendidikan Islam tradisional, kecuali dalam hal perbaikan sistem
pengelolaan dan perluasan kelembagaan serta materi pendidikannya.
Pengajian model lama, yang menjadi salah satu kekuatan dan kekhasan
pesantren sebagai lembaga tafaqquh fi al-dîn, bahkan hingga kini, yang
berorientasi pada penguasaan materi kitab-kitab klasik, di samping
aktifitas keagamaan lainnya dalam kehidupan pesantren, tetap
berlangsung seperti sediakala. Subjek materinya masih seperti
sediakala mengenai fiqh, tafsîr, dan ilmu hadîs, dengan mana KH.
Hasyim sendiri memang dikenal sebagai ahlinya dalam ilmu-ilmu
tersebut. Namun, penting untuk diperhatikan bahwa pengajaran KH.
Hasyim khusus untuk tafsîr dan hadîs sesungguhnya merupakan hal
baru di lingkungan pesantren, yang pada awal abad ke-20 kedua

53
Hasil dari usaha pembaruan pendidikan Kyai Hasyim ini lebih terasa setelah
beberapa tahun kemudian, teruama di masa Jepang, yang melarang surat-menyurat
selain dengan huruf Latin. Ketika itu banyak yang alumni Pesantren Tebuireng
tertolong karena mempunyai kemampuan membaca dan menulis dalam huruf
Latin. Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang kemudian terpilih menjadi anggota
Sangi Kai (semacam DPRD tingkat karesidenan), karena memiliki pengetahuan
umum dan kemampuan berbahasa Indonesia, di samping pengetahuan agama
tentunya. Sebagai contoh, seperti apa yang dituturkan oleh seorang alumni
Tebuireng, bernama Ahmad Jufri, kepada Kyai Ilyas, seperti dikutip Marwan Saridjo,
katanya: “Coba lihat Kyai, kalau kita dulu tidak belajar huruf Latin dan Bahasa
Indonesia, tentu kita tidak dapat berbuat apa-apa dalam masa pemerintahan Jepang
ini.” Baca Marwan Saridjo, dkk., Sejarah Pondok, 96.
54
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren., 106.

Jurnal TSAQAFAH
Pembaruan Pendidikan Islam K.H. Hasyim Asy’ari 123

cabang ilmu ini tengah dipromosikan dan lebih banyak diminati


kalangan reformis, karena slogan mereka yang menginginkan kembali
kepada kedua sumber utama ajaran Islam tersebut.55 Pada bulan puasa
KH. Hasyim menyelenggarakan kuliah khusus mengenai hadis Bukhârî
dan Muslim, dua kitab hadis yang paling banyak digunakan sebagai
referensi kaum muslimin. Pesertanya kebanyakan para kyai dan
alumni sendiri. Tujuannya, selain mengambil berkah (tabarruk), juga
untuk menjalin silaturahim dengan sang guru dan almamater.56
Demikianlah, sepeninggal KH. Hasyim (1947) tradisi
pembelajaran seperti itu tetap berjalan di bawah asuhan para
penggantinya, walaupun ada sedikit perubahan karena tuntutan
keadaan. Namun, pengajian kitab lebih diintensifkan dengan
penekanan pada peningkatan penguasaan ilmu-ilmu kebahasaan (ilmu
alat), sebelum santri memasuki pendalaman materi kitab-kitab klasik.
Berbagai inovasi berdasarkan prinsip yang digariskan KH. Hasyim
Asy’ari juga terus diupayakan. Diantaranya yang menonjol adalah
penyelenggaraan pembelajaran baru dengan sistem school day yang
lebih terorganisir dalam beberapa jenis program dan jenjang, dibuat
secara berkelas-kelas dengan gedung-gedung tertata rapih, yang
dilengkapi alat-alat pembelajaran modern. Murid-muridnya datang
dari berbagai penjuru tanah air; bahasa pengantar pembelajarannya
bahasa nasional Indonesia, di luar beberapa jenis pengajaran tertentu
yang tetap menggunakan bahasa Arab. Sejak 1950-an pesantren
Tebuireng melakukan formalisasi sebagian lembagaan pendidikannya
dengan membuka madrasah dan sekolah, guna beradaptasi dengan
kebutuhan baru di dunia pendidikan.57 Di bawah pimpinan Yusuf
Hasyim, anak terakhir Kyai Hasyim Asy’ari, inovasi lebih ditingkatkan
lagi dengan mendirikan universitas (1967), madrasah ×uffÉÐ (1971),
serta SMP dan SMA (1975) yang diselenggarakan secara ko-edukasi.

55
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat, (Bandung: Mizan,
1995), 159 dan 161.
56
Marwan Saridjo, dkk., Sejarah Pondok, 95-96.
57
Lembaga pendidikan yang dibuka adalah Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah
Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, dan Madrasah Mu’alimin (Pendidikan Guru). Khusus
Madrasah Tsanawiyah, sistem pembelajarannya dikembangkan ke dalam dua

Vol. 8, No.1, April 2012


124 Mahrus As’ad

Dewasa ini Pesantren Tebuireng tumbuh menjadi sebuah


perguruan Islam berwajah majemuk, sering dipersamakan dengan
Al-Azhar Mesir dalam skala kecil, yang menyelenggarakan tujuh jenis
program, dengan tujuan institusional masing-masing. Meskipun
demikian, kesemuanya masih tetap berada dalam sebuah bingkai
besar bernama pesantren, mencakup MTs, MA, SMP, SMA,
Mu’alimin, Ma’had ‘Aliy (Pesantren Tinggi), dan Madrasah Diniyah.58
Masing-masing unitnya beroperasi secara sendiri-sendiri pada waktu
yang berlainan; namun, pada hakekatnya mereka bersifat integratif-
komplementer, lewat mana para santri berkesempatan mengikuti
aktifitas belajar sebanyak mungkin, dengan keharusan utamanya
mengikuti program pendidikan agama di madrasah diniyah.
Tujuannya adalah untuk mendidik para santri agar dapat
mengembangkan diri menjadi apa yang sering dislogankan dengan
“ulama intelektual dan intelektuil ulama”, atau ulama yang menguasai
pengetahuan umum dan sekaligus sarjana bidang umum yang
menguasai pengetahuan Islam.59
Menurut Aboebakar, pola pembelajaran di Pesantren Tebuireng
secara umum dapat dikelompokkan ke dalam dua model: ‘âm dan
niÐhâm. 60 Pembelajaran model ‘am berbentuk pengajian pondok,
diselenggarakan tanpa mengenal pembatasan segi waktu dan jenis
keilmuan, biasanya bertempat di pendopo masjid. Sedangkan,
pembelajaran model niÐhâm diselenggarakan dalam bentuk lembaga
pendidikan formal (sekolah dan madrasah) dengan mengikuti
sejumlah aturan tertentu, baik dari pesantren sendiri maupun
pemerintah, terkait batasan waktu dan jenis keilmuan, syarat-syarat
mengikuti dan penamatan program pembelajarannya, serta cara
bergedung. Namun, keduanya tetap dalam satu sistem pendidikan
yang berinduk pada Pesantren Tebuireng. 61

model: Bagian A memberikan pengajaran agama 75% dan 25% sisanya pengajaran
umum, dan Bagian B, sebaliknya, pengajaran agamanya 25% dan 75% sisanya
pengajaran umum, disesuaikan dengan SMP Bagian B (ilmu pasti), guna memudahkan
murid-muridnya mengikuti ujian negeri. Aboebakar, Sedjarah Hidup, 95.
58
http://www.tebuireng.net ( 21 Desember 2011).
59
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren., 113.
60
Aboebakar, Sedjarah Hidup, 95.
61
Ibid.

Jurnal TSAQAFAH
Pembaruan Pendidikan Islam K.H. Hasyim Asy’ari 125

Betapapun modernisasi sistem kelembagaan pendidikan di


pesantren Tebuireng yang berlangsung belakangan dilakukan dengan
tetap sejalan dengan pemikiran KH. Hasyim Asy’ari di bidang
pendidikan Islam yang sejak awal berpandangan bahwa pesantren
sebagai lembaga pendidikan Islam keberadaannya sebagai asset umat
yang tidak boleh dipisahkan dari cita-cita dan kepentingan pendidikan
bangsa secara keseluruhan. Oleh karenanya, pesantren tidak boleh
lagi bersifat eksklusif seperti pada masa kolonial, tetapi berkomitmen
mendidik para santri selain menjadi orang-orang yang kuat ke-
Islaman-nya serta kecukupan dalam pengetahuan duniawi sebagai
bekal memasuki kehidupan modern, juga secara institusional harus
menjadi bagian dari dan turut memperkaya sistem pendidikan
nasional. Artinya secara praktis, pendidikan pesantren, dalam hal ini
Tebuireng, sebagai sub-sistem pendidikan nasional pada dasarnya tidak
mengandung perbedaan dengan yang dikembangkan pemerintah,
kecuali pada orientasi filosofisnya dan aspek kekhususan pragmatisnya
sebagai lembaga “tafaqquh fî al-dîn” par excellence, yang fokus
utamanya pada pendalaman dan pengkajian kitab kuning (klasik), guna
mengawal tetap hidupnya roh dan tradisi keilmuan ulama klasik yang
tidak mengenal dikotomi ilmu, serta berlanjutnya estafet
kepemimpinan Islam tradisional di masa modern.
Secara praktis, pendekatan pembaruan pendidikan yang
dikembangkan Kyai Hasyim, sesungguhnya ingin membawa lembaga
pendidikan Islam tradisional, dalam hal ini pesantren Tebuirengnya,
senantiasa mampu beradaptasi dengan kebutuhan lingkungan dalam
arti luas, dalam rangka menjalankan peran utamanya memberikan
peluang pendidikan yang sama kepada seluruh partisipannya, tanpa
harus memberikan sekat-sekat yang sifatnya formal. Semua ini pada
gilirannya mampu mengantarkan para alumninya tanpa perasaan
canggung dalam memasuki kehidupan real di masyarakat. Bahkan
tidak sedikit dari mereka berhasil menjalankan berbagai peran penting
di pemerintahan, dan turut andil dalam perjuangan menentukan corak
kehidupan berbangsa dan bernegara kita seperti sekarang ini.62

62
Aboebakar, Sedjarah Hidup, 98.

Vol. 8, No.1, April 2012


126 Mahrus As’ad

Karakteristik Pemikiran Pendidikan dan Kontribusinya

Tentang pemikiran pendidikan KH. Hasyim seperti tertuang


dalam bukunya Adâb al-‘Âlim wa al-Muta’allim, sebenarnya sudah
banyak mendapat perhatian. Kitab yang terdiri atas delapan bab, secara
garis besar dapat dikelompokkan ke dalam tiga bagian penting,
menyangkut (1) siginifikansi pendidikan, (2) tanggung jawab dan tugas
murid, serta (3) tanggung jawab dan tugas guru, menurut Zuhairi
Misrawi, merupakan resume dari tiga kitab: Adâb al-Mu’allim Ibn Sahnun
(w. 871 M), Ta’lîm al-Muta’allim fî ÙarÊqât al-Ta’allum al-Zarnuji (w. 1222
M), dan Tadhkirâh al-Syâm’i wa al-Mutakallim fî Adâb al-‘Âlim wa al-
Mutakallim Ibnu Jamaah (w. 1333 M). 63 Menggunakan tipologi
Langgulung, Suwendi mengelompokkan corak pemikiran pendidikan
Hasyim Asy’ari ke dalam pemikir pendidikan independen.64 Tidak
dijelaskan apa yang dimaksud dengan istilah itu. Yang dapat diketahui,
sosok Hasyim boleh dikatakan mewakili sedikit ulama yang berada di
luar golongan ulama kebanyakan yang dikatakan Watt sebagai
antimodernitas,65 tetapi sikap progresifnya dalam menerima pembaruan
tidak seperti koleganya dari kalangan reformis yang cenderung menerima
mentah-mentah gagasan dan unsur-unsur baru dari luar, melainkan
murni difokuskan pada persoalan pendidikan Islam, dengan tetap
berpegang teguh pada kedua sumber aslinya Al-Qur’an dan Hadis. Sebagai
pemikir bebas, Hasyim Asy’ari bisa jadi mewakili sedikit dari apa yang
disinyalir Watt golongan ulama yang terbuka terhadap pembaruan. Karena
itu bukan hal yang mengejutkan kalau dalam pemikiran pendidikannya
masih ditemukan adanya kekhasan, yaitu kuatnya pengaruh mazhab
serta warna sufistik sebagai cerminan pengaruh pemikiran tasawuf (Al-
Ghazali) di dalamnya.66
Dengan membaca Adâb al-‘Âlim wa al-Muta’allim, kesan seperti
itu pada pemikiran pendidikan Hasyim Asy’ari memang tidaklah sulit
diperoleh. Hal itu dikarenakan kuatnya anggapan Hasyim yang

63
Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh, 99.
64
Suwendi , Sejarah dan Pemikiran, 146.
65
W. Montgomery Watt, Fundamentalisme Islam dan Modernitas, terj. Taufik
Adnan Amal, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), 4-5.
66
Suwendi , Sejarah dan Pemikiran, 146.

Jurnal TSAQAFAH
Pembaruan Pendidikan Islam K.H. Hasyim Asy’ari 127

menempatkan aktifitas belajar-mengajar tidak ubahnya ibarat


perjalanan mistik, lewat mana seorang murid (sâlik) harus melewati
sejumlah maqâmât (stasion), dengan guru bertindak sebagai
pembimbing moral intelektual spiritual, guna mencapai hasil yang
diinginkan, harus selalu menjaga diri agar tetap dalam kondisi serba
bersih-suci jasmani rahani dan akhlaqi. Itulah sebabnya, kepada
mereka yang terlibat di dalamnya ditekankan perlunya membekali
diri dengan seperangkat nilai-nilai adab (etika),67 sebagai pegangan
normatif dalam pencapaian tujuan pendidikan yang diinginkan, yaitu
terbentuknya generasi muslim yang taqwa.68 Dimaksud adab (etika)
oleh Hasyim adalah seperangkat nilai-nilai dan norma-norma dasar
bersumberkan ajaran agama yang menjadi pegangan dalam menata
hubungan sosial-fungsional antara murid dan guru, menyangkut amal
qalbiyah (hati), badaniyah (badan), qauliyah (ucapan), dan fi’liyah
(perbuatan).69 Dan tak diragukan lagi, semua itu perlu terus ditekankan
dan dijaga kelestariannya, terlebih lagi bagi murid dan guru dalam
menghadapi situasi yang penuh dengan berbagai macam tantangan
di tengah masyarakat yang sedang berubah.
Seperti dikemukakan Syamsu Nizar, dunia pendidikan Islam,
khususnya pesantren, ketika buku ini diterbitkan (1343 H/1925 M),
sedang menyaksikan gelora pembaruan pendidikan yang dimotori
kalangan pendidik reformis, yang mendorong munculnya berbagai
kecenderungan baru di dalamnya, sebagai respon mereka atas
dipromosikannya sistem pendidikan Belanda yang netral agama.70
Khawatir akan timbulnya kebiasaan-kebiasaan baru yang tidak
menguntungkan dunhia pendidikan Islam, melalui karyanya, Hasyim
sepertinya ingin mengingatkan kepada para aktifis pendidikan Islam,
terutama di lingkungan pesantren, bahwa pembaruan merupakan
kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan. Tetapi semua itu harus
dilakukan dengan tetap berlandaskan ketentuan agama serta
menjunjung tinggi norma adab dan nilai-nilai luhur, seperti diwariskan

67
Muhammad Hasyim Asy’ari, Adâb al-‘Âlim, 12.
68
Ibid, 23.
69
Ibid, 11.
70
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis Teoritis dan Praktis,
(Jakarta: Ciputat Pers, 2002), 155.

Vol. 8, No.1, April 2012


128 Mahrus As’ad

para pendidik muslim di masa lampau. 71 Baginya, kemodernan


hanyalah pendekatan lewat mana pendidikan Islam bisa mengadakan
inovasi dan dinamisasi, tanpa harus merusak kekayaan tradisinya
sendiri. Sebab bila hal itu terjadi, cepat atau lambat, akan merusak
masa depan pendidikan Islam sendiri, yang berakibat hilangnya jatidiri
kaum muslim sendiri.
Selain masalah etika hubungan murid-guru, Hasyim juga menyoroti
pentingnya komitmen para pendidik muslim untuk menjalankan
tugasnya dengan penuh tanggung jawab dan profesional demi tegaknya
ilmu-ilmu agama,72 ditengah dorongan dan kebutuhan masuknya ilmu-
ilmu umum di lingkungan pesantren. Untuk maksud itu, Hasyim
mengingatkan perlunya memberikan tempat khusus bagi keberadaan
ilmu-ilmu agama yang pokok, seperti aqidah, syariah, akhlak, Al-Qur’an,
Hadis, dan bahasa Arab, yang selama ini telah dijadikan ciri pembeda
utama antara madrasah dan sekolah umum, serta mengorganisasikannya
setepat mungkin dalam kurikulum.73 Para santri pada dasarnya juga
diingatkan agar disiplin dan efektif dalam belajar, menghargai dan
menjaga hubungan baik dengan guru dan sesamanya, bisa memanfaatkan
kesempatan sebaik-baiknya, karena semakin banyaknya tugas dan
tantangan belajar yang dihadapi.74 Singkatnya, dalam dunia pendidikan
yang sedang berubah, munculnya berbagai kecenderungan baru perlu
segera diantisipasi, dan lembaga pendidikan Islam, dalam hal ini pesantren,
harus hati-hati dan selekteif menerimanya.
Demikianlah arti pentingnya dari tesis Hasyim bahwa
kemodernan (modernity), khususnya di bidang pendidikan Islam,
harus bisa berjalin berkelindan dengan tradisi; bukan sebaliknya,
seperti premis Lerner yang mengatakan bahwa kemodernan akan
mengancam tradisi dan mendesaknya keluar untuk mengambil jalan
sendiri-sendiri. 75 Justru, menurut Hayim, keduanya harus saling
mengisi dengan memberikan kelebihan masing-masing. Dengan

71
Muhammad Hasyim Asy’ari, Adâb al-‘Âlim, 9-12.
72
Ibid, 71-80.
73
Ibid, 43-48
74
Ibid, 29-43.
75
Daniel Lerner, “Modernization” dalam David A. Sills, International Encyclope-
dia of the Social Sciences, (New York: Crowell Collier and Macmillan, 1968) Vol. 9-10, 386.

Jurnal TSAQAFAH
Pembaruan Pendidikan Islam K.H. Hasyim Asy’ari 129

pandangan seperti ini, Hasyim tidak mengalami kesulitan sedikitpun


dalam mengawinkan modernitas dan tradisi, seperti diperlihatkan
dalam “proyek” pembaruannya di pesantren Tebuireng. Dan
paradigma inilah yang membedakan pendekatan Hasyim dengan
kalangan muslim reformis dalam usaha pembaharuan pendidikannya.
Jika Hasyim menjadikan tradisi sebagai basis bagi modernisme
pendidikan Islamnya, kalangan muslim reformis pada umumnya
mengusung model pembaruan pendidikannya dengan menggusur
habis hampir keseluruhan tradisi pendidikan Islam yang ada, dan
menggantinya dengan unsur-unsur baru dari luar, seperti
diperlihatkan kalangan pembaru pendidikan Sumatera yang
menghapus keseluruhan watak tradisional pendidikan Islamnya,76 atau
kalangan pendidik Muhammadiyah dengan sekolahnya yang mirip
sekolah Belanda.77 Tidak demikian halnya dengan pesantren Tebuireng
Hasyim yang dikembangkan secara gradual dan selektif dalam
mengadopsi unsur-unsur baru dari luar (Barat), tanpa harus
meninggalkan kekuatan dan kebaikan dari unsur-unsur tradisonalnya
sendiri.
Yang sangat menonjol dari pemikiran pendidikan Hasyim adalah
keteguhannya untuk menempatkan “unsur pokok bersifat ilahiyah”
di atas segala-galanya dalam seluruh aktifitas pendidikan. Pendekatan
seperti ini, walaupun elaborasinya belum tuntas, sejauh ini telah
menjadi kekuatan tersendiri dari konsep modernism pendidikan Islam
Hasyim, dibedakan dengan tokoh-tokoh pemburu lain yang sama-
sama mengusung tema pemburuan pendidikan Islam. Inilah
sumbangan terpenting dari usaha pembaruan pendidikan Hasyim,
selain pengembangan sistem dan model kelembagaan pesantren, yang
dengannya pendidikan Islam, khususnya Madrasah, bisa memiliki
landasan yang kokoh serta arah yang jelas, yang secara langsung dapat
digunakan dalam usaha memecahkan apa yang disebut Azyumardi
Azra dengan problem epistemologi, sejak pendidikan berkenalan
dengan unsur-unsur baru dari luar (Barat), termasuk ilmu-ilmu umum,

76
Armaie Arief, “Modernisasi Pendidikan Islam Abad XX: Kasus Sumatera
Barat”, dalam Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga
Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2001).
77
Karel A. Steenbrink , Pesantren,54.

Vol. 8, No.1, April 2012


130 Mahrus As’ad

akibat desakan dan tuntutan modernisasi.78 Dengan menempatkan


beberapa ilmu agama sebagai farÌu ‘ain dalam posisi teratas dalam
hirarki keilmuan yang harus diajarkan dalam kurikulum,79 artinya
Hasyim menolak adanya dominasi “ilmu-ilmu luar” dan berusaha
memposisikan “ilmu-ilmu luar” tersebut di bawah dan menjadi bagian
tak terpisahkan dari kurikulum agama. Dengan integrasi ini, tidak
dikenal lagi apa yang sering diistilahkan dengan pemisahan (dikotomi)
ilmu, antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum, karena pada
dasarnya agama hanya menyediakan satu tempat saja untuk mereka,
seperti diterapkan di pesantrennya Tebuireng. Seperti dikatakan
Hasyim sendiri, dengan mengutip pendapat ulama salaf: hadhâ al-
‘ilmu dînun fanÐurû ‘amman ta’khudhûna dînakum, “Ilmu adalah agama,
maka hendaklah kalian melihat (mempertimbangkan dahulu) kepada
siapa kalian mengambil agama kalian itu.”80
Selanjutnya, karena agama (Islam) itu sumbernya dari Tuhan,
dengan sendirinya, ilmu juga sumbernya dari Tuhan, yang berarti
seluruh aktifitas terkait dengan proses transmisinya juga tidak boleh
dilepaskan dari nilai-nilai dan norma-norma Ketuhanan.81 Oleh karena
itu, menggunakan premis-premis dari kaum salaf, Hasyim ingin
menegaskan bahwa aktifitas belajar-mengajar dalam perspektif Islam
sebenarnya bermakna dan berorientasi “sarwa ibadah” dan spiritual-
religius.82 Bahwasanya semua unsur yang berkerja di dalamnya tidak
ada yang terlepas dari pengawasan Nur ilahiah, termasuk keberadaan
ilmu-ilmu umum yang diadopsi dari sistem pendidikan Barat. Orientasi
filosofis pendidikan Hasyim yang bercorak “teosentris”, meskipun
belum terumuskan secara tuntas, sejauh ini boleh dikatakan telah
berhasil dalam memberikan landasan dasar yang kuat bagi operasional
madrasah-madrasah baru yang kemudian muncul di era modern, baik
di dalam maupun di luar pesantren, yang berusaha memasukkan
unsur-unsur modernitas ke dalam aktifitas pendidikannya.
Memperoleh landasan dasar itu, madrasah pada gilirannya dapat

78
Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual, 93-94.
79
Muhammad Hasyim Asy’ari, Adâb al-‘Âlim, 43-44.
80
Ibid, 29.
81
Ibid, 9-11 dan 13-14.
82
Muhammad Hasyim Asy’ari, Adâb al-‘Âlim, 20.

Jurnal TSAQAFAH
Pembaruan Pendidikan Islam K.H. Hasyim Asy’ari 131

tumbuh secara mantap dengan “identitas”nya sendiri, sebagai lembaga


pendidikan Islam khas Indonesia, meskipun kemudian
“dinasionalisasi” oleh pemerintah dengan diberlakukannya UUSPN
1989 atau Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas,
yang menyamakan madrasah dengan sekolah-sekolah umum, kecuali
tambahan sejumlah pelajaran agama dalam kurikulumnya.

Penutup

Gambaran final mengenai format modernisme pendidikan Islam


di Indonesia banyak ditentukan oleh seberapa jauh kebutuhan serta
kreativitas yang ditunjukkan oleh para tokoh penggiatnya. Watak dasar
pendidikan Islam yang fleksibel memungkinkannya untuk terus
beradaptasi dengan lingkungan barunya dan melakukan penafsiran
ulang terhadap doktrin-doktrin yang dipegangi dengan
mengusahakan eksperimen-eksperimen inovatif guna menemukan
format baru sistem kelembagaan pendidikan Islam yang tahan lama
dan cocok guna memenuhi kebutuhan pendidikan kaum muslim di
era modern. Pendekatan KH. Hasyim Asy’ari untuk memodernisasi
pendidikan Islam dengan tetap berpegang teguh pada tradisi dalam
arti luas terbukti telah menghasilkan sebuah format baru pendidikan
Islam yang distinctive, yang sangat diperlukan sebagai referensi bagi
gerakan modernisme pendidikan Islam di tanah air. Keberhasilan
Hasyim meramu unsur-unsur kemodernan dan tradisi dengan
menempatkan “Nur ilahiyah” sebagai poros utamanya menjadi
sumbangan berharga dalam menentukan watak dasar madrasah kita
sehingga menjadikannya sebagai lembaga pendidikan Islam formal
yang tetap memiliki identitasnya sendiri, yang berbeda dengan sekolah
umum, walaupun pemerintah sendiri telah “menasionalisasi” dengan
menjadikan mereka equivalent dengan sekolah umum. []

Daftar Pustaka
Aboebakar, Sedjarah Hidup KHA Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar,
(Djakarta: Panitya Buku Peringatan Alm. KHA Wahid Hasjim, 1957).
Ali, Fachry dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, (Bandung:
Mizan, 1986).

Vol. 8, No.1, April 2012


132 Mahrus As’ad

Angelino, Kat, Colonial Policy, Nijhoff: The Hague Martinus, 1931, Vol. II.
Arief, Armaie, “Modernisasi Pendidikan Islam Abad XX: Kasus
Sumatera Barat”, dalam Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia,
Jakarta, Grasindo, 2001.
As’ad, Mahrus, Pembaharuan Pendidikan Nahdlatul Ulama (Jakarta:
Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007).
Asy’ari, Muhammad Hasyim, Adâb al-‘Âlim wa al-Muta’alim,
(Jombang: Maktabah al-Turats al Islami, 1415 H/1992).
Azra, Azyumardi, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam,
(Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1999).
————, “Pembaruan Pendidikan Islam: Sebuah Pengantar” dalam
Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Islam, (Jakarta:
Departemen Agama RI, 1997/1998).
————-, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran
Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994).
Benda, Harry J., Bulan Sabit dan Matahari Terbit Islam di Indonesia
pada Masa Pendudukan Jepang, Terjemahan Daniel Dhakidae,
(Jakarta: Pustaka Jaya, 1980).
—————, The Crescent and the Rising Sun, (Neijmen: The Hague,
1958)
Brugmans, I.J., “Politik Pengajaran” dalam H. Baudet dan I.J.
Brugmans, Politik Etis dan Revolusi Kemerdekaan, Terjemahan
Amir Sutaargo, (Jakarta: Yayasan Obor, 1987).
Bruinessen, Martin van, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat, (Bandung:
Mizan, 1995).
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup
Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1985)
Fasser, Cornelis, The Politics of Colonial Exploitation, (Ithaca New York:
Cornell University, 1992).
Geertz, Clifford, “Modernization in Moslim Society: The Indonesian
Case”, dalam Robert N. Bellah, Religion and Progress in Modern
Asia, (New York: Free Press, 1965).
Hadziq, Muhammad Isham al-Din, Irsyâd al-Sâriy fî Jam’i MuÎannafât
al-Syaikh Hâsyim Asy’arî, (Jombang: Pustaka Warisan Islam,
1415 H/1992).
http://www.tebuireng.net ( 21 Desember 2010).

Jurnal TSAQAFAH
Pembaruan Pendidikan Islam K.H. Hasyim Asy’ari 133

Huluq, Lathiful, Fajar Kebangunan Ulama: Biografi K.H. Hasyim


Asy’ari, (Yogyakarta: LKiS, 2009).
Hunkins, Francis P., Curriculum Development: Program Improvement,
(London: Bell & Howell Company, 1980).
Hurgronje, Christian Snouch, Mekka in the Latter Part of the 19th Cen-
tury, (Leiden: E.J. Brill, 1931).
Kartodirdjo, Sartono, Pemberontakan Petani Banten, (Jakarta: Pustaka
Jaya, 1984).
Lerner, Daniel, “Modernization” dalam David A. Sills, International
Encyclopedia of the Social Sciences, (New York: Crowell Collier
and Macmillan, 1968)
Ma’shum bin Ali, Al-Amtsilat al-TaÎrifiyyÉt, (Surabaya: Salim Nabhan,
1965).
Ma’shum, Saifullah, Karisma Ulama Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU,
(Bandung: Mizan, 1998).
Madjid, Nurcholish, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan,
Jakarta, Paramadina, 1997
McVey, Ruth T., “Taman Siswa and The Indonesian National Awaken-
ing” dalam Indonesia, Vol. I (April), 1967.
Misrawi, Zuhairi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari Moderasi, Keumatan,
dan Kebangsaan, (Jakarta: Kompas, 2010).
Muzadi, Abdul Muchith, “Dari nDandakna Awak sampai nDandakna
Bangsa: sebuah Kesaksian”, dalam Marzuki Wahid, dkk., Geger
di Republik NU: Perebutan Wacana, Tafsir Sejarah, Tafsir Makna,
(Jakarta: Kompas-Lakpesdam NU, 1999)
Nasution, Harun, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1995).
Natsir, M., Islam dan Kristen di Indonesia, (Bandung: Bulan Bintang,
1969).
Nizar, Samsu, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis,
dan Praktis, (Jakarta, Ciputat Press, 2002).
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta:
LP3ES, 1988).
Rahman Fazlur, Islam dan Modernitas tentang Tansformasi Intelektual,
terjemahan Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1995).
Saifullah, Ali, “Darrussalam Pondok Modern Gontor”, dalam M.
Dawam Rahardjo, Pesantren dan Pembaruan, (Jakarta: LP3ES,
1985).
Saridjo, Marwan, dkk., Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, (Jakarta:
Dharma Bhakti, 1979).

Vol. 8, No.1, April 2012


134 Mahrus As’ad

Shihab, Alwi, Membendung Arus Respon Gerakan Muhammadiyah


terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, (Bandung: Mizan,
1998).
Soebardi, S., “Islam di Indonesia” Prisma, (Nomor Ekstra), 1978.
Steenbrink, Karel A. Kawan dalam Pertikaian Kaum Kolonial Belanda
dan Islam di Indonesia (1596-1942), (Bandung: Mizan, 1995).
————-, Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun
Modern, (Jakarta: LP3ES, 1986).
————-, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1984).
Suminto, H. Aqib, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1996).
Suratman, Ki, “Perjalanan Sekolah Taman Siswa” dalam Prisma, No.9
(September), 1983.
Suriasumantri, Jujun S., “Penelitian Ilmian, Kefilsafatan, dan
Keagamaan: Mencari Paradigma Kebersamaan” dalam Mastuhu
dan Deden Riswan, Tradisi Penelitian Agama Islam Tinjauan
Antardisiplin Ilmu, (Bandung: Nuansa, 1998).
Suwendi, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004).
Syihab, Muhammad Asad, Hadratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari,
Perintis Kemerdekaan Indonesia, (Yogyakarta: Kalam Semesta dan
Titian Ilahi Press, 1994).
Watt, W. Montgomery, Fundamentalisme Islam dan Modernitas, terj.
Taufik Adnan Amal, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001).

Jurnal TSAQAFAH

You might also like