Pondok Pesantren: Lembaga Pendidikan Pembentukan Karakter: Imam Syafe'i
Pondok Pesantren: Lembaga Pendidikan Pembentukan Karakter: Imam Syafe'i
E-ISSN: 2528-2476
PONDOK PESANTREN:
LEMBAGA PENDIDIKAN PEMBENTUKAN KARAKTER
Imam Syafe’i
[email protected]
Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung
Abstract
Pondok Pesantren adalah cikal bakal institusi pendidikan Islam di Indonesia. Kehadiran
awal pesantren diperkirakan dari 300-400 tahun yang lalu dan menjangkau hampir semua
tingkat komunitas Muslim Indonesia, khususnya di Jawa. Setelah Indonesia merdeka, terutama
sejak masa transisi ke Orde Baru dan ketika pertumbuhan ekonomi benar-benar meningkat
tajam, pendidikan pesantren menjadi lebih terstruktur dan kurikulum pesantren menjadi lebih
baik. Sebagai contoh, selain kurikulum agama, pesantren juga menawarkan pelajaran umum
dengan menggunakan kurikulum ganda, kurikulum mone dan kurikulum Kemenag. Sebagai
lembaga pendidikan, pesantren sangat peduli pada bidang agama (tafaqquh fi al-din) dan
pembentukan karakter bangsa yang bercirikan akhlakul karimah. Ketentuan pendidikan agama
dijelaskan dalam UU Sisidiknas Pasal 30 ayat (4) bahwa pendidikan agama dalam bentuk
pendidikan diniyah, pesantren, dan bentuk-bentuk serupa lainnya. Keberadaan pesantren
merupakan mitra ideal bagi institusi pemerintah untuk bersama-sama meningkatkan kualitas
pendidikan dan landasan karakter bangsa. Hal ini dapat ditemukan dari berbagai fenomena yang
terjadi seperti perkelahian antar sekolah dan distributor yang tersebar luas dan pengguna
narkoba di kalangan anak muda jarang ditemukan mereka adalah anak-anak asrama atau lulusan
dari pesantren.
61
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, No I 2017 P-ISSN: 20869118
E-ISSN: 2528-2476
PENDAHULUAN
62
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, No I 2017 P-ISSN: 20869118
E-ISSN: 2528-2476
63
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, No I 2017 P-ISSN: 20869118
E-ISSN: 2528-2476
sistem Pendidikan Nasional yang indigenous Indonesia, bahkan dipandang oleh banyak
kalangan mempunyai keunggulan dan karakteristik khusus dalam mengaplikasikan
pendidikan karakter bagi anak didiknya (santri). Pandangan demikian tampaknya
berasal dari kenyataan bahwa: pesantren lebih mudah membentuk karakter santrinya
karena institusi pendidikan ini menggunakan sistem asrama yang memungkinkannya
untuk menerapkan nilai-nilai dan pandangan dunia yang dianutnya dalam kehidupan
keseharian santri (Makmun, 2014). Telah banyak penelitian dilakukan berkaitan dengan
pondok pesantren dan pendidikan karakter, diantaranya (Aulia & Samino, 2015; Faiqoh
& Mahfudh, 2015; Kurniawan, 2016; Makmun, 2014; Nuryana, 2013; Rodliyah, 2014;
Subekti, 2015; Sulaiman, 2013; Ubaidillah, 2016; Zuhriy, 2011)
Proses pengembangan dunia pesantren harus didukung oleh pemerintah secara
serius sebagai proses pembangunan manusia seutuhnya. Meningkatkan dan
mengembangkan peran pesantren dalam proses pembangunan di era otonomi daerah
merupakan langkah strategis dalam upaya mewujudkan tujuan pembangunan nasional
terutama sektor pendidikan. Terlebih, dalam kondisi bangsa yang tengah mengalami
krisis (degradasi) moral. Pesantren sebagai lembaga pendidikan membentuk dan
mengembangkan nilai-nilai moral menjadi pelopor sekaligus inspirator pembangkit
moral bangsa..
Berdasarkan penjelasan uraian dan penelitian terdahulu, penulis akan membahas
tentang (a) Sejarah pesantren dan perkembangannya,(b) pesantren antara harapan dan
tantangan,(c) Fungsi dan Tujuan Pendidikan Pesantren(d) format pesantren masa depan.
64
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, No I 2017 P-ISSN: 20869118
E-ISSN: 2528-2476
anak-anak muda dari pesisir utara belajar agama Islam. Namum hasil survey Belanda
1819, dalam Van Bruinessen lembaga yang mirip pesantren hanya ditemukan di
Priangan, Pekalongan, Rembang, Kedu, Madiun, dan Surabaya (Bruinessen, 1995). Dari
hasil penelusuran sejarah pula, ditemukan sejumlah bukti kuat yang menunjukkan
bahwa cikal-bakal pendirian pesantren pada periode awal ini terdapat di daerah-daerah
sepanjang pantai utara Jawa, seperti Giri (Gresik), Ampel Denta (Surabaya), Bonang
(Tuban) Kudus, Lasem, Cirebon, dan sebagainya. Kota-kota tersebut pada waktu itu
merupakan kota cosmopolitan yang menjadi jalur penghubung perdagangan dunia,
sekaligus tempat persinggahan para pedagang dan muballigh Islam yang datang dari
Jazirah Arabiah seperti Hadramaut, Persia, Irak dan lain sebagainya (Makmun, 2014).
Mastuhu memberikan kesimpulan lain, bahwa pesantren di Nusantara telah ada sejak
abad ke 13-17, dan di Jawa sejak abad 15-16 M bersamaan dengan masuknya Islam di
Indonesia (Mastuhu, 1994). Laporan mastuhu dikuatkan oleh Dhafier bahwa dalam serat
Senthini dijelaskan pada abad 16 telah banyak pesantren-pesantren mashur di Indonesia
yang menjadi pusat pendidikan Islam (Dhofier, 1982). Akan tetapi, laporan Mastuhu
dan Dhofier di tolak oleh Van Bruinessen, dimana serat Senthini tersebut disusun abad
19, oleh karena itu tidak bisa dianggap sebagai sumber yang dapat dipercaya untuk
menjelaskan kejadian abad 17 M (Bruinessen, 1995). Oleh karena itu para sejarahwan
menyimpulkan bahwa lembaga pendidikan keIslam di Indonesia belum ada sebelum
abad 18 M dan baru muncul pada akhir abad 18 M dan awal 19 M (Bruinessen, 1995).
Biasanya pesantren dipimpin oleh kyai. Untuk mengatur kehidupan pesantren,
kyai menunjuk seorang santri senior untuk mengatur adik-adik kelasnya, mereka
biasanya dalam pesantren salaf (tradisional) disebut ''lurah pondok''. Tujuan santri
dipisahkan dari orang tua dan keluarga mereka agar mereka belajar hidup mandiri, dapat
meningkatkan hubungan yang baik dengan kyai dan juga Tuhan. Ada beberapa elemen
pesantren yang membedakan dengan lembaga lainnya, yaitu; (1) pondok tempat
menginap para santri, (2) santri: peserta didik, (3) masjid: sarana ibadah dan pusat
kegiatan pesantren, (4) kyai: tokoh atau sebutan seseorang yang memiliki kelebihan dari
sisi agama, dan kharisma yang dimilikinya, (5) kitab kuning: sebagai referensi pokok
dalam kajian keislaman (Dhofier, 1982). Awal munculnya pesantren, pembelajarannya
bersifat nonklasikal, dimana seorang kyai mengajarkan agama Islam yang ditulis pada
abad pertengahan (Prasidjo & Al, 2001). Meskipun kajian-kajian tersebut banyak
65
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, No I 2017 P-ISSN: 20869118
E-ISSN: 2528-2476
mengungkap fikih, tafsir dan bahasa arab untuk membedah ilmu-ilmu agama. Fikih
yang banyak dikaji pada umumnya adalah yang bernuansa mazhab Syafii dengan sedikit
menerima mazhab yang lain, kemudian ajaran-ajaran akhlak dan tasawufnya lebih
bercorak tasawuf al-Ghazali, meskipun banyak tokoh sufi atau ajaran-ajaran tasawuf
yang lain (Bruinessen, 1995). Oleh karena itu, pesantren menurut pandangan Azumardi
Azra masih sangat minim mengkaji tasawauf secara mendalam, tasawuf yang dikaji
hanya sebatas tasawuf Al-Ghazali dan As-Ariyyah.
Pesantren, dilihat dari sejarah, sosiologis dan antropologis, lembaga ini
seharusnya dipandang sebagai lembaga pendidikan alternatif di Indonesia, namun
pemerintah terkesan melihat sebelah mata dengan lembaga pendidikan formal lainnya.
Di satu sisi pemerintah mengakui produk-produk atau kualitas lulusan pesantren akan
tetapi disisi lain pesantren tetap tidak secara utuh diakui sebagai lembaga pendidikan.
Pesantren memiliki ciri-ciri khas yang berbeda dari lembaga pendidikan pada
umumnya. Ciri khas yang disandang itu menjadikan tidak akan mungkin pesantren
diberlakukan peraturan yang sama dengan sekolah. Penyelenggaraan pendidikan di
pesantren salaf umumnya dengan menggunakan metode sorogan, bandungan, dan
wetonan. Sistem sorogan merupakan proses pembelajaran yang bersifat individual atau
pendidikan tradisional, dan sistem pembelajaran dasar dan paling sulit bagi para santri,
sebab santri dituntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin diri dalam menuntut
ilmu. Seringkali santri tidak menyadari bahwa mereka seharusnya mematangkan diri
pada tingkat sorogan ini sebelum mengikuti sistem pembelajaran selanjutnya. Seorang
santri yang telah mahir dalam penguasaan sorogan ini menjadi kunci dalam penguasaan
ilmu agama dan menjadi seorang alim. Sedangkan sistem bandungan atau juga disebut
wetonan yaitu sistem belajar kelompok dalam arahan dan bimbingan kyai yang terdiri
antara 5 sampai 500 orang santri. Mereka mendengarkan seorang guru atau kyai yang
membaca, menerjemahkan, menerangkan, dan mengulas kitab-kitab dalam bahasa arab
dan santri masing-masing memperhatikan bukunya sendiri dan membuat catatan-catatan
yang dianggap sulit atau penting. Kelompok sistem ini disebut halaqah. Jika kyai
berhalangan untuk memberikan pengajaran dalam sistem ini, biasanya kyai menunjuk
santri senior mewakilinya atau disebut ustadz. Dalam sistem sorogan ini juga terjadi
musyawarah atau diskusi tentang kajian Islam klasik dengan sumber kitab yang jelas.
Bahan diskusi dan hasil diskusi selalu dihadapkan ke kyai untuk dikoreksi dan
66
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, No I 2017 P-ISSN: 20869118
E-ISSN: 2528-2476
penguatan apabila hasil diskusi tidak menyimpang dan sudah sesuai dengan teks-teks
kitab klasik. Metode ini diberikan untuk melatih dan menguji kematangan mental santri,
agar kelak kemudian menjadi orang yang tangguh dalam beragama atau menjadi ulama
yang warasatul anbiya (Dhofier, 1982). Sedangkan pesantren khalaf manejemen
pesantren dan kurikulum pesantren semuanya adalah sistem modern. Kyai tidak lagi
mengurus keuangan pesantren, melainkan bendahara pesantren. Kurikulum yang ada
dengan pola kurikulum modern dengan sistem pembelajaran klasikal (Zarkasyi, 1998).
Tampak perbedaan bahwa pesantren khalaf sistem administrasi,menejemen, dan tata
kelola lembaga lebih terbuka dibandingkan sistem pesantren salaf yakni sistem
menejemen, dan keuangan pesantren selalu dalam kendali otoritas kyai, meski telah
dibantu oleh lurah pondok sebagai pengendali operasionalnya, namun pelaksanaannya
tetap mengacu kepada restu kyai, atau dengan kata lain sistem pesantren salaf,
semuanya masih serba kyai, semua oleh kyai, duitnya kyai, utangnya juga kyai yang
menanggung, santri tidak bayar juga urusan kyai dan sebagainya.
Pada abad ke 19 Masehi, muncul pengaruh wahabiyah di Indonesia. Sebagai
akibat dari pengaruh ini, di Minangkabau terjadi peperangan antara kaum paderi dengan
kaum adat. Belanda mengambil kesempatan dengan adanya peperangan ini dan
berpihak kepada kaum adat. Sementara itu, di jawa berdiri beberapa organisasi seperti
Muhammadiyah dan Persis. Seiring perkembangan Islam di Nusantara corak tersebut
secara pelan mengalami pergeseran. Menurut survei yang diselenggarakan kantor
Shumubu berdasarkan catatan kantor Urusan Agama yang dibentuk oleh Pemerintah
Militer Jepang tahun 1942 dalam Dhofier jumlah elemen-elemen pesantren di Jawa
sebagaimana dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 1.1 Jumlah Elemen-Elemen Pesantren di Jawa
No Elemen Pesantren Jakarta Jawa Barat Jawa Jawa Jumlah
Tengah Timur
1 Pesantren/Madrasah 167 1.046 351 307 1.871
2 Kyai 7.652(Dhafier: 4.466 6.150 18.268
1982: 40)
3 Santri/murid 14.513 69.954 21.957 32.931 139.415
67
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, No I 2017 P-ISSN: 20869118
E-ISSN: 2528-2476
68
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, No I 2017 P-ISSN: 20869118
E-ISSN: 2528-2476
pendidikan pesantren yang humanis, (3) keampuhan pesantren sebagai benteng kultur
dan agama bagi generasi muda, dan (4) memiliki ikatan dan keakraban yang kuat
dengan dengan masyarakat sekitarnya (Azra, 1997).
Sekarang ini banyak ditemukan model-model pesantren di Indonesia yang nyaris
berbeda desain bangunannya dengan pesantren-pesantren klasik. Menurut Manfred
Ziemek, maka tipe-tipe persantren di Indonesia dapat digolongkan sebagai berikut.
1. Tipe A, yaitu pondok pesantren yang seluruhnya dilaksanakan secara tradisional,
dalam arti tidak mengalami transformasi yang berarti dalam sistem
pendidikannya atau tidak ada inovasi yang menonjol dalam corak pesantrennya
dan masih tetap eksis mempertahankan tradisi-tradisi pesantren klasik dengan
corak keislamannnya berdasarkan peraturan menteri Agama Nomor 3 Tahun
1979 tentang Bantuan kepada Pondok Pesantren dalam (Makmun, 2014). Masjid
digunakan untuk pembelajaran Agama Islam disamping tempat shalat. Tipe ini
biasanya digunakan oleh kelompok-kelompok tarikat dan disebut pesantren
tarikat. Para santri pada umumnya tinggal di asrama yang terletak di sekitar
rumah kyai atau di rumah kyai. Tipe ini sarana fisiknya terdiri dari masjid dan
rumah kyai, pada umumnya dijumpai awal-awal berdirinya pesantren (Ziemek,
1986).
2. Tipe B, pesantren yaitu yang mempuyai sarana fisik, seperti; masjid, rumah
kyai, pondok atau asrama yang disediakan bagi para santri, utamanya adalah dari
daerah jauh, sekaligus menjadi ruangan belajar. Tipe ini adalah pesantren
tradisional yang sangat sederhana sekaligus merupakan ciri pesantren tradisional
(Ziemek, 1986). Sistem pembelajaran pada tipe ini adalah individual (sorogan),
bandungan, dan wetonan.
3. Tipe C, atau pesantren salafi ditambah dengan lembaga sekolah (madrasah,
SMU atau kejuruan) merupakan karakteristik pembaharuan dan modernisasi
pendidikan Islam di pesantren. Meskipun demikian, pesantren tidak
menghilangkan sistem pembelajaran yang asli yaitu sistem sorogan, bandungan,
dan wetonan yang dilakukan oleh kyai atau ustadz (Prasidjo & Al, 2001).
4. Tipe D, yaitu pesantren modern terbuka untuk umum, corak pesantren ini telah
mengalami transformasi yang sangat signifikan baik dalam sistem
pendidikanmaupun unsur-unsur kelembagaannya. Materi dan sistem
69
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, No I 2017 P-ISSN: 20869118
E-ISSN: 2528-2476
70
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, No I 2017 P-ISSN: 20869118
E-ISSN: 2528-2476
71
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, No I 2017 P-ISSN: 20869118
E-ISSN: 2528-2476
72
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, No I 2017 P-ISSN: 20869118
E-ISSN: 2528-2476
Saifuddin Zuhri dll. Mulai tahun 1970-an dan diakhir tumbangnya orde baruyang
dimana ekonomi Indonesia mulai ambruk, pesantren tampak kembali dengan
supremasinya karena adanya program-program baru yang digulirkan oleh pemerintah
yaitu ekonomi kerakyatan. Pihak pemerintah berupaya menggandeng pesantren sebagai
mitra dalam pengentaskan kemiskinan dan mengembangkan ekonomi kerakyatan
(Proyek Pembangunan Pertanian Rakyat Terpadu Biro Perencanaan, Departemen
Pertanian, 1998). Di jadikannya pesantren sebagai agen pembangunan yang berorientasi
kerakyatan karena pesantren dianggap satu-satunya lembaga yang eksis dan dipercaya
untuk penyaluran dana-dana ekonomi kerakyatan serta memiliki akar bawah yang
sangat kuat dan sikap mentalitas yang bisa dipertanggung jawabkan. Tawaran ini
ditanggapi dengan serius dan diterima oleh pesantren (Kuntowijoyo, 1993). Sehingga
tidak heran saat itu banyak pesantren yang mendapat hadiah kalpatarudari pemerintah
Suharto, karena peran pesantren dalam pengembangan ekonomi umat juga pesantren
menjadi mitra ekonomi kerakyatan pemerintah.
Gerakan globalisasi dan modernisasi adalah dua sisi dari satu mata uangjuga
telah masuk pada bilik-bilik pesantren.Ini memberikan ujian yang cukup luar biasa bagi
pesantren. Satu sisi pesantren harus mempertahankan tradisi kepesantrenannya sebagai
lembaga “asli” atau “indigenous” Indonesia (Madjid, 1997), tetapi disisi lain pesantren
tidak bisa menghindar dari globalisasi dan modernisasi dengan segala produk yang
ditawarkan. Ia menawarkan sebuah pilihan yang ambivalen, satu sisi membawa
kebaikan, dan mungkin juga membawa petaka bila tidak siap menghadapinya.
Globalisasi adalah sebuah keniscayaan yang nyata yang mau tak mau akan kita hadapi
bersama. Menghadapi tantangan ini pesantren dituntut untuk bertindak bijak. Kalau
serta merta menolak globalisasi dengan melestarikan konstruksi lama dan tidak mau
melihat sesuatu yang baru akan merugikan pesantren di kemudian hari, karena orang
modern sebagai mana disebutkan di atas lebih mementingkan nilai-nilai instrumental,
akhir-akhir ini pesantren telah membuka diri. Jika dahulu pesantren hanya sebagai
tempat mengaji ilmu agama melalui sistem sorogan, wetonan, dan bandungan, maka
saat ini telah membuka pendidikan sistem klasikal dan bahkan program baru yang
berwajah modern dan formal seperti madrasah, sekolah, dan bahkan universitas.
Sekalipun pendidikan modern telah masuk ke pesantren, akan tetapi tidak boleh
menggeser tradisinya, yakni gaya kepesantrenan. Sebaliknya, kehadiran lembaga
73
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, No I 2017 P-ISSN: 20869118
E-ISSN: 2528-2476
74
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, No I 2017 P-ISSN: 20869118
E-ISSN: 2528-2476
dan dikembangkan. Proses pembangunan manusia yang dilakukan pesantren tidak bisa
dipisahkan dari proses pembangunan manusia yang tengah diupayakan pemerintah.
Proses pengembangan dunia pesantren yang selain menjadi tanggung jawab
internal pesantren, juga harus didukung oleh pemerintah secara serius sebagai proses
pembangunan manusia seutuhnya. Meningkatkan dan mengembangkan peran serta
pesantren dalam proses pembangunan merupakan langkah strategis dalam membangun
mewujudkan tujuan pembangunan nasional terutama sektor pendidikan. Terlebih, dalam
kondisi yang tengah mengalami krisis (degradasi) moral. Pesantren sebagai lembaga
pendidikan yang membentuk dan mengembangkan nilai-nilai moral, dengan basic
agama harus menjadi pelopor sekaligus inspirator pembangunan moral bangsa.
Sehingga, pembangunan tidak menjadi hampa melainkan lebih bernilai dan bermakna.
Pesantren pada umumnya bersifat mandiri, tidak tergantung kepada pemerintah
atau kekuasaan yang ada. Karena sifat mandirinya itu, pesantren bisa memegang teguh
kemurnian Pesantren. Karena itu, pesantren tidak mudah disusupi oleh ajaran-ajaran
yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.Sekalipun belakangan issu terorisme dienduskan
dari kalangan pesantren, sebenarnya faham semacam itu tidak pernah diajarkan di
lembaga pesantren. Pendidikan di pesantren yang merupakan bagian dari Sistem
Pendidikan Nasional memiliki 3 unsur utama yaitu: 1) Kyai sebagai pendidik sekaligus
pemilik pondok dan para santri; 2) Kurikulum pondok pesantren; dan 3) Sarana
peribadatan dan pendidikan, seperti masjid, rumah kyai, dan pondok, serta sebagian
madrasah dan bengkel-bengkel kerja keterampilan. Kegiatannya terangkum dalam “Tri
Dharma Pondok pesantren” yaitu: 1) Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT;
2) Pengembangan keilmuan yang bermanfaat; dan 3) Pengabdian kepada agama,
masyarakat, dan negara.
Agaknya perlu dicermati, bahwa pemaknaan pesantren masa lalu perlu ditinjau
kembali atau perlu redefinisi dan reinterprestasi. Pesantren pada masa lalu yang
dipahami sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana santrinya tinggal bersama
dan belajar dibawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang dikenal dengan sebutan
kyai (Zarkasyi, 1998). Pondok atau asrama para santri pada masa lalu biasanya berupa
bangunan yang terbuat dari bambu,atau bangunan tempat tinggal yang berpetak-petak
yang berdinding bilik dan beratap rumbia (Steenbrink, 1994). Berangkat dari kenyataan,
jelas pesantren di masa yang akan datang dituntut berbenah, menata diri dalam
75
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, No I 2017 P-ISSN: 20869118
E-ISSN: 2528-2476
76
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, No I 2017 P-ISSN: 20869118
E-ISSN: 2528-2476
kegiatan dari pagi hari hingga malam sampai ketemu pagi lagi, mereka menghadapi
makhluk hidup yang sama, orang yang sama, lingkungan yang sama, dinamika dan
romantika yang sama pula. Dalam khazanah pendidikan kita, sekolah berasrama adalah
model pendidikan yang cukup tua (Azra, 1997).
Secara tradisional jejak boarding school dapat kita selami dinamika kehidupan
pesantren, pendidikan gereja, bahkan di bangsal-bangsal tentara. Pendidikan berasrama
telah banyak melahirkan tokoh besar dan mengukir sejarah kehidupan umat manusia.
Kehadiran boarding school adalah suatu keniscayaan zaman kini. Keberadaannya
menadi suatu konsekwensi logis dari perubahan lingkungan sosial dan keadaan ekonomi
serta cara pandang religiusitas masyarakat. Ada tiga alasan mengapa perlu boarding
school, yaitu:
1. Lingkungan sosial telah banyak berubah terutama di kota-kota besar. Sebagian
besar penduduk tidak lagi tinggal dalam suasana masyarakat yang homogen,
kebiasaan lama bertempat tinggal dengan keluarga besar atau marga telah lama
bergeser kearah masyarakat yang heterogen, majemuk, dan plural. Hal ini
berimbas pada pola perilaku masyarakat yang berbeda karena dalam pengaruh
nilai-nilai yang berbeda pula. Oleh karena itu sebagian masyarakat yang terdidik
dengan baik menganggap bahwa lingkungan sosial seperti itu sudah tidak lagi
kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan intelektual dan moralitas anak.
2. Keadaan ekonomi masyarakat yang membaik mendorong pemenuhan kebutuhan
di atas kebutuhan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Bagi kalangan
menengah atas yang baru muncul akibat tingkat pendidikan mereka yang tinggi
sehingga mendapatkan posisi yang baik dalam lapangan pekerjaan berimplikasi
pada tingginya penghasilan mereka. Hal ini mendorong niat untuk memberikan
pendidikan yang terbaik bagi anak-anak melebihi pendidikan yang telah diterima
orang tuanya.
3. Cara pandang religiusitas. Kecenderungan terbaru masyarakat perkotaan sedang
bergerak kearah yang semakin religius. Indikatornya adalah semakin diminati
dan semaraknya kajian dan berbagai kegiatan keagamaan. Modernitas membawa
implikasi negatif dengan adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan ruhani
dan jasmani. Untuk itu masyarakat tidak ingin hal yang sama menimpa anak
mereka. Ada keinginan untuk melahirkan generasi yang lebih agamis atau
77
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, No I 2017 P-ISSN: 20869118
E-ISSN: 2528-2476
memiliki nilai-nilai hidup yang baik mendorong orang tua mencarikan sistem
pendidikan alternatif.
Ketiga faktor di atas, sistem pendidikan boarding school seolah menemukan
pasarnya. Dari segi sosial, sistem boarding school mengisolasi anak didik dari
lingkungan sosial heterogen yang cenderung buruk. Di lingkungan sekolah dan asrama
dikonstruksi suatu lingkungan sosial yang relatif homogen yakni teman sebaya dan para
guru pembimbing. Homogen dalam tujuan yakni menuntut ilmu sebagai sarana
mengejar cita-cita. Dari segi ekonomi, boarding school memberikan layanan yang
paripurna sehingga menuntut biaya yang cukup tinggi. Oleh karena itu anak didik akan
benar-benar terlayani dengan baik melalui berbagai layanan dan fasilitas.Dari segi
semangat religiusitas, boarding school menjanjikan pendidikan yang seimbang antara
kebutuhan jasmani dan ruhani, intelektual dan spiritual. Diharapkan akan lahir peserta
didik yang tangguh secara keduniaan dengan ilmu dan teknologi, serta siap secara iman
dan amal soleh.
Nampaknya, konsep Islamic boarding school menjadi alternatif sebagai model
pengembangan pesantren yang akan datang. Pemerintah diharapkan semakin serius
dalam mendukung dan mengembangkan konsep pendidikan seperti ini. Sehingga,
pesantren menjadi lembaga pendidikan yang maju dan bersaing dalam mengembangkan
ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berbasis pada nilai-nilai spiritual yang handal.
Mengacu kepada UU Sisdiknas no. 20 tahun 2003 pasal 15 tentang jenis
pendidikan bahwa jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik,
profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Maka pesantren adalah salah satu jenis
pendidikan yang concern di bidang keagamaan. Secara khusus, ketentuan tentang
pendidikan keagamaan ini dijelaskan dalam Pasal 30 Undang-Undang Sisdiknas yang
menegaskan: (1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau
kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. (2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi
anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya
dan/atau menjadi ahli ilmu agama. (3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan
pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. (4) Pendidikan keagamaan
berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, dan bentuk lain yang sejenis. Era reformasi
dan lahirnya UU Sisdiknas tahun 2003 tersebut, tampaknya membawa angin segar bagi
78
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, No I 2017 P-ISSN: 20869118
E-ISSN: 2528-2476
79
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, No I 2017 P-ISSN: 20869118
E-ISSN: 2528-2476
DAFTAR PUSTAKA
Asmaun Sahlan. (2013). Pendidikan Karakter dalam Perspektif Islam (Kajian Penerapan
Pendidikan Karakter di Lembaga Pendidikan Islam). El-HiKMAH, 9(2), 139–149.
Aulia, M. F., & Samino. (2015). Pengelolaan Pendidikan Karakter Di Pondok Pesantren
Muhammadiyah “Miftakhul “Ulum” Pekajangan Pekalongan.” PKn Progresif,
10(1).
Azra, A. (1997). Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan, dalam Nurchalish madjid,
Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan.
Bruinessen, M. Van. (1995). Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat. Bandung: Mizan.
Damopolii, M. (2011). Pesantren Modern IMMIM: Pencetak Muslim Modern. Jakarta:
Rajawali Pers.
Dhofier, Z. (1982). Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangtan Hidup Kyai. Jakarta:
LP3ESW.
Faiqoh, & Mahfudh, S. (2015). Model Pembentukan Karakter Religius Santri Tahfidz
Al-Qur‟an di Pondok Pesantren Mathali‟ul Huda Pusat Kajen Pati. EDUKASI:
Jurnal Peneliti an Pendidikan Agama Dan Keagamaan, 13(3).
Hayati, F. (2011). Pesantren sebagai Alternatif Model Lembaga Pendidikan Kader
Bangsa. MIMBAR, XXVII(2), 157–163.
Kartodirjo, S. (1993). Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari Emperium
Sampai Imperium.
Kuntowijoyo. (1993). Paradigma Islam: Interprestasi Untuk Aksi. Bandung: Mizan.
Kurniawan, A. (2016). Pendidikan Karakter di Pondok Pesantren Dalam Menjawab
Krisis Sosial. Edueksos: Jurnal Pendidikan Sosial & Ekonomi, 4(2).
Madjid, N. (1997). Bilik-Bilik Pesantren sebuah Potret Perjalanan. Jakarta:
Paramadina.
Majid, A., & Andayani, D. (2011). Pendidikan Karakter: perspektif Islam. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Makmun, H. A. R. (2014). Pembentukan Karakter Berbasis Pendidikan Pesantren: Studi
di Pondok Pesantren Tradisional dan Modern Di Kabupaten Ponorogo. Cendekia
Vol., 12(2).
Malik, R, W., & S, R. (2013). Fungsi Pendidikan Karakter Mengatasi Kenakalaan
Remaja Di Lembaga Pemasyarakatan Anak Kelas II B Kecamatan Sungai Raya.
Jurnal Pendidikan Dan Pembelajaran, 2(12), 1–11.
Mastuhu. (1994). Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS.
Muslich, M. (2011). Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis
80
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, No I 2017 P-ISSN: 20869118
E-ISSN: 2528-2476
81
Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, Volume 8, No I 2017 P-ISSN: 20869118
E-ISSN: 2528-2476
82