Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 14

Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia

Kholilur Rahman,
[email protected]
Fakultas Tarbiyah, IAI Ibrahimy Genteng Banyuwangi

Abstract

This research was conducted to describe the history of


Islamic educational institutions on the journey in the history of
Indonesia through a long and tiring struggle. In the colonial era,
various ways were done as a frontal effort from The
Netherlands to stop the Islamic education that developed in
some Islamic educational institutions which at that time was
formed by pesantren and madrasah.Then on its development
result to the dichotomy of educational institutions in
Indonesia.Then on its development resulted in the dichotomy of
educational institutions in Indonesia.This research uses
literature method, which is a technique of collecting data
through scientific literacy on the development of Islamic
education institutions in Indonesia with the aim of revealing the
travel side of Islamic institutions.So the results of this study can
be useful to be a study of institutions of education.The result of
this research is that many Netherlands colonial efforts to stop
the educational process of Islamic education institutions under
the pesantren and madrasah system.These efforts include the
establishment of Priesnterraden, a strict supervision of
educational processions in Islamic educational institutions; then
published Teacher's Ordinance and Wild School Ordinance, as
well as other efforts discussed in this study.

Keywords: development, educational institution, Islam

PENDAHULUAN
Pendidikan dimulai sejak dimulainya peradaban di bumi. Pendidikan
terus berkembang seiring berkembangnya zaman tanpa henti. Hal ini sejalan
dengan sebuah hadits Rasulullah SAW.
‫ا ُ ْطﻠُﺑُوا اﻟ ِﻌ ْﻠ َم ﻣِنَ اﻟ َﻣ ْﮭ ِد إِﻟﻰ اﻟﻠﱠﺣْ ِد‬
Artinya:”Tuntutlah Ilmu sejak dari buaian sampai liang lahat”.
Hadits tersebut memberikan satu indikasi makna bahwa belajar tak ada
batas waktu, jenjang dan usia. Pendidikan sendiri sebagaimana dicontohkan
oleh rasulullah SAW berawal dari keluarga, atau disebut dengan istilah
pendidikan in-formal. Hal tersebut terlihat dari pendidikan keluarga rasulullah
dalam membimbing dan mengarahkan putra angkatnya, yakni sahabat Ali RA.
dan Zaid bin Tsabit. Dua tokoh sahabat dan ulama tersebut memiliki kapasitas
dan keilmuan luar biasa, tak lain karena berada dalam didikan keluarga
rasulullah dan Sayyidatina Khadijah.
Kesuksesan rasulullah di dalam mendidik tidak hanya dalam keluarga,
bahkan para sahabat kala itu juga mendapatkan pendidikan dan bimbingan
1 Tarbiyatuna, Vol. 2 No. 1 Februari 2018
Kholilur Rahman Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam

rasulullah di berbagai forum. Dan yang paling populer di dalam beberapa


literasi tentang sejarah pendidikan di masa rasulullah, adalah dilaksanakan di
Serambi (Suffah) masjid yang kemudian di sebut dengan Ashabus Suffah.
Yang pertama kali tinggal di Shuffah adalah kaum Muhajirin. Oleh
karena itu, terkadang shuffah ini melekat dengan mereka hingga juga dikenal
dengan sebutan Shuffatul Muhâjirîn. Tempat ini juga menjadi tempat
persinggahan para utusan yang hendak menjumpai Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk menyatakan keislamannya dan kesiapannya menaati
Rasulullah Shalalllahu ‘alaihi wa salam. Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu
adalah orang yang dipercaya sebagai penanggung jawab orang-orang yang
tinggal di Shuffah, baik yang menetap dalam jangka waktu yang lama ataupun
yang sekedar singgah saja.
Penghuni shuffah ini tidak hanya terdiri dari kaum Muhâjirîn ataupun
para utusan saja. Sebagian Sahabat dari kalangan Anshâr juga menghuninya.
Kendatipun mereka telah memiliki rumah di Madinah dan memiliki harta yang
cukup. Kemauan mereka untuk hidup zuhud menjadi alasan mengapa mereka
memilih tinggal di Shuffah. Diantaranya, Ka’ab bin Mâlik al Anshâri
Radhiyallahu anhu, Hanzhalah bin Abi ‘Amir Radhiyallahu ‘anhu, dan Hâritsah
bin Nu’mân Radhiyallahu anhu.
Begitulah sekelumit sejarah tentang cikal bakal dan perkembangan
pendidikan islam di zaman rosulullah yang terus berlangsung hingga kini.
Namun dalam tulisan kali ini penulis tertarik untuk memotret sejarah
perkembangan pendidikan Islam yang berkembang di Indonesia sebagai
lingkup kecil dari pendidikan Islam. Karena tidak dapat dipungkiri penting sekali
untuk mengetahui sejarah perkembangan pendidikan terutama lembaga
pendidikan Islam di Indonesia beserta dinamikanya sehingga kemudian muncul
upaya-upaya dikotomi antara lembaga pendidikan sebagai sebuah agresi
terhadap lembaga pendidikan Islam yang terus berkembang secara mandiri di
bawah komando para ulama.Tekanan-tekanan bangsa kolonial dari berbagai
cara, dari membentuk kurikulum sekuler dalam desain kurikulum nasional,
membuat undang-undang pendidikan, ordonansi guru dan ordonansi sekolah
liar adalah bukti-bukti sejarah yang konkrit bahwa lembaga pendidikan Islam
melewati sejarah panjang dalam mempertahankan ciri khasnya yang berbasis
keislaman.
Di tengah upaya “jihad’nya dalam mempertahankan ciri khas
kegamaan, pesantren dan madrasah terus berkembang yang secara kompetitif
bersaing dengan lembaga pendidikan umum. Pesantren dan madrasah juga
berupaya mendapatkan payung hukum pendidikan dari pemerintahan
Indonesia secara legal-formal sehingga keberadaan lembaga pendidikan Islam
mendapat legimitasi dari pemerintah Indonesia.

2 Tarbiyatuna, Vol. 2 No. 1 Februari 2018


Kholilur Rahman Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan pustaka, di mana


peneliti menela’ah beberapa literasi sejarah lembaga pendidikan Islam, baik
pesantren maupun madrasah dengan tujuan dapat melacak perkembangan
sejarah lembaga pendidikan Islam dan perjuanganya di bawah tekanan
ideologi kolonial.

PEMBAHASAN
A. Perkembangan lembaga Pendidikan Islam di Indonesia
Pendidikan adalah salah satu faktor yang sangat menentukan dan
berpengaruh terhadap perubahan sosial. Melalui pendidikan diharapkan bisa
menghasilkan para generasi penerus yang mempunyai karakter yang kokoh
untuk menerima tongkat estafet kepemimpinan bangsa. Dengan demikian,
pendidikan harus benar-benar dimaksimalkan dalam segala aspeknya. Agar
pendidikan terlaksana dengan baik, maka tentunya dibutuhkan media atau
forum yang disebut dengan Lembaga.
Lembaga pendidikan merupakan institusi, media, forum, atau situasi
dan kondisi tertentu yang memungkinkan terselenggaranya proses
pembelajaran, baik secara terstruktur maupun secara tradisi yang telah
diciptakan sebelumnya (Roqib, 2009: 121). Dinamika lembaga pendidikan terus
berkembang untuk menemukan bentuknya yang ideal dan melalui sejarah
panjang, terutama perkembangan lembaga pendidikan Islam di Indonesia.
Dalam beberapa sumber bacaan kependidikan, jarang dijumpai pendapat para
ahli tentang pengertian lembaga pendidikan Islam. Abuddin Nata
mengungkapkan bahwa kajian lembaga pendidikan Islam (tarbiyah Islamiyah)
biasanya terintegrasi secara implisit dengan pembahasan mengenai macam-
macam lembaga pendidikan. Namun demikian, dapat dipahami bahwa
lembaga pendidikan Islam adalah suatu lingkungan yang di dalamnya terdapat
ciri-ciri ke-Islaman yang memungkinkan terselenggaranya pendidikan Islam
dengan baik (Nata, 2005).
Pendidikan Islam pada awalnya hanya dipersepsi sebagai materi yang
kemudian secara perlahan berubah dan berkembang juga dipersepsi sebagai
institusi. Hal ini tercermin dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional dan peraturan pemerintah yang secara
operasional mengatur Undang-undang tersebut. Dengan demikian, penyebutan
“pendidikan Islam” bisa mencakup empat persepsi, yaitu pertama: pendidikan
Islam dalam pengertian materi; kedua, pendidikan Islam dalam pengertian
institusi; ketiga, pendidikan Islam dalam pengertian kultur; dan keempat,
pendidikan Islam dalam pengertian pendidikan yang islami (Soebahar, 2013).
Pendidikan Islam dalam pengertian institusi, maka yang dimaksud
adalah institusi-institusi pendidikan Islam, seperti: Pondok Pesantren,
Madrasah Diniyah, dan Madrasah sebagai sekolah Umum berciri khas Islam

3 Tarbiyatuna, Vol. 2 No. 1 Februari 2018


Kholilur Rahman Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam

(Soebahar, 2013). Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam


sudah tidak diragukan lagi. Ini bisa dilihat dari peran strategis pesantren,
diantaranya:
1. pesantren masih diyakini sebagai kiblat bagi umat Islam Indonesia. Ini
tidak lepas dari anggapan masyarakat bahwa menuntut ilmu agama akan
lebih mumpuni jika mondok di pesantren;
2. pendidikan pesantren yang telah melengkapi program pendidikannya
mampu memberikan pendidikan integratif (penggabungan) dan
komperehensif (menyeluruh). Ini bisa dilihat dari perpaduan ilmu dengan
moralitas santri;
3. tidak dibatasinya usia peserta didik, pendidikan seumur hidup dengan
waktu 24 jam;
4. mengutamakan kejujuran, keikhlasan dan akhlak yang baik dalam proses
pembelajaran;
5. persaudaraan sebagai watak santri. Dilihat dari kebersamaan santri dalam
pondok pesantren dengan satu kamar berpenghuni banyak dan makan
bersama dengan menu seadanya.
Apabila ditelusuri sejarah pendidikan di Jawa, sebelum datangnya
agama Islam telah ada lembaga pendidikan Jawa kuno yang praktik
kependidikannya sama dengan pesantren. Lembaga pendidikan Jawa kuno itu
bernama pawiyatan, di lembaga tersebut tinggal Ki Ajar dengan cantrik. Ki Ajar
orang yang mengajar cantrik orang yang diajar. Kedua kelompok ini tinggal
disatu komplek dan di sini terjadilah proses belajar mengajar. Dengan
menganalogikan pendidikan pawiyatan ini dengan pesantren, sebetulnya tidak
terlalu sulit untuk menetapkan bahwa pesantren itu telah tumbuh sejak awal
perkembangan Islam di Indonesia khususnya di Jawa. Sebab model
pendidikan pesantren itu telah ada sebelum Islam masuk yaitu pawiyatan
(Daulay, 2009: 21-22).
Dengan masuknya Islam, maka diperlukan sarana pendidikan, tentu
saja model pawiyatan ini dijadikan acuan dengan mengubah sistem yang ada
ke sistem pendidikan Islam. Inti dari pesantren itu adalah pendidikan ilmu
agama, dan sikap beragama. Karenanya mata pelajaran yang diajarkan
semata-mata pelajaran agama. Setelah anak didik telah memiliki kecerdasan
tertentu, maka mulailah diajarkan kitab-kitab klasik. Kitab-kitab klasik ini juga
diklasifikasikan kepada tingkat dasar, menengah dan tinggi. Mahmud Yunus
membagi pesantren pada tahap-tahap awal itu kepada empat tingkatan, yaitu :
tingkat dasar, menengah, tinggi, dan takhassus. Sistem pendidikan pesantren
baik metode, sarana fasilitas serta yang lainnya masih bersifat tradisional.
Administrasi pendidikannya belum seperti sekolah umum yang dikelola oleh
pemerintah kolonial Belanda, non-klasikal, metodenya sorogan, wetonan

4 Tarbiyatuna, Vol. 2 No. 1 Februari 2018


Kholilur Rahman Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam

hafalan. Menurut Zamaksyari Dhofier ada lima unsure pokok pesantren: kiai,
santri, masjid, pondok dan pengajaran kitab-kitab klasik (Daulay, 2009: 22).
Pada awal perkembangannya, ada dua fungsi pesantren. Pertama,
sebagai lembaga pendidikan; dan kedua, sebagai lembaga penyiaran agama.
Kendatipun kini telah banyak perubahan yang terjadi, namun inti fungsi utama
itu masih melekat pada pesantren. Sampai kini, fungsi asli tersebut tetap
dipelihara oleh pesantren dari pengaruh apa yang disebut modernisasi. Ini
mungkin dilakukannya karena pesantren mempunyai “wilayah sosial” yang
mengandung daya resistensi terhadap pengaruh buruk modernisasi. Di zaman
kolonial dahulu pondok pesantren memegang peranan aktif dalam menentang
penetrasi kolonialisme dengan uzlah yakni menutup diri dari pengaruh luar.
Peran ini tetap dilanjutkannya, juga beberapa waktu setelah Indonesia
merdeka. Oleh karena sifatnya yang tertutup di masa yang lampau itu dahulu,
pesantren sebagai lembaga pendidikan, kurang dikenal secara nasional.
Namun demikian, ketika membicarakan model pendidikan yang terbaik untuk
bangsa Indonesia, pemimpin-pemimpin Indonesia, antara bulan Oktober 1935
sampai dengan bulan April 1936, pernah bertukar pikiran melalui majalah
Pujangga Baru, Suara Umum, Pewarta Deli dan Wasita, yang kemudian
dikumpulkan oleh Akhdiyat K. Mihardja dalam buku Polemik Kebudayaan 1948
(Ali & Ali, 1995: 146).
Yang menarik dalam Polemik Kebudayaan itu adalah pikiran- pikiran
yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara dan Dr. Sutomo, pemimpin
golongan nasionalis, bukan pemimpin Islam, yang menginginkan agar
pesantren dijadikan sebagai model pendidikan nasional. Menurut pendapat
mereka, pendidikan yang diselenggerakan di pesantren, lebih sesuai bagi
bangsa Indonesia. Pesantren adalah warisan budaya Indonesia, karena itu
seyogyanya pendidikan pesantren dijadikan model dalam menyusun perguruan
nasional (Ali & Ali, 1995: 146). Dalam perkembangan berikutnya pesantren
mengalami dinamika yang menjadikan pesantren berkembang dari yang
tradisional ke modern. Sesuai dengan kemajuan dan perkembangan zaman,
terutama setelah Indonesia merdeka, telah timbul perubahan-perubahan dalam
dunia pesantren. Telah banyak di antara pesantren yang telah menyesuaikan
diri dengan kemajuan zaman tersebut, kendatipun di sana sini masih
ditemukan juga pesantren yang masih bersifat konservatif (Daulay, 2009: 22).
Sebagai suatu lembaga pendidikan yang hidup di tengah-tengah arus
modernisasi, maka agar eksistensinya tetap bisa dipertahankan maka ada
baiknya dikutip pendapat Nurcholish Madjid, bahwa pesantren diwajibkan oleh
tuntutan-tuntutan hidup anak didiknya kelak dalam kaitannya dengan
perkembangan zaman untuk membekali mereka dengan kemampuan-
kemampuan nyata yang dapat melalui pendidikan atau pengajaran
pengetahuan umum secara memadai. Dibagian ini pun sebagaimana layaknya

5 Tarbiyatuna, Vol. 2 No. 1 Februari 2018


Kholilur Rahman Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam

yang terjadi sekarang harus tersedia kemungkinan mengadakan pilihan-pilihan


jurusan bagi anak didik sesuai dengan potensi buat mereka. Jadi tujuan
pendidikan pesantren kiainya berada disekitar terbentuknya manusia yang
memilki kesadaran setingi-tingginya akan bimbingan agama Islam (Daulay,
2009: 75).

1. Lembaga Pendidikan Pesantren


Menurut Manfred Ziemek menyebutkan bahwa asal etimologi dari
pesantren adalah pesantrian berarti “tempat santri”. Santri atau murid
(umumnya sangat berbeda-beda) mendapat pelajaran dari pemimpin
pesantren (kiai) dan oleh para guru (ulama atau ustadz). Pelajaran mencakup
berbagai bidang tentang pengetahuan Islam. Elemen-elemen pokok pesantren
itu adalah : pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab klasik dan kiai. Ada
juga yang menyebutkan unsure-unsur pokok pesantren itu hanya tiga, yaitu : 1.
Kiai yang mendidik dan mengajar, 2. Santri yang belajar, 3. Masjid tempat
mengaji (Daulay, 2009: 61-62). Ada beberapa alasan pokok sebab pentingnya
pondok dalam satu pesantren, yaitu : pertama, banyaknya santri-santri yang
berdatangan dari daerah yang jauh untuk menuntut ilmu kepada seorang kiai
yang sudah termasyhur keahliannya. Kedua, pesantern-pesantren tersebut
terletak di desa-desa di mana tidak tersedia perumahan untuk menampung
santri yang berdatangan dari luar daerah. Ketiga, ada sikap timbal balik antara
kiai dan santri, di mana para santri menganggap kiai adalah seolah-olah orang
tuanya sendiri.
Hasil Studi Ronald Alan Lukens Bull (1977), Doktor yang menekuni
studi pondok pesantren asal Amerika Serikat, menunjukkan bahwa sebagai
lembaga pendidikan Islam, pondok pesantren pertama kali dirintis oleh Syaikh
Maulana Malik Ibrahim pada tahun 1399 M. Untuk menyebarkan agama Islam
di Jawa dan tokoh yang berhasil mendirikan pesantren adalah Raden Rahmat
(Sunan Ampel). Pertama kali didirikan pondok pesantren di kembangkuning
yang waktu hanya memiliki tiga orang santri, setelah itu Raden Rahmat pindah
ke Ampel Denta dan mendirikan pondok pesantren yang selanjutnya dikenal
dengan Sunan Ampel. Selanjutnya muncul pesantren-pesantren baru yang
digagas oleh para santri dan putranya, seperti pondok pesantren Giri oleh
Sunan Giri, Pondok Pesantren Demak oleh Raden Fatah, dan pondok
pesantren tuban oleh Sunan Bonang (Wahjotomo, 1997:70). Fungsi pondok
pesantren pada awalnya hanya sebagai media islamisasi yang memadukan
tiga unsur, yakni: ibadah untuk menanamkan iman, tabligh untuk menyebarkan
Islam, dan ilmu serta amal untuk mewujudkan kegiatan sehari-hari dalam
kehidupan masyarakat (Soebahar, 2013: 34).
Bangunan pondok pesantren terus berkembang dari waktu ke waktu
seiring dengan bertambahnya santri. Akhirnya dengan bantuan dari
masyarakat sekitar yang menaruh simpati, berkembanglah pemukiman
6 Tarbiyatuna, Vol. 2 No. 1 Februari 2018
Kholilur Rahman Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam

tersebut menjadi “kampus atau kompleks”, tempat para santri beribadah,


mencari ilmu dan berinteraksi dengan kiai sebagai tokoh sentralnya yang
menjadi panutan para santri dalam kehidupan sehari-hari. Itulah sebabnya
tempat tersebut kemudian dikenal dengan nama atau istilah pondok pesantren.
Pondok berarti tempat tinggal, sedang pesantren merupakan penyantrian, yang
memiliki dua arti, yakni tempat santri atau proses menjadi santri (Soebahar,
2013: 35).
Pesantren sendiri telah menempuh sejarah panjang, dari yang awalnya
hanya menyebarkan ilmu bertransformasi menjadi lembaga yang menanamkan
nilai-nilai akhlakul karimah, membentuk karakter serta menerima bentuk
kurikulum pemerintah dalam rangka menjawab kebutuhan masyarakat dan
zaman, lalu kemudian muncul model-model pondok pesantren, yakni pondok
pesantren modern, yakni pondok pesantren yang terbuka untuk perubahan,
maju dan berkembang serta menerima kurikulum negara, ada pula yang
berkomitmen untuk terus mempertahankan tradisi salafi dan konservatif
terhadap dinamika kebutuhan pendidikan, pesantren ini disebut dengan
pesantren Salaf.

2. Lembaga Pendidikan Madrasah


Madrasah merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam yang
berbentuk formal. di mana dalam sistem pembelajarannya diatur secara
sistematis. Madrasah adalah lembaga penyelenggara kegiatan belajar-
mengajar secara terpadu dan sistematis. Prosedur pendidikannya diatur
sedemikian rupa, ada guru, ada siswa, ada jadwal pelajaran yang berpedoman
pada kurikulum, silabus, dan GBPP (Garis-Garis Besar Program Pengajaran),
ada jam-jam tertentu waktu belajar serta dilengkapi dengan sarana dan fasilitas
pendidikan, baik perangkat keras maupun perangkat lunak. Madrasah atau
sekolah merupakan lembaga pendidikan formal, juga menentukan membentuk
kepribadian anak didik yang islami. Bahkan madrasah bisa disebut sebagai
lembaga pendidikan kedua yang berperan dalam mendidik peserta didik. Hal
ini cukup beralasan, mengingat bahwa madrasah atau sekolah merupakan
tempat khusus dalam menuntut berbagai ilmu pengetahuan.
Secara historis keberadaan madrasah merupakan perkembangan lebih
lanjut dari keberadaan masjid. Sebab, proses pendidikan yang berlangsung di
masjid pada periode awal terdapat pendidik, peserta didik, materi dan metode
pembelajaran yang diterapkan sesuai dengan materi dan kondisi peserta didik.
Hanya saja, dalam mengajarkan suatu materi, terkadang dibutuhkan tanya
jawab, pertukaran pikiran, hingga dalam bentuk perdebatan sehingga metode
seperti ini kurang serasi dengan ketenangan dan rasa keagungan yang harus
ada pada sebagian pengunjung-pengunjung masjid. Madrasah sebagai institusi
pendidikan kegamaan di Indonesia memiliki sejarah panjang. Pada zaman
penjajahan Belanda, madrasah didirikan untuk semua warga. Sejarah
7 Tarbiyatuna, Vol. 2 No. 1 Februari 2018
Kholilur Rahman Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam

mencatat, madrasah pertama kali berdiri di Sumatra, Madrasah Adabiyah


(1908, dimotori Syekh Abdullah Ahmad), tahun 1910 berdiri Madrasah Schoel
di Batusangkar oleh Syaikh M. Taib Umar, kemudian M. Mahmud Yunus pada
1918 mendirikan Diniyah Schoel sebagai lanjutan dari Madrasah Schoel.
Madrasah Tawalib didirikan Syeikh Abdul Karim Amrullah di Padang Panjang
(1907). Lalu, Madrasah Nurul Uman dididirikan H. Abdul Somad di Jambi.
Madrasah berkembang di Jawa mulai 1912. Ada model madrasah-
pesantren NU dalam bentuk Madrasah Awaliyah, Ibtidaiyah, Tsanawiyah,
Muallimin Wustha, dan Muallimin Ulya (mulai 1919); ada madrasah yang
mengapropriasi sistem pendidikan Belanda plus, seperti Muhammadiyah
(1912) yang mendirikan Madrasah Ibtidaiyah, Tsnawiyah, Muallimin,
Muballighin, dan madrasah Diniyah. Ada juga model Al-Irsyad (1913) yang
mendirikan madrasah Awaliyah, Ibtidaiyah, Madrasah Tajhiziyah, Muallimin
dan Tahassus; atau model madrasah PUI di Jabar yang mengembangkan
madrasah pertanian. Pada awal masa kemerdekaan RI sampai adanya SKB
Tiga Menteri, madrasah dengan persentase lumayan masih konsisten berdiri di
atas orientasinya sendiri. Perubahan struktur sosial kemudian mendorong
pesantren menyesuaikan diri dengan kebutuhan mendasar yang dipolakan
oleh sistem pendidikan nasional. Berbagai komponen bidang studi yang
semula belum menjadi wilayah garapan madrasah.
Dahulu madrasah hanya mengenal sistem klasikal dalam bentuk shiff
(kelas) satu sampai dengan enam atau sampai belasan (seperti di Madrasah
Mamba’ul Ulum). Kini, pengelolaannya semakin meningkat dengan sistem
manajerial madrasah. Ada komponen kurikulum secara teratur, ketatausahaan
yang lengkap dan sebagainya. Pendek kata, madrasah mulai berusaha
mengembangkan dirinya sesempurna mungkin, sebagai sisi lain dari sistem
pendidikan nasional, terutama pada waktu lembaga ini menjadi rival
Departeman Agama dengan kebijaksanaanya membentuk MWB (Madrasah
Wajib Belajar).
Bila pada awal kemerdekaan, madrasah pada galibnya menolak campur
tangan pemerintah, sikap itu muncul terutama karena negara baru ini berwatak
duniawi dan nasionalistis. Sedangkan madrasah yang dikelola swasta memiliki
tradisi keagamaan. Mulai masa MWB itu, rnadrasah mengakomodasikan sikap.
Subsidi pemerintah dalam bentuk material mulai diterima. Maknanya, ia mulai
membuka keterlibatan pemerintah dalam dunianya. Guru Agama Negeri-
walaupun secara selektif-mulai diterima, bahkan menjadi kebutuhan terutama
bagi yang kekurangan tenaga guru.
Ide peningkatan madrasah yang datang dari pemerintah untuk
mengubah orientasi kepada pola sistem pendidikan mulai diterima, sekurang-
kurangnya dipertimbangkan. Kurikulum mulai dibicarakan bentuk dan
ragamnya yang sesuai dengan peningkatan kualitasnya. Sejak ini, banyak

8 Tarbiyatuna, Vol. 2 No. 1 Februari 2018


Kholilur Rahman Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam

perubahan-perubahan besar di madrasah. Akan tetapi secara ideal saat itu


madrasah masih dapat konsisten pada titik tekan disiplin ilmunya, walaupun
dipandang dari sudut prestasinya mengalami penurunan.
Suatu fenomena lain yang merupakan kelanjutan dari proses itu ialah
ketika SKB Tiga Menteri tahun 1975 diterapkan pada madrasah. Sejak itu
madrasah dituntut mengikuti berbagai perkembangan sosial lebih jauh lagi dan
beradaptasi dengan pola hidup masyarakat. SKB itu sebenarnya merupakan
bentuk legalisasi saja dari tuntutan itu. Mulailah madrasah menstandarkan
kurikulumnya dengan sekolah dan madrasah negeri. Apalagi setelah
terbukanya kesempatan penegerian madrasah atau sekurang-kurangnya
memfilialkan dengan negeri, ujian persamaan negeri dan UUB di madrasah.

B. Dikotomi Pendidikan Agama dan Sekular


Dikotomi dalam bahasa Inggris adalah dichotomy adalah pembagian
dua bagian, pembelahan dua, bercabang dua bagian (Echols & Shadily, 1992:
180). Ada juga yang mendefinisikan dikotomi sebagai pembagian di dua
kelompok yang saling bertentangan (Depdikbud, 1989: 205). Secara
terminologis, dikotomi dipahami sebagai pemisahan antara ilmu dan agama
yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik lainnya,
seperti dikotomi ulama dan intelektual, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam
dan bahkan dikotomi dalam diri muslim itu sendiri (split personality)
(Praktiknya, 1991: 104). Bagi Al- Faruqi, dikotomi adalah dulaisme religius dan
kultural (Al-Faruqi, 1982: 37).
Dikotomi adalah merupakan dua hal yang bertentangan yang dalam
konteks pembahasan ini adalah dikotomi yang terjadi antara pendidikan Islam
dan pendidikan sekular yang tidak dipungkiri terbentuk dalam dunia pendidikan
di Indonesia. Hal ini terbukti dengan lahirnya dua lembaga pendidikan berciri
khas berbeda, yakni sekolah dan madrasah. Sekolah merupakan representasi
dari sebuah proses pembelajaran yang menitik beratkan pada pembelajaran
umum, sementara madrasah adalah sebuah lembaga pendidikan yang berciri
khas keislaman karena banyak porsi materi agama dari pada materi umum dan
sekular.
Persoalan dikotomi dan dualisme terasa sudah mendarah-daging dalam
pendidikan di Indonesia. Hal ini lantaran dikotomi dan dualisme itu sudah ada
sejak lama, tepatnya ketika Belanda menjajah negeri ini (Saridjo, 1996: 22).
Latar belakang munculnya dikotomi dalam pendidikan itu didasarkan pada
beberapa kepentingan Belanda sebagai bangsa penjajah, seperti: untuk
meningkatkan pengetahuan mereka berkaitan dengan ilmu-ilmu umum dan
pengetahuan tentang masyarakat Indonesia, keperluan tenaga pembantu
rumah tangga dari penduduk pribumi sehingga mereka diberikan pendidikan
secukupnya, ingin mendapatkan simpati dari warga penduduk pribumi karena

9 Tarbiyatuna, Vol. 2 No. 1 Februari 2018


Kholilur Rahman Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam

jasa pendidikan yang diberikan, kepentingan misionaris, dan lain sebagainya


(Mestoko, 1979: 41).
Pada era penjajahan Belanda, dikotomi muncul sebagai bentuk
deskriminasi Belanda terhadap warga Indonesia. Ini terlihat dari pendidikan
yang tidak seimbang antara belanda dan warga indoneisa. Warga belanda
mendapatkan pendidikan di kelas-kelas khusus, sementara warga Indonesia
hanya bisa menempuh pendidikan di kelas-kelas yang tujuannya tidak untuk
mencerdaskan serta meningkatkan taraf sosial. Akan tetapi, ditujukan untuk
mempertahankan perbedaan sosial.
Berbicara lebih jauh tentang pengdikotomian ilmu hal ini sangatlah
terkait dengan masalah dikotomi pendidikan (kelembagaan), sehingga
berimbas pada terjadinya dikotomi pendidikan umum dan pendidikan agama
dalam arti kelembagaan yang dimana hal ini merupakan warisan dari zaman
kolonial Belanda, karena anak-anak yang bisa masuk sekolah Belanda
sebelum kemerdekaan hanya 6% dan terbatas bagi anak-anak kaum
bangsawan dan saudagar, maka anak-anak orang Islam memilih madrasah
atau pondok pesantren, yang memang sudah ada sebelum munculnya
sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial Belanda. Karena tekanan
politik pemerintah kolonial, maka sekolah-sekolah agama Islam memisah diri
dan terkontak dalam kubu tersendiri.Sehingga dengan sendirinya mulailah
pendidikan terkotak-kotak (dikotomi) antara pendidikan umum dan pendidikan
agama. Bila kita menoleh sejarah pendidikan Islam maka menurut Azyumardi
Azra, hal ini bermula dari historical accident atau “kecelakaan sejarah”, yaitu
ketika ilmu-ilmu umum (keduniaan) yang bertitik tolak pada penelitian empiris,
rasio, dan logika mendapat serangan yang hebat dari kaum fuqaha (Muliawan,
2005: 206-208).
Pemerintah Belanda menerapkan pengawasan dan kontrol yang sangat
ketat dan kaku, kontrol yang ketat ini dijadikan alat politik untuk menghambat
dan bahkan menghalang-halangi pelaksanaan pendidikan Islam, dengan
membentuk suatu badan yang khusus yang bertugas mengawasi kehidupan
beragama dan pendidikan Islam yang disebut Priesnterraden (Fauzan, 2004:
164)
Salah satu kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam mengawasi
pendidikan Islam adalah penerbitan Ordonansi Guru. Kebijakan ini mewajibkan
guru-guru agama untuk memiliki surat izin dari pemerintah. Tidak setiap orang,
meskipun ahli ilmu agama, dapat mengajar di lembaga-lembaga pendidikan.
Dalam perkembangannya, Ordonansi Guru itu sendiri mengalami perubahan
dari keharusan guru adama mendapatkan surat izin menjadi keharusan guru
agama itu cukup melapor dan memberitahu saja (Maksum, 1999: 115).
Peraturan ini mungkin disebabkan oleh adanya gerakan organisasi pendidikan

10 Tarbiyatuna, Vol. 2 No. 1 Februari 2018


Kholilur Rahman Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam

Islam yang sudah tampak tumbuh seperti Muhammadiyah, Partai Syarikat


Islam, Al-Irsyad, Nahdatul Watan dan lain-lain.
Selain Ordonansi Guru, pemerintah Belanda mengeluarkan pula
peraturan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang
tidak ada izinnya atau memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh
pemerintah yang disebut Ordonansi Sekolah Liar (Wilde School Ordonantie).
Selain itu untuk lingkungan kehidupan agama Kristen di Indonesia yang selalu
menghadapi reaksi dari rakyat, dan untuk menjaga sekolah umum yang
kebanyakan muridnya beragama Islam, maka pemerintah mengeluarkan
peraturan yang disebut netral agama (Zuhairini, et al., 2008: 150).
Dikotomi yang tercipta di zaman kolonial belanda tak bisa lekang
bahkan sampai bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaanya pada
tahun 1945. Oleh karenanya, Departemen Agama tampil untuk mengarahkan
Madrasah agar tidak berjalan sendiri dan mengacu pada Standar yang
diberlakukan untuk sekolah umum. Sehingga pada tahun 1975 menteri agama,
menteri dalam negeri dan menteri pendidikan sepakat untuk mengeluarkan
SKB menteri yang bertujuan untuk membuat langkah konvergensi terhadap
Dikotomi lembaga pendidikan di Indonesia.

C. Usaha konvergensi Lembaga Pendidikan Agama dan Sekular


Pada tahun 1972 dan tahun 1974, Presiden Soeharto mengeluarkan
Keppres No 34/1972 dan Inpres No 15/1974 yang dianggap melemahkan dan
mengasingkan madrasah dan pendidikan nasional yang memunculkan reaksi
keras umat Islam. Untuk meredam reaksi tersebut kemudian muncul Surat
Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yakni Menteri Agama, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri pada 1975 yang
mensejajarkan level madrasah dengan sekolah umum, yakni Madrasah
Ibtidaiyah (MI) yang setingkat dengan SD, Madrasah Tsanawiyah (MTs) yang
setingkat dengan SMP, dan Madrasah Aliyah (MA) yang setingkat dengan
SMA. SKB tiga menteri ini pada hakikanya adalah untuk meningkatkan mutu
pendidikan di madrasah. Dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) tahun 1975,
Bab I Pasal I disebutkan bahwa yang dimaksud dengan madrasah dalam
keputusan bersama ini adalah lembaga pendidikan yang menjadikan mata
pelajaran agama Islam sebagai dasar yang diberikan sekurang-kurangnya 30%
di samping mata pelajaran umum.
Dengan terbitnya SKB tiga Menteri tahun 1975, pada fase ini mata
pelajaran umum di madrasah di setiap levelnya lebih banyak, yakni sekitar
70%. Walaupun demikian, kedudukan mata pelajaran agama tetap memegang
peranan yang amat penting seperti tertera dalam kurikulum madrasah Aliyah
Tahun 1984, sekitar 30%. Dengan dikeluarkannya SKBTiga Menteri tersebut,
maka madrasah memasuki era baru, yakni era kesetaraan dan kesederajatan

11 Tarbiyatuna, Vol. 2 No. 1 Februari 2018


Kholilur Rahman Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam

antara madrasah dengan sekolah. Ini adalah salah satu bentuk upaya
konvergensi atas dikotomi dua lembaga pendidikan yang berciri khas berbeda.
Dengan demikian pergumulan antara sistem pendidikan nasional
dengan sistem pendidikan Islam pun terus berlangsung, melalui proses yang
panjang lahirnya Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, yang diharapkan mampu meletakkan dasar-dasar yang
kuat yang dapat dijadikan tolak ukur untuk mendekatkan berbagai kutub
pendidikan yang dualistis dan dikotomis di Indonesia.
Akan tetapi kenyataan ini tidak dapat menghilangkan paradigma
dualisme dan dikotomi pengelolaan yang selama ini melingkupi pendidikan
nasional. Departemen Agama sebagai otoritas pengelolaan pendidikan agama
berhadapan dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan selaku
pengelola pendidikan umum sehingga muncul persoalan adanya dikotomisasi
kurikulum, diskriminasi lulusan, kebijakan moneter yang tidak seimbang dan
lain-lain
Dengan UU. No. 20 Tahun 2003 dan PP. No. 19 Tahun 2005
diharapkan mampu prinsip otonomi yang diakomodasi adalah adanya
pengakuan terhadap otonomi sekolah, di samping penghapusan diskriminasi
antara pendidikan yang dikelola pemerintah dan pendidikan yang dikelola
masyarakat serta pembedaaan antara pendidikan keagamaan dan pendidikan
umum. Undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut telah memberi
peluang yang sama untuk mendapat pengakuan, penghargaan dan tidak ada
diskriminasi di mata negara, sehingga diharapkan dapat menjembatani
dualisme dan dikotomi.

SIMPULAN
Lembaga pendidikan di Indonesia, khususnya lembaga pendidikan
Islam terdiri dari lembaga pendidikan Pesantren dan lembaga pendidikan
Madrasah. Pesantren pertama di Indonesia dirintis oleh Syehk Maulana Malik
Ibrahim pada tahun 1399 M kemudian didirikan oleh Raden Rahmat (sunan
Ampel) yang terus belanjut hingga zaman kolonial belanda menjajah Indonesia.
Sistem pendidikan pesantren pada awalnya, baik metode, sarana prasarana,
masih bersifat tradisional karena pesantren cenderung konservatif dari sistem
pendidikan sekular yang dimotori oleh belanda. Namun meski perkembangan
lembaga pendidikan Islam di Indonesia mengalami tekanan yang luar biasa
ketat terutama waktu penjajahan kolonial belanda pesantren selalu bisa
menunjukkan eksistensinya sebagai lembaga pendidikan yang konsisten
mengajarkan nilai-nilai agama.
Madrasah adalah model kedua dari pesantren sebagai lembaga
pendidikan Islam di Indoenia juga mengalami perjalanan yang panjang.
Tekanan-tekanan dari kolonialisme belanda juga gencar diarahkan untuk
melemahkan sistem pendidikan di madrasah, salah satu bentuk startegi
12 Tarbiyatuna, Vol. 2 No. 1 Februari 2018
Kholilur Rahman Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam

tekanan kolonialisme adalah terbentuknya dikotomi lembaga pendidikan Islam


dan lembaga pendidikan sekular. Kemudian terbitnya ordonansi guru dan
ordonansi sekolah liar. Adalah salah satu bentuk konkrit sejarah bahwa
perjalanan madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia tidaklah
mulus dan penuh dengan dinamika kecaman.

DAFTAR RUJUKAN

Al-Faruqi, I. R. 1982. Islamization of Knowledge : General Principles and


Workplan Hemdon : HIT

Ali, D. M & Ali, D. H. 1995. Lembaga – lembaga Islam di Indonesia. Jakarta:


Raja Grafindo

Daulay, P. H. 2009. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di


Indonesia. Jakarta : Kencana

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1989. Kamus Besar Bahasa


Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka

Echols, M. J & Shadily, H. 1992. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: PT


Gramedia Utama

Fauzan, S. 2004. Perkembangan Pendidikan Islam di Nusantara, Studi


Perkembangan Sejarah dari Abad 13 hingga Abad 20 M. Bandung:
Angkasa

Maksum. 1999. Madrasah Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta : Logos


Wacana Ilmu

Mestoko, S. 1979. Pendidikan Indonesia dari Jaman ke Jaman. Jakarta:


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI

Muliawan, U. J. 2005. Pendidikan Islam Integratif: Upaya Mengintegrasikan


kembali Dikotomi Ilmu dan Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar

Nata, A. 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama

Pratiknya, W. A. 1991. Identifikasi Masalah Pendidikan Agama Islam di


Indonesia. Muslih Usa (Ed.), Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita
dan Fakta . Yogyakarta : Tiara Wacana

Roqib, M. 2009. Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan Integratif di


Sekolah, Keluarga, dan Masyarakat. Yogyakarta: LKIS

Saridjo, M. 1996. Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Amissco


13 Tarbiyatuna, Vol. 2 No. 1 Februari 2018
Kholilur Rahman Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam

Soebahar, A. H. 2013. Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordinansi Guru sampai


UU Sisdiknas. Jakarta: PT Raja Grapindo Persada

Zuhairini et al. 2008. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara

14 Tarbiyatuna, Vol. 2 No. 1 Februari 2018

You might also like