Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia
Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia
Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia
Kholilur Rahman,
[email protected]
Fakultas Tarbiyah, IAI Ibrahimy Genteng Banyuwangi
Abstract
PENDAHULUAN
Pendidikan dimulai sejak dimulainya peradaban di bumi. Pendidikan
terus berkembang seiring berkembangnya zaman tanpa henti. Hal ini sejalan
dengan sebuah hadits Rasulullah SAW.
ا ُ ْطﻠُﺑُوا اﻟ ِﻌ ْﻠ َم ﻣِنَ اﻟ َﻣ ْﮭ ِد إِﻟﻰ اﻟﻠﱠﺣْ ِد
Artinya:”Tuntutlah Ilmu sejak dari buaian sampai liang lahat”.
Hadits tersebut memberikan satu indikasi makna bahwa belajar tak ada
batas waktu, jenjang dan usia. Pendidikan sendiri sebagaimana dicontohkan
oleh rasulullah SAW berawal dari keluarga, atau disebut dengan istilah
pendidikan in-formal. Hal tersebut terlihat dari pendidikan keluarga rasulullah
dalam membimbing dan mengarahkan putra angkatnya, yakni sahabat Ali RA.
dan Zaid bin Tsabit. Dua tokoh sahabat dan ulama tersebut memiliki kapasitas
dan keilmuan luar biasa, tak lain karena berada dalam didikan keluarga
rasulullah dan Sayyidatina Khadijah.
Kesuksesan rasulullah di dalam mendidik tidak hanya dalam keluarga,
bahkan para sahabat kala itu juga mendapatkan pendidikan dan bimbingan
1 Tarbiyatuna, Vol. 2 No. 1 Februari 2018
Kholilur Rahman Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam
PEMBAHASAN
A. Perkembangan lembaga Pendidikan Islam di Indonesia
Pendidikan adalah salah satu faktor yang sangat menentukan dan
berpengaruh terhadap perubahan sosial. Melalui pendidikan diharapkan bisa
menghasilkan para generasi penerus yang mempunyai karakter yang kokoh
untuk menerima tongkat estafet kepemimpinan bangsa. Dengan demikian,
pendidikan harus benar-benar dimaksimalkan dalam segala aspeknya. Agar
pendidikan terlaksana dengan baik, maka tentunya dibutuhkan media atau
forum yang disebut dengan Lembaga.
Lembaga pendidikan merupakan institusi, media, forum, atau situasi
dan kondisi tertentu yang memungkinkan terselenggaranya proses
pembelajaran, baik secara terstruktur maupun secara tradisi yang telah
diciptakan sebelumnya (Roqib, 2009: 121). Dinamika lembaga pendidikan terus
berkembang untuk menemukan bentuknya yang ideal dan melalui sejarah
panjang, terutama perkembangan lembaga pendidikan Islam di Indonesia.
Dalam beberapa sumber bacaan kependidikan, jarang dijumpai pendapat para
ahli tentang pengertian lembaga pendidikan Islam. Abuddin Nata
mengungkapkan bahwa kajian lembaga pendidikan Islam (tarbiyah Islamiyah)
biasanya terintegrasi secara implisit dengan pembahasan mengenai macam-
macam lembaga pendidikan. Namun demikian, dapat dipahami bahwa
lembaga pendidikan Islam adalah suatu lingkungan yang di dalamnya terdapat
ciri-ciri ke-Islaman yang memungkinkan terselenggaranya pendidikan Islam
dengan baik (Nata, 2005).
Pendidikan Islam pada awalnya hanya dipersepsi sebagai materi yang
kemudian secara perlahan berubah dan berkembang juga dipersepsi sebagai
institusi. Hal ini tercermin dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional dan peraturan pemerintah yang secara
operasional mengatur Undang-undang tersebut. Dengan demikian, penyebutan
“pendidikan Islam” bisa mencakup empat persepsi, yaitu pertama: pendidikan
Islam dalam pengertian materi; kedua, pendidikan Islam dalam pengertian
institusi; ketiga, pendidikan Islam dalam pengertian kultur; dan keempat,
pendidikan Islam dalam pengertian pendidikan yang islami (Soebahar, 2013).
Pendidikan Islam dalam pengertian institusi, maka yang dimaksud
adalah institusi-institusi pendidikan Islam, seperti: Pondok Pesantren,
Madrasah Diniyah, dan Madrasah sebagai sekolah Umum berciri khas Islam
hafalan. Menurut Zamaksyari Dhofier ada lima unsure pokok pesantren: kiai,
santri, masjid, pondok dan pengajaran kitab-kitab klasik (Daulay, 2009: 22).
Pada awal perkembangannya, ada dua fungsi pesantren. Pertama,
sebagai lembaga pendidikan; dan kedua, sebagai lembaga penyiaran agama.
Kendatipun kini telah banyak perubahan yang terjadi, namun inti fungsi utama
itu masih melekat pada pesantren. Sampai kini, fungsi asli tersebut tetap
dipelihara oleh pesantren dari pengaruh apa yang disebut modernisasi. Ini
mungkin dilakukannya karena pesantren mempunyai “wilayah sosial” yang
mengandung daya resistensi terhadap pengaruh buruk modernisasi. Di zaman
kolonial dahulu pondok pesantren memegang peranan aktif dalam menentang
penetrasi kolonialisme dengan uzlah yakni menutup diri dari pengaruh luar.
Peran ini tetap dilanjutkannya, juga beberapa waktu setelah Indonesia
merdeka. Oleh karena sifatnya yang tertutup di masa yang lampau itu dahulu,
pesantren sebagai lembaga pendidikan, kurang dikenal secara nasional.
Namun demikian, ketika membicarakan model pendidikan yang terbaik untuk
bangsa Indonesia, pemimpin-pemimpin Indonesia, antara bulan Oktober 1935
sampai dengan bulan April 1936, pernah bertukar pikiran melalui majalah
Pujangga Baru, Suara Umum, Pewarta Deli dan Wasita, yang kemudian
dikumpulkan oleh Akhdiyat K. Mihardja dalam buku Polemik Kebudayaan 1948
(Ali & Ali, 1995: 146).
Yang menarik dalam Polemik Kebudayaan itu adalah pikiran- pikiran
yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara dan Dr. Sutomo, pemimpin
golongan nasionalis, bukan pemimpin Islam, yang menginginkan agar
pesantren dijadikan sebagai model pendidikan nasional. Menurut pendapat
mereka, pendidikan yang diselenggerakan di pesantren, lebih sesuai bagi
bangsa Indonesia. Pesantren adalah warisan budaya Indonesia, karena itu
seyogyanya pendidikan pesantren dijadikan model dalam menyusun perguruan
nasional (Ali & Ali, 1995: 146). Dalam perkembangan berikutnya pesantren
mengalami dinamika yang menjadikan pesantren berkembang dari yang
tradisional ke modern. Sesuai dengan kemajuan dan perkembangan zaman,
terutama setelah Indonesia merdeka, telah timbul perubahan-perubahan dalam
dunia pesantren. Telah banyak di antara pesantren yang telah menyesuaikan
diri dengan kemajuan zaman tersebut, kendatipun di sana sini masih
ditemukan juga pesantren yang masih bersifat konservatif (Daulay, 2009: 22).
Sebagai suatu lembaga pendidikan yang hidup di tengah-tengah arus
modernisasi, maka agar eksistensinya tetap bisa dipertahankan maka ada
baiknya dikutip pendapat Nurcholish Madjid, bahwa pesantren diwajibkan oleh
tuntutan-tuntutan hidup anak didiknya kelak dalam kaitannya dengan
perkembangan zaman untuk membekali mereka dengan kemampuan-
kemampuan nyata yang dapat melalui pendidikan atau pengajaran
pengetahuan umum secara memadai. Dibagian ini pun sebagaimana layaknya
antara madrasah dengan sekolah. Ini adalah salah satu bentuk upaya
konvergensi atas dikotomi dua lembaga pendidikan yang berciri khas berbeda.
Dengan demikian pergumulan antara sistem pendidikan nasional
dengan sistem pendidikan Islam pun terus berlangsung, melalui proses yang
panjang lahirnya Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, yang diharapkan mampu meletakkan dasar-dasar yang
kuat yang dapat dijadikan tolak ukur untuk mendekatkan berbagai kutub
pendidikan yang dualistis dan dikotomis di Indonesia.
Akan tetapi kenyataan ini tidak dapat menghilangkan paradigma
dualisme dan dikotomi pengelolaan yang selama ini melingkupi pendidikan
nasional. Departemen Agama sebagai otoritas pengelolaan pendidikan agama
berhadapan dengan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan selaku
pengelola pendidikan umum sehingga muncul persoalan adanya dikotomisasi
kurikulum, diskriminasi lulusan, kebijakan moneter yang tidak seimbang dan
lain-lain
Dengan UU. No. 20 Tahun 2003 dan PP. No. 19 Tahun 2005
diharapkan mampu prinsip otonomi yang diakomodasi adalah adanya
pengakuan terhadap otonomi sekolah, di samping penghapusan diskriminasi
antara pendidikan yang dikelola pemerintah dan pendidikan yang dikelola
masyarakat serta pembedaaan antara pendidikan keagamaan dan pendidikan
umum. Undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut telah memberi
peluang yang sama untuk mendapat pengakuan, penghargaan dan tidak ada
diskriminasi di mata negara, sehingga diharapkan dapat menjembatani
dualisme dan dikotomi.
SIMPULAN
Lembaga pendidikan di Indonesia, khususnya lembaga pendidikan
Islam terdiri dari lembaga pendidikan Pesantren dan lembaga pendidikan
Madrasah. Pesantren pertama di Indonesia dirintis oleh Syehk Maulana Malik
Ibrahim pada tahun 1399 M kemudian didirikan oleh Raden Rahmat (sunan
Ampel) yang terus belanjut hingga zaman kolonial belanda menjajah Indonesia.
Sistem pendidikan pesantren pada awalnya, baik metode, sarana prasarana,
masih bersifat tradisional karena pesantren cenderung konservatif dari sistem
pendidikan sekular yang dimotori oleh belanda. Namun meski perkembangan
lembaga pendidikan Islam di Indonesia mengalami tekanan yang luar biasa
ketat terutama waktu penjajahan kolonial belanda pesantren selalu bisa
menunjukkan eksistensinya sebagai lembaga pendidikan yang konsisten
mengajarkan nilai-nilai agama.
Madrasah adalah model kedua dari pesantren sebagai lembaga
pendidikan Islam di Indoenia juga mengalami perjalanan yang panjang.
Tekanan-tekanan dari kolonialisme belanda juga gencar diarahkan untuk
melemahkan sistem pendidikan di madrasah, salah satu bentuk startegi
12 Tarbiyatuna, Vol. 2 No. 1 Februari 2018
Kholilur Rahman Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam
DAFTAR RUJUKAN