Islam Dan Pembebakan
Islam Dan Pembebakan
Islam Dan Pembebakan
Mohamad Adnan
STAI Hasan Jufri Bawean Gresik
Email: [email protected]
A. Latar Belakang
Masalah pendidikan merupakan masalah yang sangat penting dan tidak bisa
dipisahkan dari seluruh rangkaian kehidupan manusia. Kebanyakan manusia
memandang pendidikan sebagai sebuah kegiatan mulia yang akan mengarahkan
manusia pada nilai-nilai yang memanusiakan. Pandangan bahwa pendidikan
sebagai kegiatan yang sangat sakral dan mulia telah lama diyakini oleh manusia.
Namun di dekade 70-an dua orang tokoh pendidikan, yaitu Paulo Freire dan Ivan
Illich melontarkan kritik yang sangat mendasar tentang asumsi tersebut. Mereka
menyadarkan banyak orang bahwa pendidikan yang selama ini disakralkan dan
diyakini mengandung nilai-nilai kebajikan tersebut ternyata mengandung
penindasan.1
Pendidikan merupakan suatu perbuatan, tindakan, dan praktek. Namun,
demikian pendidikan tidak dapat diartikan sebagai satu hal yang mudah,
sederhana, dan tidak memerlukan pemikiran. Karena istilah pendidikan sebagai
praktek, mengandung implikasi pemahaman akan arah dan tujuannya.2 Karenanya
proses pendidikan itu bukan hanya sekedar lahiriah dan suatu prilaku kosong saja.
Pendidikan tidak diarahkan untuk pendidikan itu sendiri, melainkan diarahkan
untuk pencapaian maksud, arah, dan tujuan di masa yang akan datang. Dengan
demikian, dimensi waktu dalam pendidikan tidak hanya terbatas pada waktu
sekarang, yaitu saat berlangsung pendidikan tersebut. Tetapi, pendidikan diarahkan
pada sikap, prilaku, dan kemampuan serta pengetahuan yang diharapkan akan
menjadi pegangan bagi anak didik dalam melaksanakan tugas hidupnya secara
bertanggung jawab dan dapat menjadi manusia yang seutuhnya, sebagaimana yang
menjadi tujuan utama dalam pendidikan.
Menurut Muhammad Iqbal, pendidikan bukan hanya proses belajar
mengajar belaka untuk mentransformasikan pengetahuan dan berlangsung secara
sederhana dan mekanistik. Melainkan, pendidikan adalah keseluruhan yang
mempengaruhi kehidupan perseorangan maupun kelompok masyarakat, yang
seharusnya menjamin kelangsungan kehidupan budaya dan kehidupan bersama
memantapkan pembinaan secara inteligen dan kreatif. Proses pendidikan ini
mencakup pembinaan diri secara integral untuk mengantarkan manusia pada
kesempurnaan kemanusiaannya tanpa mesti terbatasi oleh sistem transformasi
pengetahuan secara formal dalam lingkungan akademis. Pada akhirnya,
pendidikan dalam arti luas mencakup penyelesaian masalah-masalah manusia
1
Mansour Fakih, “Ideologi dalam Pendidikan”, dalam Pengantar Buku William F. O’neil, Educational
Ideologies: Contemporary Expressios ofl Educatonal Philosophies, diterjemahkan oleh Omi Intan Naomi
dengan judul Ideologi-ideologi Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), x.
2
Harry Noer Ali, Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam (Bandung: CV. Diponegoro, 1992). 25.
secara umum dan mengantarkan manusia tersebut pada tujuan hidupnya yang
mulia.3
Menurut Freire, pendidikan bukan hanya kegiatan pengembangan kognitif
anak didik, melainkan pendidikan memiliki kaitan yang erat dengan cinta dan
keberanian. Sesungguhnya menurut Freire, pendidikan ialah tindakan cinta kasih
dan karena itu juga merupakan tindakan berani. Pendidikan tidak boleh membuat
orang yang akan menganalisis realitas menjadi takut
Kualitas yang dihasilkan dari output pendidikan sangat ditentukan oleh
proses yang terjadi dalam interaksi pendidikan. Keseluruhan proses dan metode
dalam pendidikan didasarkan pada tujuan yang ingin dicapai dari pendidikan
tersebut. Sedangkan tujuan pendidikan ditentukan berdasarkan pilihan paradigma
yang dijadikan dasar dalam pendidikan.4 Dari asumsi tersebut terlihat betapa
paradigma dalam pendidikan menjadi sesuatu hal yang fundamental dan
menentukan hasil dari pendidikan. Baik dan buruknya output dari pendidikan
sangat ditentukan oleh paradigma pendidikan yang dianut.
Henry Giroux dan Arronnawitz membagi paradigma pendidikan ke dalam
tiga aliran utama, yaitu:
1. Paradigma konservatif, yaitu paradigma pendidikan yang lebih berorientasi
pada pelestarian dan penerusan pola-pola kemapanan sosial serta tradisi.
Paradigma pendidikan konservatif sangat mengidealkan masa silam (past
oriented) sebagai patron ideal dalam pendidikan. Paradigma konservatif
melahirkan jenis kesadaran sebagaimana yang disebutkan oleh Paulo Freire,
sebagai kesadaran magis. Yaitu jenis kesadaran yang tak mampu mengaitkan
antara satu faktor dengan faktor lainnya sebagai hal yang berkaitan. Kesadaran
magis lebih melihat faktor di luar kesadaran manusia sebagai penyebab dari
segala kejadian.
2. Paradigma pendidikan liberal, yaitu paradigma pendidikan yang berorientasi
mengarahkan peserta didik pada prilaku-prilaku personal yang efektif, dengan
mengejar prestasi individual.5 Sehingga yang terjadi adalah persaingan
individual yang akan mengarahkan peserta didik pada individualisme dan tidak
melihat pendidikan sebagai proses pengembangan diri secara kolektif.
Paradigma pendidikan liberal melahirkan bentuk kesadaran naif. Yaitu jenis
kesadaran ini menganggap aspek manusia secara individulah yang menjadi
penyebab dari akar permasalahan.
3
Mukhtar Solikin dan Rosihan Anwar, Hakekat Manusia: Menggali Potensi Kesadaran Pendidikan Diri
dalam Psikologi Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2005), 110.
4
George Hans Martin , Introduction to Educational Philosophy (London: Berkley Press, 1998), 12.
5
Dalam istilah yang dicetuskan oleh David Mc Callend disebut dengan need for a chiefment
(kebutuhan akan prestasi).
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana konsep paradigma pendidikan kritis?
2. Bagaimana konsep paradigma pendidikan kritis dalam perspektif
Pendidikan Islam?
3. Bagaimana penerapan paradigma pendidikan kritis dalam Pendidikan
Islam?
C.Tujuan Penelitian
1. Untuk menggali, menemukan dan mengetahui konsep paradigma
pendidikan kritis.
2. Untuk menggali, menemukan dan mengetahui konsep paradigma
pendidikan kritits dalam perspektif pendidikan Islam.
3. Untuk menggali dan mengetahui bagaimana penerapan paradigma
pendidikan kritis dalam pendidikan Islam.
D. Metode
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research)6 yaitu
bersumber dari buku-buku yang berkenaan dengan gagasan paradigma pendidikan
kritis dan buku-buku yang berkenaan dengan konsep pendidikan Islam, serta buku-
buku lain yang memiliki keterkaitan dengan tema penelitian. Karena penelitian ini
membahas tentang paradigma pendidikan kritis dalam perspektif pendidikan Islam,
maka secara langsung atau tidak langsung akan mengutip ayat Alqur’an yang
menyinggung hal tersebut, yang berkenaan dengan tema penelitian ini.
Selain bersifat kepustakaan, penelitian ini bersifat kualitatif, karena data
yang dihasilkan adalah bersifat deskriptif analitis. Yakni memaparkan permasalahan
secara apa adanya berdasarkan sumber-sumber rujukan otoritatif dalam bidang
pendidikan, khususnya yang berkaitan dengan paradigma pendidikan kritis dan
konsep pendidikan Islam.
6
Penelitian dilihat dari tempatnya dibagi ke dalam dua kategori, yaitu penelitian lapangan (field
research) dan penelitian kepustakaan (library research). Lihat Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian:
Suatu Pendekatan Praktis, Cet. I (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), 11.
E. Hasil Penelitian
1. Pengertian Pendidikan Kritis
Dalam dunia pendidikan, di era sekitar tahun 1960-an, muncul pemikir
pendidikan yang mengusung teori pendidikan kritis. Teori pendidikan kritis pada
dasarnya sangat dipengaruhi oleh teori kritis yang dibangun dalam ranah ilmu-ilmu
sosial dan filsafat oleh kalangan mazhab Frankfurt. Sebagaimana kita tahu, teori
kritis adalah teori yang digagas sekitar tahun 1920-an, untuk mengkritik paradigma
positivisme yang mereduksi paradigma dan metode ilmu-ilmu sosial ke arah
paradigma dan metode yang dipakai dalam ilmu-ilmu alam. Teori kritis bergerak
lebih jauh lagi, dengan mengkritik berbagai khasanah ilmu pengetahuan yang
menurut mereka sudah tidak bersifat kritis lagi, karena tidak mampu lagi melihat
adanya dehumanisasi atau alienasi dalam proses modernisasi yang sementara
berjalan, sehingga ilmu pengetahuan manusia hanya berfungsi untuk
mempertahankan status quo. Teori kritis mengusung jargon-jargon kebebasan dan
kritik konstruktif terhadap ilmu pengetahuan dan sistem sosial yang dominan.7
Perkembangan wacana teori kritis, berkembang hingga memasuki wacana
teori pendidikan. Teori kritis mengkritik teori (paradigma) pendidikan yang ada
(konservatif dan liberal). Teori kritis mewarnai paradigma baru dalam pendidikan
yang diyakini mampu memberdayakan generasi mendatang serta mampu
menghidupkan generasi untuk menghadapi era milenium baru yang akan kita
masuki. Dari sinilah kemudian terinspirasi lahirnya paradigma baru dalam teori
pendidikan, yang disebut dengan paradigma pendidikan kritis. Paradigma
pendidikan kritis merupakan sebuah wacana tanding dan teori kritik terhadap
paradigma pendidikan yang sudah ada sebelumnya, yaitu paradigma pendidikan
konservatif dan paradigma pendidikan liberal.
Mansour Fakih mendefinisikan paradigma pendidikan kritis adalah
paradigma pendidikan yang mengarahkan pendidikan untuk melakukan refleksi
kritis terhadap ideologi dominan ke arah transformasi sosial. Pendidikan kritis
adalah pendidikan yang berusaha menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan
menganalisis segenap potensi yang dimiliki oleh peserta didik secara bebas dan
kritis untuk mewujudkan proses transformasi sosial.8
Paradigma pendidikan kritis adalah paradigma pendidikan yang
menerapkan pola kritis, kreatif, dan aktif kepada para peserta didik dalam
menempuh proses pembelajaran. Dengan kata lain, pendidikan kritis adalah suatu
7
Akhyar Yusuf Lubis , Dekonstruksi Epistemologi Modern (Jakarta: Pustaka Indonesia Satu, 2006), 13.
8
Mansour Fakih, Pendidikan Popular: Membangun Kesadaran Kritis, (Yogyakarta: Insist, 2001), 22.
9
Muhammad Said al-Husein , Kritik Sistem Pendidikan (t.tp: Pustaka Kencana,1999), 187.
10
Lihat Paulo Freire, The Political of Education: Culture, Power, and Liberation, diterjemahkan oleh
Agung Prihantoro dan Arif Yudi Hartanto dengan Judul Politik Pendidikan :Kebudayaan, Kekuasaan,
dan Pembebasan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 189-195. dan bandingkan pula dengan Paulo
Freire, Educoco Como Practica da Liberdade, diterjemahkan oleh Martin Eran dengan Judul Pendidikan
yang Membebaskan (Yogyakarta: Melibas, 2001)
11
Lihat Mukhtar Solikin dan Rosihan Anwar, Hakekat Manusia: Menggali Potensi Kesadaran
Pendidikan Diri dalam Psikologi Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2005), 122.
12
Paulo Freire, Paedagogy and Proces, (New York: Continum Publishing Corporation, 1978), 23.
13
Paulo Freire, Paedagogy and Proces ..., 102.
14
Muhammad Ali , Guru dalam Dunia Belajar Mengajar (Bandung: Sinar Baru Alegensindo, 2002), 5.
15
Lihat Enco Mulyasa , Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), 19-32.
(work). Karena pada dasarnya manusia adalah kesatuan dari fungsi berpikir,
berbicara, dan berkarya. Secara umum pola, penerapan pendidikan kritis dapat
digambarkan pada skema berikut:
Tindakan (action)
Kata (Word) = Karya (Work) = PRAXIS
Pikiran (refreksion)
“Praxis” tidak memisahkan ketiga fungsi dan aspek tersebut sebagai bagian
yang terpisah, tapi manunggal dalam gagasan maupun cara wujud seseorang sebagai
manusia seutuhnya. Prinsip praxis inilah yang menjadi kerangka dasar dari sistem
dan metodologi pendidikan kritis yang digagas oleh Freire. Setiap waktu dalam
prosesnya, pendidikan ini merangsang ke arah diambilnya suatu tindakan,
kemudian tindakan itu direfleksikan kembali, dan dari refleksi tersebut diambil
tindakan baru yang lebih baik. Demikian seterusnya, hingga proses pendidikan
menjadi daur berpikir dan bertindak yang berlangsung terus menerus di sepanjang
hidup seseorang. Proses daur dari berpikir dan bertindak yang terus berlangsung
tersebut dapat digambarkan dalam skema berikut:
Bertindak
Bertindak
dst
Berpikir
Berpikir
16
Mengenai hal tersebut, Freire menggunakan istilah yang unik, yaitu guru yang murid (teacher-pupil)
dan murid yang guru (pupil-teacher, yang pada dasarnya ingin menyatakan baik guru maupun murid
antara guru dan murid adalah suatu kemanunggalan.17 Relasi antara guru dan
murid dalam pendidikan kritis, tidak sebagai relasi antara pendidik dan peserta
didik, tetapi guru dan murid berposisi sebagai mitra aktif dalam proses belajar.
Dalam proses pendidikan ini, guru mengajukan bahan untuk dipertimbangkan
oleh murid dan pertimbangan sang guru sendiri diuji kembali setelah
dipertemukan kembali dengan pertimbangan murid. Hubungan keduanya pun
menjadi subjek-subjek, bukan subjek-objek. Objek mereka bersama adalah realitas
atau materi yang akan dibahas bersama. Dengan pola pendidikan seperti ini, maka
akan tercipta suasana dialogis yang bersifat inter-subjek untuk memahami suatu
objek bersama. Membandingkan dengan pendidikan “gaya bank” yang bersifat anti
dialogis, Freire menggambarkannya secara skematis sebagai berikut:
tersebut adalah output pendidikan yang dihasilkan tidak mampu membawa ke arah
perubahan yang konstruktif bagi realitas kemanusiaan.18
Kegagalan paradigma pendidikan konservatif dan liberal dalam
menjalankan visi dan misi pendidikan tersebut, juga menarik perhatian para tokoh
pendidikan Islam kontemporer.19 Salah satu aspek penting yang mendasari pemikir
pendidikan Islam merumuskan konsep pendidikannya adalah fenomena realitas
dunia pendidikan Barat modern yang ditiru oleh dunia Islam, namun kenyataannya
telah gagal mencapai tujuan sejati dari pendidikan.
Sir Muhammad Iqbal (pemikir Islam dari anak benua India), dalam
menggagas paradigma pendidikan Islamnya, terlebih dahulu memberikan kritiknya
terhadap paradigma pendidikan Barat modern yang telah menghasilkan krisis
kemanusiaan yang berkepanjangan. Menurut Iqbal, kegagalan yang terjadi dalam
pendidikan Barat modern dikarenakan dalam pendidikan Barat modern hanya
menekankan aspek transformasi pengetahuan belaka, tanpa dilandasi aspek ‘isyq
atau cinta.20 Menurut Iqbal, pendidikan dalam Islam tidak hanya mencakup proses
belajar mengajar untuk mentransformasikan pengetahuan belaka. Dalam
pandangan Iqbal, pendidikan dalam Islam secara umum, mencakup aspek
pembinaan diri secara integral untuk mengantarkan manusia pada kesempurnaan
kemanusiaannya. Pada akhirnya, pendidikan dalam Islam berorientasi pada
penyelesaian masalah-masalah manusia secara umum dan mengantarkan manusia
tersebut pada tujuan hidupnya yang mulia.
Paradigma pendidikan yang dibangun oleh Iqbal, pada dasarnya adalah
upaya untuk menyempurnakan diri (secara individual). Adapun secara sosial,
gagasan pendidikan Iqbal, adalah upaya untuk mengantarkan manusia secara
keseluruhan pada kemampuan menyelesaikan masalah-masalah zaman yang
berkembang, serta mengantarkan manusia secara kolektif pada tujuan hidupnya,
sehingga hidup manusia menjadi begitu bermakna.
Dari latar belakang fenomenologis, definisi, dan orientasi pendidikan yang
digagas oleh Iqbal dan paradigma pendidikan kritis terlihat memiliki relevansi yang
sangat jelas. Dimana keduanya mendasarkan paradigma pendidikan pada otokritik
terhadap kegagalan paradigma pendidikan yang telah ada, serta memiliki orientasi
18
Lihat Mansour Fakih, “Ideologi-ideologi Pendidikan”, dalam William F. O’neil Educational
Ideologies : Contemporary Expression of Educational Philosophies, diterjemahkan oleh Omi Intan Naomi
dengan Judul Ideologi-ideologi Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Evi.
19
Mukhtar Solikin dan Rosihan Anwar , Hakekat Manusia: Menggali Potensi Pendidikan Kesadaran Diri
dalam Psikologi Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2005), 107.
20
Muhammad Iqbal, Asrar-I Khudi, diterjemahkan oleh Bahrun Rangkuti dan Arif Husein dengan
Judul Rahasia-rahasia Pribadi (Jakarta: Pustaka Islam, t.t), 16.
yang secara umum sama, yaitu pencapaian humanisasi baik secara individu maupun
sosial.
Relevansi tersebut terlihat, khususnya pada orientasi pendidikan untuk
membentuk pribadi manusia secara integral, dengan memperhatikan
mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki manusia secara menyeluruh. Di
samping itu, keduanya juga memiliki relevansi secara sosiologis, di mana orientasi
sosial dari pendidikan adalah penyelesaian terhadap masalah-masalah zaman yang
dihadapi demi tercapainya transformasi sosial.
Murtadha Muthahhari (pemikir Islam Iran) menjelaskan sasaran utama
pendidikan dalam Islam yang sangat relevan dengan sasaran pendidikan yang ingin
dicapai oleh tokoh-tokoh paradigma pendidikan kritis. Menurut Muthahhari,
sasaran utama pendidikan Islam adalah pembentukan masyarakat agar menjadi
baik.21
Sebagaimana Freire, dengan konsep kesadaran kritisnya, yang menyatakan
bahwa pendidikan mestilah mengantarkan manusia untuk memahami seluruh
aspek kehidupan sosial masyarakat memiliki keterkaitan yang erat antara satu
bidang dengan bidang yang lain. Pendidikan mestilah mengantarkan manusia pada
kesadaran kritis dalam melihat seluruh aspek tersebut. Muthahhari mengatakan,
tujuan pendidikan dan pengajaran adalah membentuk kepribadian manusia, dan
ketentuan-ketentuan yang tercakup di bidang hukum, ekonomi, dan politik yang
sangat terkait erat dengan bidang pendidikan.
Hal senada juga diungkapkan oleh Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany.
Beliau mengatakan, pendidikan Islam harus berkaitan erat dengan realitas
masyarakat, kebudayaan, dan sistem sosial, ekonomi, dan politik. Pendidikan harus
juga berkaitan dengan aspirasi, harapan, kebutuhan, dan masalah-masalah manusia
di dalamnya. Pendidikan Islam tidak boleh tegak di atas awang-awang, serta tidak
terasing dari realitas kebudayaan dan sosial. Pendidikan Islam harus selaras dengan
kebudayaan yang hidup dan berkembang di masyarakat, serta sistem-sistem sosial,
ekonomi, dan politik yang berkuasa di dalam masyarakat. Pendidikan Islam, tidak
hanya menyesuaikan diri dengan apa yang ada di masyarakat, melainkan harus
berposisi sebagai perintis, pembimbing, pemimpin, serta pengkritik terhadap
sistem-sistem dominan tersebut.22
Dalam perspektif Islam, pendidikan sesuai fitrah manusia sangat mutlak
dibutuhkan oleh manusia guna memenuhi fungsi, peran, dan eksistensi fitrah
kemanusiaannya. Pendidikan dalam pandangan para pemikir muslim adalah
21
Lihat Murtadha Muthahhari , Tarbiyatul Islam, diterjemahkan oleh Muhammad Bahruddin
dengan Judul Konsep Pendidikan Islami (Depok: Iqra Kurnia Gumilang, 2005), 14.
22
Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibany , Falsafaut al-Tarbiyah al-Islamiyah, diterjemahkan oleh
Hasan Langgulung dengan Judul Falsafah Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), 47.
pemenuhan jati diri atau esensi kemanusiaan di hadapan Tuhan. Pada konteks ini,
pendidikan dalam perspektif Islam, lebih pada pemeliharaan, pemanfaatan, dan
pengembangan fitrah kemanusiaan. Dalam pandangan Muthahhari, fitrah adalah
potensi dasar yang hanya dimiliki manusia dan itulah yang membedakannya
dengan makhluk Tuhan yang lain.23 Pendidikan dalam Islam identik dengan proses
pengembangan yang bertujuan membangkitkan sekaligus mengaktifkan potensi-
potensi yang terkandung (al-malakah al-kaminah) dalam diri manusia.
Menurut Syari’ati, semenjak lahir manusia membawa tiga potensi dasar,
yang dengannya manusia dapat melakukan proses evolusi menuju kesempurnaan
sejati kemanusiaan. Ketiga potensi dasar tersebut adalah kesadaran diri, kehendak
bebas, dan kreatifitas.24 Pendidikan adalah sebuah sarana pemeliharaan,
pemanfaatan, dan pengembangan ketiga potensi dasar tersebut, agar manusia
mampu mencapai tujuan penciptaannya sebagai khalifah Allah. Hal ini senada
dengan karakteristik paradigma pendidikan kritis yang berorientasi mewujudkan
segenap potensi-potensi dasar yang dimiliki oleh manusia secara maksimal demi
tercapainya cita ideal kemanusiaan.
23
Lihat Murtadha Muthahhari , al-Fitrah, diterjemahkan oleh Muhammad Jawad Bafaqih dengan
Judul Fitrah (Jakarta: Lentera Basritama, 2002), 12-15.
24
Lihat Ali Syari’ati, Man and Islam, diterjemahkan oleh Amien Rais dengan Judul Tugas
Cendekiawan Muslim (Jakarta: Srigunting Press, 2002), 12-19.
25
Muhammad Riswar al-Farisi, Manusia dalam Perspektif Islam (Surabaya: Hikmah Semesta, 1982),
12.
Oleh karena itu, pendidikan dalam Islam pada akhirnya bermuara pada
pembentukan manusia-manusia sesuai dengan kodrat yang mencakup dimensi
imanen (horizontal), yaitu dimensi yang berkenaan dengan dimensi lahiriah atau
keduniaan manusia. Serta dimensi transenden (vertikal), yaitu dimensi yang
berhubungan dengan nilai-nilai keimanan dan spiritual yang hubungan dan
tanggung jawabnya kepada Sang Pencipta.26
Paradigma pendidikan kritis, dari segi dasar, kandungan, proses, dan
tujuannya, tidaklah bertentangan secara kontradiktif dengan paradigma pendidikan
Islam. Keseluruhan gagasan dan metode praktis penerapan paradigma pendidikan
kritis dalam pembelajaran tidak memiliki pertentangan yang mendasar dengan
pendidikan Islam. Hanya saja, paradigma pendidikan Islam lebih menekankan pada
pemahaman nilai-nilai spiritual dan kesadaran akan nilai-nilai etis Islam dalam
mengaktualisasikan segenap pengetahuan yang dimilikinya. Proses dan tujuan dari
paradigma pendidikan kritis tersebut, selanjutnya harus
dilandasi dengan nilai-nilai spritualitas Islam.
Teori paradigma pendidikan kritis, secara keseluruhan sangatlah “Islami”.
Hanya saja, sebagaimana teori-teori yang digagas oleh pemikir Barat pada
umumnya, teori pendidikan kritis kurang memberikan tekanan pada aspek
spiritualitas manusia, yang dalam paradigma pendidikan Islam sangat diberikan
penekanan yang mendasar. Konsep-konsep yang digagas dalam paradigma
pendidikan kritis, lebih berorientasi pada hal-hal yang bersifat material dan profan.
Konsep pembebasan yang merupakan tujuan esensial dari paradigma pendidikan
kritis, hanya menekankan pada pembebasan manusia dari ketertindasan sosial,
politik, ekonomi, dan budaya. Pembebasan dalam konsep pendidikan kritis, tidak
terlalu menekankan pembebasan diri manusia dari hawa
nafsu yang membelenggunya.
Menurut Muthahhari, dalam konteks pendidikan Islam, peserta didik tidak
hanya dipupuk jiwanya dalam semangat keilmuan belaka. Atau dengan kata lain,
pendidikan Islam tidak hanya mengarahkan peserta didik untuk memperoleh
pengetahuan, tetapi juga mendidik manusia untuk menjadi orang yang selalu ingin
mencari kebenaran, jauh dari kefanatikan, ke-jumud-an, sikap sombong yang jauh
dari standar nilai kebenaran.
Dengan demikian, pendidikan dalam pandangan Islam, tidak hanya
membebaskan manusia dari “belenggu-belenggu” sosial yang mengekangnya, di
mana “belenggu-belenggu” tersebut hanyalah “belenggu” yang bersifat eksternal.
26
Lihat Ahmad Syafi’i Ma’arif , Pendidikan Islam di Indonesia; Antara Cita dan Fakta (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1991), 29-31.
27
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), 36.
didik. Juga menerima perbedaan sesuai dengan pembelajarn dari ilmu dan
topik pelajaran tertentu, serta perbedaan pada tingkat kemampuan dan
kematangan peserta didik.
c. Metode pembelajaran dalam Islam, dengan sungguh-sungguh berusaha
mengaitkan antara teori dan praktek atau antara ilmu dan amal.
d. Membuang cara-cara dalam mengambil jalan pintas pada proses belajar
mengajar.
e. Menekankan kebebasan peserta didik berdiskusi, berdebat, berdialog dalam
batas-batas kesopanan dan saling hormat menghormati. Peserta didik memiliki
kebebasan mutlak untuk menyatakan pendapat di depan pendidik dan untuk
berbeda dengan pendidik dalam pendapat dan pikiran, jika ia mempunyai
bukti-bukti yang benar dan menguatkan pendiriannya.
F. Kesimpulan
Dari pemaparan yang telah diuraikan oleh penulis dalam pembahasan
penelitian ini, maka dapat disimpulkan:
mewujudkan potensi karsa, kata dan karya peserta didik sebagai sebuah
kemanunggalan dalam proses pendidikan.
4. Paradigma pendidikan kritis dan paradigma pendidikan Islam, memiliki
relevansi dalam orientasi dan proses pendidikan. Paradigma pendidikan kritis
dan paradigma pendidikan islam sama-sama sangat menekankan humanisasi
dan pembebasan sebagai orientasi pendidikan, serta menempatkan peserta
didik dan pendidik sama-sama sebagai subjek dalam proses belajar mengajar.
5. Paradigma pendidikan Islam mendasarkan seluruh gagasan, tujuan, dan proses
pendidikan pada landasan spiritualitas dan keimanan yang kokoh kepada Allah
dan Rasul-Nya. Atau dengan kata lain pendidikan Islam memadukan aspek
vertikal (spiritualitas) dan horizontal (sosial) sebagai orientasi pendidikan. Hal
ini berbeda dengan paradigma pendidikan kritis yang hanya menekankan
orientasi pendidikannya pada hal-hal yang bersifat material, serta tidak terlalu
mengindahkan aspek spiritiualitas yang merupakan sisi yang paling sublim
dalam diri manusia.
6. Metode pendidikan kritis dapat diterapkan dalam pendidikan Islam sebagai
sebuah upaya untuk memajukan pendidikan Islam dan menghasilkan output
pendidikan yang mampu membawa kemajuan peradaban Islam. Muatan-
muatan kritis-konstruktif yang terkandung dalam paradigma pendidikan kritis,
dapat dijadikan acuan metodologis dalam penerapan pendidikan Islam.
DAFTAR PUSTAKA