Konsep Pendidikan Sufistik Menurut Syeh Abul Hasan Asy-Sadzily

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 10

Muaddib : Islamic Education Journal, 2(1), 2019

Muhammad Rizal Ansori, Duski Ibrahim, Munir

Konsep Pendidikan Sufistik Menurut Syeh Abul Hasan Asy-Sadzily


(Tela’ah Kitab Risalatul Amin fi Wusuli Li Robbil Alamin)

Muhammad Rizal Ansori1*, Duski Ibrahim2, Munir3

1*
MA Raudhatul Istiqomah Lirboyo, Kabupaten OKU Timur, Indonesia
[email protected]
2
Universitas Islam Negeri Raden Fatah, Palembang, Indonesia
[email protected]
3
Universitas Islam Negeri Raden Fatah, Palembang, Indonesia
[email protected]

ABSTRACT
Development of technology has an impact on high intellectuality, but beside it is also low morality
and spirituality. This condition important to revitalization religious education and a self-approach
to Allah SWT namely Sufism education. The formation of religious, steady and stable human beings.
This is a qualitative research and including in library research, the approach used is the thought of
figure, and the object of this research is Sufism . The purpose of this study is to achieve a
comprehensive understanding of Sheikh Abul Hasan asy-Syadzili thoughts, founder of a Syadziliyah
order of mystics. Results of this research is morality-amali Sufism education of Sheikh Abul Hasan
asy-Syadzili. His thinking is influenced by Sufism and thinkers previous him, especially al Imam
Ghazali and Sufisms implementer. Second, the basic concept of Sufism education in Risalatul Amin
fi Wusuli Li Robbil Alamin's book can be classified into four categories, that is remembrance,
thinking (tafakur), really need (faqir), and love. Characteristics Sufism of Sheikh Abul hasan is
flexibility. He said, Sufism is not have to away from the worldly, but true Sufism are associate with
society and resolve their problem, true Sufism are have treasure but they are not controlled by it.
Keywords: Sufism Education, Sheikh Abul Hasan Asy Syadzili, Risalatul Amin.
INFORMASI ARTIKEL
Submitted, February 13, 2019
Revised, April 16, 2019
Accepted, June 07, 2019

Copyright © 2019, Muaddib : Islamic Education Journal 60


Muaddib : Islamic Education Journal, 2(1), 2019
Muhammad Rizal Ansori, Duski Ibrahim, Munir

PENDAHULUAN
Cepatnya perkembangan teknologi berdampak pada perubahan yang sangat cepat. Hal ini
dapat kita saksikan di media massa, media sosial dan dilingkungan kita, walaupun banyak
dampak positif yang di timbulkan, akan tetapi dampak yang bersifat negatif pun luarbiasa
banyaknya, bahkan sampai tahap memprihatinkan, diantaranya : ketamakan akan duniawi,
degradasi akhlak, disintegrasi ilmu pengetahuan, penyalahgunaan ilmu pengetahuan dan
teknologi, pendangkalan iman dan lain-lain.
Kehidupan modern seperti sekarang ini seringkali mendorong melakukan sifat-sifat yang
tidak terpuji, terutama dalam menghadapi megahnya gemerlap dunai ini, dan seluruh hingar-
bingar kesibukan yang cenderung materialistis dan sekuler, dimana cara mengendalikanya
adalah dengan cara mendalami, menghayati serta bersungguh-sungguh dalam mengamalkan
nilai-nilai agama yang dalam bahasa lain yakni menjalankan kehidupan sufistik atau yang
sering di sebut tasawuf.
Segala penyimpangan dan kejadian yang kurang elok, Krisis karakter dan menipisnya
pendidikan agama terutama pada generasi muda Islam, seperti penyalahgunaan narkoba,
melakukan hubungan seks diluar nikah, semakin jauhnya pendidikan agama dari kategori
cukup, praktek korupsi, kolusi dan nepotisme, tawuran antar pelajar, konflik sosial, masa muda
yang dihabiskan dengan hura-hura yang jauh dari substansi agama, premanisme, tindakan
kekerasan, pembunuhan dan lain sebagainya ditambah lagi dengan penyakit mental block, yaitu
suka mengeluh, konflik batin, tidak ada usaha perubahan dalam kehidupan, dan tidak mau ambil
resiko (Syarif & Riau, 2017). Ini menunjukan bahwa pendidikan sufistik sangat di perlukan
sebagai bekal menjadi manusia yang stabil, mantap, berkarakter, idealis, religius dalam bahasa
lain menjadi manusia seutuhnya atau Insan Kamil.
Solusi terbaik dalam mengatasi rusaknya moral adalah dengan cara mengembalikan pada
fitrah kemanusiaan dalam hal ini yang paling efektif adalah pendidikan sufistik. Karena hal ini
merupakan salah satu pokok kebutuhan dalam pendidikan rohani setiap individu maupun
masyarakat dalam berbagai kalangan, umur maupun keadaan, karena berpengaruh positif pada
pembentukan akhlak yang akan membangun jiwa suci individu dan seluruh lapisan masyarakat.
Semakin banyaknya penyimpangan dalam kehidupan menjadikan alasan akan perlunya
pendidikan akhlak, pentingnya pola hubungan antara guru dengan murid yang difokuskan pada
aspek lahiriyah dan pendidikan ruhiyah yang ditekankan melalui pendidikan tasawuf.
(Khairudin, 2015) akan sangat membantu kondisi mental dan spriritual pribadi dan anak didik,
yang akhirnya membentuk karakter yang baik dalam segala bidang dengan otomatis.
Menurut M. Amin Syukur dalam tasawuf ada prinsip-prinsip positif yang mampu
menumbuhkan masa depan masyarakat, seperti selalu mengadakan introspeksi (muhasabah),
berwawasan hidup moderat dan menghindari jeratan nafsu rendah yang menyebabkan lupa pada
diri dan Tuhannya (Syukur, 2004), sehingga anggapan miring tentang tasawuf adalah membawa
kemunduran adalah kurang tepat, justru dengan bekal pendidikan sufistik menjadikan pribadi,
generasi penerus bangsa, bahkan pemimpin negeri ini justru mempunyai bekal emosional,
spiritual dan mental yang mantap.
Tasawuf atau sufistik bukan ajaran anti-dunia, namun mengajarkan bagaimana caranya
menjalani hidup di dunia yang materialis ini, agar jiwa tetap suci, batinnya tetap murni dan
bersih, sehingga bisa betul-betul menemukan kebahagiaan hidup sejati, sejak masih hidup
didunia ini, dan lebih lagi nanti pada kehidupan di akhirat dengan demikian seimbang antara
emosional dan spiritual dalam menghadapi segala permasalahan baik yang bersifat tugas-tugas
antara sesama dan antara pribadi dengan tuhanya, ajaran tasawuf menekankan kesalehan
individual sebagai tujuan dalam kehidupan yang akhirnya terbentuk jiwa yang mantap dan
cerdas dan berakhlaqul karimah.

Copyright © 2019, Muaddib : Islamic Education Journal 61


Muaddib : Islamic Education Journal, 2(1), 2019
Muhammad Rizal Ansori, Duski Ibrahim, Munir

Kitab Risalatul Amin fi Wusuli Li Robbil Alamin adalah kumpulan manuskrip dari
nasehat-nasehat, wejangan Syeh Abul Hasan asy-Sadzily yang sangat luar biasa. Dalam kitab
ini dijelaskan dasar-dasar, etika serta cara seorang murid/salik (orang menempuh jalan
Makrifatullah), sebuah prinsip dasar yang sangat diperlukan seorang arif, dalam kitab ini
dituturkan secara jernih, mulai dari arti bertarekat pada level makrifat, suluk, dan tahqiq, serta
tujuan etika tingkat pemula, menengah, dan tinggi hingga derajat pengejawantahan asma dan
sifat-sifat Allah dalam kehidupan kita.
Berdasarkan Hal-hal inilah yang menjadikan penting untuk membahas bagaimana konsep
pendidikan sufistik yang telah di ajarkan oleh Syeh Abul Hasan Asy Sadzily yang tertuang
dalam kitabnya yang berjudul Risalatul Amin fi Wusuli Li Robbil Alamin dengan harapan
konsep tersebut dapat kita terapkan, dijadikan refrensi, wawasan, melestarikan budaya
keilmuan, dan bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif sebuah penelitian yang
menggambarkan secara kompleks melalui kata-kata, laporan terinci dari pandangan responden
dan melakukan studi pada situasi yang alami (Iskandar, 2009). Jenis penelitian ini adalah
penelitian kepustakaan (library research) yang data-datanya di ambil dari bahan-bahan tertulis,
baik berupa buku atau lainnya, pendekatan penelitian ini menggunakan studi pemikiran tokoh
yang tefokus pada objek sufistis, yang ketokohannya diakui secara “Mutawatir” (Furchan &
Maimun, 2005) dan membahas ide atau gagasan orisinal, serta konteks sosio-historis pada
tokoh yang dikaji (Dahlan, 2003) Peneliti sebagai instrumen merupakan perencana, pelaksana,
pengumpulan data, analisis, penafsir data, dan pada akhirnya menjadi pelapor penelitian.
(Moleong, 2007) Data-data yang di gunakan dari berbagai literatur, baik yang bersumber dari
karya Syeh Abul Hasan asy Syadzili maupun sumber lainnya yang berkaitan dengan penelitian
ini, baik dalam bentuk kitab klasik, buku, jurnal, buku harian, surat pribadi, laporan, notulen
rapat, catatan khusus dan dokumen lainnya (Hasan, 2002) data primer yang di gunakan dalam
penelitian ini adalah kitab karya Syeh Abul Hasan asy Syadzili yang berjudul Risalatul Amin
fi Wusuli Li Robbil Alamin, dan data Sekunder sebagai penunjang atau pelengkap dalam
penelitian ini, serta di adakan pengecekan keabsahan data yang dapat menggambarakan
kecocokan konsep peneliti dengan hasil penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Sosial dan Corak Pemikiran Sufistik Syeh Abu Hasan Asy Syadzili
Syeh Abul Hasan Asy-Sadzili adalah pendiri Tarekat Syadziliyah, sebuah tarekat yang
sangat masyhur, memiliki jumlah murid yang menyebar seluruh penjuru dunia. Beliau di kenal
sebagai sufi yang sederhana, tawaduk, dan santun. Pengetahuan dan pemahamanya terhadap
Islam sangat luas dan dalam.(Zaprulkhan, 2016) Syekh Abul Hasan asy-Syadzili pada dasarnya
ia tak pernah menulis risalah tentang prinsip dan ajaran tarekat yang dibawanya. Akan tetapi
murid-muridnya yang senantiasa mengembangkan ajaran asy-Syadzili sehingga tarekat
syadziliyah berkembang tidak hanya di Mesir akan tetapi juga di Tunisia, Aljazair, Sudan, Suria
dan semenanjung Arabiyah, Palestina, Afrika dan juga di Indonesia. Keberadaanya masih eksis
sampai sekarang, dan termasuk kedalam 44 thariqah yang di akui dalam organisasi Jam’iyah
Ahli thariqah Mu’tabaroh An-Nahdiyah (Jatman).
Bagi asy-Syadzili kesufian seseorang tidak tergambar pada pakaian yang compang-
camping, agak berbeda dengan kebanyakan pengamal thariqah yang lain. Ia sendiri
mengenakan pakaian yang bagus, menungangi kuda yang tangkas, dan bekerja di ladang
sebagaimana kebanyakan orang. Padahal, ia seorang sufi, yang imanya sangat kuat, sangat
wara’, ahli ibadah, serta disiplin membaca wirid dan hizib, Semua yang dimilikinya bukanlah

Copyright © 2019, Muaddib : Islamic Education Journal 62


Muaddib : Islamic Education Journal, 2(1), 2019
Muhammad Rizal Ansori, Duski Ibrahim, Munir

untuk dirinya, melainkan untuk orang lain. Ia memiliki harta, tetapi harta tidak bisa
memilikinya. (Gharib, 2017) Ini menguatkan bahwa zuhud bukanlah meninggalkan dunia dari
kehidupnya, akan tetapi zuhud adalah ketika dunia tidak masuk didalam hatinya.
Dalam mengembangkan ajaran-ajaranya as-Syadzili mempunyai murid-murid yang luar
biasa, yang juga diakui kealiman dan tinggi derajatnya, setelah sepeninggal beliau ajaranya
diteruskan oleh salah satu muridnya, yaitu Abul Abas al-Mursi (w. 686 H/1287 M) dan
setelahnya di teruskan lagi oleh Syekh Ibnu Athaillah al-Iskandari (w. 709 H/1309 M.) as-
Syadzili wafat di Hotmaithira, suatu daerah padang pasir di wilayah Mesir dalam suatu
perjalanan menuju Makkah untuk menunaikan ibadah haji (Sutoyo, 2015).
Konsep Pendidikan Sufistik menurut Syeh Abu Hasan Asy-Sadzily
Syeh Abul Hasan asy Syadzili menuturkan pada murid-muridnya tentang konsep dasar
bagi para sufi, bahwa jalan menuju Allah meliputi empat hal, barang siapa dapat menempuhnya
maka salik (orang yang berjalan menuju Allah) termasuk orang yang shiddiq sejati, apabila
dapat menempuhnya tiga, maka dia termasuk Wali allah, jika yang dapat di tempuh dua, maka
dia termasuk orang syuhada’, dan apabila dapat menempuh satu saja, maka dia termasuk hamba
Allah yang saleh, keempat perkara tersebut adalah : zikir, tafakur, fakir, dan cinta.(Asy-Sadzili,
2008) Hal ini mengingatkan akan pentingnya empat hal tersebut dalam perjalanan seorang sufi,
sehingga hatinya selalu tersambung dengan Allah, agar lebih cepat dalam menggapai tingkatan
ma’rifat.
Asy Syadzili mengungkapkan,”barang siapa mencintai Allah dan mencintai karena allah
maka sungguh telah sempurna cintanya” selama kau mencintai Allah, tentu kau akan bertindak
atas ridhaNya, tunduk kepadaNya, dan dan mengerjakan ajaran al-Qur’an dan sunnah rasulNya.
Kau akan merasa malu mengerjakan sesuatu yang membuatmu terjauh dari kekasih yang
engkau cintai.” (Gharib, 2017) Beliau juga menyampaikan pesan dari urunya, “Sucikan selalu
dirimu dari syirik, Setiap kali kau berhadas, bersucilah. jangan sekutukan Allah dengan sesuatu.
Di antara kotoran yaitu cinta dunia. Setiap kali kau cenderung pada syahwat, sucikan dirimu
dengan tobat, maka jiwamu tidak akan binasa dan terlena oleh hawa nafsu. (Asy-Sadzili, 2008)
Dan juga di nyatakan Hendaklah tekadmu terfokus pada tiga: tobat, takwa, dan waspada. Tekad
ini diperkuat dengan tiga hal : dzikir, istighfar, dan diam sebagai bentuk penghambaan terhadap
Allah Th‘ala. enam perkara ini dibentengi, oleh empat hal: cinta, ridha, zuhuq, dan tawakal
(Asy-Sadzili, 2008).
Konsisten di jalur akhirat dengan menunaikan apa yang diperintahkan terhadap kondisi
lahir. Setelah itu duduk dan muraqabah (merasa diawasi Allah), dengan murnikan batin hingga
di dalamnya tidak tersisa lagi apa yang dilarang bagi seorang hamba. Mengerahkan seluruh
kesungguhan. Mengurangi padangan pada lahirm dan membuka batinmu untuk menangkap
berbagai rahasia malakut Tuhan (Asy-Sadzili, 2008).
Dalam usaha dalam mendidik dan mengarahkan murid-muridnya Syeh Abul Hasan Asy-
Syadzili menghendaki semua mukmin dapat mi’raj sesuai dengan persiapanya dan
kemampuanya masing-masing. Sehingga tujuan murid dalam mencapai tingkatan derajat yang
dituju, beliau juga menjelaskan siapa saja yang telah mencapai puncak mi’raj mereka adalah
Ahlullah dan orang-orang khususnya (Mahmud, 2017). Memperbaiki penghambaan dilakukan
dengan cara konsisten bersikap fakir, tiada daya, lemah, dan rendah di hadapan allah (Asy-
Sadzili, 2008). Mengakui kehambaan, kelemahan, kerendahan di hadapan dzat yang maha
segalanya yakni Allah SWT. Dengan selalu fakir kepada Allah hatinya selalu terhubung
terhadap dzat yang maha kaya, maha tinggi dan maha segalanya, tempat mencurahkan segala
keterbatasan. Hal ini sesuai dengan apa yang di tuturkan Syekh Abul Hasan asy Syadzili “Siapa
saja yang ingin memblokade setan, lakukanlah dengan cara meluruskan iman, tawakal, dan

Copyright © 2019, Muaddib : Islamic Education Journal 63


Muaddib : Islamic Education Journal, 2(1), 2019
Muhammad Rizal Ansori, Duski Ibrahim, Munir

penghambaan kepada allah diatas kefakiran, penjagaan dan memohon perlindunganNya (Asy-
Sadzili, 2008).
Karakteristik Kitab Risalatul Amin fi Wusuli Li Robbil Alamin
Karakteristik dari kitab Risalatul Amin fi Wusuli Li Robbil Alamin adalah Tasawuf
Aplikatif dengan menggunakan pendekatan Akhlak-Sufistik. Yakni semua bab yang terdapat
dalam kitab tersebut memuat amaliyah-amaliyah, akhlak, nasehat serta petunjuk yang
mengandung unsur sufistik/tasawuf atau cara-cara membersihkan diri, menerangkan adab,
amalan-amalan, serta kondisi ruhaniyah para sufi, mulai dari Takhali, Tahali, serta Tajali
(konsep tasawuf akhlaki). selain juga menjelaskan Syari’at, Tharikat, Ma’rifat, hingga Hakikat
(konsep tasawuf ‘amali).
Kitab Risalatul Amin fi Wusuli Li Robbil Alamin di tahqiq oleh Syekh Ahmad Farid Al
Mazidi, adapun sistematika penulisan dalam kitab tersebut masih berupa kumpulan manuskrip,
dalam arti belum terklasifikasi berdasarkan konsep baik tasawuf akhlaki maupun amali, karena
masih bersifat kompilasi dari ceramah-ceramah syekh Abul Hasan. Sang penulis pun sudah
memverifikasi, meneliti, menguji, melakukan penisbahan, dan pengesahan terhadap kitab ini,
syekh al mazidi menyatakan juga berharap mendapat berkah dan tergolong Ulil Albab, amin.
Begitupun harapan peneliti, semoga mendapat berkah dan tergolong Ulil Albab dari para Ulama
Khususnya Syekh Abul Hasan ay Syadzili.
Dari konsep tasawuf yang sudah di jelaskan para pakar pendekatan yang di pakai syekh
Abul Hasan asy Syadzili, yang tertuang dalam kitab ini menggunakan pendekatan Tasawuf
Akhlaki, yakni, ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang
di formulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku yang ketat serta
menggabungkan dengan konsep Tasawuf Amali yakni membahas tentang bagaimana cara
mendekatkan diri kepada Allah yang berkonotasikan tarekat yang mempunyai aturan, prinsip,
dan sistem khusus.
Materi Kitab Risalatul Amin fi Wusuli Li Robbil Alamin
Materi dalam kitab ini mencakup maklumat/wejangan dalam pencarian ilmu khsusunya
ilmu rohaniyah syekh Abul Hasan memberi bahwa ilmu dibangun atas empat dasar: melalui
jalur isyarat, melalui jalur tatap muka, melalui jalur pemahaman, atau melalui jalur
pendengaran. (Asy-Sadzili, 2008) Ini menunjukkan bahwa ilmu khususnya dalam bidang
sufistik tidak di sandarkan hanya pada akal saja akan tetapi lebih dari itu, bahkan tidak jarang
ilmu sufistik di dapat dari ilham. Pendekatan yang di pakai sesuai dengan konsep tasawuf
akhlaki dan juga konsep tawasuf amali. Di kisahkan seorang sufi menyatakan, “Siapa yang
ingin kekuatan dunia dan akhirat hendaklah ia masuk ke dalam mazhab kami dua hari.”
Seseorang bertanya kepadaku, “Bagaimana aku dapat mencapai semua itu?” Kujawab,
“Singkirkan berhala dari hatimu dan Istirahatkan fisikmu dari dunia” (Asy-Sadzili, 2008).
Karakteristik selain Zuhud dan Ibadah, juga bermotivasi untuk kebersihan diri lahir-batin
(Masburiyyah, 2011).
Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf Akhlaki adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan
kesucian jiwa yang di formulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah
laku yang ketat, guna mencapai kebahagiaan yang optimal, manusia harus lebih dahulu
mengidentifikasi eksistensi dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan melalui penyucian jiwa raga
yang bermula dari pembentukan pribadi yang bermoral paripurna, dan berakhlak mulia
(Masyharuddin, 2002).
Adapun sistem pembinaan tasawuf akhlaki ini dilakukan dengan sistematika sebagai
berikut : takhali, yaitu mengosongkan diri dari segala akhlak yang tercela (al akhlak al

Copyright © 2019, Muaddib : Islamic Education Journal 64


Muaddib : Islamic Education Journal, 2(1), 2019
Muhammad Rizal Ansori, Duski Ibrahim, Munir

madzmumah) seperti ujub al qalb, takabur, riya, sum’ah, nafs al amarah, mengikuti syahwat
dan farj, pemarah, permusuhan, hubud dunya, bakhil, dan lain sebagainya, kedua, tahap tahali
yaitu : tahap pengisian kekosongan diri itu dengan akhlak-akhlak yang terpuji (al akhlaq al
mahmudah) seperti, taubat, khauf, zuhud, sabar, syukur, ikhlas, tawakal, mahabat allah, ridha,
zikir al maut, dan lain sebagainya , ketiga tahap tajali, yaitu tahap memantapkan dan
mempertahankan pembinaan mental dalam rangka menyongsong datangnya nur ilahi, atau nur
ghaib dalam hati sanubari (Duski, 2015).
Didalam kitab Risalatul Amin Fi Wusuli Lirobbil Alamin, di jelaskan bagaimana
seharusnya kondisi murid selalu berusaha membersihkan hati, mulai dari menjaga dari segala
kemaksiatan, berlaku zuhud, wira’i, selalu berzikir, wirid, munajat dan lain-lain, tujuan dari
kesemua amalan tersebut adalah mencapai kebersihan hati, terbukanya hijab, dan wushul
illallah. Hal ini hampir semua aliran tarekat mengamalkanya.
Membangun konsep Zuhud dengan amalan dasar ibadah yakni pada 10 hal dan di tambah
empat sifat para zuhad (Ahli zuhud). Sepuluh dasar tersebut adalah : puasa, shalat, zikir,
tilawah, doa, istighfar, merendahkan diri di hadapan Allah, menangis, menjauhi manusia, dan
mencukupi kebutuhanya dengan cara halal, dan selalu berzikir. Adapun empat sifat dasar para
zuhad adalah : zuhud di dunia secara umum, zuhud terhdap manusia secara khusus, menyingkap
kegaiban malakut, dan memilih pengalaman kejiwaan dan maqam dengan berlandaskan
pemikiran.
Konsep zuhud yang di ajarkan Syekh Abul Hasan ini lebih fleksibel dari zuhud mutlak
yang dinyatakan al Ghazali, bahwa zuhud secara keseluruhan berarti benci kepada yang disukai
dan berpaling kepada yang lebih disukai, tidak menginginkan sesuatu selain Allah hingga surga
sekalipun (Ilham, 2014). Seperti itu juga konsep zuhud menurut Imam Yahya bin Hamzah al-
Yamani az-Zammari dalam analisanya mendefinisikan “Zuhud sebagai ungkapan sikap
meninggalkan dunia untuk memilih akhirat dan meninggalkan selain Allah untuk memilih
bersama denganAllah.” (Az-Zammari, nd).
Konsep Wara’, pada tarekat ini dijalankan bukan dengan cara bertapa, tidak dengan cara
makan gandum dan kurma kering saja, juga tidak pula seperti ucapan gologan bahwa Tarekat
tiada lain adalah kesabaran dan keyakinan dalam menjemput hidayah (Asy-Sadzili, 2008). Hal
inilah yang menjadi unik, relatif berbeda dengan terekat lain, dan sehingga aplikatif dimasa
sekarang inilah yang menjadikan tarekat sadziliyah lebih fleksibel.
Dalam perjalanan tarekat atau tasawuf, uzlah seringkali dilakukan dengan bersistematik
dan latihan yang demikian dinamakan suluk. Orang yang menjalani suluk dinamakan murid
atau salik. Yaitu orang yang menghabiskan kebanyakan waktunya didalam bilik untuk
berkhalwat dengan diawasi dan dibimbing oleh gurunya. Latihan bersuluk memisahkan salik
dengan hijab yang paling besar bagi orang yang baru menjalani jalan kerohanian yaitu
pergaulan dengan orang banyak. Karena di anggap imannya belum cukup teguh dan mudah
goyah dari godaan luar yang seringkali menggelincirkannya untuk melakukan maksiat dan
melalaikan hatinya daripada mengingati Allah SWT. Apabila dia dipisahkan dari dunia luar
jiwanya lebih aman dan tenteram mengadakan perhubungan dengan Allah SWT (Com, 2012).
Uzlah seperti ini akan membuat dada menjadi lapang dan mengikis semua kesedihan
(Aidh’ Al-Qarni, 2004). Dalam berzikir syekh menuturkan hendaknya dengan lisan seraya
mendekatkan kalbu kepada Allah (Asy-Sadzili, 2008). Dan berhati hati jangan sampai menarik
diri atau dengan Allah. menghubungkan hati dengan menghambakan murni lewat makrifat.
Terus berzikir, mendekatkan diri kepada Allah, bertaubat, dan memohon ampunanya (Asy-
Sadzili, 2008). Hal ini dilakukan didalam dan diluar ruang peribadatan, artinya harus di lakukan
kapanpun dan dimanapun.
Cara paling ampuh untuk memutus kedudukan diantara makhluk adalah mengasingkan
diri dari manusia dan berhijrah ke tempat yang tidak dikenal, karena orang yang mengasingkan

Copyright © 2019, Muaddib : Islamic Education Journal 65


Muaddib : Islamic Education Journal, 2(1), 2019
Muhammad Rizal Ansori, Duski Ibrahim, Munir

diri di rumahnya, di negeri dimana ia sangat dikenal, tidak akan terlepas dari cinta kedudukan
yang telah merasuk ke dalam hati dengan sebab 'uzlahnya (Hawa, n.d). Di dalam zaman modern
sebagian orang melakukanya di dalam kamar walaupun itu kamar hotel, dengan tujuan
menyendiri dan bermunajat tanpa melibatkan orang lain sehingga terjadi intensitas dalam
bertafakur, munajat, dan berdzikir. Sebagai solusi sehingga tidak ada alasan tidak uzlah
dizaman modern.
Adapun pembagian dzikir ada empat macam: zikir untuk menyebut-Nya (Tadzkuruh),
zikir untuk menyebut karena-Nya (Tadzkuru bih), zikir untuk mengingatkanmu (Yudzakkiru-
ka), dan zikir untuk disebut oleh-Nya (Tudzkaru bih) (Asy-Sadzili, 2008). Zikir pertama,
wilayah kalangan awam. Yaitu, zikir yang menyingkirkan kelalaian atau ditakuti olehnya.
Kedua, zikir untuk menyebut karena-Nya, artinya sesuatu yang disebut, baik itu berupai azab,
kenikmatan, kedekatan, jauh, dan sebagainya. Ketiga dzikir untuk mengingatkanmu terhadap
empat perkara : kebaikan dari Allah, keburukan datang dari nafsu, dan keburukan dari musuh,
sekalipun itu semua ciptaan dari allah. Keempat, dzikir agar engkau di sebut olehNya, yaitu
penyebutan Allah terhadap hambanya.
Dalam bermunajat dilakukan dengan empat cara. Pertama menyeru pada Allah melalui
sifat-sifat hamba sambil merenungkan sifat-sifat-Nya. Kedua menyeru Allah melalui sifat-
sifatNya seraya merenungkan sifat-sifat hamba. Ketiga, fana dengan sifat-sifat Allah terlepas
dari sifat-sifat hamba. Keempat, fana dengan sifat-sifat Allah dalam sifat-sifat hamba. Munajat
dapat diartikan melaporkan diri kehadirat Allah atas segala aktifitas yang dilakukan (Roes,
2014). yang merupakan kebiasaan para ulama dalam mendekatkan diri pada sang Khaliq.
Tasawuf Amali
Adapun Tasawuf Amali adalah tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara
mendekatkan diri kepada Allah. Dalam pengertian ini, Tasawuf Amali berkonotasikan tarekat.
Yakni tarekat ini mempunyai aturan, prinsip, dan sistem khusus. Semuanya hanya merupakan
jalan yang harus di tempuh seorang sufi dalam mencapai tujuan berada sedekat mungkin dengan
Tuhan yang akhirnya lama-kelamaan menjadi organisasi sufi, yang melegalisir kegiatan
tasawuf (Zaprulkhan, 2016).
Dalam tasawuf amali ada sistematika pengamalan tasawuf yang harus di tempuh oleh
para sufi, antara lain sebagai berikut : pertama, syariat, yaitu melakukan amalan-amalan lahir
yang di wajibkan agama islam, yang secara ringkas di kenal dengan pengamalan-pengamalan
rukun-rukun islam. Kedua, thariqat, yaitu dalam pelaksanaan syariat harus dengan tata cara
yang telah digariskan oleh agama dan dilakukan secara ikhlas, hanya karena Allah, karena cinta
dan ingin berjumpa dengan-Nya, ketiga, Hakikat, yaitu tahap paling rahasia dari segala amal
dan merupakan intisari dari syariat. Keempat, ma’rifat, yaitu telah mendapat pengalaman dan
pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari (Duski, 2015).
Tarekat syadziliyah masih terus berkembang di berbagai wilayah mulai dari timur tengah,
asia, afrika, barat, hingga eropa. Sebagai mana di tegaskan dalam kajian victor danner, bahwa
tarekat syadiliyah senantiasa menganggap tarekat mereka memiliki peran sentral dalam
mengembangkan kehidupan spiritual islam, bahkan di tegaskan para wali kutub di tiap zaman
(Quthb Al Zaman) akan senantiasa di temukan dari golongan ini (Zaprulkhan, 2016). Keyakinan
ini sangat di pegang teguh dan diyakini oleh para pengamalnya hingga sekarang.
Tarekat syadziliyah lebih dekat dengan tasawuf al-Ghazali yang berlandaskan al Qur’an
dan sunah, bahkan sebagian ajaranya di pengaruhi oleh al-Ghazali. Seperti yang di katakan
Asy-syadzili dalam kitab Latha’if Al Minan karya Ibn Atha’ilah “Seandainya kalian
mengajukan suatu permohonan kepada Allah, sampaikan itu lewat Imam al-Ghazali”, di
tegaskan bahwa dalam kitab Ihya’ Ulumuddin mewaris ilmu. Sementara karya al-maliki Qutb
Al-Qulub mewarisi cahaya, seperti juga yang di sampaikan oleh murid sekaligus penerus beliau

Copyright © 2019, Muaddib : Islamic Education Journal 66


Muaddib : Islamic Education Journal, 2(1), 2019
Muhammad Rizal Ansori, Duski Ibrahim, Munir

Syekh Abul Al-Abbas Al Mursi yang mengatakan “aku bersaksi bahwa dia adalah orang benar
yang besar” (Zaprulkhan, 2016). Beliau juga sangat terkenal dengan kealimanya terlebih
didukung dengan murid beliau yang sangat cemerlang pengarang kitab al Hikam yakni Syekh
Ibnu Atoilah As Sakandari.
Ajaran semua tarekat yang berkembang di berbagai belahan dunia memiliki beberapa ciri
yang sama yaitu mengacu pada syekh tertentu, ada proses pembaiatan calon murid, dan msing-
masing tarekat memiliki model riyadhoh dan wirid khusus. Murid-murid setiap tarekat
berkumpul di zawiyah-zawiyah atau tempat lain yang telah di tentukan untuk beribadah, belajar
dan berdzikir (Gharib, 2017). Seperti yang di ajarkan tarekat sadziliyah pada murid-muridnya
yakni selalu tidak lepas pada pembersihan hati, mujahadah, tirakat, wirid dengan jumlah
tertentu, mengamalkan hizb dan lain-lain.
Syekh Abul Hasan Juga menuturkan bahwa para wali terdiri dari beberapa tingkatan.
Diantara mereka ada yang di karuniai Ilmu, Makrifat, Cahaya, Cinta, Tauhid, Keyakinan,
tersingkapnya yang gaib, keteguhan terhadap perkara gaib, menyelidiki kefaaan dengan
menetapkan cahaya keabadian yang berandasakan cinta yang bersifat parsial (Al-Mazid, 2008).
Dari masing-masing tingkatan tentunya berbeda dalam tingkatan ilmu, pengalaman ruhani
berdasar maqamnya masing-masing. Seperti halnya terbukanya hijab, memiliki yang di
namakan Karomah, atau sesuatu yang di luar akal sehat yang di sebut Khoriqul al ‘Adah.
Sumber ilmu menurut Duski ada empat yakni panca indera (al-hawas al-khams) , akal (al
aql), berita yang benar (al-akhbar as-shadiq), dan intuisi hati atau ilham (Duski, 2015).
Sedangkan dalam peradaban Islam, berdasarkan epistimologi Islam atau nazhariyah al-
ma’rifah, secara garis besar terbagi menjadi tiga macam produk ilmu pengetahuan yang beredar
dalam kalangan kaum muslimin, yakni : pertama, al-Ilmi at-Ta’limi. kedua, al-Ilm at-Tashili
/al-Husuli. ketiga,al-Ilmi al-Hudhuri,atau al-Ilm at-tahdiri atau al-ilm al-laduni, yaitu ilmu
yang dihasilkan memalui pendekatan diri kepada Allah (at-Taqorub ila Allah. ketiga hal ini
tercakup dalam tiga bentuk ilmu tasawuf, yakni : Tasawuf Akhlaqi, Tasawuf ‘Amali, Tasawuf
Falsafi (Duski, 2015).
Makrifat mencukupkan diri dengan Allah dari seluruh makhluk, ma’rifat merupakan
substansi tasawuf al-Ghazali, Walaupun bukanlah murni pemikiran al-Ghazali semata, tetapi
pengembangan dari konsep sufi sebelumnya. Ma’rifat secara bahasa berarti pengetahuan atau
pengalaman. Sedangkan dalam terminologi tasawuf, kata ini diartikan sebagai pengenalan
seorang sufi tentang Tuhan yang didapatnya melalui hati sanubari yang suci (Siregar, 2000).
Sedangkan yang di maksud Hakekat adalah aspek lain dari syari’ah yang bersifat
lahiriyah, yaitu aspek bathiniyah. Dapat juga diartikan sebagai rahasia yang paling dalam dalam
dari segala amal atau inti syari’ah. Dengan kata lain ini merupakan keadaan yang sebenarnya
atau kebenaran sejati (Roes, 2014). Hal ini yang di tempuh oleh para sufi dalam keadaan
tertentu, yakni tingkatan para muhaqiqin. Syekh Zainuddin al malibari dalam syairnya
menyebutkan “Takwa kepada Allah pokok dari segala keberuntungan, Dan mengikuti nafsu
pokok keburukan tipu daya setan” sedangkan Jalan yang menghantarkan kita agar mudah
mencapai takwa terdiri dari tiga elemen; Syariat, Tarekat dan Hakikat.
Evaluasi Kajian Risalatul Amin fi Wusuli Li Robbil Alamin
Pendidikan sufistik adalah bagian dari keilmuan Islam. Namun hal ini secara praktis
sepertinya belum begitu terlihat dalam kajian-kajian, forum, madrasah, dan umumnya
pendidikan islam, kalaupun ada skalanya masih sangat rendah, hal inilah salah satu pemicu
rendahnya moralitas, spiritualitas, karena minimnya penghayatan tentang keislaman. Dalam
kitab ini di terangkan dengan begitu mendalam, semoga ini menjadi sebuah penggugah jiwa
dalam menerapkan ajaran islam dalam kehidupan berbasis sufistik sehingga tercipta jiwa
dengan ilmu, moral, dan spiritual yang mantap.

Copyright © 2019, Muaddib : Islamic Education Journal 67


Muaddib : Islamic Education Journal, 2(1), 2019
Muhammad Rizal Ansori, Duski Ibrahim, Munir

Urgensi pendidikan sufistik menurut Syekh Abul Hasan asy Syadzili adalah pada
penerapanya mulai dari adab ketika bergaul dengan sesama, dimana seseorang tidak merasa
tinggi hati dan selalu menjaga hubungan yang baik, selain harus selektif dalam memilih teman
dalam rangka menjaga agar hati kita tidak mudah terkontaminasi dari perbuatan buruk,
sehingga memudahkan seseorang dalam menggapai derajat dalam mendekatkan diri kepada
Allah.
Selain itu menurut syekh Abul Hasan, bagaimana orang yang ingin mendekatkan diri
kepada Allah harus selalu menjaga hati untuk selalu berzikir, mengingat Allah, sebagai upaya
membersihkan diri, agar terbersit sinar ruhiyah dari Allah. Selain itu juga selalu menjaga hati
agar tumbuh rasa mahabah, dengan mahabah akan timbul taqwa dan tawakal, atas apapun yang
di berikan oleh yang di kasihi yakni Allah SWT. Seorang salik sudah seharusnya selalu
bertafakur dalam pengembaraanya mencari Ilahi agar selalu tersambung di hati dan fikiran,
sehingga dapat terfokus dalam hubunganya dengan Allah. Dengan selalu merasa butuh (fakir)
mengharap segala rahmat dan pemberian yang di berikan oleh Allah.
Hal ini menunjukan pentingnya keseimbangan antara syaria’at dan hakikat Imam malik
pernah berkata, “ Barang siapa melakukan syariat tanpa hakikat, Maka ia adalah fasiq/hipokrit.
Dan barangsiapa melakukan mangaku mencapai Derajat hakikat dan tidak bersyariat, sungguh
dia telah zindik (ateis). Yang benar Adalah mengumpulkan keduanya.” (Al-Asrar, 2009). Hal
ini menegaskan betapa penting untuk mengumpulkan antara syari’at dan hakikat, sehingga
seimbang dalam kehidupan, tidak terlalu hanya mementingkan akal akan tetapi juga berbasisi
Hati nurani.
Sesuai dengan yang di tuturkan Syaikh Zainuddin al malibari dalam syairnya
menyebutkan “Takwa kepada Allah pokok dari segala keberuntungan, Dan mengikuti nafsu
pokok keburukan tipu daya setan” Jalan yang menghantarkan kita agar mudah mencapai takwa
terdiri dari tiga elemen; Syariat, Tarekat dan Hakikat (Al-Asrar, 2009).
Tujuan pendidikan yang berada pada level praktis selama ini, yang ada di kalangan umum
lebih terorientasi pada paradigma pendidikan barat, yang mengabaikan aspek ruhiah dan
keterkaitan antara manusia dengan allah swt. Tujuan pendidikan pada praktis pencapaianya
lebih terorientasi pada pengembangan kognisi dan kemampuan vokasional (Suryadi, 2017).
Tentu hal ini perlu di pertimbangkan lagi, khususnya tentang memasukan nilai-nilai sufistik
dalam pelajaran, pengajaran dan pendidikan islam.
KESIMPULAN
Ajaran tasawuf/sufistik yang diterapkan oleh Syekh abul Hasan asy Syadzili adalah
menggabungkan antara Tasawuf Akhlaki dan Tasawuf Amali atau menurut peneliti lebih tepat
di sebut akhlak-sufistik. Keilmuan dan pemikiran syekh Abul Hasan asy Syadzili dalam hal
keilmuan akhlaq banyak di pengaruhi oleh al-Imam al-Ghazali, Abu Talib al-Makki dan syekh-
syekh lain, sedangkan dalam bidang sufitik beliau menerima baiat dari Syekh Abu Abdullah
Muhammad bin Harazim. Pemikirannya yang cemerlang terpancar pada murid-murid beliau
seperti : Abul al-Abbas al-Mursi dan muridnya Ibnu Ato’ilah as Sakandari pengarang kitab al-
Hikam, dan juga Abu al-Azaim Mahdi.
Dalam kitab Risalatul Amin fi Wusuli Li Robbil Alamin Syekh Abul Hasan Asy syadzili
mengajar murid-murid beliau tentang konsep dasar bagi para sufi, bahwa jalan menuju Allah
meliputi empat hal, yakni : zikir, tafakur, fakir, dan cinta. Tujuan pendidikan sufistik,
menurutnya adalah mampu mendekatkan diri kepada Allah, selalu menjaga hati untuk selalu
berzikir, mengingat Allah, membersihkan diri, mencapai Mi’raj atau yang di sebut Ahlullah
(orang yang mnedapatkan temapt khusus disisi Allah).
Dalam ajaran Syekh Abul Hasan menggabungkan antara pendekatan Tasawuf Akhlaki
dan Tasawuf Amali. Yang erat kaitanya dengan akhlak, pada tahap awalnya murid diharuskan

Copyright © 2019, Muaddib : Islamic Education Journal 68


Muaddib : Islamic Education Journal, 2(1), 2019
Muhammad Rizal Ansori, Duski Ibrahim, Munir

melakukan amalan-amalan atau latihan-latihan rohani, yang bertujuan untuk membersihkan


jiwa dari nafsu yang tidak baik untuk menuju kehadirat Illahi. Kemudian di lanjutkan dengan
tasawuf amali yakni di anjurkan agar dapat dapat hidup disisi-Nya atau yang sebutkan dengan
Ahlullah.
Karakteristik ajaran Tarekat syadziliyah adalah pada fleksibilitas penerapan ajaranya.
Sebagai seorang sufi Syekh Abul Hasan asy-Syadzili berpenampilan bagus dan menarik tanpa
rasa sombong, suka menaiki kuda ketika bepergian, tidak banyak pantangan soal makanan dan
minuman, bergaul dengan umat, Syekh Abul Hasan termasuk sufi besar, pengamal Al-Qur’an
dan sunah yang gigih membela tanah air bersenjatakan lidah dan keimanan, ia seorang zahid
yang memiliki dunia tetapi tidak di kuasai dunia. Menurutnya, sufi sejati adalah mereka yang
tidak mengunci diri dalam majelis dan mihrabnya untuk berdzikir dan berkhalwat. Akan tetapi
mereka yang terjun dan terlibat dalam gerak dan peristiwa umat kemudian membantu untuk
menyelesaikanya. seperti nasehat beliau “kenalilah Allah, lalu hiduplah sesukamu”. Pada
intinya segala sesuatu tidak menghalangi perhatianya kepada Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Aidh’ Al-Qarni. (2004). La Tahzan. Jakarta Timur: Qisthi Press.
Al-Asrar, M. K. (2009). Meruntuhkan Opini Khurafat & Bid’ah (1st ed.). Jombang: Darul
Hikmah.
Al-Mazid, A. al-H. A.-S. tahqiq A. F. (2008). Risalat al-amin. Kairo: Dar al-Haqiqoh.
Asy-Sadzili, S. A. H. (2008). Risalatul Amin (1st ed.). Kairo: Darul Haqiqoh.
Az-Zammari, Y. bin H. al-Y. (n.d.). Tashfiyat al-Qulub (Cet. III). Beirut: Muassasah al-Kutub
ats-Tsaqafiyah.
Com, P. B. (2012). Syarah Al Hikam Ibn Athoillah As Sakandari ].
Duski. (2015). Bangunan Ilmu Dalam Islam (1st ed.). Palembang: Karya Sukses Mandiri.
Gharib, M. (2017). Syekh Abu al-Hasan al-Syadzili : Kisah Hidup Sang Wali dan Pesan-Pesan
yang Menghidupkan Hati. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Hasan, M. I. (2002). Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian Dan Aplikasinya. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Hawa, S. (n.d.). Mensucikan Jiwa : Konsep Tazkiyatun-nafs Terpadu, Intisari Ihya’ Ulumuddin
al-Ghazali. Robbani Press
Ilham, M. (2014). Konsep Zuhud Dalam Pemikiran Tasawuf Hamka. UIN Alauddin Makassar
Mahmud, A. H. (2017). Hayat Dan Wasiat Abul Hasan Asy-Syadzili. Dar An-Nashr Li Ath-
Thiba’ah.
Masburiyah. (2011). Konsep Dan Sistimtika Pemikiran Fiqih Sufistik Al-Ghazali. Nalar Fikih:
Jurnal Kajian Ekonomi Islam dan Kemasyarakatan, 3(1), 109–130.
Masyharuddin, A. S. dan. (2002). Intelektual Tasawuf. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Roes, A. & A. (2014). Pendekatan Ilmu-Ilmu Keislaman : Pendekatan Sufistik Dalam Studi
Islam. Makalah, UIN Walisongo Semarang.
Siregar, H. A. R. (2000). Tasawuf dari sufisme klasik ke neo-sufisme. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Sutoyo. (2015). Tasawuf Hamka Dan Rekonstruksi spiritualitas Manusia Modern. Islamica:
Jurnal Studi Keislaman, 10(1), 108-136.
Zaprulkhan. (2016). Ilmu Tasawuf: Sebuah Kajian Tematik. (N. Hasanah, Ed.). Jakarta: Raja
Grafindo Persada.

Copyright © 2019, Muaddib : Islamic Education Journal 69

You might also like