Jurnal MSI Metodologi Studi Islam

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 13

Kebutuhan Manusia Terhadap Agama

Ahmad Dedi Humaedi, Tb Muhamad Aditia Firdaus, Yudha Andika Saputra


Universitas Islam Negri SMH Banten, Indonesia
[email protected], [email protected], [email protected]

ABSTRACT.
'This research is based on taking into account current phenomena, several events that make us
think, some events cause us to think backwards and relate these events to the educational
process so far. This research will examine moderation and tolerance so that we can know the
boundaries that are stated in the Al-Quran and Al-Hadith. Because Islam was born through his
intercession, Islam was spread peacefully and there was no element of coercion. This research is
literature research which aims to examine moderation and tolerance in the Al-Kafirun letter.
Tolerance has existed since the time of the prophet, whereas what is happening now is that
violence or radicalism does not come from the Islamic religion, but from human
misunderstanding in dealing with differences. We live in a country that is large and rich in
ethnicity, religion, customs and language, so there will be potential for differences, how can we
turn these differences into blessings in accordance with the hadith of the Prophet, that
ikhtilafuummatirahmatun, it is necessary to have the values of moderation and religious
tolerance in carrying out the teachings of the Islamic religion and must be implemented through
the world of education, at various levels, both formal and non-formal.
Keywords: Moderation,Tolerance, The Letter Al-Kafirun, Islamic Education
ABSTRAK.
Penelitian ini berdasarkan keprihatinan terhadap fenomena yang terjadi saat ini, beberapa
kejadian yang menyetak pikiran kita, beberapa kejadian menyebabkan kita berfikir ke belakang
dan menghubungkan kejadian tersebut dengan proses pendidikan selama ini. Penelitian ini akan
menelaah tentang moderasi dan toleransi agar kita dapat mengetahui batasan-batasan yang sudah
termaktub dalam Al-Quran dan Al-Hadits. Karena Islam telah lahir dengan keramahannya, Islam
disebarkan dengan cara damai dan tidak ada unsur keterpaksaan. Penelitian ini merupakan
penelitian pustaka yang bertujuan untuk mengkaji moderasi dan toleransi dalam surat Al-
Kafirun. Toleransi sudah ada sejak zaman nabi, sedangkan yang terjadi sekarang adanya
kekerasan atau radikalisme itu bukanlah berasal dari agama Islam, melainkan dari
ketidakfahaman manusia dalam menghadapi sebuah perbedaan. Kita hidup di negara yang besar
dan kaya akan suku, agama, adat istiadat dan juga bahasa, maka akan menjadi potensi adanya
perbedaan, bagaimana kita bisa menjadikan perbedaan itu menjadi rahmat sesuai dengan hadits
nabi, bahwasanya ikhtilafuummatirahmatun, maka perlu adanya Nilai- nilai moderasi dan
toleransi beragama dalam menjalankan ajaran agama islam dan harus diimplementasikan melalui
dunia pendidikan, dalam berbagai jenjang, baik formal maupun nonformal.
Kata Kunci: Moderasi, Toleransi, Surat Al-Kafirun, Pendidikan Agama Islam

METODE PENELITIAN
Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw. Diyakini dapat menjamin
terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin. Didalamnya terdapat berbagai
petunjuk tentang bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi hidup dan kehidupan ini secara
lebih bermakna dalam arti yang seluas-luasnya.

Petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupann manusia, sebagaimana terdapat


di dalam sumber ajaranya, Alquran dan hadist, tampak amat ideal dan agung. Islam mengajarkan
kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan
spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian social, menghargai waktu, bersikap terbuka,
demokratis, berorientas pada kualitas, egaliter, kemitraan, anti-feodalistik, mencintai kebersihan,
mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia, dan sikap-sikap positif lainya.1

Sejalan dengan pernyataan tersebut, Fazlur Rahman sampai pada satu tesis bahwa secara
eksplisit dasar ajaran Alquran adalah moral yang memancarkan titik beratnya pada monoteisme
dan keadilan social.2 Tesis ini dapat dilihat misalnya pada ajaran tentang ibadah yang penuh
dengan muatan peningkatan keimanan.3 ketakwaan dengan akhlak yang mulia demikian erat.4

Selanjutnya hasil penilitian dilakukan jalaluddin rahmat terhadap alquran menyimpulkan


empat hal yang bertemakan tentang kepeduliannya terhadap masalah sosial. Pertama, dalam
Alquran dan kitab-kitab hadist,proposi terbesar ditujukan pada urusan social. Kedua, dalam
kenyataan bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusann muamalah, makai ibadah
boleh di perpendek atau di tangguhkan (tentu bukan di tinggalkan). Ketiga,bahwa ibadah yang
mengandung segi kemasyarakatan iberi ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat
perseorangan. Keempat, bila urusan agama di lakukan tidak sempurnaatal, karna melanggar
pantangan terntentu, maka kafaratnya (tebusanya) ialah mellakukan sesuatu yang berhubungan
dengan masalah social.5

1
Fadhil Al-Jamali, Memahami Krisis Pendidikan Dunia Islam (Jakarta: Golden Trayon Press, 1992).
2
Fazlur Rahman, Asli Islam (Jakarta: Bina Aksara, 1987).
3
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 1997).
4
Al-Qur’an, Bahwa Keimanan Dan Ketakwaan Ternyata Berkaitan Degan Akhlak Mulia (Al-Baqarah: Ayat, 177AD).
5
Jalaluddin Rahmat, Islam Alternaif (Bandung: Mizan, 1991).
Namun, kenyataan islam sekarang menampilkan keadaan yang jauh dari cipta ideal
tersebut. Ibadah yang dilakukan umat islam seperti solat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya
hanya berhenti pada sebatas membayar kewajiban yang menjadi lambing kesalehan, sedangkkan
buah dari ibadah yang berdimensi kepeduulian social sudah kurang tampak. Dikalangan
masyarakyat6 telah terjadi kesalahpahaman dengan memahami dan menghayati pesan
simbolisme keagamaan itu. Akibat dari kesalahpahaman memahami simbo-simbol keagamaan
itu,7 agama lebih dihayati sebagai penyelamatan individu dan bukan sebagai keberkahan social
secara bersama. Seolah Tuhan tidak hadir dalam problematik social kita, 8 kendati Namanya
semakin rajin disebut dimana-mana. Pesan spiritualitas agama menjadi mandeg, terkristal dalam
kumpulan mitos dan ungkapan simbolis Agama tidak muncul di dalam satu kesadaran kritis
terhadap situasi aktual.

. Sekarang mungkin sudah saatnya kita mengembangkan indikasi keberagaman yang


agak berbeda dengan yang kita miliki selama ini Meningkatnya jumlah orang mengunjungi
rumah-rumah ibadah, berduyun durunnya orang pergi haji, dan sering munculnya tokoh-tokoh
dalam acara swal agama, sebenarnya barulah indikasi permukaan saja dalam masyarakat kets
Indikasi semacam ini tidak menerangkan tentang perilaku keagamaan yang sesungguhnya, di
mana nilai-nilai keagamaan menjadi pertimbangan utama dalam berpikir maupun bertindak oleh
individu maupun sosial. Terjadinya kesenjangan antara cita ideal Islam dengan kenyataan yang
terjadi dalam kehidupan sebagaimana telah disebutkan di atas, telah banyak menarik perhatian
para ahli untuk mencoba mencari penyebabnya, dan sekaligus menawarkan alternatif
pemecahannya. Syafi'i Ma'arif misalnya, melihat bahwa penyebabnya adalah kualitas keagamaan
umat yang masih rendah. Menurutnya proses Islamisasi sesungguhnya secara kualitatif belum
pernah mencapai tingkatnya yang sempurna. Islam sebegitu jauh belum lagi mampu
menggantikan sepenuhnya kepercayaan-kepercayaan dan tradisi-tradisi kultural lokal sebagai
basis bagi organisasi sosial.9 Lebih lanjut ia mengatakan jika perkembangan sosial keagamaan
berlanjut menurut arah ini, maka usaha intelektual yang sungguh-sungguh dalam menjelaskan
dan mensistematisasi kan berbagai aspek ajaran Islam mutlak perlu digalakkan agar umat Islam
punya kemampuan menghadapi dan memecahkan masalah-masalah modem yang sedang

6
Harun Nasution, Umat Islam Di Zaman Klasik (650-1250 M.), n.d.
7
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997).
8
Ibid, Hlm.202, n.d.
9
Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam Dan Masalah Kenegaraan (Jakarta: LP3ES, 1985).
dihadapi bangsa Indonesia seperti kemiskinan, keterbelakangm ekonomi, pertambahan
penduduk, pendidikan, perkembangan politik, dan yang sangat mendesak adalah masalah
keadilan sosio-ekonomi.10

Timbulnya sikap keberagamaan yang demikian itu juga bisa dilacak penyebabnya dari
cara umat tersebut keliru dalam memahami Islam. Islam yang muatan ajarannya banyak
berkaitan dengan masalah-masalah sosial sebagaimana di atas ternyata belum dapat diangkat ke
permukaan disebab kan metode dan pendekatan yang kurang komprehensif. Dari segi ala yang
digunakan untuk memahami Islam, misalnya kita melihat cara yang bermacam-macam; antara
satu dan lainnya tidak saling berjumpa. Mukti Ali misalnya mengatakan, jika kita mempelajari
cara orang mendekati dan memahami Islam, maka tampak ada tiga cara yang jelas. Tiga
pendekatan itu adalah Naqli (tradisional), yang kedua adalah pendekatan secara aqli (rasional),
dan ketiga adalah pendekatan secara kasy (mitris). 11 Dalam memahani agarna seharusnya ketiga
pendekatan tersebut digunakan secara serempak bukan terpisah pisah.

Diketahui bahwa Islam sebagai agama yang memiliki banyak dimensi yaitu mulai dan
dimensi keimanan, akal pikiran, ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknolog, lingkungan
hidup, sejarah pendamaian, sampai pada kehidupan rumah tangga, dan masih banyak lagi Untuk
memahami berbagai dimensi ajaran Islam tersebut jelas memerlukan berbagai pende katan yang
digali dari berbagai disiplin ilmu. Di dalam Alquran yang menipa kan sumber ajaran Islam,
misalnya dijumpai ayat ayat tentang proses pertumbuhan dan perkembangan anatomi tubuh
manusia. Untuk menjelas kan masalah ini jelas memerlukan dukungan ilmu anatomi tubuh
manusia. Selanjutnya untuk membahas ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah tanaman dan
tumbuh-tumbuhan jelas memerlukan bantuan ilmu pertanian.

Selama ini Islam banyak dipahami dari segi teologis dan normatif Jika seseorang bernasib
kurang beruntung misalnya, maka secara teologis hal itu terjadi karena takdir Tuhan, atau karena
yang bersangkutan menganut paham teologi fatalistis (jabariyab) Secara teologis jawaban
tersebut boleh jadi benar, tetapi, hendaknya juga dilihat sebab-sebabnya dari sudur sosiologis,
historis, kultural, dan sebagainya.

10
Ibid, Hlm.3., n.d.
11
H.A. Mukti Ali, Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam (Bandung: Mizan, 1996).
Demikian juga jika ada suatu penyimpangan moral seperti masalah pelacuran, hal
demikian itu dinilai sebagai perbuatan haram yang harus diberantas. Padahal dengan
diberantasnya masalah tersebut belum tentu dapat mengatasi masalah, karena masalah pelacuran
juga terkait dengan keimanan yang tipis, kurangnya pengetahuan dan keterampilan, sempitnya
lapangan kerja, dan lain sebagainya.

Berdasarkan pada permasalahan di atas, buku ini selain berupaya mendeskripsikan secara
umum tentang ruang lingkup ajaran Islam, juga mencoba mengemukakan berbagai metode dan
pendekatan yang dapa digunakan untuk menghasilkan pemahaman Islam yang komprehensif De
ngan cara demikian, seorang Muslim selain memiliki wawasan yang menye luruh dan integral
tentang ajaran Islam, juga dapat mengembangkannya Pemahaman Islam yang demikian itu
diharapkan akan mampu merespon berbagai masalah aktual yang dihadapi dalam kehidupan

Hal yang demikian dilakukan karena pengajaran studi Islam yang ada selama ini hanya
diarahkan pada terciptanya para lulusan yang dapat meng hafal ajaran agama, tetapi tidak mampu
mengembangkannya. Buku ini selain akan mencoba membawa pembaca untuk memiliki
wawasan yang utuh dan integral tentang Islam, juga dapat mengembangkannya. Untuk itu
masalah metode dan pendekatan dalam seluruh aspek ajaran Islam dikemukaka dalam buku ini.

Selanjutnya buku ini selain mengemukakan telaah konstruksi teon penelitian agama
berikut berbagai pendekatan dan teori-teori yang digunakan dengan merujuk kepada pakar yang
ahli dalam bidangnya, juga mengemuka kan deskripsi tentang model penelitian tafsir, hadis,
kalam, filsafat, tasawuf fikih, politik, pendidikan Islam, sejarah, pemikiran modern dalam Islam
antropologi, dan sosiologi agama.Dengan penyajian yang demikian itu, buku ini diharapkan
dapat membantu pembaca dalam memahami ajaran Islam. Dengan demikian buku ini menempati
posisi sebagai pengantar yang diharapkan dapat menunjukkan dengan jelas tentang bagaimana
ajaran Islam itu seharusnya dipahami.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Pengertian Agama

Secara sederhana, ada dua perspektif yang dapat digunakan untuk memahami agama:
kebahasaan (etimologis) dan istilah (terminologis). Karena interpretasi agama dari sudut
kebahasaan sudah mengandung muatan subjektivitas individu yang mengartikannya, 12 akan lebih
mudah untuk mengartikannya dari sudut kebahasaan daripada dari sudut istilah.Dengan
demikian, tidak mengherankan bahwa ada beberapa ahli yang tidak tertarik untuk mendefinisikan
agama. Misalnya, James H. Leuba berusaha mengumpulkan semua definisi agama yang telah
diberikan orang selama 48 teori.13 Mukti Ali, di sisi lain, mengatakan bahwa kata "agama"
mungkin merupakan kata yang paling sulit dipahami dan didefinisikan, dan dia akhirnya sampai
pada kesimpulan bahwa mencoba mendefinisikan agama itu tidak ada gunanya. Ada tiga alasan
untuk pernyataan ini. Pertama, pengalaman agama adalah subjek yang sangat individualis dan
batini. Kedua, sulit untuk mendefinisikan kata "agama" karena mungkin tidak ada orang yang
begitu emosi saat berbicara tentangnya. Akibatnya, 14 setiap diskusi tentang arti agama dipenuhi
dengan perasaan yang kuat. Ketiga, motivasi orang yang memberikan definisi memengaruhi
pemahaman mereka tentang agama.

Agama Menurut Para Ahli

M. Sastrapratedja menyatakan bahwa, sejalan dengan Mukti Ali, salah satu tantangan
untuk berbicara tentang agama secara keseluruhan adalah adanya perbedaan-perbedaan dalam
memahami arti agama, serta perbedaan dalam cara setiap agama dipahami dan diterima dalam
upaya untuk memahami agama. Setiap agama memiliki cara untuk mengartikulasikan dirinya
sendiri yang unik, dan kedalaman interpretasi itu juga berbeda-beda.15

Menurut W.H. Clark, seorang ahli Ilmu Jiwa Agama, yang dikutip Zakiah Daradjat,
perdebatan tentang definisi agama masih belum selesai. Clark mengatakan bahwa mencari kata-
kata yang dapat digunakan untuk mendefinisikan agama adalah tantangan terbesar, karena
pengalaman agama adalah subjektif, intern, dan individual, dan setiap orang akan merasakan
pengalaman agama yang berbeda dari orang lain. Selain itu, tampaknya sebagian besar orang
lebih cenderung mengaku beragama daripada benar-benar menganutnya.

Untuk mencegah kita dari awal menganggap bahwa pengertian agama yang diberikan
oleh seorang ahli lebih benar daripada pengertian yang diberikan oleh orang lain, kami sengaja
mengemukakan beberapa pernyataan tersebut di atas sebelum memasuki diskusi lebih lanjut
12
Mustafa Al-Siba’i, Penetapan Hukum Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991).
13
Abuddin Nata, Al-Qur’an Dan Hadist (Dirasab Islamiyah) (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993).
14
A. Mukti Ali, Universalitas Dan Pembangunan (Bandung: IKIP Bandung, 1971).
15
M. Sastrapratedja, Agama Dan Kepedulian Sosial (Jakarta: P3M, 1991).
tentang pengertian agama. Akibatnya, kita merasa tertutup untuk menerima pendapat orang lain,
yang merugikan. Jadi, mari kita ikuti penjelasan berikut tentang pengertian agama ini.

Teori-teori Harun Nasution tentang bahasa dapat digunakan untuk memahami agama.
Menurutnya, selain istilah agama, orang Indonesia juga mengetahui istilah din (‫ )دين‬dari bahasa
Arab dan istilah religi dari Eropa. Dia berpendapat bahwa kata "agama" berasal dari bahasa
Sanskrit. Satu pendapat mengatakan bahwa Harun Nasution mengatakan bahwa kata "agama"
berasal dari dua kata "a" yang berarti "tidak" dan "gam" yang berarti "pergi", sehingga "agama"
berarti tetap ada, tidak pergi, dan diwariskan dari generasi ke generasi.. Ada pendapat lain yang
mengatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci, dan bahwa agama-agama memiliki kitab-
kitab suci. Selanjutnya, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa agama berarti tuntunan.
Konsep ini tampaknya mewakili salah satu fungsi agama sebagai tuntutan bagi kehidupan
manusia.

Dalam bahasa Semit, din juga berarti hukum atau undang-undang. Kata ini dalam bahasa
Arab berarti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan, dan kebiasaan. Pengertian ini juga
sejalan dengan isi agama, yang mencakup aturan yang harus diikuti oleh penganut agama
tertentu. Selanjutnya, agama menguasai diri seseorang dan membuatnya tunduk dan patuh
kepada Tuhan dengan menjalankan ajaran-ajarannya. Agama juga menyatakan bahwa para
penganutnya memiliki kewajiban yang harus dipenuhi, dan pemahaman tentang kewajiban dan
kepatuhan ini menghasilkan paham balasan. Mereka yang melakukan tanggung jawab mereka
dan mematuhi perintah Tuhan akan menerima balasan yang baik dari Tuhan. Sebaliknya, mereka
yang tidak melakukan tanggung jawab mereka dan menentang perintah Tuhan akan menerima
balasan yang menyedihkan.

Kata "religi" berasal dari bahasa Latin. Menurut pendapat Harun Nasution, asal kata
religi adalah relegere, yang berarti mengumpulkan dan membaca. Salah satu pendapat
mengatakan bahwa kata itu berasal dari kata "religare", yang berarti "art mengikat". Namun,
pendapat lain mengatakan bahwa pengertian ini sejalan dengan isi agama, yang mencakup daftar
metode untuk mengabdi kepada Tuhan yang tercantum dalam kitab suci yang harus dibaca.
Ajaran-ajaran agama memang mengikat manusia. Dalam agama-agama berikutnya, roh manusia
terhubung dengan Tuhan; agama-agama ini juga mengikat manusia dengan Tuhan.
Selain itu, menurut akhimya Harun Nasution, makna dari istilah-istilah di atas adalah
ikatan agama yang harus dipegang dan dipatuhi oleh manusia. Kehidupan sehari-hari manusia
sangat dipengaruhi oleh ikatan ini. Suatu kekuatan yang lebih tinggi dari manusia adalah sumber
ikatan ini. Suatu kekuatan supranatural yang tidak dapat diamati oleh pancaindera. 16

Ada beberapa cara untuk memahami agama dari perspektif istilah. Menurut Elizabet K.
Nottingham dalam bukunya Agama dan Masyarakat, abstraksi ilmiah sulit dibuat karena agama
adalah gejala yang begitu umum. Nottingham juga menyatakan bahwa agama terkait dengan
upaya manusia untuk menemukan makna dan keberadaan alam semesta dan dirinya sendiri.
Agama telah menimbulkan khayalnya yang paling luas dan juga telah digunakan untuk
membenarkan kekejaman yang luar biasa yang dilakukan orang terhadap orang lain. Agama
dapat menimbulkan kebahagiaan batin yang paling sempurna serta ketakutan dan kekhawatiran. 17
Menurut Durkheim, solidaritas sosial adalah pantulan agama. Dia menyatakan bahwa Tuhan
sebenarnya telah menciptakan masyarakat jika dipelajari.18

2. Hasil Definisi Agama

Sangat jelas bahwa definisi agama yang disebutkan di atas pasti tidak akan mencapai
kesepakatan. Ini karena fakta bahwa sangat sulit bahkan hampir mustahil untuk menemukan
definisi agama yang dapat diterima oleh semua orang. Kaum sosiolog mendefinisikan agama
berdasarkan cara agama dipraktikkan, dihayati, dan diamalkan dalam masyarakat. Definisi
mereka lebih berfokus pada bentuk yang terlihat dari agama daripada substansi inti. Kaum
sosiolog mendefinisikan agama dari sudut pandang lahiriah, bukan dari sudut pandang batini.
Kaum sosiolog mendefinisikan agama berdasarkan das sein, yaitu agama yang seharusnya
dipraktikkan dan secara normatif teologis sudah pasti baik adanya. Agama dalam kenyataan
empirik ini bisa jadi berbeda dengan agama yang terdapat pada aspek batinnya yang bersifat
substantif.

Sangat penting untuk berpikir kritis dan hati-hati tentang agama yang didasarkan pada
praktiknya oleh kaumnya. Dengan demikian, pendapat Durkheim tentang agama, misalnya, telah
dikritik oleh Taufik Abdullah. Dalam hal ini, Taufik Abdullah menyatakan bahwa mungkin tidak
perlu bagi saya untuk meninggalkan sini, pertama-tama, la (Durkheim), sampai parta kesimpulan
16
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1 (Jakarta: UI Press, 1979).
17
Elizabeth K. Nottingham, Agama Dan Masyrakat Suatu Pengantar Sosiologi Agama (Jakarta: CV. Rajawali, 1985).
18
Taufik Abdullah, Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990).
tersebut, karena ia hanya mempelajari agama melalui tulisan para pengembara misionaris dan
kehidupan keagamaan suku Aborijin di Australia, yang dianggap paling murni. Sementara
filosofi saya berpusat pada agama universal Kedua, Durkheim terlalu sekular bagi pandangan
saya. Itu menurut Taufik Abdullah. Sebagai contoh, Durkheim mengatakan bahwa ketika
masyarakat menjadi lebih modern, solidaritas organiknya menjadi lebih kuat. Dalam keadaan
seperti ini, agama menjadi tidak relevan karena telah digantikan oleh moralitas ilmiah.

Elizabet K. Nottingham, di sisi lain, berpendapat bahwa agama pada dasarnya bertujuan
untuk meningkatkan martabat dan harkat manusia dengan memberikan suasana hati yang
nyaman dan menenangkan. Namun, penganut agama juga kadang-kadang menyalahgunakannya
untuk kepentingan yang merugikan orang lain, seperti dengan mengubah interpretasi agama
secara salah dan menyebabkan tercapain.

Namun demikian, apa yang disebutkan di atas sama sekali tidak bertujuan untuk
menghilangkan perspektif sosiolog. Hasil penelitian para sosiolog tentang agama masih sangat
penting karena mereka memberi kita pemahaman tentang bagaimana agama terlihat dalam
kehidupan nyata. Kita sekarang tahu bahwa substansi dan tujuan agama akan menjadi aktual
ketika agama muncul dalam bentuk yang nyata dan dapat dipahami oleh manusia. Selain itu,
substansi agama akan menjadi aktif dan beroperasi saat itu.

Kaum perenialis terus menyelidiki hubungan antara substansi agama dengan bagaimana
ia terlihat dalam kehidupan nyata. Pendekatan abadi terhadap agama, apa pun namanya, selalu
berhubungan dengan substansinya, yaitu inti ajaran agama yang berada di balik bentuk dan
bentuknya. Meskipun substansi ini bersifat transenden, ia juga bersifat imanen, karena substansi
agama sulit didefinisikan dan dapat dicapai hanya melalui predikat atau bentuk lahiriah dari
substansinya.

Namun demikian, agama juga imanen karena hubungan antara predikat dan substansi
tidak dapat dipisahkan. Jika substansi agarna dapat disusun dalam hierarki, substansi agama yang
paling dasar hanyalah satu. Karena ia berasal dari yang mutlak, ia abadi dan tidak terbatas. Ibarat
air, substansinya hanya satu tetapi dapat mengambil berbagai bentuk, seperti uap, lautan, sungai,
kolam, embun, mendung, hujan, dan sebagainya. Adanya substansi agama dalam bentuk yang
terbatas menunjukkan bahwa agama itu sama sekali universal dan unik. 19 Schuon mungkin
mengatakan, "bahwa setiap agama memiliki satu bentuk dan satu substansi." 20 dalam konteks ini.
Agama memiliki makna yang sangat besar, meskipun bentuknya relatif. Karena agama adalah
kombinasi dari substansi dan bentuk, karena itu, agama menjadi sesuatu yang absolut selain
relatif, yaitu absolut substansinya dan relatif bentuknya. Oleh karena itu, para sosiolog
mendefinisikan agama sebagai sesuatu yang relatif dari perspektif bentuknya, sementara absolut
dipandang dari perspektif substansi yang terkandung di dalamnya

Selanjutnya karena demikian banyaknya definisi tentang agama yang dikemukakan para
ahli, Harun Nasution mengatakan bahwa dapat diberi definisi sebagai berikut:

1. Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus
dipatuhi.
2. Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia.
3. Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu
sumber yang berada di luar diri manusia yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan
manusia.
4. Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu;
5. Suatu sistem tingkah laku (code of conduct) yang berasal dari kekuatan gaib.
6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suara
kekuatan gaib
7. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dan perasaan lemah dan perasaan takut
terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia.
8. Ajaran yang diwah- yukan Tuhan kepada manusia melalui seorang rasul "21

Taib Thahir Abdul Mu'in juga mendefinisikan agama sebagai aturan Tuhan yang
mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal untuk mengikuti aturan tersebut dengan
kehendak dan pilihannya sendiri untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.22

3. Unsur Karakteristik Agama

19
Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perennial (Jakarta:
Paramadina, 1995).
20
Prithjof Schuon, Islam and the Perennial Philosophy (Peter Hobson: Word Islam Festival Company Ltd, 1976).
21
Harun Nasution, Op.Cit., Hlm.10, n.d.
22
K.H.M. Taib Thahir Abd. Mu’in, Ilmu Kalam (Jakarta: Widjaya, 1986).
Sebagai hasil dari beberapa definisi tersebut di atas, kita dapat menemukan empat elemen
yang merupakan ciri agama:

Pertama, komponen keyakinan terhadap kekuatan gaib. Kekuatan gaib dapat datang
dalam berbagai bentuk dalam agama primitif, seperti dewa-dewa, benda-benda yang memiliki
kekuatan misterius, ruh atau jiwa yang melekat pada benda-benda tersebut, atau Tuhan, atau
Allah, dalam istilah yang lebih khusus dalam agama Islam.

Kepercayaan pada adanya Tuhan adalah dasar keagamaan yang paling penting. Kecuali
Budhisme yang asli dan beberapa agama lain, semua agama didasarkan pada kepercayaan pada
kekuatan gaib. Cara hidup setiap orang yang percaya pada agama ini sangat terkait dengan
kepercayaan ini.

Kedua, elemen yang percaya bahwa hubungan yang baik dengan kekuatan gaib tertentu
diperlukan untuk kebahagiaan dan kesejahteraan baik di dunia ini maupun di akhirat. Jika
hubungan yang baik itu hilang, kesejahteraan dan kebahagiaan juga akan hilang. Dengan terus
mengingat-Nya, melakukan segala perintah-Nya, dan meninggalkan segala larangan-Nya,
hubungan baik ini dilanjutkan.

Ketiga, komponen respons yang berasal dari emosi manusia. Responden dapat
mengambil bentuk cinta, seperti yang dimiliki agama primitif, atau rasa takut, seperti yang
dimiliki agama monoteisme. Selanjutnya, respons tersebut dapat mengambil bentuk
penyembahan, seperti yang dimiliki agama monoteisme, dan pada akhirnya membentuk gaya
hidup tertentu bagi masyarakat yang bersangkutan.

Keempat, komponen paham adanya yang kudus (sacred) dan suci, baik dalam bentuk
kekuatan gaib, kitab suci, ajaran agama, lokasi, peralatan untuk upacara, dan sebagainya. 23

Berdasarkan uraian tersebut, kita dapat mengatakan bahwa agama adalah ajaran yang
berasal dari Tuhan atau hasil renungan manusia yang ditulis dalam kitab suci dan diwariskan
oleh generasi ke generasi dengan tujuan memberi manusia tuntunan dan pedoman hidup untuk
mencapai kebahagiaan baik di dunia maupun akhirat. Ini termasuk kepercayaan pada kekuatan
gaib, yang menyebabkan perasaan dan keyakinan

KESIMPULAN
23
Harun Nasution, Op. Cit, Hlm.11, n.d.
Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa tujuan utama ajaran islam adalah membawa
rahmat kepada semua orang dengan mengatur berbagai aspek kehidupan mereka, termasuk
sosial, ekonomi, politik, hukum, pendidikan, dan sebagainya. Misi utama ajaran islam adalah
menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan menyelamatkan manusia dari kehancuran.Umat
Mansuia telah menganut banyak agama sebelum kedatangan Islam.

Islam adalah agama yang terakhir di antara banyak agama besar di dunia, yang masing-
masing memiliki kekuatan raksasa yang memicu revolusi global dan mengubah nasib banyak
negara. Selain itu, Islam bukan hanya agama yang terakhir, tetapi juga agama yang melengkapi
dan menggabungkan semua agama sebelumnya.

Selain itu, posisi Islam di antara agama-agama besar di dunia dapat dilihat dari
karakteristiknya yang unik. Selain menjadi agama yang terakhir dan meliputi semua agama,
Islam juga merupakan ekspresi kehendak Ilahi yang sempurna.

Salah satu tujuan penting agama Islam adalah untuk menciptakan perdamaian di seluruh
dunia dengan menciptakan persaudaraan di antara semua agama, mengambil semua kebenaran
dari agama-agama sebelumnya, memperbaiki kesalahan para penganur agama sebelumnya yang
kemudian dimasukkan ke dalam agamanya, dan mengerjakan24

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik. Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 1990.
Abdurrahman, Moeslim. Islam Transformatif. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.
Al-Jamali, Fadhil. Memahami Krisis Pendidikan Dunia Islam. Jakarta: Golden Trayon Press,
1992.
Al-Qur’an. Bahwa Keimanan Dan Ketakwaan Ternyata Berkaitan Degan Akhlak Mulia. Al-
Baqarah: Ayat, 177AD.
Al-Siba’i, Mustafa. Penetapan Hukum Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.
Ali, A. Mukti. Universalitas Dan Pembangunan. Bandung: IKIP Bandung, 1971.
Ali, H.A. Mukti. Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam. Bandung: Mizan, 1996.
Hayana, Liswi. Kebutuhan Manusia Terhadap Agama. Aceh Selatan: Pencerahan, 2018.
Ibid, Hlm.202, n.d.
24
Liswi Hayana, Kebutuhan Manusia Terhadap Agama (Aceh Selatan: Pencerahan, 2018).
Ibid, Hlm.3., n.d.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i. Islam Dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES, 1985.
Mu’in, K.H.M. Taib Thahir Abd. Ilmu Kalam. Jakarta: Widjaya, 1986.
Nafis, Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni. Agama Masa Depan Perspektif Filsafat
Perennial. Jakarta: Paramadina, 1995.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid 1. Jakarta: UI Press, 1979.
———. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press, 1997.
———. Op. Cit, Hlm.11, n.d.
———. Op.Cit., Hlm.10, n.d.
———. Umat Islam Di Zaman Klasik (650-1250 M.), n.d.
Nata, Abuddin. Al-Qur’an Dan Hadist (Dirasab Islamiyah). Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1993.
Nottingham, Elizabeth K. Agama Dan Masyrakat Suatu Pengantar Sosiologi Agama. Jakarta:
CV. Rajawali, 1985.
Rahman, Fazlur. Asli Islam. Jakarta: Bina Aksara, 1987.
Rahmat, Jalaluddin. Islam Alternaif. Bandung: Mizan, 1991.
Sastrapratedja, M. Agama Dan Kepedulian Sosial. Jakarta: P3M, 1991.
Schuon, Prithjof. Islam and the Perennial Philosophy. Peter Hobson: Word Islam Festival
Company Ltd, 1976.

You might also like