Kaidah-Kaidah Bahasa Arab Non-Fungsional: Upaya Menghadirkan Materi Kaidah Bahasa Arab Yang Lebih Mudah

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 23

Lisania: Journal of Arabic Education and Literature

Vol.3, No.1, 2019, pp.45-67

Kaidah-Kaidah Bahasa Arab Non-Fungsional: Upaya


Menghadirkan Materi Kaidah Bahasa Arab yang Lebih Mudah

Nurhaqiqi
MAN 2 Rembang
[email protected]

DOI: http://dx.doi.org/10.18326/lisania.v3i1.45-67

Abstract
This study aims to further analyze some Arabic language rules that do not
have semantic functions in a sentence; both rules derive from the nahwu and
sharaf. The primary source of the study is the Arabic language rules analyzed
using the text content (madhmûn) approach. The steps are firstly making an
inventory of the rules stated anomaly, then finding its ‘illah (reason/cause),
and then the conclusions are taken. The results of the study prove that there
are Arabic rules that do not have semantic functions. This happens because
the motive for its creation is not intended to present new intentions and
meanings in a sentence. Among these motives are reasons for sentence
efficiency, philosophical nuances and reasons for being mild in
pronunciation. The patterns used are al-hadzf, al-ibdl, al-rutbah/taqdîm
ta’khîr and al-ziyâdah. The results of this study are not in line with the
'traditional scholars such as al-Mâzinî, (d. 248 H), al-Mubarrid (d. 285 H.), al-
Farrâ' (d. 189 H) who said that Arabic linguistics has been perfect and final
and there is no need to review on it. On the contrary, this research
strengthens the opinion of modern linguists such as Ibn Madlâ (d. 592 H),
Syauqî Dhayf (born 1910 AD), Tammam Hasan (born 1918 AD) who said that
Arabic science is convoluted, very philosophical and not apparently
consistent, which must be reviewed to make it look lighter and easier to learn
especially for beginners and finally the impression that Arabic is complicated,
difficult and convoluted can be avoided.

Keywords: Arabic Language, Anomaly, Semantic Function

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa lebih jauh beberapa kaidah dalam
bahasa Arab yang tidak memiliki fungsi semantik dalam sebuah kalimat, baik
kaidah-kaidah yang berasal dari ilmu nahwu maupun sharaf. Sumber primer
penelitian adalah kaidah-kaidah bahasa Arab dianalisis dengan
menggunakan pendekatan isi (content/madhmûn) teks. Adapun langkah-
langkahnya yaitu melakukan inventarisasi terhadap kaidah yang dinyatakan
anomali, kemudian dicari ‘illah (alasan) mengapa sampai terjadi anomali, dan
kemudian diambil kesimpulan. Hasil penelitian membuktikan bahwa
terdapat kaidah-kaidah bahasa Arab yang tidak memiliki fungsi semantik. Hal
ini terjadi karena motif penciptaannya tidak dimaksudkan untuk
menghadirkan maksud dan makna baru dalam sebuah kalimat. Motif itu di

45
Nurhaqiqi

antaranya adalah alasan efisiensi kalimat, bernuansa filosofis dan alasan agar
ringan dalam pengucapannya. Adapun pola-pola yang digunakan adalah al-
hadzf, al-ibdâl, al-rutbah/taqdîm ta’khîr dan al-ziyâdah. Hasil penelitian ini
tidak sejalan dengan para ulama’ tradisional seperti al-Mâzinî (w. 248 H), al-
Mubarrid (w. 285 H), al-Farrâ’ (w. 189 H) yang mengatakan bahwa ilmu
bahasa Arab itu telah sempurna dan final dan tidak perlu lagi dilakukan
pengkajian-pengkajian ulang terhadapnya. Sebaliknya penelitian ini
memperkuat pendapat ahli bahasa modern seperti Ibn Madlâ (wafat 592 H),
Syauqî Dhayf (lahir 1910 M), Tammam Hasan, (lahir 1918 M) yang
mengatakan bahwa ilmu bahasa Arab itu berbelit-belit, sangat filosofis dan
terkesan tidak konsisten, yang harus dikaji ulang agar terlihat lebih ringan
dan mudah dipelajari khususnya bagi pembelajar pemula dan ujungya kesan
bahwa bahasa Arab itu rumit, sulit dan berbelit-belit bisa dihindari.

Kata Kunci: Kaidah Bahasa Arab, Anomali, Non-Fungsional

Pendahuluan
Kedudukan kaidah (gramatika) dalam sebuah bahasa memiliki fungsi
yang sangat penting. Kaidah dibuat untuk memfasilitasi proses berbahasa
atau berkomunikasi. Melalui kaidah, pembicara atau penulis dapat
mengeksprsikan makna, ide dan pikiran kepada pihak lain melalui
pengorganisasian struktur kalimat yang fungsional serta menanggulangi
ambiguitas sebuah kalimat. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Hamid
al-Mukmin -ketika mengomentari perjalanan ilmu nahwu bahwa kaidah
bahasa dapat menjaga lisan dalam berkomunikasi dari kesalahan berbahasa
(laĥn). (Ĥâmid al-Mu’min, 1985: 23-24).
Namun demikian bukan berarti semua kaidah bahasa memiliki fungsi
signifikan dalam membangun sebuah makna dan maksud kalimat. Hal ini bisa
dipahami dari apa yang dikatakan oleh kritikus bahasa A. Aĥmad al-Ĥamlawi
(lahir 1856 M.) ketika ia mengomentari terhadap kaidah ‘i’lâl dan ibdâl yang
mengatakan bahwa kaidah-kaidah i’lâl dan ibdâl muncul dilatarbelakangi
oleh kondisi sosial masyarakat Arab pada zaman dahulu yang tidak banyak
kesibukan, sehingga daripada nganggur, sambil menggembala kambing dan
onta, mereka menciptakan kaidah ‘i’lâl dan ibdâl untuk mereka-reka
persoalan bahasa (al-Ĥamlâwî, 1957: 22).

46
Lisania: Journal of Arabic Education and Literature
Vol.3, No.1, 2019, pp.45-67

Dalam bidang naĥw, kaidah-kaidah yang disinyalir sebagai tindakan yang


mengada-ada adalah sebagaimana yang disampaikan oleh Ibn Madlâ (w. 592)
sebagai berikut : para nuĥâh membuat teori atau analisa tentang “membuang
sebuah ‘âmil”, yang sebenarnya belum tentu terjadi demikian, karena hampir
pasti yang demikian itu tidak pernah terpikirkan oleh mutakallim sebelum
atau ketika dia bicara, contoh: ‫أزﻳﺪا ﺿﺮﺑﺘﻪ؟‬, oleh para nuĥat nashabnya kata ‫زﻳﺪا‬

disebabkan oleh adanya ‘âmil yang terbuang, persoalannya adalah benarkah


demikian adanya ?, atau ini hanya merupakan reka-reka oleh para nuĥât!.
Teori atau analisa semacam ini menurut Ibnu Madlâ merupakan konsekuensi
dari adanya kaidah yang dibuat oleh mereka sendiri tentang ‘âmil, yaitu
bahwa sesuatu yang manshûb itu pasti karena ada nâshib. Teori yang lain
adalah tentang “pembuangan (al-ĥadzf)” dan ini lebih tidak logis lagi, yaitu
membuang ‘âmil yang justru menyebabkan pada perubahan pola kalimat,
contoh: ‫ﻗﻤﺮ اﻟﺪﻳﻦ‬ (huruf ra dibaca fatĥah) oleh para nuĥat nashabnya kata ‫ﻗﻤﺮ‬

disebabkan oleh terbuangnya kata ‫ أدﻋﻮ‬yang jatuh sebelumnya, sehingga kalau

dikembalikan, kalimat itu akan menjadi ‫أدﻋﻮ ﻗﻤﺮ اﻟﺪﻳﻦ‬. Menurut Ibnu Madlâ, jika

kalimat ‫ أدﻋﻮ ﻗﻤﺮ اﻟﺪﻳﻦ‬sebagai ganti dari kata ‫ ﻗﻤﺮ اﻟﺪﻳﻦ‬, maka pola kalimat tersebut

akan berubah dari kalam insyâ’ menjadi kalam khabar (Madlâ, tt: 26-27).
Contoh lain misalnya fenomena yang terjadi pada kaidah jumlah ismiyyah.
Kaidah aslinya berbunyi bahwa jumlah ismiyyah itu terdiri dari mubtada’ dan
khabar, kemudian muncul kaidah cabang yang mengharuskan membuang
mubtada’ (Musthafa, 1993: 258), contoh: ‫ﰱ ذﻣﱵ ﻷﻓﻌﻠ ّﻦ ﻛﺬا‬, kalimat ini kalau di

i’rab sebagai berikut: kata ‫ ﰱ ذﻣﱵ‬adalah khabar, sedangkan mubtada-’nya

maĥdzûf (dibuang), yaitu kata ‫ﻋﻬﺪ‬, maka kalau ditulis secara lengkap adalah

‫ﻛﺬا ﰱ ذﻣﱵ ﻋﻬﺪ ﻷﻓﻌﻠ ّﻦ‬.

Muhbib dalam disertasinya yang berjudul Metode Penelitian dan


Pembelajaran Nahw: Studi Teori Linguistik Tammâm Ĥassân, mengatakan
bahwa terdapat persoalan-persoalan yang berkenaan dengan naĥw seperti
itsbât (afirmasi), nafy (pengingkaran), tawkîd (penguatan, pemastian), rutbah

47
Nurhaqiqi

(urutan kata dalam kalimat) seperti: taqdîm (peletakan urutan/posisi kata


didahulukan dari yang semestinya), ta’khîr (peletakan urutan/posisi kata di
bagian akhir dari yang semestinya), jumlah taqrîriyyah (kalimat berita),
jumlah istifhâmiyyah (kalimat tanya), dan jumlah syarthiyyah (kalimat
kondisional). Selain itu, kajian nahw menjadi terfokus pada aspek lahiriyah
(mabnâ, lafzhi, bentuk) semata, tidak menyentuh aspek-aspek lain yang
substansial yang berkaitan dengan kategori dan relasi antarkata dalam
sebuah struktur kalimat (Muhbib, 2008: 93).
Fenomena kaidah bahasa seperti di atas, biasanya terjadi pada kaidah
far’iyyah (kaidah cabang), yang selanjutnya fenomena itu disebut sebagai
sebuah anomali bahasa (penyimpangan bahasa) yang sering kali tidak
memiliki fungsi signifikan didalam menghadirkan makna dalam sebuah
kalimat. Maka berdasarkan ini, penulis tergerak menganalisa lebih jauh
beberapa kaidah lain dalam bahasa Arab yang diyakini tidak memiliki fungsi
semantic dalam sebuah kalimat, baik kaidah-kaidah yang berasal dari ilmu
nahw maupun sharaf .

Metode Penelitian
Berdasarkan tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui sejauh
mana persoalan kaidah bahasa itu terjadi, dan benarkah terdapat kaidah-
kaidah yang secara signifikan kurang memberi warna makna dalam sebuah
kalimat, maka penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian kualitatif.
Dalam hal ini penulis akan menggunakan metode kajian pustaka dengan
memadukannya dengan metode pendekatan isi (content/madhmûn) teks
(Sulaiman, 2002: 287). Pendekatan ini akan dipergunakan oleh penulis untuk
mengkaji fenomena kaidah-kaidah far’iyyah (cabang) terhadap kaidah-kaidah
dasar/al-Qawâ’idu al-Ashliyah, khususnya yang tidak memiliki fungsi
semantic (menghadirkan makna baru) dalam sebuah kalimat.
Data pokok yang akan disajikan dan akan dianalisis oleh penulis
dalam penelitian ini adalah kaidah-kaidah bahasa Arab far’iyyah (cabang)
yang khususnya mengalami penyimpangan dari kaidah pokok/dasar. Data itu
secara garis besar meliputi kaidah-kaidah yang termasuk dalam lingkup ilmu

48
Lisania: Journal of Arabic Education and Literature
Vol.3, No.1, 2019, pp.45-67

naĥw dan Kaidah-kaidah yang termasuk dalam lingkup ilmu sharf . Untuk
selanjutnya data-data tersebut akan penulis analisa agar diketahui penyebab
terjadinya anomali, serta implikasinya terhadap perubahan makna dan
maksud didalam sebuah kalimat. Kemudian data-data itu ditetapkan sebagai
data primer. Sedangkan sumber data tersebut diambil dari kitab Jâmi’u al-
Durûs karya Mushthafâ Ghalâyainî dan kitab-kitab naĥw lainnya.
Sedangkan sumber skunder yang penulis butuhkan adalah kitab-kitab
ushûlu al-naĥwi, yaitu kitab-kitab yang membicarakan tentang prinsip-
prinsip yang melandasi ilmu naĥw dalam berbagai persoalan dan
aplikasinya. Selain itu penulis juga menjadikan buku-buku sejarah
pengkodifikasian ilmu naĥw juga menjadi sumber skunder yang lain.
Setelah penulis menetapkan data, langkah selanjutnya adalah
mengumpulkannya serta menganalisisnya. Langkah-langkah itu adalah: 1)
Mengidentifikasi kaidah-kaidah yang menyimpang dari kaidah pokoknya.
Langkah ini dilakukan dengan cara membandingkan antara kaidah pokok dan
kaidah cabangnya. Jika kaidah cabang tidak selaras dengan kaidah pokok,
maka kaidah cabang tersebut ditetapkan sebagai data. 2) Mengelompokkan
data-data itu sesuai kategori. 3) Mengidentifikasi penjelasan tentang sebab
dan maksud diciptakannya kaidah far’iyyah tersebut dari para nûĥâh. 4)
Menganalisis makna-makna yang dimungkinkan muncul dari kalimat yang
menggunakan kaidah far’iyyah tersebut. 5) Merumuskan dan menyimpulkan
tentang peranan penggunaan kaidah far’iyyah tersebut dalam kalimat, dari
segi kekuatannya didalam mewarnai dan merubah makna dan maksud dari
kalimat itu.

Kaidah (Gramatika) dalam Bahasa Arab


Bahasa merupakan bagian dari budaya manusia. Untuk keperluan
interaksi, mereka membutuhkan sebuah media yang mampu dijangkau oleh
setiap anggota kelompok dan telah disepakati sebagai alat komunikasi.
Kesepakatan itu tidak berlangsung melalui sebuah forum formal melainkan
mengalir begitu saja berdasarkan kebiasaan. Tidak ada batasan-batasan bagi
siapa saja untuk melahirkan sebuah kata baru, maka kekayaan kata dalam

49
Nurhaqiqi

sebuah bahasa tidak akan terbendung oleh siapapun. Aktifitas manusia yang
makin hari makin komplek, menyebabkan bahasa terus berkembang dan
makin komplek, maka untuk menjaga konsistensinya lahirlah kaidah bahasa.
Kekomplekan bahasa menyebabkan kaidah-kaidah yang telah ada,
tidak mampu mengakomodir terhadap unsur bahasa yang memiliki
karakteristik-karakteristik tertentu karena adanya perkembangan bahasa.
Hal ini seperti yang disampaikan oleh Quraish Syihab ketika menanggapi
tentang gramatika bahasa Arab, dia berkata: Adanya fenomena anomali,
harus diakui sebagai keterbatasan kaidah standar (mi’yari), dan untuk
mengakomodir fenomena itu para ulama’ gramatika kemudian
memperkenalkan neologisme syâz (fenomena linguistik yang jarang terjadi)
atau ististna’ (pengecualian), dan hal tersebut dimaksudkan untuk menjawab
persolan-persoalan linguistik dalam al-Qur’an (Quraish, 2006: 32).
Tidak menutup kemungkinan bahwa kompleksitas sebuah bahasa
tersebut akibat kecenderungan yang berlebihan terhadap tata bahasa
tradisional, yang oleh banyak kalangan dianggap telah ketinggalan atau tidak
relevan lagi karena memiliki banyak kelemahan. Diantara kritik-kritik yang
dilontarkan oleh ahli ilmu bahasa modern terkait ilmu bahasa tradisional
adalah ketidakberdayaan kaidah bahasa dalam mengakomodir kompleksitas
bahasa tergambar jelas dalam perkataan Tammam Hasan sebagai berikut:
“Susunan kalimat itu seharusnya begini, boleh juga begitu kecuali dalam hal-
hal tertentu”, atau “Susunan kalimat itu seharusnya begini, tapi kadang-
kadang juga boleh begitu”, atau “Susunan kalimat itu seharusnya tidak
demikian, tapi karena kalimat itu mengandung faedah, bolehlah”, yang
selanjutnya kaidah pertama disebut dengan al-Qâ’idah al-Ashliyyah,
sedangkan yang kedua disebut dengan al-Qâ’idah al-Far’iyyah (Tammâm,
2000: 108).
Berikut akan disampaikan beberapa kaidah anomali yang tidak
memiliki peran signifikan dalam perubahan makna dan atau maksud dalam
sebuah kalimat. Kaidah tersebut terkategori menjadi tiga, yaitu anomali pada
huruf, anomali pada i’rob dan anomali pada tarkib. Kerena keterbatasan

50
Lisania: Journal of Arabic Education and Literature
Vol.3, No.1, 2019, pp.45-67

ruang, maka pada kesempatan ini hanya disajikan kaidah anomali pada
tarkib.

Keharusan membuang mubtada’ dan atau khabar


Seperti yang telah diketahui bersama, bahwa jumlah ismiyyah
dianggap sah apabila memenuhi dua unsurnya, yaitu mubtada’ dan
khabar. Namun dalam beberapa kasus terdapat suatu kaidah lain yang
mengharuskan membuang mubtada’ dan atau khabar dari
jumlah/kalimat. Berdasarkan kaidah inilah kaidah ini bisa dikatakan
sebagai sebuah kaidah yang menyimpang/anomali terhadap kaidah
dasarnya, yaitu bahwa yang disebut jumlah ismiyyah adalah jumlah
yang terdiri dari mubtada’ dan khabar.
Berkenaan dengan keharusan membuang mubtada’ yang dalam
kontek penelitian ini kaidah itu disebut dengan al-qâ’idah al-fariyyah.
Kaidah itu menyatakan bahwa dalam kasus-kasus tertentu, mubtada’
wajib dibuang dari kalimat, sehingga yang terlihat hanya khabar-nya.
Kasus-kasus yang dimaksud adalah : 1) Jika terdapat petunjuk, bahwa
mubtada’ merupakan jawâb al-qasam, contoh: ‫ﰱ ذﻣﱴ ﻷﻓﻌﻠﻦ ﻛﺬا‬, asalnya

adalah ‫ﰱ ذﻣﱴ ﻋﻬﺪ ﻷﻓﻌﻠﻦ ﻛﺬا‬. 2) Jika khabar-nya berupa masdar yang

menggantikan pekerjaan mubtada’, contohnya ‫ ﲰﻊ وﻃﺎﻋﺔ‬،‫ ﺻﱪ ﲨﻴﻞ‬yang

aslinya ‫ أﻣﺮى ﲰﻊ وﻃﺎﻋﺔ‬،‫ﺻﱪى ﺻﱪ ﲨﻴﻞ‬. 3) Jika dimaksudkan untuk memberi

sifat “pujian” atau “celaan” dengan menggunakan kata ‫ ﻧﻌﻢ‬dan ‫ﺑﺌﺲ‬,

contoh ‫ ﺑﺌﺲ اﻟﺮﺟﻞ أﺑﻮ ﳍﺐ‬،‫ﻧﻌﻢ اﻟﺮﺟﻞ أﺑﻮ ﻃﺎﻟﺐ‬, contoh itu pada mulanya (‫ﻧﻌﻢ اﻟﺮﺟﻞ )ﻫﻮ‬

‫ ﺑﺌﺲ اﻟﺮﺟﻞ )ﻫﻮ( أﺑﻮ ﳍﺐ‬،‫ أﺑﻮ ﻃﺎﻟﺐ‬. 4) Jika khabar pada hakikatnya berupa kata

sifat, yang mensifati kata sebelumnya, namun kemudian dihilangkan


kesifatannya dan diganti dengan mubtada’ untuk memberi tekanan
“lebih/sangat”. Contoh ‫( ﺧﺬ ﺑﻴﺪ زﻫﲑ اﻟﻜﺮﱘ‬takdirnya adalah ‫)ﻫﻮ اﻟﻜﺮﱘ‬, ‫دع ﳎﺎﻟﺴﺔ ﻓﻼن‬

‫( اﻟﻠﺌﻴﻢ‬takdirnya adalah ‫)ﻫﻮ اﻟﻠﺌﻴﻢ‬, ‫( اﺣﺴﻦ اﱃ ﻓﻼن اﳌﺴﻜﲔ‬takdirnya adalah ‫)ﻫﻮ اﳌﺴﻜﲔ‬

(Mushthofa, tt: 372-373).

51
Nurhaqiqi

Sedangkan yang berhubungan dengan kaidah “keharusan


membuang khabar”, kaidah itu mengatur sebagai berikut: dalam
kasus-kasus tertentu khabar harus dibuang dari kalimat,sehingga
yang nampak hanya mubtada’-nya. Kasus-kasus yang dimaksud
adalah : 1) Apabila khabar itu menunjukkan kepada suatu sifat yang
mutlak, yakni khabar itu tanpa disebutkan sudah secara otomatis
melekat pada mubtada’-nya. Khabar itu biasanya berupa kata ،‫ﻣﺴﺘﻘﺮ‬

‫ ﻣﻮﺟﻮدة ﺣﺎﺻﻞ‬/‫ ﻣﻮﺟﻮد‬atau khabar itu terletak setelah kata ‫ ﻟﻮﻣﺎ‬،‫ﻟﻮﻻ‬. Contoh ‫اﳉﻨﺔ‬

‫( ﲢﺖ أﻗﺪام اﻷﻣﻬﺎت‬takdirnya adalah ‫)اﳉﻨﺔ ﻣﻮﺟﻮدة ﲢﺖ أﻗﺪام اﻷﻣﻬﺎت‬, ‫اﻟﻌﻠﻢ ﰱ اﻟﺼﺪور‬

(takdirnya adalah ‫ اﻟﻌﻠﻢ ﻣﺴﺘﻘﺮ ﰱ اﻟﺼﺪور‬dan‫( ﻟﻮﻻ اﻟﻜﺘﺎﺑﺔ ﻟﻀﺎع أﻛﺜﺮ اﻟﻌﻠﻢ‬takdirnya

adalah ‫)ﻟﻮﻻ اﻟﻜﺘﺎﺑﺔ ﻣﻮﺟﻮدة ﻟﻀﺎع أﻛﺜﺮ اﻟﻌﻠﻢ‬. Ketentuan keharusan membuang

khabar ini sebenarnya juga tidak mutlak. Dalam kondisi tertentu,


walaupun didahului kata ‫ﻟﻮﻻ‬, khabar tidak boleh dibuang, karena tidak

terdapat petunjuk (dalil) tentang hal itu. Contoh: Nabi bersabda: ‫ﻟﻮﻻ‬

‫اﻟﺒﻴﺖ ﻗﻮﻣﻚ ﺣﺪﻳﺜﻮا ﻋﻬﺪ ﲜﺎﻫﻠﻴﺔ ﻷﻗﻤﺖ‬, kata ‫ ﻗﻮﻣﻚ‬berposisi sebagai mubtada’, dan ‫ك‬

dikhithabkan kepada Aisyah, sementara kata ‫ ﺣﺪﻳﺜﻮا ﻋﻬﺪ‬berposisi sebagai

khabar (Rahman, 2001: 486). 2) Apabila khabar tersebut merupakan


pasangan dari mubtada’ sharîĥ dalam sumpah. Contoh ‫ﻟ َﻌﻤُﺮك ﻷﻓﻌﻠﻦ‬

(takdirnya adalah ‫)ﻟ َﻌﻤُﺮك ﻗﺴﻤﻰ ﻷﻓﻌﻠﻦ‬. 3) Mubtada’ berupa mashdar atau

isim tafdlîl yang dimudlaf-kan kepada mashdar, dan setelahnya berupa


ĥâl yang menyebabkan tidak memungkinkannya menyebut khabar
kecuali ĥâl tersebut berubah strukturnya. Contoh ‫أﻓﻀﻞ ﻋﻤﻠﻚ اﳋﲑ ﻣﺴﺘﱰ‬

(takdirnya ‫)أﻓﻀﻞ ﻋﻤﻠﻚ اﳋﲑ ﺣﺎﺻﻞ ﰱ ﺣﺎل اﺳﺘﺘﺎرك‬. 4) Apabila khabar terletak

setelah al-waw muta’aiyyîn yang memiliki makna “‫“ﻣﻊ‬. Contoh ‫ﻣﻊ ﻓﻌﻞ‬/ ‫ﻛﻞ‬

‫( اﻣﺮئ وﻣﺎ ﻓﻌﻞ‬takdirnya adalah ‫( )ﻛﻞ اﻣﺮئ وﻓﻌﻠﻪ ﻣﻘﱰ ن‬Mushthofa, tt: 373-374).

Mencermati kaidah-kaidah di atas, nampaknya masih


menyisakan pertanyaan-pertanyaan, mengapa fenomena membuang
mubtada’ atau khabar tersebut harus dilakukan?, akankah tanpa

52
Lisania: Journal of Arabic Education and Literature
Vol.3, No.1, 2019, pp.45-67

membuang mubtada’ atau khabar dalam kasus-kasus tersebut akan


menyebabkan rusaknya susunan kalimat?. Berdasarkan uaraian
kaidah tersebut di atas terdapat beberapa catatan.
Kasus kalimat yang pertama pada dasarnya memang tidak
membutuhkan akan kehadiran kata yang selanjutnya diklaim sebagai
mubtada’ yaitu kata ‫ﻋﻬﺪ‬. Kata ‫ ذﻣﱴ‬sebagaimana yang terdapat dalam

contoh, dari segi makna secara implisit di dalamnya sudah


mengandung makna “sebuah tanggung jawab yang harus dilakukan”.
Oleh karena itu kata ‫ﻣﻴﺜﺎق‬/‫ ﻋﻬﺪ‬disebutkan atau tidak disebutkan,

sebenarnya sudah bisa dimengerti apa kandungan kalimat tersebut.


Yang demikian juga yang terjadi terhadap kasus kedua, ketiga dan
keempat. Namun yang masih menyisakan persoalan adalah kenapa
membuang mubtada’ adalah sebuah keharusan, padahal seandainya
mubtada’ tersebut tidak dibuang, selain struktur kalimat akan terlihat
lengkap –ada mubtada’ sekaligus ada khabar-nya-, justeru akan
membantu seseorang di dalam mengkaji strukturnya, dan juga
penyebutan itu tidak akan merusak makna, kecuali hanya terlihat sia-
sia penyebutannya.
Dalam hal ini Ibnu Madlâ (w. 592 H) juga mengisyaratkan
bahwa fenomena ‫– اﳊﺬف‬khususnya membuang ‘âmil- adalah tindakan

yang mengada-ada untuk kasus-kasus tertentu, dia berkata bahwa


pembuangan terhadap ‘âmil yang dilakukan oleh para nuĥât
didasarkan atas tiga motif, yaitu: 1) karena mukhâthab telah
mengetahuinya, artinya walaupun ‘âmil tersebut dibuang, mukhâthab
tetap memahami kalimat yang dimaksud, sebagai contoh: ‫وﻗﻴﻞ ﻟﻠﺬﻳﻦ اﺗ َﻘﻮا ﻣﺎذا‬

‫أﻧﺰل ﺧﲑا )اي ( أَﻧﺰَل رﺑُﻜﻢ ﻗﺎﻟﻮا ﺧﲑا‬, 2) ‘Âmil itu dibuang, padahal ‘âmil yang

terbuang itu tidak pernah terpikirkan oleh mutakallim, contoh: ‫أزﻳﺪا‬

‫ﺿﺮﺑﺘﻪ؟‬. Oleh para nuĥat nashabnya kata ‫ زﻳﺪا‬disebabkan oleh adanya ‘âmil

yang terbuang dan analisa semacam ini –kata Ibnu Madlâ- akibat
adanya kaidah yang dibuat oleh mereka tentang ‘âmil, yaitu bahwa

53
Nurhaqiqi

sesuatu yang manshûb itu pasti karena ada nâshib, 3) pembuangan


yang lebih tidak logis lagi, yaitu membuang ‘âmil yang justeru
menyebabkan pada perubahan pola kalimat, contoh: ‫ ﻋﺒﺪ ﷲ‬, oleh para

nuĥat nashabnya kata ‫ ﻋﺒﺪ‬disebabkan oleh terbuangnya kata ‫ أدﻋﻮ‬yang

jatuh sebelumnya, sehingga kalau dikembalikan, kalimat itu akan


menjadi ‫أدﻋﻮ ﻋﺒﺪ ﷲ‬. Menurut Ibnu Madlâ, jika kalimat ‫ أدﻋﻮ ﻋﺒﺪ ﷲ‬sebagai

ganti dari kata ‫ ﻋﺒﺪ ﷲ‬, maka pola kalimat tersebut akan berubah dari

kalam insyâ’ menjadi kalam khabar (Madho, tt: 26-27).


Namun demikian Ibn Jinnî (321–392 H) tetap mengatakan
dalam bukunya al-Khashâish bahwa didalam prinsip ‫اﳊﺬف‬, tindakan

“membuang” berarti yang dibuang itu pastilah “tidak dibutuhkan”,


dan ia memastikan tidak terjadi pada inti kalimat (Jinny, 1952: 263).
Jadi pembuangan itu dilakukan selain dari segi makna tidak
dibutuhkan, juga kata yang terbuang itu bukan inti kalimat. Dan oleh
karena itulah, para ulama’ yang menciptakan aturan ini ada beberapa
kemungkinan. Pertama, berarti telah melakukan pembiaran atau
kalau malah bukan sengaja menciptakan sebuah kaidah baru -dalam
kontek penelitian ini disebut dengan al-qâ’idah al-far’iyyah- yang
anomali, karena tidak sesuai dengan kaidah dasarnya. Kedua, bisa jadi
unsur-unsur yang diakui sebagai yang dibuang itu, memang sejak awal
tidak ada, atau dengan kata lain fenomena membuang itu hanya
merupakan ijtihat yang subektif para pencipta ilmu naĥw sesuai
dengan cara berpikir dan logika masing-masing. Hal ini terlihat dari
sikap mereka yang berbeda ketika menyikapi kasus berikut: ‫ﺑﺌﺲ اﻟﺮﺟﻞ أﺑﻮ‬

‫ﳍﺐ‬. Sebagian mengatakan bahwa kata ‫ أﺑﻮ ﳍﺐ‬dianggap sebagai khabar

dan mubtada’-nya adalah ‫ ﻫﻮ‬yang dibuang sebagaimana dijelaskan di

atas, sebagaian lagi mengatakan bahwa kata ‫ أﺑﻮ ﳍﺐ‬adalah sebagai

mubtada’ yang diakhirkan, sedangkan khabar-nya adalah kata ‫ﺑﺌﺲ اﻟﺮﺟﻞ‬

yang didahulukan, jadi kalimat itu aslinya berbunyi ‫أﺑﻮ ﳍﺐ ﺑﺌﺲ اﻟﺮﺟﻞ‬.

54
Lisania: Journal of Arabic Education and Literature
Vol.3, No.1, 2019, pp.45-67

Dugaan bahwa kaidah-kaidah ini merupakan suatu hasil cipta karya


para ulama’ nuĥât, barangkali sejalan dengan apa yang dikatakan oleh
Tammâm Ĥassân (lahir 1918 M) bahwa kaidah itu adalah shinâ’ah
(Tammam, 2006: 438).
Mubtada’ yang bukan ism ma’rifat ( definite )
Hukum-hukum mubtada’ secara umum ada lima, di antara
hukum itu adalah bahwa mubtada’ disyaratkan harus berupa isim
ma’rifat. Alasan yang dibangun adalah karena mubtada’ merupakan
inti kalimat, maka mubtada’ harus memiliki kejelasan identitas agar
memiliki faedah (Kamaluddin, tt: 69). Contoh ‫ﷴ رﺳﻮل ﷲ‬, kata ‫ ﷴ‬adalah

isim ma’rifat, yaitu isim yang bagi pendengarnya tidak perlu


menduga-duga siapa itu Muhammad karena kejelasan identitasnya.
Hal ini berbeda dengan contoh berikut: ‫رﺟﻞ رﺳﻮل ﷲ‬. Kata ‫ رﺟﻞ‬adalah isim

nakirah yaitu isim yang belum jelas identitasnya, maka terhadap


contoh tersebut kata ‫ رﺟﻞ‬bagi yang mendengarnya masih belum jelas

karena akan mendatangkan banyak kemungkinan, bisa saja nabi


Muhammad, nabi Isa, nabi Musa atau nabi-nabi yang lain.
Persoalannya adalah banyak dijumpai dalam kalimat, sebuah
mubtada’ yang bukan berupa isim ma’rifat dan ini juga tetap dianggap
sebagai mubtada’ serta diatur dengan kaidah-kaidah yang telah
ditentukan. Toleransi ini diperuntukkan bagi 14 situasi sebagai
berikut : 1) Jika kata itu berupa susunan idlafah. Contoh ‫ﲬﺲ ﺻﻠﻮات ﻛﺘﺒﻬﻦ‬

‫ﷲ‬Mubtada’ dari kalimat tersebut adalah kata ‫ ﲬﺲ ﺻﻠﻮات‬berupa susunan

idlâfah. 2) Jika kata itu berupa susunan sifah maushûf. Contoh ‫ﻟﻌﺒﺪ ﻣﺆﻣﻦ‬

‫ﺧﲑ ﻣﻦ ﻣﺸﺮك‬. Mubtada’ dari kalimat tersebut adalah susunan sifah

maushûf ‫ﻋﺒﺪ ﻣﺆﻣﻦ‬, 3) Jika khabar-nya berupa dzarf atau jar majrûr dan

didahulukan atas mubtada’-nya. Contoh ‫ وﻓﻮق ﻛﻞ ذى ﻋﻠﻢ ﻋﻠﻴﻢ‬،‫ﻟﻜﻞ أﺟﻞ ﻛﺘﺎب‬.

Mubtada’ dari kalimat ini adalah kata ‫ ﻋﻠﻴﻢ‬dan ‫ﻛﺘﺎب‬, sedangkan khabar-

nya adalah ‫ ﻓﻮق ﻛﻞ ذى ﻋﻠﻢ‬berupa dzaraf dan ‫ ﻟﻜﻞ أﺟﻞ‬yang keduanya

55
Nurhaqiqi

didahulukan atas mubtada’, 4) Kata itu terletak setelah huruf nâfî,


istifhâm, lau lâ dan idzan fujâ’iyah. Contoh ،‫ ﻟﻮﻻ اﺻﻄﺒﺎر ﻷودى‬،‫ أإﻟﻪ ﻣﻊ ﷲ‬،‫ﻣﺎ أﺣﺪ ﻣﻨﺎ‬

‫ﺧﺮﺟﺖ ﻓﺈذا أﺳﺪ راﺑﺾ‬. Mubtada’ dari kalimat tersebut adalah ‫ ﻣﺎ أﺣﺪ‬didahului

nâfî ‫ﻣﺎ‬, ‫( أإﻟﻪ‬didahului istifhâm ‫)أ‬, ‫( ﻟﻮﻻ اﺻﻄﺒﺎر‬didahului ‫ )ﻟﻮﻻ‬dan ‫أﺳﺪ‬

(didahului ‫)إذا‬. 5) Jika kata itu berupa ‘âmilah ( yang mengamalkan ).

Contoh ‫إﻋﻄﺎء ﻗﺮﺳﺎ ﰱ ﺳﺒﻴﻞ اﻟﻌﻠﻢ ﻳﻨﻬﺾ ﻷﻣﺔ‬, 6) Kata itu termasuk kata yang

mubhamah, seperti ism syarth, istifhâm, mâ ta’ajjubiyah dan kam


khabariyah. Contoh ‫ ﻛﻢ ﻣﺄﺛﺮة ﻟﻚ‬, ‫ ﻣﺎ أﺣﺴ َﻦ اﻟﻌﻠ َﻢ‬، ‫ ﻛﻢ ﻋﻠﻤﺎ ﰱ ﺻﺪرك‬، ‫ ﻣﻦ ﳎﺘﻬﺪ‬، ‫ﻣﻦ ﳚﺘﻬﺪ ﻳﻔﻠﺢ‬.

7) Kata itu mengandung do’a. Contoh ‫ وﻳﻞ ﻟﻠﻤﻄﻔﻔﲔ‬، ‫ﺳﻼم ﻋﻠﻴﻜﻢ‬, 8) Kata itu

berlawanan dari maushûf-nya. Contoh ‫ﻋﺎﱂ ﺧﲑ ﻣﻦ ﺟﺎﻫﻞ‬, 9) Kata itu

berkedudukan sebagai jumlah ĥâliyah dan padanya terdapat huruf al-


waw. Contoh ‫أﺿﺎء‬ ‫ﻗﺪ‬ ‫وﳒﻢ‬ ‫ﺳﺮﻳﻨﺎ‬. 10) Pembicara menghendaki

pemisahan/pembagian terhadap kata itu. Contoh ‫ﺛﻮب ﻟﺒﺜﺖ وﺛﻮب أﺟُﺮ‬, ‫ﻳﻮم ﻧُﺴﺎء‬

‫وﻳﻮم ﻧُﺴّﺮ‬. 11) Kata itu diathaf-kan kepada ism ma’rifat dan atau

sebaliknya. Contoh ‫ رﺟﻞ وﺧﺎﻟﺪ‬،‫اﻟﻨﺤﻮ ﻳﺘﻌﻠﻤﺎن ﺧﺎﻟﺪ ورﺟﻞ ﻳﺘﻌﻠﻤﺎن اﻟﻨﺤﻮ‬. 12) Kata itu

diathaf-kan kepada ism nakirah maushûfah dan atau sebaliknya.


Contoh ‫ﻗﻮل ﻣﻌﺮوف وﻣﻐﻔﺮة ﺧﲑ ﻣﻦ ﺻﺪﻗﺔ ﻳﺘﺒﻌﻬﺎ أذى‬, ‫ﻃﺎﻋﺔ وﻗﻮل ﻣﻌﺮوﻓﺔ أﻣﺜﻞ ﻣﻦ ﻏﲑﻫﺎ‬. 13)

Berdasarkan kontek kalimatnya, hanya kata itulah yang


memungkinkan adanya. Contoh ‫رﺟﻞ أﻗﻮى ﻣﻦ اﻣﺮأة‬, dan 14) Kata itu

merupakan “jawaban” dari sebuah pertanyaan. Contoh ‫ رﺟﻞ‬kata ini

merupakan jawaban dari pertanyaan ‫( ﻣﻦ ﻋﻨﺪك؟‬Mushthofa, tt: 369-371).

Dalam ilmu bahasa Arab terdapat beberapa bentuk susunan


sebuah kalimat atau yang sering disebut al- murakkab, selain
murakkab idlâfî , bayânî, ‘athfî. mazjî, dan ‘adadî juga terdapat
murakkab isnâdî . Murakkab isnâdî adalah bersandarnya sebuah kata
terhadap kata yang lain. Kata yang bersandar disebut dengan al-
musnad dan kata yang disandari disebut dengan al-musnad ilaih. Oleh

56
Lisania: Journal of Arabic Education and Literature
Vol.3, No.1, 2019, pp.45-67

karena itu murakkab isnâdî itu terdiri dari al-musnad dan al-musnad
ilaih. Contoh ‫ اﻟﻄﺎﻟﺐ ﺟﺢ‬،‫ﻳﻔﻠﺢ ا ﺘﻬﺪ‬. Kata ‫ اﻟﻄﺎﻟﺐ‬disebut dengan al-musnad

ilaih karena kata tersebut yang menjadi sandaran, sedangkan kata ‫ﺟﺢ‬

disebut dengan al-musnad karena kata tersebut menyandarkan


dirinya kepada kata ‫اﻟﻄﺎﻟﺐ‬. Demikian juga terhadap contoh yang kedua,

kata ‫ ا ﺘﻬﺪ‬adalah al-musnad ilaih, sedangkan kata ‫ ﻳﻔﻠﺢ‬adalah al-musnad.

Berkaitan dengan pokok permasalahan ini, maka mubtada’


pada dasarnya disebut al-musnad ilaih karena keberadaannya menjadi
sandaran dari khabar-nya, sedangkan khabar itu sendiri disebut al-
musnad karena ia bersandar pada mubtada’. Dalam perspektif ini
maka untuk mengetahui mana yang mubtada’ dan mana yang khabar
dalam jumlah ismiyyah, cukup memahami tentang apa yang dimaksud
dengan al-musnad dan apa pula yang dimaksud dengan al-musnad
ilaih, sehingga pembelajar tidak perlu dipusingkan dengan adanya
mubtada’ yang diakhirkan dan khabar yang didahulukan, serta tidak
dibingungkan dengan persyaratan keharusan bahwa mubtada’ harus
ism ma’rifat (definite). Jika terdapat sebuah kata dalam jumlah
ismiyyah yang menjadi sandaran dari kata yang lain, apakah kata itu
telah sesuai dengan ciri-ciri ism ma’rifat (definite) atau bukan –jika
bukan berupa ism ma’rifat (definite), oleh para nuĥât kata itu disebut
nakirah mufîdah-, maka dipastikan kata itu adalah mubtada’,
sedangkan kata yang bersandar itu dinamakan khabar.
Menurut hemat penulis, penyebutan persyaratan bahwa
mubtada’ harus ism ma’rifah bisa dikatakan sebagai sesuatu yang sia-
sia, karena pada dasarnya ketika seseorang bermaksud membangun
kalimat jumlah ismiyyah (nominal sentence), akan dengan sendirinya
bahwa kalimat itu terdiri dari al-musnad dan al-musnad ilaih dan al-
musnad ilaih-nya secara otomatis akan berupa kata yang jelas
identitasnya –yang dalam ilmu naĥw disebut dengan ism ma’rifah
(definite)-, walaupun bisa jadi ia tidak mengerti apa yang dimaksud
dengan ism ma’rifat itu. Bukankah banyak sekali orang sedang

57
Nurhaqiqi

berbahasa, namun ia sendiri tidak mengerti ilmu bahasa?. Selain itu,


jika al-musnad ilaih yang ia sampaikan tidak jelas siapa/apa yang
dimaksud, orang yang mendengar dipastikan akan bertanya siapa/apa
yang ia maksudkan, karena jumlah ismiyah adalah sebuah kalimat
yang dimaksudkan untuk memberikan informasi dan menjelaskan
fakta, karena itulah harus jelas siapa/apa yang diinformasikan. Hal ini
sebagaimana yang disampaikan oleh Tarigan ketika menyampaikan
peran dan fungsi bahasa, dia berkata bahwa diantara peran dan fungsi
bahasa adalah fungsi pemberian (the representational function) yaitu
penggunaan bahasa untuk membuat pernyataan-pernyataan,
menyampaikan fakta-fakta dan pengetahuan, menjelaskan atau
melaporkan, dengan kata lain menggambarkan realitas yang
sebenarnya, seperti: Matahari panas, garam asin dan lain-lain
(Tarigan, 1987: 6).
Terlepas dari perdebatan di atas, sudah menjadi kenyataan
bahwa terdapat pengakuan oleh para nuĥât, bahwa walaupun bukan
ism ma’rifat (definite), contoh-contoh sebagaimana di atas telah diakui
sebagai mubtada’, yang selanjutnya isim-isim tersebut dinamakan
nakirah mufîdah. Oleh karena itulah kaidah ini digolongkan sebagai
sebuah anomali al-qâ’idah al-fariyyah. Dikatakan demikian selain
karena kaidah ini merupakan pecahan dari kaidah dasar tentang
hukum-hukum mubtada’, juga telah menyimpang dari kaidah
dasarnya, yaitu keharusan mubtada’ dari ism ma’rifat (definite).
` Maf’ûl li-Ajlih
Dalam bahasa Arab, untuk menjelaskan maksud dan tujuan
dilaksanakannya sebuah pekerjaan, terdapat sebuah instrumen yang
disebut dengan ‫ﻻم اﻟﺘﻌﻠﻴﻞ‬. Misalnya: ‫( ﻗﻤﺖ ﻹﻛﺮام اﻷﺳﺘﺎذ‬saya berdiri untuk

menghormati professor). Huruf lam pada kata ‫ اﻛﺮام‬itulah yang disebut

dengan lâm al-ta’lîl, yang keberadaannya dimaksudkan untuk


menjelaskan maksud pekerjaan “berdiri” yang dilakukan oleh fâ’il
(subyek) (Hisyam, tt: 316).

58
Lisania: Journal of Arabic Education and Literature
Vol.3, No.1, 2019, pp.45-67

Namun, untuk menjelaskan maksud yang sama sebagaimana di


atas, yakni menerangkan maksud dan tujuan dilaksanakannya sebuah
pekerjaan, terdapat cara yang lain, yaitu dengan menggunakan
prosedur maf’ûl li-Ajlih, yaitu penyebutan masdar (yang maknanya
berhubungan dengan pekerjaan hati), yang bertujuan untuk
menjelaskan maksud sebuah pekerjaan, dalam waktu yang bersamaan
(Mushthofa, tt: 43). Berdasarkan definisi tersebut maka dalam
penyusunan struktur kalimat maf’ul li-ajlih terdapat minimal tiga
syarat, yaitu maf’ul li-ajlih itu harus berupa mashdar, maf’ul li-ajlih
harus memiliki hubungan sebab akibat dengan kata kerja sebelumnya,
dan maf’ul li-ajlih tersebut merupakan satu-satunya target pekerjaan
yang akan dilakukan oleh subyek serta waktunya bersamaan dengan
pekerjaan subyek saat itu. Contoh: ‫ اﻏﱰﺑﺖ رﻏﺒﺔ ﰱ اﻟﻌﻠﻢ‬artinya: “saya

melakukan ini (pekerjaan yang aneh), semata-mata untuk


mendapatkan ilmu”.
Kedua cara di atas (menggunakan pola lâm al-ta’lîl dan pola
masdar/maf’ûl li ajlih) memiliki maksud dan tujuan yang sama, namun
dengan menggunakan cara yang berbeda. Dalam kontek pembelajaran,
cara pertama (lam al-ta’lîl) tentu lebih mudah karena menggunakan
instrumen yang nyata, yaitu menggunakan lam dan disambung dengan
mashdar yang cara kerjanya mengikuti prosedur jar majrûr .
Sedangkan cara yang kedua (maf’ul li-ajlih) lebih abstrak, karena
dalam kerjanya melibatkan syarat-syarat abstrak yang tidak mudah
untuk dicerna oleh pembelajar.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dapat diketahui
bahwa kedua kaidah itu tidak saling bertentangan, justeru dan disatu
sisi ini menunjukkan kelebihan bahasa Arab, karena memiliki banyak
cara untuk mengungkapkan maksud yang sama, namun disisi lain bisa
membebani pembelajar, karena menjadikan padatnya materi
pembelajaran. Selain itu juga bisa difahami bahwa kehadiran kaidah
maf’ûl liajlih tidak dimaksudkan untuk mendatangkan makna baru

59
Nurhaqiqi

atau maksud tertentu, melainkan merupakan ragam struktur kalimat


lain di samping penggunaan lam al-ta’lîl untuk menjelaskan maksud
dilakukannya sebuah pekerjaan. Oleh karena itulah kehadirannya
bukan sesuatu yang dibutuhkan, walaupun tetap memiliki manfaat.
Keharusan membuang âmil yang menashabkan maf’ûl fîh/dlarf
Maf’ûl fîh/dlarf adalah isim-isim tertentu yang dibaca nashab
(accusative) yang di dalamnya mengandung makna ‫ﰱ‬ dan

penyebutannya dimaksudkan untuk menunjukkan “masa” atau


“tempat” dari sebuah pekerjaan (Hisyam, tt: 320). Contoh: ‫ﺟﻠﺴﺖ ﺣﻴﺔ‬

ً‫اﻟﻔﺼﻞ ﺳﺎﻋﺔ‬. Kata ‫ ﺣﻴﺔ‬dibaca nashab (accusative) karena dia adalah dlaraf

makân (menunjukkan tempat), sedangkan kata ً‫ ﺳﺎﻋﺔ‬juga dibaca nashab

(accusative) karena sebagai dlaraf zamân (menunjukkan


masa/waktu). Kedua dlarf tersebut pada dasarnya menyimpan makna
‫ﰱ‬, jadi kalau ditulis secara lengkap kalimat itu akan berbunyi ‫ﺟﻠﺴﺖ ﰱ‬

‫ ﺣﻴﺔ اﻟﻔﺼﻞ ﰱ ﺳﺎﻋﺔ‬.

Dalam struktur kalimat ini, âmil yang menashabkan dlaraf


tersebut bisa bermacam-macam, yaitu 1) mashdar, misalnya ‫اﳌﺸﻲ ﺻﺒﺎﺣﺎ‬

‫ﳝﲔ اﻟﻄﺮﻳﻖ أﺳﻠﻢ‬, 2) fi’il, misalnya ‫ ﺟﻠﺴﺖ ﻋﻨﺪك‬dan 3) isim sifat, misalnya ‫أ ﺣﺎﺿﺮ‬

‫ﻋﻨﺪك ﻏﺪا‬. Selanjutnya âmil-âmil tersebut dari segi keberadaannya dalam

kalimat terbagi menjadi dua, yaitu âmil yang boleh dibuang dan âmil
yang harus dibuang. Suatu âmil boleh dibuang dengan syarat apabila
terdapat petunjuk yang bisa menjelaskan akan keberadaannya.
Misalnya; ada seseorang bertanya sebagai berikut: ‫ﻣﱴ ﺟﺌﺖ؟‬, kemudian

dijawab dengan dlaraf ‫ﻳﻮَم اﳉﻤﻌﺔ‬. Sedangkan suatu âmil harus dibuang

apabila 1) maknanya telah melebur kepada isim yang sebelumnya.


‘âmil itu adalah kata ‫ﻣﺴﺘﻘﺮ‬/‫ اﺳﺘﻘﺮ‬dan kata yang serupa lainnya, serta

didalam kalimat ia berkedudukan sebagai, a) kata sifat, contoh; ‫ﻣﺮرت ﺑﺮﺟﻞ‬

‫ﻋﻨﺪك‬. Kalimat ini jika ditulis secara lengkap akan berbunyi ‫ﻣﺮرت ﺑﺮﺟﻞ ﻣﺴﺘﻘّﺮ‬

60
Lisania: Journal of Arabic Education and Literature
Vol.3, No.1, 2019, pp.45-67

‫ﻋﻨﺪك‬, b) shilah, misalnya ‫ﺟﺎء اﻟﺬى ﻋﻨﺪك‬. Di dalam kalimat tersebut

sebenarnya menyimpan kata ‫اﺳﺘﻘّﺮ‬, sehingga kalau ditulis lengkap akan

berbunyi ‫ﺟﺎء اﻟﺬى اﺳﺘﻘّﺮ ﻋﻨﺪك‬, c) ĥâl, misalnya ‫ﻣﺮرت ﺑﺰﻳﺪ ﻋﻨﺪك‬. Kalimat ini

sebenarnya menyimpan kata ‫اﺳﺘﻘّﺮ‬, sehingga kalau ditulis lengkap akan

berbunyi ‫ﻣﺮرت ﺑﺰﻳﺪ اﺳﺘﻘّﺮ ﻋﻨﺪك‬, dan d) khabar, misalnya: ‫زﻳﺪ ﻋﻨﺪك‬. Kalimat

inipun sebenarnya juga menyimpan kata ‫ﻣﺴﺘﻘّﺮ‬, yang kalau ditulis secara

lengkap akan berbunyi ‫زﻳﺪ ﻣﺴﺘﻘّﺮ ﻋﻨﺪك‬. 2) dlarf itu berada pada sebuah

kalimat yang isytighâl. Contoh ‫ﻳﻮم اﳋﻤﻴﺲ ﺻﻤﺖ ﻓﻴﻪ‬.

Berdasarkan contoh-contoh di atas dapat diketahui bahwa


nashabnya dlarf disebabkan oleh adanya ‘âmil . Sementara dalam
situasi tertentu keberadaan ‘âmil tersebut harus dibuang. Adanya
ma’mûl tapi tanpa adanya ‘âmil inilah yang menyebabkan kaidah ini
dikategorikan sebagai kaidah yang anomali. Pada dasarnya ‘âmil-‘âmil
tersebut bukanlah dibuang dalam pengertian tidak dibutuhkan,
namun sebenarnya ‘âmil-‘âmil tersebut tetap ada, hanya tidak
dinampakkan. Peristiwa ini dalam ilmu bahasa Arab disebut dengan
taqdîr. Walaupun demikian dalam perspektif proses belajar
mengajar, kasus yang demikian ini tentu bukan sesuatu yang mudah
bagi siswa, apalagi bagi pemula. Kasus semacam ini justeru akan
menambah keabstrakan kaidah bahasa Arab, karena itulah banyak
para linguis yang tidak menyangkal akan kerumitan kaidah itu dan
mereka berkata bahwa kaidah bahasa Arab itu sangat dekat dengan
cara berfikir filosofis. Mereka menganjurkan agar kaidah-kaidah yang
mengedepankan ‘i’rab taqdîr, ‘i’rab maĥal dan ‘i’rab-‘i’rab yang tidak
terlalu dibutuhkan sebaiknya ditinggalkan. Di antara mereka adalah
Ibn Madlâ (w. 592 H), Syauqi Dhayf (1910–2003 M) dan Tammâm
Ĥassân (1918–sekarang) dan lain-lain.
Dengan demikian jelaslah bahwa tindakan membuang ‘âmil
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ma’mûl-nya ini

61
Nurhaqiqi

adalah tindakan yang bisa dipersepsikan sebagai usaha mengurangi


unsur kelengkapan kalimat, dan ini berarti tidak sesuai dengan kaidah
dasar, bahwa setiap ada ma’mûl pasti ada pula ‘âmil-nya. Walaupun
cara ini merupakan bagian dari cara orang Arab didalam
mengekspresikan bahasanya dan telah menjadi bagian kaidah itu
sendiri, tapi karena dilakukan dengan melanggar kaidah yang lain,
maka kaidah ini tetap dikatakan sebagai kaidah yang anomali (kaidah
anomali bukan berarti tidak baik, apalagi salah, pengkategorian
anomali hanya karena kaidah itu berbeda atau menyimpang dari
kaidah dasar, dan ini sesuatu yang biasa dalam bahasa Arab).
Permasalahannya sekarang adalah apakah kehadiran kaidah
“keharusan membuang âmil “ tersebut memiliki implikasi pada
perubahan makna dan maksud dalam kalimat tersebut, atau dengan
kata lain setelah terbuangnya âmil tersebut akan terjadi perubahan
makna dari kalimat tersebut?.
Mendahulukan khabar atas mubtada’
Secara umum susunan jumlah ismiyah itu dimulai dari
mubtada’ dan kemudian baru diikuti oleh khabar. Namun dalam
beberapa kasus, banyak dijumpai susunan yang terbalik, yaitu khabar
didahulukan atas mubtada’, dan ini berarti telah menyimpang dari
kaidah dasarnya, yaitu mubtada’ berposisi di awal kalimat baru
kemudian diikuti khabar. Oleh karena itulah fenomena semacam ini
digolongkan sebagai sebuah al-qâ’idah al-far’iyyah yang anomali.
Dinamakan demikian karena fenomena ini selain telah diatur dengan
kaidah khusus juga telah tidak sesuai dengan kaidah dasarnya.
Terhadap masalah ini para nûĥâh telah berbeda pendapat, ada
yang membolehkan mendahulukan khabar atas mubtada’ , dan ada
yang sebaliknya. Para ulama’ yang tidak membolehkan adalah para
ulama’ yang berasal dari Kûfah. Menurut mereka mendahulukan
khabar atas mubtada’ adalah tidak boleh, karena akan merusak
tatanan yang berhubungan dengan dlamîr (kata ganti). Paling tidak
mereka menyampaikan dua alasan, yaitu: pertama; jika posisi khabar

62
Lisania: Journal of Arabic Education and Literature
Vol.3, No.1, 2019, pp.45-67

didahulukan atas mubtada’, seperti contoh kalimat ‫ﻗﺎﺋﻢ زﻳﺪ‬, maka kata ‫زﻳﺪ‬

yang semula berkedudukan sebagai “mubtada’ yang diakhirkan” akan


berubah menjadi ‫ ﻓﺎﻋﻞ‬sebab adanya unsur pekerjaan (fi’il) yang

terdapat dalam kata ‫ ﻗﺎﺋﻢ‬yang berposisi sebagai khabar akibat kata

tersebut didahulukan atas kata ‫زﻳﺪ‬. Kedua; jika posisi khabar

didahulukan atas mubtada’, maka itu berarti mendahulukan dlamîr


(kata ganti) yang terdapat pada kata ‫ ﻗﺎﺋﻢ‬atas isim zhahir-nya, yaitu ‫زﻳﺪ‬,

padahal yang demikian itu tidak mungkin.


Sedangkan ulama’ yang membolehkan mendahulukan khabar
atas mubtada’-nya adalah para ulama’ yang berasal dari Bashrah.
Mereka berargumentasi bahwa isim fâ’il itu –sebagaimana pada
contoh sebelumnya- adalah merupakan ‫( ﻓﺮع‬cabang), sehingga

kedudukannya terlalu berat untuk beramal yang kemudian bisa


merubah posisi ‫ زﻳﺪ‬sebagai fâ’il . Sedangkan yang berkenaan dengan

dlamîr (kata ganti) mereka berargumentasi bahwa pada dasarnya


ketika khabar yang mengandung dlamîr itu didahulukan secara lafzhy,
secara takdir hakikatnya adalah diakhirkan. Jadi tidak ada alasan
untuk tidak boleh mendahulukan khabar atas mubtada’-
nya.(Kamaluddin, tt: 70-71).
Sementara itu Musthafâ al-Ghalâyainî menegaskan akan
diharuskannya mendahulukan khabar atas mubtada’-nya dan
kemudian mencatat beberapa situasi dimana diharuskannya
mendahulukan khabar atas mubtada’-nya. Situasi-situasi tersebut
adalah 1) Apabila mubtada’ tersebut berupa nakirah ghairu mufîdah,
dan khabarnya berupa dlaraf atau jar majrûr. Hal ini karena jika
khabar tidak didahulukan atas mubtada’-nya, khabar itu
dikhawatirkan dianggap sebagai kata sifat. 2) Apabila khabar berupa
isim istifhâm atau yang dimudlafkan kepada isim istifhâm. Hal ini
dilakukan karena pada dasarnya isim istifhâm itu adalah awal dan
sekaligus inti kalimat. 3) Apabila pada mubtada’ mengandung dlamîr

63
Nurhaqiqi

yang kembali kepada khabar, contoh ‫ﰱ اﻟﺪار ﺻﺎﺣﺒﻬﺎ‬, 4). Apabila khabar itu

berupa kata yang pasti dimiliki dan diperuntukkan bagi mubtada’-nya,


contoh ‫ﻣﺎ ﺧﺎﻟﻖ إﻻ ﷲ‬, ‫إﳕﺎ ﳏﻤﻮد ﻣﻦ ﳚﺘﻬﺪ‬. Kata ‫ ﺧﺎﻟﻖ‬adalah sebuah kata yang pasti

dimiliki dan diperuntukkan bagi Allah, demikian juga kata ‫ ﳏﻤﻮد‬adalah

kata yang diperuntukkan bagi orang-orang yang giat (Mushthofa,


2005: 379-380).
Walaupun tidak semua ulama’ naĥw sepakat akan keberadaan
kaidah dibolehkannya atau bahkan diwajibkannya mendahulukan
khabar atas mubtada’¸ namun sebagian besar ulama mengakui akan
adanya kenyataan fenomena tersebut. Dan sebagaimana yang telah
disampaikan di atas bahwa kaidah itu bersebrangan dengan kaidah
dasarnya, yaitu mubtada’ harus didahulukan atas khabar. Oleh karena
itulah kaidah ini dikategorikan sebagai kaidah yang anomali.

Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
beberapa kaidah bahasa Arab, asal-usul penciptaannya bukan didasarkan
atas kepentingan menghadirkan makna baru dalam kalimat. Di antara pola
yang digunakan adalah pola al-ĥadzf (membuang salah satu elemen dalam
kata atau kalimat), al-rutbah (merubah posisi kata dari posisi didepan
menjadi dibelakang, dan atau sebaliknya). Selain kedua pola itu juga kadang-
kadang dengan cara melakukan penambahan-penambahan huruf atau kata
dalam kalimat, serta pada beberapa kesempatan mengganti atau merubah
sesuatu yang memang semestinya dengan sesuatu yang lain. Pola-pola
semacam ini selain tidak banyak berpengaruh terhadap makna dalam sebuah
kalimat, juga justeru menambah kerumitan tata bahasa bahasa Arab.

64
Lisania: Journal of Arabic Education and Literature
Vol.3, No.1, 2019, pp.45-67

Daftar Rujukan

Anbary, Abi al- Barakât Abdu al- Raĥmân bin Muĥammad bin Abi Sa’id. Kitâb
Asrar al-‘Arabiyah. Damaskus: al-Majma’ al-‘Ilmy al-‘Araby, tt.

Andalusy, Jamaluddin Muhammad bin Abdullah bin Abdullah al-Thâ’î al-


Jiyânî. Syarkh al-Tashîl li Ibn Mâlik. Pentaĥqiq: Abdurraĥmân
Sayyid dan Muĥammad al-Badawî al-Makhtûn, Juz I, tt

Anîs, Ibrahîm. min Asrâr al-Lughah. Kairo : Maktabah Angglo, tt


Arsyad, Azhar. Bahasa Arab dan Metode Pengajarannya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003.

Bertens, K. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1989.


Bolinger, Dwight L Aspects of Language. New York: Harcourt, Brace & Word
Inc, 1975.

Bravmann, M.M., Studies in Arabic and General Syntax, Cairo, 1953

Chaer, Abdul. Linguistik Umum,. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007.


__________ . Gramatika Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1993

__________. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta, 2003


__________ . Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta, Penerbit: Rineka
Cipta, 2002.

Chomsky, Noam. Aspect of the Theory of Syntax. Cambridge, Mass,: The MIT
Press, 1965.

Daĥdah, Antoine. A Dictionary of Arabic Grammar in Charts and Tables. Cet. I,


Beirut: Maktabah Libnân, 1981.
Daidâwî, Muĥammad. ‘Ilmu al-Tarjamah baina al-Nadlariyyât wa al-Tathbîq.
Tunis: Dâr al-Ma’ârif lo al-Thibâ’ah wa al-Nasyr, 1992.

Dhayf, Syauqi. Tajdîdu al-Naĥw. Kairo: Dâr al Ma’ârif, 1982.

__________. al-Madâris al-Naĥwiyyah. Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1968.


__________. Kitabu al-Radd ‘ala al-Nuhat li Ibni Madha al-Qurthubi. Cet. 3, Mesir:
Dâr al- Ma’ârif, tt., 1988.

_________ . Taisîr al-Naĥw al-Ta’lîmî, Qadîman wa Hadîtsan ma’a Nahji


Tajdîdihi, Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1983.

_________. Tajdîd al-naĥw. Kairo: Dar al Ma’arif, 1982 M.

65
Nurhaqiqi

Farrâ, Abû Zakariyâ ibn Ziyâd. Ma’âni al-Qur’ân. Pentahqîq Aĥmad Yûsuf
Najatî dan Muĥammad ‘Alî al-Najjâr, Kairo: al-Haiah al-Mishriyyah
al-‘Âmmah li al-Kitâb, 1980.

Fayyâdl, Sulaiman. al-Naĥw al-‘Ashry. Markaz al-Ahrâm, 1995


Ghalàyanî, Syeikh Musthafà. Jâmi’u al-Durûs. juz I, cet. VII, Beirut: Daru al
Kutub al Ilmiyah, 2006 .

Ĥamlawi, A. Ahmad. Syadz al-‘Arfi fi Fanni al-Sharf. Mesir: Al-Bab al-Habibi,


1957.

Ĥassàn, Tammàm. Maqâlât fi al-Lughah wa al-Adab. Jilid II, Cet. 1, Kairo:


‘Alamu al-Kutub, 2006.
_________. Maqâlât fi al-Lughah wa al-Adab. Jilid I, Edisi Revisi, Kairo: ‘Âlam al-
Kutub, 2006.
_________. Manâhij al-Baĥts fi al-Lughah. Cet. II, Casablanca: Dâr al-Tsaqâfah,
1979.

_________. al-Lughah al-Arabiyah Ma’nâha wa Mabnâha. Mesir: ‘Âlam al-Kutub,


1997.

_________. al-Ushul Dirâsah Epistimologiyyah li al-Fikri al-Lughawy “inda al-


‘Arab, al-Naĥw, Fiqhu al-Lughah, al-Balâghah,. Mesir: ‘alamu al
Kutub, 2000.

Hisyâm, Ibn. Syarĥ Qathr al-Nadâ wa Ballu al-Shadâ. Penyusun: Muĥy al-Dîn
abdu al-Hamîd, Riyadl: Maktabah Riyadl al-Hadîtsah, tt.
Hitti, Philip K. History of the Arabs. Penerjemah: R. Cecep Lukman Yasin dan
Dedi Slamet Riyadi, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006.

Jinnî, Ibnu. al-Khashâ’is. Pentaĥqiq: Abd al-Hamid Handâwî, Jilid I, Kairo: Dâr
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001.

Ni’mah, Fu’ad. Mulakhkhas, Qawâ’id al-Lughah al-‘Arabiyah. Juz II, Cet. IX,
Damaskus: Dâr.
Sîbawaih. al-Kitâb. pentaĥqîq: Abdu al-salâm Hârûn, Beirut: al-maktabah al-
‘ashriyah, tt.
Sulaimân, Abdu al-Raĥmân ‘Ali. Taudlîĥ al-Maqâshid wa al-Masâlik bi Syarkhi
Alfiyati Ibn Mâlik li al-Murâdi. Juz I, Mesir: Dâr al-Fikr al-Araby,
2001.
Syihab, M. Quraish. Orientalisme. dalam Jurnal Studi al Qur’an, Vol, No. 2,
2006.

66
Lisania: Journal of Arabic Education and Literature
Vol.3, No.1, 2019, pp.45-67

Thu’aimah, Rusydi Aĥmad dan Muammad al-Sayyid Mannâ. Tadrîs al-


Arabiyyah fî Ta’lîm al-‘Ām: Nadlariyyât wa al-Tajârib. Kairo: Dâr
al-Fikr al-‘Ārabi, Cet. ke-1, 2000.

67

You might also like