Kaidah-Kaidah Bahasa Arab Non-Fungsional: Upaya Menghadirkan Materi Kaidah Bahasa Arab Yang Lebih Mudah
Kaidah-Kaidah Bahasa Arab Non-Fungsional: Upaya Menghadirkan Materi Kaidah Bahasa Arab Yang Lebih Mudah
Kaidah-Kaidah Bahasa Arab Non-Fungsional: Upaya Menghadirkan Materi Kaidah Bahasa Arab Yang Lebih Mudah
Nurhaqiqi
MAN 2 Rembang
[email protected]
DOI: http://dx.doi.org/10.18326/lisania.v3i1.45-67
Abstract
This study aims to further analyze some Arabic language rules that do not
have semantic functions in a sentence; both rules derive from the nahwu and
sharaf. The primary source of the study is the Arabic language rules analyzed
using the text content (madhmûn) approach. The steps are firstly making an
inventory of the rules stated anomaly, then finding its ‘illah (reason/cause),
and then the conclusions are taken. The results of the study prove that there
are Arabic rules that do not have semantic functions. This happens because
the motive for its creation is not intended to present new intentions and
meanings in a sentence. Among these motives are reasons for sentence
efficiency, philosophical nuances and reasons for being mild in
pronunciation. The patterns used are al-hadzf, al-ibdl, al-rutbah/taqdîm
ta’khîr and al-ziyâdah. The results of this study are not in line with the
'traditional scholars such as al-Mâzinî, (d. 248 H), al-Mubarrid (d. 285 H.), al-
Farrâ' (d. 189 H) who said that Arabic linguistics has been perfect and final
and there is no need to review on it. On the contrary, this research
strengthens the opinion of modern linguists such as Ibn Madlâ (d. 592 H),
Syauqî Dhayf (born 1910 AD), Tammam Hasan (born 1918 AD) who said that
Arabic science is convoluted, very philosophical and not apparently
consistent, which must be reviewed to make it look lighter and easier to learn
especially for beginners and finally the impression that Arabic is complicated,
difficult and convoluted can be avoided.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa lebih jauh beberapa kaidah dalam
bahasa Arab yang tidak memiliki fungsi semantik dalam sebuah kalimat, baik
kaidah-kaidah yang berasal dari ilmu nahwu maupun sharaf. Sumber primer
penelitian adalah kaidah-kaidah bahasa Arab dianalisis dengan
menggunakan pendekatan isi (content/madhmûn) teks. Adapun langkah-
langkahnya yaitu melakukan inventarisasi terhadap kaidah yang dinyatakan
anomali, kemudian dicari ‘illah (alasan) mengapa sampai terjadi anomali, dan
kemudian diambil kesimpulan. Hasil penelitian membuktikan bahwa
terdapat kaidah-kaidah bahasa Arab yang tidak memiliki fungsi semantik. Hal
ini terjadi karena motif penciptaannya tidak dimaksudkan untuk
menghadirkan maksud dan makna baru dalam sebuah kalimat. Motif itu di
45
Nurhaqiqi
antaranya adalah alasan efisiensi kalimat, bernuansa filosofis dan alasan agar
ringan dalam pengucapannya. Adapun pola-pola yang digunakan adalah al-
hadzf, al-ibdâl, al-rutbah/taqdîm ta’khîr dan al-ziyâdah. Hasil penelitian ini
tidak sejalan dengan para ulama’ tradisional seperti al-Mâzinî (w. 248 H), al-
Mubarrid (w. 285 H), al-Farrâ’ (w. 189 H) yang mengatakan bahwa ilmu
bahasa Arab itu telah sempurna dan final dan tidak perlu lagi dilakukan
pengkajian-pengkajian ulang terhadapnya. Sebaliknya penelitian ini
memperkuat pendapat ahli bahasa modern seperti Ibn Madlâ (wafat 592 H),
Syauqî Dhayf (lahir 1910 M), Tammam Hasan, (lahir 1918 M) yang
mengatakan bahwa ilmu bahasa Arab itu berbelit-belit, sangat filosofis dan
terkesan tidak konsisten, yang harus dikaji ulang agar terlihat lebih ringan
dan mudah dipelajari khususnya bagi pembelajar pemula dan ujungya kesan
bahwa bahasa Arab itu rumit, sulit dan berbelit-belit bisa dihindari.
Pendahuluan
Kedudukan kaidah (gramatika) dalam sebuah bahasa memiliki fungsi
yang sangat penting. Kaidah dibuat untuk memfasilitasi proses berbahasa
atau berkomunikasi. Melalui kaidah, pembicara atau penulis dapat
mengeksprsikan makna, ide dan pikiran kepada pihak lain melalui
pengorganisasian struktur kalimat yang fungsional serta menanggulangi
ambiguitas sebuah kalimat. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Hamid
al-Mukmin -ketika mengomentari perjalanan ilmu nahwu bahwa kaidah
bahasa dapat menjaga lisan dalam berkomunikasi dari kesalahan berbahasa
(laĥn). (Ĥâmid al-Mu’min, 1985: 23-24).
Namun demikian bukan berarti semua kaidah bahasa memiliki fungsi
signifikan dalam membangun sebuah makna dan maksud kalimat. Hal ini bisa
dipahami dari apa yang dikatakan oleh kritikus bahasa A. Aĥmad al-Ĥamlawi
(lahir 1856 M.) ketika ia mengomentari terhadap kaidah ‘i’lâl dan ibdâl yang
mengatakan bahwa kaidah-kaidah i’lâl dan ibdâl muncul dilatarbelakangi
oleh kondisi sosial masyarakat Arab pada zaman dahulu yang tidak banyak
kesibukan, sehingga daripada nganggur, sambil menggembala kambing dan
onta, mereka menciptakan kaidah ‘i’lâl dan ibdâl untuk mereka-reka
persoalan bahasa (al-Ĥamlâwî, 1957: 22).
46
Lisania: Journal of Arabic Education and Literature
Vol.3, No.1, 2019, pp.45-67
dikembalikan, kalimat itu akan menjadi أدﻋﻮ ﻗﻤﺮ اﻟﺪﻳﻦ. Menurut Ibnu Madlâ, jika
kalimat أدﻋﻮ ﻗﻤﺮ اﻟﺪﻳﻦsebagai ganti dari kata ﻗﻤﺮ اﻟﺪﻳﻦ, maka pola kalimat tersebut
akan berubah dari kalam insyâ’ menjadi kalam khabar (Madlâ, tt: 26-27).
Contoh lain misalnya fenomena yang terjadi pada kaidah jumlah ismiyyah.
Kaidah aslinya berbunyi bahwa jumlah ismiyyah itu terdiri dari mubtada’ dan
khabar, kemudian muncul kaidah cabang yang mengharuskan membuang
mubtada’ (Musthafa, 1993: 258), contoh: ﰱ ذﻣﱵ ﻷﻓﻌﻠ ّﻦ ﻛﺬا, kalimat ini kalau di
maĥdzûf (dibuang), yaitu kata ﻋﻬﺪ, maka kalau ditulis secara lengkap adalah
47
Nurhaqiqi
Metode Penelitian
Berdasarkan tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui sejauh
mana persoalan kaidah bahasa itu terjadi, dan benarkah terdapat kaidah-
kaidah yang secara signifikan kurang memberi warna makna dalam sebuah
kalimat, maka penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian kualitatif.
Dalam hal ini penulis akan menggunakan metode kajian pustaka dengan
memadukannya dengan metode pendekatan isi (content/madhmûn) teks
(Sulaiman, 2002: 287). Pendekatan ini akan dipergunakan oleh penulis untuk
mengkaji fenomena kaidah-kaidah far’iyyah (cabang) terhadap kaidah-kaidah
dasar/al-Qawâ’idu al-Ashliyah, khususnya yang tidak memiliki fungsi
semantic (menghadirkan makna baru) dalam sebuah kalimat.
Data pokok yang akan disajikan dan akan dianalisis oleh penulis
dalam penelitian ini adalah kaidah-kaidah bahasa Arab far’iyyah (cabang)
yang khususnya mengalami penyimpangan dari kaidah pokok/dasar. Data itu
secara garis besar meliputi kaidah-kaidah yang termasuk dalam lingkup ilmu
48
Lisania: Journal of Arabic Education and Literature
Vol.3, No.1, 2019, pp.45-67
naĥw dan Kaidah-kaidah yang termasuk dalam lingkup ilmu sharf . Untuk
selanjutnya data-data tersebut akan penulis analisa agar diketahui penyebab
terjadinya anomali, serta implikasinya terhadap perubahan makna dan
maksud didalam sebuah kalimat. Kemudian data-data itu ditetapkan sebagai
data primer. Sedangkan sumber data tersebut diambil dari kitab Jâmi’u al-
Durûs karya Mushthafâ Ghalâyainî dan kitab-kitab naĥw lainnya.
Sedangkan sumber skunder yang penulis butuhkan adalah kitab-kitab
ushûlu al-naĥwi, yaitu kitab-kitab yang membicarakan tentang prinsip-
prinsip yang melandasi ilmu naĥw dalam berbagai persoalan dan
aplikasinya. Selain itu penulis juga menjadikan buku-buku sejarah
pengkodifikasian ilmu naĥw juga menjadi sumber skunder yang lain.
Setelah penulis menetapkan data, langkah selanjutnya adalah
mengumpulkannya serta menganalisisnya. Langkah-langkah itu adalah: 1)
Mengidentifikasi kaidah-kaidah yang menyimpang dari kaidah pokoknya.
Langkah ini dilakukan dengan cara membandingkan antara kaidah pokok dan
kaidah cabangnya. Jika kaidah cabang tidak selaras dengan kaidah pokok,
maka kaidah cabang tersebut ditetapkan sebagai data. 2) Mengelompokkan
data-data itu sesuai kategori. 3) Mengidentifikasi penjelasan tentang sebab
dan maksud diciptakannya kaidah far’iyyah tersebut dari para nûĥâh. 4)
Menganalisis makna-makna yang dimungkinkan muncul dari kalimat yang
menggunakan kaidah far’iyyah tersebut. 5) Merumuskan dan menyimpulkan
tentang peranan penggunaan kaidah far’iyyah tersebut dalam kalimat, dari
segi kekuatannya didalam mewarnai dan merubah makna dan maksud dari
kalimat itu.
49
Nurhaqiqi
sebuah bahasa tidak akan terbendung oleh siapapun. Aktifitas manusia yang
makin hari makin komplek, menyebabkan bahasa terus berkembang dan
makin komplek, maka untuk menjaga konsistensinya lahirlah kaidah bahasa.
Kekomplekan bahasa menyebabkan kaidah-kaidah yang telah ada,
tidak mampu mengakomodir terhadap unsur bahasa yang memiliki
karakteristik-karakteristik tertentu karena adanya perkembangan bahasa.
Hal ini seperti yang disampaikan oleh Quraish Syihab ketika menanggapi
tentang gramatika bahasa Arab, dia berkata: Adanya fenomena anomali,
harus diakui sebagai keterbatasan kaidah standar (mi’yari), dan untuk
mengakomodir fenomena itu para ulama’ gramatika kemudian
memperkenalkan neologisme syâz (fenomena linguistik yang jarang terjadi)
atau ististna’ (pengecualian), dan hal tersebut dimaksudkan untuk menjawab
persolan-persoalan linguistik dalam al-Qur’an (Quraish, 2006: 32).
Tidak menutup kemungkinan bahwa kompleksitas sebuah bahasa
tersebut akibat kecenderungan yang berlebihan terhadap tata bahasa
tradisional, yang oleh banyak kalangan dianggap telah ketinggalan atau tidak
relevan lagi karena memiliki banyak kelemahan. Diantara kritik-kritik yang
dilontarkan oleh ahli ilmu bahasa modern terkait ilmu bahasa tradisional
adalah ketidakberdayaan kaidah bahasa dalam mengakomodir kompleksitas
bahasa tergambar jelas dalam perkataan Tammam Hasan sebagai berikut:
“Susunan kalimat itu seharusnya begini, boleh juga begitu kecuali dalam hal-
hal tertentu”, atau “Susunan kalimat itu seharusnya begini, tapi kadang-
kadang juga boleh begitu”, atau “Susunan kalimat itu seharusnya tidak
demikian, tapi karena kalimat itu mengandung faedah, bolehlah”, yang
selanjutnya kaidah pertama disebut dengan al-Qâ’idah al-Ashliyyah,
sedangkan yang kedua disebut dengan al-Qâ’idah al-Far’iyyah (Tammâm,
2000: 108).
Berikut akan disampaikan beberapa kaidah anomali yang tidak
memiliki peran signifikan dalam perubahan makna dan atau maksud dalam
sebuah kalimat. Kaidah tersebut terkategori menjadi tiga, yaitu anomali pada
huruf, anomali pada i’rob dan anomali pada tarkib. Kerena keterbatasan
50
Lisania: Journal of Arabic Education and Literature
Vol.3, No.1, 2019, pp.45-67
ruang, maka pada kesempatan ini hanya disajikan kaidah anomali pada
tarkib.
adalah ﰱ ذﻣﱴ ﻋﻬﺪ ﻷﻓﻌﻠﻦ ﻛﺬا. 2) Jika khabar-nya berupa masdar yang
contoh ﺑﺌﺲ اﻟﺮﺟﻞ أﺑﻮ ﳍﺐ،ﻧﻌﻢ اﻟﺮﺟﻞ أﺑﻮ ﻃﺎﻟﺐ, contoh itu pada mulanya (ﻧﻌﻢ اﻟﺮﺟﻞ )ﻫﻮ
ﺑﺌﺲ اﻟﺮﺟﻞ )ﻫﻮ( أﺑﻮ ﳍﺐ، أﺑﻮ ﻃﺎﻟﺐ. 4) Jika khabar pada hakikatnya berupa kata
( اﻟﻠﺌﻴﻢtakdirnya adalah )ﻫﻮ اﻟﻠﺌﻴﻢ, ( اﺣﺴﻦ اﱃ ﻓﻼن اﳌﺴﻜﲔtakdirnya adalah )ﻫﻮ اﳌﺴﻜﲔ
51
Nurhaqiqi
ﻣﻮﺟﻮدة ﺣﺎﺻﻞ/ ﻣﻮﺟﻮدatau khabar itu terletak setelah kata ﻟﻮﻣﺎ،ﻟﻮﻻ. Contoh اﳉﻨﺔ
(takdirnya adalah اﻟﻌﻠﻢ ﻣﺴﺘﻘﺮ ﰱ اﻟﺼﺪورdan( ﻟﻮﻻ اﻟﻜﺘﺎﺑﺔ ﻟﻀﺎع أﻛﺜﺮ اﻟﻌﻠﻢtakdirnya
adalah )ﻟﻮﻻ اﻟﻜﺘﺎﺑﺔ ﻣﻮﺟﻮدة ﻟﻀﺎع أﻛﺜﺮ اﻟﻌﻠﻢ. Ketentuan keharusan membuang
terdapat petunjuk (dalil) tentang hal itu. Contoh: Nabi bersabda: ﻟﻮﻻ
اﻟﺒﻴﺖ ﻗﻮﻣﻚ ﺣﺪﻳﺜﻮا ﻋﻬﺪ ﲜﺎﻫﻠﻴﺔ ﻷﻗﻤﺖ, kata ﻗﻮﻣﻚberposisi sebagai mubtada’, dan ك
(takdirnya adalah )ﻟ َﻌﻤُﺮك ﻗﺴﻤﻰ ﻷﻓﻌﻠﻦ. 3) Mubtada’ berupa mashdar atau
(takdirnya )أﻓﻀﻞ ﻋﻤﻠﻚ اﳋﲑ ﺣﺎﺻﻞ ﰱ ﺣﺎل اﺳﺘﺘﺎرك. 4) Apabila khabar terletak
setelah al-waw muta’aiyyîn yang memiliki makna ““ﻣﻊ. Contoh ﻣﻊ ﻓﻌﻞ/ ﻛﻞ
( اﻣﺮئ وﻣﺎ ﻓﻌﻞtakdirnya adalah ( )ﻛﻞ اﻣﺮئ وﻓﻌﻠﻪ ﻣﻘﱰ نMushthofa, tt: 373-374).
52
Lisania: Journal of Arabic Education and Literature
Vol.3, No.1, 2019, pp.45-67
أﻧﺰل ﺧﲑا )اي ( أَﻧﺰَل رﺑُﻜﻢ ﻗﺎﻟﻮا ﺧﲑا, 2) ‘Âmil itu dibuang, padahal ‘âmil yang
ﺿﺮﺑﺘﻪ؟. Oleh para nuĥat nashabnya kata زﻳﺪاdisebabkan oleh adanya ‘âmil
yang terbuang dan analisa semacam ini –kata Ibnu Madlâ- akibat
adanya kaidah yang dibuat oleh mereka tentang ‘âmil, yaitu bahwa
53
Nurhaqiqi
ganti dari kata ﻋﺒﺪ ﷲ, maka pola kalimat tersebut akan berubah dari
yang didahulukan, jadi kalimat itu aslinya berbunyi أﺑﻮ ﳍﺐ ﺑﺌﺲ اﻟﺮﺟﻞ.
54
Lisania: Journal of Arabic Education and Literature
Vol.3, No.1, 2019, pp.45-67
idlâfah. 2) Jika kata itu berupa susunan sifah maushûf. Contoh ﻟﻌﺒﺪ ﻣﺆﻣﻦ
maushûf ﻋﺒﺪ ﻣﺆﻣﻦ, 3) Jika khabar-nya berupa dzarf atau jar majrûr dan
Mubtada’ dari kalimat ini adalah kata ﻋﻠﻴﻢdan ﻛﺘﺎب, sedangkan khabar-
55
Nurhaqiqi
ﺧﺮﺟﺖ ﻓﺈذا أﺳﺪ راﺑﺾ. Mubtada’ dari kalimat tersebut adalah ﻣﺎ أﺣﺪdidahului
Contoh إﻋﻄﺎء ﻗﺮﺳﺎ ﰱ ﺳﺒﻴﻞ اﻟﻌﻠﻢ ﻳﻨﻬﺾ ﻷﻣﺔ, 6) Kata itu termasuk kata yang
7) Kata itu mengandung do’a. Contoh وﻳﻞ ﻟﻠﻤﻄﻔﻔﲔ، ﺳﻼم ﻋﻠﻴﻜﻢ, 8) Kata itu
pemisahan/pembagian terhadap kata itu. Contoh ﺛﻮب ﻟﺒﺜﺖ وﺛﻮب أﺟُﺮ, ﻳﻮم ﻧُﺴﺎء
وﻳﻮم ﻧُﺴّﺮ. 11) Kata itu diathaf-kan kepada ism ma’rifat dan atau
sebaliknya. Contoh رﺟﻞ وﺧﺎﻟﺪ،اﻟﻨﺤﻮ ﻳﺘﻌﻠﻤﺎن ﺧﺎﻟﺪ ورﺟﻞ ﻳﺘﻌﻠﻤﺎن اﻟﻨﺤﻮ. 12) Kata itu
56
Lisania: Journal of Arabic Education and Literature
Vol.3, No.1, 2019, pp.45-67
karena itu murakkab isnâdî itu terdiri dari al-musnad dan al-musnad
ilaih. Contoh اﻟﻄﺎﻟﺐ ﺟﺢ،ﻳﻔﻠﺢ ا ﺘﻬﺪ. Kata اﻟﻄﺎﻟﺐdisebut dengan al-musnad
ilaih karena kata tersebut yang menjadi sandaran, sedangkan kata ﺟﺢ
57
Nurhaqiqi
58
Lisania: Journal of Arabic Education and Literature
Vol.3, No.1, 2019, pp.45-67
59
Nurhaqiqi
ًاﻟﻔﺼﻞ ﺳﺎﻋﺔ. Kata ﺣﻴﺔdibaca nashab (accusative) karena dia adalah dlaraf
ﳝﲔ اﻟﻄﺮﻳﻖ أﺳﻠﻢ, 2) fi’il, misalnya ﺟﻠﺴﺖ ﻋﻨﺪكdan 3) isim sifat, misalnya أ ﺣﺎﺿﺮ
kalimat terbagi menjadi dua, yaitu âmil yang boleh dibuang dan âmil
yang harus dibuang. Suatu âmil boleh dibuang dengan syarat apabila
terdapat petunjuk yang bisa menjelaskan akan keberadaannya.
Misalnya; ada seseorang bertanya sebagai berikut: ﻣﱴ ﺟﺌﺖ؟, kemudian
dijawab dengan dlaraf ﻳﻮَم اﳉﻤﻌﺔ. Sedangkan suatu âmil harus dibuang
ﻋﻨﺪك. Kalimat ini jika ditulis secara lengkap akan berbunyi ﻣﺮرت ﺑﺮﺟﻞ ﻣﺴﺘﻘّﺮ
60
Lisania: Journal of Arabic Education and Literature
Vol.3, No.1, 2019, pp.45-67
berbunyi ﺟﺎء اﻟﺬى اﺳﺘﻘّﺮ ﻋﻨﺪك, c) ĥâl, misalnya ﻣﺮرت ﺑﺰﻳﺪ ﻋﻨﺪك. Kalimat ini
berbunyi ﻣﺮرت ﺑﺰﻳﺪ اﺳﺘﻘّﺮ ﻋﻨﺪك, dan d) khabar, misalnya: زﻳﺪ ﻋﻨﺪك. Kalimat
inipun sebenarnya juga menyimpan kata ﻣﺴﺘﻘّﺮ, yang kalau ditulis secara
lengkap akan berbunyi زﻳﺪ ﻣﺴﺘﻘّﺮ ﻋﻨﺪك. 2) dlarf itu berada pada sebuah
61
Nurhaqiqi
62
Lisania: Journal of Arabic Education and Literature
Vol.3, No.1, 2019, pp.45-67
didahulukan atas mubtada’, seperti contoh kalimat ﻗﺎﺋﻢ زﻳﺪ, maka kata زﻳﺪ
63
Nurhaqiqi
yang kembali kepada khabar, contoh ﰱ اﻟﺪار ﺻﺎﺣﺒﻬﺎ, 4). Apabila khabar itu
Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
beberapa kaidah bahasa Arab, asal-usul penciptaannya bukan didasarkan
atas kepentingan menghadirkan makna baru dalam kalimat. Di antara pola
yang digunakan adalah pola al-ĥadzf (membuang salah satu elemen dalam
kata atau kalimat), al-rutbah (merubah posisi kata dari posisi didepan
menjadi dibelakang, dan atau sebaliknya). Selain kedua pola itu juga kadang-
kadang dengan cara melakukan penambahan-penambahan huruf atau kata
dalam kalimat, serta pada beberapa kesempatan mengganti atau merubah
sesuatu yang memang semestinya dengan sesuatu yang lain. Pola-pola
semacam ini selain tidak banyak berpengaruh terhadap makna dalam sebuah
kalimat, juga justeru menambah kerumitan tata bahasa bahasa Arab.
64
Lisania: Journal of Arabic Education and Literature
Vol.3, No.1, 2019, pp.45-67
Daftar Rujukan
Anbary, Abi al- Barakât Abdu al- Raĥmân bin Muĥammad bin Abi Sa’id. Kitâb
Asrar al-‘Arabiyah. Damaskus: al-Majma’ al-‘Ilmy al-‘Araby, tt.
Chomsky, Noam. Aspect of the Theory of Syntax. Cambridge, Mass,: The MIT
Press, 1965.
65
Nurhaqiqi
Farrâ, Abû Zakariyâ ibn Ziyâd. Ma’âni al-Qur’ân. Pentahqîq Aĥmad Yûsuf
Najatî dan Muĥammad ‘Alî al-Najjâr, Kairo: al-Haiah al-Mishriyyah
al-‘Âmmah li al-Kitâb, 1980.
Hisyâm, Ibn. Syarĥ Qathr al-Nadâ wa Ballu al-Shadâ. Penyusun: Muĥy al-Dîn
abdu al-Hamîd, Riyadl: Maktabah Riyadl al-Hadîtsah, tt.
Hitti, Philip K. History of the Arabs. Penerjemah: R. Cecep Lukman Yasin dan
Dedi Slamet Riyadi, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006.
Jinnî, Ibnu. al-Khashâ’is. Pentaĥqiq: Abd al-Hamid Handâwî, Jilid I, Kairo: Dâr
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001.
Ni’mah, Fu’ad. Mulakhkhas, Qawâ’id al-Lughah al-‘Arabiyah. Juz II, Cet. IX,
Damaskus: Dâr.
Sîbawaih. al-Kitâb. pentaĥqîq: Abdu al-salâm Hârûn, Beirut: al-maktabah al-
‘ashriyah, tt.
Sulaimân, Abdu al-Raĥmân ‘Ali. Taudlîĥ al-Maqâshid wa al-Masâlik bi Syarkhi
Alfiyati Ibn Mâlik li al-Murâdi. Juz I, Mesir: Dâr al-Fikr al-Araby,
2001.
Syihab, M. Quraish. Orientalisme. dalam Jurnal Studi al Qur’an, Vol, No. 2,
2006.
66
Lisania: Journal of Arabic Education and Literature
Vol.3, No.1, 2019, pp.45-67
67