266-Article Text-638-1-10-20201021

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 12

STRATEGI MASJID DALAM PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT

Sukarno L. Hasyim
STAI Miftahul ‘Ula Kertosono Nganjuk
[email protected]

Abstract:

Islam is a perfect religion which the teachings include and take care the problems of
human life. The teachings of Islam regulate the human behavior, both regard as God's
creatures as well as fellow beings, in terms of Usul Fiqh or Fiqh called the Sharia. the
issues related to economic problems has been set in Islam. Islam applied the economic
system by using of moral and law together for uphold the building a system that
practical. Economic according to Islam is a set of common economic fundamentals are
inferred from the Qur'an and Sunnah, and a building which built on the foundations of
according to each environment and period. Islamic rules about the economy including
the rules of perfect and complete. Therefore, the application of the Islamic economic
system in economic structure of community most likely will bring more to welfare and
benefit of society itself. One of them is the economic empowerment of sharia through
the mosques. The mosque is the smallest base closest to the Muslim community. Apart
as the center of worship, Mosque can also serve as a medium of religious social
development in economy to raise the welfare of people. For example, around the
mosque can be used as sharia cooperative development center that recently received
positive reception among the public. The goal is nothing else to fulfill the spiritual and
material welfare of the pilgrims in order to create welfare in this world and hereafter.

Keywords: Sharia Economic, Economic Empowerment, Mosque

Pendahuluan
Masjid dalam sejarah peradaban Islam merupakan sarana untuk melakukan
dakwah dan pengembangan sumber daya ekonomi umat Islam. Setiap jama’ah dalam
membangun masjid, berorientasi untuk melakukan dakwah dan sekaligus
memberdayakan ekonomi jama’ah dan masyarakat yang ada di sekitar masjid. Ada
sebuah cita-cita besar tentang revitalisasi fungsi masjid sebagai wadah melakukan
dakwah dan pemberdayaan umat. Harapan dan cita-cita besar ini merupakan sesuatu
yang sangat historis dan sesuai dengan konteksnya karena dalam Islam. Idealnya masjid
adalah pilar utama dan terpenting bagi pembentukan masyarakat Islam. Karena itu,
masyarakat muslim tidak akan terbentuk secara kokoh dan rapi kecuali dengan adanya
komitmen terhadap sistem, akidah dan tatanan Islam. Hal ini tidak akan dapat
dimunculkan kecuali di masjid.

189
Masjid merupakan pranata keagamaan yang tidak terpisahkan dari kehidupan
spiritual, sosial, dan kultural umat. Dimana ada umat Islam pasti disitu ada masjid,
masjid juga merupakan simbol keislaman, jika ada masjid maka disitupun disinyalir ada
kehidupan umat Islam. Memahami masjid secara universal berarti memahaminya
sebagai instrumental sosial masyarakat Islam yang tidak dapat dipisahkan dari
masyarakat Islam itu sendiri. Keberadaan masjid pada umumnya adalah sebagai tempat
ibadah baik mahzah maupun ghairu mahzah.
Melihat gejala yang sedang berkembang di tengah umat diperlukan paradigma
baru dalam melihat pemberdayaan ekonomi umat ini. Mereka harus diposisikan sebagai
subjek dalam pemberdayaan, karena mereka merupakan bagian inklusif dan sentral
dalam pembangunan ekonomi makro. Perlu dilakukan pola pembangunan kemitraan
baik antara masyarakat, masyarakat dengan pemerintah, swasta maupun lembaga
swadaya masyarakat yang merupakan modal sosial (social capital) terbesar dalam
membangun masyarakat. Modal sosial ini menjadi jalan tengah sistem kapitalis yang
sangat mengedepankan individu. Pemerintah-masyarakat dan pemangku kepentingan
(stakeholder) lainnya perlu bekerjasama dengan asas kesetaraan demi kepentingan
kolektif untuk mendapatkan pemenuhan hak rakyat.
Masjid selain menjadi pusat aktivitas dakwah untuk syiar nilai-nilai Islam dalam
kehidupan masyarakat yang sangat majemuk seperti sekarang ini. Masjid juga berperan
dalam menyelesaikan persoalan pendidikan, sosial, budaya, sosial kemasyarakatan, dan
terutama sosial ekonomi masyarakat. Ada juga sebagian jamaah yang mengharapkan dia
dapat mempercayakan modal dan saham mereka untuk pemberdayaan ekonomi masjid
sebagai sarana untuk aktivitas dakwah yang melampaui batas-batas etnis, budaya,
maupun latar belakang sosial. Berdasarkan indikasi yang telah dikemukan bisa terbaca
dari terwujudnya partisipasi penuh dari masyarakat antara lain; kebersamaan dalam
membangun fasilitas masjid, sebagaimana yang pernah terjadi pada masa renovasi
pertama, banyaknya mengalir infaq, wakaf dan shadaqah dari jamaah. Masjid milik
jamaah dan masyarakat, sebaliknya masyarakat memiliki masjid. Persoalan masjid
adalah persoalan masyarakat dan sebaliknya persoalan masyarakat adalah persoalan
masjid.
Sejak zaman Nabi Muhammad SAW, masjid Nabawi yang menjadi jantung kota
Madinah yang digunakan untuk kegiatan politik, perencanaan kota, menentukan strategi

190
militer dan untuk mengadakan perjanjian. Bahkan, di area sekitar masjid digunakan
sebagai tempat tinggal sementara oleh orang-orang fakir miskin. Meskipun untuk masa
sekarang ini sebagian peran dan fungsi masjid tersebut sudah ditangani oleh lembaga-
lembaga lain yang memiliki sumber daya yang lebih baik dan profesional di bidangnya,
tidak berarti masjid hanya sebagai tempat ibadah saja dan kurang memperhatikan
fungsi-fungsi sosial kebudayaan lainnya.
Pada masa Rasulullah SAW, masalah sosial tentu tidak sedikit karena itu banyak
sekali sahabat rasul yang memerlukan bantuan sosial sebagai resiko dari keimanan yang
mereka hadapi dan sebagai konsekuensi dari perjuangan. Masjid bukan hanya sebatas
tempat ibadah saja, tetapi masjid diharapkan dapat menjadi pusat aktivitas sosial dan
ekonomi bagi para umat atau jamaah, sesuai dengan potensi lokal yang tersedia. 1
Hal demikian karena masjid sebagai Baitullah (rumah Allah), merupakan tempat
turunnya rahmat dari Allah. Umat Islam memandang bahwa masjid sebagai tempat yang
paling mulia dan baik di permukaan bumi ini. Karena itu, masjid adalah institusi yang
paling penting untuk membina masyarakat. Fungsi masjid sebagai sarana untuk
membina masyarakat itulah, kedamaian dan kesejahteraan umat adalah dasar utama
yang diajarkan dalam Islam. Melalui masjid rasa kesatuan dan persatuan ditumbuh-
suburkan, tidak ada perbedaan derajat di antara strata masyarakat dan semua dapat
bertemu dalam derajat yang sama, karena Allah tidak memandang strata masyarakat di
atas dunia. Di samping sebagai tempat beribadah bagi umat Islam, masjid juga
berfungsi sebagai pusat kegiatan sosial dan kebudayaan dalam arti yang luas.
Misi sosial kebudayaan dengan melakukan revitalisasi dan optimalisasi peran
dan fungsi masjid sangat diperlukan terutama dalam ativitas dakwah maupun
pemberdayaan ekonomi. Demikian juga halnya di bidang pendidikan dimana melalui
optimalisasi masjid dalam pendidikan umat diharapkan dapat mendekatkan masyarakat
pada ajaran-ajaran dan nilai-nilai Islam secara benar, khususnya dalam menegakkan
perdamaian. Dengan demikian jelaslah, kiranya Islam sangat menghargai perbedaan
(pluralisme) sepanjang pihak lain juga menghargai Islam. Upaya membangun
penyamaan visi guna mewujudkan perdamaian dunia perlu terus-menerus digalakkan,
khususnya melalui revitalisasi dan optimalisasi peran dan fungsi masjid. Fungsi dari
masjid selain merupakan tempat ibadah dan tempat pendidikan keagamaan, juga
1
Ahmad Sutarmadi, Visi, Misi, dan Langkah strategis; Pengurus Dewan Masjid Indonesia dan
Pengelola Masjid, (Jakarta: Logos wacana Ilmu, 2002), 462.

191
menyimpan potensi nilai ekonomis bagi masyarakat sekitar. Karena itu, diperlukan
inovasi dan kreativitas baik oleh pengelola masjid sendiri dan dengan dukungan oleh
pemerintah pusat dan daerah dalam mewujudkan fungsi masjid lainnya yaitu
menjadikan masjid sebagai salah satu pusat aktivitas dakwah dan pemberdayaan
ekonomi umat yang di berbagai daerah tertentu.

Pembahasan
A. Pemberdayaan Ekonomi Umat Berbasis Masjid
Pemberdayaan ekonomi umat adalah proses membangun kembali struktur
komunitas insani di mana cara-cara baru untuk berhubungan antar pribadi,
mengorganisasikan kehidupan sosial, ekonomi dan memenuhi kebutuhan insani
menjadi lebih dimungkinkan. Konsep pemberdayaan ini menjadi penting karena
dapat memberikan perspektif positif terhadap orang yang lemah dan miskin.
Komunitas miskin tidak dipandang sebagai komunitas yang serba rentan dan
kekurangan (kurang pendapatan, kurang sehat, kurang pendidikan, kurang makan,
kurang dinamis dan lain-lain) dan hanya menjadi objek pasif penerima pelayanan,
melainkan sebuah komunitas yang memiliki beragam potensi dan kemampuan yang
dapat diberdayakan untuk: (1) memiliki akses terhadap sumber-sumber produktif
yang memungkinkan untuk melanjutkan sistem mata penghidupannya; dan (2) ikut
berpartisipasi dalam proses pembangunan, kegiatan sosial dan mandiri dalam
melaksanakan tugas-tugas kehidupannya serta keputusan-keputusan yang
mempengaruhi mereka.
Pemberdayaan adalah penyediaan sumber daya, kesempatan, pengetahuan,
dan keterampilan bagi masyarakat untuk meningkatkan kapasitas mereka sehingga
bisa menemukan masa depan mereka lebih baik. Menurut Gunawan
Sumohadiningrat, pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya yang
dimiliki dhu’afa dengan mendorong, memberikan motivasi, dan meningkatkan
kesadaran tentang potensi yang dimiliki mereka serta berupaya untuk
mengembangkannya,2 dengan kata lain memberdayakan adalah mamampukan/
memandirikan masyarakat.

2
Gunawan Sumohadiningrat, Pembangunan Daerah dan Pengembangan Masyarakat, (Jakarta:
Bina Rena Pariwara, 1997), 167.

192
Kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam hal ini umat Islam (mustaḥiq)
dapat dilakukan melalui pendampingan dengan memberikan motivasi,
meningkatkan kesadaran, membina aspek pengetahuan dan sikap meningkatkan
kemampuan, memobilisasi sumber produktif dan mengembangkan jaringan. Proses-
proses pemberdayaan komunitas miskin pasca bencana melalui pendampingan
tersebut secara langsung dapat dilakukan oleh pengelola masjid. Masjid dapat
merupakan salah satu bagian dari pengembangan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan dan pengentasan kemiskinan umat khususnya di daerah bencana.
Nabi Muhammad SAW. mengajarkan bahwa masjid tidak hanya memiliki
fungsi sebatas sebagai pusat kegiatan ibadah namun juga berfungsi sebagai tempat
pendidikan dan pengajaran, pusat informasi Islam, pusat kegiatan ekonomi serta
pusat kegiatan sosial dan politik serta pusat kegiatan dakwah bagi umat Islam.
Karena itu, masjid berperan besar bagi umat dalam melakukan perubahan nilai-nilai
kehidupan dalam pengamalan beragama dan pembinaan umat melalui program
kesalehan sosial dan ekonomi yang meliputi semangat spiritual yang diwujudkan
jamaah masjid mempunyai kepedulian sosial yang diwujudkan dalam pemberian
zakat, infaq dan shadaqah, mempunyai sikap toleran dan kerelawanan dan
membantu saudara-saudaranya yang terkena musibah.
Fenomena baru di perkotaan, yang menunjukkan sebagian masjid telah
menunjukkan fungsinya sebagai tempat ibadah, tempat pendidikan, tempat
pemberdayaan ekonomi umat dan kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Dengan
demikian, keberadaan masjid memberikan manfaat bagi jamaah dan masyarakat
lingkungannya khususnya yang terkena musibah misalnya bencana alam. Upaya
peningkat kesejahteraan masyarakat dan komunitas miskin pasca bencana,
khususnya di wilayah pinggiran kota dan pedesaan dapat dilakukan dengan
menggiatkan pengelola masjid-masjid untuk berperan lebih aktif dalam kehidupan
jamaah dan masyarakat di lingkungan masjid menangani pemulihan kondisi
masyarakat pasca bencana dengan manajemen kebencanaan (disaster management)
melalui kegiatan pemberdayaan (empowerment) dan strategi pendampingan dengan
menggunakan dakwah Islam kepada masyarakat setempat sebagai mekanisme
perubahan sosial dan peningkatan motivasi komunitas miskin pasca bencana untuk

193
kembali berdaya dalam berusaha sehingga dapat mempercepat perubahan sosio-
ekonomi di wilayah-wilayah masjid tersebut berada.
Terkait dengan potensi ekonomi masjid, sekarang ada beberapa unit usaha
jama’ah masjid yang antara lain adalah pertama, Koperasi Simpan Pinjam antar
pengurus. Ada upaya di antara sesama pengurus untuk mengatasi kebutuhan harian
dan saling membantu mereka bermufakat mendirikan koperasi simpan pinjam.
Koperasi untuk kalangan intern ini sekalipun belum punya badan hukum tapi
eksistensi koperasi ini cukup membantu kebutuhan pengurus. Kedua, Wartel.
Kebutuhan informasi dan telekomunikasi saat ini, ditambah tempat yang strategis
membuat keberadaan warung telekomunikasi ini sangat dibutuhkan masyarakat.
Cuma persoalan sekarang, perkembangan teknologi yang kian pesat, wartel tidak
diminati lagi dengan adanya ponsel atau telepon genggam. Usaha ini mengalami
kemunduran. Ketiga, WC Umum. Jasa yang satu ini sangat dibutuhkan masyarakat
apalagi apabila masjid berada di lokasi keramaian pasar. Pengurus beriniasiatif
menyediakan WC umum yang cukup representatif Usaha jasa ini sangat
menguntungkan dan meraup keuntungan yang berlipan ganda. Keempat, Penitipan
Sandal dan Sepatu. Jasa yang satu ini juga lahan potensi ekonomi yan g sangat
potensial kalau dimanag secara bagus dan profesiaonal. Terbukti infak yang
terkumpul pertahunnya mencapai jutaan rupiah. Kelima, Arisan Jamaah Majlis
Taklim. Ada inisiatif dari jamaah wirid majlis taklim untuk mengadakan arisan. Hal
ini masih berjalan dan perputaran uang pada sekali putaran mencapai puluhan juta.
Keenam, Toko milik masjid. Masjid telah mengembangkan toko sebagai sarana
pengembangan modal pembiayaan masjid. Tujuh, Jasa ambulan. Jasa ini juga sangat
dibutuhkan dengan perkembangan masyarakat dan berbagai sektor.

B. Masjid: Realita dan Upaya Revitalisasinya


Secara umum, yang menjadi harapan bersama adalah bahwa masjid bukan
hanya sebatas pusat kegiatan ibadah bagi para jamaahnya. Masjid diharapkan dapat
menjadi pusat aktivitas sosial dan ekonomi bagi para jamaahnya. Masjid dapat
menjadi wadah bagi para jamaahnya dalam mengembangkan kegitan-kegiatan yang
bernilai ekonomis dan menghasilkan income bagi jamaahnya. Jika selama ini unit-
unit usaha yang sudah dirintis sudah mulai menghasilkan, namun ke depannya

194
diharapkan ada lembaga kuat yang berbadan hukum yang tangguh dan berdaya
saing tinggi sehingga mampu menjadi lembaga ekonomi masjid yang mampu
menjadi kekuatan ekonomi kolektif bagi seluruh jamaah masjid.
Lembaga ekonomi masjid diharapkan nantinya mampu dirintis dengan badan
hukum yang jelas dan berdiri sebagai lembaga keuangan dan sektor riil milik
masjid. Secara umum, jamaah masjid berharap bisa menjadi komunitas masyarakat
yang kuat dalam aspek keberagamaan, sosial budaya, sosial ekonomi, pendidikan
dan bahkan sosial politik. Semua itu dibangun di atas landasan kekuatan kolektif
yang digali dari nilai-nilai kebijaksanaan lokal dan agama serta melibatkan sumber
daya ekonomi umat. Jamaah masjid dan masyarakat sekitarnya diharapkan menjadi
masyarakat agamis yang memiliki kekuatan kolektif untuk membangun ekonomi,
budaya, pendidikan dan politik secara partisipatif dan berpengaruh secara signifikan
dalam konteks lokal desa, kecamatan, kabupaten dan provinsi serta bahkan dalam
konteks nasional negara dan internasional. Dalam implementasinya, ada pembagian
peran dan wewenang secara adil dan profesional di atas semangat kebersamaan di
antara elemen-elemen masyarakat, termasuk unsur institusi masjid raya.
Persoalan yang perlu dipikirkan adalah bagaimana membangun kekuatan
ekonomi yang memanfaatkan segala potensi yang dimiliki oleh masjid, baik itu
potensi jamaah, potensi lokasi masjid, potensi ekonomi masyarakat sekitar masjid,
dan potensi-potensi lainnya. Bila kesemua potensi tersebut dapat dikelola dengan
baik, maka penulis berkeyakinan bahwa problematika pengangguran dan
kemiskinan, yang menjadi musuh utama umat Islam dewasa ini, akan dapat
diminimalisasi. Bahkan, untuk pembagian kompensasi BBM bagi masyarakat
miskin, pemerintah dapat bekerja sama dengan pengurus masjid, di samping bekerja
sama dengan pengurus Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat yang kini
tumbuh dan berkembang secara baik dan mulai terorganisasi dengan manajemen
yang rapi dan transparan.
Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam membangun dan
merealisasikan potensi kekuatan umat berbasis masjid. Antara lain: pertama,
mendata potensi jama’ah masjid. Sudah saatnya pengurus masjid memiliki data
potensi jama’ah yang dimilikinya. Jika dicermati dengan baik, jumlah masjid yang
memiliki data potensi jama’ah masih sangat sedikit. Kalaupun ada, kualitas data

195
yang dimiliki umumnya kurang memuaskan. Untuk itu, sebagai langkah awal dalam
membangun kekuatan ekonomi masjid, ketersediaan data potensi ini menjadi sebuah
keharusan. Data ini, paling tidak, meliputi data jama’ah yang terkategorikan mampu
dan tidak mampu, dengan standar yang ditetapkan oleh pengurus masjid, termasuk
lokasi penyebaran tempat tinggalnya; diversifikasi mata pencaharian masing-masing
individu jama’ah masjid; latar belakang pendidikan para jama’ah, termasuk data
kependudukan lainnya yang bersifat standar, seperti usia dan jenis kelamin.
Pengurus masjid hendaknya menganalisis pula tingkat partisipasi masing-masing
jama’ah dalam berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh pihak masjid. Hal ini
dapat dijadikan sebagai indikator komitmen yang bersangkutan dalam
memakmurkan masjid. Kedua, mendata potensi ekonomi lingkungan sekitar masjid.
Langkah selanjutnya adalah mendata potensi ekonomi masyarakat yang tinggal di
sekitar masjid, termasuk menganalisis potensi strategis lokasi masjid. Tentu saja
masjid yang berlokasi di daerah perumahan yang mayoritas penduduknya bekerja
pada sektor jasa, akan memiliki potensi yang berbeda dengan masjid yang berlokasi
di wilayah yang didiami oleh mayoritas petani atau nelayan. Analisis yang tepat
akan menggiring pada pemilihan aktivitas ekonomi yang tepat. Misalnya, untuk
wilayah perumahan yang tidak memiliki toko yang menjual kebutuhan dasar rumah
tangga, maka masjid dapat membuka usaha toko untuk memenuhi kebutuhan
tersebut. Atau masjid dapat membuka usaha pengadaan pupuk murah bagi petani,
apabila mayoritas penduduk sekitar masjid adalah petani, namun memiliki kesulitan
dalam mendapatkan pupuk murah.
Masih banyak contoh lainnya, akan tetapi yang terpenting adalah pihak
pengelola masjid harus mampu menangkap kebutuhan masyarakat sekitar, sehingga
ini akan memberikan ruang dan peluang bagi pengembangan aktivitas ekonomi
masjid. Pada langkah selanjutnya, pihak masjid sebaiknya menggandeng mitra/
partner yang berasal dari lembaga keuangan syariah, baik institusi perbankan seperti
bank syariah dan BPRS syariah, maupun institusi nonbank seperti BMT (Bayt al-
Māl wa’l-Tamwīl). Hal ini sangat penting dilakukan, di samping sebagai syiar dan
dakwah, juga untuk menumbuhkan kesadaran berekonomi secara Islami bagi
masyarakat umum. Pihak masjid pun akan mendapatkan tambahan sumber
pembiayaan bagi kegiatan operasionalnya. Bagi pihak bank syariah ataupun BMT,

196
hal ini merupakan peluang dan kesempatan untuk memperluas pasar, dengan
menyerap segmen masyarakat sekitar masjid secara lebih optimal. Bahkan pihak
bank pun dapat membuka kantor cabang pembantu, atau kantor kas yang berlokasi
di sekitar masjid dengan tujuan untuk menjaring nasabah potensial. Ketiga,
memperkuat jaringan ekonomi dengan masjid lainnya. Pada era global dewasa ini,
salah satu sumber kekuatan bisnis adalah terletak pada kekuatan “jaringan” yang
dimiliki. Semakin luas jaringan, semakin kuat pula bisnis yang dimiliki. Karena
itulah, masjid harus memanfaatkan secara optimal potensi jaringan yang
dimilikinya. Jaringan merupakan salah satu sumber kekuatan umat yang harus
dikelola dengan baik, sehingga akan memiliki manfaat yang bersifat luas. Sebagai
contoh, dengan jaringan yang baik, maka Masjid A yang memiliki usaha untuk
menjual beras petani di sekitarnya, akan dapat memasarkan produknya kepada
Masjid B yang membutuhkan pasokan beras bagi kebutuhan masyarakat sekitarnya
yang bekerja, misalkan, pada sektor industri jasa.
Dengan pola seperti ini, maka dapat dipastikan sektor riil akan bergerak, dan
tingkat pengangguran pun dapat diminimalisasi. Karena pihak masjid dapat
mempekerjakan anggota masyarakat yang tidak mendapatkan pekerjaan. Penulis
berkeyakinan, apabila umat Islam memiliki komitmen yang kuat untuk
memberdayakan masjid sebagai pusat kegiatan perekonomian, maka berbagai
permasalahan yang terkait dengan rendahnya tingkat kesejahteraan umat akan dapat
diatasi. Bahkan, bukan tidak mungkin, hal ini akan menjadi sumber inspirasi bagi
kebangkitan umat Islam di seluruh bidang kehidupan. Secara garis besar bisa
dikatakan bahwa terkait dengan pemberdayaan ekonomi masjid adalah program
tahun ini adalah pengembangan ekonomi masjid dalam bentuk koperasi syariah
berbasis masjid yang representatif menjadi kekuatan ekonomi jamaah yang
melibatkan seluruh komponen masjid, para pengurus masjid, pengurus yayasan,
pengurus lembaga-lembaga pendidikan, serta unit-unit usaha yang telah ada dan
sekaligus penguatan basis ekonomi eksternal berupa pemberdayaan masyarakat.
Secara historis, masjid adalah fasilitas yang didirikan oleh, untuk dan
bersama masyarakat, terutama masyarakat. Kemajuan dan peningkatan mutu yang
dicapai masjid menjadi kemajuan dan peningkatan mutu yang dimiliki oleh jama’ah
dan masyarakat sekitarnya. Aset berupa institusi masjid yang menjadi milik

197
masyarakat Muslim Indonesia, terutama masyarakat sekitarnya, dengan lontaran
gagasan-gagasan dan konsep-konsep yang membangun negara Indonesia secara
makro sebagaimana dilakukan oleh para pengurus bersama jama’ah pada masa
sebelumnya, perlu dipertahankan dan bahkan dikembangkan menjadi sebuah pilot
project nasional. Kalau hari ini ada stigma yang apatis terhadap sumber daya
ekonomi masjid yang disertai dengan menurunnya aktivitas dalam beberapa segi,
terutama yang terkait erat dengan proses ekonomi masjid di dalamnya serta
munculnya polarisasi forum masyarakat dalam aspek sosial budaya, sosial politik,
sosial ekonomi dan keberagamaan, maka menjadi sebuah argumentasi penting
bahwa masjid dan masyarakat sekitarnya layak untuk dipilih sebagai dampingan
dalam program pemberdayaan tersebut. Persoalan yang mengemuka akhir-akhir ini
terkait dengan pemberdayaan lembaga ekonomi masjid yang representatif untuk
pengembangan ekonomi jama’ah, pada gilirannya bisa membawa kepada
kemunduran kedua belah pihak yang berjalan sendiri-sendiri.
Adanya masalah yang harus diselesaikan bersama, potensi yang dimiliki
dampingan, terutama ketersediaan sumber daya manusia pada masjid raya dan
masyarakat, sebagaimana telah diuraikan secara terperinci di dalam deskripsi
tentang kondisi dampingan pada saat ini, maka program pemberdayaan yang berupa
pemberdayaan ekonomi masjid yang disusun bersama untuk aksi dari riset
partisipatif yang dilakukan bersama menjadi signifikan untuk dilakukan. Hal lebih
jauh yang akan diharapkan, tentu tidak hanya sekedar munculnya progress dan
kemajuan bersama, namun juga penumbuhan kesadaran kritis bersama dengan
melibatkan local knowledge dan local genious dari komunitas masjid dan jama’ah
yang sudah mulai muncul. Banyak problem mismanajemen dalam memakmurkan
masjid yang terjadi saat ini. Salah satu penyebab terjadinya mismanajemen tersebut
adalah pengurus masjid (nāẓir masjid) yang tidak memiliki kapabilitas dan
berwawasan sempit dalam beragama. Padahal nāẓir masjid, khususnya yang
membidangi dakwah, sangat menentukan untuk kebangkitan kembali peradaban
Islam seperti masa lampau. Nāẓir masjid sangat menentukan maju-mundurnya umat
Islam. Nāẓir masjid yang berwawasan sempit yang memandang agama Islam
sebatas ibadah dan akidah hanya tertarik dengan kajian spiritual belaka, sehingga
mereka mengundang para ustaz yang ahli fiqih ibadah dan ahli teologi/ sufistik saja.

198
Nāẓir masjid sangat jarang (kalau tidak ingin mengatakan tidak pernah sama sekali)
memilih materi ekonomi Islam yang ruang lingkupnya sangat luas.
Padahal, mengkaji ekonomi syari’ah hukumnya wajib. Selama ini, materi
ceramah dalam dakwah dan pengajian rutin berkisar di seputar tauhid, tasawuf, fiqh,
keluarga sakinah, akhlak dan adapula yang secara khusus mengkaji tafsir atau hadis.
Namun sangat jarang membahas kajian muamalah (ekonomi Islam). Padahal
ekonomi Islam adalah bagian penting dari ajaran Islam. Masalah ekonomi adalah
masalah paling urgen (ḍarūrī). Para ulama masa lampau tidak pernah mengabaikan
kajian muamalah (ekonomi Islam). Hal itu bisa dibuktikan dalam kitab-kitab hasil
karya mereka. Ekonomi Islam bukan saja menjadi pilar dan rukun kemajuan Islam,
tetapi juga merupakan farḍu ’ain untuk diketahui setiap Muslim. Para nāẓir masjid
yang cerdas dan ingin akan kebangkitan Islam, akan menjadikan materi ekonomi
Islam sebagai salah satu materi kajian dalam pengajian agama di masjid, baik dalam
pengajian rutin atau tablīgh keagamaan maupun dalam khutbah jum’at.

Penutup
Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, konsep pemberdayaan ini menjadi
penting karena dapat memberikan perspektif positif terhadap orang yang lemah dan
miskin. Komunitas miskin tidak dipandang sebagai komunitas yang serba rentan dan
kekurangan (kurang pendapatan, kurang sehat, kurang pendidikan, kurang makan,
kurang dinamis dan lain-lain) dan hanya menjadi objek pasif penerima pelayanan,
melainkan sebuah komunitas yang memiliki beragam potensi dan kemampuan yang
dapat diberdayakan. Setelah kegiatan dilaksanakan, ternyata untuk menemukan format
pemberdayaan yang tepat nampaknya masih diperlukan adanya data yang yang lebih
konkret, karena format pendampingan yang dilaksanakan di setiap daerah bisa jadi tidak
akan sama.
Setiap daerah mempunyai kekhasan sendiri sehingga dibutuhkan adanya satu
kontekstualitas metode pemberdayaan masyarakat tradisinya berdasarkan kekhasan
tersebut. Berdasarkan realitas dan fakta di atas, maka penulis merekomendasikan bahwa
masjid harus kembali difungsikan untuk mencerdaskan umat melakui dakwah di bidang
muamalah yang selama ini jauh dari kajian-kajian umat Islam. Para nāẓir masjid
diharapkan melakukan paket-paket kajian muamalah maliyah (ekonomi Islam), agar

199
materi pengajian agama di masjid tidak pincang, (melulu ibadah maḥḍah, munākaḥat,
cerita pahala surga dan neraka secara sempit). Mengamalkan Islam bukan saja dari
aspek ibadah dan aqidah serta akhlak secara sempit, tetapi harus secara kāffah dan
komprehensif.
Daftar Pustaka

Cholil, Mufidah. Revitalisasi Fungsi Masjid Melalui POSDAYA dalam Prespektif Teori
Struktural. Malang: LP2M UIN MALIKI Malang, 2015.
Sumohadiningrat, Gunawan. Pembangunan Daerah dan Pengembangan Masyarakat.
Jakarta: Bina Rena Pariwara, 1997.
Sutarmadi, Ahmad. Visi, Misi, dan Langkah strategis; Pengurus Dewan Masjid
Indonesia dan Pengelola Masjid. Jakarta: Logos wacana Ilmu, 2002.
Qardhawi, Yusuf. Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan. Jakarta: Gema Insani Press,
1999.

200

You might also like