Article - Budaya Tahlilan Sebagai Media Dakwah

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 20

Prophetica : Scientific and Research Journal of

Islamic Communication and Broadcasting


Volume 5 Nomor 1 (2019) 1-20
https://jurnal.fdk.uinsgd.ac.id/index.php/prophetica

Budaya Tahlilan sebagai Media Dakwah


Eka Octalia Indah Librianti1, Zaenal Mukarom1, Imron Rosyidi2
1Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Program Pascasarjana,
UIN Sunan Gunung Djati, Bandung
2Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Dakwah dan Komunikasi,

UIN Sunan Gunung Djati, Bandung


3Jurusan Manajemen Dakwah, Fakultas Dakwah dan Komunikasi,

UIN Sunan Gunung Djati, Bandung


*Email : [email protected]

ABSTRACT
The purpose of this study was to determine the value of da'wah in the culture of tahlilan
among the Nahdliyin community, especially in the dissemination, socialization and
actualization of religious values in tahlilan. The method of this research uses the case
study method with a naturalistic approach because the object raised is the culture of
tahlilan that exists among the residents of Nahdliyin and the object which is the case in
this study will be examined and detailed and comprehensive. The results of this study are
tahlilan culture as one of the religious practices among the Nahdliyin community in essence
is the media of preaching in an effort to disseminate the aspects of the delivery of religious
messages, the addition of religious knowledge, teaching of religious knowledge and
strengthening religious values. The socialization in this result shows the inculcation of
religious values and the cultivation of religious values. Actualization of religious values
in this study shows the application of religious values to social and spirutal aspects. In
addition, tahlil also experienced expansion of functions so that tahlil is not only
synonymous with death but also in it there is a good habituation process and passed down
from generation to generation.
Keywords: Tahlilan Culture, Media, Da'wah

ABSTRAK
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui nilai dakwah yang ada dalam budaya
tahlilan dikalangan masyarakat nahdliyin khususnya pada diseminasi,
sosialisasi dan aktualisasi nilai agama dalam tahlilan. Adapun metode
penelitian ini menggunakan metode studi kasus dengan pendekatan
naturalistik karena objek yang diangkat adalah budaya tahlilan yang ada
dikalangan warga nahdliyin dan objek tersebut yang menjadi kasus pada
penelitian ini yang akan diteliti serta rinci dan komprehensif. Hasil dalam
Diterima: Januari 2019. Disetujui: April 2019. Dipublikasikan: Juni 2019 1
E.O.I. Librianti, Z. Mukarom, & I. Rosyidi

penelitian ini adalah budaya tahlilan sebagai salah satu praktek keagamaan
di kalangan masyarakat nahdliyin pada hakikatnya adalah media dakwah
dalam upaya proses diseminasi pada aspek penyampaian pesan agama,
penambahan pengetahuan ilmu agama, pengajaran ilmu agama dan
penguatan nilai-nilai agama. Sosialisasi dalam hasil ini menunjukkan adanya
penanaman nilai agama dan pembudayaan nilai agama. Aktualisasi nilai-nilai
agama dalam penelitian ini menunjukkan adanya penerapan nilai agama
pada aspek sosial dan aspek spirutal. Selain itu, tahlil juga mengalami
perluasan fungsi sehingga tahlil tidak hanya identik dengan kematian tapi
juga di dalamnya terdapat proses pembiasaan yang baik dan diwariskan
secara turun temurun.
Kata Kunci : Budaya Tahlilan, Media, Dakwah

PENDAHULUAN
Tradisi tahlilan yang memuat nilai-nilai keagamaan, menjadi salah satu
praktek keagamaan yang begitu khas di Indonesia. Tahlilan merupakan
ibadah ghairu mahdhah sekaligus praktek keagamaan yang sampai saat ini
masih terus dipraktekan oleh masyarakat Islam khususnya warga nahdliyin.
Sebagai agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat di Indonesia,
tentunya praktek ibadah tahlilan mejadikan karakteristik bagi warga nahdliyin
yang begitu adaptif terhadap budaya lokal.
Tradisi tahlilan merupakan suatu persinggungan antara Islam dan
budaya lokal. Dialog antara Islam dan budaya, sejatinya merupakan realitas
yang akan terus menerus menyertai agama ini. Aktualitas Islam dalam
sejarah, telah menjadikan Islam tidak dapat terlepas dari aspek lokalitas,
sehingga dengan karakteristiknya masing-masing akan menemukan benang
merah yang menyatukan dan memperkokoh yang kemudian akan
melahirkan nilai universal (tauhid) atau nilai-nilai keagamaan. Kemudia,
adanya dialektika antara Islam dan budaya lokal merupakan gambaran
bagaimana Islam yang merupakan ajaran normatif universal dari Tuhan
diakomodasikan dalam kebudayaan manusia tanpa kehilangan identitasnya.
(Susanto, 2008: 17).
Melihat adanya realitas tahlilan yang menjadi bagian dari budaya yang
telah melembaga dikalangan warga nahdliyin serta syarat dengan nilai-nilai
agama di dalamnya, maka Geertz mengungkapkan bahwa apa yang diyakini
dan diamalkan oleh masyarakat yang menjadi bagian dari agamanya, maka
itulah yang disebut sebagai agama bagian dari sistem budaya (Geertz, 1992:
47).
Menurut Madjid, pola budaya yang ada di masyarakat itu berkembang
berdasarkan agama sebagai dialog dinamis dan tidak terlepas dari lokalitas
dan hal-hal bersifat historis, menunjukkan bahwa budaya itu berakar dalam
2 Prophetica : Scientific and Research Journal of Islamic Communication and Broadcasting
Budaya Tahlilan sebagai Media Dakwah

agama, maka harus dinilai sebagai suatu yang selalu berkembang, tidak
statis, dan terus mengakar (Madjid, 1999:482). Maka suatu tradisi
keagamaan (tahlilan) itu merupakan unsur-unsur yang terbentuk dari hasil
interpretasi manusia dalam interaksinya, dengan sejarah dan juga unsur
budaya lainnya.
Tahlilan dikalangan warga nahdliyin sudah membudaya dan juga
melembaga. Pada awalnya tahlilan sebagai suatu prosesi untuk menghibur
orang yang sedang berduka dan dilakukan untuk mendoakan orang yang
telah meninggal dengan membaca do’a dan dzikir tertentu. Kegiatan tahlilan
ini dilaksanakan sebagai rangkaian kegiatan takziyah yang membawa nilai-
nilai luhur dalam mengembangkan nilai-nilai agama Islam. Hal ini sudah
bertahun-tahun lamanya menjadi suatu tradisi yang telah mengakar di
tengah-tengah masyarakat yang dilakukan mulai dari 3 hari, 7 hari, 40 hari,
100 hari, sampai 1000 hari, bahkan sampai 1 tahun yang kemudian dikenal
dengan istilah haul.
Tahlilan sebagai budaya keagamaan, dalam perspektif dakwah
merupakan satu tradisi yang bernilai Islami karena dalam prakteknya tradisi
tahlil begitu syarat dengan pesan moral dan tidak selalu identik dengan
kematian, seperti dalam rangka melaksanakan ibadah sosial dan sekaligus
sebagai salah satu wadah untuk berdzikir kepada Allah, tapi juga sebagai
proses tabligh (penyampaian), mau’izhah (pengajaran), washiyyah (nasihat),
dan tadzkirah (peringatan).
Tradisi tahlilan merupakan aktivitas keagamaan dan juga suatu bentuk
budaya agama yang sampai saat ini terus dilakukan oleh warga nahdliyin yang
tidak hanya mengandung nilai-nilai budaya, namun mengandung nilai-nilai
dakwah. Pada kacamata dakwah Islam, Menurut Khoeriyah, kebudayaan
manusia dapat dikatakan memiliki nilai dakwah jika kebudayaan tersebut
menjadi media penanaman nilai-nilai agama dan sebagai aktualisasi untuk
manusia tunduk dan beribadah kepada Allah (Khoriyah, 2011: 15).
Studi tentang tahlil ini mecoba menelaah terhadap salah satu produk
budaya bagi lahirnya konsep dakwah yang berpangkal dari budaya lokal
(tahlilan), serta mencoba mengkaji bagaimana tahlilan sebagai khazanah
budaya lokal memiliki dimensi dakwah yang dapat berjalan secara efektif
dan efisien sebagai proses dakwah di kalangan masyarakat khususnya warga
nahdliyin.
Mengenai penelitian budaya tahlil atau praktek keagamaan berbasis
kearifan lokal sudah ada yang melakukan, seperti penelitian yang dilakukan
Nur Khadiantoro (2011) Penerimaan Tradisi Tahlilan dalam kehidupan
sosial masyarakat Desa Sokaraja Lor Banyumas. Hasil dari penelitian
tersebut menunjukan bahwa tahlilan memiliki penilaian positif, berupa
mampu meningkatkan hubungan masyarakat dan sedangkan secara batin
mampu meningkatkan keimanan. Penelitian lainnya seperti yang dilakukan
Volume 5 Nomor 1 (2019) 1-20 3
E.O.I. Librianti, Z. Mukarom, & I. Rosyidi

oleh Undang Nugraha (2013) tentang tahlilan di Desa Sindangbarang


Kecamatan Panumbangan Kabupaten Ciamis dan implikasinya terhadap
pendidikan Islam. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa tahlilan bagi
masyarakat setempat melaksanakannya merupakan bagian dari syari’at
Islam. Sedangkan nilai yang terkandung terdiri dari nilai aqidah, ibadah,
nilai, nilai shadaqah, nilai sosial dan nilai pendidikan. Sedangkan penelitian
lainnya adalah A. Mufti Khozin (2013) tentang persepsi masyarakat tentang
jamuan tahlilan di Desa Rombiya Barat Gending Sumenep. Hasil
penelitiannya adalah jamuan yang disuguhkan dalam tradisi tahlilan adalah
bagian dari sedekah atas nama almarhum yang kemudian jamuan tersebut
disuguhkan dengan maksud berbuat baik yang pahalanya ditujukan kepada
almarhum. Serta adanya social engineering atau rekayasa sosial dilakukan untuk
melakukan perubahan dan memberikan edukasi yang baik dan benar untuk
masyarakat. Adapun persamaan penelitan yang sudah dilakukan adalah
terletak pada tradisi tahlilannya dan perbedaannya adalah penelitian yang
sudah dilakukan membedah tahlil melalui perspektif pendidikan, psikologi
dan sosiologi sedangkan penelitian yang dilakukan ini membedah tahlil
melalui perspektif dakwah.
Lokasi penelitian ini bertempat di Kelurahan Cipadung, Kecamatan
Cibiru Kota Bandung. Adapun yang menjadi subjek dalam penelitian ini
adalah masyarakat nahdliyin yang ada di Kelurahan Cipadung. Key
Informan dalam penelitian ini adalah tokoh agama di Kelurahan Cipadung
yang memiliki pengetahuan akan ilmu keagamaan serta tokoh masyarakat
yang memiliki pengetahuan akan kondisi sosial masyarakat.
Adapun tujuan pada penelitian ini adalah untuk menganalisis
bagaimana tahlilan memiliki fungsi sebagai diseminasi nilai agama,
sosialisasi nilai agama dan aktualisasi nilai agama pada masyarakat nahdliyin
di Kelurahan Cipadung.
Penelitian ini menggunakan paradigma subjektif dengan asumsi bahwa
untuk memperoleh pemahaman mendalam, maka subjektivitas harus digali
sedalam mungkin. Seperti dalam tradisi tahlilan, berusaha menggali tentang
bagaimana ritual tahlilan bukan hanya semata budaya yang mengakar
dikalangan warga nahdliyin, melainkan segala aktivitas keagamaan yang ada
di masyarakat, pada dasarnya memiliki unsur dakwah. Metode yang
digunakan adalah studi kasus karena studi kasus menempatkan objek
penelitian sebagai kasus yang harus diteliti secara menyeluruh. Maka dalam
hal ini objek yang diangkat adalah budaya tahlilan yang ada dikalangan warga
nahdliyin. Objek itulah yang menjadi kasus pada penelitian ini yang akan
diteliti serta rinci dan komprehensif. Serta menggunakan pendekatan
naturalistik karena Pendekatan naturalistik ini berupa mengungkapkan dan
menjelaskan segala sesuatu yang berkaitan dengan objek yang diteliti
(budaya tahlilan) pada kondisi yang sebenarnya atau sebagaimana adanya,
4 Prophetica : Scientific and Research Journal of Islamic Communication and Broadcasting
Budaya Tahlilan sebagai Media Dakwah

dalam situasi normal dan tidak dimanipulasi keadaan dan kondisinya


(Kunto, 2006: 12). Hal tersebut sesuai dengan objek yang diteliti,
bahwasanya budaya tahlilan yang dipraktikkan oleh warga nahdliyin selama
ini sejatinya sudah terbentuk sejak lama karena adanya faktor budaya yang
melatar belakanginya, sehingga ritual tersebut masih sangat begitu melekat
di masyarakat hingga saat ini.

LANDASAN TEORITIS
Tradisi tahlilan merupakan aktivitas keagamaan dan juga suatu bentuk
budaya agama yang sampai saat ini terus dilakukan oleh warga nahdliyin yang
tidak hanya mengandung nilai-nilai budaya, namun mengandung nilai-nilai
dakwah. Pada kacamata dakwah Islam, Menurut Khoeriyah, kebudayaan
manusia dapat dikatakan memiliki nilai dakwah jika kebudayaan tersebut
menjadi media penanaman nilai-nilai agama dan sebagai aktualisasi untuk
manusia tunduk dan beribadah kepada Allah (Khoriyah, 2011: 15). Sebagai
praktek keagamaan dan realitas budaya lokal tahlil memiliki relasi dengan
dakwah sebagai diseminasi nilai agama, sosialisasi nilai agama dan aktualisasi
nilai agama.
Diseminasi secara umum dapat didefinisikan berupa suatu proses
yang ditujukan kepada individu maupun kelompok agar masyarakat
memperoleh informasi dan mereka dapat menerima informasi tersebut
sehingga timbul kesadaran. Istilah umumnya yang sering digunakan sebagai
sinomin adalah “penyebaran” (Wilson,dkk,2010: 89). Atas dasar pengertian
tersebut dalam kaitannya dengan dakwah diseminasi dapat diartikan sebagai
penyebar luasan nilai-nilai agama Islam pada masyarakat.
Proses diseminasi adalah penyebaran informasi yang cukup
sederhana karena hanya mengkomunikasikan suatu pesan kepada
masyarakat. Adapun tujuan diseminasi itu sendiri adalah masyarakat dapat
memanfaatkan pengetahuan yang mereka dapat karena adanya penyebaran
informasi (Farkas, 2015: 48). Pengetahuan atau informasi begitu indentik
dengan pemanfaatan informasi tersebut. Maka tujuan akhir dari proses
diseminasi ini adalah masyarakat bukan hanya menerima suatu informasi
tapi mereka dapat memanfaatkan informasi yang mereka dapatkan.
Sedangkan diseminasi nilai menurut Muflihin adalah tindak inovasi
yang disusun dan disebarkan berdasarkan suatu perencanaan yang matang
dengan pandangan menuju kebaikan melalui forum yang diprogramkan
(Muflihin, 2018: 17). Jika ditinjau melalui kacamata dakwah maka proses
disemenasi bisa diartikan sebagai proses penyebaran nilai-nilai Islam yang
direncanakan, diarahkan, dan dikelola secara terencana.
Adapun tahapan proses diseminasi agar manusia dapat mendalami
dan menghayati nilai-nilai utama, setidaknya ada tiga tahap, yakni: tahap

Volume 5 Nomor 1 (2019) 1-20 5


E.O.I. Librianti, Z. Mukarom, & I. Rosyidi

penyebaran informasi, tahap penambahan pengetahuan dan tahap


penguatan (Muflihin, 2018: 19).
Adapun definisi sosialisasi secara umum adalah suatu proses
penanaman atau transfer kebiasaan atau nilai agar masyarakat mendapat dan
memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan membentuk watak dari satu
generasi ke generasi lainnya secara turun temurun dalam kelompok
masyarakat (Rachmiatie,dkk, 2007: 123). Jika Islam ditinjau melalui
pendekatan budaya, maka Berger dan Chaffec mengungkapkan
sebagaimana dikutip oleh Rachmiati,dkk menyatakan bahwa:
“Sosialiasasi merujuk antara hubungan langsung pada transmisi
informasi, norma, nilai, keterampilan serta kemampuan orang untuk
tetap hidup dalam situasi sosial. Sebagaimana komitmen masyarakat
terhadap Islam dalam proses sosialisasi itu berlangsung, maka
Dakwah Islam memiliki peranan yang begitu urgen” (Rachmiatie,dkk,
2007: 124).
Sosialisasi ini memiki fungsi sebagai proses belajar yang dialami oleh
seseorang untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai dan
norma-norma agar dapat berpartisipasi dalam anggota masyarakat
(Rachmiatie,dkk, 2007:125). Maka jika ditinjau dalam kacamata dakwah,
proses sosialisasi ini merupakan proses pembelajaran ataupun proses
penanaman nilai-nilai agama dan adanya suatu interaksi sosial yang
berlangsung secara kontinyu secara turun temurun dimana orang-orang
berperan mentransmisikan nilai-nilai atau norma-norma Islam.
Salah satu tujuan mendasar dari proses sosialisi nilai agama ini adalah
sebagai sarana untuk menanamkan nilai-nilai dari generasi ke generasi pada
masyarakat. Nilai-nilai yang dimaksud adalah nilai-nilai agama Islam baik
dalam bentuk aqidah, ibadah, muamalah ataupun akhlak. Maka disinilah
peran sosialisasi nilai agama untuk masyarakat yang bertujuan untuk
membina masyarakat serta menanamkan nilai agama.
Adapun tahapan proses sosialisasi nilai-nilai agama dilihat melalui
beberapa tahapan yakni sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder
(Kurlillah, 2015: 7). Sosialisasi primer adalah proses sosialisasi yang terjadi
dalam keluarga. Pada konteks penelitian ini sosialisasi primer adalah proses
penanaman nilai-nilai agama sebelum seseorang masuk ke dalam dan
menjadi bagian dari masyarakat. Penanaman nilai-nilai agama ini biasa
dimulai sejak kecil. Sosialisasi sekunder adalah proses sosialisasi atau
penanaman nilai-nilai agama yang terjadi di luar lingkungan keluarga. Proses
ini akan berdampak pada suatu pembudayaan nilai-nilai agama secara
berkelompok di dalam masyarakat. Hakikatnya dalam proses ini seseorang
mulai berbaur pada kelompok dalam masyarakat.
Dakwah Islam merupakan aktualisasi imani yang dimanifestasikan
dalam suatu sistem kegiatan manusia beriman, dalam bidang
6 Prophetica : Scientific and Research Journal of Islamic Communication and Broadcasting
Budaya Tahlilan sebagai Media Dakwah

kemasyarakatan yang dilaksanakan secara teratur, untuk mempengaruhi


cara merasa, berfikir, bersikap dan bertindak, pada dataran kenyataan
individu dan sosio kultural dalam rangka mengusahakan terwujudnya ajaran
Islam dalam semua segi kehidupan manusia, dengan menggunakan cara-
cara tertentu (Haidhuddin, 1998: 67). Maka aktualisasi nilai-nilai Islam dapat
dipahami sebagai suatu penjabaran nilai-nilai Islam dan merealisasikan nilai-
nilai tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari baik secara individual maupun
kelompok.
Dakwah Islam dan ajaran nilai-nilai agama diperlukan sebagai
kekuatan penyeimbang dan mampu menjadi solusi di tengah-tengah
kehidupan masyarakat. Senada dengan yang dikatakan oleh Santika, bahwa
semua itu bisa dilihat dengan adanya: 1) implikasi nilai-nilai agama dalam
kehidupan masyarakat sehingga membentuk masyarakat yang religius, serta
umat bergairah dalam melaksanakan ajaran agamanya; 2) Aktualisasi nilai
agama dalam kehidupan masyarakat, dapat ditandai juga dengan adanya
kegiatan keagamaan dalam rangka mempererat solidaritas sosial, bukan
hanya tercermin secara fisikal, namun jauh lebih dari itu sampai kepada
persoalan substansial (Santika, 1997: 67).
Aktualisasi nilai-nilai Islam dalam tahlilan merupakan sistem dakwah
yang memiliki fungsi: 1) menanamkan nilai-nilai persamaan, persatuan,
perdamaian, dan kebaikan. Hal ini karena dalam tradisi tahlil memuat aspek
sosial yang dapat mempererat hubungan sosial antara masyarakat; 2) sebagai
inti penggerak perkembangan masyarakat, dalam rangka merealisasi sistem
budaya yang mengakar pada dimensi spiritual yang merupakan dasar
ekspresi aqidah. Tahlilan merupakan salah satu bentuk budaya kegamaan
yang praktek keagamaan ini begitu khas dilakukan oleh warga nahdliyin,
dalam rangka memenuhi kebutuhan baik kebutuhan sosial maupun
kebutuhan spiritual.
Fenomena tahlilan yang ada di tengah-tengah masyarakat nahdliyin
tersebut merupakan ritual budaya masyarakat Islam yang telah berakulturasi
dengan budaya lokal. Tahlilan juga merupakan ritus keagamaan yang khas
di Indonesia dan tradisi ini masih terus dilestarikan oleh masyarakat
khususnya warga nahdliyin, sehingga warga nahdliyin lebih dikenal adaptif
terhadap budaya. Hal tersebut bisa menjadi bukti bahwa pengaruh budaya
terhadap kehidupan keagamaan bisa dijumpai dalam berbagai ritual di
masyarakat.
Melalui kearifan lokal, dakwah penyebaran Islam di Indonesia telah
menunjukan akomodasi yang kuat terhadap tradisi lokal masyarakat
setempat, sehingga tradisi tersebut dapat dijadikan sebagai media untuk
melakukan dakwah Islam. Dakwah senantiasa berkembang sesuai dengan
ritme perkembangan zaman dan kebudayaan yang menyertainya. Hal
tersebut karena dakwah bukan hanya memiliki peran di kancah global,
Volume 5 Nomor 1 (2019) 1-20 7
E.O.I. Librianti, Z. Mukarom, & I. Rosyidi

melainkan harus tetap berpijak kepada kepentingan-kepentingan lokal.


Kedua gerakan dakwah ini harus berjalan sinergis dan kohesif untuk
menghasilkan dakwah yang efektif dan efisien (Sarbini, 2011: 292).
Melalui adanya proses akulturasi antara budaya dan agama inilah
dapat melahirkan ragam mozaik tradisi keagamaan (tahlilan). Dalam
perspektif ini tradisi keagamaan merupakan penjelmaan dari sistem budaya
suatu masyarakat muslim, karena fungsi agama telah diterima secara umum
dari sudut pandang sosiologis.
Sedangkan media dakwah sendiri merupakan Media dakwah dapat
diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alat untuk
mencapai tujuan dakwah yang telah ditentukan (Syukir, 2001:163). Media
dakwah ini dapat berupa material, orang, tempat, kondisi tertentu (budaya),
dan lain sebagainya. Maka bila ditinjau melalui perspekti dakwah, media
dakwah adalah alat yang bersifat objektif yang bisa menjadi saluran untuk
menghubungkan ide dengan umat, suatu elemen yang vital dan merupakan
urat nadi dalam proses dakwah yang keberadaannya sangat penting dalam
menentukan perjalanan dakwah (Sukayat, 2015:27).
Media dakwah juga merupakan suatu sistem, bukan hanya memiliki
peran sebagai alat bantu dakwah, namun media dakwah memiliki peranan
atau kedudukan yang sama dengan komponen dakwah lainnya. Maka media
dakwah memiliki peran yang begitu penting dalam kegiatan dakwah, karena
media dakwah ini mencakup seluruh aktivitas dakwah baik sifatnya
sementara atau sederhana.
Maka dalam hal ini tahlilan merupakan praktek keagamaan yang
menjadikan kultur atau budaya sebagai media dakwah dalam menyebarkan
nilai-nilai agama kepada masyarakat. Hal tersebut karena dalam budaya
tahlilan tidak hanya dibentuk oleh faktor budaya masyarakat, melainkan
dalam tahlilan begitu syarat akan nilai dakwah.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Tahlilan merupakan kegiatan atau praktek keagamaan yang telah menjadi
tradisi di Kelurahan Cipadung secara turun temurun. Tradisi ini pada
dasarnya menjadi media untuk mengirim do’a bagi orang yang telah
meninggal. Namun pada hakikatnya tradisi ini bukan hanya menjadi sarana
untuk mengirim do’a kepada orang yang telah meninggal, namun tradisi ini
juga dapat menjadi media dakwah untuk masyarakat.
Berdasarkan Hasil wawancara kepada tokoh agama di Kelurahan
Cipadung, menyatakan bahwa tahlilan pada dasarnya bukan hanya sekedar
melestarikan suatu tradisi, namun pada dasarnya tahlilan merupakan media
untuk taklim dan juga sebagai media untuk melakukan aktivitas dakwah.
Pada tradisi tahlilan ini begitu syarat dalam menyebarkan serta menanamkan

8 Prophetica : Scientific and Research Journal of Islamic Communication and Broadcasting


Budaya Tahlilan sebagai Media Dakwah

nilai-nilai agama kepada masyarakat dalam menyampaikan pesan dakwah


Islam. Melalui tradisi tahlilan ini, ketika budaya atau praktek keagamaan
tersebut mampu menjadi media untuk menyebarkan nilai agama,
menanamkan nilai agama dan pada akhirnya mampu merubah sikap
masyarakat ke arah yang lebih baik, maka tradisi tersebut dapat dijadikan
sebagai media dalam dakwah. Dalam hasil penelitian ini ternyata budaya
tahlilan bukan hanya sebatas menjaga atau melestarikan suatu tradisi, tapi
juga budaya ini begitu syarat akan nilai dakwah di dalamnya.
Tahlilan merupakan praktek keagamaan yang di dalamnya terdapat
nilai-nilai agama Islam. Nilai agama yang terkandung dalam tahlilan
merupakan nilai agama yang berkaitan pada aspek ibadah, aspek aqidah dan
juga aspek akhlak. Adapun aspek aqidah dalam tahlilan berupa adanya
keyakinan masyarakat nahdliyin bahwa tahlilan merupakan ajaran yang
berpahamkan akan aqidah ahlusunnah wal jama’ah. Kedua adalah nilai ibadah,
nilai ibadah disini berupa ibadah dzikir, membaca Al-Qur’an, dan berdo’a
kepada Allah. Ketiga adalah nilai akhlak, akhlak yang dimaksud disini akhlak
sesama manusia berupa adanya rasa saling perduli terhadap tetangga, saling
menjaga tali silaturrahmi, dan saling membantu terhadap sesama.
Sedangkan akhlak kepada Allah berupa adanya rasa ikhlas, rasa sabar dan
menerima segala ketetapan Allah.

Diseminasi Nilai Agama dalam Tahlilan


Ada empat aspek dalam diseminasi nilai agama pada tradisi tahlilan. Seperti
adanya penyampaian pesan agama, penambahan pengetahuan ilmu agama,
pengajaran ilmu agama dan penguatan nilai-nilai agama Islam. Keempat
aspek tersebut merupakan proses diseminasi nilai agama yang ada dalam
tradisi tahlilan.
Mengacu pada pendapat Rais bahwa adanya penyampaian
informasi, penambahan pengetahuan dan penguatan nilai merupakan
bagian dari proses internalisasi yang kemudian pada tahapannya disebut
sebagai tahap transormasi, tahap transaksi dan tahap traninteranalisasi (Rais,
2012: 9). Adanya internalisasi nilai agama tersebut merupakan salah satu
praktik bahwa nilai-nilai ajaran Islam mampu dikenal, dipahami dan juga
dapat dihayati oleh masyarakat.
Pada tradisi tahlilan di Kelurahan Cipadung, hal yang biasa
dilakukan sebelum acara tahlilan di mulai adalah adanya ceramah agama
yang disampaikan oleh orang yang dipercaya memiliki pengetahuan ilmu
agama atau tokoh agama. Seperti yang yang disampaikan oleh H.
Burhanudin selaku tokoh agama di Kelurahan Cipadung, baginya tahlilan
Volume 5 Nomor 1 (2019) 1-20 9
E.O.I. Librianti, Z. Mukarom, & I. Rosyidi

menjadi media yang paling efektif untuk menyampaikan pesan-pesan agama


pada masyarakat. Masyarakat Cipadung terkhusus laki-lakinya lebih antusias
untuk datang ke acara tahlilan dari pada acara pengajian rutin.
“Sebenarnya lebih efektif menyampaikan pesan agama kepada masyarakat
melalui tahlilan, karena biasa masyarakat begitu antusias datang ke acara ini.
Maka dengan begitu bagi saya masyarakat harus disajikan oleh pesan-pesan
agama meski dalam konteks acara tahlilan, karena jika tidak dengan moment
seperti ini masyarakat sulit untuk bisa mendengarkan pesan agama atau
tausyiah.” (Wawancara 2018 April 2019).
Pada tataran empirik, praktik dakwah yang sesungguhnya setidaknya
mengandung tiga unsur yang di dalamnya terdapat penyampaian pesan,
informasi yang disampaikan, dan penerima pesan. (Khoriyah, 2011: 13). Jika
dikaitkan pada konteks tahlilan, pada dasarnya dalam tahlilan didapati
adanya penyampaian pesan-pesan agama yang disampaikan oleh para
Ustadz atau tokoh agama, informasi atau pesan yang disampaikan berupa
informasi akan nilai-nilai agama yang mencakup aspek aqidah, aspek ibadah
dan juga aspek akhlak, serta adanya masyarakat yang ikut tahlilan yang
menjadi objek dalam proses dakwah pada tradisi tahlilan.
Pada dasarnya, bahwa penyampaian pesan agama merupakan
substansi dakwah. Adanya penyampaian nilai agama memiliki tujuan supaya
orang mengerti dan memahami isi dari pesan yang disampaikan. Maka
dengan demikian, suatu kegiatan dakwah adalah adanya proses
penyampaian pesan dakwah dan kaidah ajaran Islam kepada masyarakat.
(Farihah, 2013: 29).
Adanya suatu penyebaran pesan agama Islam kepada masyarakat,
proses tersebut disebut sebagai tahap transformasi nilai. Tahap tersebut
merupakan proses yang dilakukan komunikator dalam menginformasikan
suatu pesan yang terjadi secara verbal (Rais, 2012: 10). Pesan tersebut dalam
konteks penelitian disampaikan oleh tokoh agama dengan tujuan agar
masyarakat menerima segala informasi yang berkaitan dengan nilai-nilai
agama sehingga tahlilan bukan hanya dijadikan sebagai media untuk berdo’a
namun tahlilan dapat dijadikan sebagai media untuk taklim.
Selain itu, bagi H. Burhanudin menyatakan bahwasannya dakwah
melalui pesan verbal dirasa kurang cukup bila hanya sekedar mentransfer
ilmu. Mentransfer ilmu hanya sebatas memindah pengetahuan semata
namun dirasa belum sampai kepada penguatan akan nilai agama Islam.
Masyarakat masih butuh dorongan dan dibina agar mampu menerapkan
nilai-nilai agama Islam yang telah disampaikan dan diajarkan.
“...jika kita hanya berceramah saja ibarat kata itu kan hanya memindahkan
ilmu saja namun belum bisa dipastikan bahwa masyarakat merasa tergugah
untuk menjalankan apa yang kita sampai. Maka hal yang diperlukan adalah
saya sebagai orang yang dianggap oleh masyarakat sini sebagai tokoh agama
10 Prophetica : Scientific and Research Journal of Islamic Communication and Broadcasting
Budaya Tahlilan sebagai Media Dakwah

dan juga tokoh masyarkat harus mampu memberikan motivasi bagi


masyarakat agar mereka mau menjalankan apa yang saya sampaikan.
Motivasi itu macam-macam ya, ada yang berupa lisan ada juga yang berupa
perbuatan” (Wawancara 28 April 2019).
Motivasi akan pesan keagamaan ini biasa dilakukan dengan banyak
cara. Berupa penyesuaian bahasa sehingga masyarakat bisa menangkap akan
pesan agama, tidak menyinggung perasaan orang lain, dan memotivasi
masyarakat agar semangat dalam menjalani aktivitas keagamaan. Melihat
dari latar belakang masyarakat yang begitu plural, tahlilan di Cipadung tidak
hanya diikuti oleh masyarakat yang memiliki latar belakang NU. Namun ada
beberapa masyarakat yang berlatar belakang dari Muhammadiyah dan
Persatuan Islam sehingga tokoh agama berusaha untuk menjadi penengah
agar tidak menyinggung mengenai perbedaan akan hal-hal yang bersifat
furu’iyah.
Adanya penguatan nilai agama berupa yang dilakukan dalam bentuk
verbal maupun non verbal dalam tradisi tahlilan. Proses tersebut disebut
juga sebagai tahapan transinternalisasi. Tahap tersebut jauh lebih dalam dari
tahapan sebelumnya. Tahap ini tidak hanya dilakukan secara verbal namun
juga non verbal yang melibatkan mental dan kepribadian. Sehingga
komunikan mendapatkan suatu penguatan akan nilai yang telah disebarkan
(Rais, 2012: 10). Jika dikaitkan dalam konteks penelitian ini, penguatan
nilai agama lebih dilakukan oleh tokoh agama dengan tujuan agar
masyarakat mendapatkan suatu penguatan dan motivasi dari tokoh agama
baik secara verbal maupun non verbal. Sehingga nilai-nilai agama yang
disebarkan dapat difahami dan dihayati oleh masyarakat.
Setelah dikonfirmasi kepada masyarakat di Kelurahan Cipadung,
mereka menyadari bahwa tahlilan merupakan media untuk mereka
mendapatkan ilmu agama karena di dalamnya begitu syarat akan pengajaran
tentang agama Islam. Tahlilan bagi masyarakat nahdliyin menjadi salah satu
wadah untuk menyebarkan nilai-nilai kebaikan. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh M. Darussalam baginya tradisi tahlilan ini begitu syarat
akan nilai kebaikan.
“Bagi saya pribadi, dalam tahlilan ini dapat menjadikan wadah untuk
mengajarkan akan kebaikan. Jadi bagi saya tahlilan ini menjadi tradisi yang
begitu syarat akan hal-hal kebaikan, baik berupa peringatan kepada yang
masih hidup untuk saya belajar agama Islam. Kalau sudah tua begini ya
tempat belajar kami ada di forum-forum seperti itu” (Wawancara 28 April
2019).
Selain itu masyarakat menjelaskan adanya penambahan
pengetahuan nilai agama yang didapat oleh masyarakat nahdliyin di
Kelurahan Cipadung dalam tradisi tahlilan. Masyarakat nahdliyin meyakini
bahwasanya tahlilan bagi mereka dapat memberikan akan pemahaman nilai-
Volume 5 Nomor 1 (2019) 1-20 11
E.O.I. Librianti, Z. Mukarom, & I. Rosyidi

nilai agama kepada masyarakat berupa penambahan wawasan akan ilmu


agama.
Masyarakat mengakui bahwa dengan tahlilan ini mereka
mendapatkan penambahan pengetahuan dan pembelajaran untuk
mengingat kematian. Seperti yang diungkapkan oleh Suhandi:
“Jika diibaratkan orang yang meninggal itu seperti orang yang terjerumus
dalam lautan, maka harus ditolong dengan cara mengadakan tahlilan dan do’a
bersama. Selain itu, pembelajaran yang didapatkan adalah nasihat untuk yang
masih hidup agar ingat kematian. Itulah pembelajaran yang saya didapat
dalam tahlilan selain berkumpul dan berdo’a.” (Wawancara 30 April
2019).
Dapat dikatakan bahwa tahlilan pada dasarnya bukan hanya sebatas
ritual keagamaan untuk mendo’akan orang yang telah wafat. Pada ritual
tahlilan di dalamnya terdapat aktivitas dakwah berupa adanya penyampaian
pesan agama, adanya pengajaran ilmu agama, adanya penambahan
pengetahuan ilmu agama, dan adanya penguatan akan nilai agama Islam.
Keempat aspek di atas hakikatnya merupakan bagian dari proses
diseminasi nilai-nilai agama Islam dalam tradisi tahlilan. Proses diseminasi
nilai agama merupakan bentuk penyebaran informasi ataupun pesan agama
yang dilakukan secara bertahap kepada masyarakat. Melalui proses ini maka
disini dapat disimpulkan bahwa adanya suatu upaya akan internalisasi nilai
agama pada masyarakat. Internalisasi sendiri dapat diartikan sebagai proses
penghayatan, pendalaman melalui binaan dalam menyesuaikan keyakinan
akan nilai, sikap pada diri seseorang (Hanum, dkk, 2018: 129). Jika dikaitkan
dalam konteks penelitian ini, adanya internalisasi nilai-nilai agama karena
dalam tahlil ditemukan adanya upaya untuk memasukkan nilai-nilai agama
Islam pada masyarakat nahdliyin.
Tradisi tahlilan sebagai ritual keagamaan menjadi media dalam
menginternalisasikan nilai-nilai keagamaan. Selain itu, tahlilan juga memiliki
perluasan fungsi. Jika dalam teori diseminasi dikatakan bahwa tahlil menjadi
media untuk menyebarkan pesan agama Islam, menambah pengetahuan
ilmu agama, dan penguatan akan ilmu agama. Pada realitanya tahlilan bukan
hanya berfungsi untuk ketiga aspek tersebut, melaikan tahlilan mengalami
perluasan fungsi berupa adanya pengajaran akan ilmu agama, sehingga
tahlilan menjadi salah satu praktek keagamaan yang berfungsi untuk
menginternalisasikan nilai-nilai agama Islam kepada masyarakat khususnya
masyarakat nahdliyin.

Sosialisasi Nilai Agama dalam Tahlilan


Ada dua aspek yang terdapat dalam sosialisasi nilai agama pada tradisi
tahlilan, yakni adanya penanaman nilai agama dan juga pembudayaan nilai-
12 Prophetica : Scientific and Research Journal of Islamic Communication and Broadcasting
Budaya Tahlilan sebagai Media Dakwah

nilai agama. Kedua aspek tersebut merupakan pengaruh adanya kebudayaan


(tahlilan) secara turun temurun diwarisi oleh masyarakat nahdliyin yang
diawali dari lingkungan keluarga hingga lingkungan sosial.
Masyarakat nahdliyin meyakini bahwa tradisi tahlilan memiliki nilai-
nilai kebaikan yang mereka warisi dari orang tua atau lingkungan keluarga
mereka. Hal tersebut dikarenakan bahwa tahlilan merupakan suatu aktivitas
keagamaan yang sudah membudaya bagi mereka, sehingga tradisi ini secara
turun temurun dilakukan oleh masyarakat nahdliyin.
Tradisi tahlilan hingga saat ini masih tetap lestari hal tersebut
dikarenakan masyarakat nahdliyin memiliki prinsip yang berbunyi “Al-
Muhafadzatu ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah” yakni
mempertahankan kebaikan warisan masa lalu dan mengkreasi hal baru yang
lebih baik atau dengan kata lain adalah memelihara tradisi dan
mengembangkan inovasi.
“Prinsip Al-Muhafadzatu ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid
al-ashlah merupakan suatu prinsip yang sakral bagi NU. Intinya dalam NU
memiliki pemahaman bahwa tidak semua tradisi atau budaya yang ada dalam
masyarakat adalah suatu hal yang tidak baik. Masyarakat yang memang
memiliki latar belakang dengan pemahaman NU sudah meyakini bahwa
tradisi tahlilan adalah salah satu tradisi yang harus dipertahankan”
(Wawancara 28 April 2019).
Masyarakat nahdliyin menjadikan tahlilan sebagai penanaman nilai
agama karena isinya adalah nilai-nilai kebaikan, baik kebaikan kepada
sesama maupun kebaikan untuk meningkatkan ibadah. Adanya partisipasi
masyarakat terhadap aktivitas agama dalam tahlilan masih begitu antusias,
dan itu merupakan tradisi yang masih tetap lestari dan membudaya hingga
saat ini. Kultur yang begitu kuat dengan adanya tradisi keagamaan seperti
ini dan dengan kuatnya kultur tersebut pasti akan mempengaruhi sikap dan
perilaku masyarakat, terutama dalam sikap untuk berbuat kebaikan terhadap
sesama. Seperti yang disampaikan oleh H. Rojali:
“tahlilan bagi saya memberikan pembelajaran untuk generasi penerus, dan
disitu ada estafet penerus agar tradisi ini terus berjalan demi memberikan
pelajaran kepada anak turunan. Sehingga nanti ketika mereka tinggal
dilingkungan sosial, mereka sudah terbiasa menjalankan tradisi ini”.
(Wawancara 29 April 2019)
Pada tradisi tahlilan terdapat proses penanaman nilai agama dan juga
pembudayaan nilai agama bagi masyarakat nahdliyin. Hal tersebut dapat
terlihat dari adanya keyakinan masyarakat bahwa tahlilan memiliki sejumlah
nilai positif yang diwarisi oleh orang tua terdahulu sehingga tradisi ini harus
tetap dipertahankan.
Bagi masyarakat nahdliyin tradisi tahlilan ini syarat akan penanaman
nilai agama karena disitu adanya sesuatu yang menyadarkan mereka akan
Volume 5 Nomor 1 (2019) 1-20 13
E.O.I. Librianti, Z. Mukarom, & I. Rosyidi

nilai-nilai kebaikan yang diajarkan oleh agama melalui lingkungan mereka.


Disini adanya suatu proses penanaman nilai agama sehingga menimbulkan
keyakinan bagi mereka bahwa kebudayaan seperti ini yang memiliki nilai
kebaikan dan mengajarkan kebaikan harus tetap dipertahankan. Selain itu
hal yang utama dari proses penanaman nilai agama ini adalah mereka dapat
mengamalkan nilai kebaikan tersebut dalam mengasah spiritual dan juga
kehidupan sosial.
Melalui adanya proses sosialisasi nilai agama dapat disimpulkan
bahwa pada tahap ini ditemukan adanya suatu pewarisan akan nilai-nilai
agama secara turun temurun yang diterima oleh masyarakat nahdliyin yang
dimulai dari lingkungan keluarga hingga lingkungan sosial atau masyarakat.
Hal ini menunjukkan bahwa tahlilan menjadi suatu tradisi yang kemudia
menjadi pola hidup yang bernilai bagi masyarakat. Jika dikaitkan dalam
penelitian ini, pewarisan nilai agama dalam konteks ini merupakan proses
alamiah kebudayaan yang terjadi pada masyarakat untuk tetap
mempertahankan nilai-nilai agama yang diwarisi berdasarkan latar belakang
kebudayaan yang begitu kuat baik dari lingkungan keluarga maupun dari
lingkungan masyarakat, khususnya masyarakat nahdliyin di Kelurahan
Cipadung.
Mengacu pada pendapat Rohidi bahwa pewarisan nilai pada
dasarnya dilakukan melalui proses penanaman nilai dan pembudayaan
(Rohidi, 2016: 28). Pada dasarnya sosialisasi nilai agama di dalamnya
membahas akan aspek penanaman nilai agama dan aspek pembudayaan
akan nilai agama. Maka berkaitan dengan pewarisan akan nilai agama dalam
tahlilan merupakan suatu upaya pelestarian aktivitas atau ritual keagamaan
untuk tetap mempertahankan apa yang telah diwarisi dari generasi ke
generasi agar tradisi tersebut bukan hanya tetap hidup namun tetap tumbuh.
Pewarisan nilai agama dalam konteks ini merupakan proses yang
diawali dengan adanya penanaman nilai agama sehingga akan membentuk
pembudayaan nilai agama yang dilakukan dari generasi ke generasi. Proses
tersebut biasanya dimulai dari lingkungan keluarga yang memulai
menanamkan nilai-nilai tertentu melalui adanya tradisi tahlilan sampai
kepada lingkungan sosial. Tujuan dari adanya pewarisan nilai ini adalah
untuk mengenalkan nilai, norma, serta adat istiadat untuk mempertahankan
suatu tradisi sehingga tradisi tersebut tetap dilestarikan.
Secara teoritik Berger dan Chaffec menjelaskan bahwa munculnya
sikap pewarisan nilai dalam sosialisasi ini merujuk antara hubungan
langsung pada transmisi informasi, nilai, norma, dan kemampuan seseorang
untuk tetap hidup dalam situasi sosial (Berger,dkk 1987: 421). Jika Islam
ditinjau melalui pendekatan kebudayaan maka akan muncul komitmen
masyarakat terhadap Islam itu sendiri, karena melalui nilai tersebut telah
tertanam dan membudaya dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian
14 Prophetica : Scientific and Research Journal of Islamic Communication and Broadcasting
Budaya Tahlilan sebagai Media Dakwah

sebagai komitmen masyarakat terhadap agama, maka dakwah Islam disini


memiliki peranan yang begitu urgen, karena kehadiran Islam di tengah
masyarakat dapat memberikan suatu arahan sesuai dengan petunjuk agama.
Budaya sebagai salah satu media dakwah, mejadi sokongan utama
bagi keberlangsungan pewarisan nilai antar generasi. Pada dasarnya budaya
bukan hanya warisan sosial dalama arti bahwa budaya diturunkan dari
generasi ke generasi berikutnya melalui suatu proses pembelajaran (Ashari,
2017: 16). Budaya tahlilan sebagai salah satu praktek keagamaan merupakan
alat untuk melakukan proses dakwah dan akan berguna dalam mewariskan
nilai-nilai keagamaan.
Pewarisan nilai agama antar generasi dalam tahlilan sangat
dipengaruhi oleh agen-agen yang ada dalam lingkungan keluarganya hingga
lingkungan sosial dimana masyarakat berinteraksi dan bersosialisasi.
Kelompok acuan yang pertama diperankan adalah yang diperankan oleh
orang tua, dan referensi berikutnya adalah apa yang dilakukan dan perankan
oleh orang-orang sekitar di luar dari lingkungan keluarganya. Kedua agen
tersebut memiliki peran yang sangat kuat mengapa masyarakat nahdliyin
pada khususnya masih terus menjalankan tradisi ini hingga diwariskan dari
generasi ke generasi. Nilai-nilai agama dan budaya tersebut dipelihara dan
diwariskan melalui dua pranata yakni keluarga dan ritual atau tradisi yang
sudah membudaya sehingga kedua pranata tersebut saling memperkuat
dalam mewariskan nilai-nilai agama Islam dalam tradisi tahlilan.

Aktualisasi Nilai Agama dalam Tahlilan


Pada aktualisasi nilai agama dalam tahlilan, setidaknya ada dua aspek yang
terdapat dalam sosialisasi nilai agama yakni adanya penerapan nilai agama
dalam aspek spiritual dan juga adanya penerapan nilai agama dalam aspek
sosial. Melalui adanya aktualisasi nilai agama dapat disimpulkan bahwa
dalam tahlil adanya suatu pembiasaan nilai agama pada masyarakat
nahdliyin. Adanya pembiasaan nilai agama tersebut merupakan tahap akhir
setelah melewati tahapan-tahapan atau proses sebelumnya. Hal tersebut
dapat dibuktikan dengan adanya pembiasaan nilai agama bagi masyarakat
nahdliyin kemudian nilai agama tersebut diimplementasikan dalam
kehidupan mereka yang dibuktikan dalam amal nyata atau dalam bentuk
perilaku masyarakat dalam kehidupan sehari-harinya.
Bagi masyarakat nahdliyin adanya tahlilan memberikan dampak
tersendiri bagi diri mereka. Semua itu dapat dilihat dengan terealisasinya
nilai agama Islam dalam kehidupan masyarakat dan juga lingkungan sekitar.
Hal tersebut dapat dapat ditunjukkan dengan bagaimana nilai agama
tersebut dapat menyadarkan hubungan warga nahdliyin dengan Allah, atau
dalam arti lain adalah hablum minallah.
Volume 5 Nomor 1 (2019) 1-20 15
E.O.I. Librianti, Z. Mukarom, & I. Rosyidi

Selain itu, pada aspek lain dapat ditunjukkan dengan bagaimana nilai
agama tersebut terbentuk melalui hubungan warga nahdliyin dengan
masyarakat lainnya, atau dalam kata arti lain adalah hablum minannas. Budaya
tahlilan dapat dijadikan sebagai media kohesivitas sosial atau kedekatan
antar masyarakat, mempererat solidaritas masyarakat, dan mempererat
silaturrahmi (ukhuwah islamiyah).
Bagi masyarakat nahdliyin, tahlilan adalah salah satu media untuk
membina spiritual mereka kepada Allah. Adanya bacaan kalimat “tahlil”
selain salah satu bacaan dzikir, merupakan kalimat yang memberikan
penyadaran akan mengingat kematian. Sebaik-baiknya manusia ketika wafat
adalah mereka yang membaca kalimat tahlil. Hal tersebut seperti yang
diungkapkan oleh H. Rojali yang menyatakan bahwa:
“Ritual do’a bersama, berdizikir dalam tahlilan itu merupakan ibadah dalam
rangka membina spiritual kepada Allah. Selain itu dalam tahlilan intinya
adalah do’a, sedangkan do’a salah satu bentuk untuk melatih spiritual untuk
senantiasa meminta kepada Allah.” (Wawancara 29 April 2019).
Hal lain diungkpkan oleh Juanda bahwa pelajaran yang paling utama
dalam tradisi ini adalah dapat melatih untuk selalu mengucap dzikir. Selain
itu, tradisi ini juga menjadi media untuk mengingat kematian agar dirinya
senantiasa mengingat hari kematian tersebut, sehingga akan timbul
kesadaran untuk berbuat kebaikan selama hidup. Hal tersebut merupakan
suatu upaya untuk menjadikan hidupnya agar selalu mengingat Allah.
“Bagi saya hal yang utama dalam tradisi tahlilan ini adalah mengingat
kematian. Selain itu, melatih untuk saya senantiasa berdzikir dan mengucap
kalimat-kalimat thoyyibah sehingga membuat diri kita itu ingat terus kepada
Allah. Sehingga dengan begitu timbul kesadaran bahwa dengan ingat
kematian, ada upaya untuk selalu bersikap positif dan menyadarkan diri
bahwa segala di dunia ini sudah diatur oleh Allah termasuk ajal kita. Maka
secara otomatis selalu ada upaya untuk memperbaiki ibadah” (Wawancara
29 April 2019).
Solidaritas masyarakat yang begitu tinggi akan kepedulian terhadap
sesama, dalam kontek ini dapat dilihat dengan antusiasnya masyarakat yang
ikut mendo’akan bahkan ikut membantu keluarga yang terkena musibah.
Hal itu mereka lakukan semata-mata karena keikhlasan tanpa untuk
mendo’akan dan perduli terhadap duka orang lain.
“Masyarakat disini sangat antusias untuk hadir dalam tahlilan. Kalau saya
pribadi didasari oleh keikhlasan. Ini merupakan bentuk dari adanya rasa
solidaritas di antara masyarakat di Desa Cipadung. Semua masyarakat guyub
menjadi satu, dari mana-mana datang” (Wawancara 29 April 2019).
Pada tahlilan di dapatkan bahwa adanya penerapan nilai agama
Islam baik pada aspek spiritual maupun pada aspek sosial. Nilai agama
16 Prophetica : Scientific and Research Journal of Islamic Communication and Broadcasting
Budaya Tahlilan sebagai Media Dakwah

tersebut tercermin dengan adanya penyadaran masyarakat akan hal


ibadah kepada Allah atau hablum minallah dan penyadaran masyarakat
akan hablum minannas.
Adanya penerapan nilai agama baik dalam aspek spiritual dan aspek
sosial pada masyarakat nahdliyin di Kelurahan Cipadung, hal tersebut
merupakan dari bagian proses aktualisasi nilai agama Islam pada
masyarakat. Adanya pembiasaan nilai agama merupakan turunan dari
aktualisasi nilai agama Islam.
Adanya pembiasaan nilai agama merupakan kegiatan yang dilakukan
secara konsisten dan terus menerus. Sehingga tujuan dari pembiasaan
tersebut adalah untuk memperkuat nilai-nilai tertentu agar menjadi
permanen (Khomsiyah, 2015: 125). Melalu adanya tradisi tahlilan ini
menunjukkan bahwa nilai-nilai agama Islam telah teraktualisasikan
melalui adanya kegiatan yang dilakukan secara konsisten hingga sampai
saat ini. Lebih jauh dari pada itu, bahwa output dalam aktivitas dakwah
pada tahlilan adalah masyarakat mampu memanifestasikan nilai agama
sesuai dengan ajaran Islam dalam bentuk sikap atau perlaku pada
keseharian mereka.
Menurut Beatty intisari dari ajaran Islam bagi kehidupan masyarakat
yang begitu kuat akan kulturnya terletak pada hadirnya suatu tradisi
dalam kehidupan mereka (Beatty, 1999: 28). Hal tersebut didasari bahwa
praktek keagamaan tertentu memiliki nilai tersendiri bagi mereka. Tradisi
yang dimaksud disini adalah suatu tradisi keagamaan yang di dalamnya
memiliki suatu nilai keagamaan yang kemudian nilai tersebut telah
menyatu dalam kehidupan masyarakat.
Pendapat lain dikemukakan oleh Shein sebagaimana yang dikutip
oleh Khomsiyah bahwa kata kunci dalam pengertian budaya bagi
masyarakat yakni menganggap pasti terhadap sesuatu (asumsi). Asumsi
tersebut meliputi adanya keyakinan dan nilai. Keyakinan merupakan
asumsi dasar tentang pandangan mereka terhadap sesuatu dan
merupakan ekspresi material yang diperoleh oleh suatu kelompok
masyarakat. Sedangkan nilai merupakan ukuran normatif yang dapat
mempengaruhi masyarakat dalam bertindak (Khomsiyah, 2015: 128).
Sehingga secara definitif dapat dikatakan bahwa budaya keagamaan yang
diyakini oleh masyarakat memiliki nilai serta kepercayaan tersendiri
sehingga budaya tersebut menjadi suatu pembiasaan masyarakat dalam
bersikap.
Aktualisasi nilai agama merupakan poin penting dalam proses
dakwah, karena dari pengaruh setelah adanya dakwah itulah yang
menunjukkan keberhasilan suatu dakwah (Barmawi, 2017: 21). Hal
tersebut ditandai dengan masyarakat dapat menjalankan nilai-nilai
tersebut dalam aspek kehidupan mereka.
Volume 5 Nomor 1 (2019) 1-20 17
E.O.I. Librianti, Z. Mukarom, & I. Rosyidi

PENUTUP
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa budaya tahlilan sebagai salah satu
praktek keagamaan di kalangan masyarakat nahdliyin pada hakikatnya
adalah media dakwah dalam upaya proses diseminasi, sosialisasi dan
aktualisasi nilai-nilai agama. Selain itu, tahlil juga mengalami perluasan
fungsi sehingga tahlil tidak hanya identik dengan kematian tapi juga di
dalamnya terdapat proses pembiasaan yang baik dan diwariskan secara
turun temurun.
Jika seperti itu, maka tahlil tidak harus dimonopoli oleh kaum
nahdliyin, karena di dalamnya syarat akan aktivitas keagamaan yang menjadi
sarana untuk berdakwah. Jadi, tahlilan pada hakikatnya merupakan media
dakwah yang berbasis kearifan lokal khususnya dikalangan masyarakat
nahdliyin. Setidaknya melalui tradisi tahlilan dapat memberikan suatu
gambaran bahwa tahlil merupakan realitas atau praktek keagamaan yang
memiliki nilai dakwah dengan pendekatan kultural.
Saran untuk penelitian lanjutan adalah penelitian ini berfokus pada
proses diseminasi, proses sosialisasi dan akualisasi nilai agama dalam budaya
tahlilan bagi masyarakat. Maka untuk yang memiliki kecenderungan yang
sama untuk mengkaji tahlil dapat membedah dengan pendekatan yang
komprehensif. Beberapa di antaranya yang terbuka untuk dikaji meliputi
tahlil dalam pendekatan sejarah, sosiologi, pendidikan, ekonomi, dan lain-
lain.

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta:
Rineka Cipta.
Barmawi, M. (2017). Aktualisasi Dakwah Islam (Kajian Analisis Formulasi
Dakwah Rasulullah). Religia, 12-25.
Beatty, A. (1999). Varieties of Javanese religion: An anthropological account (Vol.
111). Cambridge University Press.
Farihah, I. (2013). Media Dakwah Pop. At-Tabsyir; Jurnal Komunikasi
Penyiaran Islam, 1(2), 25-45.
Farkas, M., Jette, A. M., Tennstedt, S., Haley, S. M., & Quinn, V. (2003).
Knowledge dissemination and utilization in gerontology: An
organizing framework. The Gerontologist, 43(suppl_1), 47-56.
Geertz, C. (1992). The Interoretation of Culture: Selected Essays, London,
Hutchinson CO Publisher. Terj. Francisco Budi Hadirman,
Kebudayaan dan Agama, Yogyakarta: Kanisius.
Haidhuddin, D. (1998). Dakwah Aktual, Jakarta: Gema Insani Pers.

18 Prophetica : Scientific and Research Journal of Islamic Communication and Broadcasting


Budaya Tahlilan sebagai Media Dakwah

Hanum, L., & Dja’far Siddik, H. P. D. (2018). Trans Internalisasi Nilai-Nilai


Islami Dalam Pembelajaran Di Universitas Islam Sumatera
Utara. Journal Analytica Islamica, 7(2), 234-252.
Khomsiyah, I., & Chotimah, C. (2015). Aktualisasi Sistem Nilai Dalam
Membangun Budaya Organisasi Lembaga Pendidikan Studi
Multikasus Di Man 2 Tulungagung Dan Sman 1 Boyolangu
Tulungagung. Jurnal Dinamika Penelitian: Media Komunikasi Penelitian
Sosial Keagamaan, 15(1), 117-132.
Khoriyah, N. (2011). Dakwah Dan Dimensi Akulturasi Budaya. Komunika:
Jurnal Dakwah dan Komunikasi, 5(1), 11-27.
Khozin, M.M. (2013). Tahlilan Bid’ah Hasanah, Surabaya: Muara Prosesif.
Kurlillah, A., & Indrawati, I. (2015). Pola Sosialisasi Nilai-nilai Agama dalam
Keluargaterhadap Perilaku Anak di Rw 5 Kelurahan Sungai Salak
Kecamatan Tempuling Kabupaten Indragiri Hilir. Jurnal Online
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, 2(2).
Madjid, N. (1999). Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina.
Marmawi, R. (2012). Internalisasi Nilai Integrasi Untuk Menciptakan
Keharmonisan Hubungan Antaretnik: Studi Kasus Di Kabupaten Ketapang,
Kalimantan Barat (Doctoral dissertation, Universitas Pendidikan
Indonesia).
Muflihin, M.N. (2018). Diseminasi Nilai-Nilai Islam Pondok Pesantren Modern
Al Muhibbin Tuban Terhadap Alumni, Tesis. Yogyakarta: Universitas
Islam Indonesia.
Rachmiatie, A., Sidik, A. A., & Kamil, F. (2007). Proses Sosialisasi Informasi
Agama Islam Melalui Media Komunitas Sebagai Pembentuk
Moralitas Remaja Muslim. Mimbar: Jurnal Sosial dan
Pembangunan, 23(1), 121-156.
Rohidi, T.R. (2016). Pendekatan Sistem Sosial dan Budaya, Semarang: IKIP
Press.
Santika, R. (1997). Agama dan Pembangunan; Aktualisasi Ajaran Agama dalam
Pemberdayaan Masyarakat, Bandung: Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Sarbini, A. (2011). Dakwah Berbasis Budaya Lokal: Studi tentang Model-
model Dakwah di Jawa Barat. Ilmu Dakwah: Academic Journal for
Homiletic Studies, 5(17), 291-322.
Sukayat, T. (2015). Ilmu Dakwah, Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Susanto, E. (2012). Islam Pribumi Versus Islam Otentik (Dialektika Islam
Universal dengan Partikularitas Budaya lokal). KARSA: Journal of
Social and Islamic Culture, 13(1), 16-24.
Syukir, A. (2001). Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, Surabaya: Al-Ikhlas.
Wilson, P. M., Petticrew, M., Calnan, M. W., & Nazareth, I. (2010).
Disseminating research findings: what should researchers do? A

Volume 5 Nomor 1 (2019) 1-20 19


E.O.I. Librianti, Z. Mukarom, & I. Rosyidi

systematic scoping review of conceptual frameworks. Implementation


Science, 5(1), 91.
Windi Ashari, S. (2017). Sosialisasi Nilai-Nilai Pengajian Makrifatullah Pada
Keluarga Pengikut Pengajian Makri. Paradigma, 5(3).

20 Prophetica : Scientific and Research Journal of Islamic Communication and Broadcasting

You might also like