1528-Article Text-5420-1-10-20220921

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 15

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 24 No.

2 Tahun 2022
journal homepage: https://jmb.lipi.go.id/jmb

KEHARMONISAN BERAGAMA BERBASIS ADAT TAPSILA:


STUDI PADA MASYARAKAT SASAK ISLAM DAN BUDDHA DI
LOMBOK
RELIGIOUS HARMONY BASED ON TAPSILA TRADITIONS:
STUDY ON SASAK ISLAM AND BUDDHIST COMMUNITIES IN
LOMBOK
Sepma Pulthinka Nur Hanip¹, Raden Rachmy Diana²

¹Prodi Interdisciplinary Islamic Studies, Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, ²Prodi Psikologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Email korespondensi: [email protected]

ABSTRACT
This research is supposed to deeply observe about adat tapsila as social norm of Buddhist and Moslem citizens
in Tegal Maja, North Lombok regency, with the goal supposed of religious harmony in Lombok being saved, which
believed as inherit cultural ethics from a period to the other period of Sasak’s tribe. The research on religious
harmony were not the recent observation, especially in Indonesia. Moreover, both generally and specifically
in Lombok, according to the prior research, religious harmony is observed by considering ritual adat aspect.
There was involved the roleplay of every position such as religion subject as central of peace, Government has a
position and roleplay a creator of Community of Communication on Religious subject Institution. The research
methodology being used were qualitative methodology with ethnography approach while humans placed based
on their environment context being observed. This study is supposed for deeply dig about adat tapsila as an ethics
and social norm while save the religious harmony, and the existence of adat tapsila for saving social integration
in plural citizens especially in Lombok.

Keywords : Sasak’s Tribe, Moslem, Budhis, Adat Tapsila

ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji secara mendalam tentang adat tapsila sebagai norma sosial masyarakat
Sasak Islam dan Buddha di Desa Tegal Maja, Kabupaten Lombok Utara dalam menjaga keharmonisan beragama
di Lombok yang diyakini sebagai etika kultural yang diwariskan turun-temurun oleh nenek moyang suku Sasak.
Kajian tentang keharmonisan beragama bukanlah sesuatu hal yang baru terutama di Indonesia. Namun, dari
beberapa kajian terdahulu, baik secara umum maupun khususnya di Lombok, kajian tentang keharmonisan beragama
banyak dikaji melalui aspek ritual adat, peran tokoh agama sebagai sentral perdamaian dan kerukunan dan peran
pemerintah daerah dengan melahirkan lembaga forum komunikasi umat beragama. Penelitian ini menggunakan
metode kualitatif dengan pendekatan etnografi dengan mengkaji perilaku manusia berdasarkan konteks lingkungan.
Studi ini ingin menggali lebih mendalam tentang adat tapsila sebagai etika atau norma sosial dalam menjaga
keharmonisan beragama dan sejauh mana eksistensi adat tapsila dalam menjaga integrasi sosial dalam masyarakat
pluralis khususnya di Lombok.

Kata Kunci: Suku Sasak, Islam, Buddha, Adat Tapsila

PENDAHULUAN
Penggunaan kata keharmonisan lebih ditunjukkan keharmonisan dimaknai sebagai proses belajar
untuk menampilkan lanskap psikologi masyarakat bersama agar memiliki keterhubungan yang kuat
suku Sasak yang memiliki latar belakang agama dengan bertujuan untuk menghasilkan pemahaman
yang berbeda. Banyak orang beranggapan menjadi yang sejalan agar tercapainya nuansa toleransi yang
orang Sasak berarti beragama Islam. Namun dibalik dapat melahirkan nilai-nilai cinta kasih, integrasi
perkataan tersebut, ada sebagian orang Sasak yang sosial, kejujuran dan keadilan (Stergiou, 2019;
beragama Buddha (Syakur, 2006; Kraan, 2015). Larson & Dawes, 2015; Thin, 2015; Fromm, 2019).

DOI: 10.55981/jmb.1528 171


Naskah Masuk: 22 Desember 2021 Revisi akhir: 29 Juli 2022 Diterima: 4 Agustus 2022
ISSN 1410-4830 (print) | e-ISSN 2502-1966 (online) | © 2022 The Author(s). Published by BRIN Publishing.
This is an open access article under the CC BY-NC-ND license (http://creativecommons.org/licenses/by-nc-
nd/4.0/).
Sepma Pulthinka Nur Hanip, Raden Rachmy Diana

Namun kenyataannya, kasus intoleransi bagaimana saling menerima segala perbedaan


beragama di Indonesia kerap terjadi seperti (Volk, 1998; Santrock, 2014).
yang ditunjukkan dalam survei selama 12 Dari beberapa studi yang ada tersebut, ada
tahun terakhir yang melibatkan aktor negara satu aspek yang belum mendapat perhatian
maupun non negara dengan total pelanggaran tentang adat istiadat yang berupa norma-norma
mencapai 2.400 peristiwa (Halili, 2018). Kasus sosial turut berkontribusi sebagai landasan utama
tersebut ditunjukkan melalui pengerusakan dalam mencapai keharmonisan beragama. Etika
tempat peribadahan seperti gereja di Situbondo, kultural bagi masyarakat Sasak merupakan suatu
kekerasan yang terjadi terhadap warga syi’ah di hal yang penting dalam menjaga integrasi sosial
Madura, pengucilan yang dialami oleh penganut yang di atur dalam awig-awig (peraturan) adat
ahmadiyah di NTB, dan pelarangan pembangunan yang diwariskan turun temurun melalui nenek
tempat ibadah di NTT (halili, 2016; Kemenag, moyang bangsa Sasak yang lazim disebut dengan
2019). adat tapsila. Berangkat dari hal tersebut, studi
Akibat terjadinya peristiwa tersebut, agama ini berargumen, budaya lokal dengan corak
dipandang sebagai dua sisi mata uang yang etika kultural masih menjadi suatu hal yang
berlawanan. Di satu sisi, agama merupakan wadah representatif dalam menjaga pluralitas yang ada.
perdamaian yang ditunjukkan dalam seruan- Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
seruan ajarannya. Di sisi lain, agama dianggap adat tapsila yang digunakan sebagai landasan
sebagai pangkal permasalahan terjadinya keharmonisan umat beragama yang selama
intoleransi (Abdurrahman, 2005; Kellner, 2010, ini diyakini oleh masyarakat Sasak Islam
Saihu, 2019). Mencermati permasalahan tersebut, dan Buddha yang berlokasi di dayen gunung
kajian psikologi menelusuri manusia sebagai (Daerah Pegunungan). Secara sosio-kultural,
landasan sentral dalam mengkaji perilaku umat adat tapsila tersebut merupakan pilar penting
beragama bagaimana menjalankan ajaran agama yang menghubungkan seseorang dalam
yang ideal sesuai dengan etika humanistik yang mempertahankan integrasi sosial. Lebih lanjut,
diajarkan oleh seluruh agama (Bellah, 2011; adat tapsila ini merupakan sebuah aturan yang
Geovanni, 2013; Fromm, 2019). tertera dalam awig-awig adat yang mengatur
Meskipun studi tentang keharmonisan segala aktifitas sosial kemasyarakatan.
beragama bukan suatu hal yang baru, namun
dari beberapa kajian terdahulu, kehidupan rukun METODE PENELITIAN
para pemeluk agama dikaji melalui pendekatan
komunikatif Habermas bagaimana menciptakan Kajian ini merupakan penelitian field research
dialog yang sehat dalam ruang publik (Kim, (studi lapangan) dengan latar alamiah yang
et.al, 2020). Dan falsafah lokal lokal yang ada di terfokus pada perilaku masyarakat Sasak Desa
Indonesia juga turut berkontribusi dalam menjaga Tegal Maja Kabupaten Lombok Utara yang
kerukunan antar beragama (Funay, 2020; Sinaga, berbeda agama dengan menganut kepercayaan
et.al, 2019). Dalam konteks Lombok, kerukunan Islam dan Buddha. Jenis penelitian yang
umat beragama ditemukan melalui praktik ritual digunakan adalah rancangan etnografi yang
adat seperti tradisi puja wali dan perang topat orientasinya untuk mendokumentasikan fakta
yang dilakukan selama setahun sekali (Budiwanti, realitas masyarakat yang memiliki pola perilaku,
2014; Telle, 2016; Suprapto, 2017). Selain itu, kepercayaan, dan adat kebiasaan sehingga dapat
tidak dapat dipungkiri peran sentral tokoh agama diterima oleh kelompok tertentu (Ladner, 2014).
seperti tuan guru dan pedanda sebagai kekuatan Sumber data penelitian yang dijadikan informan
dalam melerai konflik sosial yang ada bersinergi agar mendapatkan data yang valid bersumber dari
dengan pemerintah dan ormas (Kingsley, 2012; tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat dan
Tyson, 2013; Suprapto, 2015). Untuk mencapai warga Desa Tegal Maja, Lombok Utara. Untuk
kehidupan yang harmonis, sekolah turut berperan menguatkan hasil temuan lapangan, pentingnya
dalam memberikan kesadaran dan pendidikan mengobservasi perilaku masyarakat di lokasi
penelitian. Selain itu, peneliti tidak luput untuk

172 Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 24 No. 2 Tahun 2022, hlm. 171–185
KEHARMONISAN BERAGAMA BERBASIS ADAT TAPSILA: STUDI PADA MASYARAKAT SASAK ISLAM DAN
BUDDHA DI LOMBOK

mendokumentasikan awig-awig (aturan) adat budaya dan agama membawa misi kedamaian
tapsila yang tertuang dalam hasil Loka karya dan kebersamaan bagi semua manusia siapapun
Kerama Adat Orong Empak Panasan tahun 2002 dapat menikmati pesonanya.
Desa Tegal Maja, Kabupaten Lombok Utara. Adanya budaya yang dibawa oleh setiap umat
beragama, dengan latar yang terbuka membuat
PEMBAHASAN semua orang dapat belajar dari dirinya sendiri dan
orang lain melalui realitas sosial yang ada bahwa
PULAU LOMBOK: PANORAMA manusia memiliki cara tersendiri mengelola
KERAGAMAN AGAMA hidupnya salah satunya dengan memeriahkan
Secara geografis, pulau Lombok terletak pada warisan leluhur. budaya yang dirayakan dalam
titik koordinat di 116.351 BT dan 8.565 LS, ruang publik tersebut apa yang dikatakan oleh
dengan luas wilayah ±5.435 km2 yang mencakup Habermas pada dasarnya salah satu bagian dari
banyak pulau-pulau kecil. Suku asli yang tradisi religius yang memiliki kekuatan untuk
mendiami pulau Lombok adalah Suku Sasak. menyatukan manusia dalam jalan hidup yang
Selebihnya suku-suku pendatang berasal dari manusiawi (Habermas, 2008).
Bali, Sumbawa, Bugis, Jawa, Arab, dan Cina Setiap suku yang ada di Lombok dalam
yang turut berkontribusi dalam keragaman konteks sosial telah mulai berbaur satu sama
budaya sehingga total populasi penduduk di lain seperti halnya suku Arab yang berjualan
daerah Lombok berkisaran ±3.550.212 Jiwa di toko-toko yang terletak di pasar utama kota
(Badan Statistik NTB, 2020). Bagi suku Sasak, atau kabupaten dan berbaur dengan masyarakat
pulau Lombok dikenal juga dengan Gumi Sasak lainnya (Magenda, 2005). Orang Arab banyak
(Bumi Sasak) sebagai penegasan suku asli yang bermukin di Kota Ampenan yang dibuktikan
mendiami pulau tersebut (Budiwanti, 2014). dengan adanya kampung Arab dan sebagiannya
Pulau Lombok juga dikatakan dengan pulau lagi berada di kampung melayu berdampingan
seribu masjid sebagai pembanding dari pulau Bali dengan warga yang memiliki darah keturunan
yang dikenal dengan pulau seribu pura. suku melayu. Tidak banyak pula, orang Arab
Dengan keragaman identitas suku yang ada, menikah dengan orang Sasak sehingga telah biasa
penduduk yang ada di pulau Lombok mayoritas dalam bergaul dengan warga setempat tanpa ada
beragama Islam. Data statistik menunjukkan batasan antar suku (Zakaria, 1998). Begitupun
bahwa umat Islam mencapai 96.78% dari total dengan orang Jawa yang miliki kampungnya
keseluruhan penduduk. Selebihnya, Kristen tersendiri yang terletak di Kota Praya Lombok
0.26%, Katholik 0.19%, Hindu 2.45%, Buddha Tengah.
0.32%, dan Konghucu 0,01% (ntb.bps.go.id). Sedangkan orang-orang Cina lebih
Agama Islam lebih dominan dianut oleh Suku menguasai perdagangan di perkotaan seperti di
Sasak, Samawa, Mbojo, dan Arab. Sedangkan pusat kota Mataram yang bertepatan di daerah
agama Hindu notabene adalah orang Bali dan Cakranegara. Meski begitu, keturunan Cina
agama Kristen, Katholik, Konghucu banyak Tionghoa bebas melakukan aktivitas keagamaan
dianut oleh orang Cina. dan budaya seperti Imlek yang dirayakan selama
Dominannya beberapa etnis yang memeluk setahun sekali. Biasanya, disekitar jalan utama
agama Islam tidak serta merta menghalangi Cakranegera bertepatan pada awal bulan kedua
agama lain untuk bebas mengekspresikan cara kalender masehi, sepanjang jalan tersebut
beragama dan budaya yang memang telah dipenuhi dengan pernak pernik Imlek seperti
menjadi identitas dan kebiasaan melekat dalam lampion merah saga. Begitupun dengan perayaan
semua penganutnya. Bahkan, dengan adanya Natal yang umumnya dilakukan pemeluk agama
budaya yang ada dari semua agama dan suku Kristen ketika menjelang pergantian tahun.
tersebut menandakan pulau lombok kaya akan Kekerabatan paling kuat antar suku dan
budaya. Lebih jauh lagi, dengan adanya budaya agama di Lombok hingga sampai saat ini masih
yang terbuka di ruang publik, menandakan kuat terjalin antar orang Sasak dan Bali yang jika

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 24 No. 2 Tahun 2022, hlm. 171–185 173
Sepma Pulthinka Nur Hanip, Raden Rachmy Diana

dinilai dari aspek kesejarahannya, disebabkan ini konon dulu para pandahulu mereka (nenek
berkuasanya Kerajaan Karang Asem Bali selama moyang, papuk balok) biasa saling minta harta,
154 tahun, dimulai dari tahun 1740 sampai misalnya orang Hindu minta sapi kemudian umat
dengan 1894 sehingga Agama Hindu menjadi Islam meminta sepeda dan sebagainya. Selain itu
populasi terbesar kedua di Lombok (Lukman, juga, banyak umat Hindu yang meminta warga
2005). Kedua pemeluk agama ini biasa hidup umat Islam untuk bekerja di sawah milik mereka
berdampingan dan tidak jarang mengadakan atau dalam bahasa Hindu disebut (subak) (Hanip,
festival budaya secara bersamaan. et.al, 2020).
dalam setiap momen menjelang nyepi Selain itu, hubungan Suku Bali dan Muslim
misalnya, umat Hindu memamerkan budaya Sasak juga tercermin dalam festival yang telah
pawai ogoh-ogoh di ruang publik yang biasanya menjadi fenomena tersendiri bagi orang Lombok
diadakan di sepanjang jalan cakranegara di jantung yang dinamakan perang topat. Telah banyak
kota Mataram yang menjadi perkampungan peneliti baik dari dalam negeri maupun luar negeri
Suku Bali dengan populasi terbesar di Lombok. seperti David Harnish (2019) yang mengkaji
Pawai ogoh-ogoh ini disambut hangat oleh tradisi yang dilakukan di Pura yang berlokasi
semua kalangan lapisan masyarakat dengan di Desa Lingsar kecamatan Lombok Barat ini
ekspresi saling memeriahkan dan menjadi sebagai sebuah harmoni yang menghubungkan
tontonan yang menyenangkan sekaligus sebagai kekerabatan antara kedua agama dan suku
penegasan bagi umat Hindu sebagai salah satu tersebut (Suprapto, 2017).
cara mempetahankan eksistensi cara beragama di Walaupun begitu, dimana agama dan suku
tengah mayoritas umat Islam (Budiwanti, 2018). tumbuh subur tidak akan pernah terlepas oleh
Dua agama dan suku besar yang ada di yang namanya konflik yang dapat melibatkan
pulau, peneliti sebagai orang yang telah lama agama maupun etnis. Setidaknya di Lombok telah
menetap di Lombok, lebih sering mendengarkan banyak dicatat beberapa konflik sosial seperti
cerita bagaimana hubungan kekerabatan yang konflik yang pernah terjadi dan secara berulang
dibangun oleh orang Bali dan Sasak semenjak antar Lingkungan Petemon dan Karang Genteng
duhulu kala bahkan telah mendarah daging dalam yang berada dalam wilayah administratif Pagutan,
konsep besemeton (persaudaraan). Sehingga tidak Mataram yang disebabkan oleh perkelahian
mengherankan orang luar akan mengatakan di antar pemuda yang beragama Islam dan Hindu.
Bali kita tidak akan menemukan orang Lombok. Sehingga diketahui perkelahian antar masyarakat
Tetapi di Lombok kita akan menemukan orang tersebut dicatat telah terjadi 14 kali pertikaian
Bali. dimulai dari tahun 1998 (Asnawi, 2008). Selain
Saking dekatnya hubungan tersebut, banyak itu, pertikaian anak muda menjadi salah satu
lahir tradisi yang mempertemukan antar keduanya akar permasalahan konflik sosial yang menjadi
seperti tradisi saling jot atau ngejot. Ngejot melebar ke arah konflik agama juga terjadi di
lazim dimaknai sebagai suatu sikap memelihara karang Mas yang mayoritas Muslim dan Warga
atau mempererat jalinan silaturarahmi yang Tohpati yang beragama Hindu (Ruhana, 2014).
dilakukan pada hari raya dua agama. Setidaknya Untuk mengatasi dan mencegah konflik,
ada beberapa faktor yang menjadi latar belakang alternatif pemecahan masalah yang dapat
lahirnya tradisi ngejot. Pertama, yaitu perkawinan direkomendasikan dengan menyediakan
antara Umat Hindu dan Islam dan juga sebaliknya tempat komunikasi dan pemberian pemahaman
antara Umat Islam dan Hindu. Sehingga agar tentang nilai-nilai kebersamaan antar etnis dan
hubungan keluarga ini tetap terjaga, maka agama yang berbeda seperti adanya forum
diadakanlah apa yang disebut dengan Ngejot. komunikasi umat beragama. Terlebih di Lombok
Kedua,yaitu hubungan kekerabatan antara umat pentingnya menerapkan awig-awig (peraturan)
Hindu dan Islam. Kedua umat beragama ini atau kesepakatan bersama untuk keharmonisan
secara emosional sangat begitu dekat. Sehingga dan melakukan festival budaya yang dapat
saking begitu dekatnya hubungan dua umat membangun persatuan dan kesatuan.

174 Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 24 No. 2 Tahun 2022, hlm. 171–185
KEHARMONISAN BERAGAMA BERBASIS ADAT TAPSILA: STUDI PADA MASYARAKAT SASAK ISLAM DAN
BUDDHA DI LOMBOK

SEKILAS AGAMA ORANG SASAK mentenggarai, Bude dan penganutnya merupakan


agama Buddha yang terdistorsi yang lebih dikenal
Keragaman suku maupun agama di Lombok
dengan nama Boda yang lebih condong menjadi
merupakan salah satu bentuk pluralisme yang
penganut agama Buddha.
terjadi. Keragaman yang terjadi juga pada
masyarakat Sasak yang dapat dilihat dari Informasi yang didapati dari ketua adat
perjalanan corak beragamanya. Dalam hal ini, Buddha, walapun ketika itu mayoritas masyarakat
sudut pandang sejarah dijadikan tolak ukur untuk Sasak belum terlalu mengenal agama Buddha,
mendeskripsikan orang sasak beserta adat istiadat justru Buddha lebih dikenalkan melalui simbol-
dan agama yang menjadi sumber kepercayaannya simbol yang ada sejak dahulu kala seperti adanya
yang membentuk mental dan sudut pandangnya nasi tumpeng yang dibarengi dengan ayam yang
tentang pluralitas yang ada. utuh dengan bentuk seseorang yang bermeditasi.
Kepercayaan orang sasak awalnya dikenal Namun dari hal tersebutlah titik sejarah yang
dengan Sasak-Boda sebagai penganut animisme, menentukan bagi kebangkitan umat buddha
dinamisme, dan antromorfisme yang bentuk dimana diperkirakan pada tahun 1970an awalnya
penyembahannya ditujukan pada roh-roh leluhur sebatas pengakuan karena tertutupi oleh kentalnya
dan dewa lokal yang merupakan fokus dari praktik masyarakat yang mempertahankan adat istiadat
keagamaannya. Oleh sebab itu, Bartolomew secara total. Lalu untuk memperdalam ajaran
berpandangan, kepercayaan yang dianut sebelum agama Buddha, para tokoh adat mengadakan
Islam masuk merupakan kepercayaan Austronesia musyawarah untuk berangkat ke Bali untuk
sehingga ketika Islam masuk bertransformasi belajar tata cara sembahyang dan ajaran-ajaran
menjadi Islam Wetu Telu yang bersifat sinkretis Buddha sekaligus mendiskusikan upaya untuk
dengan bentuk kepercayaan animisme, Hindu, membangun Vihara. Barulah sekitar tahun 1973
Dan Islam (Budiwanti, 2000; Bartolomew, umat Buddha memiliki Vihara yang dinamakan
2001; Zaelani; 2007). Namun seiring berjalannya Sangupati dikarenakan populasi umat Buddha
waktu, peran Tokoh agama seperti Tuan Guru yang makin menyebar di Lombok. bagi orang
yang secara intensif terus melakukan dakwah Sasak Buddha, menjalankan ajaran agama
Islamisasi secara utuh, perlahan penganut wetu harus dilakukan secara kuat dan begitupun adat
telu lebih mengenal Islam secara dalam dan dijalankan secara bersamaan tanpa ada yang
akhirnya menumbuhkan Islam Waktu Lima dipertentangkan (Kartadi, 29 Maret 2021).
(Kingsley, 2010; Harnish, 2011). Tidak jauh berbeda dengan masyarakat Sasak
Dari pola keberagaman di atas, setidaknya yang mengenal Islam semenjak zaman raja Bali
penganut animisme, dinamisme, dan yang ketika itu menjajah pulau Lombok. Islam
antromorpisme ini selain memeluk Islam, sebagian masuk ke pulau Lombok diperkirakan terjadi
juga memeluk ajaran Buddha yang selama ini pada abad 16 yang disebarkan oleh keturunan
dianut oleh mayoritas masyarakat Sasak di Desa Sunan Giri yaitu Sunan Prapen (1548-1605) yang
Tegal Maja. Sebagai perbandingannya, dari data datang bersamaan dengan pangeran Sangupati
dokumentasi Desa, sekitar ±2005 jiwa penduduk (Wacana, 1979; Harnish. 2011). Pendapat lain
yang beragama Islam dan Buddha berkisaran mengatakan, penyebaran Islam dimulai pada
±3.913 jiwa. Kilas balik sejarah Agama Buddha abad 13 yang dilakukan oleh raja-raja Jawa
diterima oleh masyarakat Sasak diawali dengan yang telah mengenal Islam terlebih dahulu
kedatangan biksu dari Bali sekitar tahun 1962an setelah pemerintahan Majapahit runtuh dengan
yang Bernama Girirakhito. Biksu tersebut corak sufistik (Budiwanti,2000; Fadli,2016).
setidaknya mengawali dakwahnya dengan Dan anggapan lain dibawa oleh pedagang yang
bertanya tentang kitab suci agama Buddha, sekaligus menjadi da’i (Zakaria, 1998).
namun masyarakat setempat tidak mengetahui Dikisahkan ketika itu, para pendakwah Islam
sama sekali walaupun mengaku sebagai dengan tidak begitu terbuka dalam menyebarkan ajaran
Bude (umat Buddha) (Kartadi, 29 Maret 2021). agama sehingga ajaran tersebut bertransformasi
Sejalan dengan hal tersebut, Jamaluddin (2011) menjadi Islam Wetu Telu. Hal yang paling

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 24 No. 2 Tahun 2022, hlm. 171–185 175
Sepma Pulthinka Nur Hanip, Raden Rachmy Diana

dituntut ketika itu adalah bagaimana agama memberikan edukasi tentang pakaian yang
Hindu tersebar secara luas dalam setiap lapisan layak digunakan untuk beribadah. Selain itu,
masyarakat Sasak. Sebaliknya, ajaran Islam dapat masyarakat setempat juga diajarkan membaca
disebarkan melalui takepan lontar yang berupa Al-Qur’an tanpa harus menghilangkan adat yang
manuskrip yang berbahasa kawi seperti kitab telah melekat pada masyarakat Sasak.
Indrajaya, Mlaya Bumi, Percinan, dan lainnya Strategi lain yang digunakan dalam
yang ditulis menggunakan hurup pegon yang menumbuhkan antusiasme masyarakat untuk
ditulis menggunakan pangot sejenis alat tulis belajar Islam secara dalam adalah dengan
berbentuk pisau kecil untuk mengukir tulisan melakukan kunjungan di setiap rumah warga
tersebut. Ajaran-ajaran dalam kitab tersebut untuk melakukan selakaran (barzanjian).
berisi hal-hal yang dilarang oleh agama seperti Kegiatan tersebut dipimpin oleh Kiai langsung
berjudi dan mabuk-mabukan. Seiring berjalannya pada setiap malam Jum’at dan ketika itu, agenda
waktu, sekitar tahun 1970-an Islam secara utuh ini memiliki tantangan dikalangan warga ada
(Waktu Lima) dapat diamalkan oleh masyarakat yang memang benar menerima dan ada juga
setempat. yang menolak. Setelah Amaq Saep selaku pelaku
Dalam sejarahnya, peran tetua adat berperan utama sebagai orang yang berperan penting
dalam menanamkan nilai-nilai Islam secara utuh dalam menanamkan ajaran Islam, Amaq Kersih
menjadi tantangan tersendiri dalam masyarakat lalu melanjutkan perjuangan tersebut dengan
yang memeluk kepercayaan sinkretis. Islam mendirikan mushala untuk peribadahan dan
dapat diterima di masyarakat Sasak yang masih mengajarkan Al-Qur’an dan nilai-nilai Islam tanpa
memiliki keyakinan animisme dan dinamisme ada pertentangan dengan adat Istiadat. Memang
mengalami fase yang panjang dengan pertama ketika itu, apa yang Bartolomew (2001) katakan
kali mendirikan salah jumat dan itupun hanya bahwa masyarakat Sasak adalah masyarakat yang
dilakukan oleh kiai kampung seorang. Melihat terbelakang dalam hal pendidikan dan menutup
situasi tersebut, salah satu tokoh adat di Desa diri dari perkembangan ilmu pengetahuan. Di
Tegal Maja bernama Amaq Saep yang telah sisi lain, mereka lebih senang bercocok tanam
belajar agama Islam secara utuh pada tokoh baik di bidang pertanian dan perkebunan untuk
tuan guru yang ada ketika itu memiliki inisiatif menghidupi kehidupan sehari-harinya. Realitas
bagaimana masyarakat dapat menjalankan sosial yang demikian menjadikan masyarakat
syari’at Islam secara sempurna diawali dengan Sasak yang menganut agama Islam lebih
salah jumat yang diawali dengan pengumuman: menggantungkan dirinya terhadap pemuka adat
setempat dalam memecahkan suatu masalah.
Sai-sai ndek mele menyumat, apapun
permasalahan idup ndekne akan telesaiang siq Dengan demikian, masyarakat Sasak yang
Kiai (barang siapa yang tidak menghadiri salat menganut agama Buddha dan Islam lebih memilih
jumat, apapun permasalahan hidupnya tidak akan mempertahankan praktik-praktik adat yang
diselesaikan oleh kiai selaku tokoh agama) (Amaq telah turun temurun dari leluhurnya. Sehingga,
Kersih, 24 Maret 2021)
agama dan adat menjadi suatu yang sakral yang
Perkataan di atas menunjukkan peran dipetimbangkan dengan nilai-nilai ajaran yang
sentral tokoh tetua sangatlah penting dalam berlaku pada setiap agama. Ungkapan yang
sebuah struktur masyarakat. Hal ini menjadikan menarik telah dilontarkan oleh para orang tua
masyarakat mau tak mau harus mentaati apa yang yang tetap eksis dalam menjalankan adat adalah
dianjurkan oleh kiai tersebut. Peran Amaq Saep telang adat, telang agame yang artinya jika adat
dalam perjalanan ber-Islam masyarakat di Desa hilang, agama juga harus hilang. Karena menurut
Tegal Maja khususnya sangat krusial dengan keyakinannya, adat dan agama, harus berjalan
diawali tataran pengajaran tentang bersuci dan beriringan tanpa ada pertentangan.

176 Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 24 No. 2 Tahun 2022, hlm. 171–185
KEHARMONISAN BERAGAMA BERBASIS ADAT TAPSILA: STUDI PADA MASYARAKAT SASAK ISLAM DAN
BUDDHA DI LOMBOK

ADAT TAPSILA: INTEGRASI SOSIAL Inti dari pelaksanaan adat tapsila adalah
MELALUI ETIKA KULTURAL kemampuan seseorang dalam menempatkan diri
secara tepat melalui pergaulan. Artinya setiap
Secara garis besar, adat tapsila merupakan salah
warga harus bersikap dan berperilaku sesuai
satu dari tipologi adat yang hingga kini masih eksis
dengan kedudukan dan peranannya dalam
dipertahankan oleh masyarakat Sasak. Selain itu,
bermasyarakat. Sehingga landasan utama dalam
Corak adat lain yang menjadi keyakinan orang
pelaksanaan tata krama yang ada dalam adat
sasak adalah adat gama yang mengacu pada
tapsila maupun adat yang lainnya berpatokan
ajaran-ajaran agama, adat luir gama mengacu
pada sistem nilai budaya Sasak yaitu tindih.
pada upacara ritual siklus alam, adat urip tentang
Tindih dimaknai sebagai suatu sikap yang
ritual siklus awal kehidupan manusia, dan
mencerminkan perilaku yang berpegang teguh
terakhir adat pati sebagai upacara hari kematian
pada norma-norma etika, menempatkan diri
(Nashuddin, 2020). Dalam hal ini, adat tapsila
secara tepat, dan bertanggung jawab (Hasil Loka
diambil dari kata sila yang berarti aturan sopan
Karya Kerama Adat, 2002).
santun. Adat tapsila merupakan aturan tentang
etika yang disepakati oleh masyarakat Sasak Tindih dalam konsep masyarakat Sasak
sebagai tata cara untuk menjalin hubungan merupakan keperibadian (jati diri) dperkuat
dengan Tuhan, alam, dan manusia (Kartadi, 27 dengan nilai-nilai. Pertama, malik yang artinya
Maret 2021; Morrow, 2017). pantangan dalam melakukan perbuatan tercela.
Kedua, merang, bersifat setia kawan ikut
Orientasi dari adat tapsila sebagai
merasakan penderitaan dan kesusahan orang
norma-norma sosial yang mengatur pergaulan,
lain serta berusaha membantu. Ketiga, patut yang
berbangsa, dan beragama sehingga tercipta
berarti selalu berbuat yang benar dan di nilai baik
kehidupan yang rukun, damai, aman, tertib dan
oleh masyarakat. Keempat, patuh artinya rukun
harmonis. Berdasarkan hal tersebut, adat tapsila
terhadap sesama. Kelima, pacu yang bermakna
memiliki batasan-batasan yang mencakup 3 poin
sungguh-sungguh, giat, rajin, jujur dan selalu
penting yang harus ditaati. Pertama, sopan dalam
berbuat baik. Perilaku dalam adat tapsila tersebut
bertingkah laku dan berbicara harus dengan rasa
dapat digambarkan melalui aktivitas, interkasi dan
hormat dan penghargaan terhadap orang lain.
sentimen yang saling mempengaruhi satu sama
Kedua, patut yang diartikan sebagai tingkah laku
lainnya sebagai kelangsungan hidup (Jhonson,
dan berbicara tidak boleh bertentangan dengan
2018). Tujuannya tidak lain untuk membentuk
kesusilaan, nilai-nilai agama, dan nilai-nilai luhur
habituasi untuk mendapatkan ganjaran yang
yang berkembang di dalam masyarakat. Ketiga,
berupa respon yang baik antara sesama walapun
harmonis yang berarti keserasian hubungan
dalam perbedaan keyakinan beragama (Ritzer,
antara seseorang dengan sesama warga yang
2010).
lainnya dalam hal berhubungan baik, rukun,
tolong menolong maupun tenggang rasa dalam Secara garis besar, sistem budaya yang
bermasyarakat (Hasil Lokar Karya Kerama Adat, dibangun oleh masyarakat yang berinteraksi
2002). dengan lingkungannya memiliki visi dan
misi yang ingin digapai salah satunya adalah
Batasan di atas merupakan basis etika
kehidupan yang harmonis. Agama juga pada
sebagai upaya untuk mencapai keharmonisan
dasarnya memiliki tujuan yang sama sehingga
dalam beragama. Dalam pandangan Seligman,
norma-norma hidup bermasyarakat secara sosial
keharmonisan harus dapat diimplementasikan
banyak dipengaruhi oleh kesadaran akan budaya
melalui perilaku yang dapat melahirkan rasa
yang membawa kepada spirit jiwa beragama.
cinta kasih, integrasi sosial, keadilan, kejujuran,
Dapat dikatakan, budaya dan agama memiliki
dan rendah hati (Larson & Dawes, 2015; Thin,
corak hubungan timbal balik atau lebih tepatnya
2015). Hal tersebut juga sesuai dengan ajaran
memberikan keseimbangan dalam pola kehidupan
agama yang menganjurkan seseorang untuk
(Jalaluddin, 2009). Sebagai pertimbangannya,
saling mencintai satu sama lain (Fromm, 2019).
pertemuan budaya dan agama menjadi dominan

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 24 No. 2 Tahun 2022, hlm. 171–185 177
Sepma Pulthinka Nur Hanip, Raden Rachmy Diana

dalam masyarakat suku sehingga psikologi Bagi masyarakat Sasak yang berada di
masyarakat multikultural lebih dominan dikaji wilayah Lombok Utara, adat tapsila dijadikan
secara konteks (Groh, 2018). sebagai kontrol sosial yang dapat mencairkan
Untuk mencapai suatu sikap yang harmonis kesenjangan antara minoritas dan mayoritas.
dalam masyarakat yang beragama, penting untuk Karena sejauh ini, di Lombok Utara ada tiga
mengembangkan pengetahuan dan pemahaman agama yang yang saling hidup berdampingan
yang didapati melalui realitas sosial yang ada yaitu Hindu, Buddha, dan Islam. Sedangkan jika
sebagai pendidikan hidup (Allwood & Berry, dilihat secara kesukuan, hanya dua suku yang
2006; Long, 2011). Oleh sebab itu, norma-norma tetap eksis dengan tradisinya masing-masing
sosial yang berlaku dapat dijadikan pelajaran yaitu Suku Bali dan Sasak. Sehingga untuk
bagaimana cara berprilaku yang baik dan benar mempertahankan keharmonisan dalam beragama,
dalam struktur masyarakat. adat tapsila yang telah mentradisi ini dijadikan
sebagai satu set norma yang menyediakan dasar
Dalam agama, adat tapsila memiliki
perdamaian dan rasa toleransi.
relevansi yang tidak bertentangan dengan nilai-
nilai ajaran agama yang bersifat humanis. Hal Lahirnya hubungan positif antar umat
tersebut dibuktikan dalam konsep agama Buddha Beragama dalam masyarakat Sasak Islam dan
dalam persaudaraan bersifat universal dikenal Buddha terjadi karena adanya flourishing yang
dengan istilah metta yaitu cinta kasih, karunia, artinya, adat tapsila sebagai bentuk pengalaman
belas kasihan, dan yang terakhir mugita, yaitu hidup menyediakan suatu bentuk perasaan
senang melain melihat orang lain senang bukan yang baik yang beriorentasi kepada kesehatan
sebaliknya, dalam konsep yang terakhir ini mental sebagai basis hubungannya. Menjalin
dibutuhkan kebijaksanaan untuk melakukannya. perilaku yang positif dalam sistem masyarakat
Konsep metta dalam agama Buddha bukan hanya yang pluralis merupakan hal yang paling
sebatas dalam ruang lingkup umat Buddha, tetapi fundamental untuk menuju keharmonisan (Ryff
sudah mencakup seluruh ciptaan Tuhan, umat & Singer, 2003; Arif, 2016). Melalui hal ini,
selain Buddha, bahkan yang belum ada atau lahir otak sosial menemukan tempatnya untuk saling
di doakan. Dalam konsep metta dikenal dengan memahami keadaan mental orang lain dan diri
istilah Sabe sata bawanku tripitaka (semoga sendiri (Butler & McManus, 2021). Di satu sisi,
semua makhluk ikut berbahagia). Dalam kasus hadirnya adat tapsila ini dijadikan sebagai basis
masyarakat Sasak Islam keharmonisan dapat nilai-nilai kemanusiaan yang memberikan sebuah
dicapai dengan menjalin hubungan dengan pengalaman bermakna dan distribusi mutu-mutu
sesama tanpa melihat latar belakang suku dan kebaikan dan kemaslahatan (Johansson, et.al,
bangsa yang dibangun atas nas Al-Qur’an surat 2018).
Al-Hujurat ayat 13. Dengan adanya adat tapsila di tengah-
Pada dasarnya, agama dan adat tapsila tengah masyarakat merupakan stimulus respon
sebagai norma-norma sosial tersebut merupakan dalam mendidik perilaku dalam mengembangkan
simbol unuk membaca visi keselarasan hidup emosi positif, tercapainya tujuan untuk saling
dalam kehidupan manusia yang berpegang teguh memaafkan agar tidak terjadi konflik, dan melatih
pada nilai-nilai religiusitas. Agama dan adat tidak mindfulness tanpa menghakimi dan membeda-
terpisahkan dalam struktur masyarakat yang bedakan setiap orang.
secara tidak langsung saling berhubungan menjadi Terlebih di zaman modern ini, telah banyak
satu kesatuan (Jung, 2017). Hal ini tercermin terekspos di media cetak maupun media televisi
dalam fatwa Majelis Adat Sasak yang berbunyi telah banyak memberitakan krisis nilai yang
“aku adalah kamu, kamu adalah aku”. Nilai-nilai terjadi di masyarakat. akibatnya, manusia menjadi
keharmonisan yang dipelihara dalam kesepakatan teralienasi hingga mengalami krisis spiritual
agama sebagai basis integrasi sosialnya terwujud yang dirasakan oleh manusia modern salah
dalam menyambung silaturrahmi, persaudaraan satunya hilangnya rasa kemanusiaan, toleransi,
yang kuat antar golongan, dan bekerja sama. empati, dan kerjasama (Fromm, 2019; Kimball,

178 Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 24 No. 2 Tahun 2022, hlm. 171–185
KEHARMONISAN BERAGAMA BERBASIS ADAT TAPSILA: STUDI PADA MASYARAKAT SASAK ISLAM DAN
BUDDHA DI LOMBOK

2008). Merujuk pada pandangan Alan Tom yang Awig-awig adat baik di masa lalu maupun di
mengatakan secara gamblang, pada dasarnya masa sekarang berperan penting dalam menjaga
kehidupan dalam masyarakat yang multikutural tatanan sosial. Dalam hubungan sehari-hari
merupakan jalan untuk belajar bersama dalam semua anggota masyarakat harus mematuhi
Tindakan moral (Benninga, et.al, 2003). awig-awig yang berlaku dalam hubungan
Adat tapsila sebagai basis untuk merawat interpersonal antar suku dan agama. Awig-awig
harmoni antar agama dalam masyarakat ini lahir melalui kesepakatan bersama dari
Sasak, pada dasarnya sebagai suatu bentuk tokoh adat, agama dan pemerintah setempat
pengkondisian atau respon dari lingkungan yang bertujuan untuk terciptanya kehidupan
yang ketika melakukan perilaku kebaikan akan yang harmonis (Suprapto, 2015). Oleh sebab
selalu diulang-ulang akan melahirkan bentuk itu, dalam kehidupan masyarakat Sasak, awig-
reward atau apresiasi yang baik dari masyarakat. awig merupakan pedoman dalam mengakomodir
Sedangkan ketika melakukan hal yang menjadi segala urusan sosial kemasyarakatan baik bersifat
problem terjadinya suatu yang negatif dalam internal maupun eksternal.
arti merusak nilai-nilai keharmonisan akan Pandangan di atas merupakan pengalaman
mendapatkan hukuman (punisher) sesuai yang hidup yang mengarah pada mindfulness tentang
berlaku di dalam aturan yang telah ditetapkan pemberian atensi yang sehat. Sehat bermuara
(Jarvis, 2018). Dalam pandangan Homans, pada kondisi fisik yang prima, bermental
reward dan punishment merupakan alat tukar kuat, sehat sosial dan spiritual dan mampu
yang bersifat materi maupun non-materi yang mengalirkan emosi secara positif dan tidak hanya
dapat melahirkan respon rasa cinta, pengakuan, mengandalkan sehat yang terbebas dari penyakit
loyalitas, dukungan dan pengetahuan (Scott, dan kelemahan (Tumanggor, 2014).
2012). Kesehatan mental perilaku beragama dalam
Melanggar nilai-nilai kemanusiaan dilihat dari seberapa besar seseorang mengarahkan
dalam adat tapsila yang telah dipegang teguh atensinya kepada hal yang bijaksana dengan
masyakakat Sasak Islam dan Buddha dengan melatih diri untuk tetap tenang dan berpikir
niat merusak tatanan sosial, mengganggu secara jernih. Adanya adat tapsila ini merupakan
keharmonisan, dan hilangnya rasa toleransi nahkoda yang dapat menyadarkan diri kita untuk
sehingga menghadirkan konflik disebut dengan tetap berperilaku sesuai dengan norma yang
nantang geni yang berakibat pada dirinya berlaku di dalam bermasyarakat. Oleh sebab itu,
sendiri sehingga dikenakan sangki ngawe pati pemberian atensi harus memusatkan perhatian
yang berarti menyebut orang lain dengan kata berdasarkan konteks saat ini dengan berpijak
yang tidak seharusnya atau memfitnah sehingga pada realitas sosial dimana seseorang ingin hidup
dikenakan denda urip (denda sosial). damai, rukun, harmonis dan membangun integrasi
Sedangkan mengabaikan ketentuan yang sosial sebaik mungkin tanpa membeda-bedakan
berlaku dan telah disepakati di masyarakat suku, agama dan bahasa.
dinamakan ampah-ampah. Hal yang banyak Dalam adat tapsila ini pemberian atensi
terjadi di sosial masyarakat dewasa ini juga merujuk pada tata karma pergaulan berkeluarga
memaki orang lain yang orang sasak menamainya dan bermasyarakat, tata karma berbahasa, dan
dengan Bodo Krame yang artinya seseorang tata karma dalam upacara adat. Aspek tersebut
dikarenakan kebodohonnya seperti berbicara dapat dicapai melalui kemampuan seseorang
kasar dan Bila Bibir ambat-ambat merupakan dalam menempatkan diri secara tepat dalam
sangsi adat yang berikan kepada orang yang intraksi sosial.
menceritakan kejelekan orang dari mulut ke mulut Tata Krama pergaulan bermasyarakat,
akan dikenakan denda urip 12.450 kepeng bolong bertujuan untuk mencapai kesetaraan, tenggang
kali kurst 5-10. Sangsi-sangsi sosial tersebut telah rasa, dan mencapai sebuah pemahaman besama
tercantum dalam awak-awik adat Sasak tentang melalui pengalaman yang bermakna yang
pelanggaran sosial dalam adat tapsila. berujung pada basis kebahagian dan rasa saling

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 24 No. 2 Tahun 2022, hlm. 171–185 179
Sepma Pulthinka Nur Hanip, Raden Rachmy Diana

menghormati antar sesama. tata krama dalam sama. Dengan begitu, cara berpikir yang dibangun
bermasyarakat tersebut melahirkan suatu sistem oleh orang sasak ketika memeluk agama yang
yang mengandung nilai-nilai peduli sosial dalam berbeda membentuk keyakinan bahwa apapun
bingkai budaya lokal Suku Sasak seperti, saling agama yang dianutnya merupakan suatu pilihan
perasaq (saling memberi makanan), saling yang bersifat individu.
peringet (saling mengingatkan), dan saling sauq Di lain hal, tata krama bermasyarakat
(saling mempercayai). Perilaku demikian apa menimbulkan manfaat termasuk dalam
yang disebut Maslow dalam Sarwono (2012) menyelesaikan permasalahan yang dihadapi
sebagai karakter humanistik yang memandang secara swadaya dan bersama-sama. Fenomena
manusia secara holistik yang memiliki rasa kebersamaan tersebut merupakan realitas dari pola
kemanusiaan dan kebebasan untuk berkehandak pikir, tingkah laku, maupun nilai yang dianut oleh
terhadap dirinya sendiri tanpa ada paksaan dari masyarakat bersangkutan. Agama memberikan
luar dirinya. kontribusi terhadap nilai-nilai budaya, sehingga
Tata cara pergaulan di masyarakat salah agama dapat berdampingan bahkan berasimilasi
satunya tercermin dalam setiap acara adat dan melakukan akomodasi dengan nilai-nilai
seperti begawe, nyongkolan, dan syukuran budaya masyarakat. Agama sebagai wahyu
semua masyarakat di tegal maja mengikuti baik memiliki kebenaran mutlak, sehingga agama
itu Muslim maupun Buddha. Biasanya jika ada tidak dapat disejajarkan dengan nilai-nilai
acara, saling mengundang dan tidak ada batasan budaya lokal. Agama harus menjadi sumber nilai
atar dua umat beragama. Jika undangan muslim, bagi kelangsungan nilai-nilai budaya, sehingga
kebutuhan-kebutuhan untuk acara begawe seperti terjadilah hubungan timbal balik antara agama
memasak dan menyipkan segala keperluan dan budaya. Clifford Geertz dalam Pals (2011)
dikerjakan oleh umat muslim sendiri. Karena memandang agama sebagai suatu sistem budaya
warga umat Buddha sudah memahami jika yang dapat membentuk karakter masyarakat.
makanan yang akan disajikan harus halal menurut Prinsip perilaku sosial yang berpatokan pada
ajaran agama Islam. Watak bermasyarakat yang perilaku kolektif merupakan wujud lain dari
mengedepankan rasa kesatuan tersebut merupakan adanya solidaritas kelompok, baik secara mekanis
bentuk watak epistemic bagi komunitas beragama maupun organis yang sesuai tuntunan setiap
bagaimana mampu belajar bersama dengan setiap agama, sedangkan perilaku keagamaan yang
orang. merujuk pada ajaran agama yang ditopang oleh
Selain itu, corak bermasyarakat yang sistem ritual dan tujuan ideal, dimanifestasikan
harmonis adalah adanya rasa saling pengertian dalam bentuk perilaku institusional sehingga
sebagai salah satu syarat terbentuknya kerukunan sifat dan karakteristik perilaku lebih bergantung
yang diinginkan sehingga terbebas dari intoleransi, pada fakta sosial institusional dari sumber
diskriminasi dan terbebas dari kekerasan, baik ajaran agama itu sendiri (Saebani, 2009). Dalam
simbolik maupun fisik (Hardiman, 2009). Hal ungkapan Kuntowijoyo umat perlu disadarkan
tersebut sesuai dengan hakikat beragama sebagai untuk memiliki kesadaran akal untuk tujuan yang
jalan untuk mencari kehidupan yang bermakna, bersifat kolektif (Kuntowijoyo, 2018).
menyebarkan nilai-nilai humanis, dan memelihara Perilaku kolektif tersebut terdapat dalam
manusia dari efek nihil etika (Ali, 2015). sikap reme yang sering digambarkanoleh
Keharmonisan tidak dicapai secara instan masyarakat Sasak dengan ungkapan, “Mun
terlebih dibutuhkan rasa saling percaya sebagai pade reme selapuan becat ye selese pegawean”
suatu elemen penting dalam menjaga kerukunan. yang dimaknai dengan seluruh pekerjaan akan
Namun semua itu dapat dicapai dalam suatu cepat terselesaikan dengan cara bersama-sama.
dimensi yang berhubungan dengan kedekatan Sedangkan besiru berasal dari kata siru yang
emosional antara pemeluk agama Islam dan artinya “ke-saling-an” lebih menggambarkan
Buddha di Desa Tegal Maja yang terbangun dari corak psikologis secara sukarela, senang hati dan
leluhur disebabkan hidup dalam satu suku yang ikhlas (Hanip, 2020).

180 Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 24 No. 2 Tahun 2022, hlm. 171–185
KEHARMONISAN BERAGAMA BERBASIS ADAT TAPSILA: STUDI PADA MASYARAKAT SASAK ISLAM DAN
BUDDHA DI LOMBOK

Perilaku kolekif di atas ditemukan di keharmonisan antar umat beragama salah satunya
Dusun Lendang Bile yang sudah bercampur diakibatkan Bahasa. Melalui Bahasa yang tidak
baur antar umat Buddha dan Muslim melakukan sesuai dengan porsi dan proposisinya dapat
gotong royong dan memang dalam segala menimbulkan ujaran kebencian antar sesama yang
dimensi kehidupan yang berhubungan manusia berujung pada konflik sosial. Dalam pandangan
diwajibkan saling membantu. Hidup yang baik Habermas, perilaku dan interaksi sosial ditentukan
harus bermanfaat antar sesama jika memang tidak oleh bahasa untuk menjalin rasa toleransi antar
mau bermanfaat, harus hidup secara individu. sesama dalam ruang publik yang plural (Fultner,
Termasuk jalur akses untuk masyarakat muslim 2014). Interaksi antar individu dengan yang
yang terisolasi karena jalan yang dilalui kecil lain banyak dilakukan melalui Bahasa. Namun
dan bertempat tinggal di pegunungan dengan terkadang, dalam suatu tindakan komunikatif
membuka jalan kurang lebih 10 km dengan lebar tersebut, Bahasa menjadi sumber permasalahan
6 km dilakukan dengan gotong royong (Bobby diakibatkan pemilihan bahasa yang kurang bijak.
Rahman, 31 Maret 2021). Hal inilah yang ditekankan oleh masyarakat
Selain perilaku kolektif sebagai corak Sasak bagaimana tata krama berbahasa yang baik
tata krama dalam bermasyarakat, pentingnya dan benar dengan lawan bicara kepada orang tua
menghindari hal-hal tabu atau berperilaku buruk maupun orang muda.
seperti dalam konteks pergaulan dan keakraban Hukum, adat, norma dan prananta sosial
yang ketika dua orang saling bertemu, akan saling bukanlah akses dari tindakan rasionalitas, akan
mengumpat satu sama lainnya terlebih kata-kata tetapi hasil dari proses saling percaya dan
kotor yang keluar hingga sampai pada fitnah. Dan memahami antara berbagai elemen masyarakat.
jika hal tersebut terjadi dan menimbulkan konflik Hal ini merupakan hasil dari sebuah relasi
antar sesama masyarakat, maka akan dikenakan antar subjek yang sejajar. Konsep pemahaman
sangsi adat. komunikatif dilandasi oleh penyatuan pengalaman
Melalui hal ini, pentingnya menerapkan menuju sebuah konsensus. Setiap partisipan
norma-norma sosial yang berlaku sebagai bentuk dituntut untuk melampaui pandangan subjektif
refleksi jika berbuat baik dengan sesama, pasti mereka dan meyakinkan diri akan kesatuan dunia
akan dibalas dengan kebaikan. Dalam agama, yang intersubjektif. Hal tersebut dilandasi oleh
seruan untuk kebaikan selalu dikumandangkan mutualitas keyakinan dan rasionalitas atas dasar
sehingga membentuk kepecayaan yang jika kesatuan makna dan pemahaman makna. Lebih
kebencian dibalas dengan kebencian, maka lanjut Hibermas mengungkapkan bahwa rasio
kebencian itu tidak akan pernah berakhir. Tapi komunikatif bekerja pada ranah diskusi publik
jika kebencian dibalas dengan cinta kasih maka yang bebas dari dominasi. Sehingga ranah diskusi
kebencian itu akan hilang. Termasuk dalam adat menjadi cair, fleksibel dan terbuka bagi lahirnya
yang dipegang teguh masyarakat Sasak. Dasar- refleksi.
dasar cinta kasih banyak ditemukan dalam semua Tata krama dalam berbahasa sangat
teks keagamaan yang berbunyi, “cintailah sesama ditekankan oleh Masyarakat Sasak yang diatur
manusia sebagaimana kamu mencintai dirimu dalam adat tapsila bagaimana berkomunikasi
sendiri”. Perkataan ini hidup dalam agama dan dengan baik dan tidak menyimpang serta
masyarakat yang plural yang menjunjung tinggi menyinggung lawan berbicara. Bahasa merupakan
nilai-nilai humanistik sehingga banyak dari orang suatu kegiatan yang memastikan komunikasi
spiritualis menggambarkan sesungguhnya sikap dengan sesama dapat tercapai yang terkait erat
saling mencintai adalah hal yang paling mudah dengan pemikiran dan pengetahuan yang dapat
untuk dirasakan oleh semua manusia karena berkontribusi sebagai integrasi sosial dan budaya.
bersifat alamiah. Lebih pentingnya, melalui bahasa, perasaan,
Selain hubungan sosial, bahasa komunikasi emosi, keadaan pikiran, cerita kenangan dan
menjadi titik pijak penting dalam membangun harapan dapat tersampaikan dengan jelas (Martin,
hubungan sehat di ruang publik. Hilangnya rasa 2009). Bahasa juga dapat merepsentasikan budi

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 24 No. 2 Tahun 2022, hlm. 171–185 181
Sepma Pulthinka Nur Hanip, Raden Rachmy Diana

pekerti yang luhur dengan tindak tutur yang baik, (Arsadi, 24 Maret 2021; Windia, 2011). Hal ini
lembut dan santun. bertujuan untuk membangun sikap harmonis dan
Masyarakat Sasak, mengklarifikasikan menjadi suatu pendekatan yang representatif
bahasa menjadi tiga corak. Pertama, bahasa dalam membangun keakraban. Setelah
Sasak biase/jamaq (Sasak biasa) seperti aoq/ komunikasi yang bersifat non-formal ini menjadi
ape (iya/apa). Kedua. Sasak Alus (Halus) yaitu lebih menyambungkan suasana kedekatan,
tiang/enggih (apa/ Iya) dan. Ketiga, bahasa Sasak barulah permasalah utama bisa dihadirkan
kebangsawanan semisal kaji/meran (saya/iya) dalam komunikasi. Etika berkomunikasi tersebut
(Hasil Loka Karya Krama Adat, 2002). Dalam merupakan tata cara menghadapi tamu dan
pandangan Habermas, Bahasa memiliki fungsi pergaulan dalam bermasyarakat dari manapun
tidak hanya sebagai alat komunikasi untuk asalnya yang menjadikan ciri penting dalam
menyebarluaskan informasi melainkan sebagai menjalin kekerabatan.
sarana pemahaman mencapai pemahaman
dan rasa pengertian (Fultner, 2014). Bahasa SIMPULAN DAN SARAN
yang baik akan mencerminkan citra yang baik Adat tapsila sebagai norma sosial di dalam
dalam masyarakat bagaimana cara menghargai masyarakat Sasak Islam dan Buddha memiliki
seseorang yang lebih muda maupun orang yang andil besar terhadap pemertahanan keharmonisan
lebih tua seperti pepatah yang mengatakan suku yang memeluk dua kepercayaan yang
“Bahasa menunjukkan Bangsa” yang bermakna berbeda. Dengan diterapkannya adat tapsila ini,
ucapan tutur kata dapat mencerminkan kualitas masyarakat Sasak yang berada di Desa Tegal
mutu keperibadiannya. Maja Kabupaten Lombok Utara dapat menjaga
Dalam tingkatan Bahasa Bahasa tersebut, toleransi, menjalin kerjasama, saling membantu,
orang Sasak biasanya mengunakan salah satu dari tidak saling mendeksrimiasi, empati tanpa
bahasa utama, madya dan biasa yang tergantung marginalisasi melalui adat tapsila yang tertera
kepada siapa mereka komunikasi. Bahasa utama dalam awig-awig adat suku Sasak.
dipergunakan oleh orang yang sangat dihormati Proses penerapan adat tapsila yang
karena status sosialnya. Bahasa utama pada zaman melahirkan nilai-nilai kemanusiaan tersebut
dahulu digunakan untuk para raja atau bangsawan disepakati oleh masyarakat setempat sebagai
tinggi. Sedangkan bahasa madya dipergunakan bentuk kearifan yang diturunkan dari leluhur suku
untuk orang yang dihormati dalam pergaulan Sasak untuk hidup berdampingan dengan sesama
sehari-hari karena tingkatan ketuaannya yang tanpa memandang ras, suku, dan agama. Adat
memiliki fungsi sosial dalam masyarakat untuk tapsila menjadi tata aturan berperilaku baik itu
menyapa orang yang dikenal maupun tidak berbicara maupun sikap pergaulan dalam ranah
dikenal. Selanjutnya, bahasa biasa sering disebut sosial kemasyarakatan sehingga yang melanggar
Bahasa campak atau Bahasa aoq/ape yang aturan tersebut dapat dikenakan sangsi sosial yang
pada zaman dahulu bahasa ini digunakan oleh telah disepakati tertera dalam awig-awig (buku
kalangan masyarakat biasa atau jajar karang. aturan) adat. Penerapan adat ini juga sebagai
Bahasa ini tergolong bahasa kasar yang layak bentuk dukungan terhadap pemerintah yang
digunakan oleh orang yang berkeperibadian memiliki cita-cita besar bagaimana kehidupan
kurang baik. Tentunya orang terpelajar tidak beragama selalu rukun dan damai yang tertanam
akan menggunakan bahasa biasa ini secara luas. dalam spirit Bhinneka Tunggal Ika.
Namun digunakan dikalangan yang terbatas yaitu
Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
kepada orang yang sudah sangat akrab, sejajar
peneliti setidaknya terdapat beberapa saran yang
atau menurutnya yang lebih muda.
penting untuk diutarakan sebagai berikut:
Selain dengan bahasa yang baik, masyarakat
1. Masyarakat Indonesia yang plural dapat
Sasak dalam berkomunikasi lebih mengedepankan
menjadikan budaya lokal setempat sebagai
basa-basi atau bercerita tentang pengalaman
inspirasi mendasar untuk menjalin kerukunan
keseharian sambil duduk di berugak (Gazebo)

182 Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 24 No. 2 Tahun 2022, hlm. 171–185
KEHARMONISAN BERAGAMA BERBASIS ADAT TAPSILA: STUDI PADA MASYARAKAT SASAK ISLAM DAN
BUDDHA DI LOMBOK

dan keharmonisan antar umat beragama Budiwanti, Erni. (2000). Islam Sasak Wetu Telu versus
yang dipadukan dengan nilai-nilai agama Waktu Lima. Yogyakarta: LKiS, 2000.
yang mengajarkan kasih sayang salah Budiwanti, Erni.. (2014). Balinese minority versus
satunya dengan menerapkan peraturan Sasak Majority: Managing ethno-religious
diversity and disputes in Western Lombok.
yang disepakati oleh tokoh agama, adat dan
Heritage of Nusantara: International Journal
pemerintah guna menjalin kerukunan dan of Religious Literature and Heritage, Vol. 3,
tolernasi antar umat beragama. No. 2, December.
2. Bagi masyarakat Sasak, melestarikan budaya Budiwanti, Erni.. (2018). Pawai Ogoh-Ogoh dan
sebagai bentuk pemertahanan nilai-nilai luhur Nyepi di Bali dan Lombok: Penguatan iden-
titas agama di ruang publik. Harmoni: Jurnal
merupakan suatu hal yang paling penting
Multikultural & Multireligius, Vol. 17, No. 2,
untuk dilakukan terutama di era modern Juli-Desember.
hari ini. Budaya lokal sangat berperan Fadli, Adi. (2016). Pemikiran Islam Lokal TGH. M.
penting dalam menjaga tata aturan dalam Shaleh Hambali Bengkel. Narmada: Pustaka
bermasyarakat yang secara tidak langsung Lombok.
saling beriringan dengan spirit agama. Fromm, Erich. (2019). Psikoanalisis dan agama Terj.
3. Dalam menjaga keharmonisan antar umat Erfina Maulida. Yogyakarta: Basa-Basi.
beragama, hal yang paling penting untuk Fultner, Barbara (Ed.). (2014). “Comunicative action
and formal pragmatics.” dalam Jurgen Haber-
diterapkan adalah adanya saling percaya
mas Key Concept. New York: Routledge.
untuk menumbuhkan rasa kasih sayang dan
Funay, Yaspis Edgar N. (2020). Moderasi relasi lintas
adanya kerjasama untuk menumbuhkan
agama Tau Samawa (Orang Sumbawa) berbasis
sikap saling menjaga, menghargai dan saling keseharian di Tana Sumbawa. Jurnal Sosiologi
mendukung antar pemeluk agama. Agama 14(2).
Geertz, Clifford. (2012). Agama sebagai sistem
DAFTAR PUSTAKA kebudayaan. Dalam Daniel L. Pals (Ed.). Seven
theories of religion. Yogyakarta: IRCiSoD.
Ali, Yunasril. (2015). Mata air kearifan: Bekal
Groh, Arnold. (2018). Research methods in indigenous
spiritual menghadapi tantangan globalisasi.
contexts. Switzerland: Springer International
Jakarta: Elex Media Komputindo.
Publishing.
Allwood, Carl Martin & John W. Berry. (2006). Ori-
Habermas, Jurgen. (2008). Between naturalism and
gins and development of indigenous psycholo-
religion Terj. Ciaran Kronin. Cambridge: Polity
gies: An international analysis. International
Press.
Journal of Psychology, 41 (4).
Halili. (2016). Supremasi intoleransi: Kondisi kebe-
Arif, Iman Setiadi. (2016). Psikologi positif: Pendeka-
basan beragama/berkeyakinan dan minoritas
tan saintifik menuju kebahagiaan. Jakarta: PT.
keagamaan di Indonesia 2016.Jakarta: Setara
Gramedia Pustaka Utama.
Institute.
Asnawi. (2008). Agama & konflik sosial di Lombok
Halili (Ed.). (2018). Melawan Intoleransi di tahun
Nusa Tenggara Barat, Jakarta: Sentra Media.
politik kondisi kebebasan beragama/berkeyaki-
Badan Statistik Pemprov NTB. Nusa Tenggara Barat nan di Indonesia tahun 2018. Jakarta: Pustaka
dalam angka tahun 2020. Masyarakat Setara.
Bartolomew, Jhon Ryan. (2001). Alif Lam Mim: Keari- Hanip, Sepma Pulthinka Nur, et, al. (2020). Tradisi
fan masyarakat Sasak Terj. Imron Rosyidi. Ngejot: Positive relationship antar umat
Yogyakarta: Tiara Wacana. beragama. Jurnal Potret Pemikiran, Vol. 24,
Bellah, Robert N. (2011). Religion in human evolu- No. 2.
tion: From the paleolithic to the Axial Age. Hanip, Sepma Pulthinka Nur. (2020). Pendidikan
Cambridge: the belknap press of harvard humanistik dalam Adat Tapsila Masyarakat
university press. Sasak. Dalam Noven Kusainun, et.al (Ed.).
Benninga, Jacques S. et.al,. (2003). The relationship Pendidikan Indigenous Indonesia. Yogyakarta:
of character education implementation and Penerbit Samudra Biru.
academic achievement in elementary schools, Hardiman, F. Budi. (2009). Demokrasi Deliberatif:
Journal of Research in Character Education, Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang Pub-
Vol.1, No. 1. lik’ dalam Teori Diskursus Jurgen Hbermas.
Yogyakarta: Kanisius.

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 24 No. 2 Tahun 2022, hlm. 171–185 183
Sepma Pulthinka Nur Hanip, Raden Rachmy Diana

Harnish, David D. (2011). Tensions between adat Larson, Reed W. and Nickki Pearce Dawes. (2015).
(custom) and agama (religion) in the music Cultivating adolescents’ motivation. Dalam
of Lombok, David D. Harnish and Anne K. Stephen Joseph (ed.). Positive psychology in
Rasmussen (ed.). Divine inspirations music practice: Promoting humans flourishing in
and Islam in Indonesia. New York: Oxford work, health, education, and everyday life.
University Press. New Jersey: Jhon Wiley & Sons.
Harnish, David. (2019). Music, identities, and inter- Long, Martyn, et.al. (2011). The psychology of educa-
religious relationships at the Lingsar Festival tion. New York: Routledge.
in Lombok, Indonesia. International Journal of Lukman, H. Lalu. (2005). Pulau Lombok dalam seja-
Interreligious and Intercultural Studies (JIIS), rah ditinjau dari aspek budaya, cet. 3, Jakarta.
Volume. 2, Number. 1, April, 27-46.
Magenda, Burhan D. (2005). Dinamika peranan politik
Jalaluddin, H. (2009). Psikologi agama. Jakarta: PT. keturunan Arab di tingkat lokal. Antropologi
Raja Grafindo Persada. Indonesia, Vol. 29, No. 02.
Jamaludin. (2011). Sejarah sosial Islam di Lombok Martin, Santiago Nieto. (2009). Education in values
Tahun 1740-1935 (Studi kasus terhadap Tuan through children’s literature. a reflection on
Guru). Puslitbang Lektur dan Khazanah some empirical data. Dalam Joseph Zajda dan
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemen- Holger Daun (ed.). Global values education:
terian Agama RI. teaching democracy and peace. New York:
Jamaludin. (2011). Islam Sasak: Sejarah sosial Springer.
keagamaan di Lombok (Abad XVI-XIX)”. May, Rollo. (2019). Manusia mencari dirinya Terj.
Indo-Islamika, Volume. 1, Nomor. 1. Afthonul Afif. Yogyakarta: Basa-Basi.
Jarvis, Matt. (2018). Teori-teori psikologi: Pendekatan Morrow, David R. (2017). Moral reasoning: A text
modern untuk memahami perilaku, perasaan, and reader on ethics and contemporary moral
dan pikiran manusia Terj. SPA-Teamwork. issues. New York: Oxford University Press.
Bandung: Nusa Media.
Nashuddin. (2020). Islamic values and Sasak local
Jhonson, Doyle Paul. (2008). Contemporary sociologi- wisdoms: The pattern of educational character
cal theory an integrated multi-level approach. at NW Selaparang Pesantren, Lombok. Ulu-
New York: Springer. muna: Jounal of Islamic Studies, Vol. 24, No.1.
Johansson, Eva et.al,. (2018). Mapping the field: What Rijal, Ahsanul. (2019). Niaga dan Islamisasi masyara-
are values and values education about?. Dalam kat Lombok dalam perspektif historis dan
Eva Johansson et.al (ed). Values education in fenomenologis kritis. Kalijaga Journal of
early childhood settings: Conceps, approach, Communication, Vol. 1, No. 2.
and practices. Switzerland: Springer.
Ritzer, George. (2010). Sociological theory eight
Jung, Carl G. (2017). Psikologi dan agama Terj. edition. New York: McGraw-Hill.
Afthonul Afif. Yogyakarta: IRCiSoD.
Ruhana, Akmal Salim. (2014). Memadamkan api,
Kraan, Alfons van der. (2015). Lombok: Penaklukan, mengikat aspirasi: Penanganan konflik
penjajahan, dan keterbelakangan 1870-1940 keagamaan di Kota mataram. Harmoni, Vol.13.
Terj. M. Donny Supanra. Yogyakarta: Lengger. No. 2.
Kingsley, Jeremy. (2010). Tuan Guru, community and Ryff, Caroll D. and Burton Singer. (2003). Flourishing
conflict in Lombok, Indonesia, Dissertation, under fire: Resilence as a prototype of chal-
Melbourne Law School The University of lenged thriving. Dalam Corey L. M. Keyes
Melbourne. dan Jonathan Haidt (ed.). Flourishing: Positive
Kingsley, Jeremy J. (2012). Village elections, violence psychology and the life well lived. Washington
and Islamic leadership In Lombok, Eastern DC: American Psychological Association.
Indonesia. SOJOURN: Journal of Social Issues Saebani, Beni Ahmad. (2009). Sosiologi agama;
in Southeast Asia, Vol. 27, No. 2. Kajian tentang perilaku institusional dalam
Kuntowijoyo. (2018). Muslim tanpa masjid: Mencari beragama anggota Persis dan Nahdlatul
metode aplikasi nilai-nilai Al-Qiur’an pada Ulama. Bandung: PT Refika Aditama.
masa kini. Yogyakarta: IRCiSoD. Saihu. (2019). Pendidikan pluralisme agama: kajian
Ladner, Sam. (2014). Practical ethnography: A guide tentang integrasi budaya dan agama dalam
to doing ethnography in the private sector. menyelesaikan konflik sosial kontemporer.
United States of America: Left Coast Press, Inc. Indo-Islamika, Vol. 9, No. 1, Januari-Juni.

184 Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 24 No. 2 Tahun 2022, hlm. 171–185
KEHARMONISAN BERAGAMA BERBASIS ADAT TAPSILA: STUDI PADA MASYARAKAT SASAK ISLAM DAN
BUDDHA DI LOMBOK

Santrock, Jhon W. (2014). Psikologi pendidikan edisi Tumanggor, Rusmin, Ilmu jiwa agama (The psychol-
5 Terj. Harya Bhimasena. Jakarta: Salemba ogy of religion). Jakarta: Prenada Media Group,
Humanika. 2014.
Sarwono, Sarlito W. (2012). Pengantar psikologi Tyson, Adam. (2013). Vigilantism and violence in
umum. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. decentralized in Indonesia. Critical Asian
Satori, Djama’an dan Aan Qomariah. (2014). Metode Studies, 45:2.
penelitian qualitatif. Bandung: Alfabeta. Volk, Terese M. (1998). Music, education, and mul-
Scott, Jhon. (2012). Teori sosial: Masalah-masalah ticulturalism foundations and principles. New
pokok dalam sosiologi, Terj. Ahmad Lintang York: Oxford Univerisity Press.
Lazuardi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wacana, Lalu. (1979). Babad Lombok. Jakarta: Proyek
Silverman, Marc. (2017). A pedagogy of humanist Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia
moral education: The educational thought of dan Daerah.
Janusz Korczak. New York: Palgrave Macmil- Windia, Lalu Bayu. (2011). Manusia Sasak bagaimana
lan. menggaulinya?. Yogyakarta: Genta Press.
Stergiou, Nick. (2019). Variability in life can facilitate Zaelani, Kamarudin. (2007). Satu agama banyak
learning to live together. Dalam J.A Scott Kelso tuhan: Melacak akar sejarah teologi Waktu
(Ed.), Learning to lve together: Promoting Telu. Mataram: Pantheon Media Pressido.
social harmony. Switzerland: Springer. Zakaria, Fath. (1998). Mozaik budaya orang Mataram.
Suprapto. (2015). Religious leaders and peace build- Mataram: Sumurmas Al Hamidy.
ing: The roles of Tuan Guru and Pedanda
in conflict resolution in Lombok-Indonesia.
Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, Vol. Wawancara
53, No. 1. Amaq Kersih, Ketua Adat Sasak Beragama Islam,
Suprapto. (2017). Sasak muslims and interreligious tanggal 24 Maret 2021.
harmony: Ethnographic study of the Perang Kartadi, Ketua adat agama Buddha, 18 Maret 2021.
Topat Festival in Lombok – Indonesia. Journal
Arsadi, Mantan Kepala Dusun Lendang Bile, Desa
of Indonesian Islam, Volume. 11, Number. 01,
Tegal Maja24 Maret 2021.
June.
Bobby Rahman, Kepala Desa Tegal Maja, 31 Maret
Syakur, Ahmad Abd. (2002). Islam dan kebudayaan
2021.
Sasak (Studi tentang akulturasi nilai-nilai
Islam ke dalam kebudayaan Sasak). Disertasi:
IAIN Sunan Kalijaga. Dokumentasi
Telle, Kari. (2016). “Ritual power: Risk, rumours,
Pofil Desa Tegal Maja, Kecamatan Tanjung, Kabu-
and religious pluralism on Lombok”. The Asia
paten Lombok Utara.
Pacific Journal of Anthropology, Vol. 17, No. 5.
Hasil Loka karya Kerama Adat Orong Empak Panasan
Thin, Neil. (2015). Positive social planning. Dalam
tahun 2002, Desa Tegal Maja, Kecamatan
Stephen Joseph (ed.). Positive psychology in
Tanjung, Kabupaten Lombok Utara, NTB.
practice: Promoting humans flourishing in
work, health, educa tion, and everyday life.
New Jersey: Jhon Wiley & Sons.

Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume 24 No. 2 Tahun 2022, hlm. 171–185 185

You might also like