Yyre

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 22

Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi e-ISSN: 2460-0585

TARIF PAJAK DARI PERSPEKTIF PSIKOLOGI ANGKA

Hainun Fijriyah Asih


[email protected]
Fidiana
Lailatul Amanah

Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya

ABSTRACT

Tax disobedience is a very complex phenomenon. Various attempts by the government to abate compliance,
including the imposition of a small tax rate solution, but non-compliance remain high. As happened in
Government Regulation No. 46 of 2013, with the use of 1% tax rate, but still has a contradiction because it is
considered unfair. Profit or loss from the income taxpayers, they still have to pay taxes, because the calculation
is based on turnover. Therefore, the researcher tries to re-formulate the tax rate of Government Regulation No.
46 of 2013 by applying the basic of net income tax, and the new rate or tariff that has influence to taxpayer
psychology to obey. This research uses qualitative method of literature study. This study examines the rate of
new tariff formers using psychology of numbers with cultural studies of Java, China and numerology. In this
research, there are 6 numbers examined the psychological meaning of 1, 2, 3, 4, 5 and 10. The result of the
literature review in this study, found the numbers 1 and 10 are considered as unlucky or unlucky numbers, the
numbers 2 and 4 are considered as disadvantaged numbers, while numbers 3 and 5 are considered good
numbers of luck. Then the number three and limadi use as a new tariff formulation of Government Regulation
No. 46 of 2013 on the basis of taxation is the net income.

Keywords : Tax Feee Formulation, Psycology of Number, Javanese Culture, Chinese Culture , and Numerology

ABSTRAK

Ketidakpatuhan pajak merupakan fenomena yang sangat kompleks.berbagai usaha yang dilakukan
pemerintah untuk meninggkatkan kepatuhan, termasuk penerapkan solusi tarif pajak kecil, akan
tetapi ketidakpatuhan tetap tinggi. Seperti yang terjadi pada PP No 46 Tahun 2013, dengan
penggunaan tarif pajak 1%, namun tetap memiliki kontradiktif karena dianggap tidak adil. Laba atau
rugi dari penghasilan wajib pajak, mereka tetap harus membayar pajak, karena penghitungannya
berdasarka omzet. Oleh karena itu peneliti mencoba memformulasikan kembali tarif pajak PP No 46
Tahun 2013 dengan menggunakan dasar penggenaan pajak penghasilan neto, dan angka atau tarif
baru yang memiliki pengaruh terhadap psikologi wajib pajak untuk patuh. Penelitian ini
menggunakan metode kualiatatif studi literatur. Penelitian ini mengkaji angka pembentuk tarif baru
menggunakan psikologi angka dengan kajian budaya jawa, cina dan numerologi. Dalam penelitian
ini terdapat 6 angka yang dikaji makna psikologinya yaitu 1;2;3;4;5 dan 10. Hasil dari kajian literatur
pada penelitian ini, ditemukan angka 1 dan 10 dianggap sebagai angka sial atau tidak berungtung,
angka 2 dan 4 dianggapa sebagai angka kurang beruntung, sedangkan angka 3 dan 5 dianggap
sebagai angka baik keberuntungan. Maka angka tiga dan limadi gunakan sebagai formulasi tarif baru
PP No 46 tahun 2013 dengan dasar penggenaan pajak yaitu penghasilan neto.

Kata Kunci : Formulasi Tarif, Psikologi Angka, Budaya Jawa, Budaya Cina, Numerologi

PENDAHULUAN
Pajak berkembang sejalan dengan perkembangan suatu negara. Dalam
perkembangannya pajak merupakan sesuatu yang sentral dalam membangun negara atau
taxation was central to state-building (Michael dalam Thohari, 2011). Di Indonesia pajak
2

semakin mendapat perhatian dari pemerintah dan publik semenjak adanya penurunan
pendapatan negara yang berasal dari sumber daya alam. Pajak menjadi salah satu sumber
pendapatan negara terbesar pada setiap tahunnya. Pentingnya pajak bagi negara memacu
pemerintah untuk terus meningkatkan penerimaan pajak. Pajak melakukan terobosan
kebijakan dalam berbagai hal, diantaranya merubah logo dan slogan pajak, “Membayar
Pajak Bukti Cinta Tanah Air”, “Ayo Peduli Pajak”, “Orang Bijak Membayar Pajak”. Ditjen
Pajak juga melakukan sosialiasi untuk memperkenalkan pajak kepada masyarakat dengan
memberikan undangan sosialisasi, serta bekerjasama dengan lembaga pendidikan untuk
mensosialisasikan undang-undang dan peraturan pajak serta pelaksanaannya. Setiap tahun
Ditjen pajak juga melakukan perbaikan pelayanan dan sistem yang diberikan, seperti cara
pembayaran, format SPT (Surat Pemberitahuan Pajak) dan pelaporan yang lebih mudah
dipahami serta ditunjang dengan media online yaitu e-faktur, e-filling, dan e-billing.
Upaya telah dilakukan, namun data berkata lain. Berdasar data dari Ditjen pajak
(http://pajak.go.id) pada tahun 2011- 2015 realisasi penerimaan pajak tidak mencapai
target. APBN berasal dari pajak adalah sebesar 74,6%, dengan jumlah masyarakat
Indonesia 249 juta, GDP (gross domestic product) tahun 2015 yang diporoleh sebesar
11.667, 4 triliun rupiah, potensi atas rasio pajak adalah sebesar 12,53% dengan untuk
potensi pajak sebesar 1.463 triliun rupiah. Akan tetapi pada kenyataanya hanya ada 1.061
triliun rupiah untuk relisasi pajak. Dengan 11,09% atau 27,63 juta masyarakat Indonesia
menjadi wajib pajak, sebesar 4,11% atau senilai 10,25 juta masyarakat Indonesia yang
melaporkan pajak, dan 0,3% atau setara dengan nilai 1,5 juta masyarakat Indonesia yang
membayar pajak. Dari data tersebut menggambarkan bahwa peningkatan pelayanan
maupun upaya lainnya dari pemerintah tidak sejalan dengan peningkatan kepatuhan pajak.
Tingkat kepatuhan pajak pada masyarakat di Indonesia dapat dikatakan sangat
memprihatinkan. Lalu apa yang terjadi sebenarnya? Mengapa ketidakpatuhan tetap tinggi?
Apa ada yang salah dari penerapan pajak di Indonesia? Apakah karena banyaknya Gayus di
Direktorat Jenderal Pajak? Atau karena sudah tidak adanya rasa ingin berbagi dengan
sesama? Atau pengetahuan masyarakat yang kurang mengenai pajak?
Berbagai isu-isu menarik terus bergulir mengenai pajak. Persepsi banyak pihak
mengenai tingginya ketidakpatuhan pajak di Indonesia, makin menyemarakkan penelitian
dengan topik ketidakpatuhan pajak. Hasil pengujian secara empiris dan teoritis
membuktikan bahwa kepatuhan pajak dipengaruhi oleh berbagai faktor. Penelitian
terdahulu banyak dilakukan terkait pengkajian faktor-faktor yang mempengaruhi
kepatuhan pajak. Rendahnya pemahaman atau minimnya pengetahuan pajak yang dimiliki
wajib pajak menjadi penyebab rendahnya kepatuhan wajib pajak dan menganggap pajak
adalah hal yang rumit (Hidayat, 2016; Rachmawati, 2016; Handayani et al., 2012; Ernawati
dan Wijaya, 2016). Alasan lainnya orang yang tidak patuh membayar pajak karena faktor
kepercayaan pada otoritas pajak sebagai sarana meningkatkan kepatuhan pajak (Rahayu,
2007).
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak tahun 2011-2015 (http://pajak.go.id)
populasi orang pribadi yang berpotensi sebagai wajib pajak lebih besar dibanding wajib
pajak badan, sehingga tingkat ketidakpatuhan wajib pajak orang pribadi akan lebih
mendominasi dibandingkan dengan wajib pajak badan. Ketidakpatuhan wajib pajak orang
pribadi lebih banyak dipengaruhi oleh faktor psikologi. Penelitian mengenai pengaruh
faktor psikologi terhadap tingkat kepatuhan pajak telah banyak dilakukan (Cahyonowati et
al., 2012; Hardiningsih dan Yulianawati, 2011). Penelitian lebih lanjut terus dilakukan
mengenai sikap wajib pajak, dengan perbaikan moral. Fidiana (2014) menyatakan cara
terbaik untuk mencegah penghindaran pajak adalah dengan menciptakan moralitas
berpajak melalui iklim ekonomi yang bebas dan aman.
Dari sudut pandang sejarah dunia dan tanah air, pajak dianggap sebagai pungutan
yang bersifat memaksa, dan masyarakat tidak rela, bahkan tidak suka membayar pajak
Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi : Volume 8, Nomor 10, Oktober 2019
3

(Priyadi, 2014; Thohari, 2011; Feld dan Frey, 2007; Torgler et al.,2007). Kepatuhan pajak
merupakan sebuah permasalahan yang muncul sejak sejarah perpajakan itu sendiri dimulai
(Andreoni et al., 1998). Sifat manusia sebagai makhluk ekonomi (homo economicus), dan
cenderung mengutamakan kepentingan pribadi (self Interest), akan selalu berusaha
memakmurkan diri sendiri, berusaha mencari keuntungan sebesar-besarnya dan
meminimalkan biaya sekecil-kecilnya. Pajak merupakan biaya yang dapat mengurangi
keuntungan, maka manusia cenderung melakukan penghindaran pajak atau tax avoidance
(Allingham dan Samdmo, 1972; Hite, 1987). Besar kecilnya pajak dipengaruhi oleh tarif
yang ditetapkan. Oleh karena itu tarif pajak berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan pajak
(Alm et al, 1990; Edlund dan Aberg dalam Simanjuntak dan Mukhlis ,(2012:95); Yusof et al.,
2014.
Pendapat diatas menjadi salah satu yang melatarbelakangi keluarnya Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 sebesar 1% (satu persen). Peraturan ini untuk menggali
potensi pendapatan pajak yang berasal dari orang pribadi (UMKM). Kemudahan dalam
perhitungan dan tarif yang kecil diharapkan mampu meningkatkan kepatuhan pajak.
Penerapan PP No 46 Tahun 2013 berpengaruh positif baik dalam hal kepatuhan wajib pajak
dan peningkatan pajak penghasilan (Nashrudin dan Mustikasari, 2014; Rosella, 2015; Yasa,
2017) . terdapat kontradiksi PP No 46 Tahun 2013, jika ditinjau dari konsep keadilan dalam
pemajakan (equity principle), pengenaan PPh tidak sesuai dengan keadilan karena tidak
mencerminkan kemampuan membayar (ability to pay). PPh dihitung langsung dari
peredaran bruto maka tidak sesuai dengan konsep keadilan, sehingga dalam keadaan rugi
pun, wajib pajak tetap harus membayar pajak, dan hal tersebut dapat menurunkan
keptuhan berpajak (Tambunan, 2013; Merryana, 2014; Hakim dan Nangoi, 2015). Lalu
bagaimanakah cara mengatasi kontradiksi ketidakpatuhan pajak pada PP No 46 Tahun 2013
? Jika dasar pengenaan pajaknya dirubah menjadi neto, berapakah tarif yang akan
digunakan agar dapat meningkatkan kepatuhan pajak ? Apabila tetap menggunakan tarif
1%, maka akan terjadi penurunan pajak drastis. Waluyo (2011:17) penetapan tarif pajak
harus mendasarkan pada keadilan yang dapat menciptakan keseimbangan sosial yang
sangat penting untuk kesejahteraan masyarakat.
Berbeda dengan tarif zakat dan perpuluhan, kesadaran atau kerelaan pemenuhan
kewajiban zakat (2,5%) dan perpuluhan (10%), berlandaskan pada teori rasionalisme yang
diukur dari kepuasan fisik dan rohani (Kahf, 1982) yang berkaitan dengan dunia dan
akhirat, sedangkan kesadaran pajak berserta akuntansinya dikarakteristikkan oleh
kepatuhan formalitas, seperti melaporkan pendapatan formal berlandaskan kepada teori
individu rasional atau berdasarkan pada kepuasan fisik (keduniawian) saja. Ketika berbagai
macam tarif pajak yang ditetapkan oleh pemerintah dengan berbagai kerumitan
penghitungan, dan timbal balik yang kurang dapat dirasakan masyarakat, maka hal itu
berpengaruh pada tingkat kepatuhan pajak. Ketidakpatuhan pajak merupakan fenomena
yang sangat kompleks terjadi di berbagai belahan dunia. Merubah faktor keterpaksaan
menjadi secara sukarela adalah sesuatu tidak mudah. Peneliti ingin memberikan solusi.
Bagaimana memformulasikan tarif pajak dari perspektif psikologi angka? Diharapkan
dengan mengetahui makna angka tersebut peneliti dapat mempengaruhi psikologi
masyarakat untuk patuh berpajak.

TINJAUAN PUSTAKA

Kepatuhan Pajak
Pajak merupakan sebuah terminologi yang mengundang beragam opini, persepsi, dan
pemikiran di sebagian besar masyarakat. Hal ini terjadi karena beberapa faktor, pertama
ketidaktahuan tentang apa yang dimaksud dengan pajak dan untuk apa pajak dipungut,
sehingga menimbulkan opini yang beragam. Kedua, kecurigaan yang ditimbulkan oleh
4

pihak-pihak tertentu terhadap pemungutan pajak yang dianggap rawan untuk


diselewengkan oleh pihak pemungut pajak. Hal tersebut menimbulkan pemikiran untuk
tidak mau menjalankan kewajiban sebagai pembayar pajak. Ketiga, anggapan bahwa pajak
itu memberatkan sehingga menimbulkan berbagai cara atau strategi untuk menghindari
pembayaran pajak. Keempat, menyadari pentingnya urgensi pajak bagi keberlangsungan
hidup berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara (Ditjen Pajak, 2016:27) .
Kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana wajib
pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakan ada
terdapat dua macam kepatuhan yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan material: (1)
kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi kewajiban secara
formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang perpajakan; (2) kepatuhan material
adalah suatu keadaan dimana wajib pajak secara substantif atau hakikatnya memenuhi
semua ketentuan material perpajakan. Kepatuhan material dapat juga meliputi kepatuhan
formal (Devano dan Rahayu, 2006:110).
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2007 mengkriteriakan wajib pajak
yang patuh adalah wajib pajak yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: (a) tepat waktu
dalam menyampaikan surat pemberitahuan; (b) tidak mempunyai tunggakan pajak untuk
semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin mengangsur atau
menunda pembayaran pajak; (c) laporan keuangan diaudit oleh akuntan publik atau
lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat wajar tanpa pengecualian
selama 3 (tiga) tahun berturut-turut; dan (d) tidak pernah dipidana karena melakukan
tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.
Doktrin mengenai penyebab seseorang patuh melaksanakan kewajiban perpajakannya
(Gunadi, 2004), yaitu adanya: (1) economic models (keputusan untuk patuh di dasarkan atas
evaluasi biaya dan manfaat (cost-benefit analysis); (2) uncertainty model (keputusan untuk
patuh di dasarkan atas pertimbangan resiko terdeteksi); (3) norms of compliance (kepatuhan
tergantung pada social value atas sesuatu yang bersifat normative apakah sesuatu perilaku
yang menyimpang dari ketentuan itu dapat dibenarkan atau tidak); dan (4) the inertia
method (kepatuhan sesuai dengan praktik atau kebiasaan sehari-hari).
Berdasarkan hasil pengamatan dan wacana rendahnya kepatuhan pajak mengirim
tanda bahwa kepatuhan pajak di Indonesia masih jauh dari harapan dan butuh
ditingkatkan. Hai dan See (2011) semakin intensifnya kajian ketidakpatuhan pajak berarti
bahwa ketidakpatuhan pajak adalah masalah serius dan komplek. Tingkat kepatuhan wajib
pajak yang masih rendah akan menimbulkan selisih antara jumlah pajak yang dibayar oleh
wajib pajak dengan jumlah pajak yang seharusnya dibayar semakin besar. Selisih tersebut
merupakan kesempatan penerimaan pajak yang hilang (tax revenue forgone), karena jumlah
tersebut seharusnya diterima oleh pemerintah tetapi kenyataannya tidak (Ditjen Pajak,
2012).
Andreoni et al., (1998) mencatat bahwa permasalahan ketidakpatuhan pajak disebabkan
oleh beberapa perspektif, yaitu dari masalah keuangan publik, penegakkan hukum, desain
organisasi, ketersediaan tenaga kerja, etika maupun kombinasi diantara perspektif tersebut.
Feld dan Frey (2002, 2007) menyatakan konsep moral pajak merupakan suatu hal yang
penting sebagai motivasi untuk jujur dan semangat membayar pajak. Semangat membayar
pajak bergantung pada hubungan antar wajib pajak dengan negara, atau disebut sebagai
psychological tax contract. Psychological tax contract artinya kepatuhan pajak merupakan
implikasi dari adanya sebuah hubungan kontraktual antara kewajiban (duties) dan hak
(rights) dari masing-masing pihak yang melakukan kontrak tersebut, yaitu wajib pajak (tax
payers) dan negara (state). Wajib pajak akan melaporkan besarnya penghasilan yang
diperoleh sesuai dengan ketentuan fiskal yang telah ditetapkan oleh pemerintah, dengan
Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi : Volume 8, Nomor 10, Oktober 2019
5

catatan akan menerima fasilitas umum yang sebanding dengan besarnya pajak yang telah
dikeluarkan dalam proses legitimasi yang wajar.
Suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan, tercermin
dalam situasi dimana, wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan (Zain, 2004). Iklim pajak di masyarakat dapat
bervariasi yaitu iklim antagonis dan iklim sinergi. Iklim sinergi adalah interaksi antara
pembayar pajak dengan pemerintah yang saling bersinergi atau bekerjasama satu sama lain.
Iklim antagonis dimana interaksi yang berlawanan antara pembayar pajak dengan
pemerintah atau yang memiliki otoritas pajak (Braithwaite et al., 2007). Iklim antagonis jarak
sosialnya cenderung besar, rasa hormat bahkan pemikiran atau perasaan positif terhadap
pihak berwenang, situasi tersebut dalam konsep psikologi disebut dengan social distance.
Social distance akan menentukan tingkat penerimaan dan penolakan wajib pajak terhadap
sistem perpajakan yang selanjutnya akan mempengaruhi perilaku kepatuhan mereka.
(Bogardus, 1928 dalam Braithwaite, 2003:18). Dapat disimpulkan bahwa kepatuhan pajak
dipengaruhi bagaimana hubungan wajib pajak dengan pemerintah, dan seberapa banyak
timbal balik yang didapatkan wajib pajak atas pembayaran pajaknya. Sejalan dengan
penelitian di Mekelle, Ethopia, dalam menciptakan kepatuhan pajak tidak hanya
dipengaruhi oleh faktor perilaku dari wajib pajak. Pemerintah juga ikut andil dalam
menciptakan kepatuhan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepatuhan pajak
dipengaruhi probabilitas diaudit, kendala keuangan, perubahan kebijakan pemerintah
(Engida dan Goitom, 2014).
Torgler et al., (2007) menyebutkan permasalahan ketidakpatuhan sebagai “puzzle of tax
compliance” dan melakukan survei dan eksperimen untuk menyelidiki apakah kehadiran
moral pajak membantu menyelesaikan teka-teki ketidakpatuhan pajak. Konsep moral pajak
memberikan jawaban sejauh mana tingkat ketidakpatuhan wajib pajak. Begitu banyak orang
yang secara sukarela membayar pajak meski denda dan probabilitas audit pajaknya rendah.
Salah satu kunci penentu adalah adanya semangat untuk membayar pajak. Dalam
penelitian ini berfokus pada faktor-faktor penentu semangat membayar pajak, yaitu kualitas
tata kelola masyarakat, supremasi hukum, stabilitas politik, kualitas peraturan,
pengendalian korupsi, dan sistem peradilan dan parlemen perpajakan.
Wangsa (2009) etika dan nilai moral dari wajib pajak dapat memberikan efek positif
Ditjen Pajak untuk mencapai kepatuhan pajak selain dari aspek reformasi dan administrasi
pajak. Perlunya perubahan dan pembenahan dalam pemerintah (Ditjen Pajak) untuk
meningkatkan kepatuhan. Dibuktikan dengan penelitian Irmayani (2016) modernisasi
prosedur organisasi berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak, yang berarti
program-program untuk mewujudkan modernisasi prosedur organisasi dapat digunakan
sebagai upaya untuk meningkatkan kepatuhan. Sedangkan modernisasi struktur organisasi,
budaya organisasi dan strategi organisasi tidak berpengaruh terhadap kepatuhan.
Sistem pemungutan perpajakan menurut Waluyo (2011:17) dibagi menjadi tiga, yaitu:
(1) sistem official assesment, (2) sistem self assesment, dan yang terakhir (3) sistem withholding.
Perpajakan di Indonesia, yaitu self assessment kepatuhan untuk memenuhi kewajiban pajak
secara sukarela. Berlakunya self assessment di Indonesia, wajib pajak dalam menentukan
penerimaan negara dari sektor pajak. Mansury (2000) self assessment, wajib pajak diberi
kepercayaan untuk menghitung, membayar, dan melaporkan jumlah pajak yang
terhutang. Sistem self assesment diterapkan atas dasar kepercayaan pihak otoritas pajak
kepada wajib pajak (Rahayu, 2007). Kondisi perpajakan yang menuntut keikutsertaan aktif
wajib pajak dalam menyelenggarakan perpajakannya membutuhkan kepatuhan wajib pajak
yang tinggi, dengan pemenuhan kewajiban perpajakan yang sesuai dengan kebenarannya
(Devano dan Rahayu, 2006) dan secara sukarela melaporkannya. Namun bukan suatu hal
yang mudah bagi pemerintah untuk merubah pola pikir masyarakat suatu keterpaksaan
berubah menjadi sukarela. Kepatuhan secara sukarela cenderung diabaikan. Individu
6

cenderung menggunakan pemikiran rasionalnya untuk mempertimbangkan adanya biaya


dan manfaat dari tindakan penghindaran pajak (Kirchler et al., 2008).
Cahyonowati (2011) tingkat moral wajib pajak di Indonesia belum tumbuh dari
motivasi intrinsik individu melainkan paksaan dari faktor eksternal yaitu oleh besarnya
denda pajak dan ancaman sanksi lainya. Semakin besar denda pajak maka akan mengurangi
motivasi intrinsik seseorang untuk membayar pajak, namun demikian wajib pajak tetap
termotivasi untuk membayar pajak karena merasa berat untuk membayar denda pajak.
Tingkat moral pajak menentukan tingkat kepatuhan seseorang terhadap peraturan
perpajakan. Faktor kepercayaan terhadap sistem hukum dan perpajakan berperan penting
untuk meningkatkan moral perpajakan. Rachmawati (2016) dan Hidayat (2016) juga
membuktikan dalam penelitiannya bahwa variabel hukum yang berlaku juga
mempengaruhi. Selain itu variabel lainnya adalah tarif pajak, kualitas pelayanan,
pengetahuan perpajakan, dan kondisi perekonomian mempengaruhi ketidakpatuhan wajib
pajak.
Kepatuhan dapat didefinisikan sebagai perilaku wajib pajak dalam memenuhi
kewajiban perpajakan yang dipengaruhi motivasi. Jarvis (2000:23) menyatakan bahwa
perilaku dapat dibedakan menjadi dua jenis yang, yaitu (1) perilaku yang dituntut
(respondent behavior) berdasarkan pada refleks dan tidak perlu dipelajari, (2) perilaku operan,
merupakan perilaku hasil belajar dan dilakukan secara spontan terhadap suatu situasi,
bukan respon otomatis. Skinner (1938) dalam Jarvis (2000:23) menyatakan bahwa
kebanyakan perilaku manusia bersifat operan yang dipelajari lewat penguatan positif atau
negatif. Perilaku yang dapat membawa konsekuensi yang menyenangkan disebut
penguatan positif (positive reinforcement), sedangkan perilaku yang menyikirkan sesuatu
yang tidak menyenangkan disebut penguat negatif (Jarvis, 2000:25). Perilaku untuk tidak
taat pajak dianggap sebagai penguat negatif. Penelitian Hidayat (2016) dalam penelitiannya
dia menambahkan dua variabel lainnya yang mempengaruhi, yaitu persepsi wajib pajak,
dan kesadaran wajib pajak.
Kepatuhan pajak dari skema sosial yang disebut neo ashabiyah, melihat bahwa
ketidakpatuhan pajak menjangkiti seluruh individu bahkan melintasi sekat suku, agama,
gender, bangsa, dan negara dan berikutnya antar generasi. Budaya dan agama adalah nilai
intrinsik yang melekat dalam diri individu yang terhubung secara masif dan masal dengan
masyarakat yang pada akhirnya membentuk moralitas bersama dalam menghindari pajak
(Fidiana, 2017). Hal ini disebabkan bahwa agama merupakan elemen kunci budaya yang
menentukan perilaku (Babakus, 2004 dan Cornwell et al., 2005).

Framework Tarif Pajak


Pemungutan pajak harus ditetapkan terlebih dahulu jenis tarif yang dipergunakan,
karena tarif ini berhubungan erat dengan fungsi pajak, yaitu fungsi butget dan fungsi
mengatur (Prasetyono, 2012:13). Penetapan tarif pajak harus mendasarkan pada keadilan
yang dapat menciptakan keseimbangan sosial yang sangat penting untuk kesejahteraan
masyarakat (Waluyo, 2011:17).
Perkembangan tarif sudah terjadi sejak dahulu di zaman Julius Caesar dikenal centesima
rerum venalium yakni sejenis pajak penjualan dengan tarif 1% dari omzet penjualan, yang
sebelumnya diberlakukan oleh Augustust sebesar 4% untuk budak. Kaisar Augustust yang
dianggap sebagai ahli strategi pada zaman itu, dan dalam masa pemerintahannya kota
Roma diberi kekuasaan memungut pajak. Pajak ini sebesar 5% atas semua warisan kecuali
atas pemberian untuk anak-anak dan pasangan. Di Italia dikenal decumae, yakni pungutan
sebesar 10% (tithe) dari para petani atau penguasa tanah (Nurmantu dan Rasmini, 2014;
Priyadi, 2014). Di Indonesia reformasi pajak di Indonesia di mulai tahun 1983 ditandai
dengan tarif PPh juga diturunkan dari 45% ke 35% dan struktur tarif pajak penghasilan
disederhanakan untuk orang pribadi ataupun perusahaan (Bawazier, 2011).
Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi : Volume 8, Nomor 10, Oktober 2019
7

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 7 tahun 1983 tentang pajak


penghasilan tarif pajak yang diterapkan atas penghasilan kena pajak wajib pajak orang
pribadi dan badan, kecuali atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, adalah
sebagai berikut: (1) penghasilan kena pajak sampai dengan Rp 10.000.000,- (sepuluh juta
rupiah) tarif pajak 15% (lima belas persen); (2) penghasilan kena pajak di atas Rp.
10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) sampai dengan Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)
tarif pajak 25% (dua puluh lima persen); (3) penghasilan kena pajak di atas Rp. 50.000.000,-
(lima puluh juta rupiah), tarif pajak 35% (tiga puluh lima persen). Pada 1983 reformasi
pajak dinilai berhasil khususnya dalam meningkatkan penerimaan pajak dan menaikkan
perannya dalam APBN (Bawazier, 2011).
Tarif pajak penghasilan diatur dalam UU No. 17 Tahun 2000 yang merupakan
perubahan dari UU No. 7 Tahun 1983 dengan Peraturan Pemerintah, Tarif pajak yang
diterapkan atas penghasilan kena pajak bagi orang pribadi adalah sebagai berikut : (1)
penghasilan kena pajak sampai dengan Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) tarif
pajak 5% (lima persen); (2) penghasilan kena pajak di atas Rp 25.000.000,- (dua puluh lima
juta rupiah) sampai dengan Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) tarif pajak 10%
(sepuluh persen); (3) penghasilan kena pajak di atas Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)
sampai dengan Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) tarif pajak 15% (lima belas persen); (4)
penghasilan kena pajak di atas Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp.
200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) tarif pajak 25% (dua puluh lima persen); (5) penghasilan
kena pajak di atas Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) tarif pajak 35% (tiga puluh lima
persen). Dengan Peraturan Pemerintah, tarif tertinggi dapat diturunkan menjadi serendah-
rendahnya 25% (dua puluh lima persen).
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak (1) penghasilan kena pajak sampai dengan Rp.
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) tarif pajak 5% (lima persen); (2) penghasilan kena pajak
di atas Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp. 250.000.000,- (dua ratus
lima puluh juta rupiah) tarif pajak 15% (lima belas persen); (3) penghasilan kena pajak di
atas Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp. 500.000.000,-
(lima ratus juta rupiah) tarif pajak 25% (dua puluh lima persen); (4) Penghasilan kena pajak
di atas Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) tarif pajak 30% (tiga puluh persen).
Dengan Peraturan Pemerintah, tarif tertinggi dapat diturunkan menjadi serendah-
rendahnya 25% (dua puluh lima persen).
Besarnya tarif pajak mempengaruhi tingkat kepatuhan wajib pajak (AIm et al., 1990;
1991; Tamas dan Elod, 2008; Andreoni et al., 1998; Rachmawati, 2016). Wajib pajak akan
melaporkan lebih besar penghasilan atau pendapatan kena pajaknya, jika tarif pajak rendah,
tidak memberatkan atau menyulitkan wajib pajak (Carrol, 2008). Prawagis et al., (2016)
menyatakan bahwa persepsi tarif pajak secara parsial berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kepatuhan wajib pajak UMKM.
Adanya peluang penerimaan pajak yang cukup potensial yang berasal dari UMKM,
maka pemerintah memunculkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46
Tahun 2013. Wajib pajak orang pribadi atau badan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan
bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan
ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun pajak, dengan tarif pajak penghasilan yang bersifat
final sebagaimana dimaksud 1% (satu persen). Pertimbangan Pemerintah atas pengenaan
PPh dengan tarif 1% dari peredaran usaha setiap bulan dan bersifat final terhadap UMKM
sebagaimana tercantum dalam penjelasan umum PP 46 Tahun 2013 adalah kesederhanaan
dalam pemungutan pajak, berkurangnya beban administrasi baik bagi wajib pajak maupun
Direktorat Jenderal Pajak, serta memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter.
Namun PP 46 tahun 2013 prinsip keadilan dalam peraturan ini diabaikan, wajib pajak
semuanya diberlakukan sama oleh peraturan ini. Wajib pajak yang usahanya mengalami
8

kerugian, dengan wajib pajak yang usahanya memperoleh untung tetap harus membayar
pajak dengan tarif yang sama (Merryana, 2014). Pengenaan PPh yang bersifat final
bermakna bahwa setelah pelunasan PPh 1% yang dihitung dari peredaran bruto setiap
bulan, Kewajiban pajak atas penghasilan tersebut telah dianggap selesai dan final.
Pengenaan PPh final tidak sesuai dengan keadilan (equity principle) karena tidak
mencerminkan kemampuan membayar (ability to pay). Pemajakan yang adil adalah bahwa
semakin besar penghasilan maka semakin besar pula pajak yang harus dibayar. Ini disebut
dengan keadilan vertikal atau vertical equity (Musgrave dan Musgrave, 1976). Penghasilan
yang dimaksud di sini adalah penghasilan neto, yaitu setelah dikurangi dengan biaya-biaya
pengurang penghasilan bruto yang diperkenankan menurut ketentuan perpajakan yang
berlaku (Mansury, 1996).
Menurut Adam Smith mengacu pada the four canons of taxation pada tahun 1776.
Perpajakan hendaknya menganut prinsip-prinsip yang fundamental agar mencapai sasaran
perpajakan yang terdiri dari prinsip equity, certainty, convenience, dan economy (efficiency).
Menurut prinsip equity seharusnya di dalam sebuah sistem perpajakan, pemungutan pajak
harus adil sesuai dengan kapasitas (kemampuan) pembayar pajak dan penghasilan yang
dinikmati wajib pajak dibawah perlindungan pemerintah.
Prinsip equity terdiri dari dua, pertama bersifat horizantal equity atau keadilan yang
horizontal yang artinya pembayar pajak dengan cara, pendapatan atau kekayaan yang sama
maka jumlah pajak (beban pajak) yang dibayarkan juga sama. Kedua bersifat vertical equity
wajib pajak yang memiliki penghasilan (capasity) harus membayar pajak (beban pajak) yang
tinggi pula (Palil, 2010 dan Brotodihardjo, 2003:27). Dalam asas equality, suatu negara tidak
diperbolehkan mengadakan diskriminasi diantara sesama wajib pajak. Selain itu pajak yang
dibayar seseorang harus terang (certain) dan tidak mengenal kompromis atau not arbitrary
(Brotodihardjo, 2003-27). Prinsip certainty atau kepastian yaitu wajib pajak harus
mengetahui kewajiban pajaknya, kapan, dan dimana bayar pajak (Palil, 2010). Prinsip pajak
ini mengenai kepastian hukum perpajakan yang merupakan tujuan utama setiap undang-
undang. Undang-undang dan peraturan-peraturan harus bersifat jelas, tegas dan tidak
mengandung arti gantdaatau memberikan peluang untuk penafsiran yang lain (Devano dan
Siti, 2006:59).
Prinsip convenience berkaitan dengan kenyamanan bagaimana orang membayar pajak
mereka atau terlibat dengan sistem pajak (pengenalan pengarsipan elektronik). Devano dan
Siti (2006:63) prinsip ini mengenai pemungutan pajak, hendaknya pemerintah
memperhatikan saat-saat yang paling baik bagi si pembayar pajak. Sedangkan prinsip
efficiency mengacu pada bagaimana otoritas pajak mengumpulkan penerimaan pajak dan
dapat dibagi menjadi dua subbagian: efisiensi administrasi dan efisiensi ekonomi.
Administratif efisiensi mengacu pada biaya yang terlibat saat mengumpulkan pendapatan
pajak. Semakin banyak biaya pajak untuk mengelola, semakin sedikit uang yang terkumpul
tersedia bagi pemerintah untuk dibelanjakan. Biaya administrasi harus sekecil mungkin
untuk mencapai ekonomi yang diinginkan efisiensi (Palil 2010). Efisiensi ekonomi mengacu
pada pajak seharusnya tidak mengganggu kerja pasar. Misalnya, pengenalan pajak baru
atau kenaikan tarif pajak tidak boleh mendistorsi atau mempengaruhi perilaku pembayar
pajak atau miscompliant untuk kurang patuh (Palil, 2010). Selain itu sebuah penelitian
menunjukkan bahwa terjadi penurunan pertumbuhan wajib pajak sebesar 0,23%, yang
berarti bahwa upaya Ditjen Pajak untuk meningkatkan potensi penerimaan pajak, secara
khusus pajak UMKM, tidak tercapai dengan baik (Hakim dan Nangoi, 2015). Adanya
kotradiksi penerepan PP No 46 Tahun 2013 menunjukkan bahwa peraturan perpajakan
yang hanya berdasarkan pada tarif kecil saja tidak menjamin adanya peningkatan
kepatuhan pajak, perlu kualifikasi lainnya untuk mencapai kepatuhan pajak. Diperlukan
dasar pengenaan pajak baru dengan tarif yang sesuai.
Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi : Volume 8, Nomor 10, Oktober 2019
9

Psikologi Tarif 2,5% dan 10%


Selain pajak, masyarakat muslim juga memiliki kewajiban keagamaan seperti zakat.
Zakat (zakah) secara bahasa bermakna mensucikan tumbuh atau berkembang. Setiap umat
muslim diperintahkan untuk mengeluarkan 2.5% hartanya (telah mencapai nisab) untuk
didistribusikan kepada yang berhak. Menurut istilah zakat berarti mengeluarkan sejumlah
harta tertentu untuk diberikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya (Wibisono,
2015:1).
Tarif 2,5% dikatakan sebagai angka bocoran dari langit dimana kebenarannya adalah
mutlak. Angka 2,5% adalah angka yang sangat familiar bagi umat muslim. Angka ini adalah
angka keramat bagi umat muslim, angka yang dianggap angka yang ketetapan turun dari
langit. Tarif ini mulai diterapkan pada masa kenabian Rasulullah shallallahu álaihi‟wa
sallam. Tarif ini diterapkan sebagai ukuran zakat bagi umat muslim. Rasulullah shallallahu
álaihi‟wa sallam bersabda (hadist riwayat Ali bin Abi Thalib Radhiyallahuánhu), “jika kamu
punya 200 dirham dan dan sudah mengendap selama setahun maka ada kewajiban zakat 5
dirham. Dan kamu tidak memiliki kewajiban zakat untuk emas, kecuali jika kamu memiliki
20 dinar. Jika kamu memiliki dinar, dan sudah genap selama setahun, maka zakatnya ½
dinar. Lebih dari itu, mengikuti hitungan sebelumnya (HR Abu Daud 1575 dan dishahihkan
Al-Albani dikutip dari Bulughul Maram, 2017:310). Hadis dari Aisyah dan Ibnu Umar
radhiyallahu „anhum, mereka mengatakan, “bahwa Nabi shallallahu „alaihi wa sallam
mengambil zakat dari 20 dinar atau lebih sebesar ½ dinar. Sementara dari 40 dinar masing-
masing diambil satu dinar-satu dinar”. (HR. Ibnu Majah 1863, Daruquthni 1919, dan
dishahihkan al-Albani).
Tarif 2,5% yang merupakan tarif zakat merupakan kewajiban yang diperintahkan Allah
Subhanahu wa Ta‟ala kepada setiap muslim yang memiliki harta yang telah mencapai
nishab dengan syarat-syarat tertentu (Al Ja za‟iri, 2017:499). Tarif tersebut juga diartikan
sebagai makna ketaatan bagi umat muslim. Pajak diwajibkan oleh pemerintah dan diatur
oleh undang-undang. Sedangkan zakat diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa ta‟ala dan
diatur dalam Al-Qurán, maka hal tersebut sangat mempengaruhi kesadaran masyarakat
untuk mematuhi aturan tersebut. Sehingga tingkat kepatuhan zakat jauh lebih besar dari
tingkat kepatuhan pajak. Sekalipun pajak merupakan pungutan resmi negara, namun tidak
secara langsung menggantikan peran zakat yang merupakan kewajiban beragama.
Berdasarkan dualisme pungutan ini, belum ada kesatuan pemikiran (unity of thought) dari
ulama berkaitan dengan apakah zakat dan pajak dapat saling menegasikan atau tidak
(Fidiana, 2015).
Tarif 2,5% yang merupakan tarif zakat terdapat suatu hikmah, seperti yang ditulis oleh
Al-Jaza‟iri (2017:501) hikmah disyari‟atkanya zakat adalah (1) mensucikan hati manusia dari
penyakit-penyakit hati (kikir dan pelit, tamak, dan rakus); (2) membantu meringankan
beban dan memenuhi kebutuhan orang miskin dan yang memerlukannya; (3) menerapkan
kemaslahatan umum, dimana menjadi pondasi kehidupan dan kehagiaan umat; (4)
pemerataan kekayaan, sehingga tidak terjadi penumpukan, atau tidak tertahan pada
golongan tertentu (kaya, pengusaha, dan pedagang).
Tarif 2,5% juga bermakna sikap altruism. Sears (1991) dalam Nashori (2008), altruism
adalah tindakan sukarela yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk
menolong orang lain tanpa mengharapkan apapun kecuali mungkin perasaan melakukan
kebaikan. Dalam Borrong (2006), altruism diartikan sebagai kewajiban yang ditujukan pada
kebaikan orang lain. Keyakinan dan kepercayaan seorang muslim ketika memberikan
bagian hartanya kepada orang lain dijalan Allah maka akan dilipat gandakan dan
melapangkan rezeki (QS Al Baqarah 245), maka dorongan psikologi tersebut yang
memunculkan kerelaan akan penyerahan harta sebesar 2,5% (mencapai nisab). Maka Tarif
2,5% juga bermakna kesukarelaan, pemenuhan kewajiban berzakat lebih bersifat sukarela
dibandingkan dengan kepatuhan membayar pajak, seperti yang diugkapkan Fidiana (2014)
10

dalam penelitiannya bahwa kesadaran berzakat tanpa mempertimbangkan nisab. Sementara


itu, kesadaran pajak berserta akuntansinya menghuni maqam Islam, dikarakteristikkan oleh
kepatuhan formalitas, seperti melaporkan pendapatan formal. Jadi, terdapat dualisme
kesadaran dan kepatuhan antara pajak dan zakat; antara urusan dunia dan akhirat.
Pengelakan pajak berlandaskan kepada teori individu rasional. Berdasarkan teori
tersebut, bahwa prinsip rasional hanya didasarkan kepada kepuasan fisik (keduniawian)
saja. Rasionalisme merupakan proses memaksimumkan suatu kehendak berdasarkan
kepada suatu kendala. Berbeda dengan Kahf (1982) menurut ilmu ekonomi islam
rasionalisme tidak hanya dihubungan dengan kepuasan fisik saja, namun juga dengan
kepuasan rohani. Hal tersebut berkaitan dengan pemenuhan kewajiban muslim dalam
berzakat.
Ketika keterpaksaan wajib pajak dalam membayar pajak dapat diubah, menjadi
kerelaan , perasaan was-was, kecurigaan akan uang yang dibayarkan tidak didistribusikan
dengan baik dan tidak ada timbal balik, maka pendekatan psikologi dengan tarif 2,5% dapat
dijadikan solusinya. Begitu pula bagi tarif 10% dalam perpuluhan. Tarif 10% adalah tarif
yang sangat familiar bagi masyarakat Indonesia, sering ditemui ketika kita membeli barang
atau jasa, yaitu tarif PPN. Namun psikologi tarif 10% yang dibahas pada penelitian ini
berfokus pada tarif keagamaan. Tarif 10% telah dikenal sebagai tarif pemungutan pajak dab
keagamaan. Tarif ini dalam bahasa inggris yang dikenal sebagai tithe atau thiming artinya
sepersepuluh bagian dari penghasilan seorang umat atau jemaat di sisihkan untuk diberikan
sebagai ibadah (Hamidi, 2017).
Bangsa-bangsa di Asia, Mesir, dan Balbilonia telah melakukan hal serupa dengan
perpuluhan, menyisikan atau memberikan sebagian pendapatan mereka sebagai bentuk
rasa syukur mereka kepada dewa atau orang yang berkuasa (George, 1952:19). Menurut
kepercayaan umat nasrani, perpuluhan telah dikenal lama sejak zaman Ibrahim sebagai
bentuk syukurnya telah mengalahkan kedorlaomer (Steven, 2008:5). Secara khusus juga
dijelaskan dalam (Kejadian. 14:20), “dan terpujilah Allah maha yang maha tinggi, yang telah
menyerahkan musuhmu tanganmu” (Anggota IKAPI, 2012:29). Pada kisah Yakub, dalam
alkitab (Anggota IKAPI, 2012:28) persepuluhan dilakukan Yakub ketika ia bernazar kepada
Tuhan untuk keselamatan dalam pelariannya. Dilanjutkan pada masa taurat yaitu pada
masa Musa.
Menurut Bete‟e (2008:26) Tuhan memerintahkan persepuluhan menjadi persembahan
yang wajib diterapkan oleh bangsa Israel, namun sebagian menyebutkan bahwa dalam
sejarahnya konsep persepuluhan mengalami pergeseran dari persembahan sukarela di masa
Ibrahim dan Yakub, menjadi suatu persembahan yang wajib pada masa Taurat (Musa).
Pada masa Musa persepuluhan digunakan untuk menopang kehidupan kaum Lewi sebagai
pelayan bait suci. Bangsa lewi adalah orang-orang yang mengabadikan hidup sebagai
pelayan bait Allah, kemudian imam besar yang awalnya di isi oleh Harun saudara Musa
pembawa kitab Taurat (Anggota IKAPI, 2012:25).
Menurut Hamidi (2017) persepuluhan (10%) menekankan kerelaan untuk memberikan
sebagian rezeki yang didapatkan dari berkah yang tidak lepas dari campur tangan Tuhan,
kejujuran untuk memberikan sebagian menurut jumlah penghasilan yang telah di
usahakannya, dan cinta kasih untuk berbagi kepada Tuhannya. Tuhan sebagai zat yang
maha kaya tidak lagi butuh sebagian rezeki umatnya, namun Tuhan mengajarkan
bagaimana rasa berterimakasih, untuk selalu mengingat Tuhannya dalam keadaan apapun
dengan cara membagikan sebagian rizeki yang telah diperolehnya untuk digunakan
kepentingan sesamanya, baik dalam kondisi ekonomi yang berlebihan, berkecukupan,
maupun masih dirasa kurang, menurut kemampuannya, dengan bersukur seorang jemaat
akan mendapatkan kelebihan, semangat dan tujuan yang jelas untuk menjalani hidup di
dunia. Maka tarif 10% bagi jemaah gereja memiliki makna psikologi, yaitu kerelaan,
Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi : Volume 8, Nomor 10, Oktober 2019
11

kejujuran, cinta kasih dan rasa syukur, sehingga kepatuhan dalam perpuluhan lebih tinggi
dibandingkan kepatuhan berpajak.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif studi literartur. Sumber data dalam
penelitian ini adalah dokumen berupa buku catatan, jurnal penelitian, media cetak, karya-
karya monumental dari seseorang, media elektronik, dan lainnya. penelitian ini satuan
kajian adalah mengkaji angka atau tarif baru dengan perspektif psikologi angka dengan
tiga pendekatan, kebudayaan jawa, kebudayaan cina dan numerologi. Teknik pengumpulan
data yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu dengan studi literatur. Peneliti melakukan
analisis data sejak awal penelitian ini, dan selama proses penelitian dilaksanakan. Analisa
data dilakukan dengan mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang
dapat dikelola, mensintesiskan, mencari, dan menemukan pola, menemukan apa yang
penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang akan disusun sebagai hasil
penelitian.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Skema Tarif
Tarif diperlukan sebagai dasar untuk menentukan sejumlah uang yang dibayarkan
oleh wajib pajak. Tarif pajak merupakan ketentuan persentase (%) penentuan jumlah
(rupiah) besar kecilnya pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak sesuai dengan dasar pajak
atau objek pajak (Sudirman dan Antong, 2012:9; Supramono dan Theresia 2010:7). Secara
umum, tarif pajak dinyatakan dalam bentuk persentase. Tarif yang biasa digunakan terdiri
dari 1 atau 2 angka. Angka atau lambang bilangan merupakan suatu alat pembantu yang
memiliki makna. Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak terlepas dari angka. Berapa kali
kita makan? Identifikasi umur seseorang, identifikasi data seseorang menggunakan nomor
induk kependudukan dan sebagainya.
Angka telah dikenal lama, zaman primitif pun telah mengenal angka atau bilangan.
Pengenalan angka pada zaman primitif berbeda dengan pengenalan angka pada zaman
modern, terkait dengan kemajuan daya pikir pada zaman sekarang. Penelitian
menunjukkan bahwa di zaman primitif bilangan atau angka yang dikenal sampai pada
batas 2 atau 3 jika lebih dari itu maka mereka mengatakannnya banyak (Ruslani, 1990:11).
Sebelum tahun 700 M konsep angka telah dikenal dari wilayah Eropa dan India (Ridwan,
2016). Di Eropa angka dikenal pertama kali di Babilonia, lalu suku bangsa Mesir juga
mengenal angka dengan susunan yang menyerupai Babilonia (Ruslani, 1990:18-19). Bangsa
Yunani, Romawi, Maya, Ibrani, dan Cina pun telah mengenal angka dengan bentuk yang
berbeda-beda (Ruslani, 1990:20-26). Hal ini semakin menunjukkan bahwa keberartian
angka dalam kehidupan sehari-hari. Angka merupakan gambaran standarisasi atau arahan
bagi aktivitas manusia.
Angka yang digunakan pada masa sekarang adalah angka berasal dari Arab, namun
berbeda dengan konsep angka Arab di dalam Al-Qurán. Pada mulanya angka ini
merupakan pengembangan angka di India. Pengembangan yang fenomenal adalah
diubahnya bentuk angka-angka dari India tersebut menjadi seperti angka numerik yang kita
kenal sekarang ini oleh seorang ilmuan Islam, Al-Khawarizmi. Memiliki nama asli
Muhammad bin Musa Al-Khawarizmi. beliau dilahirkan di Bukhara dan hidup di tahun
780-850M (Ridwan, 2016). Setiap bentuk dan penyebutan angka merepresentasikan
banyaknya sudut. Bentuk angka 0, tidak mempunyai sudut, kemudian bentuk angka 1
mempunyai satu sudut. Kemudian bentuk angka 2 mempunyai dua sudut (bentuk awalnya
seperi huruf Z), kemudian angka 3 mempunyai tiga sudut, angka 4 mempunyai empat
12

sudut, angka 5 mempunnyai lima sudut dan seterusnya sampai angka 9 yang memiliki
sembilan sudut (Ridwan, 2016).
Angka telah dikenal lama, begitu pula dengan sejarah pajak dimulai sejak Mesir
(Firáun), Yunani, Romawi, Inggris, dan Amerika (Nurmantu dan Rasmini, 2014; Priyadi,
2014). Pajak telah dikenal sebagai pungutan untuk rakyat sejak sebelum masehi. Namun
belum menggunakan satuan tarif untuk menentukan besarnya pajak yang dipungut, berupa
tenaga kerja, hasil pertanian, perkebunan dan sebagainya. Menurut Nurmantu dan
Rasmini, (2014) dan Priyadi, (2014) skema perkembangan tarif pajak telah terjadi di zaman
Julius Caesar yaitu tarif 1% (centesima rerum venalium yakni sejenis pajak penjualan), tarif
4% (Zaman Augustust pajak untuk budak), tarif 5% (atas pajak semua warisan) serta 10%
(di Italia dikenal decumae). Sedangkan di Indonesia pajak berbagai macam terdapat
berbagai macam tarif. Besarnya tarif pajak penghasilan di Indonesia terkait dengan
penghasilan orang pribadi adalah : (1) tahun 1983- 2000 15%; 25%; 45% ; 35%, (2) tahun
2000-2008 5%; 10%; 15%; 25%; 35%, (3) tahun 2008- Sekarang 5%; 15; 25%; 30%
2013 1% (Sumber : Ditjen Pajak, http: www.pajak.go.Id).
Tarif juga diperkenalkan pada pungutan keagamaan, yaitu tarif 2,5% yang merupakan
tarif zakat dan tarif 10% yang merupakan pungutan gereja. Kedua tarif tersebut memiliki
makna psikologi kepatuhan, kerelaan, rasa syukur bagi setiap pemeluknya. Tarif adalah
aspek penting dalam pelaksanaan pajak. Tarif dapat mempengaruhi kepatuhan berpajak
masyarakat (Alm et al., 1990). Tarif memiliki makna psikologi bagi wajib pajak, yang dapat
memberikan dorongan wajib pajak untuk patuh. Oleh karena itu penetapan tarif pajak harus
berdasarkan pada keadilan sehingga dapat menciptakan keseimbangan untuk kesejahteraan
masyarakat. Besar kecilnya tarif mempengaruhi kepatuhan wajib pajak.
Untuk memformulasikan tarif baru menggunakan pendekatan psikologi angka
berdasarkan filosofi angka kajian ilmu budaya dan pengetahuan. Menurut kebudayaan dan
pengetahuan tertentu angka atau bilangan biasanya dijadikan suatu patokan atau dasar
untuk mengambil keputusan yang berarti, juga dipercaya membawa suatu keberuntungan
atau sebaliknya ketidakberuntungan. Dalam penelitian ini menggunakan tiga pandangan
dalam memaknai angka, yaitu menurut budaya cina, budaya jawa, dan ilmu numerologi.
Memaknai sebuah angka dalam penelitian ini merupakan sebuah kajian berdasarkan
budaya bukan berdasarkan kepercayaan penulis.
Berdasarkan feng shui atau kajian budaya cina, angka-angka memiliki makna
kehidupan. Feng shui adalah ilmu alam yang berdasarkan teori taoisme yang percaya
bahwa alam dan sekitar kita dibentuk untuk saling mendukung atau tercipta keharmonisan
(Ramalan suhu, 2016). Adanya energi (chi) positif tentu akan membawa aura yang baik bagi
sekelilingnya. Menurut kajian budaya cina angka, terkandung makna tersembunyi yang
dipercaya bisa memberikan chi positif, oleh karena itu dalam tradisi cina penggunaan angka
dalam kehidupan sehari-hari harus didasarkan oleh feng shui.
Serupa dengan kebudayaan cina, pada kebudayaan jawa, kepercayaan beberapa orang
jawa angka dapat memiliki makna. Angka dalam tanggal bulan dan tahun kelahiran dapat
menunjukkan kepribadian seseorang. Angka dalam penentuan tanggal bulan dan tahun
dalam kegiatan penting dan pernikahan dapat menunjukkan bencana atau keberuntungan.
Kajian kebudayaan yang digunakan sebagai warisan nenek moyang ditulis sebagai primbon
jawa, dan sampai sekarang masih dilestarikan dibeberapa kerajaan di Pulau Jawa.
Perhelatan akbar peringatan terkait dengan hajatan atau upacara berdasarkan primbon jawa
masih dapat kita temui sampai sekarang. Misal di Kota Yogyakarta masih diadakan ritual di
bulan suro untuk talak bala.
Pendekatan makna angka terakhir yaitu dengan ilmu numerologi adalah ilmu
pengetahuan mengenai pergerakan alam semesta secara teratur berdasarkan perhitungan
yang digambarkan melalui angka (Hidayatullah, 2018). Numerologi menggunakan angka
primer 1 sampai dengan 9, numerologi dapat digunakan untuk melihat karakter, potensi,
Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi : Volume 8, Nomor 10, Oktober 2019
13

kekuatan rintangan dan pantangan dari kehidupan. Ilmu numerologi juga dikenal di negara
lain, sebagai ilmu nujum. Ilmu untuk meramal kepribadian seseorang berdasarkan nama
yang dihitung dengan angka, maupun berdasarkan angka kelahiran.
Angka yang digunakan untuk formulasi tarif baru, adalah angka-angka sebagai berikut:
1; 2 ;3; 4; 5; dan 10. Angka-angka yang memiliki makna sejarah serta dampak psikologi pada
golongan tertentu. Dalam pendekatan yang digunakan dalam penelitian tidak
menggunakan angka 2,5% karena dalam ketiga pendekatan tersebut ini tidak mengenal
angka pecahan, sehingga diambil angka 3 dan gabungan angka 2 dan 5. Filosofi atau makna
angka-angka pembentuk tarif akan dikaji pada subab selanjutnya.

Filosofi Angka1 dan 10


Angka pertama yang akan dikaji adalah filosofi angka 10. Angka ini digunakan sebagai
tarif pajak yang cukup familier bagi wajib pajak di Indonesia. Tarif 10%
ini banyak ditemui sebagai tarif pajak yang dibebankan kepada kita sebagai
pertambahan nilai (PPN). Berdasarkan masa dahulu sejarah menunjukkan bahwa angka 10
digunakan sebagai penyusun tarif pajak (10%) di Italia (decumae), selanjutnya dikenal juga
sebagai pungutan perpuluhan (persepuluhan) dalam bahasa inggris tithe sebagai
persembahan kepada Tuhan. Persepuluh artinya bagian dari penghasilan panen atau hewan
ternak yang kemudian diberikan kepada raja atau orang yang mempunyai jabatan tertinggi
(Hamidi, 2017).
Bangsa terdahulu seperti Babilonia, Mesir Kuno dan bangsa lainnya di Asia juga
melakukan hal serupa sebagai ucapan rasa syukur yang diberikan kepada dewa atau tokoh
berkuasa (George, 1952:19). Peneliti melihat persepuluhan (perpuluhan) ini dari sudut
pandang kepercayaan lain (nasrani), yang berbeda dari kepercayaan peneliti (Islam). Dalam
ajaran mereka persepuluhan mulai dikenal pada masa Ibrahim, (Steven, 2008:5), dilanjutkan
pada kisah Yakub yang dikutip dalam Alkitab Kejadian (28:20-22), di masa selanjutnya
dalam kitab taurat yang mereka yakini, Musa pada masanya juga menyampaikan perintah
pemberian persepuluhan (Steven, 2008:5). Pada masa perkembangan geraja, pada mulanya
gereja menerapkkan kosep pemberian yang dipercaya sebagai pengembangan konsep ajaran
persepuluhan ini (Michelle dan Tjondro, 2014). Pemberian ini selanjutnya diberikan kepada
gereja sebagai penyokong perkembangan gereja dan kehidupan pelayanan geraja yang
dikenal dengan nama perpuluhan. Dapat dikatakan bahwa persepuluhan atau perpuluhan
10% bermakna rasa syukur, dan ketaaatan kepada Tuhan mereka.
Angka kedua yaitu angka satu. Angka ini adalah angka terkecil dari bilangan primer.
Angka ini digunakan sebagai penyusun tarif 1% yang dikenal pertama kali pada
pemerintahan Julius Caesar (centesima rerum venalium), yang menandakan bahwa tarif ini
telah lama dikenal sekitar 49 sebelum masehi. Tarif 1% saat ini terapkan sebagai tarif pajak
PP No 46 Tahun 2013.
Pandangan kebudayaan jawa angka sepuluh (10) dan satu (1), memiliki berbagai
makna kepribadian seseorang, jika dilihat pada tanggal kelahiran. Jika angka 10 dilihat
berdasarkan tanggal lahir seseorang, maka angka sepuluh tersebut menggambarkan
kepribadian seseorang yang yang pandai, namun pelupa dan suka bergunjing mengenai
orang lain (Gunasasmita, 2009:26). Seseorang yang memiliki kepandaian jika tidak diiringi
akhlak yang baik maka akan menjadi negatif (pandai namun suka melakukan ghibah). Jika
seseorang yang lahir ditanggal satu (1) maka orang tersebut memiliki kepribadian yang
buruk, yaitu sombong, mudah berputus asa dan sulit dinasehati (Gunasasmita, 2009:26).
Seseorang yang memiliki makna angka kelahiran di tanggal satu memiliki kepribadian yang
akan dijauhi dan banyak memiliki musuh. Bayangkan saja jika kita bersikap sombong,
namun ketika dinasehati akan kesombongannya tidak bisa menerima, maka orang tersebut
memiliki sifat yang kurang menyenangkan.
14

Angka satu dan sepuluh juga memiliki makna pada penanggalan bulan dan tahun jawa.
Pada angka 10 atau bulan kesepuluh di tahun ehe, jimawal, dal dan jimakir, merupakan
bulan baik tahun yang baik dapat digunakan untuk kegiatan penting dan pesta lainnya,
begitu pula dengan bulan satu dalam tahun alip dan bulan satu di tahun ehe merupakan
bulan yang baik. Sebaliknya mengadakan pesta atau hajat penting di tahun jawa yaitu tahun
je dan tahun wawu pada bulan kesepuluh dan pada bulan kesatu (1) di tahun jimawal,
bulan kesatu tahun je, bulan kesatu tahun be, bulan kesatu tahun wawu dan bulan kesatu
tahun jumangkir, maka bukan kebaikan yang akan muncul, namun bencana atau keburukan
yang akan terjadi (Noeradyo, 1994:10). Dalam tahun jawa bulan kesepuluh terdapat
sebanyak tiga tahun yang dapat menimbulkan bencana, dan bulan kesatu terdapat sebanyak
lima tahun yang tidak boleh dilakukan perayaan atau kegiatan penting.
Datangnya penyakit juga dapat dihindari dengan menjauhi angka-angka buruk di
tanggal, hari dan bulan jawa berdasarkan primbon jawa tertentu dengan tidak melakukan
aktivitas disaat itu hari itu disebut sebagai hari taliwangke sugro (tanggal yang sangar). Jika
kita melakukan aktivitas penting, hajatan atau pesta diangka sepuluh (10) yaitu pada
tanggal 10 bulan rabiulawal dihari jumat wage akan menimbulkan sakit perut, tanggal 10
bulan rabiulakhir di hari sabtu kliwon dan tanggal 10 jumadilawal dihari senin kliwon akan
menimbulkan sakit tulang, sedangkan pada bulan puasa di tanggal 10 hari jumát wage akan
menimbulkan sakit mata (Noeradyo, 1994:12). Penyakit lain akan timbul pada angka 1, yaitu
di tanggal 1 bulan sapar kamis pon apabila melakukan aktivitas penting orang tersebut akan
sering mengalami sakit, dan tanggal 1 bulan besar hari selasa legi akan menyebabkan
kesusahan bagi orang yang melakukan hajatan (Noeradyo, 1994:12). Berdasarkan budaya
jawa agar terbebas dari penyakit dan kesusahan mereka akan menghindari angka 1 dan 10
di hari tanggal dan bulan yang ditetapkan.
Primbon jawa meklasifikasikan tanggal yang harus dihindari untuk melakukan hajat
khususnya pernikahan menjadi tiga, yaitu tanggal naás, tanggal sangar dan tanggal bangas
padewan, agar terhindar dari musibah kubro. Tanggal sepuluh yang bertepatan dengan
tanggal Naás dilarang berhajat apapun terutama akad nikah yaitu pada tangal 10
rabiulawal, 10 rabiulakhir, 10 jumadilakhir, 10 sawal, 10 besar, 1 sapar dan satu
jumadilawal. (Noeradyo, 1994:19). Klasifikasi kedua tanggal yang sangar atau disebut
taliwangke kubro, adalah tanggal 10 sapar jangan mengadakan hajatan pernikahan dan
acara penting lainnya (Noeradyo, 1994:20). Begitu pula untuk tanggal 10 rabiulakhir, 10
jumadilakhir, 10 jumadilawal, 10 sawal, dan 1 rabiulawal adalah tanggal dilarangnya
menikahkan seseorang dan hatajatan lainnya, apabila melanggar amat berbahaya, akan
medatangkan kesukaran yang disebut bangas padewan (Noeradyo, 1994:20). Angka
sepuluh pada penanggalan jawa banyak terdapat larangan untuk perayaan, yang
menandakan bahwa angka 10 bukan angka yang baik angka ketidakberuntungan.
Dalam ilmu numerologi angka 10 adalah angka gabungan yaitu angka 1 dan 0, maka
maknanya dari 10 dan 1 adalah memiliki makna positif, yaitu memiliki pribadi yang
kepemimpinan, aktif, pemberani, mandiri, berwibawa, penuh percaya diri, pantang
menyerah dan tegas dalam mengambil keputusan. Dan makna negatif yang egois, keras
kepala, merasa benar sendiri, berpotensi otoriter dan diktator (Hidayatullah, 2018). Serupa
dengan numerologi, dalam feng shui (Kebajikan, 2013; Ramalan Suhu, 2016; Komunitas
nomor cantik) angka 10 adalah gabungan makna angka 1 dan 0 sehingga makna 10 dan 1
hampir serupa, yaiu bermakna ketiadaan, kesombongan, diri sendiri, dan sombong, namun
juga bermakna sebuah awal. Makna angka 1 dalam feng shui memiliki kesamaaan pada
angka 1 berdasarkan tanggal kelahiran pada primbon jawa.
Berdasarkan ketiga filosofi angka tersebut, angka 10 banyak memiliki larangan dan
menyebabkan penyakit dibandingkan dengan angka 1. Namun bukan berarti angka satu
memiliki makna yang baik. Angka sepuluh menduduki posisi pertama sebagai angka yang
dianggap buruk atau tidak membawa keberuntungan bagi budaya Jawa dan Cina, dan
Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi : Volume 8, Nomor 10, Oktober 2019
15

angka 1 merupakan urutan kedua setelah angka 10. Secara psikologi angka kedua angka ini
memiliki filosofi angka ketidakberuntungan atau sial.

Filosofi Angka 2 dan 4


Filosofi angka empat, angka ini dikenal dalam tarif 4% yang diperkenalkan pertama kali
oleh Augustust sebagai pajak untuk budak. Angka dua merupakan komponen pembentuk
tarif 2% mendekati tarif yang usulan awal dari peneliti yaitu tarif zakat. tarif ini jika dilihat
dari sudut pandang budaya cina (Kebajikan, 2013; Ramalan Suhu, 2016; Komunitas nomor
cantik) angka dua bermakna baik yaitu makna kemudahan, tidak sulit dalam segala hal,
sedangkan angka empat bermakna kematian. Angka empat juga bermakna kemiskinan dan
kesusahan. Menurut pelafalannya shi yang artinya kematian. Makna yang cukup
mengerikan berdasarkan feng shui, kematian adalah kesialan terburuk.
Pandangan budaya jawa apabila angka dihubungkan dengan kepribadian seseorang
berdasarkan tanggal kelahiran. Angka empat ini jika telaah dalam makna primbon jawa
seseorang yang lahir di tanggal empat (4), memiliki kepribadian yang baik, yaitu
kepribadian yang optimis, pandai berkata-kata, dan memiliki daya ingat yang kuat
(Gunasasmita, 2009:26). Berdasarkan kebudaya jawa sangat beruntung seseorang yang lahir
di tanggal empat. Tidak sebaik seseorang yang lahir di tanggal empat, seseorang yang lahir
di tanggal dua memiliki makna yaitu seseorang itu memiliki sifat mudah lupa, mudah
berputus asa, namun mudah bergaul (Gunasasmita, 2009:26).
Coba kita kaji dengan sudut pandang numerologi. Angka 2 menggambarkan sifat
kelembutan, kerjasama, toleran, persaudaraan, hati-hati, moderat, cinta damai, penuh
perhatian dan mau mengalah untuk keharmonisan. Namun memiliki kelemahan kurang
percaya diri, ragu-ragu, angin-anginan, mudah terombang-ambing, berpotensi menjadi
pembohong penuh tipu daya dan culas (Ron, 2015). Seseorang yang memiliki kelembutan
akan cenderung untuk mengalah lebih memilih menghindari konflik berhati-hati, namun
jika terlalu berhati-hati justru akan cenderung mengarah pada keragu-raguan yang
menimbulkan perasaan kurang percaya diri, sehingga mudah terombang-ambing. Menjadi
pembohong dan culas muncul sebagai dampak negatif menutup-nutupi masalah untuk
menghindari konflik atau cinta damai. Ilmu numerologi melihat angka empat sebagai
kepribadian yang tertib, disiplin, sistematis, serius, formalistik, birokratis sikap tersebut
cenderung menciptakan kelemahan yaitu sifat yang kaku dan dingin. Selain itu angka
empat menggambar pribadi sikap konstruktif, konservatif dan bertanggungjawab namun
lamban, berpotensi menjadi penjilat.
Berdasar primbon jawa (Noeradyo, 1994:10) terdapat bulan baik dan buruk dalam
tahun jawa. Bulan yang baik jika bulan keempat tahun je, bulan kedua tahun ehe, bulan
keempat di tahun wawu dan bulan kedua tahun wawu. Pada bulan dan tahun jawa tersebut
diperbolehkan bahkan dianjurkan sebagai waktu yang baik untuk mengadakan perayaan
atau pesta. Sedang waktu yang tidak baik untuk melakukan kegiatan atau perayaan penting
adalah bulan kedua tahun jimawal, bulan kedua tahun je, bulan kedua tahun dal, bulan
kedua di tahun be. Dan bulan keempat tahun ehe. Larangan pada angka 2 jauh lebih banyak
dibandingkan dengan angka empat.
Taliwangke sugro atau tanggal sanggar adalah penanggalan jawa yang harus dihindari
agar jauh dari musibah dan penyakit yang bersifat lebih kevil (sugro). Tanggal taliwangke
yang berhubungan dengan angka dua adalah di tanggal 2 bulan rejeb rabu pahing. Menurut
budaya jawa terdapat konsekuensi jika seseorang melanggar yaitu orang tersebut akan
terkena racun atau keracunan (Noeradyo, 1994:12). Sedangkan angka 4 tidak memiliki
tanggal sangar atau taliwangke sugro. Sehingga tanggal empat dapat diartikan sebagai
angka yang baik, keberuntungan tidak akan ada musibah dalam hal tanggal taliwangke
sugro.
16

Peringatan adanya bencana secara umum terdapat tanggal naás, tanggal sangar kubro
dan tanggal bangas padewan. Pada angka 2 memiliki tiga tanggal yang dilarang untuk
diadakan hajat, yaitu tanggal 2 bulan rejeb yang merupakan tanggal naás , tanggal 2 bulan
sawal adalah tanggal sangar, dan terakhir di tanggal 2 bulan dulkaidah (Noeradyo,
1994:19). Pada tanggal 4 bulan ruwah yang termasuk sebagai tanggal bangsa pasadewan,
tanggal dilarangnya menyelenggarakan hajat menikahkan dan sebagainya, apabila
dilanggar sangat berbahaya dan mendatangkan kesukaran. Tanggal empat tidak memiliki
tanggal naás dan tanggal taliwangke kubro. Berdasarkan klasifikasi tanggal naás, tanggal
sangar kubro dan bangas padewan angka 4 dianggap lebih baik dibandingkan angka 2.
Dapat ditarik kesimpulan secara keseluruhan makna-makna angka diatas, angka 2 dan 4
memiliki filosofi kurang beruntung, tidak pada taraf angka sial

Filosofi Angka 3 dan 5


Apabila dilihat dari sejarah angka 5 telah digunakan di Roma sebagai tarif pajak atas
semua warisan kecuali atas pemberian untuk anak-anak dan pasangan (Nurmantu dan
Rasmini, 2014; Priyadi, 2014). Angka lima jika telaah dalam makna kebudayaan jawa
seseorang yang lahir ditanggal lima memiliki tabiat yang buruk pemarah, suka menyakiti,
pandai berbicara namun dermawan (Gunasasmita, 2009:26). Seseorang yang lahir ditanggal
tiga memiliki kepribadian yang lebih baik berdasarkan Gunasasmita (2009:26), yaitu suka
pada kesederhanaan, penuh kasih sayang dan cinta, serta berparas rupawan. Berdasarkan
budaya tersebut, seseorang bahkan akan mengusahakan kelahiran di tanggal tiga, agar
anaknya memiliki kepribadian yang bagus.
Kepribadian berdasarkan kebudayaan Cina (Kebajikan, 2013; Ramalan Suhu, 2016;
Komunitas nomor cantik) angka 3 bermakna menemukan atau mendapatkan sesuatu,
merupakan angka keberuntungan. Selain itu angka tiga bermakna hidup, sedangkan angka
lima bermakna tidak akan, tidak pernah, maupun tidak bisa. Namun ada juga yang
menganggap angka lima sebagai angka keberuntungan karena melambangkan lima elemen
yang ada, yaitu elemen kayu, api, logam, tanah dan air. Menurut budaya tionghoa, kelima
elemen tersebut juga mewakili kekayaan, kebahagiaan, umur panjang, keberuntungan dan
kemakmuran.
Ilmu numerologi melihat angka lima sebagai pribadi yang progresif, dinamis, cinta
kebebasan, pembaharu, bersemangat, namun berapi-api, sensual, bergairah dan penuh
pesona. Kadang bersikap gelisah, berubah-ubah, sulit dikendalikan, memberontak,
berpotensi menjadi ekstremis dan radikal. Sedangkan makna secara numerologi angka tiga
adalah seseorang yang memiliki kepribadian yang semangat, kreatif, komunikatif,
imajinatif, ekspresif, inspiratif, kritis, pandai, dan bernasib baik. Untuk kepribadian yang
bermakna negatif adalah ceroboh, sembrono, berbelit-belit, dan berpotensi menjadi
provokator dan perusak (Ron, 2015).
Menurut primbon jawa (Noeradyo, 1994:10) untuk keperluan hajat atau pernikahan
jatuhkanlah pada bulan yang baik dan hindarilah yang sebaliknya. Bulan jawa yang baik
jatuh pada bulan kelima tahun je, bulan ketiga dan bulan kelima di tahun wawu, serta bulan
ketiga tahun jimakir. Di bulan kelima tahun jimawal, dan bulan ketiga pada tiga tahun,
yaitu tahun jimawal, je dan dal merupakan bulan dan tahun penanggalan jawa yang
tergolong sebagai waktu yang tidak baik. Dalam primbon juga di jelaskan bahwa segala
keperluan yang penting hendaknya menghindari bulan, tanggal dan hati taliwangke sugro
atau tanggal yang sangar supaya luput dari akibat yang timbul. Namun untuk angka 3 dan
5 tidak termasuk dalam tanggal, hari dan bulan taliwangke (Noeradyo, 1994:12). Sehingga
angka tiga dan lima dapat diartikan sebagai angka yang baik, keberuntungan tidak akan
ada musibah.
Noeradyo (1994:20) menulis dalam bukunya bahwa angka tiga dan lima tidak termasuk
di dalam tanggal-tanggal larangan yaitu tanggal naás, tanggal yang sangar atau taliwangke
Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi : Volume 8, Nomor 10, Oktober 2019
17

kubro dan tanggal bangas padewan. Tanggal-tanggal tersebut adalah tanggal dilarangnya
menyelenggarakan hajat menikahkan dan sebagainya, apabila dilanggar sangat berbahaya
dan mendatangkan kesukaran. Hal ini membuktikan bahwa tanggal tiga dan lima adalah
tanggal yang baik. Dapat disimpulkan bahwa filosofi atau makna yang terkandung dalam
angka 3 dan 5 adalah angka baik, atau beruntung.

Psikologi Angka Meningkatkan Kepatuhan Berpajak


Membuat suatu keputusan untuk patuh atau tidak dipengaruhi oleh perilaku
seseorang. Keyakinan dan kepercayaan yang didapatkan melalui pengetahuan maupun
pembelajaran, serta adanya perasaan yang dipengaruhi emosi (tentang suka atau tidak suka
terhadap suatu objek) dapat membentuk perilaku seseorang. Dalam perpajakan salah satu
yang mempengaruhi perilaku kepatuhan atau ketidakpatuhan seseorang adalah teori
individu rasional (Hite, 1987) atau prinsip ekonomi. Kecenderungan kita menghindari pajak
yang diyakini atau dipercayai dapat meminimalkan biaya juga didasari oleh teori tersebut.
Hal ini juga dirasa oleh peneliti, ada rasa kehilangan ketika uang kita digunakan untuk
membayar pajak, merasa bahwa kepuasan kita berkurang (perasaan menyayangkan ketika
ada uang yang dikeluarkan untuk membayar pajak). Oleh karena tarif yang kecil juga
sebagai salah satu faktor yang berarti untuk meningkatkan kepatuhan.
Sejarah pemungutan pajak secara paksa menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi
pandangan orang mengenai pajak, pajak adalah suatu keterpaksaan yang dilegalisasi oleh
hukum negara.Selain ini adanya budaya juga mempengaruhi sikap, perilaku, dan norma
seseorang (Matsumoto, 2013 dalam Budiarto, 2016). Kepatuhan membayar pajak karena
adanya rasa takut karena sanksi dan adanya kepercayaan bahwa membayar pajak akan
membawa manfaat. Hal serupa yang terjadi dengan aturan berdasarkan kajian budaya,
kepatuhan mereka juga berdasarkan ketakutan akan karma yang didapat jika melanggar
aturan budaya, atau kepercayaan akan membawa keberuntungan. Kepatuhan membayar
pajak karena adanya rasa takut karena sanksi bukan karena kepercayaan bahwa membayar
pajak akan membawa manfaat. Menurut Jahoda (1992) dalam Budiarto (2016) budaya
adalah cara manusia untuk memahami dunia. Sehingga dapat dikatakan bahwa budaya
tidak akan terpisahkan dari pemikiran dan kepribadian dari individu. Penerapan adat
istiadat yang sampai pada hari ini terus dilakukan, hal ini membuktikan bahwa sebagian
besar masyarakat menghadapi perkembangan zaman dengan ajaran budaya yang mereka
peroleh secara turun temurun.
Penelitian ini mencoba menangkap peluang atau adanya potensi peningkatan
kepatuhan pajak berdasarkan psikologi angka dilihat dari kajian budaya. Oleh karena itu
dengan anggapan seperti diatas maka penelitian ini mencoba menangkap peluang atau
adanya potensi peningkatan kepatuhan pajak berdasarkan psikologi angka dilihat dari
kajian budaya Penelitian ini merupakan kajian pada ranah ilmiah dengan sudut pandang
budaya jawa, budaya cina dan numerolgi, bukan pada ranah keagamaan yang mendasari
keimanan seseorang.
Dalam penelitian ini didapat bahwa angka 1; 10; 2 dan 4 dianggap sebagai angka yang
memiliki makna yang kurang beruntung atau bahkan tidak beruntung (sial), sedangkan
angka 3 dan 5 berdasarkan penelitian ini memiliki makna angka yang baik, atau beruntung.
Berdasarkan hal tersebut penelitian ini mengusulkan angka 3 dan 5 sebagai penyusun tarif
baru pajak PP No 46 tahun 2013. Formulasi pajak harus sesuai dengan kemampuan
membayar pajak (ability to pay taxes), yaitu formulasi tarif menggunakan nilai neto sebagai
dasar pengenaan pajak (omzet dikurangi biaya-biaya yang diperbolehkan pajak untuk
diakui). Neto dapat menggambarkan atas laba atau rugi dari pendapatan seseorang.
Tarif PP No 46 Tahun 2013 tarif prosposional, tarif yang presentasenya tetap, namun
jumlah pajak yang harus dibayarkan berubah bergantung pada dasar pengenaan pajaknya
(Brotodihardjo, 2003:179). Formulasi pajak harus sesuai dengan kemampuan membayar
18

pajak (ability to pay taxes), yaitu formulasi tarif menggunakan nilai neto sebagai dasar
pengenaan pajak (omzet dikurangi biaya-biaya yang diperbolehkan pajak untuk diakui).
Neto dapat menggambarkan atas laba atau rugi dari pendapatan seseorang. Formulasi tarif
harus didasarkan pada keadilan yang dapat menciptakan keseimbangan sosial yang sangat
penting untuk kesejahteraan masyarakat (Waluyo, 2011:17). Maka formulasi pajak PP No 46
Tahun 2013 menggunakan tarif pajak rendah, karena besar kecilnya tarif pajak
mempengaruhi kepatuhan pajak (Alm et al., 1990; Simanjuntak dan Mukhlis, 2012:95).
Penelitian ini tetap menggunakan asumsi dari pendapatan dan teori mengenai
penetapan tarif diatas. Hasil penelitian formuslasi tarif baru PP No 46 Tahun 2013
menggunakan salah satu alternatif angka , yaitu 3% dan 5%. Angka 3 dan 5 yang memiliki
makna psikologi yang baik, sehingga diharapkan mampu meningkatkan kepatuhan dalam
berpajak. Hasil penelitian ini menghasilkan tarif lebih besar dibandingkan dengan tarif awal
yaitu 1%. Namun tarif 3% atau 5% tersebut dikalikan dengan dasar pengenaan pajak yang
berbeda dari sebelumnya ketika menggunakan 1% yang dihitung dari omzet. Tarif 3% atau
5% dihitung berdasarkan dasar pengenaan pajak penghasilan neto, sehingga harapan
peneliti pemasukan pajak bagi negara tidak terlalu kecil dan wajib pajak juga diuntungkan
karena tidak dihitung berdasarkan omzet.

Inferensi, Implikasi dan Limitasi


Perlunya peningkatan kepatuhan untuk meningkatkan pendapatan pajak sebagai suatu
latar belakang awal penelitian ini. Besar kecilnya tarif pajak berpengaruh terhadap
kepatuhan berpajak. Selain itu kajian budaya dan ilmu pengetahuan digunakan untuk
mempengaruhi psikologi wajib pajak untuk patuh dalam berpajak. Oleh karena itu perlunya
formulasi tarif pajak dari perspektif psikologi angka, memaknai angka berdasarkan kajian
budaya dan pengetahuan. Berdasarkan hasil kajian tersebut angka 1 dan 10 mengandung
makna psikologi sebagai angka sial atau buruk, angka 2 dan 4 mengandung makna
psikologi sebagai angka yang membawa kondisi kurang beruntung, angka 3 dan 5
mengandung makna psikologi sebagai angka yang membawa keberuntungan atau angka
baik. Angka 3 atau 5 bisa dijadikan sebagai rujukan formulasi tarif pajak baru untuk PP No
46 Tahun 2013. Tarif yang terbentuk dari hasil kajian adalah 3% dan 5%. Dengan memilih
salah satu tarif tersebut penghitungan pajaknya berdasarkan dasar pengenaan pajak
penghasilan neto.
Penelitian ini terbatas hanya menggunakan enam angka untuk dianalisis dan
menggunakan tiga pendekatan. Peneliti selanjutnya sebaiknya menambah varian angka
yang akan diteliti menambah pendekatan lain yang digunakan sebagai bahan penelitian
dengan kajian yang lebih luas. Setelah melakukan analisa angka, peneliti hanya
mengusulkan tarif saja, namun tidak melakukan simulasi tarif sehingga tidak dapat
diketahui mengenai penerapan perhitungannya. Disarankan untuk penelitian berikutnya
melakukan simulasi tarif dengan menggunakan data dari kantor pajak serta melakukan
pengujian empiris.

DAFTAR PUSTAKA
Bulugh. A. al-Maram Min Adillah al-Ahkam. Terjemahan Dar ash-Shiddiq. Al-Jubail. Karimi, I.
2017. Bulughul Maram: Himpunan Hadist-Hadist Hukum Dalam Fikih Islam. Cetakan 4.
Darul Haq. Jakarta.
Al-Jaza‟iri, A. B. Jabir. 1419 H. Minhajul Muslim. Cetakan 4. Maktabah al-Ulum wa al-Hikam.
Terjemahan Madinah. M. A. Aíni., F Hamzah, dan K. Mutaqin. 2017. Minhajul
Muslim: Konsep Hidup Ideal dalam Islam. Edisi 12. Darul Haq. Jakarta.
Allingham, M. G., dan A. Sandmo. 1972. Income tax evasion: A theoretical analysis. Journal
of public economics. 1(3-4) :323-338.
Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi : Volume 8, Nomor 10, Oktober 2019
19

Alm, J. 1991. A Perspective On The Experimental Analysis of Taxpayer Reporting. The


Accounting Review 66(3): 577-593.
Alm, J., R. Bahl., dan M. N. Murray. 1990. Tax Structure and Tax Compliance.The Review Of
Economics And Statistics. 603-613.
Andreoni, J., B. Erard., dan J. Feinstein. 1998. Tax compliance. Journal of economic literature
36(2).
Anggota IKAPI. 2012. Alkitab Perjanjian Lama. Lembaga Alkitab Indonesia. Jakarta.
Babakus, E., Cornwell, T. B., Mitchell, V. dan Schlegelmilch, B. 2004. Reactions to Unethical
Consumer Behavior Across Six Countries, Journal of Consumer Marketing. 21 (4): 254–
263.
Bawazier, F. 2011. Reformasi Pajak di Indonesia Tax Reform In Indonesia. Jurnal Lesgislasi
Indonesia. 8(1).
Budiarto, Y. 2016. Psikologi Sosial dan Adat. http://untar.ac.id/fp/budaya-dan-pelajaran-
psikologi. Diakses 17 Februari (12:30).
Braithwaite, V., K. Murphy., dan M. Reinhart. 2007. Taxation Threat, Motivational Postures,
And Responsive Regulation. Law dan Policy. 29(1): 137-158.
Brotodihardjo, R.S. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Edisi Keempat. PT Refika Aditama.
Bandung.
Carrol, R. 2008. The 2001 and 2003 Tax relief: The benefits of lower tax rate : Tax Foundation,
Fiscal Fact, August 2008, No. 141. Diakses dari http://www.taxfoundation.org/files/ff141.
Diakses pada tanggal 26 februari 2018.
Cahyonowati, N., D. Ratmono, dan Faisal. 2012. Peranan Etika, Pemeriksaan , dan Denda
Pajak untuk Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi. Jurnal Akuntansi
dan Keuangan Indonesia. 9 (2):136-153.
Direktorat Jenderal Pajak. 2012. Strategi Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak.
http://www.pajak-.go.id. 4 Juli 2016 (09:30).
Devano, S, dan S. K. Rahayu. 2006. Perpajakan Kosep, Teori dan Isu. Kencana Prenada Media
Group. Jakarta.
Direktorat Jenderal Pajak. 2012. Strategi Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak.
http://www.pajak-.go.id. Diakses 4 Juli 2016 (09:30).
. 2016. Booklet Inklusi Kesadaran Pajak. http://pajak.go.id/inklusi-
kesadaran-pajak. Diakses 4 Juli 2016 (09:30).
. 2016. Kesadaran Pajak. Materi Terbuka Dalam Pendidikan Tinggi.
http://edukasi.pajak.go.id. Diakses 4 Juli 2016 (09:30).
Engida, T. Getacher, dan Baisa G. A . 2014. Factors Influencing taxpayers‟ compliance with
the tax system: An empirical study in Mekelle City, Ethiopia. E-Journal of Tax
Research. 12(2):433- 452
Ernawati, S. dan Wijaya, M., 2016. Pengaruh Pemahaman Akuntansi Pajak Terhadap
Kepatuhan Wajib Pajak Badan Usaha Dibidang Perdagangan di Kantor Pelayanan
Pajak Pratama Banjarmasin. Jurnal Ilmiah Bisnis Dan Keuangan. 1(1).
Feld, L. P., dan Frey, B. S. 2002. Deterrence and Tax Morale: How Tax Administrations And
Tax Payers Interact. Unpublished Manuscript. http://www.oecd. org.Feld, L. P.,
dan B. Frey. S.2007. Tax Compliance as The Result of a Psychological Tax Contract:
The Role of Incentives and Responsive Regulation. Law and Policy. 29(1):102-120.
.2007. Tax Compliance as The Result of a Psychological Tax
Contract: The Role of Incentives and Responsive Regulation. Law and Policy.
29(1):102-120.
Fidiana, F. 2014. Eman dan Iman: Dualisme Kesadaran dan Kepatuhan. Disertasi.
Universitas Brawijaya.
Fidiana, F., dan Ngumar, S. 2015. Pemanfaatan Pungutan Zakat Pada Mekanisme Pajak.
Prosiding Simposium Nasional Akuntansi Vokasi ke-4, Manado.
20

Gunasasmita, R. 2009. Kitab Primbon Jawa Serbaguna. Cetakan Kedua. Narasi. Yogyakarta.
Fidiana, F, 2017. Kepatuhan Pajak Dalam Perspektif Neo Ashabiyah. Ekuitas (Jurnal Ekonomi
Dan Keuangan). 19(2):260-275.
Gunadi. 2004. Reformasi Administrasi Perpajakan Dalam Rangka Kontribusi Menuju Good
Governace. Makalah Orasi Ilmiah. Upacara Penerimaan Jabatan Guru Besar Luar
Biasa Dalam bidang Oerpajakan Pada Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Pilitik
Universitas Indonesia. 13 Maret 2004. Depok.
Hakim, F., dan G. B. Nangoi. 2015. Analisis Penerapan PP. No. 46 Tahun 2013 Tentang Pajak
Penghasilan UMKM Terhadap Tingkat Pertumbuhan Wajib Pajak Dan Penerimaan
PPh Pasal 4 Ayat (2) Pada KPP Pratama Manado. Jurnal EMBA: Jurnal Riset Ekonomi,
Manajemen, Bisnis dan Akuntansi. 3(1).
Hai, O. T. dan L. M. See. 2011. Intention of Tax Non-Compliance-Examine the Gaps.
International Journal of Business and Social Science. 2 No. 7 (Special Issue –April).
Hamidi, M. N. R. 2017. Ajaran Persepuluhan Di Dalam Agama Kristen Mormon: Studi
Kasus Gereja Yesus Kristus Dari Orang Orang Suci Zaman Akhir Ngagel Surabaya.
Tugas Akhir. UIN Sunan Ampel Surabaya.
Handayani, S.W., Faturokhman, A. dan Pratiwi, U., 2012. Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Kemauan Membayar Pajak Wajib Pajak Orang Pribadi Yang
Melakukan Pekerjaan Bebas. Jurnal Universitas Jendral Soedirman. Universitas Jendral
Soedirman. Purwokerto.
Hardiningsih, P., dan Yulianawati, N. 2011. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemauan
membayar pajak. Dinamika Keuangan dan Perbankan, 3(2).
Hidayat, A.2016. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Wajib Pajak Badan. Jurnal
Ilmu Dan Riset Akuntansi: 3(6).
Hidayatullah, M. Nabi Muhammad SAW Menurut Numerologi Dan Astologi Cina. Ufuk
Publishing House. https://books.google.co.id/books. Diakses 14 Februari 2018 (04:11).
Hite, P. A. 1987. An Aplication of Attribution Theory in Taxpayer Noncompliance Research.
Public Finance 42(1): 105-117.
Jarvis, M. 2000. Theoretical Approaches in Psychology. Routledge. London. Terjemahan.
SPA-Teamwork. 2010. Teori-Teori Psikologi. Nusa Media. Bandung.
Kahf, M. 1982. Fiscal and Monetary Policies in an Islamic Economy dalam Ariff Karatash,
Salim Jafer. 1982. The Training of Personel of Islamic Banks dalam Islamic Research
Bereau.
Kebajikan. 2013. Makna Angka Menurut Tradisi Budaya China.
https://kebajikandalamkehidupan.blogspot.co.id/2013/12/makna-angka-menurut-tradisi-
budaya -china.html. Diakses 14 Februari 2018 (04:26).
Kirchler, E., Hoelzl, E. dan Wahl, I., 2008. Enforced Versus Voluntary Tax Compliance: The
Slippery Slope Framework. Journal of Economic Psychology 29(2):210-225.
Komunitas Nomor Cantik. Arti Nomor Menurut Feng Shui http://www.knci.info/news_arti-
nomor- menurut-feng-shui. Diakses 11 Januari 2018 (15:16).
Mansury, R. 1996. Panduan Konsep Utama Pajak Penghasilan Indonesia Jilid 3. PT. Bina
Rena Pariwara. Jakarta.
Merryana, E. 2014. Penerapan PP Nomor 46 Tahun 2013 Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi
Pada KPP Pratama Pangkalan Kerinci. Doctoral Dissertation. Universitas Islam Negeri
Sultan Syarif Kasim. Riau.
Musgrave, R. A. dan P. B. Musgrave. 1976. Public Finance in Theory and Practice. Fifth Edition.
Mcgraw Hill. New York.
Nashrudin, A., dan Mustikasari, E. 2014. Pengaruh Persepsi Atas PP Nomor 46 Tahun 2013
Terhadap Kepatuhan Sukarela Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surabaya Rungkut. Tesis. Universitas
Airlangga. Surabaya.
21

Noeradyo, S. W. S. 1994. Kitab Primbon Betaljemur Adammakna. Soemadidjojo Mahadewa.


Yogyakarta.
Nurmantu, S., dan Rasmini, M. 2014. Dasar-Dasar Perpajakan. http://repository-.ut.ac.id.
Diakses 11 Januari 2017 (15:45).
Palil, M. R. 2010. Tax Knowledge And Tax Compliance Determinants In Self Assessment
System In Malaysia. Doctoral Dissertation. University Of Birmingham.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 46 Tahun 2013 Tentang Pajak Penghasilan
Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang
Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. 12 Juni 2013. Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 106. Jakarta.
. Nomor : 12/PMK. 03/2009. Perubahan Atas Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 66/PMK.03/2008 Tentang Tata Cara Penyampaian Atau
Pembetulan Surat Pemberitahuan, Dan Persyaratan Wajib Pajak Yang Dapat
Diberikan Penghapusan Sanksi Administrasi Dalam Rangka Penerapan Pasal 37a
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara
Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2007. Jakarta.
. Nomor 74/PMK.03/2012 . Tentang Tata Cara
Penetapan Dan Pencabutan Penetapan Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu Dalam
Rangka Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak. 5 Mei 2012 .
Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 525. Jakarta.
. Nomor 29/PMK.03/2015 Tentang Penghapusan Sanksi
Administrasi Bunga Yang Terbit Berdasarkan Pasal 19 Ayat (1) Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan
Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2009. 13 Februari 2015 .Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 257. Jakarta.
Peraturan Menteri Keuangan. Nomor 192/PMK.03/2007 Tentang Tata Cara Penetapan
Wajib Pajak Dengan Kriteria Tertentu Dalam Rangka Pengembalian Pendahuluan
Kelebeihan Pembayaran Pajak. 28 Desember 2007. Jakarta.
Prasetyono, D. S. 2012. Buku Pintar Pajak. Laksana. Yogyakarta
Prawagis, F. D., Z. A. Zahroh. Dan Y. Mayowan. 2016. Pengaruh Pemahaman Atas
Mekanisme Pembayaran Pajak, Persepsi Tarif Pajak Dan Sanksi Pajak Terhadap
Kepatuhan Wajib Pajak Umkm (Studi Pada Wajib Pajak Yang Terdaftar Di KPP
Pratama Batu). Jurnal Mahasiswa Perpajakan. 10(1).
Priyadi, H. Y. 2014. Signifikansi Teori Keadilan Distributif Robert Nozick Terhadap
Kesejahteraan Masyarakat Dalam Kebebasannya. Skripsi. Fakultas Ilmu pengetahuan
Budaya Universitas Indonesia. Jakarta.
Rachmawati, E. 2016. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan Wajib Pajak di
Wilayah Kecamatan Rungkut Surabaya. Jurnal Ilmu Dan Riset Akuntansi. 4(8).
Rahayu, N. 2007. Kebijakan Baru Direktorat Jenderal Pajak Dalam Pengajuan Restitusi PPN
dan Perencanaan Pajak untuk Menghadapinya. Jurnal Ilmu Administrasi dan
Organisasi, Bisnis dan Birokrasi: 15(1).
Ramalan Suhu. 2016. Arti Angka menurut Feng Shui. http://ramalansuhu.com/2016/12/09/arti-
angka-menurut-feng-shui. Diakses 11 Januari 2017 (15:45).
Rochmah, A. 2015. Pengaruh Penerapan Sistem Administrasi Perpajakan Modern Terhadap
Kepatuhan Wajib Pajak. Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi. 3(10).
Ron. 2015. Numerologi :Ilmu Mengetahui Sifat Angka. http://shujinkouron.blogspot
.co.id/2015/07/numerologi-ilmu-mengetahui-sifat-dari.html. Diakses 15 November 2017
(03.00).
22

Rosella, V. 2015. Pengaruh Persepsi Atas Pp Nomor 46 Tahun 2013 Terhadap Tingkat
Kepatuhan Wajib Pajak. Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi. 4 (9).
Salstrand, G. A. E.. 1952. Persembahan Persepuluhan. A. M. Tambunan. Jakarta.
Simanjuntak dan I. Mukhlis. 2012. Dimensi Ekonomi Perpajakan dalam Pembangunan Ekonomi.
Penebar Plus+
Steven, T. 2008. Pesepuluhan Kunci Kebebasan Financial. Andi Offset. Yogyakarta.
Sudirman, R. dan A. Antong. 2012. Perpajakan Pendekatan Teori dan Praktik. 42 Media.
Malang.
Supramono, dan T. W. Damayanti. 2010. Perpajakan Indonesia Mekanisme dan Perhitungan.
Andi Offset. Yogyakarta.
Tamas K. P. dan E. Takats. 2008. Tax Rate Cuts and Tax Compliance- The Laffer Curve
Revisited”. http://www.imf.org/external/pubs/ft/wp/2008/wp0807.pdf. Diakses pada
tanggal 26 Februari 2018.
Thohari, A. A. 2011. Epistemologi Pajak, Perspektif Hukum Tata Negara Taxes
Epistemology, Constitutional Law Perspective. Jurnal Lesgislasi Indonesia. 8 (1).
Torgler, B., M. Schaffner. dan A. Macintyre. 2007. Tax compliance, tax morale, and
governance quality. International Studies Program Working Paper, Andrew Young
School of Policy Studies, Georgia State University.
Waluyo. 2011. Perpajakan Indonesia. Edisi 10. Salemba Empat. Jakarta.
Yasa, I. M. S. 2017. Analisis Penerapan Peraturan Pemerintah No 46 Terhadap Kepatuhan
Wajib Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Denpasar Timur. Jbk-Jurnal Bisnis
Dan Kewirausahaan. 11 (70).

You might also like