Yyre
Yyre
Yyre
ABSTRACT
Tax disobedience is a very complex phenomenon. Various attempts by the government to abate compliance,
including the imposition of a small tax rate solution, but non-compliance remain high. As happened in
Government Regulation No. 46 of 2013, with the use of 1% tax rate, but still has a contradiction because it is
considered unfair. Profit or loss from the income taxpayers, they still have to pay taxes, because the calculation
is based on turnover. Therefore, the researcher tries to re-formulate the tax rate of Government Regulation No.
46 of 2013 by applying the basic of net income tax, and the new rate or tariff that has influence to taxpayer
psychology to obey. This research uses qualitative method of literature study. This study examines the rate of
new tariff formers using psychology of numbers with cultural studies of Java, China and numerology. In this
research, there are 6 numbers examined the psychological meaning of 1, 2, 3, 4, 5 and 10. The result of the
literature review in this study, found the numbers 1 and 10 are considered as unlucky or unlucky numbers, the
numbers 2 and 4 are considered as disadvantaged numbers, while numbers 3 and 5 are considered good
numbers of luck. Then the number three and limadi use as a new tariff formulation of Government Regulation
No. 46 of 2013 on the basis of taxation is the net income.
Keywords : Tax Feee Formulation, Psycology of Number, Javanese Culture, Chinese Culture , and Numerology
ABSTRAK
Ketidakpatuhan pajak merupakan fenomena yang sangat kompleks.berbagai usaha yang dilakukan
pemerintah untuk meninggkatkan kepatuhan, termasuk penerapkan solusi tarif pajak kecil, akan
tetapi ketidakpatuhan tetap tinggi. Seperti yang terjadi pada PP No 46 Tahun 2013, dengan
penggunaan tarif pajak 1%, namun tetap memiliki kontradiktif karena dianggap tidak adil. Laba atau
rugi dari penghasilan wajib pajak, mereka tetap harus membayar pajak, karena penghitungannya
berdasarka omzet. Oleh karena itu peneliti mencoba memformulasikan kembali tarif pajak PP No 46
Tahun 2013 dengan menggunakan dasar penggenaan pajak penghasilan neto, dan angka atau tarif
baru yang memiliki pengaruh terhadap psikologi wajib pajak untuk patuh. Penelitian ini
menggunakan metode kualiatatif studi literatur. Penelitian ini mengkaji angka pembentuk tarif baru
menggunakan psikologi angka dengan kajian budaya jawa, cina dan numerologi. Dalam penelitian
ini terdapat 6 angka yang dikaji makna psikologinya yaitu 1;2;3;4;5 dan 10. Hasil dari kajian literatur
pada penelitian ini, ditemukan angka 1 dan 10 dianggap sebagai angka sial atau tidak berungtung,
angka 2 dan 4 dianggapa sebagai angka kurang beruntung, sedangkan angka 3 dan 5 dianggap
sebagai angka baik keberuntungan. Maka angka tiga dan limadi gunakan sebagai formulasi tarif baru
PP No 46 tahun 2013 dengan dasar penggenaan pajak yaitu penghasilan neto.
Kata Kunci : Formulasi Tarif, Psikologi Angka, Budaya Jawa, Budaya Cina, Numerologi
PENDAHULUAN
Pajak berkembang sejalan dengan perkembangan suatu negara. Dalam
perkembangannya pajak merupakan sesuatu yang sentral dalam membangun negara atau
taxation was central to state-building (Michael dalam Thohari, 2011). Di Indonesia pajak
2
semakin mendapat perhatian dari pemerintah dan publik semenjak adanya penurunan
pendapatan negara yang berasal dari sumber daya alam. Pajak menjadi salah satu sumber
pendapatan negara terbesar pada setiap tahunnya. Pentingnya pajak bagi negara memacu
pemerintah untuk terus meningkatkan penerimaan pajak. Pajak melakukan terobosan
kebijakan dalam berbagai hal, diantaranya merubah logo dan slogan pajak, “Membayar
Pajak Bukti Cinta Tanah Air”, “Ayo Peduli Pajak”, “Orang Bijak Membayar Pajak”. Ditjen
Pajak juga melakukan sosialiasi untuk memperkenalkan pajak kepada masyarakat dengan
memberikan undangan sosialisasi, serta bekerjasama dengan lembaga pendidikan untuk
mensosialisasikan undang-undang dan peraturan pajak serta pelaksanaannya. Setiap tahun
Ditjen pajak juga melakukan perbaikan pelayanan dan sistem yang diberikan, seperti cara
pembayaran, format SPT (Surat Pemberitahuan Pajak) dan pelaporan yang lebih mudah
dipahami serta ditunjang dengan media online yaitu e-faktur, e-filling, dan e-billing.
Upaya telah dilakukan, namun data berkata lain. Berdasar data dari Ditjen pajak
(http://pajak.go.id) pada tahun 2011- 2015 realisasi penerimaan pajak tidak mencapai
target. APBN berasal dari pajak adalah sebesar 74,6%, dengan jumlah masyarakat
Indonesia 249 juta, GDP (gross domestic product) tahun 2015 yang diporoleh sebesar
11.667, 4 triliun rupiah, potensi atas rasio pajak adalah sebesar 12,53% dengan untuk
potensi pajak sebesar 1.463 triliun rupiah. Akan tetapi pada kenyataanya hanya ada 1.061
triliun rupiah untuk relisasi pajak. Dengan 11,09% atau 27,63 juta masyarakat Indonesia
menjadi wajib pajak, sebesar 4,11% atau senilai 10,25 juta masyarakat Indonesia yang
melaporkan pajak, dan 0,3% atau setara dengan nilai 1,5 juta masyarakat Indonesia yang
membayar pajak. Dari data tersebut menggambarkan bahwa peningkatan pelayanan
maupun upaya lainnya dari pemerintah tidak sejalan dengan peningkatan kepatuhan pajak.
Tingkat kepatuhan pajak pada masyarakat di Indonesia dapat dikatakan sangat
memprihatinkan. Lalu apa yang terjadi sebenarnya? Mengapa ketidakpatuhan tetap tinggi?
Apa ada yang salah dari penerapan pajak di Indonesia? Apakah karena banyaknya Gayus di
Direktorat Jenderal Pajak? Atau karena sudah tidak adanya rasa ingin berbagi dengan
sesama? Atau pengetahuan masyarakat yang kurang mengenai pajak?
Berbagai isu-isu menarik terus bergulir mengenai pajak. Persepsi banyak pihak
mengenai tingginya ketidakpatuhan pajak di Indonesia, makin menyemarakkan penelitian
dengan topik ketidakpatuhan pajak. Hasil pengujian secara empiris dan teoritis
membuktikan bahwa kepatuhan pajak dipengaruhi oleh berbagai faktor. Penelitian
terdahulu banyak dilakukan terkait pengkajian faktor-faktor yang mempengaruhi
kepatuhan pajak. Rendahnya pemahaman atau minimnya pengetahuan pajak yang dimiliki
wajib pajak menjadi penyebab rendahnya kepatuhan wajib pajak dan menganggap pajak
adalah hal yang rumit (Hidayat, 2016; Rachmawati, 2016; Handayani et al., 2012; Ernawati
dan Wijaya, 2016). Alasan lainnya orang yang tidak patuh membayar pajak karena faktor
kepercayaan pada otoritas pajak sebagai sarana meningkatkan kepatuhan pajak (Rahayu,
2007).
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak tahun 2011-2015 (http://pajak.go.id)
populasi orang pribadi yang berpotensi sebagai wajib pajak lebih besar dibanding wajib
pajak badan, sehingga tingkat ketidakpatuhan wajib pajak orang pribadi akan lebih
mendominasi dibandingkan dengan wajib pajak badan. Ketidakpatuhan wajib pajak orang
pribadi lebih banyak dipengaruhi oleh faktor psikologi. Penelitian mengenai pengaruh
faktor psikologi terhadap tingkat kepatuhan pajak telah banyak dilakukan (Cahyonowati et
al., 2012; Hardiningsih dan Yulianawati, 2011). Penelitian lebih lanjut terus dilakukan
mengenai sikap wajib pajak, dengan perbaikan moral. Fidiana (2014) menyatakan cara
terbaik untuk mencegah penghindaran pajak adalah dengan menciptakan moralitas
berpajak melalui iklim ekonomi yang bebas dan aman.
Dari sudut pandang sejarah dunia dan tanah air, pajak dianggap sebagai pungutan
yang bersifat memaksa, dan masyarakat tidak rela, bahkan tidak suka membayar pajak
Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi : Volume 8, Nomor 10, Oktober 2019
3
(Priyadi, 2014; Thohari, 2011; Feld dan Frey, 2007; Torgler et al.,2007). Kepatuhan pajak
merupakan sebuah permasalahan yang muncul sejak sejarah perpajakan itu sendiri dimulai
(Andreoni et al., 1998). Sifat manusia sebagai makhluk ekonomi (homo economicus), dan
cenderung mengutamakan kepentingan pribadi (self Interest), akan selalu berusaha
memakmurkan diri sendiri, berusaha mencari keuntungan sebesar-besarnya dan
meminimalkan biaya sekecil-kecilnya. Pajak merupakan biaya yang dapat mengurangi
keuntungan, maka manusia cenderung melakukan penghindaran pajak atau tax avoidance
(Allingham dan Samdmo, 1972; Hite, 1987). Besar kecilnya pajak dipengaruhi oleh tarif
yang ditetapkan. Oleh karena itu tarif pajak berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan pajak
(Alm et al, 1990; Edlund dan Aberg dalam Simanjuntak dan Mukhlis ,(2012:95); Yusof et al.,
2014.
Pendapat diatas menjadi salah satu yang melatarbelakangi keluarnya Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 sebesar 1% (satu persen). Peraturan ini untuk menggali
potensi pendapatan pajak yang berasal dari orang pribadi (UMKM). Kemudahan dalam
perhitungan dan tarif yang kecil diharapkan mampu meningkatkan kepatuhan pajak.
Penerapan PP No 46 Tahun 2013 berpengaruh positif baik dalam hal kepatuhan wajib pajak
dan peningkatan pajak penghasilan (Nashrudin dan Mustikasari, 2014; Rosella, 2015; Yasa,
2017) . terdapat kontradiksi PP No 46 Tahun 2013, jika ditinjau dari konsep keadilan dalam
pemajakan (equity principle), pengenaan PPh tidak sesuai dengan keadilan karena tidak
mencerminkan kemampuan membayar (ability to pay). PPh dihitung langsung dari
peredaran bruto maka tidak sesuai dengan konsep keadilan, sehingga dalam keadaan rugi
pun, wajib pajak tetap harus membayar pajak, dan hal tersebut dapat menurunkan
keptuhan berpajak (Tambunan, 2013; Merryana, 2014; Hakim dan Nangoi, 2015). Lalu
bagaimanakah cara mengatasi kontradiksi ketidakpatuhan pajak pada PP No 46 Tahun 2013
? Jika dasar pengenaan pajaknya dirubah menjadi neto, berapakah tarif yang akan
digunakan agar dapat meningkatkan kepatuhan pajak ? Apabila tetap menggunakan tarif
1%, maka akan terjadi penurunan pajak drastis. Waluyo (2011:17) penetapan tarif pajak
harus mendasarkan pada keadilan yang dapat menciptakan keseimbangan sosial yang
sangat penting untuk kesejahteraan masyarakat.
Berbeda dengan tarif zakat dan perpuluhan, kesadaran atau kerelaan pemenuhan
kewajiban zakat (2,5%) dan perpuluhan (10%), berlandaskan pada teori rasionalisme yang
diukur dari kepuasan fisik dan rohani (Kahf, 1982) yang berkaitan dengan dunia dan
akhirat, sedangkan kesadaran pajak berserta akuntansinya dikarakteristikkan oleh
kepatuhan formalitas, seperti melaporkan pendapatan formal berlandaskan kepada teori
individu rasional atau berdasarkan pada kepuasan fisik (keduniawian) saja. Ketika berbagai
macam tarif pajak yang ditetapkan oleh pemerintah dengan berbagai kerumitan
penghitungan, dan timbal balik yang kurang dapat dirasakan masyarakat, maka hal itu
berpengaruh pada tingkat kepatuhan pajak. Ketidakpatuhan pajak merupakan fenomena
yang sangat kompleks terjadi di berbagai belahan dunia. Merubah faktor keterpaksaan
menjadi secara sukarela adalah sesuatu tidak mudah. Peneliti ingin memberikan solusi.
Bagaimana memformulasikan tarif pajak dari perspektif psikologi angka? Diharapkan
dengan mengetahui makna angka tersebut peneliti dapat mempengaruhi psikologi
masyarakat untuk patuh berpajak.
TINJAUAN PUSTAKA
Kepatuhan Pajak
Pajak merupakan sebuah terminologi yang mengundang beragam opini, persepsi, dan
pemikiran di sebagian besar masyarakat. Hal ini terjadi karena beberapa faktor, pertama
ketidaktahuan tentang apa yang dimaksud dengan pajak dan untuk apa pajak dipungut,
sehingga menimbulkan opini yang beragam. Kedua, kecurigaan yang ditimbulkan oleh
4
catatan akan menerima fasilitas umum yang sebanding dengan besarnya pajak yang telah
dikeluarkan dalam proses legitimasi yang wajar.
Suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan, tercermin
dalam situasi dimana, wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan (Zain, 2004). Iklim pajak di masyarakat dapat
bervariasi yaitu iklim antagonis dan iklim sinergi. Iklim sinergi adalah interaksi antara
pembayar pajak dengan pemerintah yang saling bersinergi atau bekerjasama satu sama lain.
Iklim antagonis dimana interaksi yang berlawanan antara pembayar pajak dengan
pemerintah atau yang memiliki otoritas pajak (Braithwaite et al., 2007). Iklim antagonis jarak
sosialnya cenderung besar, rasa hormat bahkan pemikiran atau perasaan positif terhadap
pihak berwenang, situasi tersebut dalam konsep psikologi disebut dengan social distance.
Social distance akan menentukan tingkat penerimaan dan penolakan wajib pajak terhadap
sistem perpajakan yang selanjutnya akan mempengaruhi perilaku kepatuhan mereka.
(Bogardus, 1928 dalam Braithwaite, 2003:18). Dapat disimpulkan bahwa kepatuhan pajak
dipengaruhi bagaimana hubungan wajib pajak dengan pemerintah, dan seberapa banyak
timbal balik yang didapatkan wajib pajak atas pembayaran pajaknya. Sejalan dengan
penelitian di Mekelle, Ethopia, dalam menciptakan kepatuhan pajak tidak hanya
dipengaruhi oleh faktor perilaku dari wajib pajak. Pemerintah juga ikut andil dalam
menciptakan kepatuhan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepatuhan pajak
dipengaruhi probabilitas diaudit, kendala keuangan, perubahan kebijakan pemerintah
(Engida dan Goitom, 2014).
Torgler et al., (2007) menyebutkan permasalahan ketidakpatuhan sebagai “puzzle of tax
compliance” dan melakukan survei dan eksperimen untuk menyelidiki apakah kehadiran
moral pajak membantu menyelesaikan teka-teki ketidakpatuhan pajak. Konsep moral pajak
memberikan jawaban sejauh mana tingkat ketidakpatuhan wajib pajak. Begitu banyak orang
yang secara sukarela membayar pajak meski denda dan probabilitas audit pajaknya rendah.
Salah satu kunci penentu adalah adanya semangat untuk membayar pajak. Dalam
penelitian ini berfokus pada faktor-faktor penentu semangat membayar pajak, yaitu kualitas
tata kelola masyarakat, supremasi hukum, stabilitas politik, kualitas peraturan,
pengendalian korupsi, dan sistem peradilan dan parlemen perpajakan.
Wangsa (2009) etika dan nilai moral dari wajib pajak dapat memberikan efek positif
Ditjen Pajak untuk mencapai kepatuhan pajak selain dari aspek reformasi dan administrasi
pajak. Perlunya perubahan dan pembenahan dalam pemerintah (Ditjen Pajak) untuk
meningkatkan kepatuhan. Dibuktikan dengan penelitian Irmayani (2016) modernisasi
prosedur organisasi berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak, yang berarti
program-program untuk mewujudkan modernisasi prosedur organisasi dapat digunakan
sebagai upaya untuk meningkatkan kepatuhan. Sedangkan modernisasi struktur organisasi,
budaya organisasi dan strategi organisasi tidak berpengaruh terhadap kepatuhan.
Sistem pemungutan perpajakan menurut Waluyo (2011:17) dibagi menjadi tiga, yaitu:
(1) sistem official assesment, (2) sistem self assesment, dan yang terakhir (3) sistem withholding.
Perpajakan di Indonesia, yaitu self assessment kepatuhan untuk memenuhi kewajiban pajak
secara sukarela. Berlakunya self assessment di Indonesia, wajib pajak dalam menentukan
penerimaan negara dari sektor pajak. Mansury (2000) self assessment, wajib pajak diberi
kepercayaan untuk menghitung, membayar, dan melaporkan jumlah pajak yang
terhutang. Sistem self assesment diterapkan atas dasar kepercayaan pihak otoritas pajak
kepada wajib pajak (Rahayu, 2007). Kondisi perpajakan yang menuntut keikutsertaan aktif
wajib pajak dalam menyelenggarakan perpajakannya membutuhkan kepatuhan wajib pajak
yang tinggi, dengan pemenuhan kewajiban perpajakan yang sesuai dengan kebenarannya
(Devano dan Rahayu, 2006) dan secara sukarela melaporkannya. Namun bukan suatu hal
yang mudah bagi pemerintah untuk merubah pola pikir masyarakat suatu keterpaksaan
berubah menjadi sukarela. Kepatuhan secara sukarela cenderung diabaikan. Individu
6
kerugian, dengan wajib pajak yang usahanya memperoleh untung tetap harus membayar
pajak dengan tarif yang sama (Merryana, 2014). Pengenaan PPh yang bersifat final
bermakna bahwa setelah pelunasan PPh 1% yang dihitung dari peredaran bruto setiap
bulan, Kewajiban pajak atas penghasilan tersebut telah dianggap selesai dan final.
Pengenaan PPh final tidak sesuai dengan keadilan (equity principle) karena tidak
mencerminkan kemampuan membayar (ability to pay). Pemajakan yang adil adalah bahwa
semakin besar penghasilan maka semakin besar pula pajak yang harus dibayar. Ini disebut
dengan keadilan vertikal atau vertical equity (Musgrave dan Musgrave, 1976). Penghasilan
yang dimaksud di sini adalah penghasilan neto, yaitu setelah dikurangi dengan biaya-biaya
pengurang penghasilan bruto yang diperkenankan menurut ketentuan perpajakan yang
berlaku (Mansury, 1996).
Menurut Adam Smith mengacu pada the four canons of taxation pada tahun 1776.
Perpajakan hendaknya menganut prinsip-prinsip yang fundamental agar mencapai sasaran
perpajakan yang terdiri dari prinsip equity, certainty, convenience, dan economy (efficiency).
Menurut prinsip equity seharusnya di dalam sebuah sistem perpajakan, pemungutan pajak
harus adil sesuai dengan kapasitas (kemampuan) pembayar pajak dan penghasilan yang
dinikmati wajib pajak dibawah perlindungan pemerintah.
Prinsip equity terdiri dari dua, pertama bersifat horizantal equity atau keadilan yang
horizontal yang artinya pembayar pajak dengan cara, pendapatan atau kekayaan yang sama
maka jumlah pajak (beban pajak) yang dibayarkan juga sama. Kedua bersifat vertical equity
wajib pajak yang memiliki penghasilan (capasity) harus membayar pajak (beban pajak) yang
tinggi pula (Palil, 2010 dan Brotodihardjo, 2003:27). Dalam asas equality, suatu negara tidak
diperbolehkan mengadakan diskriminasi diantara sesama wajib pajak. Selain itu pajak yang
dibayar seseorang harus terang (certain) dan tidak mengenal kompromis atau not arbitrary
(Brotodihardjo, 2003-27). Prinsip certainty atau kepastian yaitu wajib pajak harus
mengetahui kewajiban pajaknya, kapan, dan dimana bayar pajak (Palil, 2010). Prinsip pajak
ini mengenai kepastian hukum perpajakan yang merupakan tujuan utama setiap undang-
undang. Undang-undang dan peraturan-peraturan harus bersifat jelas, tegas dan tidak
mengandung arti gantdaatau memberikan peluang untuk penafsiran yang lain (Devano dan
Siti, 2006:59).
Prinsip convenience berkaitan dengan kenyamanan bagaimana orang membayar pajak
mereka atau terlibat dengan sistem pajak (pengenalan pengarsipan elektronik). Devano dan
Siti (2006:63) prinsip ini mengenai pemungutan pajak, hendaknya pemerintah
memperhatikan saat-saat yang paling baik bagi si pembayar pajak. Sedangkan prinsip
efficiency mengacu pada bagaimana otoritas pajak mengumpulkan penerimaan pajak dan
dapat dibagi menjadi dua subbagian: efisiensi administrasi dan efisiensi ekonomi.
Administratif efisiensi mengacu pada biaya yang terlibat saat mengumpulkan pendapatan
pajak. Semakin banyak biaya pajak untuk mengelola, semakin sedikit uang yang terkumpul
tersedia bagi pemerintah untuk dibelanjakan. Biaya administrasi harus sekecil mungkin
untuk mencapai ekonomi yang diinginkan efisiensi (Palil 2010). Efisiensi ekonomi mengacu
pada pajak seharusnya tidak mengganggu kerja pasar. Misalnya, pengenalan pajak baru
atau kenaikan tarif pajak tidak boleh mendistorsi atau mempengaruhi perilaku pembayar
pajak atau miscompliant untuk kurang patuh (Palil, 2010). Selain itu sebuah penelitian
menunjukkan bahwa terjadi penurunan pertumbuhan wajib pajak sebesar 0,23%, yang
berarti bahwa upaya Ditjen Pajak untuk meningkatkan potensi penerimaan pajak, secara
khusus pajak UMKM, tidak tercapai dengan baik (Hakim dan Nangoi, 2015). Adanya
kotradiksi penerepan PP No 46 Tahun 2013 menunjukkan bahwa peraturan perpajakan
yang hanya berdasarkan pada tarif kecil saja tidak menjamin adanya peningkatan
kepatuhan pajak, perlu kualifikasi lainnya untuk mencapai kepatuhan pajak. Diperlukan
dasar pengenaan pajak baru dengan tarif yang sesuai.
Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi : Volume 8, Nomor 10, Oktober 2019
9
kejujuran, cinta kasih dan rasa syukur, sehingga kepatuhan dalam perpuluhan lebih tinggi
dibandingkan kepatuhan berpajak.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif studi literartur. Sumber data dalam
penelitian ini adalah dokumen berupa buku catatan, jurnal penelitian, media cetak, karya-
karya monumental dari seseorang, media elektronik, dan lainnya. penelitian ini satuan
kajian adalah mengkaji angka atau tarif baru dengan perspektif psikologi angka dengan
tiga pendekatan, kebudayaan jawa, kebudayaan cina dan numerologi. Teknik pengumpulan
data yang dilakukan dalam penelitian ini, yaitu dengan studi literatur. Peneliti melakukan
analisis data sejak awal penelitian ini, dan selama proses penelitian dilaksanakan. Analisa
data dilakukan dengan mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang
dapat dikelola, mensintesiskan, mencari, dan menemukan pola, menemukan apa yang
penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang akan disusun sebagai hasil
penelitian.
Skema Tarif
Tarif diperlukan sebagai dasar untuk menentukan sejumlah uang yang dibayarkan
oleh wajib pajak. Tarif pajak merupakan ketentuan persentase (%) penentuan jumlah
(rupiah) besar kecilnya pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak sesuai dengan dasar pajak
atau objek pajak (Sudirman dan Antong, 2012:9; Supramono dan Theresia 2010:7). Secara
umum, tarif pajak dinyatakan dalam bentuk persentase. Tarif yang biasa digunakan terdiri
dari 1 atau 2 angka. Angka atau lambang bilangan merupakan suatu alat pembantu yang
memiliki makna. Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak terlepas dari angka. Berapa kali
kita makan? Identifikasi umur seseorang, identifikasi data seseorang menggunakan nomor
induk kependudukan dan sebagainya.
Angka telah dikenal lama, zaman primitif pun telah mengenal angka atau bilangan.
Pengenalan angka pada zaman primitif berbeda dengan pengenalan angka pada zaman
modern, terkait dengan kemajuan daya pikir pada zaman sekarang. Penelitian
menunjukkan bahwa di zaman primitif bilangan atau angka yang dikenal sampai pada
batas 2 atau 3 jika lebih dari itu maka mereka mengatakannnya banyak (Ruslani, 1990:11).
Sebelum tahun 700 M konsep angka telah dikenal dari wilayah Eropa dan India (Ridwan,
2016). Di Eropa angka dikenal pertama kali di Babilonia, lalu suku bangsa Mesir juga
mengenal angka dengan susunan yang menyerupai Babilonia (Ruslani, 1990:18-19). Bangsa
Yunani, Romawi, Maya, Ibrani, dan Cina pun telah mengenal angka dengan bentuk yang
berbeda-beda (Ruslani, 1990:20-26). Hal ini semakin menunjukkan bahwa keberartian
angka dalam kehidupan sehari-hari. Angka merupakan gambaran standarisasi atau arahan
bagi aktivitas manusia.
Angka yang digunakan pada masa sekarang adalah angka berasal dari Arab, namun
berbeda dengan konsep angka Arab di dalam Al-Qurán. Pada mulanya angka ini
merupakan pengembangan angka di India. Pengembangan yang fenomenal adalah
diubahnya bentuk angka-angka dari India tersebut menjadi seperti angka numerik yang kita
kenal sekarang ini oleh seorang ilmuan Islam, Al-Khawarizmi. Memiliki nama asli
Muhammad bin Musa Al-Khawarizmi. beliau dilahirkan di Bukhara dan hidup di tahun
780-850M (Ridwan, 2016). Setiap bentuk dan penyebutan angka merepresentasikan
banyaknya sudut. Bentuk angka 0, tidak mempunyai sudut, kemudian bentuk angka 1
mempunyai satu sudut. Kemudian bentuk angka 2 mempunyai dua sudut (bentuk awalnya
seperi huruf Z), kemudian angka 3 mempunyai tiga sudut, angka 4 mempunyai empat
12
sudut, angka 5 mempunnyai lima sudut dan seterusnya sampai angka 9 yang memiliki
sembilan sudut (Ridwan, 2016).
Angka telah dikenal lama, begitu pula dengan sejarah pajak dimulai sejak Mesir
(Firáun), Yunani, Romawi, Inggris, dan Amerika (Nurmantu dan Rasmini, 2014; Priyadi,
2014). Pajak telah dikenal sebagai pungutan untuk rakyat sejak sebelum masehi. Namun
belum menggunakan satuan tarif untuk menentukan besarnya pajak yang dipungut, berupa
tenaga kerja, hasil pertanian, perkebunan dan sebagainya. Menurut Nurmantu dan
Rasmini, (2014) dan Priyadi, (2014) skema perkembangan tarif pajak telah terjadi di zaman
Julius Caesar yaitu tarif 1% (centesima rerum venalium yakni sejenis pajak penjualan), tarif
4% (Zaman Augustust pajak untuk budak), tarif 5% (atas pajak semua warisan) serta 10%
(di Italia dikenal decumae). Sedangkan di Indonesia pajak berbagai macam terdapat
berbagai macam tarif. Besarnya tarif pajak penghasilan di Indonesia terkait dengan
penghasilan orang pribadi adalah : (1) tahun 1983- 2000 15%; 25%; 45% ; 35%, (2) tahun
2000-2008 5%; 10%; 15%; 25%; 35%, (3) tahun 2008- Sekarang 5%; 15; 25%; 30%
2013 1% (Sumber : Ditjen Pajak, http: www.pajak.go.Id).
Tarif juga diperkenalkan pada pungutan keagamaan, yaitu tarif 2,5% yang merupakan
tarif zakat dan tarif 10% yang merupakan pungutan gereja. Kedua tarif tersebut memiliki
makna psikologi kepatuhan, kerelaan, rasa syukur bagi setiap pemeluknya. Tarif adalah
aspek penting dalam pelaksanaan pajak. Tarif dapat mempengaruhi kepatuhan berpajak
masyarakat (Alm et al., 1990). Tarif memiliki makna psikologi bagi wajib pajak, yang dapat
memberikan dorongan wajib pajak untuk patuh. Oleh karena itu penetapan tarif pajak harus
berdasarkan pada keadilan sehingga dapat menciptakan keseimbangan untuk kesejahteraan
masyarakat. Besar kecilnya tarif mempengaruhi kepatuhan wajib pajak.
Untuk memformulasikan tarif baru menggunakan pendekatan psikologi angka
berdasarkan filosofi angka kajian ilmu budaya dan pengetahuan. Menurut kebudayaan dan
pengetahuan tertentu angka atau bilangan biasanya dijadikan suatu patokan atau dasar
untuk mengambil keputusan yang berarti, juga dipercaya membawa suatu keberuntungan
atau sebaliknya ketidakberuntungan. Dalam penelitian ini menggunakan tiga pandangan
dalam memaknai angka, yaitu menurut budaya cina, budaya jawa, dan ilmu numerologi.
Memaknai sebuah angka dalam penelitian ini merupakan sebuah kajian berdasarkan
budaya bukan berdasarkan kepercayaan penulis.
Berdasarkan feng shui atau kajian budaya cina, angka-angka memiliki makna
kehidupan. Feng shui adalah ilmu alam yang berdasarkan teori taoisme yang percaya
bahwa alam dan sekitar kita dibentuk untuk saling mendukung atau tercipta keharmonisan
(Ramalan suhu, 2016). Adanya energi (chi) positif tentu akan membawa aura yang baik bagi
sekelilingnya. Menurut kajian budaya cina angka, terkandung makna tersembunyi yang
dipercaya bisa memberikan chi positif, oleh karena itu dalam tradisi cina penggunaan angka
dalam kehidupan sehari-hari harus didasarkan oleh feng shui.
Serupa dengan kebudayaan cina, pada kebudayaan jawa, kepercayaan beberapa orang
jawa angka dapat memiliki makna. Angka dalam tanggal bulan dan tahun kelahiran dapat
menunjukkan kepribadian seseorang. Angka dalam penentuan tanggal bulan dan tahun
dalam kegiatan penting dan pernikahan dapat menunjukkan bencana atau keberuntungan.
Kajian kebudayaan yang digunakan sebagai warisan nenek moyang ditulis sebagai primbon
jawa, dan sampai sekarang masih dilestarikan dibeberapa kerajaan di Pulau Jawa.
Perhelatan akbar peringatan terkait dengan hajatan atau upacara berdasarkan primbon jawa
masih dapat kita temui sampai sekarang. Misal di Kota Yogyakarta masih diadakan ritual di
bulan suro untuk talak bala.
Pendekatan makna angka terakhir yaitu dengan ilmu numerologi adalah ilmu
pengetahuan mengenai pergerakan alam semesta secara teratur berdasarkan perhitungan
yang digambarkan melalui angka (Hidayatullah, 2018). Numerologi menggunakan angka
primer 1 sampai dengan 9, numerologi dapat digunakan untuk melihat karakter, potensi,
Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi : Volume 8, Nomor 10, Oktober 2019
13
kekuatan rintangan dan pantangan dari kehidupan. Ilmu numerologi juga dikenal di negara
lain, sebagai ilmu nujum. Ilmu untuk meramal kepribadian seseorang berdasarkan nama
yang dihitung dengan angka, maupun berdasarkan angka kelahiran.
Angka yang digunakan untuk formulasi tarif baru, adalah angka-angka sebagai berikut:
1; 2 ;3; 4; 5; dan 10. Angka-angka yang memiliki makna sejarah serta dampak psikologi pada
golongan tertentu. Dalam pendekatan yang digunakan dalam penelitian tidak
menggunakan angka 2,5% karena dalam ketiga pendekatan tersebut ini tidak mengenal
angka pecahan, sehingga diambil angka 3 dan gabungan angka 2 dan 5. Filosofi atau makna
angka-angka pembentuk tarif akan dikaji pada subab selanjutnya.
Angka satu dan sepuluh juga memiliki makna pada penanggalan bulan dan tahun jawa.
Pada angka 10 atau bulan kesepuluh di tahun ehe, jimawal, dal dan jimakir, merupakan
bulan baik tahun yang baik dapat digunakan untuk kegiatan penting dan pesta lainnya,
begitu pula dengan bulan satu dalam tahun alip dan bulan satu di tahun ehe merupakan
bulan yang baik. Sebaliknya mengadakan pesta atau hajat penting di tahun jawa yaitu tahun
je dan tahun wawu pada bulan kesepuluh dan pada bulan kesatu (1) di tahun jimawal,
bulan kesatu tahun je, bulan kesatu tahun be, bulan kesatu tahun wawu dan bulan kesatu
tahun jumangkir, maka bukan kebaikan yang akan muncul, namun bencana atau keburukan
yang akan terjadi (Noeradyo, 1994:10). Dalam tahun jawa bulan kesepuluh terdapat
sebanyak tiga tahun yang dapat menimbulkan bencana, dan bulan kesatu terdapat sebanyak
lima tahun yang tidak boleh dilakukan perayaan atau kegiatan penting.
Datangnya penyakit juga dapat dihindari dengan menjauhi angka-angka buruk di
tanggal, hari dan bulan jawa berdasarkan primbon jawa tertentu dengan tidak melakukan
aktivitas disaat itu hari itu disebut sebagai hari taliwangke sugro (tanggal yang sangar). Jika
kita melakukan aktivitas penting, hajatan atau pesta diangka sepuluh (10) yaitu pada
tanggal 10 bulan rabiulawal dihari jumat wage akan menimbulkan sakit perut, tanggal 10
bulan rabiulakhir di hari sabtu kliwon dan tanggal 10 jumadilawal dihari senin kliwon akan
menimbulkan sakit tulang, sedangkan pada bulan puasa di tanggal 10 hari jumát wage akan
menimbulkan sakit mata (Noeradyo, 1994:12). Penyakit lain akan timbul pada angka 1, yaitu
di tanggal 1 bulan sapar kamis pon apabila melakukan aktivitas penting orang tersebut akan
sering mengalami sakit, dan tanggal 1 bulan besar hari selasa legi akan menyebabkan
kesusahan bagi orang yang melakukan hajatan (Noeradyo, 1994:12). Berdasarkan budaya
jawa agar terbebas dari penyakit dan kesusahan mereka akan menghindari angka 1 dan 10
di hari tanggal dan bulan yang ditetapkan.
Primbon jawa meklasifikasikan tanggal yang harus dihindari untuk melakukan hajat
khususnya pernikahan menjadi tiga, yaitu tanggal naás, tanggal sangar dan tanggal bangas
padewan, agar terhindar dari musibah kubro. Tanggal sepuluh yang bertepatan dengan
tanggal Naás dilarang berhajat apapun terutama akad nikah yaitu pada tangal 10
rabiulawal, 10 rabiulakhir, 10 jumadilakhir, 10 sawal, 10 besar, 1 sapar dan satu
jumadilawal. (Noeradyo, 1994:19). Klasifikasi kedua tanggal yang sangar atau disebut
taliwangke kubro, adalah tanggal 10 sapar jangan mengadakan hajatan pernikahan dan
acara penting lainnya (Noeradyo, 1994:20). Begitu pula untuk tanggal 10 rabiulakhir, 10
jumadilakhir, 10 jumadilawal, 10 sawal, dan 1 rabiulawal adalah tanggal dilarangnya
menikahkan seseorang dan hatajatan lainnya, apabila melanggar amat berbahaya, akan
medatangkan kesukaran yang disebut bangas padewan (Noeradyo, 1994:20). Angka
sepuluh pada penanggalan jawa banyak terdapat larangan untuk perayaan, yang
menandakan bahwa angka 10 bukan angka yang baik angka ketidakberuntungan.
Dalam ilmu numerologi angka 10 adalah angka gabungan yaitu angka 1 dan 0, maka
maknanya dari 10 dan 1 adalah memiliki makna positif, yaitu memiliki pribadi yang
kepemimpinan, aktif, pemberani, mandiri, berwibawa, penuh percaya diri, pantang
menyerah dan tegas dalam mengambil keputusan. Dan makna negatif yang egois, keras
kepala, merasa benar sendiri, berpotensi otoriter dan diktator (Hidayatullah, 2018). Serupa
dengan numerologi, dalam feng shui (Kebajikan, 2013; Ramalan Suhu, 2016; Komunitas
nomor cantik) angka 10 adalah gabungan makna angka 1 dan 0 sehingga makna 10 dan 1
hampir serupa, yaiu bermakna ketiadaan, kesombongan, diri sendiri, dan sombong, namun
juga bermakna sebuah awal. Makna angka 1 dalam feng shui memiliki kesamaaan pada
angka 1 berdasarkan tanggal kelahiran pada primbon jawa.
Berdasarkan ketiga filosofi angka tersebut, angka 10 banyak memiliki larangan dan
menyebabkan penyakit dibandingkan dengan angka 1. Namun bukan berarti angka satu
memiliki makna yang baik. Angka sepuluh menduduki posisi pertama sebagai angka yang
dianggap buruk atau tidak membawa keberuntungan bagi budaya Jawa dan Cina, dan
Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi : Volume 8, Nomor 10, Oktober 2019
15
angka 1 merupakan urutan kedua setelah angka 10. Secara psikologi angka kedua angka ini
memiliki filosofi angka ketidakberuntungan atau sial.
Peringatan adanya bencana secara umum terdapat tanggal naás, tanggal sangar kubro
dan tanggal bangas padewan. Pada angka 2 memiliki tiga tanggal yang dilarang untuk
diadakan hajat, yaitu tanggal 2 bulan rejeb yang merupakan tanggal naás , tanggal 2 bulan
sawal adalah tanggal sangar, dan terakhir di tanggal 2 bulan dulkaidah (Noeradyo,
1994:19). Pada tanggal 4 bulan ruwah yang termasuk sebagai tanggal bangsa pasadewan,
tanggal dilarangnya menyelenggarakan hajat menikahkan dan sebagainya, apabila
dilanggar sangat berbahaya dan mendatangkan kesukaran. Tanggal empat tidak memiliki
tanggal naás dan tanggal taliwangke kubro. Berdasarkan klasifikasi tanggal naás, tanggal
sangar kubro dan bangas padewan angka 4 dianggap lebih baik dibandingkan angka 2.
Dapat ditarik kesimpulan secara keseluruhan makna-makna angka diatas, angka 2 dan 4
memiliki filosofi kurang beruntung, tidak pada taraf angka sial
kubro dan tanggal bangas padewan. Tanggal-tanggal tersebut adalah tanggal dilarangnya
menyelenggarakan hajat menikahkan dan sebagainya, apabila dilanggar sangat berbahaya
dan mendatangkan kesukaran. Hal ini membuktikan bahwa tanggal tiga dan lima adalah
tanggal yang baik. Dapat disimpulkan bahwa filosofi atau makna yang terkandung dalam
angka 3 dan 5 adalah angka baik, atau beruntung.
pajak (ability to pay taxes), yaitu formulasi tarif menggunakan nilai neto sebagai dasar
pengenaan pajak (omzet dikurangi biaya-biaya yang diperbolehkan pajak untuk diakui).
Neto dapat menggambarkan atas laba atau rugi dari pendapatan seseorang. Formulasi tarif
harus didasarkan pada keadilan yang dapat menciptakan keseimbangan sosial yang sangat
penting untuk kesejahteraan masyarakat (Waluyo, 2011:17). Maka formulasi pajak PP No 46
Tahun 2013 menggunakan tarif pajak rendah, karena besar kecilnya tarif pajak
mempengaruhi kepatuhan pajak (Alm et al., 1990; Simanjuntak dan Mukhlis, 2012:95).
Penelitian ini tetap menggunakan asumsi dari pendapatan dan teori mengenai
penetapan tarif diatas. Hasil penelitian formuslasi tarif baru PP No 46 Tahun 2013
menggunakan salah satu alternatif angka , yaitu 3% dan 5%. Angka 3 dan 5 yang memiliki
makna psikologi yang baik, sehingga diharapkan mampu meningkatkan kepatuhan dalam
berpajak. Hasil penelitian ini menghasilkan tarif lebih besar dibandingkan dengan tarif awal
yaitu 1%. Namun tarif 3% atau 5% tersebut dikalikan dengan dasar pengenaan pajak yang
berbeda dari sebelumnya ketika menggunakan 1% yang dihitung dari omzet. Tarif 3% atau
5% dihitung berdasarkan dasar pengenaan pajak penghasilan neto, sehingga harapan
peneliti pemasukan pajak bagi negara tidak terlalu kecil dan wajib pajak juga diuntungkan
karena tidak dihitung berdasarkan omzet.
DAFTAR PUSTAKA
Bulugh. A. al-Maram Min Adillah al-Ahkam. Terjemahan Dar ash-Shiddiq. Al-Jubail. Karimi, I.
2017. Bulughul Maram: Himpunan Hadist-Hadist Hukum Dalam Fikih Islam. Cetakan 4.
Darul Haq. Jakarta.
Al-Jaza‟iri, A. B. Jabir. 1419 H. Minhajul Muslim. Cetakan 4. Maktabah al-Ulum wa al-Hikam.
Terjemahan Madinah. M. A. Aíni., F Hamzah, dan K. Mutaqin. 2017. Minhajul
Muslim: Konsep Hidup Ideal dalam Islam. Edisi 12. Darul Haq. Jakarta.
Allingham, M. G., dan A. Sandmo. 1972. Income tax evasion: A theoretical analysis. Journal
of public economics. 1(3-4) :323-338.
Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi : Volume 8, Nomor 10, Oktober 2019
19
Gunasasmita, R. 2009. Kitab Primbon Jawa Serbaguna. Cetakan Kedua. Narasi. Yogyakarta.
Fidiana, F, 2017. Kepatuhan Pajak Dalam Perspektif Neo Ashabiyah. Ekuitas (Jurnal Ekonomi
Dan Keuangan). 19(2):260-275.
Gunadi. 2004. Reformasi Administrasi Perpajakan Dalam Rangka Kontribusi Menuju Good
Governace. Makalah Orasi Ilmiah. Upacara Penerimaan Jabatan Guru Besar Luar
Biasa Dalam bidang Oerpajakan Pada Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Pilitik
Universitas Indonesia. 13 Maret 2004. Depok.
Hakim, F., dan G. B. Nangoi. 2015. Analisis Penerapan PP. No. 46 Tahun 2013 Tentang Pajak
Penghasilan UMKM Terhadap Tingkat Pertumbuhan Wajib Pajak Dan Penerimaan
PPh Pasal 4 Ayat (2) Pada KPP Pratama Manado. Jurnal EMBA: Jurnal Riset Ekonomi,
Manajemen, Bisnis dan Akuntansi. 3(1).
Hai, O. T. dan L. M. See. 2011. Intention of Tax Non-Compliance-Examine the Gaps.
International Journal of Business and Social Science. 2 No. 7 (Special Issue –April).
Hamidi, M. N. R. 2017. Ajaran Persepuluhan Di Dalam Agama Kristen Mormon: Studi
Kasus Gereja Yesus Kristus Dari Orang Orang Suci Zaman Akhir Ngagel Surabaya.
Tugas Akhir. UIN Sunan Ampel Surabaya.
Handayani, S.W., Faturokhman, A. dan Pratiwi, U., 2012. Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Kemauan Membayar Pajak Wajib Pajak Orang Pribadi Yang
Melakukan Pekerjaan Bebas. Jurnal Universitas Jendral Soedirman. Universitas Jendral
Soedirman. Purwokerto.
Hardiningsih, P., dan Yulianawati, N. 2011. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemauan
membayar pajak. Dinamika Keuangan dan Perbankan, 3(2).
Hidayat, A.2016. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Wajib Pajak Badan. Jurnal
Ilmu Dan Riset Akuntansi: 3(6).
Hidayatullah, M. Nabi Muhammad SAW Menurut Numerologi Dan Astologi Cina. Ufuk
Publishing House. https://books.google.co.id/books. Diakses 14 Februari 2018 (04:11).
Hite, P. A. 1987. An Aplication of Attribution Theory in Taxpayer Noncompliance Research.
Public Finance 42(1): 105-117.
Jarvis, M. 2000. Theoretical Approaches in Psychology. Routledge. London. Terjemahan.
SPA-Teamwork. 2010. Teori-Teori Psikologi. Nusa Media. Bandung.
Kahf, M. 1982. Fiscal and Monetary Policies in an Islamic Economy dalam Ariff Karatash,
Salim Jafer. 1982. The Training of Personel of Islamic Banks dalam Islamic Research
Bereau.
Kebajikan. 2013. Makna Angka Menurut Tradisi Budaya China.
https://kebajikandalamkehidupan.blogspot.co.id/2013/12/makna-angka-menurut-tradisi-
budaya -china.html. Diakses 14 Februari 2018 (04:26).
Kirchler, E., Hoelzl, E. dan Wahl, I., 2008. Enforced Versus Voluntary Tax Compliance: The
Slippery Slope Framework. Journal of Economic Psychology 29(2):210-225.
Komunitas Nomor Cantik. Arti Nomor Menurut Feng Shui http://www.knci.info/news_arti-
nomor- menurut-feng-shui. Diakses 11 Januari 2018 (15:16).
Mansury, R. 1996. Panduan Konsep Utama Pajak Penghasilan Indonesia Jilid 3. PT. Bina
Rena Pariwara. Jakarta.
Merryana, E. 2014. Penerapan PP Nomor 46 Tahun 2013 Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi
Pada KPP Pratama Pangkalan Kerinci. Doctoral Dissertation. Universitas Islam Negeri
Sultan Syarif Kasim. Riau.
Musgrave, R. A. dan P. B. Musgrave. 1976. Public Finance in Theory and Practice. Fifth Edition.
Mcgraw Hill. New York.
Nashrudin, A., dan Mustikasari, E. 2014. Pengaruh Persepsi Atas PP Nomor 46 Tahun 2013
Terhadap Kepatuhan Sukarela Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surabaya Rungkut. Tesis. Universitas
Airlangga. Surabaya.
21
Rosella, V. 2015. Pengaruh Persepsi Atas Pp Nomor 46 Tahun 2013 Terhadap Tingkat
Kepatuhan Wajib Pajak. Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi. 4 (9).
Salstrand, G. A. E.. 1952. Persembahan Persepuluhan. A. M. Tambunan. Jakarta.
Simanjuntak dan I. Mukhlis. 2012. Dimensi Ekonomi Perpajakan dalam Pembangunan Ekonomi.
Penebar Plus+
Steven, T. 2008. Pesepuluhan Kunci Kebebasan Financial. Andi Offset. Yogyakarta.
Sudirman, R. dan A. Antong. 2012. Perpajakan Pendekatan Teori dan Praktik. 42 Media.
Malang.
Supramono, dan T. W. Damayanti. 2010. Perpajakan Indonesia Mekanisme dan Perhitungan.
Andi Offset. Yogyakarta.
Tamas K. P. dan E. Takats. 2008. Tax Rate Cuts and Tax Compliance- The Laffer Curve
Revisited”. http://www.imf.org/external/pubs/ft/wp/2008/wp0807.pdf. Diakses pada
tanggal 26 Februari 2018.
Thohari, A. A. 2011. Epistemologi Pajak, Perspektif Hukum Tata Negara Taxes
Epistemology, Constitutional Law Perspective. Jurnal Lesgislasi Indonesia. 8 (1).
Torgler, B., M. Schaffner. dan A. Macintyre. 2007. Tax compliance, tax morale, and
governance quality. International Studies Program Working Paper, Andrew Young
School of Policy Studies, Georgia State University.
Waluyo. 2011. Perpajakan Indonesia. Edisi 10. Salemba Empat. Jakarta.
Yasa, I. M. S. 2017. Analisis Penerapan Peraturan Pemerintah No 46 Terhadap Kepatuhan
Wajib Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Denpasar Timur. Jbk-Jurnal Bisnis
Dan Kewirausahaan. 11 (70).