Jurnal Indo

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 32

VOLUME 17 NO.

1 JANUARI 2020
JURNAL PRIMATOLOGI INDONESIA Editorial
(The Indonesian Journal of Primatology)
Habitat satwa primata Indonesia semakin lama
semakin berkurang. Hal ini karena pertambahan areal
hutan yang dibuka menjadi lahan perkebunan dan
ISSN 1410-5373 pertanian. Pertambahan penduduk telah mendesak
habitat satwa primata, karena perluasan properti dan
pembangunan prasarana untuk memenuhi kebutuhan
Volume 17, Nomor 1, Januari 2020 masyarakat. Hutan lindung dan Taman Nasional yang
ada sekarang ini jika tidak dijaga akan terus berkurang
luasannya. Kawasan suaka alam yang diperuntukkan
secara khusus untuk perlindungan alam hayati,
sekarang sudah berfungsi ganda menjadi tempat
PENANGGUNG JAWAB
hidup margasatwa dan dijadikan Taman Wisata Alam.
Huda S. Darusman
Tentunya dengan bertambahnya fungsi kawasan suaka
(Kepala Pusat Studi Satwa Primata LPPM-IPB)
alam, maka areal tersebut perlu dipelihara dan dibina
Didik Prasetyo
untuk menjadi tempat pariwisata, rekreasi, sarana
(Perhimpunan Ahli dan Pemerhati Primata Indonesia)
pendidikan, dna kebudayaan.

KETUA EDITOR
Sri Supraptini Mansjoer

ANGGOTA EDITOR
Irma H. Suparto, Dyah Perwitasari,
Entang Iskandar, Audrey Maria Ungerer,
Hendra Adijuwana

Jurnal Primatologi Indonesia (JPI) merupakan


jurnal ilmiah primatologi yang diterbitkan dua kali
EDITOR TEKNIK
dalam setahun oleh Pusat Studi Satwa Primata, Lembaga
Vallen Sakti Maulana
Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Institut
Pertanian Bogor (PSSP LPPM-IPB) bekerjasama
dengan Perhimpunan Ahli dan Pemerhati Primata
SEKRETARIAT DAN SIRKULASI Indonesia (PERHAPPI). Tujuan dan ruang lingkup
Rahayu Sulistina, Mutia Khansa penelaahan: 1) satwa primata sebagai model dalam
pencegahan dan penyembuhan penyakit manusia,
2) patologi, imunologi, parasitologi, mikrobiologi
ALAMAT REDAKSI dan kedokteran hewan primata, 3) morfologi,
Pusat Studi Satwa Primata LPPM-IPB fisiologi, reproduksi, taksonomi, pertumbuhan dan
Jalan Lodaya II No. 5, Bogor 16151 perkembangan, evolusi dan sistematika serta genetika
Telepon (0251) 8324358, 8313637, 8320417 satwa primata, 4) penangkaran, penanganan, metodologi
Faks. (0251) 8360712 eksperimen serta manajemen koloni dan laboratorium
Surat Elektronik: [email protected] satwa primata, 5) ekologi, demografi, pelestarian
Website: http://journal.ipb.ac.id/index.php/primata dan manajemen kawasan konservasi satwa primata,
6) neurologi, tingkah laku, sosiologi, komunikasi,
psikologi dan kesejahteraan satwa primata, dan 7)
kebijakan pemanfaatan, pelestarian dan pengembangan
PENERBIT satwa primata.
Pusat Studi Satwa Primata LPPM-IPB Langganan per-tahun dapat dilakukan dengan
(PSSP LPPM-IPB) penggantian biaya cetak Rp 60.000,-. Informasi lebih
bekerja sama dengan lanjut dapat diperoleh melalui Bagian Sekretariat dan
Perhimpunan Ahli dan Pemerhati Sirkulasi JPI.
Primata Indonesia
(PERHAPI)
Foto profil siamang diambil di Taman Safari
Indonesia (TSI) Bogor, Jawa Barat
oleh Vallen Sakti Maulana
Program Studi Primatologi, Sekolah Pascasarjana IPB
E-mail: [email protected]
Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 17, No. 1, Januari 2020, hlm. 1-2
ISSN 1410-5373

Indonesian Primate Profile


Symphalangus syndactylus
Common Names: English: The black-furred gibbon; Indonesia: siamang.

Figure 1 An adult female siamang (Symphalangus syndactylus) with her infant


(photo by: Vallen Sakti Maulana)

Siamang (Symphalangus syndactylus individual offspring (Supriatna and Wahyono


Raffles, 1821) is one of the endemic primates 2000). According to Gittins and Raemaekers
of the Sumatra island from the Hylobatidae (1980), siamang have a characteristic in the form
family. There are three types of Hylobatidae of a vocal sac (gular sac) and have membranes
on the Sumatra island, namely Hylobates between their fingers and toes. Siamangs are
agilis, Hylobates lar and Symphalangus characterized by their unique voice behavior,
syndactylus, the three primates have similar which is very loud (Chivers 1974).
habitats and social behavior (Mubarok 2012). Siamang is territorial animals, where
Hylobatidae are native to tropical rainforests sound is a form of social communication
around Southeast Asia, including Indonesia used to communicate between individuals and
(Geissmann 1995). Siamang can be found on groups, and when the siamang vocalizes it can
most of the Sumatra island, starting from the be interpreted as a territorial marker and the
area of North Sumatra, and south of Lake Toba division of territory between groups as well as
to Bukit Barisan Selatan. communication between couples in one group
Siamang is a protected animal based on the (Mubarok 2012).
Regulation of the Minister of Environment and Siamang occupies three types of land
Forestry of the Republic of Indonesia number cover, namely primary and secondary forest,
P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 lowland forest, swamp forest, and montane rain
regarding protected plant and animal species. forest (Kwatrina et al. 2013). The habitat of
Siamang is listed as endangered species siamang is a tropical forest that spreads from
according to the Red List of the International the lowlands at an altitude above 300 m asl to
Union for Conservation of Nature and Natural 1500 m asl (Kuswanda and Gersetiasih 2016).
Resources (IUCN) and based on the Convention Altitudes above 1500 m asl are not good habitats
on International Trade in Endangered Species for siamang because they have few plant species
of Wild Fauna and Flora (CITES) classified in and the plant species tend to be unsuitable for
Appendix 1, which means this species is already their movement (Sultan et al. 2009).
so few in nature that their trade is prohibited in According to Cowlishaw and Dunbar
all forms of international trade. (2000), the presence of siamang plays an
Siamang is a tailless primate species important role in forest ecosystems, first helping
weighing up to 10-12 kg in adult males which the process of plant growth (regeneration
makes siamang is the largest species of the and forest succession) by eating leaves and
Hylobatidae family (Nopiansyah 2007). fruits, secondly, siamang act as pollinators
Siamang is a monogamous primate species and and dispersers of plant seeds, so that primates
lives in the smallest social groups consisting generally play role as a key species in an
of adult males and females with one to four ecosystem.
2 Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 17, No. 1, Januari 2020, hlm. 1-2

Most of the siamang’s habitat is currently Kuswanda W, Gersetiasih R. 2016. Daya


experiencing a decline in quantity and quality dukung dan pertumbuhan populasi
as a result of forest conversion such as for siamang (Hylobates syndactylus Raffles,
plantations, especially on the Sumatra island 1821) di Cagar Alam Dolok Sipirok,
(Nijman and Geissman 2008). According Sumatera Utara. J Plasma Nutfah.
to Geissman (2007), about 70–80% of the 22(1):67–80.
main habitat of siamang has been lost in the Kwatrina RT, Kuswanda W, Setyawati T.
last 50 years as forest destruction. Habitat 2013. Sebaran dan kepadatan populasi
fragmentation causes siamang’s populations siamang (Symphalangus syndactylus) di
to inhabit a narrow area with very limited Cagar Alam Dolok Sipirok dan sekitarnya,
carrying capacity conditions. Thus, the growth Sumatera Utara. J Penelitian Hutan dan
of the siamang’s population becomes less than Konservasi Alam. 10(1):81–91.
optimal. The occurrence of forest fragmentation Mubarok A. 2012. Distribusi dan kepadatan
due to clearing of forest areas and land clearing simpatrik ungko (Hylobates agilis) dan
for plantations causes siamang’s populations siamang (Symphalangus syndactylus) di
to be pushed into narrow habitats and areas Kawasan Hutan Batang Toru, Sumatera
(Nijman and Geissman 2008). Utara [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Nijman V, Geissman T. 2008. Symphalangus
References syndactylus : The IUCN Red List of
Threatened Species [internet]. [diunduh
Chivers DJ. 1974. The Siamang in Malaysia: A 2019 Jul 1]. Tersedia pada: https://www.
Field Study of a Primate in Tropical Rain iucnredlist.org.
Forest. Basel (CHE): Karger. Nopiansyah F. 2007. Penggunaan parameter
Cowlishaw G, Dunbar R. 2000. Primate morfometrik untuk pendugaan umur
Conservation Biology. London (UK): Siamang Sumtera (Hylobates syndactylus
University of Chicago Pr. syndactylus Raffles) [tesis]. Bogor (ID):
Geissmann T. 1995. Gibbon systematics and Institut Pertanian Bogor.
species identification. International Zoo Sultan K, Mansjoer SS, Bismark M. 2009.
News. 42(8):467–501. Populasi dan distribusi ungko (Hylobates
Geissman T. 2007. Status reassessment of the agilis) di Taman Nasional Batang Gadis,
gibbons: Results of the asian primate red Sumatera Utara. J. Primatologi Indonesia
list workshop 2006. Gibbon J. 3:5–15. 6(1):25–31.
Gittins SP, JJ Raemaekers JJ. 1980. Malayan Supriatna J, Wahyono EH. 2000. Panduan
Forest Primates: Siamang, Lar and Agile Lapang Primata Indonesia. Jakarta (ID):
Gibbons. Michigan (US): Plenum Pr. Yayasan Obor Indonesia.
Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 17, No. 1, Januari 2020, hlm. 3-6
ISSN 1410-5373

Jejaring Kerja Konservasi dan Dampaknya terhadap Populasi Bekantan


(Nasalis larvatus) pada Hutan Tanaman di Lahan Gambut,
Kalimantan Barat
Conservation Network and its effects on the Population of Proboscis Monkey
(Nasalis larvatus) in Plantation Forests on Peatlands, West Kalimantan
Sandra AF1,*, Atmoko T2, Pancawati ES1, Sufaidah I1, Kato T1
1
PT. Wana Subur Lestari, Jl. Adisucipto Km 5,3, Kubu Raya
2
Balitek KSDA, Jl. Soekarno-Hatta Km 58, Samboja

*Korespondensi: [email protected]

Abstract. The management of plantation forests by PT Wana Subur Lestari (WSL) not only focuses on
the economic aspects but also on the biodiversity conservation aspects. To achieve the balance between
both aspects, WSL has introduced a new concept named Conservation Network, which is a comprehensive
network built in a landscape to connect core areas through green corridors. The coastal and riverbank areas of
the Conservation Network are the habitat for proboscis monkeys which are one of the endangered species on
the IUCN Red List. To protect the proboscis monkeys, WSL has established a green corridor 500 meter wide
which was determined by the existing proboscis monkey ecological studies. To evaluate the effects of the
Conservation Network, WSL conducted a survey of the proboscis monkey population in the concession area
of WSL in March 2019, using the river tracing method through on boat observation and ground observation.
The observation period was 12 days, and a total distance of 129.6 km. From the survey results, 196 of
proboscis monkeys were observed, 48 individuals of which were found in peatlands, while the other 148
individuals were found in mangrove forests. The estimated population density was 2 individuals/km2 on
average. Other primates observed were lutung kelabu (Tracypithecus cristatus), monyet beruk (Macaca
nemestrina), and monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). The results showed a relatively low density in
WSL. This might be caused by short-term observation and a small observed area (10,265 ha) compared to
the total area of the Conservation Network (84,742 ha). Further and continuous study is needed to evaluate
the effects of the Conservation Network.

Key words: Conservation network, forest plantation, mangrove, peat swamp forest, proboscis monkey

Pendahuluan Beberapa areal PT WSL merupakan


bagian dari areal bernilai konservasi tinggi (High
Bekantan merupakan salah satu satwa Conservation Value) yang harus dipertahankan
primata endemik Kalimantan yang dilindungi. dan dilindungi, termasuk di dalamnya terdapat
Satwa primata tersebut digolongkan rentan habitat bekantan. Salah satu misi PT WSL
berdasarkan Red List IUCN, dimasukkan ke dalam menekan terjadinya kerusakan hutan dalam
Appendik I CITES, dan dilindungi peraturan upaya untuk konservasi keanekaragaman hayati.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. Salah satu keanekaragaman hayati tersebut
P106 tahun 2018. Secara umum habitat bekantan adalah bekantan, sehingga perlu adanya studi
berada pada tipe hutan bakau (mangrove), lebih lanjut dan berkesinambungan untuk
riparian, dan rawa (Atmoko 2015). mengevaluasi dampak jejaring kerja konservasi
PT Wana Subur Lestari (PT WSL) merupakan terhadap populasi bekantan.
salah satu perusahaan pemegang Ijin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Materi dan Metode
(IUPHHK-HT) di Kalimantan Barat. Pengelolaan
hutan tanaman PT WSL tidak hanya fokus pada Kegiatan survei dilaksanakan pada
aspek ekonomi, tetapi juga mempertimbangkan tanggal 18-31 Maret 2019. Alat dan bahan yang
aspek konservasi keanekaragaman hayati. PT digunakan, yaitu speedboat 15 HP (horse power)
WSL telah mengembangkan konsep baru yaitu untuk sungai kecil dan speedboat 115 HP untuk
Jejaring kerja konservasi yang merupakan jaringan sungai besar, GPS, binocular Brunton 10x40,
komprehensif yang dibangun secara lanskap untuk kamera, lensa tele, tripod, peta kerja, program
menghubungkan areal inti melalui koridor hijau. ArcGIS, dan alat tulis. Metode dengan boat survey
Sebagai upaya perlindungan terhadap bekantan, menyusuri sejauh 129,6 km di sepanjang sungai
WSL telah menetapkan koridor hijau selebar 500 areal PT WSL. Kemudian dilakukan pencatatan
m berdasarkan studi ekologi bekantan yang ada. setiap perjumpaan langsung dengan bekantan.
4 Sandra et al., Conservation Network dan Dampaknya Terhadap Populasi Bekantan (Nasalis larvatus)

Hasil dan Pembahasan bekantan berkisar antara 2-3 ekor/km2 dengan


rerata dua ekor/km2. Kepadatan kelompok
Populasi dan Sebaran Bekantan berkisar antara 0,15-0,26 kelompok/km2 dengan
Berdasarkan perhitungan populasi rata-rata 0,20 kelompok/km2. Kepadatan
bekantan secara langsung, diketahui terdapat populasi bekantan, baik individu maupun
sebanyak 196 individu bekantan yang terbagi kelompok di areal PT WSL disajikan pada
dalam 20 kelompok. Kepadatan populasi Tabel 1.
Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 17, No. 1, Januari 2020, hlm. 3-6 5

Kepadatan populasi bekantan di areal PT Populasi bekantan berdasarkan jumlah


WSL tergolong relatif rendah jika dibandingkan individu bekantan yang diamati ada 196 ekor
dengan kepadatan populasi bekantan pada (Gambar 2). Oleh karena saat perhitungan ada
habitat yang masih relatif baik. Sebagai bekantan yang tidak dapat dilihat langsung
perbandingan, Tabel 2 menyajikan kepadatan pengamat, maka hasil tersebut dikalikan
populasi bekantan di beberapa lokasi lain di dengan faktor koreksi sebesar 1,8 (Bismark dan
Kalimantan dan Malaysia. Iskandar 2002), sehingga diperkirakan populasi
maksimal bekantan sebanyak 353 ekor.
Dari tabel di atas dapat diketahui Selain dilakukan survei populasi di
kepadatan bekantan di PT WSL relatif rendah. areal konsesi, survei juga dilakukan di sekitar
Hal ini dimungkinkan, karena jangka waktu areal PT WSL, terdapat 39 ekor bekantan
pengamatan yang pendek hanya 12 hari. Juga yang dibagi dalam empat kelompok. Mereka
karena kecilnya area yang diamati (10.265 ha) berada di sekitar areal konsesi: satu kelompok
jika dibandingkan dengan total luas jejaring kerja di Sungai Sapar Kiri, dua kelompok di Sungai
konservasi (84.742 ha), sehingga diperlukan Ketapel, dan satu kelompok di Sungai Keluang
pengamatan berkelanjutan untuk mengevaluasi (Tabel 3). Kelompok bekantan tersebut masih
jejaring kerja konservasi yang digunakan sebagai memungkinkan keluar dan masuk secara
koridor hijau bekantan dengan zona inti agar periodik ke dalam wilayah areal PT WSL
didapatkan hasil yang akurat. (Gambar 2).

Jenis Satwa Primata Simpatrik


Selain bekantan, di areal PT WSL juga
ditemukan satwa primata lainnya yang hidup
simpatrik. Satwa-satwa simpatrik adalah
beberapa satwa yang menggunakan habitat yang
sama secara bersama-sama. Jenis satwa primata
simpatrik tersebut antara lain lutung kelabu
(Tracypithecus cristatus), beruk (Macaca
nemestrina), dan monyet ekor panjang (Macaca
fascicularis) (Gambar 3). Sejauh ini tidak dapat
dilihat persaingan yang serius di antara satwa
Gambar 2 Bekantan di areal PT WSL primata simpatrik tersebut.
6 Sandra et al., Conservation Network dan Dampaknya Terhadap Populasi Bekantan (Nasalis larvatus)

Bekantan dan lutung kelabu sama-sama Daftar Pustaka


pemakan daun. Secara umum keberadaan
dedaunan relatif melimpah di dalam hutan, Ali MR, Bernard H, Hanya G. 2009. The
sehingga tingkat persaingan di antara keduanya population size and distribution of
kecil. Selain itu keberadaan lutung kelabu juga proboscis monkeys (Nasalis larvatus)
relatif lebih sedikit dibandingkan bekantan. Hal based on a brief study in Garama, Klias
itu ditunjukkan dengan titik perjumpaan dengan Peninsula, Sabah, Malaysia. J Trop Biol
lutung kelabu selama survei hanya enam kali. Conserv 5:67-70.
Bekantan dengan monyet beruk dan Atmoko T. 2015. Proboscis monkey as the
monyet ekor panjang umumnya hanya terjadi umbrella species on the its habitat. In
sedikit persaingan dalam hal penggunaan International Seminar Non-Human
ruang habitat dan tidak dalam hal sumber Primate in Biology, Conservation, and
pakan. Monyet beruk dan monyet ekor panjang Biomedical Research. Bogor (ID): Pusat
merupakan pemakan segala (omnivore), baik Studi Satwa Primata, LPPM Institut
itu bagian dari tumbuhan ataupun hewan. Pertanian Bogor.
Bekantan dominan pemakan daun dan sebagian Bennett EL, Sebastian AC. 1988. Social
buah (foliofore-frugivore). Buah yang dimakan organization and ecology of proboscis
bekantan antara lain buah yang masih mentah. monkeys (Nasalis larvatus) in mixed
Berbeda dengan monyet beruk dan monyet ekor coastal forest in Sarawak. Int J Primat
panjang yang hanya makan buah yang sudah 9(3): 233-255.
masak. Bismark M, Iskandar S. 2002. Kajian total
Bekantan merupakan spesies payung di populasi dan struktur sosial bekantan
dalam habitatnya. Spesies payung ciri-cirinya (Nasalis larvatus Wurmb.) di Taman
antara lain memiliki habitat yang spesifik Nasional Kutai, Kalimantan Timur.
dan memerlukan areal yang luas, dan ketika Buletin Penelitian Hutan 631: 17–29.
dilakukan perlindungan pada habitatnya, akan Rachmawan D. 2006. Populasi dan Penyebaran
sekaligus juga dapat melindungi spesies lain Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb,
yang ada di bawahnya. Menurut Atmoko (2015) 1781) di Sungai Kendilo Hutan Lindung
bekantan menjadi spesies payung dengan Gunung Lumut, Kalimantan Timur
beberapa pertimbangan: 1) memiliki tubuh [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan
yang besar, sehingga memerlukan pakan yang Institut Pertanian Bogor.
banyak dari ratusan jenis tumbuhan pakan, 2) Yeager CP. 1990. Proboscis Monkey (Nasalis
merupakan satwa primata arboreal sehingga larvatus) Social Organization: Group
memerlukan habitat dengan pepohonan yang Structure. Am J Primatol 20: 95-106.
besar tinggi dan tajuk kontinyu, 3) daerah jelajah
luas, dan 4) keberadaan habitatnya penting bagi
satwa liar lain dan ekosistem.

Simpulan

Dari hasil jejaring kerja konservasi,


pada dua tipe habitat bekantan ditemukan
sebanyak 196 ekor yang terdiri dari 48 ekor
di hutan gambut dan 148 di hutan bakau, serta
terdapat 39 ekor bekantan di luar areal konsesi.
Diperkirakan estimasi kepadatan populasinya
dua ekor/km2. Dalam pengamatan ditemukan
juga beberapa jenis satwa primata lain seperti
lutung kelabu (Tracypithecus cristatus), monyet
beruk (Macaca nemestrina), dan monyet ekor
panjang (Macaca fascicularis).
Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 17, No. 1, Januari 2020, hlm. 7-11
ISSN 1410-5373

Studi Perilaku Harian Siamang (Symphalangus syndactylus Raffles, 1821)


di Wildlife Rescue Center, Kulonprogo, Yogyakarta
The Daily Behaviour of Siamang (Symphalangus syndactylus Raffles, 1821)
in Wildlife Rescue Center, Kulonprogo, Yogyakarta
Priscillia A1*, Sutarno1, Widiyani T1
1
Departement of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Sebelas Maret Univesity
Jl. Ir. Sutami 36 A, Surakarta, Central Java, Indonesia

*Korespondensi : [email protected]

Abstract. Siamang (Simphalangus syndactylus Raffles, 1821) is a protected species and included in the
International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List categorized as an endangered species. This
research aimed to determine the daily behaviour of siamang such as eating, moving, resting, vocalizing,
grooming, and defecating at the Wildlife Rescue Center (WRC), Kulonprogo, Yogyakarta. The daily
behavior data collection was carried out from 06.00 AM until 5.00 PM. The observation subjects were
four male and one female siamang. In the initial observations the ad libitum method was used, while in the
daily observations the focal animal sampling and instantaneous sampling methods was used. The data were
analyzed descriptively and quantitatively, and made into an ethogram form. The siamang’s daily behaviour
was observed 10 hours a day, and the total observation time was 9000 minutes for all 5 subjects. The most
frequent behavior of siamang at WRC was resting, 57% in male and 50% in female. The high percentage
of resting was because siamang were accustomed to being in a less spacious cage, which limited other
behavour, and also food was available so that siamang did not need to actively move for foraging.

Key words : daily behavior, siamang, wildlife rescue center

Pendahuluan Siamang merupakan salah satu spesies satwa


primata keluarga Hylobatidae yang endemik di
Keberadaan siamang memiliki peranan Pulau Sumatera, serta golongan satwa primata
penting dalam ekosistem hutan, selain membantu kecil (lesser ape) bersifat diurnal, berteritorial
proses pertumbuhan tanaman (regenerasi dan dan arboreal (sebagian besar hidupnya pada
suksesi hutan) dengan memakan daun dan tajuk pohon) (Nowak 1999; Nijman dan
buah juga sebagai polinator dan penyebar biji Geissman 2008). Selain di Pulau Sumatera,
tumbuh-tumbuhan, sehingga pada umumnya habitat dan sebaran siamang ditemukan juga di
satwa primata ini memiliki peran sebagai spesies Semenanjung Malaysia dan Thailand.
kunci (key species) dalam sebuah ekosistem
(Cowlishaw dan Dunbar 2000). Siamang termasuk spesies yang dilindungi
Penyusunan strategi konservasi bagi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7
keberlangsungan hidup populasi siamang sangat Tahun 1999 serta dalam IUCN (International
diperlukan. Perlindungan populasi di habitat Union for Conservation of Nature) Redlist
alami merupakan salah satu strategi pelestarian sebagai spesies yang terancam punah
jangka panjang yang dikenal sebagai konservasi (endangered species) dan CITES (Convention
in-situ. Namun, adanya aktivitas manusia on International Trade in Endangered Species
yang tidak terkendali seperti perambahan of Wild Fauna and Flora) sebagai Appendix
kawasan hutan dan perburuan liar yang secara I. Kegiatan konservasi siamang melalui
langsung mengancam populasi dari siamang di perlindungan terhadap spesies dan habitatnya
habitat alaminya membuat konservasi in-situ sangat penting dilakukan guna mencegah
menjadi kurang efektif. Salah satu upaya untuk terjadinya kepunahan satwa tersebut. Penelitian
melestarikan populasi siamang adalah merawat
individu siamang dalam kondisi terkendali ini bertujuan mendapatkan informasi perilaku
dengan pengawasan manusia yang dikenal harian siamang (Symphalangus syndactylus
dengan konservasi ex-situ (Suhandi et al. 2015). Raffles, 1821) (defecation) di Wildlife Rescue
Siamang termasuk jenis kera hitam tidak berekor Centre, Kulonprogo, Yogyakarta, untuk
yang memiliki lengan yang panjang, dan dikenal dijadikan pertimbangan dalam penentuan
sebagai owa sumatera (Hardjosentono 1978). kebijakan konservasinya.
8 Priscillia et al., Studi Perilaku Harian Siamang (Symphalangus Syndactylus Raffles, 1821)

Materi dan Metode (Altmann 1974). Subjek penelitian empat ekor


siamang jantan dan satu ekor siamang betina
Penelitian dilakukan di Wildlife Rescue yang masing – masing berada dalam kandang.
Center (WRC) Kulonprogo, Yogyakarta yang Pengamatan dilakukan selama 10 jam/hari pada
berlangsung selama bulan Mei 2019. Individu jam 06.00 – 17.00 WIB dengan interval waktu
siamang yang diamati dalam penelitian 10 menit dan selang waktu pada jam 12.00 –
berjumlah lima individu yang terdiri dari empat 13.00 WIB selama 15 hari.
jantan dan satu betina. Kandang dilengkapi Data kualitatif hasil pengamatan yang
dengan tempat pakan, tempat minum dengan berupa perilaku harian siamang dianalisis secara
sistem water nipple, swinging rope untuk deskriptif. Data kuantitatif hasil pengamatan
siamang bergelantungan, kayu datar dan dengan metode focal animal sampling dan
sleeping nest untuk siamang istirahat. Kandang instantaneous sampling berupa frekuensi
siamang memiliki atap semi-tertutup dengan perilaku siamang yang dibedakan antara
bahan terbuat dari asbes. siamang jantan dan siamang betina kemudian
Pengambilan data pada penelitian ini dihitung persentasenya dengan menggunakan
terbagi menjadi dua tahap, yaitu pengamatan rumus sebagai berikut :
pendahuluan dan pengamatan perilaku siamang. Persentase suatu perilaku (%) = (frekuensi
Pengamatan pendahuluan menggunakan metode perilaku x menit)/(total waktu yang diamati
ad-libitum sampling. Sebanyak mungkin (menit)) x 100%. Hasil perhitungan yang
perilaku individu siamang yang dapat dilihat didapat ditabulasi dan dilanjutkan dalam bentuk
dicatat, sehingga perilaku tersebut digunakan ethogram.
sebagai kategori perilaku siamang yang diamati
pada saat penelitian berlangsung (Martin dan Hasil dan Pembahasan
Bateson 1993).
Pengamatan perilaku siamang Setiap pagi pukul 08.00 WIB, dokter
menggunakan metode focal animal sampling hewan (vet) memeriksa keadaan satwa dan
yang digabungkan dengan instantaneous perawat satwa (animal keeper) membersihkan
sampling. Focal animal sampling dilakukan kandang dari sisa makanan dan kotoran.
dengan mengamati perilaku satu individu yang Siamang yang berada di WRC berasal dari
sudah ditentukan sebelum berlanjut ke obyek hasil sitaan dan serahan warga, kemudian
berikutnya, sedangkan instantaneous sampling diselamatkan dan ditempatkan di WRC untuk
digunakan untuk mencatat perilaku individu dipantau kondisinya. Data status siamang yang
dengan interval waktu yang telah ditentukan berada di WRC dapat dilihat pada Tabel 1.
Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 17, No. 1, Januari 2020, hlm. 7-11 9

Perilaku Harian Siamang berpindah tempat. Selama pengamatan perilaku


Peubah yang digunakan antara lain bergerak siamang, sebagian besar dilakukan
aktivitas makan (feeding), istirahat (resting), dengan berayun. Hal ini sesuai dengan Fleagle
menelisik (grooming), bersuara (vocalizing), (2013), yang menyatakan siamang berpindah
defekasi (defecation), dan bergerak (moving). tempat dengan cara berayun secara lambat
Gambar 1 menjelaskan sebagian besar perilaku seperti pendulum.
yang dilakukan siamang jantan dan betina Siamang berayun pada swinging rope
adalah perilaku istirahat sebanyak lebih dari yang telah disediakan di dalam kandang ataupun
50%. berayun pada sela-sela jeruji kandang pada
Perilaku makan menjadi perilaku tertinggi lokasi yang sama, karena ukuran kandang yang
kedua setelah istirahat pada siamang jantan, kurang luas, sehingga tidak leluasa berpindah
namun pada siamang betina memiliki persentase tempat. Persentase perilaku bergerak siamang
lebih kecil dan menjadi perilaku tertinggi jantan sebesar 11%, sedangkan pada siamang
ketiga. Pemberian pakan menjadi aspek penting betina sebesar 22%. Persentase perilaku
yang diperhatikan dalam menunjang kesehatan bergerak betina 11% lebih besar dibandingkan
siamang di WRC. dengan siamang jantan.
Pakan diberikan setiap hari pada pukul Perilaku istirahat pada siamang memiliki
10.00 WIB dan 14.00 WIB. Siamang diberi persentase paling tinggi di antara perilaku lain.
buah – buahan yang terdiri dari semangka, Hal ini dapat dilihat pada data pengamatan
pisang, pepaya, jambu biji, melon, jeruk, salak, bahwa aktivitas istirahat pada siamang jantan
apel, tomat, pir, dan mangga, serta sayuran memiliki persentase sebesar 57%, sedangkan
berupa kangkung dan seledri. Bahan pakan pada betina sebesar 50%. Hasil pengamatan
dicampur dan ditimbang sebanyak 800 g sesuai dengan penelitian Rusita et al. (2015)
sebelum diberikan kepada siamang. Perawat bahwa perilaku istirahat lebih mendominasi
satwa memberikan pakan dengan dua cara dibandingkan dengan perilaku makan dan
yaitu meletakkan di tempat pakan yang telah berpindah tempat. Siamang beristirahat dengan
disediakan dan melemparkan pakan ke atas posisi duduk bersandar pada kandang, selain itu
kandang, sehingga siamang akan terlatih untuk juga berbaring dengan sisi belakang ataupun
bergerak mencari makan di sela-sela kandang. menyamping. Perilaku istirahat merupakan
Pemberian pengayaan lingkungan perilaku yang tidak sedang melakukan aktivitas
(environmental enrichment) pada siamang juga apapun antara lain, meliputi duduk, berdiri,
diberikan, namun tidak setiap hari, dan hanya berbaring dan seperti tidur.
diberikan pada waktu tertentu saja. Enrichment Sebagian besar aktivitas siamang
merupakan pengayaan pakan alami, sehingga digunakan untuk beristirahat, hal ini karena
siamang tidak stres dan menstimulasi naluri siamang tidak perlu mencari makan. Pakan sudah
liar siamang. Pengayaan yang diberikan berupa disediakan perawat satwa, selain itu ukuran
potongan buah-buahan yang dibekukan atau kandang yang kurang luas juga mempengaruhi
batok kelapa kosong yang diisi dengan potongan perilaku dan daya gerak siamang yang tidak
buah-buahan. dapat bergerak bebas dengan berayun.
Perilaku minum jarang dilihat pada Perilaku menelisik merupakan
siamang, meskipun tempat minum sudah perilaku siamang membersihkan tubuh,
disediakan dalam kandang. Hal ini karena menjilat, dan menggaruk tubuh. Siamang
kebutuhan air yang sudah tercukupi dengan menggaruk tubuhnya dengan tangan, kaki atau
mengonsumsi buah-buahan yang mengandung menggunakan alat lain seperti ranting pohon.
air. Siamang minum melalui selang air dengan Bagian tubuh yang dibersihkan antara lain
menjulurkan lidah ketika perawat satwa sedang punggung, lengan, tungkai, alat genital dan
membersihkan kandang. glutea. Setiap satu kandang hanya dihuni satu
Perilaku bergerak merupakan aktivitas individu siamang, sehingga aktivitas menelisik
siamang dalam berpindah tempat tanpa hanya memungkinkan untuk membersihkan
melakukan aktivitas lain. Aktivitas bergerak tubuhnya sendiri (autogrooming).
yang diamati antara lain berayun (brachiating), Perilaku defekasi pada siamang terdiri
berjalan, berlari, dan memanjat. Siamang dari membuang kotoran berupa feses dan urine.
berjalan dengan kedua kakinya, kemudian Siamang melakukan perilaku defekasi dengan
posisi kedua tangan terangkat ke atas untuk posisi duduk atau bergelantungan di kandang.
menggapai sesuatu dan menjaga keseimbangan. Selama melakukan aktivitas defekasi, siamang
Lengan siamang lebih panjang hanya melakukannya pada area kandang yang
dibandingkan dengan tungkai, karena siamang sama. Pola perilaku defekasi pada siamang
termasuk dalam satwa arboreal dan sering hampir sama, yaitu setelah bangun tidur dan
melakukan brachiating (berayun) untuk mengkonsumsi buah-buahan dengan jumlah
10 Priscillia et al., Studi Perilaku Harian Siamang (Symphalangus Syndactylus Raffles, 1821)

yang banyak. Umumnya siamang dapat sebagian besar pergerakan dilakukan dengan
melakukan aktvitas defekasi sebanyak dua berayun (brachiating); (4) pasangan owa dapat
sampai tiga kali sehari. Saat pengamatan, mengeluarkan bunyi (duetting) secara sering
ditemukan feses yang mengering dan ditumbuhi dan teratur; (5) pasangan owa dapat berkopulasi;
bibit tumbuhan. Hal ini mungkin karena biji (6) tiap owa dapat memperlihatkan perilaku
buah yang tertelan tidak hancur selama proses alaminya; dan (7) tidak menunjukkan adanya
pencernaan berlangsung (Atmanto et al. 2014). gejala stres.
Oleh karena itu, siamang berpotensi sebagai Agar rehabilitasi menjadi sukses
pemencar biji. diperlukan perencanaan yang matang
Perilaku bersuara pada siamang dan perawatan yang berkualitas. Ketika
dilakukan dengan posisi berayun, berdiri, dan dilepasliarkan perilaku satwa harus tetap
duduk. Perilaku ini merupakan aspek yang
menarik, karena siamang merupakan anggota diamati untuk mengetahui adaptasi dari satwa
famili Hylobatidae yang mempunyai suara rehabilitan. Apabila satwa tidak melalui proses
paling keras, karena adanya kantung suara rehabilitasi yang baik sebelum dilepasliarkan,
dan dapat membesar seiring dengan aktivitas maka kemungkinan besar tidak akan bertahan
bersuara. Selama pengamatan, siamang betina hidup di alam dan mati.
selalu mengeluarkan suara terlebih dahulu
lalu kemudian diikuti siamang jantan. Hal ini Pola Perilaku Harian Siamang
sesuai dengan Islam dan Feeroz (1992) yang Pada Gambar 2 dapat dilihat aktivitas
menyatakan aktivitas suara siamang betina makan meningkat seiring dengan berakhirnya
mendominasi aktivitas suara siamang jantan. waktu pengamatan pada jam 16.00 – 17.00

Siamang jantan maupun betina, WIB. Siamang betina cenderung sensitif dengan
mengeluarkan suara “boom” dengan kantung suara dan hanya makan apabila merasa keadaan
suara yang membesar. Siamang jantan juga sekitar kandang sepi, sehingga melakukan
mengeluarkan teriakan (scream) sedangkan aktivitas makan ketika perawat satwa pergi
pada betina mengeluarkan serangkaian suara atau area sekitar kandang sepi. Meningkatnya
(bark). Aktivitas bersuara secara berkelompok, aktivitas berpindah tempat pada jam 08.00 –
sering terjadi karena adanya gangguan dari luar 09.00, karena pada jam tersebut perawat satwa
seperti banyaknya pengunjung dan suara yang membersihkan kandang siamang dan adanya
keras (Chivers 1974). pengunjung yang datang di area sekitar kandang,
Siamang yang berada di WRC belum sehingga memicu pergerakan siamang. Setelah
dapat dilepasliarkan kembali, karena faktor itu pergerakan menurun, karena cuaca mulai
usia yang tua. Menurut Cheyne (2004), ada panas. Mulai pukul 09.00 aktivitas istirahat
beberapa aspek yang harus dipenuhi sebelum meningkat, karena hari semakin panas dan
dapat dilepasliarkan, diantaranya: (1) dapat siamang betina seringkali tidak melakukan
bergerak secara leluasa di sekitar kandang aktivitas apapun. Aktivitas istirahat meningkat
(enclosure); (2) menghabiskan sebagian besar pada jam 13.00 – 14.00 karena suasana sekitar
aktivitas di atas kandang (enclosure); (3) kandang panas. Rentang waktu 15.00 – 16.00
Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 17, No. 1, Januari 2020, hlm. 7-11 11

peningkatan aktivitas istirahat juga dapat Atmanto AD, Dewi BS, Nurcahyani N.
dilihat, hal ini karena hari sudah mulai sore 2014. Peran Siamang (Symphalangus
dan siamang betina mempersiapkan diri untuk syndactylus) sebagai Pemencar Biji di
beristirahat. Aktivitas menelisik terjadi tidak Resort Way Kanan Taman Nasional Way
menentu, namun sering dapat dilihat pada pukul Kambas Lampung. J Sylva Lestari 2(1):
10.00 – 11.00 ketika selesai makan dan waktu 49-58.
15.00 – 16.00 ketika akan beristirahat dan Cheyne SM. 2004. Assesing Rehabilitation
tidur. Aktivitas vokalisasi termasuk fluktuatif and Reintroduction of Captive-Raised
dengan persentase tinggi pada pagi hari sekitar Gibbons in Indonesia [tesis]. Cambridge
pukul 07.00 – 08.00 yang biasanya merupakan (UK): University of Cambridge Pr.
panggilan pagi (morning call), sedangkan Chivers DJ. 1974. The Siamang in Malaya :
pada pukul 09.00 – 12.00 adanya kehadiran a field study of a primate in tropical rain
dari pengunjung, sehingga siamang betina forest. Contrib to primatol 4: 1-335.
merasa terganggu dan memicu adanya aktivitas Cowlishaw G, Dunbar R. 2000. Primate
bersuara. Aktivitas defekasi terjadi dengan Conservation Biology. Chicago (US): The
persentase yang sangat rendah, siamang betina University of Chicago Pr.
akan membuang kotoran berupa feses dan urine Fleagle JG. 2013. Primate Adaptation and
secara bersamaan pada pagi hari pukul 06.00 – Evolution. New York (US): Academic Pr.
07.00 setelah bangun tidur kemudian kembali Hardjosentono et al. 1978. Pedoman
melakukan aktivitas defekasi kembali jika Pengelolaan Satwa Langka (Mamalia,
mengkonsumsi pakan dalam jumlah banyak. Reptilia dan Amphibia), Jilid 1. Bogor
(ID): Direktorat Perlindungan dan
Pengawetan Alam.
Simpulan Islam MA, Feeroz MM. 1992. Ecology of
hoolock gibbon of Bangladesh. Primates
Perilaku harian siamang (Symphalangus 33(4) :451 – 464.
syndactylus Raffles, 1821) di Wildlife Rescue Martin P, Bateson PPG. 1993. Measuring
Center, Kulonprogo, Yogyakarta meliputi Behaviour: An Introductory Guide.
aktivitas makan (13%), aktivitas istirahat (54%), Cambridge (UK): Cambridge University
aktivitas menelisik (8%), aktivitas bersuara Pr.
(8%), aktivitas defekasi (1%) dan aktivitas Nijman V, Geissman T. 2008. Symphalangus
bergerak (17%). Berdasarkan pengamatan syndactylus. In: 2008 IUCN Red List of
tidak ada perbedaan perilaku antara siamang Threatened Species. Tersedia pada www.
jantan dan siamang betina. Siamang betina iucnredlist.org (diakses pada 22 Januari
lebih sensitif terhadap gangguan, sehingga 2019).
mengeluarkan suara terlebih dahulu kemudian Nowak RM. 1999. Walker's Primates of
memicu siamang jantan bersuara. the World. Baltimore (US): The Johns
Hopkins University Pr.
Rusita BS, Dewi GD, Winarno JB, Hombing
Ucapan Terima Kasih A, Arista AM, Putri B, Choirunnisa.
2015. Perilaku Harian Primata (Hylobates
Terima kasih kepada pihak instansi syndactylus, Macaca fascicularis,
Wildlife Rescue Center khususnya kepada Presbytis melalophos) di Pusat Primata
drh. Irna Irhamna Putri dan drh. Warih Schmutzer Taman Margasatwa Ragunan
Pulung Nugrahani yang telah membantu dan Jakarta. Lampung (ID): Fakultas
membimbing dalam proses penelitian ini. Pertanian Universitas Lampung.
Suhandi AP, Yoza D, Arlita T. 2015. Perilaku
Harian Orangutan (Pongo pygmaeus
Daftar Pustaka Linnaeus) Dalam Konservasi Ex-Situ
Di Kebun Binatang Kasang Kulim
Altmann J. 1974. Observational study of Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar
behavior: sampling method. Behav 49: Riau. J Online Mahasiswa Fakultas
227-267. Pertanian 2(1) :1-14.
Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 17, No. 1, Januari 2020, hlm. 12-15
ISSN 1410-5373

Struktur Sosial Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di


Hutan Lindung Angke Kapuk, Jakarta Utara
The Social Structure of Long-Tailed Macaques (Macaca fascicularis)
in Angke Kapuk Protected Forest, North Jakarta
Darmono GE1*, Indriawati I1, Romdhoni H2, Perwitasari-Farajallah D3, Iskandar E3

1Program Studi Primatologi Sekolah Pascasarjana IPB 16151


2Program Studi Biosains Hewan Sekolah Pascasarjana IPB 16680
3Pusat Studi Satwa Primata Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB 16151

*Korespondensi: [email protected]

Abstract. Long-tailed macaques (Macaca fascicularis) are primates living in groups with multi-male multi-
female mating systems with a number of approximately 20–50 individuals and moving around depends
on the availability of food. Basic living needs of primates led to the formation of a social structure. The
observation aimed to determine the social structure of long-tailed macaques (Macaca fascicularis) in Angke
Kapuk Protected Forest, North Jakarta. The method of observation was used scan sampling with two repeats.
The result showed a decrease in number of individuals in one grup, from 21 to 19. This decrease was caused
by several factors, such as food availability and habitat loss. Other factors that influenced the size of social
structure, were resource availability, reproduction rates, energy use, and the presence of predators.

Key words: Angke Kapuk Protected Forest, group size, long-tailed macaques, social structure

Pendahuluan akibat gelombang air laut. Selain itu, kawasan


hutan bakau merupakan tempat yang paling
Indonesia merupakan negara yang disukai untuk berkembang biak dan bertelur
memiliki kekayaan alam yang luar biasa beberapa hewan air serta rumah bagi banyak
banyaknya. Kekayaan alam tersebut antara lain jenis burung dan serangga. HLAK didominasi
satwa primata dengan segala keanekaragaman jenis bakau seperti Rhizophora apiculata, R.
rupa, jenis dan perilakunya. Secara sepintas, stylosa, R. mucronata dan Avicennia officinalis.
satwa primata tampak hanya sebagai penghias Berbagai jenis satwa dapat ditemukan di
hutan tropik. Namun, satwa primata memiliki kawasan bakau HLAK, yaitu berbagai jenis
peran yang sangat penting dalam kehidupan. avifauna, serangga dan monyet ekor panjang
Terdapat sekitar 480 jenis satwa primata di (MEP, Macaca fascicularis) di sepanjang
dunia. Indonesia sendiri memiliki 59 jenis lintasan yang disediakan pengelola (Baihaqi et
satwa primata dan sekitar 60% (35 jenis) satwa al. 2016).
primata yang ada bersifat endemik atau hanya MEP hidup secara berkelompok dengan
ditemukan di Indonesia (Supriatna dan Rizki jumlah individu dalam satu kelompok sekitar
2016). Keanekaragaman ini harus dipelihara 20–50 ekor dan selalu berpindah-pindah
agar ekosistem alam di Indonesia tetap mengikuti ketersediaan pakan. Kelompok MEP
seimbang. Konservasi merupakan kegiatan terdiri dari banyak jantan dan betina (multi-
melindungi, melestarikan dan memanfaatkan male multi-female), dengan seekor jantan yang
satwa untuk kepentingan hidup umat manusia. dominan (alpha male) dan beberapa ekor betina
Kawasan konservasi merupakan tempat yang dominan. Terbentuknya struktur sosial
kegiatan manusia dalam melaksanakan upaya pada satwa diawali dari individu satwa dalam
konservasi. Salah satu jenis kawasan konservasi memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan
di Indonesia adalah hutan lindung. tersebut diantaranya kebutuhan dasar, yang
Hutan Lindung Angke Kapuk (HLAK) meliputi makan, minum, bereproduksi, bergerak,
Jakarta Utara merupakan kawasan hutan lindung dan bermain. Dalam individu pada jenis yang
yang berupa hutan bakau terakhir di Jakarta. sama akan memiliki kebutuhan yang sama
HLAK mempunyai luas 44,75 ha (Baihaqi et al. dan cara untuk mendapatkannya relatif sama.
2016). HLAK terletak di sepanjang pantai utara Dalam memenuhi kebutuhannya, satu individu
Jakarta, dengan panjang sekitar 5 km dan lebar satwa memerlukan interaksi dengan individu
rata-rata sekitar 100 m. Kawasan hutan bakau di yang lainnya, sehingga terjadilah hubungan
HLAK berperan dalam mencegah erosi pantai antara individu dan berlanjut antar beberapa
Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 17, No. 1, Januari 2020, hlm. 12-15 13

individu yang lebih banyak. Hubungan tersebut bagian atas dan mengecil pada bagian pinggang,
akan menghasilkan suatu aturan sosial dan akan rambut pada muka yang lebih panjang, penis
membentuk struktur sosial dengan kebiasaan yang kecil dan skrotum berbentuk tombol
yang diterapkan dalam kelompok tersebut bundar.
(McFarland 1999). Betina dewasa memiliki ukuran tubuh
Besar kecilnya ukuran kelompok sangat sekitar 50-75% dari ukuran jantan dewasa
dipengaruhi beberapa hal, diantaranya sumber dengan bobot sekitar 3-6 kg, kelenjar payudara
daya yang ada, tingkat reproduksi, penggunaan berkembang dengan baik dan perilaku lebih
energi dan keberadaan predator. Secara tenang.
mendasar terdapat tiga tipe struktur kelompok Remaja mempunyai ukuran tubuh yang
yaitu bertetangga dan soliter, hidup berpasangan lebih kecil dibandingkan individu dewasa,
serta hidup secara berkelompok (Kappeler dan warna rambut lebih kecokelatan dan belum
van Schaik 2002). Pembentukan kelompok mempunyai rambut yang berbentuk seperti
secara umum terjadi pada satwa primata, karena jambul di kepalanya.
pemenuhan kebutuhan yang sama dan cara Anakan (juvenile) mempunyai ukuran
pemenuhan cenderung sama, selain itu juga tubuh lebih kecil daripada individu pradewasa,
didukung dengan tingkat intelegensia satwa sudah lepas dari induk, bergerak mandiri
primata yang lebih tinggi dibandingkan dengan (independent) dan mempunyai tingkah laku
jenis satwa lainnya. Penelitian bertujuan untuk bermain yang lebih menonjol dari individu
mengamati struktur sosial MEP yang terdapat kelompok umur lainnya.
di kawasan bakau Hutan Lindung Angke Kapuk Bayi (infant) berwarna cokelat atau hitam
Jakarta Utara. dan selalu berada dalam gendongan betina
dewasa ataupun menggelantung pada perut
induk.
Materi dan Metode

Waktu dan Lokasi Pengamatan Hasil dan Pembahasan


Pengamatan struktur sosial pada monyet
ekor panjang dilakukan di Hutan Lindung Monyet ekor panjang memiliki struktur
Angke Kapuk Jakarta Utara pada tanggal 30 organisasi multi-male/multi-female dengan
Desember 2017 mulai pukul 08.00-12.00 dan hierarki yang kuat dibandingkan dengan yang
13.00-15.00 serta tanggal 5 April 2019 mulai lain (Karimullah 2001). MEP merupakan
pukul 10.00-11.00 WIB. satwa primata yang eusosial dengan struktur
sosial, yang terdiri dari jantan dan betina
Pengamatan Struktur Sosial Monyet Ekor (Suwarno 2014). MEP hidup berkelompok
Panjang (M. fascicularis) mulai dari puluhan hingga ratusan ekor dalam
Pengamatan struktur sosial monyet satu kelompoknya dan dapat terbagi menjadi
ekor panjang dilakukan dengan metode scan beberapa sub-kelompok. Fungsi kelompok
sampling, sehingga hanya satu kelompok sosial sebagai proteksi kolektif dari bahaya
yang diamati. Pengamatan dilakukan dengan predator dan mendukung perilaku seksual
menghitung dan membedakan komposisi mereka (Artaria 2012). MEP melakukan
individu berdasarkan jenis kelamin dan tingkat aktivitas sosial, maka struktur sosial akan dapat
umur dalam satu kelompok. Pengamatan dilihat, yaitu adanya individu dominan dan
dilakukan secara langsung dan terbagi dalam subordinan. Kehidupan kelompok sosial satwa
dua waktu untuk tanggal 30 Desember 2017, primata terdiri dari individu yang berbeda
yaitu pagi hari (pukul 08.00-12.00 WIB) dan dalam usia, jenis kelamin, ranking dominasi dan
siang hari (pukul 13.00-15.00 WIB) serta kekerabatan (Cheney et al. 1987). Struktur sosial
tanggal 5 April 2019 pada pagi hari (pukul menunjukkan bentuk fisik kelompok berkaitan
10.00-11.00 WIB). dengan kelompok umur dan jenis kelamin, serta
Pengamatan terhadap struktur sosial hubungan interaksi satu dengan lainnya. Sistem
berdasarkan komposisi umur pada kelompok sosial menimbulkan terbentuknya hierarki
MEP dilakukan dengan melihat ciri-ciri sosial (Sukabudhi 1993).
morfologi dan perilaku umum pada kelas umur Struktur sosial pada satwa primata
tertentu. Laksana et al. (2017) menyatakan ciri- terbentuk dengan diawali dari individu satwa
ciri morfologi dan perilaku umum MEP pada primata dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
kelas tertentu. Kebutuhan tersebut diantaranya kebutuhan
Jantan dewasa mempunyai ukuran tubuh dasar, seperti makan, minum, bereproduksi,
relatif besar dan berbobot 5-9 kg, tegap dan kuat bergerak, dan bermain. Satwa primata
serta agresif dan lincah, dada yang lebar pada memerlukan interaksi dengan individu lainnya,
14 Darmono et al., Struktur Sosial Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

sehingga terjadi hubungan antara individu antara lain ketersediaan pakan dan berkurangnya
tersebut dan berlanjut antar beberapa ekor habitat. Besar kecilnya kelompok ditentukan
yang lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan ada tidaknya pemangsa atau kelimpahan sumber
tersebut. Hubungan tersebut akan menghasilkan pakan di alam. Ketersediaan pakan MEP di
suatu aturan sosial dan akan membentuk struktur HLAK bersumber pada tanaman bakau yang
sosial dengan kebiasaan yang diterapkan berada di kawasan tersebut dengan keragaman
dalam suatu kelompok (McFarland 1999). vegetasi yang sedikit. Habitat MEP di HLAK
Satwa primata membentuk suatu kelompok, yang berdekatan dengan kawasan pemukiman
yaitu untuk mempertahankan sumber daya, menyebabkan MEP mulai terganggu dan
terutama pakan, perlindungan dari predator terdesak.
untuk mengurangi tekanan lingkungan dan
persaingan makanan, efisiensi dalam foraging
dan keberhasilan reproduksi. Struktur sosial
juga menyebabkan persaingan dalam kelompok
terutama dalam hal sumber daya pakan dan
pasangan kawin.
Kelompok sosial MEP di Hutan Lindung
Angke Kapuk (HLAK) pada mulanya terdiri
atas dua kelompok, namun karena jantan
dominan pada salah satu kelompok mati,
sehingga saat ini hanya terdapat satu kelompok
yang dapat diamati struktur sosialnya dengan
jelas. Hasil pengamatan struktur kelompok
pada satu kelompok MEP di HLAK dengan Gambar 2 Tingkatan umur monyet ekor panjang
empat kelompok umur berbeda (infant, juvenile, (Macaca fascicularis). Keterangan :
jantan, dan betina dewasa disajikan dalam (a) jantan dewasa dominan (α-male),
Gambar 1 dan Gambar 2. (b) betina dewasa dan (c) infant

Struktur sosial MEP di Hutan Lindung Beberapa faktor lain yang mempengaruhi
Angke Kapuk (HLAK) dalam satu kelompok besar kecilnya struktur sosial antara lain sumber
mengalami penurunan dari 21 ekor menjadi daya yang ada, tingkat reproduksi, penggunaan
19 ekor dalam kurun waktu satu tahun. energi dan keberadaan predator (Lehmann et al.
Jumlah individu dalam satu kelompok MEP 2007). Besar kecilnya kelompok ditentukan oleh
di HLAK lebih rendah dibandingkan dengan kelimpahan sumber daya pakan dalam menjamin
keberlangsungan hidupnya. Satwa pemakan
hasil penelitian yang dilakukan Hidayat (2017) daun (folivores) cenderung hidup dalam
dan Baihaqi et al. (2016) masing-masing 27 kelompok yang kecil dibandingkan dengan
ekor dan 26 ekor. Penurunan jumlah individu satwa pemakan buah (frugivores). Kelimpahan
dalam satu kelompok di HLAK selama rentang sumber daya pakan berupa dedaunan di kawasan
pengamatan diduga karena beberapa faktor, bakau HLAK mempengaruhi ukuran kelompok
Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 17, No. 1, Januari 2020, hlm. 12-15 15

MEP. Selain itu, persaingan antar anggota Borries C, Larney E, Lu A, Ossiand K,


kelompok dalam mendapatkan makanan juga Koenig A. 2008. Costs of group size:
berperan dalam membatasi ukuran kelompok lower developmental and reproductive
(Borries et al. 2008). Ukuran kelompok juga rates in larger groups of leaf monkey.
berpengaruh terhadap keberhasilan reproduksi. Behav Ecol 19:1186-1191.
Keberhasilan reproduksi ditandai dengan Cheney DL, Seyfard RM, Smuts BB,
Wrangham RW. 1987. The study of
meningkatnya angka kelahiran pada satwa. primate society. In: Smuts BB, Cheney
Peningkatan jumlah juvenile MEP di HLAK DL, Seyfarth RM, Wrangham RW and
menunjukkan status reproduksi MEP yang baik. Struhsaker TT (eds) Primate Societies.
Ukuran kelompok yang semakin London (UK): The University of Chicago
besar menyebabkan peningkatan kebutuhan Pr.
pakan. Peningkatan kebutuhan pakan akan Hidayat AA. 2017. Struktur Kelompok Monyet
menyebabkan wilayah jelajah satwa primata Ekor Panjang (Macaca fascicularis
semakin luas, sehingga banyak energi yang Raffles, 1821) dan Interaksinya dengan
dikeluarkan dan tidak efisien. Besar kecilnya Penduduk Sekitar Suaka Margasatwa
ukuran kelompok juga merupakan hasil adaptasi Paliyan. J Biol 5 (8).
terhadap keberadaan predator. Macaca yang Kappeler PM, van Schaik CP. 2002. Evolution
hidup di habitat tanpa adanya predator yang of Primate Social Systems. Int J Primatol
23(4):707-740.
signifikan cenderung membentuk kelompok Karimullah. 2001. Social organization and
yang kecil (McFarland 1999). MEP di HLAK malting system of Macaca fascicularis
cenderung tidak memiliki predator sehingga (long tailed macaques). Int J Biol 3(2):23-
aman dan tidak terdesak. 31.
Laksana MRP, Rubiati VS, Partasasmita
R. 2017. Struktur populasi monyet ekor
Simpulan panjang (Macaca fascicularis) di Taman
Wisata Alam Pananjung Pangandaran,
Monyet ekor panjang (MEP/Macaca Jawa Barat. Pros Sem Nas Masy Biodiv
fascicularis) merupakan jenis satwa primata Indon 3(2): 224-229.
yang hidup secara berkelompok dengan sistem Lehmann J, Korstjens AH, Dunbar RIM.
sosial banyak jantan banyak betina (multi-male 2007. Fission-fusion social system as
multi female). Jumlah kelompok MEP di Hutan a strategy for coping with ecological
Lindung Angke Kapuk hanya satu kelompok constraints: a primate case. Evol Ecol
dan mengalami penurunan jumlah individu dari 21:613-634.
McFarland D. 1999. Animal Behavior,
21 ekor menjadi 19 ekor dalam kurun waktu satu Psychobiology, Ethology and Evolution.
tahun, hal ini diduga ada perubahan penurunana London (UK): Addison Weley Longman
daya dukung habitat. Ltd.
Sukabudhi G. 1993. Studi Penampilan Monyet
Ekor Panjang (Macaca fascicularis) di
Daftar Pustaka Unit Penangkaran Pusat Studi Satwa
Primata Institut Pertanian Bogor [skripsi].
Artaria MD. 2012. Buku Ajar Primatologi Bogor (ID): Fakultas Peternakan Institut
untuk Antropologi. Surabaya (ID): Pertanian Bogor.
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Supriatna J, Rizki R. 2016. Pariwisata
Universitas Airlangga. Primata Indonesia. Jakarta (ID): Yayasan
Baihaqi A, Setia TM, Sugardjito J, Lorenzo Pustaka Obor Indonesia.
G. 2016. Penggunaan Pohon Tidur Monyet Suwarno. 2014. Studi Perilaku Harian Monyet
Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Ekor Panjang (Macaca facicularis) di
di Hutan Lindung Angke Kapuk dan Pulau Tinjil. Prosiding Seminar Nasional
Ekowisata Mangrove Pantai Indah Kapuk XI Biologi, Sains, Lingkungan dan
Jakarta. Al-Kauniyah: J Biol 10(1), 2017. Pembelajarannya.
Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 17, No. 1, Januari 2020, hlm. 16-21
ISSN 1410-5373

Evaluasi Manajemen Pemeliharaan terhadap Endoparasit


Saluran Pencernaan pada Tarsius (Tarsius spectrum)
di Pusat Studi Satwa Primata LPPM-IPB
The Evaluation of Rearing Management of Gastrointestinal Endoparasites in
Tarsiers (Tarsius spectrum) at IPB Primate Researh Center
Abdul GRV1*, Yusuf R2, Darusman HS3,4

1Fakultas Kedokteran Hewan (FKH), IPB University


2Divisi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan
dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, FKH IPB University
3Divisi Farmakologi dan Taksiologi, Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, FKH IPB University.
4Pusat Studi Satwa Primata, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, IPB University

*Korespondensi: [email protected]

Abstract. Tarsier (Tarsius spectrum) is primitive primates (prosimii) from the Tarsiidae family which is
endemic in North Sulawesi. The International Union for Conservation of Nature and Natural Resources
(IUCN) stated that T. spectrum is categorized as vulnerable animals. This study aimed to evaluate farm
management of gastrointestinal endoparasites in T. spectrum. Faeces samples were collected from 6 T.
spectrum for 9 days. The stool samples were collected using the native method, McMaster, simple floatation,
sedimentation, and fecal culture, while the rearing management data were collected through observation and
interviews. The laboratory analyses on T. spectrum at PSSP LPPM, IPB, did not show any endoparasites.
The absence of endoparasites in T. spectrum showed that rearing management was in accordance with the
procedures applied, such as the hygiene of the cages that was always well kept, the use of personal protective
equipment, regular feeding and deworming.

Key words : endoparasite, faeces, management, Tarsius spectrum

Pendahuluan pemeliharaan, pembesaran, dan pengembalian


ke alam (restocking) (Wirdateti dan Dahrudin
Konservasi merupakan salah satu 2002). Kendala dalam menjalankan penangkaran
usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah meliputi kesulitan adaptasi, minimnya
penurunan populasi T. spectrum dan ketersediaan pakan yang sesuai dengan habitat
mempertahankan keberadaannya di alam, asli, perubahan perilaku satwa dan penyakit.
sehingga populasinya tidak terganggu. Salah satu penyakit yang dapat
Tercapainya usaha konservasi in-situ maupun menginfeksi T. spectrum yaitu endoparasit.
ex-situ secara baik dengan pengamatan aspek Endoparasit berbahaya bagi satwa primata
biologi yang mendukung program tersebut. karena menghambat pertumbuhan,
Salah satunya dengan pengamatan ekologi meningkatkan level stres, menurunkan sistem
meliputi pakan alami, habitat, dan sarang. imun, dan menyebabkan zoonosis (Aguirre dan
Pakan sangat penting untuk bertahan hidup Tabor 2008). Risiko satwa primata yang ada
dan bereproduksi. Pakan utama dari tarsius di penangkaran atau pusat rehabilitasi untuk
adalah serangga. Pencarian pakan menjadi hal terinfeksi parasit lebih rendah dibandingkan
yang sangat penting untuk kelangsungan hidup dengan satwa primata di habitat aslinya. Hal ini
tarsius di alam (Napier dan Napier 1967). Pusat karena kondisi lingkungan penangkaran yang
Studi Satwa Primata (PSSP) IPB merupakan selalu terjaga kebersihannya. Data mengenai
endoparasit dan manajemen pemeliharaan pada
salah satu lembaga konservasi ex-situ yang T. spectrum saat ini masih kurang, sehingga
berusaha untuk menjaga kelestarian T. spectrum. dilakukan penelitian mengenai keberadaan
Usaha konservasi yang telah dilakukan saat ini jenis endoparasit yang menginfeksi T. spectrum
melalui penangkaran. Penangkaran merupakan melihat sumber penularannya Informasi awal ini
kegiatan budidaya flora atau fauna meliputi dapat digunakan sebagai tindakan pencegahan
usaha pengumpulan bibit, pengembangbiakan, infeksi endoparasit.
Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 17, No. 1, Januari 2020, hlm. 16-21 17

Metode Penelitian dengan akuadestilata pada gelas objek. Setelah


homogen ditutup dengan kaca penutup,
Waktu dan Tempat Penelitian selanjutnya preparat diamati di bawah
Penelitian dilaksanakan pada Februari mikroskop dengan perbesaran 100 kali (Taylor
sampai Maret 2019. Pengambilan sampel feses et al. 2007).
di Penangkaran Tarsius Pusat Studi Satwa
Primata (PSSP) LPPM IPB dan pemeriksaan Metode McMaster
sampel feses di Laboratorium Helmintologi, Sebanyak 2 g feses dilarutkan dengan
Divisi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, 58 mL larutan gula garam jenuh, kemudian
Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan dihomogenkan, disaring dan kembali
Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas dihomogenkan. Suspensi yang telah homogen
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. diambil menggunakan pipet tetes untuk
dimasukkan ke dalam kamar hitung McMaster
Bahan dan Alat dan diamkan selama 5-10 menit agar telur
Bahan yang digunakan dalam penelitian mengapung. Preparat diamati di bawah
ini yaitu feses T. spectrum, larutan gula garam mikroskop dengan perbesaran 100 kali (Lestari
jenuh, akuadestilata, dan methylene blue. Alat et al. 2018). Dihitung menggunakan rumus
yang digunakan yaitu plastik klip, tusuk gigi,
spidol permanen, cotton bud, gelas objek, cover berikut: TTGT=(n ×Vt)/(Vk ×Bf) Keterangan:
glass, pinset, kotak pendingin, ice pack, tabung n : jumlah telur di kamar hitung; Vt : volume
reaksi, pipet tetes, mikroskop binokuler, timer, sampel total; Vk: volume kamar hitung; dan Bf:
gelas Baermann, saringan teh, McMaster, dan berat feses.
mikroskop stereo.
Flotasi Sederhana
Desain Penelitian Sebanyak 2 g feses dihomogenkan dengan
58 mL larutan garam gula jenuh. Suspensi yang
Tahapan pelaksanaan penelitian ini antara telah homogen disaring dengan saringan teh,
lain, pengurusan perizinan di kantor Pusat Studi kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi
Satwa Primata LPPM Institut Pertanian Bogor, hingga penuh. Tabung reaksi ditutup dengan
kemudian dilakukan orientasi dan habituasi cover glass dan ditunggu ± 15 menit. Cover
kandang terhadap satwa primata di penangkaran. glass kemudian diangkat dan diletakan pada
Sebanyak 54 sampel feses diambil dari 6 ekor object glass untuk pengamatan menggunakan
tarsius. Setiap kandang berisi 1 ekor tarsius. mikroskop dengan perbesaran 100 kali
Pengambilan feses dilakukan pada pukul (Natadisastra dan Agoes 2009).
08.00 – 10.00 WIB selama 9 hari. Pemeriksaan
dilakukan dengan metode natif, McMaster,
pengapungan, sedimentasi, dan pemupukan Metode Sedimentasi
larva. Data manajemen pemeliharaan dalam Sebanyak 3 g feses ditimbang dan
penelitian ini diperoleh secara observasi dan dihomogenkan dengan 40-50 ml aquades.
wawancara secara langsung dengan pegawai. Selanjutnya disaring dan suspensi dimasukkan
ke dalam tabung reaksi. Tabung berisi suspensi
Teknik Pengambilan Sampel didiamkan selama 5 menit, kemudian supernatan
Sampel yang diambil merupakan sampel dibuang dengan menyisakan sedimennya dan
feses segar dari tarsius setelah defekasi kurang ditambahkan 5 mL akuadestilata. Selanjutnya
dari dua jam. Sampel kemudian dimasukkan biarkan selama 5 menit, supernatan dibuang
kedalam zipper plastik, kemudian diberi label dengan sangat hati-hati. Sedimen yang berada
berupa nomor kandang, kondisi kandang, lokasi, pada dasar tabung diambil menggunakan
waktu, dan tanggal pengambilan. Sampel feses pipet, kemudian diletakkan pada object
pada plastik klip dimasukkan ke dalam kotak glass. Satu tetes methylene blue kemudian
pendingin yang telah ditambahkan ice pack dihomogenkan dan ditutup dengan cover glass.
dan disimpan di dalam lemari pendingin untuk Amati menggunakan mikroskop stereo dengan
mencegah perkembangan telur (Shaikenov et perbesaran 100 kali (Hansen dan Perry 1994).
al. 2004).
Pemupukan larva
Identifikasi Endoparasit Pemupukan larva dilakukan untuk
mendapatkan larva Stadium 3 dalam jumlah
Metode Natif yang banyak. Sampel feses yang positif telur
Sebanyak 2-3 tetes akuadestilata di atas cacing dimasukkan ke dalam cawan petri dan
gelas objek, kemudian sampel feses diambil ditambahkan vermiculite dengan perbandingan
menggunakan tusuk gigi dan dihomogenkan 1:3, kemudian diaduk hingga campurannya
18 Abdul et al., Evaluasi Manajemen Pemeliharaan terhadap Endoparasit Saluran Pencernaan pada Tarsius

menjadi halus dan merata sambil diberi air terpapar sinar matahari menghambat stadium
secukupnya, agar pupukan larva menjadi preparasitik. Natadisastra dan Agoes (2009)
lembab. Pupukan larva disimpan pada suhu menyebutkan bahwa lingkungan yang paling
kamar dan tidak terkena sinar matahari langsung baik untuk berkembangnya telur dan larva
selama tujuh hari. Setelah itu, pupukan larva cacing yaitu pada tempat yang terhindar dari
dipindahkan ke dalam gelas Baermann yang sinar matahari langsung dan lembab.
berisi akuadestilata dan ditunggu selama 24 jam. Infeksi parasit dapat bersumber dari air,
Larva yang terkumpul pada dasar gelas diambil pakan, dan lingkungan, serta untuk penularan
menggunakan pipet pasteur dan dimasukkan
ke dalam tabung reaksi. Larva yang sudah parasit secara langsung pada satwa primata
diperoleh diperiksa dengan mikroskop stereo. dipengaruhi tingginya populasi, kepadatan, dan
besarnya ukuran kelompok (Chapman et al.
Data Manajemen 2005). Semakin besar jumlah populasi inang
Data manajemen berkaitan dengan maka infeksi semakin tinggi dan beragam
kebersihan kandang, pakan, alat pelindung diri, infeksi yang akan terjadi (Baines et al. 2015).
dan pemberian antelmintik diperoleh melalui Selain itu, penyimpangan perilaku satwa
observasi dan wawancara dengan perawat dari primata juga berpotensi terjadinya infeksi
hewan tersebut. endoparasit, antara lain aktivitas satwa primata
yang lebih menyukai lantai dari pada dahan,
Analisis Data daya jelajah yang relatif sempit, meminum air
kencing sendiri, menjilati alat genital dan dubur
Data yang diperoleh dari hasil pemeriksaan
dan hasil observasi manajemen pemeliharaan satwa primata lain (Thompson dan Monis
dianalisis secara deskriptif. 2004). Kandang tarsius PSSP IPB memiliki
desain setiap kandang satu individu sehingga
tidak mempengaruhi kepadatan. Feses tarsius
Hasil dan Pembahasan juga tidak langsung menyetuh tanah, sehingga
dapat mengurangi kontaminasi dari tanah dan
Endoparasit pada Tarsius lingkungan saat melakukan pemeriksaan feses
Feses sebagai media mendeteksi tarsius. Lantai kandang tarsius di PSSP IPB
mikroorganisme pada saluran pencernaan dari keramik, sehingga perkembangan parasit
tarsius, salah satunya endoparasit. Berdasarkan pada feses dapat terhambat. Kondisi kandang
hasil analisis secara makroskopis pada feses yang selalu dibersihkan juga meminimalisir
tarsius diperoleh hasil dalam Tabel 1 sebagai terjadinya kontak tarsius dengan feses.
berikut :

Hasil pengamatan feses menunjukkan Iskandar et al. (2014) dalam penelitiannya


bahwa konsistensi feses tarsius lembek sampai pada T. spectrum yang mati dalam perjalanan,
keras. Feses yang keras biasanya sudah cukup ditemukan banyak cacing genus Tarsubulura
lama kering, sedangkan feses yang baru relatif setelah dilakukan pembukaan saluran
lebih lunak. Feses tarsius menunjukkan warna pencernaan. Tarsubulura merupakan parasit
coklat kehitaman. Gejala klinis dari adanya nematoda subulure satwa primata primitif yang
endoparasit ditandai dengan diare, feses cair ditemukan di Ceylon dari T. Spectrum (Ratzel
bercampur mukus dan darah berwarna merah 1868), sedangkan tarsius yang diberi pakan
(Dewi dan Nugraha 2007). Hasil pengamatan belalang dan kemudian dilakukan pembedahan
mikroskopis feses tarsius tidak ditemukan pada saluran pencernaanya ditemukan
endoparasit. Hal ini berarti manajemen Tarsubulura perarmata Quentin et al. (1977).
pemeliharaan dan pakan sudah diperhatikan, Hal ini menujukkan bahwa belalang merupakan
sehingga menekan penularan parasit pada inang antara dari endoparasit tersebut.
tarsius. Selain itu, kondisi kandang yang Beberapa karakter morfologis nematoda yang
Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 17, No. 1, Januari 2020, hlm. 16-21 19

diteliti sangat mirip T. perarmata seperti dari keramik, sedangkan dinding kandang
yang dijelaskan Purwaningsih et al. (2004). dibuat dari kawat yang memudahkan tarsius
Pemeriksaan yang dilakukan pada tarsius mencekram saat melompat. Atap kandang
di PSSP IPB tidak ditemukannya nematoda terbuat dari asbes dan terdapat kanopi untuk
pada feses tarsius. Tingkah laku hidup tarsius sinar matahari. Terdapat kandang berukuran
yang arboreal menyebabkannya tidak mudah kecil untuk tarsius beristirahat pada pagi hari,
terinfeksi endoparasit. Hal ini dapat menurunkan karena tarsius termasuk hewan nokturnal.
kontak tarsius dengan feses yang ada di bawah, Ranting pohon pada kandang mempermudah
sehingga sangat kecil kemungkinan terjadinya tarsius beradaptasi dengan lingkungan selama
proses penularan. di penangkaran dan membantu dalam lokomosi
Cacing trematoda tidak ditemukan, karena seperti di alam.
tidak adanya siput sebagai inang antara cacing Kondisi kandang yang tidak menyerupai
ini. Infeksi dapat pula terjadi akibat satwa habitat aslinya menyebabkan tarsius kehilangan
primata yang meminum air yang bersumber sifat alamiah. Tarsius pada habitatnya lebih
dari aliran air yang mengandung telur cacing sering beraktivitas pada pohon besar yang
(Munnig dan Phill 1950). Air yang diberikan memiliki lubang–lubang kecil dibatang pohon.
untuk air minum tarsius berasal dari sumber air Wirdateti dan Dahrudin (2006) menyatakan
yang sudah di evaluasi. Trematoda yang dapat salah satu jenis pohon yang digunakan sebagai
menginfeksi satwa primata yaitu Fasciolopsis sarang adalah jenis Ficus sp., karena memiliki
buski, Watsonius watsoni dan Gastrodiscoïdes akar pohon yang mempermudah tarsius
homini (Lacoste 2009). untuk berpegangan. Akar-akar Ficus sp. akan
Menurut Tarmudji (2006), siklus membentuk lubang-lubang kecil, sehingga
hidup cacing cestoda memiliki inang antara tarsius dapat berteduh dari hujan maupun cahaya
yaitu serangga, rodensia, dan sapi. Serangga matahari dan menghindari predator (Lowing et
merupakan salah satu pakan tarsius sehingga al. 2013).
kemungkinan terinfeksinya cestoda dapat Tarsius merupakan salah satu jenis satwa
terjadi, akan tetapi pakan tarsius berasal dari primata pemakan serangga. Serangga yang biasa
budidaya yang dapat mengurangi transmisi menjadi pakan untuk tarsius adalah jangkrik dan
dari cestoda. Salah satu jenis cacing cestoda ulat jerman. Hal tersebut yang melatarbelakangi
yang dapat menginfeksi satwa primata PSSP IPB membudidayakan jangkrik dan ulat
adalah Diphyllobothrium sp., Hymenolepis jerman sebagai kebutuhan pakan hewan. Sumber
sp., dan Bertiella studeri (Lacoste 2009). pakan yang dibuat sendiri menyebabkan kondisi
Pemeriksaan natif tidak ditemukan adanya pakan tarsius terjaga dari kontaminan agen
protozoa pada feses tarsius. Jenis protozoa penyakit parasit. Menurut Mootnick (1997),
yang dapat menginfeksi satwa primata antara semua pakan harus diperiksa untuk menjamin
lain Cryptospordium parvum, Entamoeba coli, kualitasnya. Pemberian pakan juga berpengaruh
Entamoeba histolytica, Balatidium coli, dan terhadap keberadaan endoparasit pada tarsisus.
Giardia lambia (Sulistiawati 2008). Berdasarkan pengamatan di areal
kandang, tarsius diberi pakan serangga dan
Manajemen Pemeliharaan air minum pada wadah yang sebelumnya telah
Manajemen pemeliharaan memiliki dibersihkan. Kebutuhan pakan jangkrik untuk
pengaruh yang sangat penting dalam suatu usaha setiap ekor tarsius sebanyak 40 ekor/hari,
penangkaran satwa. Kegiatan pemeliharaan sedangkan untuk ulat sebanyak 20 ekor/hari.
yang dilakukan di PSSP IPB seperti melakukan Selain itu, PSSP IPB secara rutin melakukan
sanitasi kandang, pemberian pakan, penerapan evaluasi air dan melakukan pengukuran pH air.
penggunaan PPE, dan pemberian antelmintik. Penerapan penggunaan Personal
Kebersihan kandang merupakan salah satu cara Protective Equipment (PPE) selalu dilakukan
untuk meminimalisir penyebaran dari penyakit. sebelum dan sesudah sanitasi di kandang
Kandang tarsius dibersihkan setiap pagi dan tarsius. Alat pelindung diri pada pekerja
menjelang sore baik di dalam maupun di sekitar antara lain masker, kaca mata (goggles), hair
kandang. Kegiatan yang dilakukan meliputi cap, wearpack, sepatu bot, dan sarung tangan
pengambilan sisa pakan, pengambilan kotoran, (Wismaningsih dan Oktaviasari 2015). Kandang
membersihkan lantai dan membersihkan jaring tarsius disediakan tempat untuk meletakkan
kandang bagian bawah, serta membersihkan alat pelindung diri yang akan dipakai lagi dan
dinding kandang. tempat sampah untuk membuang alat pelindung
Kandang dilengkapi jaring pada bagian diri yang hanya bisa digunakan satu kali.
bawah, sehingga tarsius tidak langsung kontak Pemeriksaan kesehatan tarsius di PSSP
dengan lantai kandang. Lantai kandang terbuat IPB dilakukan secara rutin. Tindakan ini
20 Abdul et al., Evaluasi Manajemen Pemeliharaan terhadap Endoparasit Saluran Pencernaan pada Tarsius

merupakan upaya pencegahan penyakit pada Chapman CA, Gillespie TA, Goldberg
tarsius. Salah satu prosedur pemeriksaan TL. 2005. Primate and The Ecology
kesehatan adalah deteksi dan kontrol parasit of Their Infectious Diseases: How will
yang mencakup pemeriksaan feses. Pemeriksaan Antropogenic Changes Affect Host-
kesehatan dilakukan tiap enam bulan atau Parasite Interaction. Evolutionary
apabila ditemukan kasus. Upaya pencegahan Anthropology. 14:134-144.
infeksi parasit dilakukan dengan pemberian Dewi K, Nugraha RTP. 2007. Endoparasit
kapur tohor tiap satu tahun sekali di kandang dan pada Feses Babi Kutil (Sus verrucosus)
pemberian antelmintik (deworming) golongan dan Prevalensinya yang berada di Kebun
pirantel pamoat selama enam bulan sekali. Binatang Surabaya Zoo Indonesia. J
Menurut Fauzi (2006), pengobatan infeksi Biologi. 16(1):13.
parasit pada satwa primata biasanya dilakukan Fauzi RPS. 2006. Medis Konsewasi Berbasis
dengan pemberian antelmintik golongan Kesejahteraan Hewan: Studi Kasus
pirantel pamoat dan yang berspektrum luas dari pada Orangutan di Taman Margasatwa
golongan mebendazol. Pengobatan dilakukan Ragunan [skripsi]. Bogor (ID): lnstitut
apabila pada hewan menunjukkan adanya gejala Pertanian Bogor.
klinis terinfeksi parasit dan pengobatannya Hansen J, Perry B. 1994. The Epidemiology,
diberikan dengan interval berkelanjutan serta Diagnosis and Control of Helminth
menjaga higienitas lingkungan. Frekuensi Parasites of Ruminants. Addis Ababa
pemberian antelmintik yang berlebihan dapat (ET): International Livestock Centre.
memicu perkembangan resistensi antelmintik, Iskandar T, Sa’im A, Shekelle M. 2014.
meningkatkan residu obat pada produk hewan Tarsius: monyet ini yang belum banyak
dan mempunyai efek negatif pada lingkungan. dikenal di indonesia dan parasitnya. J Vet.
Kondisi tersebut kemungkinan kecil 273-277.
antelmintik akan memberikan efikasi 100% Lacoste R. 2009. Intestinal Parasites of
terhadap semua jenis parasit dan 100% efektif the Crab-Eating Macaque (Macaca
sepanjang waktu. Hal tersebut karena parasit fascicularis): Experimental Study and
tahan terhadap antelmintik yang membawa gen Recommendations For The Diagnosis
resisten (Waller 1993). Situasi ini menyebabkan and The Management of Rhizoflagellates
perlunya strategi yang berbeda saat pemberian and Ciliates [thesis]. Paris (FR): National
antelmintik sehingga tidak mengalami kejadian Alfort Veterinary School.
resisten. Lestari MT, Budiasa K, Dwinata IM. 2018.
Efikasi Invermectin Peroral terhadap
Infeksi Cacing Nematoda Gastrointestinal
Simpulan pada Ternak Babi di Bali. Indonesia
Medicus Veterinus. 7(1):25-31.
Manajemen pemeliharaan yang Lowing E, Rimbing SC, Rembet GDG,
dilakukan di PSSP LPPM-IPB sudah cukup Nangoy MJ. 2013. Karakteristik sarang
baik seperti kebersihan kandang yang selalu tarsius (Tarsius spectrum) di cagar alam
dijaga, pemakaian PPE (Personal Protective Tangkoko Bitung Sulawesi Utara. J
Equipment), pemberian pakan yang teratur serta Zootek. 32(5):61-73.
pemberian antelmintik secara teratur. Semua itu Mootnick AR. 1997. Nutrition, health,
dapat menekan kejadian transmisi endoparasit. and sanitation standardsused at the
International Center for Gibbon Studies
which couldbe applied at a Javan Gibbon
Daftar Pustaka Rescue. Int Zoo Yearbook. 35:271–279.
Munnig HO, Phil. 1950. Veterinary
Aguirre A, Tabor G. 2008. Global factor Helminthology and Enthomology. Ed Ke-
driving emerging infectious disease. 3. Britain (UK): Battimore The Wiliams
Annalas of the New York Academy of and Walkins Company.
Sciences.1149: 1–3. Napier JR, Napier PH. 1967. Handbook of
Baines L, Morgan ER, Ofthile M, Evans Living Primates: Morphology, Ecology
K. 2015. Occurrence and Seasonality of and Behaviour of Non human Primates.
Internal Parasites Infection in Elephants,
Loxodonta africana, in The Okavango New York (US): Academic Pr.
Delta, Botswana. Inernational Journal Natadisastra D, Agoes R. 2009. Parasitologi
Parasitology : Parasites and Wildlife. kedokteran: Ditinjau dari organ tubuh
4:43-48. yang diserang. Jakarta (ID): EGC.
Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 17, No. 1, Januari 2020, hlm. 16-21 21

Purwaningsih E, Setyorini LE, Shekelle Tarmudji. 2006. Eknokokosis/ Hidatidosis


M. 2004.Redescription of Tarsubulura Suatu Zoonosis Parasit Cestoda Penting
perarmata (ratzel 1868) from a wild- terhadap Kesehatan Masyarakat. Bogor
caught eastern tarsier (Tarsius sp.). (ID): Balai Besar Veteriner. Lokakarya
Treubia. 33(2):191-198. Nasional Penyakit Zoonosis.
Quentin JC, Krishnasamy M, Tcheprakoff Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2007.
R. 1977. Cycle biologique de Tarsubulura
perarmata. Annals De Parasitologie. Veterinary Parasitology. Ed ke-3. Oxford
2:160-169. (UK): Blackwell Publishing.
Ratzel F. 1868. Deskripsi dari beberapa parasite Thompson RCA, Monis PT. 2004. Variation in
baru. Arch. Naturagesch. 34:150-156. Giardia: Implications for taxonomy and
Rosenbaum B, Timothy G, Obrien, Kinnaird epidemiology. J Parasitol. 58:69-137.
M, Supriatna J. 1998. Population Waller PJ. 1993. Control Strategies to Prevent
densities of Sulawesi crested black Resistance. Vet Parasitol. 46: 133-142.
macaques (Macaca nigra) on Bacan and Wirdateti, Puspitasari D, Diapari D,
Sulawesi, Indonesia effect of habitat
disturbance and hunting. Am J Primatol. Tjakradidjaja AS. 2002. Konsumsi dan
(44):89-106. efisiensi pakan pada Kukang (Nycticebus
Shaikenov BS, Rysmukhambetova AT, coucang) di penangkaran. J Biol Indon.
Massenov B, Deplazes P, Mathis A, 3(3): 236-244.
Torgerson PR. 2004. Shot Report : the Wirdateti H, Dahrudin. 2006. Pengamatan
use of a polymerase chain reaction to Pakan dan Habitat Tarsius spectrum
detect Echinococcus granulosus (G1 (Tarsius) di Kawasan Cagar Alam
Strain) egg in soil sample. Am J Trop Med
Hygiene. 71(4):441-443. Tangkoko-Batu Angus, Sulawesi Utara. J
Sulistiawati E. 2008. Parasit Satwa Primata. Di Ilmiah Biodiv. 7(4): 373-377.
dalam: Pelatihan Manajemen Kesehatan Wismaningsih E, Oktaviasari D. 2015. Faktor
Satwa Primata; Bogor 1-4 Desember yang berhubungan dengan penggunaan
2008. Bogor (ID): Pusat Studi Satwa Alat Pelindung Diri (APD). J Wiyata.
Primata LPPM-IPB. 2(2):102-7.
Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 17, No. 1, Januari 2020, hlm. 22-27
ISSN 1410-5373

Evaluasi Manajemen Pemeliharaan terhadap Endoparasit Saluran Pencernaan


pada Kukang Sumatera (Nycticebus coucang)
The Evaluation of Rearing Management of Gastrointestinal Endoparasite
in Sumatera Slow Loris (Nycticebus coucang)
Kuntum R1*, Yusuf R2, Darusman HS3,4
1Fakultas Kedokteran Hewan (FKH), IPB University
2Divisi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan, dan
Kesehatan Masyarakat Veteriner, FKH IPB University
3Divisi Farmakologi dan Toksikologi, Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, FKH IPB University
4Pusat Studi Satwa Primata, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, IPB University

*Korespondensi: [email protected]

Abstract. Sumatera slow loris in conservation are often infected by gastrointestinal endoparasites. The purpose
of this study was to evaluate the rearing management of the gastrointestinal endoparasites in sumatera slow loris.
The fecal sample was collected from slow loris in each cage. Fecal sample were assessed using the native method,
McMaster, floatation, sedimentation, and fecal culture. The management data were obtained from observation and
interiews with the keeper. The results obtained from each cage showed no endoparasites of the gastrointestinal,
neither worms nor protozoa. Good rearing management such as sanitation, daily cleaning of cages every day, and
feeding in the form of self-cultiated insects, can prevent endoparasite infection. In addition, slow loris were also
not infected with cestoda worms and trematodes because there were no intermediate hosts found, such as beetles
and snails. A regular anthelmintic program can also reduce worm infections.

Key words: endoparasite, feces, management, slow loris

Pendahuluan dilindungi berdasarkan Undang-Undang


No. 5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah
Keanekaragaman flora dan fauna yang No. 7 Tahun 1999. Salah satu tindakan yang
tinggi menjadikan Indonesia termasuk ke dilakukan untuk menjaga kelestarian kukang
dalam salah satu negara megabiodiversitas. adalah pengembangbiakan di luar habitatnya
Diperkirakan 13.519 spesies satwa liar termasuk (ex-situ). Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) IPB
primata dimiliki oleh Indonesia (Masy’ud dan merupakan lembaga penelitian yang mempelajari
Ginoya 2016). Menurut Fauzi et al. (2017), karakteristik dan pengembangbiakan kukang
Indonesia memiliki 24 jenis primata endemik. secara ex-situ. Lembaga ini berkonsentrasi
Banyak di antara primata tersebut dikategorikan pada biomedis, biologi, dan konservasi (IPB
ke dalam status dilindungi karena jumlah PSSP 2017). Kondisi penangkaran yang
populasi yang semakin menurun, salah satunya berbeda dengan habitat asalnya menyebabkan
adalah kukang. Terdapat lima spesies kukang perlu adanya perlakuan khusus pada satwa agar
di dunia, tiga di antaranya merupakan endemik mampu beradaptasi dengan lingkungan baru
Indonesia, yakni kukang sumatera (Nycticebus di penangkaran (Hernasari 2011). Beberapa
coucang), kukang jawa (N. javanicus), dan kukang tidak mampu bertahan di penangkaran
kukang kalimantan (N. menagensis) (Wirdateti dan berujung pada kematian. Hal ini dapat
et al. 2016). Kukang sumatera (N. coucang) disebabkan kondisi kukang yang mengalami
termasuk primata nokturnal yang hidup di hutan stres atau penyakit, sehingga menjadi
tropis, terutama hutan primer, hutan sekunder, permasalahan serius.
semak belukar, dan hutan bambu Salah satu penyakit yang sering
Populasi kukang saat ini mengalami menyerang satwa yang berada di penangkaran
penurunan akibat perburuan ilegal untuk adalah penyakit parasitik. Penyakit ini
dijadikan hewan peliharaan dan berkurangnya disebabkan oleh parasit baik yang berada di
habitat akibat alih fungsi hutan untuk dijadikan luar tubuh inang (ektoparasit) maupun di dalam
lahan perkebunan. Menurut International tubuh inang (endoparasit). Endoparasit saluran
Union for Conservation of Nature and Natural pencernaan dapat merugikan inang karena
Resources (IUCN 2008), kukang sumatera (N. berkompetisi merebutkan makanan, menghisap
coucang) dikategorikan dalam status vulnerable darah, merusak epitel saluran pencernaan,
(rentan). Kukang sumatera di Indonesia memudahkan masuknya patogen lain, dan
Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 17, No. 1, Januari 2020, hlm. 22-27 23

menimbulkan penyumbatan secara mekanis. PSSP IPB serta wawancara dengan dokter
Secara umum infeksi parasit dalam saluran hewan dan perawat yang bertugas di kandang
pencernaan dapat berlangsung tanpa gejala atau konservasi kukang.
menimbulkan gejala ringan. Stres, kebuntingan,
umur tua, atau penyakit lain dapat menyebabkan Teknik Pengambilan Sampel
mekanisme pertahanan tidak bekerja dengan Sampel dikoleksi dari feses segar
baik, sehingga infeksi parasit dapat berujung yang diambil dari tempat kukang defekasi.
pada sakit atau kematian (Mirsageri et al. 2015). Sampel dimasukkan ke dalam plastik zipper
Endoparasit juga berpotensi sebagai zoonosis. menggunakan pinset dan diberi label berupa
Penyakit zoonosis parasitik dapat disebabkan spesies hewan, nomor kandang, tanggal
interaksi intensif antara manusia dengan satwa pengambilan, dan kolektor. Sampel kemudian
liar. dimasukkan ke dalam cooler box yang berisi
Faktor penyakit khususnya cacing dan
protozoa belum banyak mendapat perhatian, ice pack untuk dibawa ke laboratorium dan
padahal dapat berkontribusi terhadap disimpan di dalam refrigerator.
kepunahan satwa liar dilindungi (Candra et
al. 2016). Penelitian tentang endoparasit pada Metode Natif
kukang sudah pernah dilakukan sebelumnya Metode natif digunakan untuk mengetahui
di beberapa lembaga konservasi, akan tetapi jenis protozoa yang menginfeksi saluran
penelitian mengenai evaluasi manajemen pencernaan. Feses diletakkan pada kaca objek
pemeliharaan terhadap endoparasit saluran menggunakan tusuk gigi kemudian diteteskan
pencernaan pada kukang sumatera belum 2‒3 tetes akuades dan dihomogenkan.
pernah dilakukan. Informasi mengenai jenis Selanjutnya ditutup dengan kaca penutup dan
endoparasit yang ditemukan dapat dijadikan diamati menggunakan mikroskop dengan
acuan dalam pemberian antiparasit yang tepat pembesaran 10x10.
dan penerapan manajemen pemeliharaan pada
kukang sumatera. Metode McMaster
Penelitian ini bertujuan untuk Feses sebanyak dua gram dicampurkan
mengevaluasi manajemen pemeliharaan kukang dengan 58 mL larutan garam gula jenuh
sumatera meliputi kandang, pakan, dan sanitasi lalu disaring menggunakan saringan teh dan
yang diterapkan terhadap pencegahan infeksi dihomogenkan kembali. Suspensi diambil
endoparasit saluran pencernaan. menggunakan pipet tetes kemudian dimasukkan
ke dalam kamar hitung McMaster dan ditunggu
10 sampai 15 menit. Preparat diperiksa
Materi dan Metode menggunakan mikroskop cahaya dengan
pembesaran 10x10. Jumlah telur cacing setiap
Penelitian dilaksanakan pada bulan gram tinja (TTGT) dihitung dengan rumus:
Februari sampai Maret 2019. Penelitian TTGT=(n x Vt)/(Vk x Bf) , dengan keterangan:
dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap n = jumlah telur dalam kamar hitung; Vt =
pengambilan sampel dan observasi manajemen volume sampel total; Vk= volume kamar hitung;
pemeliharaan di Pusat Studi Satwa Primata dan Bf = bobot feses (Hansen dan Perry 1994).
(PSSP) LPPM IPB dan tahap identifikasi
endoparasit di Laboratorium Helmintologi, Metode Pengapungan
Divisi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Feses sebanyak dua gram dicampurkan
Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan dengan 58 mL larutan garam gula jenuh dan
Kesmavet, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut disaring menggunakan saringan teh. Suspensi
Pertanian Bogor. dimasukkan ke dalam tabung reaksi hingga
Sampel feses yang diperiksa diambil penuh dan membentuk miniskus. Bagian atas
dari lima kandang kukang. Kandang 1, 2, 3, tabung reaksi ditutup dengan kaca penutup dan
dan 6 masing-masing terdiri dari satu ekor ditunggu 10‒15 menit. Kaca penutup di angkat
kukang, dan kandang 4 berisi dua ekor kukang. dan diletakkan pada kaca objek. Pengamatan
Pengambilan sampel dilakukan selama tiga hari dilakukan menggunakan mikroskop dengan
berturut-turut. Pemeriksaan secara kualitatif pembesaran 10x10 (Hansen dan Perry 1994).
dilakukan dengan metode natif, pengapungan,
pengendapan, dan pemupukan feses, sedangkan Metode Pengendapan (Sedimentasi)
pemeriksaan secara kuantitatif dilakukan Feses sebanyak tiga gram dicampurkan
dengan McMaster. Selanjutnya, hasil temuan dengan akuadestilata sebanyak 40‒50 mL lalu
diidentifikasi berdasarkan morfologi dan ukuran dihomogenkan. Suspensi kemudian disaring
telur cacing. Data manajemen pemeliharaan menggunakan saringan teh dan dimasukkan ke
diperoleh melalui pengamatan langsung di dalam tabung reaksi. Suspensi didiamkan selama
24 Kuntum et al., Evaluasi Manajemen Pemeliharaan terhadap Endoparasit Saluran Pencernaan pada Kukang

5 menit. Supernatan dibuang dengan menyisakan observasi secara langsung dan wawancara
sedimennya. Selanjutnya ditambahkan aquades dengan dokter hewan serta perawat kukang di
sebanyak 5 mL dan didiamkan selama 5 menit. PSSP LPPM IPB. Data dikumpulkan selama
Supernatan dibuang kembali dan sedimen yang dua minggu pada bulan Agustus 2018.
berada di dasar tabung diambil menggunakan
pipet tetes dan diletakkan pada kaca objek. Analisis Data
Sedimen ditambahkan dengan satu tetes larutan
methylene blue. Selanjutnya ditutup dengan Data yang diperoleh dari hasil pemeriksaan
kaca penutup dan diamati menggunakan feses dan observasi manajemen pemeliharaan
mikroskop dengan pembesaran 10x10 (Hansen meliputi kandang, pakan, dan sanitasi dianalisis
dan Perry 1994). secara deskriptif.

Pemupukan Feses
Pemupukan feses dilakukan untuk Hasil dan Pembahasan
mendapatkan larva L3 (infektif). Sampel
Endoparasit Saluran Pencernaan pada
yang positif terdapat telur cacing dimasukkan
ke dalam cawan petri dan dicampurkan Kukang
dengan vermikulit. Vermikulit ditambahkan Kukang sumatera yang berada di PSSP
dengan perbandingan 1:3 (tinja:vermikulit) LPPM-IPB merupakan kukang yang sengaja
yang bertujuan untuk mengatur kelembaban dikembangbiakkan untuk memperbanyak
udara (Padondan 2016). Campuran kemudian individu dengan tetap mempertahankan
dimasukkan ke dalam gelas plastik dan genetik aslinya. Kukang tersebut terdiri dari
ditutup dengan kain saring. Pupukan feses tiga ekor indukan (F0) dan tiga ekor hasil
diberi akuades secukupnya untuk menjaga pengembangbiakan (F1). Masing-masing
agar tetap lembab. Selanjutnya pupukan kukang ditempatkan pada kandang buatan
disimpan selama tujuh hari pada suhu kamar seluas 2x2 m. Pemeriksaan endoparasit saluran
dan terhindar dari panas matahari langsung. pencernaan pada kukang dilakukan secara non-
Pupukan feses kemudian dipindahkan ke invasif dari sampel feses. Hasil pemeriksaan
dalam gelas Baermann yang berisi akuadestilat
terhadap lima sampel feses dapat dilihat pada
dan didiamkan selama 24 jam. Larva yang Tabel 2.
terkumpul di dasar gelas kemudian diambil Berdasarkan hasil pemeriksaan feses
menggunakan pipet ukur dan dimasukkan ke menunjukkan bahwa semua sampel negatif atau
dalam tabung reaksi. Keberadaan larva dalam tidak ditemukan adanya endoparasit (cacing dan
suspensi selanjutnya dilihat menggunakan protozoa) yang menginfeksi saluran pencernaan
mikroskop stereo. Identifikasi larva dilakukan
kukang di PSSP. Cacing parasit dapat menginfeksi
dengan meneteskan suspensi pada kaca obyek hewan apabila termakan telur infektif atau larva
lalu ditetesi lugol. Pemberian lugol bertujuan
yang masuk menembus kulit (Kurniawan et al.
agar larva tersebut mati sehingga memudahkan2018). Beberapa penelitian pernah melaporkan
dalam pemeriksaan. Selanjutnya ditutup dengan
adanya infeksi cacing parasit pada saluran
kaca penutup dan diamati menggunakan pencernaan kukang. Cacing yang menginfeksi
mikroskop. merupakan cacing dari filum Nemathelminthes,
Platyhelminthes, dan Acantocephala. Cacing
Data Manajemen Pemeliharaan cestoda ditemukan pada usus halus dua ekor
Data manajemen pemeliharaan meliputi kukang sumatera di Pusat Penelitian Biologi
kandang, pakan, dan sanitasi diperoleh dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI),
Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 17, No. 1, Januari 2020, hlm. 22-27 25

Cibinong (Setyorini dan Wirdateti 2005). Hasil pemeriksaan sampel feses tidak
Penelitian lain juga melaporkan adanya telur ditemukan cacing jenis trematoda yang
cacing cestoda jenis Hymenolepis sp. pada feses menginfeksi kukang. Cacing trematoda
kukang sumatera dan kukang jawa di Yayasan membutuhkan inang-perantara, yaitu siput.
Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI) Siput mudah berkembang pada lingkungan yang
(Ulfa 2014; Wibowo 2014). Kukang dapat berair dengan tingkat curah yang tinggi (Putra et
terinfeksi cacing ini apabila termakan artropoda al. 2014). Cacing trematoda seperti Fasciola sp.
yang membawa sistiserkoid (Widiastuti et al. umumnya ditemukan pada daerah berair seperti
2016). Salah satu artropoda yang menjadi inang sawah atau padang rumput dekat sungai. Lokasi
antara cacing Hymenolepis sp adalah kumbang. kandang kukang berada jauh dari wilayah yang
Cacing nematoda jenis Ascaris, berair dan area di sekitar kandang kering dan
Strongylid, Strongyloides, Oxyuris, dan Tricuris bersih, sehingga siput sulit untuk berkembang.
juga dilaporkan menginfeksi kukang sumatera Pemeriksaan menggunakan metode natif
dan kukang jawa di YIARI (Ulfa 2014; tidak ditemukan adanya protozoa saluran
Wibowo 2014). Jenis lain yakni, Syphacia sp., pencernaan pada kukang di PSSP. Penularan
Enterobius sp. (Oxyuridae), dan Rictularia sp. protozoa terjadi apabila kukang memakan
(Rictularidae) tercatat menginfeksi kukang makanan yang terkontaminasi ookista infektif
sumatera di Pusat Penelitian Biologi LIPI, yang dikeluarkan dari feses hewan terinfeksi
Cibinong (Setyorini dan Wirdateti 2005). (Glantiga et al. 2016). Penularan protozoa juga
Cacing nematoda memiliki siklus hidup dapat terjadi melalui kontak langsung dengan
langsung, sehingga tidak membutuhkan inang feses tikus liar.
antara dalam perkembangannya. Penelitian lain melaporkan adanya
Infeksi cacing ini dapat terjadi akibat protozoa yang menginfeksi saluran pencernaan
termakan telur infektif yang mengandung kukang. Protozoa yang ditemukan pada
larva. Penularan telur tersebut dapat melalui kukang di YIARI berasal dari tiga famili yakni,
tanah, air, atau makanan yang terkontaminasi. Eimeriidae, Endamobidae, dan Balantiidae,
yang terdiri dari Isospora sp., Cryptosporidium
Di dalam tubuh hewan, telur infektif yang parvum, Entamoeba coli, dan Balantidium
mengandung larva Stadium 2 akan menetas dan coli (Rukmana 2016). Protozoa akan mudah
berkembang menjadi larva Stadium 3. Larva berkembang pada lingkungan yang lembab.
ini akan bemigrasi di dalam tubuh dan kembali Umumnya induk semang yang terinfeksi
ke usus untuk menjadi dewasa. Selanjutnya protozoa saluran pencernaan akan menimbulkan
cacing dewasa akan menghasilkan telur dan gejala klinis diare. Hasil pengamatan
dikeluarkan bersama dengan feses hewan. Telur memperlihatkan semua feses kukang memiliki
mudah berkembang pada lingkungan dengan konsistensi yang padat.
kelembaban yang tinggi (Nasution et al. 2013).
Kondisi kandang di PSSP yang bersih dan kering Manajemen Pemeliharaan Kukang di PSSP
dapat menurunkan tingkat kejadian infeksi Salah satu faktor yang dapat menjadi
cacing nematoda. Perilaku kukang yang bersifat sumber penularan endoparasit pada kukang
arboreal atau menghabiskan sebagian waktunya adalah pakan. Pakan yang diberikan pada kukang
setiap harinya berupa buah-buahan, serangga,
di atas pohon dapat mencegah kukang terinfeksi dan telur ayam. Buah yang diberikan untuk
cacing nematoda yang terdapat di feses yang seekor kukang terdiri dari empat buah pisang,
berserakan di lantai kandang. Kukang akan dan sekitar 50 g pepaya, sedangkan serangga
turun ke lantai untuk mencari serangga, namun yang diberikan adalah 25‒30 ekor jangkrik
tidak dalam periode waktu yang cukup lama atau satu sendok teh ulat hongkong. Selain itu,
(Sinaga dan Masyud 2017). setiap kukang juga diberikan satu per empat
Pemberian antelmintik pirantel pamoat bagian telur ayam yang telah matang. Pakan
pada kukang di PSSP dapat menurunkan berupa serangga berpeluang untuk menularkan
berbagai jenis endoparasit baik protozoa
dan membunuh infeksi cacing nematoda. maupun cacing. Berdasarkan hasil observasi
Antelmintik tersebut diberikan setiap enam dan wawancara dengan perawat satwa kukang
bulan sekali. Mekanisme kerja pirantel pamoat bahwa jangkrik yang diberikan merupakan
dengan menghambat proses depolarisasi hasil budidaya perawat satwa kukang di PSSP,
neuromuskuler cacing sehingga meningkatkan sehingga jangkrik berpeluang lebih kecil
frekuensi impuls yang menyebabkan cacing mati sebagai inang antara. Pakan yang diberikan juga
terjaga kebersihannya. Pakan diletakkan pada
dalam keadaan spastik (Budiyanti 2010). Selain tempat pakan dan sebagian diletakkan pada
itu, pirantel pamoat juga bekerja dengan cara ranting kayu yang terdapat di dalam kandang,
menghambat kerja enzim asetilkolinesterase sedangkan air minum diletakkan pada wadah
yang dapat meningkatkan kontraksi otot cacing. minum.
26 Kuntum et al., Evaluasi Manajemen Pemeliharaan terhadap Endoparasit Saluran Pencernaan pada Kukang

Kukang yang berada di Pusat Studi Satwa PSSP LPPM-IPB juga menerapkan
Primata memiliki kandang dengan sirkulasi biosekuriti dan biosafety yang sesuai dengan
udara yang cukup. Kondisi lingkungan di dalam prosedur. Personil yang boleh memasuki
dan luar kandang bersih dan kering. Lantai kandang harus memenuhi beberapa persyaratan
dan sepertiga dinding bagian bawah kandang yang dibuktikan dengan surat keterangan sehat
terbuat dari semen. Sementara itu, dinding dari dokter serta menggunakan alat pelindung
bagian atas berupa kawat besi dan atap kandang diri (APD) sesuai dengan ketentuan. Hal ini
terbuat dari seng. Kandang dibersihkan setiap untuk mencegah agar agen penyakit tidak
pagi hari. Pembersihan kandang diawali dengan keluar dari area konservasi atau sebaliknya.
membersihkan sisa-sisa pakan dan feses yang Penggunaan APD juga bertujuan untuk
berada di lantai. Pembersihan feses setiap hari melindungi pekerja yang bertugas agar tidak
dapat menurunkan keberadaan telur atau larva terinfeksi agen penyakit dari satwa maupun
infektif (Goossens et al. 2005). Keberadaan sebaliknya. Penerapan sanitasi yang baik juga
feses di kandang juga dapat menjadi sumber dapat menurunkan kejadian infeksi endoparasit.
infeksi endoparasit. Secara perkembangan, Sanitasi merupakan suatu usaha pencegahan
telur belum infektif ketika dikeluarkan inang penyakit yang menitikberatkan kegiatannya
melalui feses dan akan berkembang menjadi kepada usaha kesehatan lingkungan hidup
infektif jika menemukan lingkungan yang terutama tanah, air, dan udara. Salah satu
menguntungkan (Dewi dan Nugraha 2007).
Kandang dibersihkan setiap satu kali seminggu program sanitasi adalah menjaga kebersihan
dengan air dan didesinfektan setiap tiga sampai kandang dan lingkungan sekitarnya. Sanitasi
enam bulan sekali. Kondisi kandang yang kering yang diterapkan berupa penyediaan air bersih,
dapat menghambat telur parasit seperti telur pengendalian serangga, dan pengolahan
cacing nematoda untuk berkembang, sehingga sampah. Lingkungan di sekitar kandang dijaga
infeksi dapat dicegah. Peralatan kandang kebersihannya agar hewan lain seperti hewan
seperti tempat pakan dicuci dengan sabun dan pengerat tidak memasuki area kandang yang
air mengalir, sedangkan wadah minum dicuci dapat menularkan penyakit pada kukang.
dengan air mengalir. Peralatan pakan dan wadah Sampah sisa pakan dan peralatan di tempatkan
minum dicuci dan di ganti setiap hari. Hal ini pada wadah yang berbeda sesuai dengan jenis
untuk mencegah peralatan sebagai sumber sampah.
penularan penyakit. Pembersihan kandang
dilakukan untuk menjaga kesehatan kukang
di dalam kandang agar tidak mudah terserang Simpulan
penyakit (Sinaga 2017).
Kandang kukang didesain agar aman dan Pemeriksaan endoparasit pada feses
nyaman serta menyerupai habitat alaminya. kukang sumatera di Pusat Studi Satwa Primata
Setiap kandang dilengkapi dengan enrichment IPB menunjukkan hasil negatif. Manajemen
(pengayaan) untuk mendukung terciptanya pemeliharaan yang baik melputi pembersihan
perilaku positif dari kukang. Enrichment yang kandang setiap hari, pemberian pakan jangkrik
diberikan berupa pohon kayu untuk kukang hasil budidaya PSSP, dan sanitasi yang
beraktivitas. Setiap kandang juga dilengkapi diterapkan dapat mencegah kukang dari infeksi
dengan kandang tidur untuk tempat istirahat penyakit parasitik. Pemberian antelmintik
dan bersembunyi bagi kukang. Jenis enrichment secara reguler juga dapat menurunkan kejadian
lain yang dapat diberikan untuk kukang adalah infeksi cacing.
food based enrichment, yaitu dalam pemberian
pakan dapat divariasikan seperti meletakkan Daftar Pustaka
pakan dalam wadah yang digantung pada
ranting-ranting pohon, sehingga dapat melatih Budiyanti RT. 2010. Efek antihelmintik
insting berburu kukang dan mencegah terjadinya infusa herba sambiloto (Andrographis
perilaku abnormal atau stres pada kukang. Selain paniculata, Nees) terhadap Ascaris suum
itu, juga dapat diberikan pohon dengan ranting- secara in vitro [skripsi]. Surakarta (ID):
ranting yang memiliki daun lebat, sehingga Universitas Sebelas Maret.
kukang dapat bersembunyi pada daun-daun Candra D, Waragnegara E, Bakri S, Setiawan
tersebut. Enrichment yang diberikan berupa A. 2016. Identifikasi kecacingan pada
tanaman akan lebih baik karena digunakan satwa liar dan ternak domestik di Taman
kukang untuk mencari makan, beraktivitas, atau Nasional Way Kambas, Lampung. Acta
tidur (Puspita 2017). Veterinaria Indonesiana. 4(2): 57‒67.
Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 17, No. 1, Januari 2020, hlm. 22-27 27

Dewi K, Nugraha RTP. 2007. Endoparasit (Pongo abelii) di Karantina Batu Mbelin,
pada feses babi kutil (Sus verrucosus) Sibolangit Provinsi Sumatera utara. J
dan prevalensinya yang berada di Kebun Medika Veterinaria. 7(2):67‒70.
Binatang Surabaya. Zoo Indonesia. 16(1): Padondan AT. 2016. Infeksi cacing nematoda
13‒19. gastrointestinal pada kerbau di Kabupaten
Fauzi F, Rahmawati R, Sandan P. 2017. Toraja Utara, Sulawesi Selatan [skripsi].
Estimation of population density and food Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
sort of kelasi (Presbytis rubicunda Muller Puspita IJ. 2017. Manajemen pengayaan
1838) in Nyaru Menteng Arboretum of kandang dan pemanfaatan ruang oleh
Palangka Raya. J Daun. 4(1):7–12. kukang sumatera (Nycticebus coucang
Glantiga GJR, Oka IBM, Puja K. 2016. Boddaert, 1785) di Taman Margasatwa
Prevalensi infeksi protozoa saluran Ragunan [skripsi]. Bogor (ID): Institut
pencernaan pada anjing kintamani bali di Pertanian Bogor.
Desa Sukawana, Kecamatan Kintamani, Putra RD, Suratman NA, Oka IBM. 2014.
Kabupaten Bangli, Bali. Indonesia Prevalensi trematoda pada sapi bali yang
Medicus Veterinus. 5(5):446‒453. dipelihara peternak di Desa Sobangan,
Goossens E, Dorny P, Boomker J, Vercammen Kecamatan Mengwi, Kabupaten
F, Vercruysse J. 2005. A 12-moonth Badung. Indonesia Medicus Veterinus.
survey of the gastro-intestinal of antelopes, 3(5):394‒402.
gazelles and girrafids kept at two zoo in Rukmana N. 2016. Prevalensi protozoa usus
Belgium. Vet Parasitol. 303-312. pada kukang sumatera (Nycticebus
Hansen J, Perry B. 1994. The Epidemiology, coucang) di Pusat Rehabilitasi YIARI
Diagnosis, and Control of Helminth Ciapus, Bogor [skripsi]. Lampung (ID):
Parasites of Ruminants. Nairobi (KE): Universitas Lampung.
International Laboratory for Research and Setyorini LE, Wirdateti. 2005. Cacing parasit
Animal Disease. pada Nycticebus coucang. Berkala
Hernasari PR. 2011. Identifikasi endoparasit Penelitian Hayati. 10:93‒96.
pada sampel feses Nasalis larvatus, Sinaga MWA. 2017. Pengelolaan kandang dan
Presbytis comata, dan Presbytis siamensis pemanfaatan ruang oleh kukang sumatera
dalam penangkaran menggunakan metode (Nycticebus coucang Boddaert, 1785) di
natif dan pengapungan dengan sentrifugasi Taman Hewan Pematang Siantar (THPS)
[skripsi]. Depok (ID): Universitas Sumatera Utara [skripsi]. Bogor (ID):
Indonesia. Institut Pertanian Bogor.
[IPB PSSP] Institut Pertanian Bogor Pusat Sinaga MWA, Masyud B. 2017. Pemanfaatan
Studi Satwa Primata. 2017. Visi, Misi, ruang dan perilaku harian kukang
dan Tujuan [Internet]. [diunduh 2018 Jul sumatera (Nycticebus coucang Boddaert,
10]; Tersedia pada: https://primata.ipb. 1785) di Taman Hewan Pematang Siantar
ac.id/tentang-kami/profil/visi-dan-misi/. (THPS) Sumatera Utara. Med Kon.
[IUCN] International Union for Concervation 22(3):304‒311.
of Nature and Natural Resources. Ulfa N. 2014. Kecacingan pada kukang
2008. IUCN Red List of Threatened sumatera (Nycticebus coucang) di pusat
Species. Version 2014 [Internet]. rehabilitasi satwa primata Yayasan
[diunduh 2019 Mar 24]; Tersedia International Animal Rescue Indonesia
pada: https://www.iucnredlist.org/ (YIARI) [skripsi]. Bogor (ID): Institut
search?query=nycticebuscoucang& Pertanian Bogor.
searchType=species. Wibowo MMA. 2014. Kecacingan pada
Kurniawan B, Ramadhian RR, Rahmadhin kukang jawa (Nycticebus javanicus) di
NS. 2018. Uji diagnostik kecacingan pusat rehabilitasi satwa primata Yayasan
antara pemeriksaan feses dan pemeriksaan International Animal Rescue Indonesia
kotoran kuku pada siswa SDN 1 (YIARI) [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Krawangsari Kecamatan Natar Lampung Pertanian Bogor.
Selatan. J Kedokteran Universitas Widiastuti D, Astuti NT, Pramestuti N, Sari
Lampung. 2(1):20‒24. TF. 2016. Infeksi cacing Hymenolepis
Masy’ud B, Ginoya LN. 2016. Konservasi Eksitu nana dan Hymenolepis diminuta pada
Satwa Liar. Bogor (ID): IPB Pr. tikus dan cecurut di area pemukiman
Mirsageri M, Assidiqi J, Cahyaningsih U, Kabupaten Banyumas. J Vektor dan
Tiuria R, Zulfiqri. 2015. Endoparasit Reservoir Penyakit. 8(2):81‒90.
cacing pada orangutan ex-captive di Suaka Wirdateti, Indriana E, Handayani. 2016.
Margasatwa Sungai Lamandau Kalimantan Analisis sekuen DNA mitokondria
Tengah Indonesia. J Kedokteran Hewan. cytochrome oxidase I (COI) MtDNA
9(1):67‒70. pada kukang Indonesia (Nycticebus spp)
Nasution IT, Fahrimal Y, Hasan M. sebagai penanda guna pengembangan
2013. Identifikasi parasit nematoda identifikasi spesies. J Biol Indon.
gastrointestinal orangutan sumatera 12(1):119‒128.
Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 17, No. 1, Januari 2020, hlm. 28
ISSN 1410-5373

MITRA BESTARI JPI


(Volume 17, Nomor 1, Januari 2020)

Prof Dr Ir Ani Mardiastuti, MSc


Prof Dr Ir Sri Supraptini Mansjoer
Dr Ir Entang Iskandar, MSi
Dr Ir Nyoto Santoso, MS
Dr Puji Rianti SSi, MSi
Dr Ir Raden Roro Dyah Perwitasari Farajallah, MSc
Dr Uus Saepuloh SSi, MBiomed
Ir Hendra Adiyuana, MST
drh Audrey M. Ungerer
PEDOMAN PENULISAN NASKAH

1. Jurnal Primatologi Indonesia (JPI) menerima key word yang tidak melebihi lima buah kata
naskah dalam bentuk: a) hasil penelitian, b) mengikuti huruf abjad.
catatan penelitian, c) ulasan atau tinjauan f. Pendahuluan.
pustaka, d) laporan kasus, e) paparan program/ g. Materi dan Metode.
kegiatan, dan f) resensi buku. Naskah dapat h. Hasil dan Pembahasan.
ditulis dalam bahasa Indonesia maupun Inggris. i. Simpulan.
2. Naskah tidak sedang dikirim ke atau dievaluasi j. Ucapan Terima Kasih (jika ada), dan
oleh berkala ilmiah untuk penerbitan. Naskah k. Daftar Pustaka.
yang dikirim ke JPI dan dinyatakan diterima
oleh Redaksi JPI untuk dimuat dalam JPI 5. Artikel hasil penelitian ditulis maksimum 25
menjadi milik JPI. halaman, termasuk lampiran gambar, grafik dan
tabel. Artikel lain ditulis maksimum 20 halaman
Naskah dikirim sebanyak tiga eksemplar dan diperbolehkan tidak mencantumkan
kepada Dewan Editor JPI, dengan alamat: subjudul sebagaimana tersebut di atas.

Dewan Editor 6. Penyertaan gambar dalam bentuk foto (hitam


Jurnal Primatologi Indonesia putih atau bewarna) harus jelas dan tajam,
Pusat Studi Satwa Primata dengan kontras yang tinggi, berukuran standar
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada kartu pos. Gambar yang dikehendaki dicetak
Masyarakat Institut Pertanian Bogor bewarna akan dikenakan biaya tambahan yang
Jalan Lodaya II No. 5 Bogor 16151 dibebankan kepada pengirim naskah.
Telepon/Faks: (0251) 8313-637 / (0251) 8360-712
7. Daftar Pustaka disusun dengan mencantumkan
Surat Elektronik: [email protected]
semua nama penulis yang disusun secara
Website: http://journal.ipb.ac.id/index.php/primata
berurutan abjad dan diikuti tahun penerbitan,
3. Naskah ditulis dengan Times New Roman judul, nama berkala ilmiah atau penerbit buku
ukuran 12 pt, jarak dua spasi, dengan jarak dan nomor halaman. Penyingkatan nama
pinggir dua centimeter dan dicetak pada kertas berkala ilmiah harus mengikuti singkatan yang
HVS ukuran A4. Gambar, grafik dan tabel berlaku.
disertakan bersama naskah di bagian akhir
naskah pada lembar terpisah. Redaksi JPI akan Contoh Penulisan Daftar Pustaka:
meminta naskah pengetikan (dalam format
word for windows: windows 2003/ME/XP) bagi Berkala ilmiah
naskah yang dinyatakan diterima untuk dimuat. Benveniste RE, Morton WR, Clark EA, Tsai
Pengiriman naskah (file) dapat melalui e-mail
atau compact disc (CD) melalui jasa kantor pos. CC, Ochs HD, Ward JM, Kuller L, Knott
WB, Hill RW, Gale MJ, Thouless ME.
4. Naskah hasil penelitian disusun dengan urutan 1988. Inoculation of baboons and macaques
sebagai berikut ini. with simian immunodeficiency virus/Mne, a
a. Judul ditulis dalam bahasa Indonesia dan primate lentivirus closely related to Human
Inggris. Immunodeficiency Virus Type-2. J Virol.
b. Nama lengkap penulis. Bila penulis lebih 62(2):2091-2101.
dari satu orang perlu dibubuhkan angka
secara berurutan untuk keterangan afiliasi Suatu bab buku
lembaga/institusi tempat bekerja penulis.
Barker IK, Van-Dreumel AA, Palmer N. 1996.
c. Nama lembaga/institusi tempat penulis The Alimentary System. Di dalam: Jubb KVF,
bekerja, disertai dengan alamat, kode pos, Kennedy PC, Palmer N, editor. Pathology of
telepon, dan faksimili. Domestic Animals. Ed ke-4. New York (US):
d. Nama penulis untuk korespondensi. hlm 91.
Korespondensi hanya kepada salah satu
penulis, maka perlu diberikan tanda khusus
bagi yang bersangkutan. Buku
e. Abstrak ditulis tidak lebih dari 300 kata Hunt TK. 1980. Wound Healing and Wound
dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pada Infection: Theory and Surgical Practice. New
abstrak tersebut dicantumkan kata kunci atau York (US): Appleton Century Crofts.
DAFTAR ISI
(Table of Contents)
Volume 17, Nomor 1, Januari 2020 Volume 13, Nomor 2, Juli 2016

ARTIKEL ASLI Halaman


(Original Articles)
ARTIKEL ASLI (Pages)
Halaman
(Original Articles) (Pages)
Sandra AF, Atmoko T, Pancawati ES, Sufaidah I, Kato T 3
Conservation Network dan Dampaknya
Khakim MFR, Mardiastuti A, Iskandar E terhadap Populasi Bekantan (Nasalis larvatus) 3
pada Hutan
Aktivitas Tanaman
Harian di Lahan
Orangutan Gambut,(Pongo
Sumatera Kalimantan
abelii, Barat
Lesson 1827) di Hutan Batang
Toru Blok Barat
Conservation Sumatera
Network Utara
and its effects on the Population of Proboscis Monkey (Nasalis
Daily Activity of Sumatran Orangutan (Pongo
larvatus) in Plantation Forests on Peatlands, Westabelii Lesson 1827) in West Batang Toru
Kalimantan
Forest Block

Priscillia
Kristiana A, Sutarno, Widiyani
V, Saepuloh T D, Pamungkas J
U, Iskandriati 78
Studi Perilaku
Diseminasi danHarian
MutasiSiamang
Gen ENV (Symphalangus
GP70 Simiansyndactylus Raffles, 1821)
retrovirus Serotipe-2 di Wildlife
(SRV-2) pada
Rescue Center, Kulonprogo,
Jaringan Macaca fascicularis Yogyakarta
The Daily Behaviour
Dissemination of Siamang
and Mutation (Symphalangus
of Simian Raffles, env
syndactylus(SRV-2)
retrovirus serotype-2 1821) in Wildlife
gp70 Gene in
Rescue Center, Kulonprogo,
Macaca fascicularis Tissues Yogyakarta

Priambada
Darmono GE,NP,Indriawati
Prameswari W, SanchezH,KL
I, Romdhoni Perwitasari-Farajallah D, Iskandar E 12
14
Komplikasi
Struktur MBD
Sosial dan Urolithiasis
Monyet Ekor Panjangpada(Macaca
Kukangfascicularis)
Sumatera (Nycticebus coucang)
di Hutan Lindung di
Angke
YIARI
Kapuk,Bogor
Jakarta Utara DAFTAR ISI
Complications MBD and Urolithiasis ofMacaques
Sumatran(Macaca
Kukang (Nycticebus
fascicularis)coucang) in Kapuk
The Social Structure
YIARI Bogor
of Long-Tailed in Angke (Table of Content
Protected Forest, North Jakarta

Hastuti YT, Mulia BH, Widianti A, Manansang J, Sajuthi D, Darusman HS 19


Abdul GRV,ofYusuf
The Value R, Darusman
Hematological andHS
Serum Chemistry of Orangutan (Pongo sp.) Among 16
Ages Groups
Evaluasi and Sex Pemeliharaan
Manajemen Differences – Aterhadap
Case Study in Taman Saluran
Endoparasit Safari Indonesia
Pencernaan pada
Tarsius (Tarsius spectrum) di Pusat Studi Satwa Primata LPPM-IPB
The Evaluation of Rearing Management of Gastrointestinal Endoparasites in Tarsiers
(Tarsius
Pasetha A,spectrum) at IPB
Sandriliana Primate Researh
D, Mulyana Center
JS, Ummah RI, Anaktototy Y, Widayati KA 24
Perilaku Harian Beruk (Macaca nemestrina) di Fasilitas Penangkaran Pusat Studi
Satwa Primata, Institut Pertanian Bogor
Behavior of The Pig Tail Macaque (Macaca nemestrina) at The Ex-Situ Captive Breeding
Facility, Primate
Kuntum R, YusufResearch Center
R, Darusman HSBogor Agricultural University 22
Evaluasi Manajemen Pemeliharaan terhadap Endoparasit Saluran Pencernaan pada
Kukang Sumatera (Nycticebus coucang)

The Evaluation

of Rearing Management of Gastrointestinal Endoparasite in Sumatera Slow
Loris (Nycticebus coucang)

Pusat Studi Satwa Primata,


Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat - Institut Pertanian Bogor
Jl. Lodaya II, No. 5
Bogor, Jawa Barat - 16151

You might also like