Asuhan Keperawatan Paliatif

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 66

TUGAS MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PALIATIF

DISUSUN OLEH:
BUDI SETIA UTOMO (23320061P)
KHARISMA WULAN DANI (23320067P)

MAHASISWA S1 KEPERAWATAN UNIVERSITAS MALAHAYATI

BANDAR LAMPUNG

TAHUN 2023

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................................................i

KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii

DAFTAR ISI............................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1

1.1 Latar Belakang...............................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................................2

1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................................2

BAB II TINJAUAN TEORI.....................................................................................................3

2.1 Pengkajian Fisik dan Psikologi.....................................................................................3

2.2 Tinjauan Agama tentang Perawatan Paliatif............................................................11

2.3 Tinjauan Sosial dan Budaya tentang Keperawatan Paliatif....................................15

2.4 Patofisiologi berbagai penyakit kronik dan terminal...............................................17

2.5 Askep pada Terminal Illness.......................................................................................31

2.6 Manajemen Nyeri dan Terapi Komplementer..........................................................48

BAB III PENUTUP.................................................................................................................61

3.1 Kesimpulan...................................................................................................................61

3.2 Saran..............................................................................................................................61

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................62

2
KATA PENGATAR

Puji syukur kehadirat allah SWT atas rahmat dan taufiknya sehingga makalah asuhan
keperawatan paliatif ini dapat tersusun.

Makalah asuhan keperawatan paliativ ini disusun bertujuan sebagai panduan dan pegangan
bagi dosen dan mahasiswa dalam kegiatan proses belajar mengajar dikelas maupun tatanan
nyata dan diharapkan akan menghasilkan persepsi dan tujuan yang sama dalam mencapai
tujuan pembelajaran.

Adanya contoh praktik yang disajikan dalam makalah ini, harapanya akan semakin meningkat
kepekaan mahasiswa keperawatan, sehingga bisa memberikan gambaran implementasi teori
yang telah disajikan.

Kami menyadari makalah asuhan keperawatan paliatif ini belum sempurna, untuk itu kami
berharap masukan dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan penyusunan
makalah ajar berikutnya sebagai revisi dikemudian hari.

Bandar lampung, 11 Oktober 2023

Penulis

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien (dewasa dan anak-anak) dan keluargadalam menghadapi penyakit yang
mengancam jiwa, dengan cara meringankan penderita dari rasa sakit melalui identifikasi dini,
pengkajian yang sempurna, dan penatalaksanaan nyeri serta masalah lainnya baik fisik,
psikologis, sosial atau spiritual (World Health Organization (WHO), 2016).
Menurut WHO (2016) penyakit-penyakit yang termasuk dalam perawatan paliatif
seperti penyakit kardiovaskuler dengan prevalensi 38.5%, kanker 34%, penyakit pernapasan
kronis 10.3%, HIV/AIDS 5.7%, diabetes 4.6% dan memerlukan perawatan paliatif sekitas 40-
60%.Pada tahun 2011 terdapat 29 juta orang meninggal di karenakan penyakit yang
membutuhkan perawatan paliatif. Kebanyakan orang yang membutuhkan perawatan paliatif
berada pada kelompok dewasa 60% dengan usia lebih dari 60 tahun, dewasa (usia 15-59
tahun) 25%, pada usia 0-14 tahun yaitu 6% (Baxter, et al., 2014).Prevalensi penyakit paliatif
di dunia berdasarkan kasus tertinggi yaitu Benua Pasifik Barat 29%, diikuti Eropa dan Asia
Tenggara masing-masing 22% (WHO,2014). Benua Asia terdiri dari Asia Barat, Asia Selatan,
Asia Tengah, Asia Timur dan Asia Tenggara. Indonesia merupakan salah satu negara yang
termasuk dalam benua Asia Tenggara dengan kata lain bahwa Indonesia termasuk dalam
Negara yang membutuhkan perawatan paliatif. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas, 2013) prevalensi tumor/kanker di Indonesia adalah 1.4 per 1000 penduduk, atau
sekitar 330.000 orang, diabete melitus 2.1%, jantung koroner (PJK) dengan bertambahnya
umur, tertinggi pada kelompok umur 65 -74 tahun yaitu 3.6%.Kementrian kesehatan
(KEMENKES, 2016) mengatakan kasus HIV sekitar 30.935, kasus TB sekitar330.910. Kasus
stroke sekitar 1.236.825 dan 883.447 kasus penyakit jantung dan penyakit diabetes sekitar
1,5% (KEMENKES, 2014).
1.2 RUMUSAN MASALAH
a. Apa pengkajian fisik dan psikologi dalam perawatan paliatif
b. Bagaimana Tinjauan agama tentang perawatan paliatif
c. Bagaimana Tinjauan sosial budaya tentang perawatan paliatif
d. Bagaimana Patofisiologi penyakit kronik dan terminal

4
e. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien terminal illness
f. Bagaimana manajemen nyeri dan terapi komplementer
1.3 TUJUAN MASALAH
1. Mampu mengetahui pengkajian fisik dan psikologi dalam perawatan paliatif
2. Mampu mengetahui pengertian Tinjauan agama tentang perawatan paliatif.
3. Mampu mengetahui Tinjauan sosial budaya tentang perawatan paliatif
4. Mengetahui Patofisiologi penyakit kronik dan terminal
5. Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien terminal illness

5
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 PENGKAJIAN FISIK DAN PSIKOLOGI DALAM PERAWATAN PALIATIF


A. Pengkajian Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan mulai dari kepala sampai kaki dengan melihat segala
kelainan dan ketidaknormalan yang ada pada tubuh pasien adapun tehnik yang
digunakan dalam melakukan pemeriksaan adalah sebagai berikut ini :
Pemeriksaan fisik dan psikologis pasien terminal.
a. Pemeriksaan Fisik
a) Pengkajian
Identitas Klien : Nama, Umur, No Reg, Ruang, Agama, Pekerjaan, Alamat,
Suku Bangsa, Pendidikan, MRS, DX Medis.
b) Keluhan Utama :
 Saat MRS : keluhan yang dirasakan oleh klien, sehingga menjadi alasan
klien dibawa kerumah sait
 Saat pengkajian : Klien mengatakan kluhan yang dirasakan oleh klien
c) Riwayat Penyakit Sekarang :
Kronologis dari penyakit yang diderita saat ini hingga dibawa kerumah sakit
secara kelngkap dengan menggunakan rumus PQRST
d) Riwayat Penyakit Dahulu :
Penyakit apa saja yang pernah dialami oleh klien, baik yang ada hubungannya
dengan penyakit yang diderita sekarang atau yang tidak ada hubungannya
dengan penyakit yang diderita saat ini, riwayat operasi atau riwayat alergi.
e) Riwayat Kesehatan Keluarga
Apakah ada kluarga yang menderita penyakit yang sama?.
f) Riwayat Psikososial
1. Persepsi Klien Terhadap Masalah
Apakah pasien mengatakan bahwa penyakitnya ini merupakan masalah
yang mengkhawatirkan, ekspresi wajah terlihat lemah dan badannya
terlihat lemas.
 Pola Kesehatan Sehari-hari Selama Di Rumah dan RS

6
 Pola Nutrisi dan Metabolisme
 Di Rumah : apakah klien makan dan minum sesuai dengan
kebutuhan tubuh?
 Di Rumah Sakit : bagaimana pola nutrisi makan dan minum klien
saat sakit
 Kebiasaan Devekasi Sehari-hari
 Di Rumah : jumlah, warna, bau, disertai darah ataupun nanah
 Di Rumah Sakit: klien dibantu untuk toileting atau tidak
 Kebiasaan Miksi
 Di Rumah : warna, bau, adakah kesulitan BAK
 Di Rumah Sakit : klien BAK dengan alat bantu atau tidak.
 Pola Tidur dan Istirahat
 Dirumah Klien : jumlah jam tidur, apakah mengalami gangguan
tidur
 Di Rumah Sakit : jumlah jam tidur, apakah mengalami gangguan
tidur
 Pola Aktivitas
 Di rumah : klien beraktifitas secara mandiri tanpa bantuan orang
lain apakah memiliki kebiasaan olah raga
 Di rumah sakit : apakah klien mendapatkan bantuan dari orang lein
ketika akan melakukan aktivitas
 Pola Reproduksi dan Seksual
Usia, anak, riwayat penggunaan kontrasepsi
 Pemeriksaan Fisik
b. Keadaan umum : apakah klien lemah, terpasang infus atau tidak
Keadaan sakit : klien sering mengeluh lemas, sakit, tidak nyaman, dll.
Tekanan darah : mengalami penurunan
Nadi : mengalami penurunan
Respirasi : 12-24 x/menit
Bising Usus : 6-12 x/menit
Suhu : 37,5-38,5˚C
Tinggi badan :-
7
Berat badan: naik atau menurun
c. Review of System (ROS)
(1) Kepala : Posisi kepala, bentuk kepala, warna rambut, distribusi rambut,
apakah terlihat bayangan pembuluh darah, apakah terdapat luka, tumor, edema,
ketombe, dan bau.
 Mata : apakah terdapat vesikel, tidak ada masa, nyeri tekan, dan penurunan
penglihatan, konjungtiva anemis.
 Hidung : apakah terdapat sekret, dan lesi
 Mulut : apakah terdapat lesi, gigi ada yang tanggal, membran mukosa
kering, apakah ada bercak-bercak keputihan pada lidah, dan halitosis.
 Telinga : apakah ada nyeri tekan, dan luka
(2) Leher : apakah trakea simetris, adakah pembesaran kelenjar tiroid dan vena
jugularis, nyeri tekan.
(3) Thoraks : dilihat bentuk, apakah terdapat masa, dan otot bantu napas
 Paru
 Jantung
(4) Ketiak dan Payudara : apakah didapatkan pembesaran kelenjar limfe dan
benjolan, keadaan puting dan areola
(5) Abdomen : bentuk simetris atau tidak, adakah nyeri tekan, apakah ada benjolan,
tanda pembesaran hepar, tidak didapati asites, dan hasil perkusi didapat suara
timpani,
(6) Genetalia : apakah ada benjolah, nyeri tekan,iritasi dan bau pada
genetalia
(7) Anus dan Rektum : tidak ada abses, hemoroid, apakah pada rektum didapati
lendir, darah, atau nanah.
(8) Ekstremitas : apakah kekuatan otot menurun, terdapat oedema, tampak
tanda atropi
(9) Integumen : bagaimana warna, tekstur kering, turgor kulit, apakah terdapat tanda
sianosis, akral dingin atau hangat, ada atau tidak tanda inflamasi pada kuku
(10) Status Neurologis
a) Tingkat kesadaran
b) Tanda–tanda perangsangan otak
8
c) Uji saraf kranial
d) Fungsi Motorik
e) Fungsi Sensorik
f) Refleks Pantologis
B. Pengkajian Psikologis
Reaksi Proses psikologis Hal-hal yang biasa di jumpai
Hal-hal yang biasa
Reaksi Proses Psikologis
dijumpai
Shock (kaget, goncangan Merasa bersalah, marah, Rasa takut, hilang akal,
batin) tidak berdaya frustasi, rasa sedih,
susahm acting out.
Mengucilkan diri Merasa cacat dan tidak Khawatir menginfeksi
berguna, menutup diri orang lain, murung
Membuka status secara Ingin tahu reaksi orang Penolakan, stress,
terbatas lain, pengalihan stress, konfrontasi
ingin dicintai
Mencari orang lain yang Berbagi rasa, pengenalan, Ketergantungan, campur
HIV positif kepercayaan, penguatan, tangan, tidak percaya
dukungan social pada pemegang rahasia
dirinya.
Status khusus Perubahan keterasingan Ketergantungan,
menjadi manfaat khusus, dikotomi kita dan mereka
perbedaan menjadi hal (semua orang dilihat
yang istimewa, sebagai terinfeksi HIV
dibutuhkan oleh yang dan direspon seperti itu),
lainnya. over identification.
Perilaku mementingkan Komitmen dan kesatuan Pemadaman, reaksi dan
orang lain kelompok, kepuasan kompensasi yang
memberi dan berbagi berlebihan
perasaan sebagai
kelompok
Penerimaan Integrasi status positive Apatis, sulit berubah

9
HIV dengan identitas
diri, keseimbangan antara
kepentingan orang lain
dengan diri sendiri, bisa
menyebutkan kondisi
seseorang

Respon Psikologis (penerimaan diri) terhadap Penyakit ada lima tahap reaksi emosi
seseorang terhadap penyakit, yaitu :
1. Pengingkaran (denial) Pada tahap pertama pasien menunjukkan karakteristik perilaku
pengingkaran, mereka gagal memahami dan mengalami makna rasional dan dampak
emosional dari diagnosa. Pengingkaran ini dapat disebabkan karena ketidaktahuan
pasien terhadap sakitnya atau sudah mengetahuinya dan mengancam dirinya.
Pengingkaran dapat dinilai dari ucapan pasien “saya di sini istirahat.” Pengingkaran
dapat berlalu sesuai dengan kemungkinan memproyeksikan pada apa yang diterima
sebagai alat yang berfungsi sakit, kesalahan laporan laboratorium, atau lebih mungkin
perkiraan dokter dan perawat yang tidak kompeten. Pengingkaran diri yang mencolok
tampak menimbulkan kecemasan, pengingkaran ini merupakan buffer untuk menerima
kenyataan yang sebenarnya. Pengingkaran biasanya bersifat sementara dan segera
berubah menjadi fase lain dalam menghadapi kenyataan (Achir Yani, 1999).
2. Kemarahan (anger) Apabila pengingkaran tidak dapat dipertahankan lagi, maka fase
pertama berubah menjadi kemarahan. Perilaku pasien secara karakteristik
dihubungkan dengan marah dan rasa bersalah. Pasien akan mengalihkan kemarahan
pada segala sesuatu yang ada disekitarnya. Biasanya kemarahan diarahkan pada
dirinya sendiri dan timbul penyesalan. Yang menjadi sasaran utama atas kemarahan
adalah perawat, semua tindakan perawat serba salah, pasien banyak menuntut,
cerewet, cemberut, tidak bersahabat, kasar, menantang, tidak mau bekerja sama,
sangat marah, mudah tersinggung, minta banyak perhatian dan iri hati. Jika keluarga
mengunjungi maka menunjukkan sikap menolak, yang mengakibatkan keluarga segan
untuk datang, hal ini akan menyebabkan bentuk keagresipan (Hudak & Gallo, 1996).
3. Sikap tawar menawar (bargaining) Setelah marah-marah berlalu, pasien akan berfikir
dan merasakan bahwa protesnya tidak ada artinya. Mulai timbul rasa bersalahnya dan

10
mulai membina hubungan dengan Tuhan, meminta dan berjanji merupakan ciri yang
jelas yaitu pasien menyanggupi akan menjadi lebih baik bila terjadi sesuatu yang
menimpanya atau berjanji lain jika dia dapat sembuh (Achir Yani, 1999).
4. Depresi Selama fase ini pasien sedih/ berkabung mengesampingkan marah dan
pertahanannya serta mulai mengatasi kehilangan secara konstruktif. Pasien mencoba
perilaku baru yang konsisten dengan keterbatasan baru. Tingkat emosional adalah
kesedihan, tidak berdaya, tidak ada harapan, bersalah, penyesalan yang dalam,
kesepian dan waktu untuk menangis berguna pada saat ini. Perilaku fase ini termasuk
mengatakan ketakutan akan masa depan, bertanya peran baru dalam keluarga
intensitas depresi tergantung pada makna dan beratnya penyakit (Netty, 1999). e)
Penerimaan dan partisipasi Sesuai dengan berlalunya waktu dan pasien beradapatasi,
kepedihan dari kesabatan yang menyakitkan berkurang dan bergerak menuju
identifikasi sebagai seseorang yang keterbatasan karena penyakitnya dan sebagai
seorang cacat. Pasien mampu bergantung pada orang lain jika perlu dan tidak
membutuhkan dorongan melebihi daya tahannya atau terlalu memaksakan
keterbatasan atau ketidakadekuatan (Hudak & Gallo, 1996). Proses ingatan jangka
panjang yang terjadi pada keadaan stres yang kronis akan menimbulkan perubahan
adaptasi dari jaringan atau sel. Adaptasi dari jaringan atau sel imun yang memiliki
hormon kortisol dapat terbentuk bila dalam waktu lain menderita stres, dalam teori
adaptasi dari Roy dikenal dengan mekanisme regulator.
5. Tahap acceptance (penerimaan) Pada tahapan ini, mulai hadir perasaan kedamaian dan
rasa cinta pada seseorang yang kehilangan. Namun penerimaan sering
dikacaukan dengan gagasan "baiklah" atau "OK" dengan apa yang telah terjadi.
Kebanyakan orang tidak pernah merasa baik-baik saja atau baik tentang kehilangan
orang yang dicintai. Tahap ini adalah tentang menerima kenyataan bahwa orang
yang kita cintai hilang secara fisik dan menyadari bahwa kenyataan baru ini adalah
kenyataan permanen.
Seseorang yang mengalami kehilangan tidak akan pernah menyukai kenyataan
ini atau membuatnya baik-baik saja, tapi akhirnya menerimanya.
Seseorang mulai belajar untuk hidup bersama kehilangannya. Ini adalah
norma baru yang harus dipelajari untuk melanjutkan hidup. Seseorang yang
mengalami kehilangan harus mencoba hidup sekarang di dunia di mana sesuatu

11
yangdicintai hilang. Dalam melawan norma baru ini, pada awalnya banyak
yang ingin mempertahankan kehidupan sama seperti sebelum mengalami
kehilangan. Pada waktunya, melalui potongan-potongan penerimaan,
bagaimanapun seseorang tidak dapat mempertahankan masa lalu secara utuh.
Keadaan telah berubah selamanya dan harus menyesuaikan diri kembali.
Seseorang harus belajar menata ulang peran, menugaskannya kembali ke orang lain
atau membawanya ke diri sendiri.
Menemukan penerimaan mungkin hanya mengalami hari-hari yang lebih baik
daripada hari-hari buruk. Saat seseorang mulai hidup kembali dan menikmati
hidup, sering merasa bahwa dengan berbuat demikian, dapat mengkhianati orang
yang kita cintai. Padahal seseorang tidak pernah bisa menggantikan apa yang telah
hilang, tapi kita bisa membuat koneksi baru, hubungan baru yang bermakna,
inter dependensi baru. Daripada menyangkal perasaan, seseorang perlu
mendengarkan kebutuhannya; menyadari bahwa semua tetap bergerak,
berubah, tumbuh, dan berevolusi. Seseorang mulai hidup lagi, tapi tidak bisa
melakukannya sampai telah memberikan kesedihan pada waktunya.

Pengkajian Fisiologi Menjelang Kematian


1. Tanda-tanda Klinis Menjelang Kematian.
 Kelambatan dalam Sirkulasi, ditandai :
a. Relaksasi otot muka sehingga dagu menjadi turun.
b. Kesulitan dalam berbicara, proses menelan dan hilangnya reflek menelan.
c. Penurunan kegiatan traktus gastrointestinal, ditandai: nausea, muntah, perut
kembung, obstipasi dan sebagainya.
d. Penurunan control spinkter urinari dan rectal.
e. Gerakan tubuh yang terbatas.
 Kelambatan dalam Sirkulasi, ditandai :
a. Kemunduran dalam sensasi.
b. Cyanosis pada daerah ekstermitas.
c. Kulit dingin, pertama kali pada daerah kaki, kemudian tangan, telinga dan
hidung.
 Perubahan-perubahan dalam tanda-tanda vital :

12
a. Nadi lambat dan lemah.
b. Tekanan darah turun.
c. Pernafasan cepat, cepat dangkal dan tidak teratur.
 Gangguan Sensoria : Penglihatan kabur.
 Gangguan penciuman dan perabaan.
2. Tanda-tanda Klinis Saat Meninggal :
a. Pupil mata melebar.
b. Tidak mampu untuk bergerak.
c. Kehilangan reflek.
d. Nadi cepat dan kecil.
e. Pernafasan chyene-stoke dan ngorok.
f. Tekanan darah sangat rendah.
g. Mata dapat tertutup atau agak terbuka.
3. Tanda-tanda Meninggal secara klinis.
Secara tradisional, tanda-tanda klinis kematian dapat dilihat melalui perubahan-
perubahan nadi, respirasi dan tekanan darah. Pada tahun 1968, World Medical
Assembly, menetapkan beberapa petunjuk tentang indikasi kematian, yaitu :
a. Tidak ada respon terhadap rangsangan dari luar secara total.
b. Tidak adanya gerak dari otot, khususnya pernafasan.
c. Tidak ada reflek.
d. Gambaran mendatar pada EKG.
4. Macam tingkat Kesadaran atau Pengertian dari Pasien dan Keluarganya terhadap
Kematian.
Strause et all (1970), membagi kesadaran ini dalam 3 type :
a. Closed Awareness atau Tidak Mengerti.
Pada situasi seperti ini, dokter biasanya memilih untuk tidak memberitahukan
tentang diagnosa dan prognosa kepada pasien dan keluarganya. Tetapi bagi
perawat hal ini sangat menyulitkan karena kontak perawat lebih dekat dan sering
kepada pasien dan keluarganya. Perawat sering kal dihadapkan dengan
pertanyaan-pertanyaan langsung, kapan sembuh, kapan pulang dan sebagainya.
b. Matual Pretense/Kesadaran/Pengertian yang Ditutupi.

13
Pada fase ini memberikan kesempatan kepada pasien untuk menentukan segala
sesuatu yang bersifat pribadi walaupun merupakan beban yang berat baginya.
c. Open Awareness atau Sadar akan keadaan dan Terbuka.
Pada situasi ini, klien dan orang-orang disekitarnya mengetahui akan adanya ajal
yang menjelang dan menerima untuk mendiskusikannya, walaupun dirasakan
getir. Keadaan ini memberikan kesempatan kepada pasien untuk berpartisipasi
dalam merencanakan saat-saat akhirnya, tetapi tidak semua orang dapat
melaksanaan hal tersebut.

2.2 TINJAUAN AGAMA TENTANG PERAWATAN PALIATIF


A. Pada dasarnya, berbagai pendekatan yang dilakukan adalah upaya untuk mengatasi
masalah psikologis pasien supaya merasa tenang dan percaya diri. Dua hal tersebut
menjadi penting supaya pasien taat dalam menjalankan pengobatannya. Bila
psikologisnya sudah lemah, maka kepatuhan untuk berobat pun akan lebih sulit
untuk diwujudkan. Hal tersebut dikarenakan pasien telah kehilangan semangat untuk
hidup, ataupun bila berobat manfaatnya tidak akan maksimal.
Kemudian dijelaskan juga bahwa pasien yang mempunyai keyakinan agama yang
baik, akan lebih mudah untuk menerima kenyataan ketika dihadapkan pada hasil
pemeriksaan medis yang tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan (Widyastuti,
2004). Integrasi agama dalam pelayanan medis sudah mulai dibuka lebar sejak WHO
mendeklarasikan terapi holistic pada tahun 1984 silam. WHO juga menegaskan
bahwa dimensi agama atau spiritual, sama pentingnya dengan dimensi fisik,
psikologis, dan psikososial (Prasetyo, 2015). Anjuran tersebut akhirnya menjadi
inspirasi bagi berbagai kegiatan spiritual atau keagamaan, karena termasuk sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari pelayanan kesehatan yang diberikan di seluruh
dunia. Berbagai penelitian tetap dilakukan untuk menunjukkan bagaimana
kontribusi agama dalam mendukung proses kesehatan seorang individu. Dari hal
tersebut, konseling religius juga bisa menjadi salah satu alternatif yang dapat
dikembangkan menjadi bentuk terapi psikospiritual dalam pemberian perawatan
paliatif.
1. Agama islam

14
Kaum muslim percaya bahwa setiap penyakit pasti ada obatnya dan bisa
disembuhkan. Mereka juga percaya bahwa setiap kesulitan hidup harus
diterima dan dihadapi, penderitaan dan sakit atau menjadi pasien. Semuanya ini
akan melenyapkan dosa-dosa sebelumnya yang sudah dilakukan, dan hal-hal ini
terjadi sebagai pemurnian (Jena, 2019). Meskipun demikian, setiap umat
Islam harus berusaha menghindari sakit dan seseorang diizinkan
menggunakan perawatan yang terbaik atau menggunakan pengobatan
terbaik yang tersedia saat itu. Perawatan paliatif
direkomendasikan di dalam Islam, dan hospis (rumah perawatan) terbaik bagi
seorang Muslim adalah meninggal di rumah bersama keluarga dan sanak saudara
yang mengelilinginya. Kematian alamiah (yakni mengikuti rencana Allah dan
bukan dokter, rencana hakim atau keputusan keluarga) adalah kepentingan terbesar
dari pasien itu sendiri dan kematiannya yang paling bermartbat bagi seorang
penganut Islam. Islam dengan keras menolak atau melawan:
● The Mental Capacity Act (yang membolehkan penghentian makanan,
cairan, dan penanganan medis yang masuk akal dari seorang pasien yang
tidak sedang dalam proses menuju kematian, dengan maksud untuk
mempercepat kematian)
● Setiap usaha di masa depan untuk melegalisasi euthanasia atau kematian
berbantuan
Bagi setiap dokter, perawat, dan tenaga kesehatan lain, menghentikan kehidupan
seseorang, kalaupun atas permintaan pasien sendiri, adalah penyangkalan terhadap
profesi medis itu sendiri. Kaum muslim percaya bahwa hidup itu sendiri adalah
hadiah terbesar dari Allah yang harus dipelihara dan dipertahankan dalam setiap
waktu. Perawat harus memiliki sikap dasar ini ketika berhadapan dengan kehidupan
manusia: rasa hormat yang penuh dan perlindungan yang penuh kepada setiap manusia. 3
poin penting yang bermakna dalam yaitu kelahiran, pernikahan dan kematian. Dari ketiga
poin ini, poin kedua tidak semua orang mengalaminya, namun yang pertama dan ketiga
semua orang pasti mengalaminya. QS 03. Ali Imran 185. “Tiap-tiap yang berjiwa
akan merasakan mati . …” QS 21. Al-Anbiya 35.“Tiap yang berjiwa akan merasakan
mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang
sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.”

15
2. Agama Kristen
Pada dasarnya, kaum kristiani meyakini bahwa seseorang dalam keadaan terminal
memerlukan penghiburan, lebih mengutamakan perhatian untuk orangnya, bukan
penyakitnya. Menurut kristiani, kematian juga merupakan peristiwa yang
positif.
Landasan Al Kitab:
a. Sebenarnya, Alkitab menggambarkan kematian sebagai musuh dan
berjanji bahwa tidak lama lagi baik penyakit maupun kematian tidak akan ada
lagi.—1 Korintus 15:26; Penyingkapan 21:3, 4.
b. Bagaimana Anda dapat menjadi ”teman sejati” serta memberikan
penghiburan dan dukungan pada masa kesesakan ini?—Amsal 17:17.
c. ”Dosa masuk ke dalam dunia melalui satu orang dan kematian, melalui dosa.”
(Roma 5:12).
Pandangan Paliatif Menurut Kristen yang Perlu Diperhatikan Perawat:
a. Menyediakan Penghiburan pada Saat-Saat Terakhir
b. Bagaimana kita dapat menghibur seseorang yang sedang mendekati akhir
hidupnya? Yakni dengan membiarkan pasien itu menyatakan permintaannya yang
terakhir. Bila memungkinkan , maka ikuti keinginan si pasien. Jika tidak mungkin
mengabulkan permintaan pasien maka sebaiknya langsung berterus terang
c. Dekatkan pasien kepada keluarga/kerabat dekat. Pasien terminal merasa perlu
untuk tetap dekat dengan orang-orang yang paling penting atau berarti dalam
kehidupannya.
d. Pasien membutuhkan pendamping yang dapat memahami dan menerima
keberadaannya secara manusiawi dengan tidak melupakan kodratnya sebagai makhluk
ciptaan Allah. (Al-Kitab)
3. Agama Katholik
Pada dasarnya, Katholik mempercayai bahwa sebuah keadaan terminal memerlukan
pelayanan yang penuh dengan kasih sayang. Perawat maupun keluarga perlu
memberikan penghormatan terbaik bagi pasien kondisi terminal.
Landasan Al Kitab :
Akulah kebangkitan dan hidup, barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup
walaupun sudah mati” (Yoh. 11:25).

16
Pandangan Paliatif Menurut Katolik yang Perlu Diperhatikan Perawat
a. Memberikan waktu dan kesempatan kepada pasien untuk mengamalkan
doa-doa memohon kematian yang bahagia
b. Memberikan keluangan tempat dan kesempatan bagi pasien untuk
diberikan Sakramen Baptis maupun Sakramen Perminyakan (dilakukan oleh
Pastor) (Katolisitas, 2020).
4. Agama Hindu
Pada dasarnya, menurut agama hindu, manusia sehat maupun sakit tergantung
pula pada jiwanya. Jiwa dipengaruhi oleh pikiran manusia sendiri. Saat pasien
mengalami kondisi terminal, pasien tetap berkesempaan memohon mukjizat agar
sembuh/hidup. Namun bila pada akhirnya meninggal dunia, maka pasien
dipersilakan berdoa agar roh/atmannya pergi dengan tenang menuju Hyang Widhi
Pandangan Paliatif Menurut Hindu yang Perlu Diperhatikan Perawat:
a. Pasien perlu diberikan kesempatan dan kelonggaran untuk memanjatkan doa-
doa menjelang kematian
b. Kematian yang baik menurut hindu yaitu kematian menuju jalan moksa
(kebahagiaan batin yang terdalam)
c. Kematian merupakan peristiwa yang penuh dengan pertanda tertentu (dalam
agama Hindu), sehingga perawat perlu memberikan support dan dukungan moral
terhadap pasien dan keluarga
d. Kematian dipercaya sebagai pembebasan diri. Menurut agama Hindu,
walaupun manusia mengalami kematian, namun Atman (ruh) tidak bisa mati
(PHDI 2020)
5. Agama Buddha
Pada dasarnya, Buddha mengajarkan bahwa kita semua akan menghadapi kematian.
Sehingga bersikap makul (realistis) terhadap ketidakabadian. Sang Buddha
menasehati murid-muridNya tentang pentingnya pelayanan kepada orang sakit.
Beliau bersabda :”Seseorang yang merawat orang sakit, berarti ia telah merawat
Saya”.
Pandangan Paliatif menurut Buddha yang Perlu Diperhatikan Perawat:
a. Bagi Sang Buddha, selama pasien masih hidup, maka segala yang dapat
dilakukan harus diusahakan untuk kesembuhan.

17
b. Sang Buddha mengajarkan bahwa agar sembuh, pasien juga harus
bekerja sama dengan dokter dan perawat. Seorang pasien baik seharusnya
hanya menerima dan melakukan apa yang bermanfaat baginya.
c. Perawat perlu mengarahkan pikiran pasien dan keluarga ke pikiran-pikiran yang
baik.
d. Pasien dan keluarga perlu diberikan kesempatan untuk berdoa mengharapkan
kesembuhan.
e. Membicarakan tentang kematian kepada pasien yang akan meninggal adalah
merupakan pokok pembicaraan yang tidak menyenangkan. Sebaliknya,
kenyataan kematian dan kemungkinan segera datangnya kematian haruslah
diterima tanpa kepura- puraan dan pasien disiapkan untuk menghadapi
kematian dengan keyakinan dan ketenangan. (Silva, 2020)

2.3 TINJAUAN SOSIAL BUDAYA TENTANG PERAWATAN PALIATIF


A. Sosial budaya adalah seluruh hal yang diciptakan oleh manusia, melalui budi
dan pikriannya dalam menjalankan tatanan kehidupan bermasyarakat.
Menurut Andreas Epping, kebudayaan atau sosial budaya adalah tata nilai
atau segala hal yang berlaku di dalam sebuah kelompok masyarakat, dan hal
ini bisa menjadi ciri has dari masyarakat itu sendiri. Sementara menurut Burnett,
kebudayaan merupakan unsur holistic dari kesenian, moral, adat istiadat,
pengetahuan, kepercayaan, hukum, dan kemampuan mengolah pikiran dalam
bentuk lain yang didapatkan oleh seseorang sebagai anggota dari kelompok
suatu masyarakat dan keseluruhan bersifat kompleks. Sehingga, dari
kedua pengertian itu dapat ditarik kesimpulan bahwa sosial budaya memang
mengacu pada kehidupan masyarakat yang menekankan pada aspek adat
istiadat dan kebiasaan masyarakat itu sendiri.
Salah satu faktor yang turut menentukan tentang
keadaan kesehatan dalam masyarakat adalah perilaku mereka. Terbentuknya
perilaku itu bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor.. Salah satunya faktor yang
cukup berpengaruh adalah sosial budaya, apabila faktor itu sudah tertanam dan
masuk dalam kehidupan dan kegiatan masyarakat, maka kemungkinan akan sulit
untuk mengubah perilaku yang sudah terbentuk. Oleh karenanya, agar dapat

18
mengatasi dan memahami tentang masalah yang ada di masyarakat mengenai
kesehatan, maka dibutuhkan sebuah ilmu pengetahuan yang cukup mengenai
budaya dasar dan budaya suatu daerah.
Kultur atau kebudayaan bisa membentuk sebuah kebiasaan dan respon
terhadap penyakit dan kesehatan, di dalam semua lapisan masyarakat dengan
mengesampingkan tingkatannya. Oleh karenanyalah penting bagi tenaga
kesehatan agar tidak hanya berfokus pada promosi kesehatan, tetapi juga membuat
masyarakat mengerti proses terjadinya suatu penyakit serta bagaimana caranya
meluruskan keyakinan dan budaya yang dianut dan berhubungan dengan kesehatan.
Tanpa disadari, pengaruh dari kebudayaan
sudah memberikan pengaruh besar pada sikap untuk menghadapi beragam
masalah. Kebudayaan kini sudah menyatu dalam sikap lapisan masyarakat,
mengingat kebudayaanlah yang memberikan ragam pengalaman yang dialami
individu dalam masyarakat. Green dalam Notoatmodjo (2007) menyampaikan
bahwasanya perilaku manusia dari tingkat kesehatan sebenarnya bisa dipengaruhi
oleh 2 faktor utama yaitu faktor perilaku (behaviour cause) dan faktor di
luar perilaku (non-behaviour cause) .
Ketika Anda menemui seorang pasien dying yang ditempatkan dalam ruang isolasi,
perlu Anda ketahui bahwa pasien tersebut tetap memiliki kebutuhan untuk
berkontak dengan sosialnya. Dalam hal ini, perawat dapat melakukan:
a. Bertanya pada pasien siapa saja yang ingin didatangkan untuk bertemu dengan
pasien dan mendiskusikannya bersama keluarga, seperti: rekan dekat, sahabat,
maupun anggota keluarganya yang lain.
b. Menggali perasaan yang dirasakan pasien mengenai sakit yang dialaminya
hingga perlu dilakukan isolasi. Membantu pasien untuk menjaga
penampilan mereka ketika mereka mendapatkan kunjungan besuk
kerabatnya, yaitu dengan memberi kesempatan pada klien untuk beberes dan
merapikan diri (Wahyuningsih, 2017).

19
2.4 PATOFISIOLOGI PENYAKIT KRONIK DAN TERMINAL
A. Penyakit kronik
Didefinisikan sebagai kondisi medis atau masalah kesehatan yang berkaitan dengan
gejala – gejala atau kecacatan yang membutuhkan penatalaksanaan jangka panjang.
Sebagian dari penatalaksanaan ini mencakup belajar untuk hidup dengan gejala dan
kecacatan, sementara juga menghadapi segala bentuk perubahan identitas yang
diakibatkan oleh penyakit. Sebagian lagi mencakup menjalani perubahan gaya
hidup dan regimen yang dirancang untuk tetap menjaga agar tanda dan gejala
terkontrol dan untuk encegah komplikasi. Meskipun, beberapa individu akan
memikirkan tentang apakah kiranya yang disebut dengan identitas “peran sakit,”
kebanyakan orang dengan penyakit kronis tidak menganggap diri mereka sakit atau
berpenyakitan dan mencoba untuk hidup senormal mungkin (Robinson dkk., 1993).
Akan tetapi hanya ketika komplikasi atau gejala yang hebat mengganggu aktivitas
kehidupan mereka sehari – hari, banyak individu sakit kronis berpikir bahwa diri
mereka sedang “ sakit" ( Foryth, Delaney, & Gresham, 1984 ).
a. Penyebab penyakit kronik
Penyakit kronis dapat diderita oleh semua kelompok usia, tingkat social
ekonomi dan budaya. Telah dilaporkan bahwa setidaknya 34,2 juta orang
mengalami keterbatasan aktivitas karena kondisi kronis atau (Disability
Abstrac, 1991 ).

20
Table 17-1 Prevalensi Kondisi – Kondisi Kronis Yang Banyak Dilaporkan, 1991
Ada banyak kemungkinan penjelasan seperti mengapa penyakit kronis menjadi masalah
kesehatan Kondisi Prevalensi (dalam utama
dinegara- 1000) negara maju,
termasuk Sinusitis Kronis 32.167 alasan-alasan
berikut : Artritis 31.148
1 Deformitas Atau 28.725 kemajuan
Kerusakan Ortopedik dalam bidang
Hipertensi 27.800 kedokteran
Demam Hay Tanpa 24.248 modern yang
Asma telah
Kerusakan 22.680 mengarah
Pendengaran pada
Penyakit Jantung 20.536 menurunnya
Bronchitis Kronik 12.549 angka
Asma 11.735 kematian.
2 Sakit Kepala Migren 9.539 nutrisii yang
Kerusakan Visual 7.988 membaik dan
Diabetes 7.223 peraturan
yang ketat yang mengatur keselamatan di tempat kerja yang telah
memungkinkan orang hidup lebih lama.
3 gaya hidup yang berkaitan dengan masyarakat modern yang telah
mengakibatkan incident menyakir kronis.
Meskipun merupakan penyakit infeksi, AIDS sifatnya menjadi kronis karna
perkembangan dan penggunaan medikasi baru untuk mengbati infeksi
oportunistik. Penatalaksanaan agresif tentang infark miokardium (serangan
jantung) dan distrit mia jantung telah memperdayakan individu untuk dapat
menghadapi krisis medical dan melanjutkan kehidupan yang prduktif dan
berguna
Meskipun teknologi dapat menyelamatkan hidup, teknologi dapat
mengakibatkan masalah-masalah kronis yang hamper sama melemahkannya
seperti yang telah dirancang untuk menyebuhkan sebagai contoh teknologi

21
sangat meningkatkan angka bertahan hidup dari bayi-bayi yang sangat
premature namun pada saat yang sama teknologi tersebut juga membuat
mereka rentan terhadap komplikasi, seperti ketergantungan pada ventilator dan
kebutaan .
Kebiasaaan masyarakat modern juga turut menunjang meningkatnya inseident
penyakit kronis. Diet tingggi lemak dan kolestrol, gaya hidup pasif, penyalah
gunaan obat, merokok, dan tingkat strees yang tinggi, semuanya berhubungan
dengan kondisi-kondisi kronis pada orang-orang yang genetic rentan.
b. Implikasi kronik
1. menangani penyakit kronis mencangkup lebih dari menangani masalah-
masalah medis.Hidup secara permanen atau untuk waktu yang lama dengan
gejala-gejala dan kecacatan dapat mengarah pada menyesuaian identitas,
perubahan-perubahan peran, dan keharisan untuk mengatasi gangguan citra
tubuh atau gaya hidup. Adaptasi terhadap penyakit dan kecacatan
merupakan proses yang berkepanjangan. Setiap perubahan besar atau
penurunan kemampuan fungsi membutuhkan adaptasi fisik, dan emosi
social lebih lanjut (bury, 1991) baik bagi individu maupun keluarganya.
2. kondisi-kondisi kronis dapat melewati berbagai fase yang berbeda
sepanjang perjalanan penyakit (Rolland, 1997). Akan ada priode stabil dan
tak stabil, awitan yang sangat mendadak dan remisi. Setiap fase membawa
masalah fisik, psikologis, dan sosialnya sendiri, dan masin-masing
membutuhkan rigemen dan jeis penatalaksanaan yang berbeda (korbin dan
strauss, 1988).
3. untuk menjaga agar kondisi kronis tetap terkontrol mengharuskan kepatuhan
terhadap regiment terapeutik yang konsisten.
4. Menangani penyakit kronis membutuhkan waktu, membutuhkan
pengetahuan dan perancanaan, dan dapat tidak menyamankan dan tidak
mudah. Bukanlah hal yangtidak umum bagi pasien untuk menghentikan
minumobat atau untuk mengubah dosis kara efek sampingnya lebh
mengganggu dan menyulitkan disbanding gejala penyakitnya itu sendiri,
dan pasien sering kali mempersingkat regimen yang mereka piker terlalu
penyita waktu atau terlalu melelahkan (strauss dkk., 1984).

22
5. satu penyakit kronis dapat menyebabkan kronis lain. Sebagai contoh,
diabetes pada akhirnya dapat mengarah pada terjadinya perubahan
neurologis dan sirkulasi dalam penglihatan, jantung, seksual, dan masalah-
masalah ginjal.
6. penyakit kronis mempengaruhi seluruh keluarga. Tidak hanya anggota
keluarga yang terlibat dalam menangani penyakit kronis yang di derita oleh
orang yang mereka kasihi, tetapi kehidupan keluarga dapat menjadi sangat
tergangggu oleh penyakit kronis, terutama jika penyakit tersebut itu parah.
Efek keadaan ini dapat sangat besar, kadang membuat anggota keluarga
menjadi dekat satu sama lain, kadang juga dapat membuat mereka terpecah
belah. (foxhall, Ekberg dan Griffith, 1985); (stuifbergen 1987).
7. individu dengan penyakit kronis dan keluarganya harus bertanggung jawab
yang besar terhadap penatalaksanaan sehari-hari penyakit. Pelayanan-
pela6yanan pendukung diluar rumah tersedia dari rumah sakit, klinik,
praktik dokter, perawatan panti, pusat-pusat perawatan dan lembaga-
lembaga di komunitas (pelayanan perawat berkunjung, pelayanan-pelayanan
social, dan asosiasi dan perkumpulan penyakit tertentu). Pelayanan ini
memperdayakan individu untuk menangani penyakit kronis dirumah (strauss
dan cardim, 1988).
8. penatalaksaan kondisi kronis adalah suatu proses suatu penemuan. Setiap
orang harus menemukan bagaimana tubuh bereaksi terhadap beragam
kondisi, seperti apa rasanya hipoklikemia itu, aktifitas-aktifitas apa yang
menimbulkan gejala, dan bagaimana hal tersebut dapat dicegah dan
ditangani denga cara yang terbaik.
9. menangani kondisi kronis membuthkan pengamanan masalah-masalah yang
kompleks, yang saling terkait yang sifannya medis, social dan emosinal.
Upaya-upaya kolaboratif dari banyak tenaga pelayanan kesehatan dibuthkan
memberikan perawatan menyeuruh yang sering dibuthkan.
10. penatalaksanaan kondiisi kronik adalah mahal. Jutaan dolar biaya perawatan
kesehatan diabiskan setiap tahunnya untuk peralatan, medikasi, dan
pelayanan yang berhubungan penyakit kronis.

23
11. kondisi kronis menghdirkan dilema etis bagi individu tenaga kesehatan
profesonal, dan masyarakat. Tidak ada pemecahan yang mudah terhadap
pertanyaan-pertanyaan dan isu, seperti kapan mengakhiri perawatan,
bagaimana member akses keperawatan, bagaimana menetapkan
pengendalian biaya, dan bagaimana cara mengevaluasi kualitas hidup
(Jennings dan kaplang, 1986).
12. hidup dengan peyakit kronis berarti hidup dengan ketidak pastiaan (mishel.
1990); (yarceheki; 1988). Itulah mengapa diketahui dan dapat diramalkan
berapa cepat dan berapa jauh kondiis aka berkembang atau apakah dan
kapan komplikasi mugnkin terjadi meski sudah dapat patut dalam
pengobatan. Meskipun pasien dalam kondisi “remisi” atau “bebas penyakit”
selalu ada keraguan yang tumbuh bahwa penyakit tersebut akan kambuh
kembali (semlltzer, 1992).
c. Masalah-masalah dalam menangani penyakit kronis
Bagaimanapun, ketika enyakit kronis telah terjadi penatalaksanaan secara
keseluruhan beralih menjadi mengendalikan perjalanan peyakit samba
mempertahankan kualitas hidup yang dapat diterima. Masalah-masalah
mengatasi penyakit kronis termasuk yang berikut:
1. Mencegah kekambuhan kondisi kritis
2. Menghilagkan dan menangani gejala-gejala
3. Mencegah dan menangani kecacatan
4. Mecgeha dan menangani krisis dan komplikasi
5. Mencapai, mempertahankan dan memperoleh kondisii stabil
6. Memfalidasi nilai diri individu dan fungsi individu
7. Mengadaptasi terhada ancaman identitas berulang dan kehilangan fungsi
prgresif
8. Menormalisasi kehidupan individu da keluarga sebanyak mungkin
9. Hidup dengan perubaha waktu, isoasi social dan kesepian
10. Mengidentifikasi dan memperoleh sumber-sumber dukungan dan
mebentuk jaringan kerja pendukung
11. Kembali kepada hidup yang memuaskan setela fase akut dari penyakit
kronis

24
12. Kematian dengan tenang dan terhormat
d. Fase-fase penyakit kronis
Ada sembila fase yang di identifikasi penyakit kronis yaitu:
1 Fase Pre-Trajektori
Menggambarkan dimana tahap individu beresiko terhadap penyakit kronis
karna factor-faktor genetik atau perilaku yang meningkatkan kerentanan
seseorang terhdap penyakit kronis.
2 Fase Trajektori
Ditandai dengan tampaknya gejala gejala yang berkaitan dengan oenyakit
kronis. Fase ini sering disertai dengan ketidak pastiaa karna gejala sedang
dievaluasi dan pemeriksaan diagnostic sedang dilaukan.
3 Fase Stabil
Terjadi ketika gajala-gejala dan perjalanan penyakit terkontrol.
4 Fase Tidak Stabil
Ditandai dengan ketidak stabilan dari penyakit kronis, kekambuhan gejala
gejala atau progresi penyakit-penyakit. Selama fase ini, aktifitas sehari hari
pasien terganggu oleh penyakitnya da dibtuhkan strategi untuk
mengatasinya.
5 Fase Akut
Ditandai dengan gejala gejala yang berat dan tidak dapat pulih atau
komlikasi yang membutuhkan perawatan dirumah akit untuk
menanganinya. Fase ini membutuhkan modifikasi mayor aktifitas sehari
hari pasien.
6 Fase Krisis
Ditandai denga situasi kritis atau mengancam jiwa ataua yang mebutuhkan
mengobatan dan perawatan kegawat daruratan.
7 Fase Pulih
Adalah pulih kebali pada cara hidup yang dapat diterima dalam batasan
yang dibebani oleh penyakit kronis.
8 Fase Penurunan

25
Terjadi ketika perjalanan peyakit berkembang dan disertai degan
peningktan ketidak mampuan dan kesulitan dalam menghadapi gejala
gejala.
9 Fase Kematian.
Dengan ditandai denga penurunan bertahap atau cepat fungsi tubuh dan
penghentian hubungan individual.
e. Langkah-langkah model keperawata trajectory
1. langkah 1 : Mengidentifikasi fase trajectory.
Langlah pertama mencakup mengkaji pasien dan menentukan fase spesifik
dari penatalaksanaa trajectory (ini juga disebut sebagai penempatan pasien
selama trajectory.
2. langkah 2 : mengidentifikasi masalah dan menempatkan tujuan.
Langkah kedua termasuk mengidentifikasi msalah masalah spesifik yang
dialami oleh pasien yang berhubungan denga trajectory dan penetapan
tujuan tujuan masalah dan tujua ini difalidasikan dengan psien.
3. langkah 3: menetapkan rencana untuk mencapai tujuan
Langkah ketiga ini terdiri atas penetapan rencana yang realistic dan
disetujui atas kedeua belah pihak untuk mencapai suatu tujuan. Kriteria
tersebut dapat mencakup pernyataan yang menuju kea rah tujuan, sepert :
Pada akhir sesi bagian pertama perawatan pasien, pasien akan mampu
untuk menyebutkan 4 aktivitas kehidupan sehari –hari. 2 setelah kebali
dari rumah sakit, pasien akan melaporkan episode angina yang lebih
sedikit dan kemampuan yang lebih tinggi untuk melakukan aktivitas sehari
– hari seperti yang diinginkan 1 bulan setelah kembali ke rumah sakit,
pasien akan melaporkan kemampuan untuk mengantisipasi aktivitas
kehidupan sehari – hari Pada kunjungan ketiga pasien akan melakukan
partisipasi yang meningkat dalam perawatan diri
4. Langka 4 : mengidentifikasi factor –faktor yang memfasilitasi yang
menghalangi tujuan.
Langkah ini mencangkup penetapan factor- factor yang mempengaruhi
pencapaian tujuan. Sebagai contoh, pada kasus penderita angina, adakah
tangga dirumahnya yang harus dinaiki beberapa sekali.

26
5. Langkah 5 : menerapkan intervensi
Intervensi dapat mencangkup memberikan perawatan langsung atau
berperan sebagai penasehat pasien, menyuluh, membuat rujukan, atau
mengatur sumber- sumber dan layanan-layanan sebagai contoh, jika
ditentukan pada langkah salah satunya situasi yang paling mungkin
mencetuskan angina adalah mandi dan bercukur setelah sarapan pagi,
perawat dapat membantu pasien menjedakan aktivitasnya.
6. Langkah 6 : mengevaluasi efektivitas intervensi
Langkah terahir termasuk mengevaluasi keefektifan intervensi untuk
menentukan apakah tujuan penatalaksaan telah tercapai, jangan
menggunakan kriteria yang telah ditetapkan sebelahnya, jika pengukuran
itu tidak berhasil atau tidak ada perubahan, kriteria dan tujuan harus
direvisi untuk membuatnya realistic sesuai dengan motivasi dan gaya
hidup pasien
B. Penyakit terminal
Kondisi terminal adalah suatu proses yang progresif menuju kematian berjalan
melalui suatu tahapan proses penurunan fisik, psikososial dan spiritual bagi
individu (Kubler-Rosa, 1969).
Penyakit terminal merupakan penyakit progresif yaitu penyakit yang menuju kearah
kematian contohnya seperti penyakit jantung , dan kanker atau penyakit terminal
ini dapat dikatakan harapan untuk hidup tipis ,tidak ada lagi obat-obatan ,tim medis
sudah give up (menyerah) dan seperti yang dikatakan di atas tadi penyakit terminal
ini mengarah kearah kematian (White,2002)
Penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan tidak ada obatnya , kematian tidak
dapat dihindari dalam waktu bervariasi ( Stuard& Sundeen , 1995)
Penyakit pasda stadium lanjut ,penyakit utama tidak dapatr diobati, bersifat
progresif ,pengobatan hanya bersifat paliatif (mengurangi gejala dan keluhan,
memperbaiki kualitas hidup (Tim medis RS Kanker Darmais,1996)
Pasien penyakit terminal adalah pasien yang sedang menderita sakit dimana tingkat
sakitnya telah mencapai stadium lanjut sehingga pengobatan medis sudah tidak
mungkin dapat menyembuhkan lagi.Oleh karena itu, pasien penyakit terminal harus

27
mendapatkan perawatan paliatif yang bersifat meredakan gejala penyakit, namun
tidak lagi berfungsi untuk menyembuhk
Jadi keadaan terminal adalah suatu keadaan sakit dimana menurut akal sehat tidak
ada harapan lagi bagi yang sakit untuk sembuh. Keadaan sakit itu dapat disebabkan
oleh suatu penyakit atau suatu kecelakaan.
a. Adapun yang dapat dikategorikan sebagai penyakit terminal adalah:
1 Penyakit-penyakit kanker.
Kanker merupakan salah satu penyakit berbahaya yang ada. Diantara
beberapa jenis kanker, kanker payudara adalah jenis kanker yang paling
berbahaya dan paling sering terjadi. Kanker payudara sangat berbahaya
dikarenakan kanker jenis ini menyerang organ reproduksi luar yaitu
payudara dan dapat menyebar ke bagian tubuh lain.Kanker payudara juga
dapat menyebabkan kematian. Kanker payudara yang dapat menyebabkan
kematian adalah kanker payudara stadium IV. Pada kanker payudara
stadium IV seseorang sudah menderita kanker payudara yang sangat parah
atau bahkan tidak memiliki harapan hidup (terminal). Kondisi terminal
pada penderita kanker payudara stadium IV tidak dapat dihindari dan ini
pasti akan dialami oleh setiap penderita yang akan menjelang ajal.Pada
kondisi terminal perubahan utama yang terjadi adalah perubahan
psikologis yang menyertai pasien. Perubahan psikologis tersebut biasanya
mengarah ke arah yang lebih buruk dan membuat pasien menjadi tidak
koperatif. Disini peran perawat sangat dibutuhkan dan menjadi hal yang
penting, dan untuk membuat klien merasa lebih nyaman dan mampu
membuat klien menjadi tenang pada saat menjelang ajal.
2 Penyakit-penyakit infeksi.
Meningitis merupakan infeksi pada selaput otak yang di sertai radang
membran pelindung yang menyelubungi otak dan sumsum tulang
belakang, yang mana keseluruhan tersebut di sebut meningen. Bahayanya
adalah Apabila Meningitis telah masuk stadium terminal dan tidak
ditangani segera, maka adanya resiko kematianlah yang akan terjadi dalam
waktu kurang lebih 3 pekan.
3 Congestif Renal Falure (CRF)

28
Chronic Renal Failure (CRF) merupakan gangguan fungsi ginjal yang
berlangsung secara progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh
gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit menyebabkan uremia (retensi urin dan sampah nitrogen lain
dalam tubuh). (Brunner and Suddarth , hal. 1448).
Patofisiologi terjadinya gagal ginjal kronik setelah berbagai macam
penyakit yang merusak nefron ginjal sehingga menyebabkan fungsi ginjal
turun dari 25% ban nefron-nefron sisa yang sehat mengambil alih fungsi
nefron yang rusak. Nefron yang tersisa meningkatkan fungsi nefron yang
masih normal, sisa yang normal akan terjadi hipertrofi sehingga kerusakan
renal bertambah/jumlah nefron yang normal menurun dalam usaha untuk
melaksanakan beban kerja ginjal, terjadi peningkatan filtrasi beban solut
dan reabsorbsi dan berakibat pada diuresis osmotik, ketidakseimbangan
cairan disertai poliuria dan haus yaitu peningkatan aliran kemih dan
penurunan konsentrasi, maka penderita bisa menjadi dehidrasi dan
cenderung terjadi retensi garam dan air yang normal diekskresikan dalam
urine, di dalam aliran darah terjadi uremia yang mempengaruhi semua
sistem tubuh, ketidakmampuan mengeluarkan urine (oliguria)
menyebabkan kepekatan urine meningkat sehingga semakin banyak
timbunan produk sampah maka gejala akan semakin besar namun gejala
akan berkurang setelah dialisis (Hemodialilsa). Penyusutan progresif pada
nefron-nefron terjadi pembentukan jaringan parut dan aliran darah ke
ginjal berkurang. Pelepasan renin meningkat dan mengaktifkan sistem
renin angiotensin aldosteron dan tahanan perifer meningkat dan berakibat
hipertensi, dan gangguan pemekatan retensi garam akibatnya kelebihan
cairan dapat menjurus ke gagal jantung kongestif (CHF). Dengan
berkembangnya penyakit renal terjadi asidosis metabolik yang disebabkan
ketidakmampuan ginjal mengekskresikan asam (H+) yang berlebihan.
Penurunan sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus ginjal
mengekresi amonia (NH+) dan absorbsi natrium bikarbonat (HCO3).
Penurunan ekskresi fosfat dan asam organik lain juga terjadi penderita
uremia sering terjadi manifestasi gastrointestinal, meliputi nausea, muntah,

29
anoreksia, foetor uremik dan pada uremia lanjut stomatitis esofagitis,
manifestasi pada kardiovaskuler pada gagal ginjal kronis mencakup
hipertensi akibat retensi cairan dan natrium dari aktivitas angiotensin
aldosteron. Nyeri dada dan sesak napas akibat perikarditis, efusi
perikardial, penyakit jantung koroner akibat arteriosklerosis dini, edema
akibat penimbunan cairan, gejala hematologi, anemia disebabkan
berkurangnya fungsi eritroprotein, sehingga rangsangan entropcoesis pada
sumsum tulang menurun, hemolisis, defisiensi besi, masa perdarahan
panjang, fagositosis, fungsi limfosit menurun. Gejala pada endokrin,
gangguan seksual, libido/ereksi menurun, pada laki-laki impoten,
ammenorrea pada wanita, gangguan toleransi glukosa, gangguan
metabolik lemak. Gejala pada sistem saraf adalah retless leg syndrome,
burning feet syndrome, dan enselofati metabolik, dan manifestasi pada
kulit adalah kulit berwarna pucat, gatal, ekimosis, uremik frost, kulit tipis,
kuku mudah rapuh, kusam dan rontok, gejala psikologi, cemas, penolakan,
depresi.
4 Stroke Multiple Sklerosis.
Multiple sclerosis (MS) adalah suatu penyakit dimana syaraf-syaraf dari
sistim syaraf pusat (otak dan sumsum tulang belakang atau spinal cord)
memburuk atau degenerasi. Myelin , yang menyediakan suatu penutup
atau isolasi untuk syaraf-syaraf, memperbaiki pengantaran (konduksi) dari
impuls-impuls sepanjang syaraf-syaraf dan juga adalah penting untuk
memelihara kesehatan dari syaraf-syaraf.Pada multiple sclerosis,
peradangan menyebabkan myelin akhirnya menghilang.Sebagai
konsekwensinya, impuls-impuls listrik yang berjalan sepanjang syaraf-
syaraf memperlambat, yaitu menjadi lebih perlahan. Sebagai tambahan,
syaraf-syaraf sendiri menjadi rusak. Ketika semakin banyak syaraf-syaraf
yang terpengaruh, seorang pasien mengalami suatu gangguan yang
progresif pada fungsi-fungsi yang dikontrol oleh sistim syaraf seperti
penglihatan, kemampuan berbicara, berjalan, menulis, dan ingatan.
5 Akibat kecelakaan fatal.

30
Cedera kepala telah menyebabkan banyak kematian dan cacat pada usia
kurang dari 50 tahun. Otak bisa mengalami cedera meskipun tidak terdapat
luka yang menembus tulang tengkorak. Berbagai cedera bisa disebabkan
oleh percepatan mendadak yang memungkinkan terjadinya benturan atau
karena perlambatan mendadak yang terjadi jika kepala membentur objek
yang tidak bergerak. Kerusakan otak bisa terjadi pada titik benturan dan
pada sisi yang berlawanan. Cedera ini disebut coup contrecoup (bahasa
Perancis untuk hit-counterhit).
6 AIDS ( Acquired Immunodeficiency Syndrome )
adalah sekumpulan gejala dan infeksi (atau: sindrom) yang timbul karena
rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV atau
infeksi virus-virus lain. Virusnya sendiri bernama Human
Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang
memperlemah kekebalan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus
ini akan menjadi rentan terhadap infeksi oportunistik ataupun mudah
terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat
laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa
disembuhkan.
 Menurut Yosep iyus (2007,175) merumuskan lima tahap ketika seseorang dihadapkan
pada kematian. Kelima tahap tersebut antara lain:
1 Denial (penyangkalan)
Respon dimana klien tidak percaya atau menolak terhadap apa yang dihadapi atau
yang sedang terjadi. Dan tidak siap terhadap kondisi yang dihadapi dan dampaknya.
Ini memungkinkan bagi pasien untuk membenahi diri. Dengan berjalannya waktu,
sehingga tidak refensif secara radikal.Penyangkalan merupakan reaksi pertama ketika
seseorang didiagnosis menderita terminal illness. Sebagian besar orang akan merasa
shock, terkejut dan merasa bahwa ini merupakan kesalahan. Penyangkalan adalah awal
penyesuaian diri terhadap kehidupan yang diwarnai oleh penyakit dan hal tersebut
merupakan hal yangnormal dan berarti.
2 Marah
Fase marah terjadi pada saat fase denial tidak lagi bisa dipertahankan. Rasa kemarahan
ini sering sulit dipahami oleh keluarga atau orang terdekat oleh karena dapat terpicu

31
oleh hal-hal yang secara normal tidak menimbulkan kemarahan. Rasa marah ini sering
terjadi karena rasa tidak berdaya, bisa terjadi kapan saja dan kepada siapa saja tetapi
umumnya terarah kepada orang-orang yang secara emosional punya kedekatan
hubungan.Pasien yang menderita penyakit terminal akan mempertanyakan keadaan
dirinya, mengapa ia yang menderita penyakit dan akan meninggal. Pasien yang marah
akan melampiaskan kebenciannya pada orang-orang yang sehat seperti teman, anggota
keluarga, maupun staf rumah sakit. Pasien yang tidak dapat mengekspresikan
kemarahannya misalnya melalui teriakan akan menyimpan sakit hati. Pasien yang
sakit hati menunjukkan kebenciannya melalui candaan tentang kematian,
mentertawakan penampilan atau keadaannya, atau berusaha melakukan hal yang
menyenangkan yang belum sempat dilakukannya sebelum ia meninggal. Kemarahan
merupakan salah satu respon yang paling sulit dihadapi keluarga dan temannya.
Keluarga dapat bekerja sama dengan terapis untuk mengerti bahwa pasien sebenarnya
tidak marah kepada mereka tapi pada nasibnya.
3 Bargaining (menawar)
Klien mencoba untuk melakukan tawar menawar dengan tuhan agar terhindar dari
kehilangan yang akan terjadi, ini bisa dilakukan dalam diam atau dinyatakan secara
terbuka. Secara psikologis tawar menawar dilakukan untuk memperbaiki kesalahan
atau dosa masa lalu. Pada tahap ini pasien sudah meninggalkan kemarahannya dalam
berbagai strategi seperti menerapkan tingkah laku baik demi kesehatan, atau
melakukan amal, atau tingkah laku lain yang tidak biasa dilakukannya merupakan
tanda bahwa pasien sedang melakukan tawar-menawar terhadap penyakitnya.
4 Depresi
Tahap keempat dalam model Kubler-Ross dilihat sebagai tahap di mana pasien
kehilangan kontrolnya. Pasien akan merasa jenuh, sesak nafas dan lelah. Mereka akan
merasa kesulitan untuk makan, perhatian, dan sulit untuk menyingkirkan rasa sakit
atau ketidaknyamanan. Rasa kesedihan yang mendalam sebagai akibat kehilangan
( past loss & impending loss), ekspresi kesedihan ini verbal atau nonverbal merupakan
persiapan terhadap kehilangan atau perpisahan abadi dengan apapun dan
siapapun.Tahap depresi ini dikatakan sebagai masa ‘anticipatory grief’, di mana pasien
akan menangisi kematiannya sendiri. Proses kesedihan ini terjadi dalam dua tahap,
yaitu ketika pasien berada dalam masa kehilangan aktivitas yang dinilainya berharga,

32
teman dan kemudian mulai mengantisipasi hilangnya aktivitas dan hubungan di masa
depan
5 Penerimaan (acceptance)
Pada tahap ini pasien sudah terlalu lemah untuk merasa marah dan memikirkan
kematian. Beberapa pasien menggunakan waktunya untuk membuat perisapan,
memutuskan kepunyaannya, dan mengucapkan selamat tinggal pada teman lama dan
anggota keluarga.
Pada tahap menerima ini, klien memahami dan menerima keadaannya yang
bersangkutan mulai kehilangan interest dengan lingkungannya,dapat menemukan
kedamaian dengan kondisinya, dan beristirahat untuk menyiapkan dan memulai
perjalanan panjang.
b. Implikasi Keperawatan terhadap Respon Klien
a) Tahap Denial
Beri dukungan pada fase awal karena ini berfungsi protektif dan memberi
waktu bagi klien untuk melihat kebenaran. Bantu untuk melihat kebenaran
dengan konfirmasi kondisi melalui second opinion.
b) Tahap Anger
Bantu klien untuk memahami bahwa marah adalah respon normal akan
kehilangan dan ketidakberdayaan. Siapkan bantuan berkesinambungan agar
klien merasa aman.
c) Tahap Bargaining
Asah kepekaan perawat bila fase tawar menawar ini dilakukan secara diam-
diam. Bargaining sering dilakukan klien karena rasa bersalah atau ketakutan
terhadap bayang-bayang dosa masa lalu. Bantu agar klien mampu
mengekspresikan apa yang dirasakan, apabila perlu datangkan pemuka
agama untuk pendampingan.
d) Tahap Depresi
Klien perlu untuk merasa sedih dan beri kesempatan untuk mengekspresikan
kesedihannya. Perawat hadir sebagai pendamping dan pendengar
e) Tahap Menerima
Klien merasa damai dan tenang. Dampingi klien untuk mempertahankan
rasa berguna (self worth). Berdayakan pasien untuk melakukan segala

33
sesuatu yang masih mampu dilakukan dengan pendampingan. Fasilitasi
untuk menyiapkan perpisahan abadi.

2.5 ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN TERMINAL


A. Pengkajian Pasien Terminal
1. Riwayat Kesehatan Klien
a. Riwayat kesehatan sekarang.
Riwayat ini berisikan mengenai penyakit yang sedang diderita klien
saat ini.
b. Riwayat kesehatan dahulu. Yaitu berisikan mengenai keadaan pasien di
masa lalu, apakah sudah pernah opname di rumah sakit untuk penyakit yang
sama.
c. Riwayat kesehatan keluarga pasien. Riwayat ini berisikan data apakah
anggota keluarga sudah pernah menderita penyakit yang sama dengan yang
klien alami saat ini.
2. Prinsip dan konsep dalam etika keperawatan, budaya, norma, dalam mengkaji
pasien terminal
Beberapa perubahan fisik yang mungkin terjadi saat menjelang kematian
a. pasien cenderung kurang respon terhadap keadaan
b. Melambatnya fungsi tubuh
c. pasien mulai tidak sengaja berkemih atau defekasi
d. Jatuhnya rahang pasien
e. Pernafasan pasien mulai terdengar dangkal, dan tidak teratur
f. Peredaran darah mulai terasa perlambatannya, dan teraba
dingin pada bagian ekstermitas, nadi semakin lemah namun epat.
g. pernafasan mulai tidak teratur dan terdengar dangkal
h. Warna pucat pada kulit
i. mata membelalak serta mulai tidak menunjukkan respon terhadap
rangsangan cahaya
3. Kesadaran pasien terminal. Strause et all dalam Milia dan Wijayanti (2018),
mengkategorikan kesadaran ini dalam 3 kategori:

34
a. Closed Awareness/Tidak Mengerti.
Dalam keadaan ini, biasanya dokter lebih memilih agr tidak menyampaikan
prognose dan diagnose pada keluarga atau klien. Namun, beda untuk
perawat, hal ini akan sangat menyulitkan lantaran perawat
berkontak dengan pasien lebih dekat daripada dokter, dan acapkali ditanya
oleh pasien terkait hal tersebut. Perawat kerap disodorkan berbagai
pertanyaan seperti kapan pasien akan sembuh, atau kapan bisa pulang, dsb.
b. Matual Pretense/Kesadaran/Pengertian yang Ditutupi.
Dalam keadaan ini, bisa dikatakan klien diberikan kesempatan agar bisa
membuat keputusan tentang semua hal yang sifatnya pribadi meskipun itu
menjadi hal yang berat baginya
c. Open Awareness/Sadar akan keadaan dan terbuka.
Dalam tahap ini, pasien dan orang di sekitarnya sudah tahu bahwa ajala
sudah menjelang bagi pasien, dan mereka berusaha untuk menerima serta
mendiskusikannya walaupun tetap merasa getir (Milia & Wijayanti,
2018).
4. Faktor-faktor yang perlu dikaji
a. Kemampuan pasien untuk memenuhi kebutuhan dirinya akan
kebersihan diri meliputi kebersihan kulit, kebersihan rambut dan
kebersihan mulut, kuku serta pemenuhan kebersihan setelah buang air
besar/kecil.
b. Rasa nyeri
Tingkat nyeri yang dirasakan, durasi nyeri, lokal, waktu nyeri,
penyebaran nyeri. Kemampuan pasien untuk menahan nyeri,
bagaimana koping pasien terhadap nyeri. Obat apa saja yang telah
diberikan untuk mengatasi nyeri.
c. Jalan Nafas
Perlu diperhatikan pola nafas, frekuensi nafas, bunyi nafas.
Seringkali bila didapatkan pasien dengan sesak nafas, perlu dilihat juga
apakah menggunakan otot-otot pernafasan. Bila menggunakan oksigen
sebagai bantuan nafas, maka identifikasi kebutuhan oksigen agar tidak
terjadi asidoses metabolik.

35
Bagi pasien yang sadar secara penuh, mungkin akan lebih baik untuk
menerapkan
posisi fowler dan pengeluaran sekresi lendir
penting dilakukan sebagai upaya membebaskan jalan nafas. Namun, bagi
pasien yang tidak sadar, posisi sim bisa menjadi posisi yang baik dengan
dipasangkan drainase dari mulut serta pemberian oksigen.
d. Aktifitas
Perlu diperhatikan apakah pasien masih bisa beraktifitas untuk keperluan
diri sendiri atau sudah bergantung dengan orang lain. Kalo masih
bergantung dengan oang lain, perlu dilihat kembali apakah
tingkat ketergantungan pasien total atau sebagian. Jika kondisi pasien
memungkinkan, maka pasien bisa mulai mobilisasi seperti:
berusaha turun dari ranjang tidur, mengganti posisi tidur agar
mencegah terjadinya decubitus, dan hal ini dilakukan secara
periodic. Bila perlu, bisa menggunakan alat untuk menyangga tubuh
pasien, karena tonus otot sudah menurun.
e. Nutrisi
Acap kali pasien mengalami nausea dan anorexia karena adanya
penurunan gerakan peristaltic dalam tubuhnya. Untuk mengatasi hal ini,
pasien bisa diberikan obat anti ametik untuk mengurangi mual yang
dirasakan, dan meningkatkan rangsangan nafsu makan serta memberikan
makanan dengan tingkat kalori tinggi.
f. Eliminasi
Adanya penurunan, atau bahkan kehilangan tonus otot bisa membuat
pasien mengalami konstipasi, inkontinen feses dan urin. Pemberian obat
laxant bisa dikolaborasikan untuk mencegah terjadinya konstipasi.
Pasien yang mengalami inkontinensia isa diberikan urinal, pispot
secara periodic/ teratur. Selain itu, bisa juga memasangkan duk yang
diganti tiap saat atau bisa juga dilakukan kateterisasi. Kebersihan
pada daerah sekitar perineum perlu selalu dijaga dan diperhatikan, bila
terjadi lecet, harus segera diberikan salep.
g. Perubahan Sensor

36
Klien dengan penyakit terminal stadium
lanjut, sering terjadi penurunan sensori terutama apabila penglihatan klien
berubah menjadi kabur, biasanya pasien mulai menghindari atau menola
untuk menghadapkan kepala ke arah lampu / tempat terang. Pada saat
seperti itu, klien memang masih bisa mendengar, namun mungkin sudah
tidak bisa merespon.
h. Kebutuhan Sosial
Terkadang pasien dalam keadaan terminal perlu ditempatkan pada ruang
tersendiri, terutama klien dengan penyakit khusus, serta dalam upaya
memenuhi seluruh kebutuhan hubungan sosial dan keluarganya, beberapa
hal yang bisa dilakukan perawaat yaitu:
1) Menanyakan pada pasien atau keluarga siapa saja yang ingin dihadirkan
untuk bertemu dengan pasien, dan hal ini bisa didiskusikan bersama
keluarga, missal : teman terdekat, anggota keluarga lain, sanak kerabat.
2) Berupaya menggali perasaan yang dirasakan klien sehubungan
dengan sakitnya saat ini hingga perlu dilakukan diisolasi.
3) Menyarankan saudara dan teman klien untuk lebih sering mengunjungi
serta mengajak orang lain untuk menjenguk.
i. Kebutuhan Spiritual
1) Bertanya kepada klien mengenai harapan hidupnya serta rencana yang
dimiliki klien selanjutnya menjelang kematiannya.
2) Bertanya kepada klien apakah dirinya ingin didatangkan pemuka
agama untuk memenuhi kebutuhan spiritualnya.
3) Mendukung, mendorong, dan klien untuk memenuhi kebutuhan
spiritual sebatas kemampuannya.
B. Perumusan Diagnosa
Masalah keperawatan pada pasien yang menderita penyakit terminal bisa muncul
secara bersamaan. Perumusan diagnosa pasien terminal mengacu pada hasil
pengkajian. Berikut ini kondisi yang sering terjadi pada
pasien terminal, namun tidak menutup
kemungkinan masalah lain yang mungkin muncul. Masalah yang sering terjadi
menurut Potter et.al yaitu:

37
1. Nyeri dapat bersifat akut atau kronis. Bila nyeri akibat kanker progresif
biasanya kronis dan konstan. Setiap sumber iritasi dapat menyebabkan
peningkatan nyeri.
2. Nutrisi tidak adekuat karena penurunan nafsu makan atau akibat gangguan
pencernaan.
3. Gangguan pada sistem pencernaan:
a. Biasanya mual muntah terjadi akibat proses penyakit (kanker) atau akibat
komplikasi lain, serta akibat medikasi.
b. Konstipasi terjadi akibat medikasi narkotikdan immobilitas sehingga
memperlambat paristaltik. Konstipasi terjadi juga bisa karena diet rendah
serat, karena yang masuk hanya cairan. Hal ini karena perubahan nafsu
makan
c. Diare sering terjadi akibat penyakit kanker kolon. Biasa juga terjadi
akibat efek pemberian pengobatan
4. Keletihan terjadi karena tuntutan metabolik kanker sehingga menurunkan
kekuatan otot.
5. Dehidrasi juga bisa terjadi sejalan dengan perkembangan penyakit, hal ini
disebabkan karena pasien tidak mampu mempertahankan asupan cairan. Atau
terjadi akibat obstruksi saluran pencernaan.
6. Inkontinensia urin, biasa terjadi akibat komplikasi penyakit kanker yang
sudah mengalami metastase ke medulla spinalis. Bisa terjadi juga pada pasien
terminal yang sudah mengalami penurunan kesadaran.
7. Ansietas/ kecemasan/ ketakutan individu, keluarga yang diperkirakan bisa
berhubungan dengan situasi yang tidak dikenali, sifat serta kondisi yang tak
dapat diperkirakan, atau merasa takut dengan kematian dan efek negatif pada
pada gaya hidup yang telah dilalui.
8. Pola pernafasan tidak efektif, hal ini bisa muncul paa sebagian pasien dengan
kasus kanker paru terminal, atau akibat penyakit lain yang mengakibatkan
odema paru, serta penyakit paru obstruktif menahun. Atau dipicu adanya
penurunan Hb sehingga kapasitas oksigen dalam paru menurun.

38
9. Duka yang berhubungan dengan penyakit terminal yang dihadapi, terlebih
menjelang kematian, penutunan fungsi, konsep diri yang berubah, dan
berusaha menarik diri dari orang lain.
10. Perubahan proses keluarga yang berkaitan dengan gangguan kehidupan dalam
keluarga, merasa takut dengan hasik kematian, ditambah dengan lingkungan
tempat perawatan yang penuh degan stress (Potter, Perry, Stockert, & Hall, 2021).
C. Perencanaan Keperawatan
Perencanaan keperawatan sebagai intervensi yang harus diberikan pasien dengan
penyakit terminal, perlu memperhatikan tindakantanpa kolaborasi (tindakan mandiri
perawat) serta tindakan kolaboratif.
1. Pemberian analgesik narkotik (kolaborasi) dengan jadua yang teratur untuk
mengatasi nyeri kanker.
2. Manajemen nyeri non farmakologik juga bisa diberikan untuk pasien
terminal dengan nyeri pada ambang batas sedang berat (skala 6-7) dengan
teknik nafas dalam relaksasi, guided immagery, distraksi (pengalihan
perhatian), masagge (stimutor syaraf perifer) untuk memberi peredaan
pada nyeri.
3. Gunakan modifikasi antara pemberian manajemen nyeri farmakologik dan
non farmakologik sesuai dengan perubahan status kesehatan klien.
4. Perlu diberikan perawatan kulit untuk meminimalkan paparan terhadap
iritan, yaitu: perawatan kulit termasuk memandikan setiap pagi sore,
pemberian lotion supaya tidak kering, pengaturan posisi tidur,
penggantian linen dan penataan linen dengan rapi.
5. Berikan perawatan mulut yang sering, durasi 2-4 jam sekali untuk
menekan sensasi mual, dengan menggunakan sikagigi yang lembut. Bibir
dipertahankan lembab dengan memberikan lip gloss
6. Bersihkan mata untuk mempertahankan kebersihan.
7. Diskusikan dengan tim lain (medis,nutritionis) tentang pengobatan
dan diet tetentu untuk mengatasi perubahan pengobatan dengan efek mual dan
muntah serta efek diare/konstipasi.

39
8. Beri pasien periode istirahat yang cukup untuk mengatasi keletihan dengan
ruangan yang nyaman dan tenang. Hal ini berhubungan dengan usaha
penghematan energi pasien terminal.
9. Bila pasien mengalami inkontinenia urin, perawat harus siap dengan linen yang
mudah meresap, antisipasi gesekan dengan kulit karena memudahkan iritasi
kulit, serta menyiapkan perasat kateter jika memungkinkan.
10. Penyediaan nutrisi dengan porsi yang memungkinkan pasien habis
sesuai dengan skala diet yang disajikan. Jika memungkinkan membawa
makanan dari rumah yang disenangi semasa sebelum sakit, sehingga akan
meningkatkan nafsu makan, serta membri kesempatan keluarga untuk
berpartisipasi terhadap pasien
11. Posisikan klien yang bisa meningkatkan pola nafas menjadi efektif,
serta sediakan oksigen yang cukup.
12. Batasi pengunjung yang menyebabkan pasien letih.
Konseling pada pasien terminal-illness dengan T4T (Tips 4 Today) – Konseling pada
pasien yang mempunyai penyakit terminal (Terminal Illnes). Sangat sulit memang di
saat- saat seperti ini, namun sebagai perawat tetap harus rasional dalam
menyampaikan kondisi pasien/klien yang sesungguhnya. Menyampaikan perhatian
harus dalam kemasan situasi, tempat dan bahasa yang “manusiawi” artinya yang
bisa diterima oleh pasien/klien serta keluarganya.
Tidak perlu menolak diagnosis, di saat ini perjuangan dimulai – baik pasien,
keluarga pasien, dokter, dan perawat itu sendiri. Pendampingan tidak hanya ketika
“vonis” pertama kali disampaikan, namun pra- dan pasca vonis itu yang lebih penting
bagi pasien dan keluarganya. Prinsip utama “Jika tidak bisa memperpanjang hidup,
setidaknya mengurangi penderitaan”, sesuai kapasitasku, secara psikologis
tentunya.
Sejujurnya, jika fisik sudah tidak dapat dipertahankan, daya tahan psikologis
seharusnya dapat ditingkatkan. Begitu halnya bagi keluarga yang pagi siang
mendampinginya, dengan tugas melakukan pendampingan saya berharap kesehatan
psikologis keluarga akan dapat meningkatkan daya tahan fisiknya. Ternyata, ada
kecenderungan pasien/klienku – sahabatku - menjadi tidak takut mati, namun takut

40
untuk hidup. “Apa yang dapat saya lakukan jika saya masih diberi hidup namun
dalam kondisi seperti ini …….”.
Perlu kepekaan untuk terus melakukan pendampingan, mengamati pasien/klien dalam
kondisi kritis, mempelajari respon dan kebutuhannya, serta mendekatinya sepanjang
keluarga tidak berkeberatan. Klien akan berusaha untuk mempertahankan praktik
kegiatan spritualnya, dan hal ini akan mempengaruhi bagaimana penerimaannya
terhadap ancaman kematian
1. Bimbingan dan konseling pada pasien terminal
Dalam mengartikan makna bimbinga, ahli di bidang bimbingan dan
konseling memberikan pengertian khusus yang berbeda-beda. Walau demikian,
sebenarnya pengertian yang mereka jelaskan memiliki kesamaan benang merah,
bahwa bimbingan adalah proses pemberian bantuan. Menurut Abu Ahmadi dalam
Sulfikar, dijelaskan bahwasannya bimbingan adalah bantuan yang diberikan
pada individu atau peserta didik, dengan tujuan mengembangkan potensi diri
secara optimum dengan cara memahami diri, memahami lingkungannya,
mengatasi hambatan yang ditemui, agar dapat menentukan rencana masa depan
yang lebih baik (Sulfikar, 2019). Hal serupa juga disampaikan oleh Prayitno
dalam Erman Amti (2004) bahwa bimbingan adalah proses pemberian bantuan
yang dilakanakan oleh orang ahli pada seorang atau beberapa individu, baik itu
anak anak remaja maupun dewasa, supaya orang yang diberikan bimbingan bisa
mengembangkan kemampuan dalam dirinya sendiri dan mandiri dengan cara
memanfaatkan kekuatan dalam individu serta memaksimalkan sarana yang
ada, dan dapat dikembangkan sesuai dengan norma yang berlaku.
Sedangkan menurut Bimo Walgito (2010), dijelaskan bahwa bimbingan
merupakan pertolongan atau bantuan yang diberikan pada individu atau beberapa
individu untuk menghindari atau mengatasi kesulitan di hidupnya, supaya
individu bisa mencapaii kesejahteraan dalam kehidupannya (Walgito,
2010).
Chiskolm juga menjelaskan bahwa bimbingan diadakan untuk membantu setiap
individu agar lebih mengenali berbagai informasi mengenai dirinya sendiri
(Prayitno dan Amti, 2004). Konseling merupakan hubungan secara pribadi yang
dilakukan dengan tatap muka antar dua orang, dimana si konselor menjalani

41
hubungan itu menggunakan kemampuan khususnya Jones menyebutkan bahwa
konseling adalah suatu hubungan yang bersifat professional, antara konselor
terlatih dengan klien. Hubungan yang ada biasanya bersifat individual meski
terkadang melibatkan lebih dari dua orang dan ditujukan untuk membantu klien
supaya memahamii dan memperjelas pandangan terhadap ruang lingkup
hidupnya, sehingga bisa membuat pilihan yang bermakna bagi klien.
2. Pelayanan konseling dan pendampingan
Melalui pendampingan dan konseling, harapannya klien dapat dibantuk utuk
mendapatkan:
a. Perhatian/ attention
Perhatian diberikan kepada lien berupa kehadiran, sapa, senyum, jabat tangan
atau bentuk komunikasi sederhana lain yang bisa bersifat terapeutik, sebagai
tanda tulus, penerimaan, dan sentuhan kasih.
b. Dukungan / sustaining
Dukungan baik psikis, moral, dan spiritual diberikan bagi klien yang
tengah mengalami kesakitan atau faktor lain yang membuat dia sakit
sehingga harus mampu bertahan dalam situasi sulit untuk disembuhkan.
c. Bimbingan / guiding
Bimbingan ini diberikan pada klien yang
Mengalamai kebingungan untuk menentukan keputusan yang bertanggung
jawab, terlebih yang memiliki hubungan dengan pilihan hidup
mendasar.
d. Penyembuhan luka batin / inner healing Adalah penyembuhan yang
dilakukan untuk pasien yang mengalami luka batin, dan luka batin
ini menghalangi dirinya untuk melakukan penghayatan emosionalitas,
sosialitas, dan iman untuk menemukan jati dirinya kembali sebagai seorang
manusia utuh dan unik.
e. Doa/ praying
Diberikan pada klien yang memerlukan, baik pasien yang meminta didoakan
maupun pasien yang perlu didoakan karena kondisinya. Bentuk doa
disesuaikan dengan keyakinan yang dianut.

42
Konsep bimbingan dan konseling pada pasien terminal merupakan suatu
proses yang dilaksanakan secara tatap muka, dimana konselor membantu klien
untuk pemecahan masalah yang berhuungan dengan keadaan yang dihadapi
saat ini. Dalam proses konseling, beberapa hal yang harus terjadi adalah:
1) Hubungan untuk saling percaya satu dengan yang lain
2) Komunikasi terbuka
3) Memberdayakan klien agar klien dapat menentukan
keputusannya sendiri
Komunikasi interpersonal yang baik mengandung komunikasi dua arah,
adanya perhatian pada aspek verbal dan non verbal, penggunaan pertanyaan
untuk menggali informasi, pikiran, perasaan, dan menerapkan sikap mendengar
yang efektif.
1) Komunikasi dengan menggunakan kata-kata Ciri yang baik yaitu
menggunakan kata sederhana dan mudah dimengerti, menghindari kata
yang menyinggung, mengulang kata untuk memperjelas
pertanyaan klien, menyimpulkan, memberi semangat, memberikan
informasi yang dibutuhkan. Beberapa kalimat yang bisa digunakan
untuk menandakan bahwa konselor mendengarkan dengan baik adalah
seperti :Ya, saya mengerti.” “Ya, saya setuju.” “Saya menghargai hal itu”
2) Perilaku yang tidak mendukung dan sebaiknya dihindari yaitu
menasehati, berkhotbah, menilai secara moral, memaksa, menghakimi,
interogasi, keluar dari inti pembicaraan, dan berlebihan.
3) Bentuk : nada, suara, ekspresi wajah, menggerakkan anggota
tubuh, kontak mata.
4) Perlaku ekspresi yang tidak mendukung: memutar bola mata, sering
melihat jauh, mata terlihat kosong, jarak dengan klien jau, mengerutkan
alis, bibir, menggunakan nada suara yang dibuat—buat, berbicara
terlalu cepat, atau justru terlalu lembut, banyak bergerak.
D. Prosedur Bimbingan dan Konseling

43
Image Source:
https://www.vchri.ca/sites/default/files/news_20150
825_counselling.jpg
Langkah-langkah
1. Persiapan alat :
a. Alat peraga berupa leaflet, phantoom dan model
b. Alat perekam

No ELEMEN KEGIATAN

1 Melakukan 1. Mengidentifikasi kebutuhan


pengkajian pada konseling kesehatan pada
kebutuhan pasien terminal
konseling 2. Masalah fisik dan psikis
pasien terminal diidentifikasi.
2 Menyiapkan 3. Tempat konseling disiapkan
tempat konseling dengan benar:
a. Tenang (terjaga privacy
pasien)
b. Aman
c. Nyaman
3 Melaksanakan 4. Salam terapeutik disampaikan
konseling pasien dengan ramah
Terminal 5. Duduk menghadap pasien,
dengan mempertahankan
kontak mata*
6. Eskpresi wajah
menunjukkan perhatian,
sikap bersahabat, tidak
menilai dan dengan
tersenyum

44
7. Kesediaan diri dan waktu
untuk mendengarkan
pasien diucapkan dengan
benar dan hati-hati.*
8. Jaminan kerahasiaan pasien
disampaikan secara hati-hati.
9. Tingkah laku verbal dan
non verbal pasien diperhatikan dengan
seksama.
10. Kesediaan diri untuk
mendengarkan semua yang akan
diungkapkan klien disampaikan
dengan benar.*
11. Alat bantu untuk
memperjelas informasi (alat merekam)
digunakan dengan tepat.*
12. Ungkapan klien direspon secara
konstruktif, beri dukungan
dengan benar*.
13. Informasi diberikan dengan jelas
sesuai kebutuhan pasien
pasien dilakukan dengan seksama.*

14. Klarifikasi pemahaman pasien dengan hati-


hati.*
15. Masalah dirumuskan
dengan seksama bersama pasien.*
16. Alternatif pemecahan
masalah dirumuskan bersama

45
17. Pasien diberi desempatan
mengambil keputusan*
18. Langkah-langkah
pemecahan masalah
dirumuskan bersama pasien
dengan benar*
19. Rujukan (Rohaniwan,
psikolog, psikiater, hospice
care) yang perlu dihubungi
20. Semua pembicaraan
dirangkum dengan jelas
sesuai permasalahan.*
21. Salam diucapkan sebelum
meninggalkan ruangan.
4 Melakukan 22. Upaya tindak lanjut :
evaluasi d kontrak pertemuan ulang
tindak lanjut. dirumuskan
23. Merencanakan tindakan
sesuai dengan hasil
konseling
5 Melakukan 24. Hasil dari proses konseling
pencatatan dalam kesehatan didokumentasi
dokumentasi dengan jelas.
keperawatan 25. Adanya paraf/tanda tangan
dan nama terang konselor
kesehatan

Perawatan lanjutan dirumah sesuai dengan kebijakan Keputusan Menteri


Kesehatan RI Nomor: 812/Menkes/SK/VII/2007 Tanggal: 19 Juli 2007
a. Batasan perawatan lanjutan di rumah
Palliative home care merupakan pemberian perawatan paliatif yang dilaksanakan di
rumah pasien sendiri, dilakukan oleh tenaga paliatif professional dan/atau keluarga
namun tetap di bawah bimbingan/ pengawasan tenaga paliatif profesional.
Adapun tujuan perawatan di rumah yaitu:
1) Menghemat pengeluaran biaya
2) Keluarga bisa lebih intensif memberikan pengawasan dan perawatan pada
anggota yang sakit

46
3) Dapat mengefisiensi waktu dantenaga yang dikeluarkan keluarga
4) Keluarga bisa berdiskusi tentang apa yang keputusan terbaik untuk pasien
5) Kebutuhan pasien dan keluarga bisa lebih banyak terpenuhi dengan
mudah
b. Sistem rujukan
Sistem rujukan merupakan langkah perjalanan pasien untuk malekukan
pemeriksaan kesehatan yang berjenjang. Adapun pelaksanaan sistem
rujukan di negara Indonesia sudah diatur secara bertingkat atau berjenjang, yakni
pelayanan kesehatan untuk tingkat pertama, kedua, dan ketiga. Dalam
pelaksanaannya, ketiga tingkat tidak berdiri sendiri-sendiri, melainkan tetap berada
di suatu sistem dan tetap saling berhubungan. Jika pelayanan kesehatan primer
tidak bisa memberikan tindakan medis tingkat primer, maka tanggung jawab
tersebut ke tingkat pelayanan di atasnya, dan seterusnya. Bila seluruh faktor
pendukung (mulai dari segi pemerintah, segi teknologi, dan segi transportasi)
sudah terpenuhi maka proses tersebut akan berjalan baik, sehingga masyarakat
awam pun akan segera tertangani dengan cepat dan tepat. Sebuah penelitian
menyatakan bahwa ada beberapa hal yang bisa menyebabkan kegagalan dalam
proses suatu rujukan, yaitu tidak ada adanya keterlibatan pihak tertentu yang
seharusnya terlibat, keterbatasan sarana, tidak ada dukungan peraturan. Sampai saat
ini, sebenarnya pelaksanaan sistem rujukan di Indonesia pun masih terus diperbaiki
dan disempurnakan.
. Langkah perawatan lanjut di rumah
Dilaksanakan oleh unit khusus atau hospis (rumah penginapan) melalui keluarga
relawan namun tetap berada di bawah bimbingan perawat terlatih paliatif. Pada
umumnya, perawatan di rumah lebih bisa diterima dan mudah dijangkau daripada
perawatan di rumah sakit, karena pasien biasanya lebih memilih untuk meninggal
di rumah daripada di rumah sakit.
E. Implementasi
1. Ansietas / ketakutan ( individu , keluarga ) yang berhubungan denga situasi yang
tak dikenal. Sifat kondisi yang tak dapat diperkirakan takut akan kematian dan
efeknegative pada gaya hidup. Bantu klien untuk mengurangi ansietasnya :
a) Berikan kepastian dan kenyamanan

47
b) Tunjukkan perasaan tentang pemahman dan empati, jangan menghindari
pertanyaan
c) Doronglah pasien untuk mau menjelaskan tiap ketakutan serta
permasalahan yang berhubungan dengan proses pengobatannya.
d) Mengidentifikasi dan mendukung
e) mekanisme koping efektif klien yang mengalami kecemasan.
f) Ansietas cenderung bisa memperburuk masalah yang sudah ada. Oleh
karenanya, bantu klien yang mengalami peningkatan ansietas tegang,
emosional dan nyeri fisik.
g) Melakukan pengkajian tingkat ansietas klien: membuat rencana
pernyuluhan apabila tingkatnya rendah atau sedang. Beberapa rasa pada takut
biasanya didasari oleh informasi yang tidak akurat, dan hal ini dapat
dihilangkan dengan memberikan edukasi dan informasi akurat. Klien dengan
ansietas berat atau parah cenderung tidak mampu menyerap pelajaran.
h) Memberikan dorongan pada keluarga dan teman untuk dapat
mengungkapkan apa yang mereka takutkan. Pengungkapan ini
memungkinkan keluarga dan teman untuk saling berbagi dan
memberiakan kesempatan bagi keduanya untuk memperbaiki
konsep yang tidak benar.
i) Memberikan klien dan keluarga kesempatan serta penguatan koping
positif. Dengan menghargai klien untuk koping efektif bisa memperkuat
renson koping positif yang akan datang.
2. Klien yang berduka karena penyakit terminal, kematian, dan penurunan fungsi
karena sakit terminal akan :
a. Mengungkapkan rasa kehilangan dan perubahan yang dialaminya
b. Mengungkapkan perasaan yang berhubungan perubahan dan kehilangan
c. Menyatakan kematian akan terjadi Anggota keluarga akan cenderung
berupaya mempertahankan hubungan erat yang efektif, dan hal ini dibuktikan
dengan beberapa cara seperti berikut:
o Menghabiskan waktu sebanyak mungkin bersama klien.
o Memperlihatkan kasih sayang , melaksankaan komunikasi terbuka dengan
klien

48
o Berpartisipasi aktif dalam perawatan Saat menghadapi keadaan seperti di
atas, maka hal yang dapat dilakukan perawat adalah:
 Memberikan kesempatan pada klien serta keluarga untuk mengungkapkan
apa yang mereka rasakan, mendiskusikan kehilangan secara terbuka,
menggali makna pribadi dari kehilangan. Menjelaskan pada pasien dan
keluarga bahwa berduka merupakan reaksi yang lazim terjadi. Mengetahui
informasi bahwa tidak ada lagi pengobatan yang dibutuhkan dan bahwa
kematian sedang menjelang bisa menyebabkan perasaan tidak berdaya,
marah, sedih yang medalam, dan respon berduka yang lainnya. Diskusi
jujur dan terbuka mungkin dapat membantu klien serta anggota keluarga
dalam menerima dan mengatasi keadaan yang terjadi.
 Memberikan dorongan dengan menerapkan strategi koping positif. Stategi
koping positif dapat membantu penerimaan dan pemecahan masalah bagi
pasien dan keluarga.
 Memberikan dorongan kepada klien untuk berani mengekpresikan
manajemen diri yang positif. Memfokuskan pada atribut yang positif
 seperti ini bisa meningkatkan penerimaan diri
 dan kematian yang sedang atau akan terjadi.
 Membantu klien untuk bisa mengatakan dan menerima kematian yang akan
terjadi, berupaya menjawab semua pertanyaan dengan sejujur mungkin.
 Tingkatkan harapan pasien dan keluarga dengan perawatan yang
penuh perhatian, menghilangkan ketidaknyamanan bagi pasien dan
keluarga dan memberikan dukungan sesuai.
3. Perubahan proses keluarga yang berkaitan dengan gangguan kehidupan yaitu mereka
akan cenderung merasa takut dengan hasil (kematian).
Anggota keluarga atau kerabat terdekat mungkin akan :
a. Mencurahkan kekhawatirannya terkait prognosis klien.
b. Menceritakan kekhawatirannnya tentang lingkungan tempat dirawat.
c. Melaporkan fungsi keluarga yang adekuat dan kontinu selama perawatan klien.
Untuk menghadapi hal tersebut, peran yang bisa dilakukan oleh perawat adalah:
a. Meluangkan sebagian waktu untuk keluarga atau orang terdekat klien dan
menunjukkan empati yang baik. Sering melakukan kontak dan

49
mengkomunikasikan perhatian dan peduli pada pasien akan membantuk
mengurangi cemas bagi pasien dan keluarga dan meningkatkan pembelajaran.
b. Mengizinkan keluarga atau orang terdekat klien untuk mengekspresikan
perasaan yang mereka rasakan, berbagi ketakutan dan kekawatiran. Saling
berbagi bisa memungkinkan perawat untuk mengidentifikasi ketakutan dan
kekhawatiran untuk kemudian membuat rencana intervensi mengatasinya.
c. Jelaskan bagaimana tindakan keperawatan dilakukan dan seberapa kemajuan
postoperasi yang dipikirkan dan bila perlu berikan informasi yang mendetail
tentang kemajuan klien.
d. Anjurkan keluarga untuk sesering mungkin berkunjung dan berpartisipasi dalam
melakukan tindakan keperawatan. Kunjungan dan partisipasi yang
intensif bisa meningakatkan interaksi keluarga secara berkelanjutan.
e. Konsultasikan ke sumber komunitas dan sumber lainnya untuk keluarga yang
memiliki masalh seperti kebutuhan finansial, koping yang tidak berhasil,
atau konflik permasalahan yang tidak selesai yang memerlukan sumber- sumber
tambahan untuk membantu mengupayakan pertahanan fungsi keluarga yang
terjalin.Resiko adanya distres spiritual yang berkaitan dengan perpisahan dari
sistem pendukung keagamaan, kurang privasi, atau ketidakmampuan diri untuk
menghadapi ancaman kematian. Dalam keadaan ini, klien akan berusaha
mempertahankan praktik spritualnuya, dan praktik inilah yang akan
mempengaruhi penerimaannya terhadap ancaman kematian.
f. Gali informasi apakah klien ingin melaksanakan praktek atau ritual
keagamaan tertentu, atau spiritual lain yang diinginkan. Hal ini ini bisa
memberikan arti dan tujuan bagi klien dan bisa menjadi sumber kenyamanan
dan kekuatan baginya. Ekspesikan pengertian Anda bahwa praktik religious
adalah hal yang sangat penting pada diri seorang manusia. Hal ini mungkin akan
membantu klien untuk mempertegas aspek religious yang dimilikinya.
g. Berikan privasi serta ketenangan untuk melakukan ritual spiritual sesuai
dengan kebutuhan klien. Privasi dan ketenangan bisa memberikan pasien
lingkungan yang memudahkan perenungan.
h. Bila memungkinkan, tawarkan pada klien untuk berdoa bersama atau
membaca buku keagamaan. Namun bila perawat tidak menganut keyakinan yang

50
sama, Anda tetap dapat membantu klien untuk memenuhi kebutuhan
spritualnya.
i. Tawarkan pada klien untuk mempertemukan dirinya dengan pemuka agama,
pemimpin religius, atau rohaniawan rumah sakit untuk mengatur kunjungan
(Carson 1989 ).
F. Perawatan Paliatif
Perawatan paliatif adalah pendekatan dengan tujuan memperbaiki kualitas hidup pasien
serta keluarga yang tenah menghadapi masalah yang berkaitan dengan penyakit
yang dapat mengancam nyawa.. Prinsip perawatan paliatif:
1. Menghargai setiap detail kehidupan.
2. Menganggap kematian adalah keniscayaan dan termask proses yang normal.
3. Tidak mempercepat dan tidak juga menunda kematian.
4. Menghargai keinginan pasien untuk mengambil keputusan bagi dirinya dan
kehidupannya.
5. Meminimalisir nyeri dan keluhan lain yang menganggu.
6. Mengintegrasikan aspek psikologis, sosial, dan spiritual dalam perawatan pasien
dan keluarga.
7. Menghindari tindakan medis yang sia-sia.
8. Memberikan dukungan yang diperlukan agar pasien bisa tetap aktif sesuai
dengan kondisinya sampai akhir hayat.
9. Memberikan dukungan kepada keluarga dalam fase berduka.
10. Evaluasi Asuhan Keperawatan Pasien Terminal
Semua perawatan paliatif yang dilakukan bisa
dievaluasi dengan memperhatikan beberapa hal berikut:
1. Klien merasakan kenyamanan dan bisa mengekpresikan perasaannya pada
perawat
2. Klien tidak merasa sedih dan siap menerima kenyataan terkait keadaannya
3. Klien selalu ingat kepada Tuhannya
4. Klien sadar bahwa setiap apa yang diciptakan akan kembali kepada
Tuhan YME

51
2.6 MANAJEMEN NYERI DAN TERAPI KOMPLEMENTER
A. Manajemen Nyeri
a. Definisi Nyeri
The International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan
nyeri sebagai “an unpleasant sensory and emotional experience which we
primarily associate with tissue damage or describe in terms of such damage, or
both”
Definisi ini menyatakan bahwa nyeri merupakan phenomena kombinasi dari
aspek sensory, emosional, kognitif dan eksistensi dari keadaan pathology fisik
tidaklah mutlak muncul pada pasien yang sedang mengalami nyeri. (The
IASP, dalam Parrot,2002)
Nyeri merupakan sensasi yang rumit, unik, universal dan bersifat individual.
Walaupun demikian nyeri dapat pula diartikan sebagai suatu sensasi yang tidak
menyenangkan baik secara sensori maupun emosional yang berhubungan
dengan adanya suatu kerusakan jaringan atau factor lain, sehingga individu
merasa tersiksa, menderita yang akhirnya akan mengganggu aktivitas sehari-
hari, psikis dan lain-lain.
b. Etiologi Nyeri
Penyebab nyeri dapat diklasifikasi kedalam dua golongan yaitu penyebab yang
berhubungan dengan fisik dan berhubungan dengan psikis. Secara fisik
misalnya, penyebab adalah trauma (mekanik, thermal, kimiawi maupun
elektrik), neoplasma, peradangan, gangguan sirkulasi darah dan lain-lain.
1. Trauma mekanik menimbulkan nyeri karena ujung-ujung saraf bebas
mengalami kerusakan akibat benturan, gesekan ataupun luka.
2. Trauma thermal menimbulkan nyeri karena ujung saraf reseptor mendapat
rangsangan akibat panas atau dingin.
3. Trauma kimiawi terjadi karena tersentuh zat asam atau basa yang
kuat.Trauma elektrik dapat menimbulkan nyeri karena pengaruh aliran
listrik yang kuat mengenai reseptor rasa nyeri.
4. Neoplasma menyebabkan nyeri karena terjadinya tekanan atau kerusakan
jaringan yang mengandung reseptor nyeri dan juga karena tarikan, jepitan
atau metastase.

52
5. Nyeri pada peradangan terjadi karena kerusakan ujung-ujung saraf reseptor
akibat adanya peradangan atau terjepit oleh pembengkakan. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa nyeri yang disebabkan oleh faktor fisik berkaitan
dengan terganggunya serabut saraf reseptor nyeri.
6. Nyeri yang disebabkan oleh factor psikologis merupakan nyeri yang
dirasakan bukan karena penyebab organic, melainkan akibat trauma
psikologis dan pengaruhnya terhadap fisik. Nyeri karena factor ini disebut
pula psychogenic pain.
c. Klasifikasi Nyeri
Nyeri dapat diklasifikasikan kedalam beberapa golongan berdasarkan pada
tempat, sifat, berat ringannya nyeri dan waktu lamanya serangan.
1. Nyeri berdasarkan tempatnya;
a. Pheriperal pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh misalnya
pada mukosa, kulit.
b. Deep pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh yang lebih
dalam atau pada organ-organ tubuh visceral.
c. Refered pain, yaitu nyeri dalam yang disebabkan karena penyakit
organ/struktur dalam tubuh yang ditransmisikan kebagian tubuh didaerah
yang berbeda, bukan daerah asal nyeri.
d. Central pain, yaitu nyeri yang terjadi karena perangsangan pada system
saraf pusat, spinal cord, batang otak, thalamus dan lain-lain.
2. Nyeri berdasarkan sifatnya;
a. Incidental pain, yaitu nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu menghilang.
b. Steady pain, yaitu nyeri yang timbul dan menetap serta dirasakan dalam
waktu yang lama.
c. Paroxysmal pain, yaitu nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi dan kuat
sekali. Nyeri tersebut biasanya menetap sekitar 10-15 menit, lalu
menghilang, kemudian timbul lagi.
3. Nyeri berdasarkan berat-ringannya;
a. Nyeri rendah , yaitu nyeri dengan intensitas rendah
b. Nyeri sedang, yaitu nyeri yang menimbulkan reaksi.
c. Nyeri berat, yaitu nyeri dengan intensitas yang tinggi.

53
4. Nyeri berdasarkan waktu lamanya serangan;
a. Nyeri akut, yaitu nyeri yang dirasakan dalam waktu yang singkat dan
berakhir kurang dari enam bulan, sumber dan daerah nyeri diketahui
dengan jelas. Rasa nyeri mungkin sebagai akibat dari luka, seperti luka
operasi, ataupun pada suatu penyakit arteriosclerosis pada arteri koroner.
b. Nyeri kronis, yaitu nyeri yang dirasakan lebih dari enam bulan. Nyeri
kronis ini polanya beragam dan berlangsung berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun.
d. Patofisiologi Nyeri
Berdasarkan karakteristik klinis yang muncul, timbul banyak opini mengenai
jenis-jenis mekanisme terjadinya nyeri. Sebuah klasifikasi berdasarkan
patofisiologi, membagi secara luas sindrom nyeri, yaitu nociceptive,
neuropathic, psychogenic dll. Sedangkan dalam diktat ini akan dibahas lebih
lanjut mengenai patofisiologi nyeri nociceptive.
Nociceptive Pain Secara klinis, sensasi nyeri dikatakan “nociceptive” jika nyeri
tersebut secara langsung berkaitan dengan derajat kerusakan jaringan. Nyeri
nociceptive yang terjadi diasumsikan sebagai hasil dari aktivasi normal system
nociceptive oleh noxious stimuli. Nociception terdiri dari empat proses :
transduction, transmission, modulation dan perception. Somatosensory secara
normal memproses kerusakan jaringan yang didalam prosesnya terjadi interaksi
antara system saraf afferent dan inflamasi yang menyertai. Nociceptors
(serabut delta A dan C) termasuk didalam System afferent primer, adalah saraf
efferent dengan diameter kecil dan merespon kepada noxious stimuli dan dapat
ditemukan dikulit, otot, sendi dan jaringan visceral tubuh. Noxious stimuli
yang dimaksud adalah Bradikinin, Prostaglandin dan substansi/zat P.
1. Bradikinin.
Merupakan vasodilator kuat yang meningkatkan permeabilitas kapiler dan
mengkonstriksi otot halus. Zat ini mempunyai peran penting dalam proses
kimia dari nyeri, baik ditempat sebuah luka terjadi bahkan sebelum impuls
yang dikirim sampai keotak. Zat ini merangsang pelepasan Histamin dan
bersamaan dengan histamine menyebabkan kemerahan, bengkak dan nyeri
biasanya akan lebih diperhatikan bila timbul peradangan.

54
2. Prostaglandin.
Merupakan zat yang menyerupai hormone yang mengirim stimuli nyeri
tambahan ke system saraf pusat.
3. Substansi/zat P.
Merupakan zat yang dipercaya bertindak sebagai stimulant dilokasi reseptor
nyeri dan mungkin juga terlibat dalam respon inflamasi (peradangan) di
jaringan loc al (Fuller & Schaller-Ayers,1990 dalam Taylor, 1993)
Proses nociceptive dimulai dengan aktivasi receptor-receptor spesifik ini,
yang mengarah ke transduksi; sebuah proses yang menyebabkan terjadinya
depolarisasi saraf peripheral akibat terpajannya saraf dengan stimulus yang
tepat. Setelah depolarisasi terjadi, transmisi dari informasi berlanjut ke
akson disepanjang medulla spinalis menuju otak. Kemudian terjadilah
proses perubahan bentuk sinyal (modulasi) terhadap input disetiap tingkatan
neuroaksis. Perubahan ini melibatkan aktiivitas saraf afferent dan efferent,
dan terjadi di bagian dorsal horn dari medulla spinalis. Informasi yang
sampai dihipothalamus dan struktur otak lain kemudian dikenali sebagai
rasa nyeri. Proses ini disebut perception.
Nyeri neuropatik, Nyeri ini biasanya bertahan lebih lama dan merupakan
proses input sensorik yang abnormal oleh sistem saraf perifer.
Mekanismenya mungkin karena dinamika alami pada sistem saraf,
misalnya: Pasien mungkin akan mengalami : rasa terbakar, hyperalgesia dll.
Neri Psikogenik, terjadi karena sebab yang kurang jelas atau susah
diidentifikasi, bersumber dari emosi atau psikis dan biasanya tidak disadari.
Contoh : orang yang marah tiba-tiba merasa nyeri pada dadanya.
e. Penanganan Nyeri (Pain Management)
Managemen nyeri atau Pain management adalah salah satu bagian dari
displin ilmu medis yang berkaitan dengan upaya-upaya menghilangkan nyeri
atau pain relief. Management nyeri ini menggunakan pendekatan
multidisiplin yang didalamnya termasuk pendekatan farmakologikal
(termasuk pain modifiers), non farmakologikal dan psikologikal.
Setiap orang memiliki persepsi yang sangat berbeda dengan orang lain
terhadap nyeri yang mungkin sedang dialami. Perbedaan inilah yang

55
mendorong perawat untuk meningkatkan kemampuan dalam menyediakan
peningkatan rasa nyaman bagi klien dan mengatasi rasa nyeri. Hal yang
sangat mendasar bagi perawat dalam melaksanakannya adalah kepercayaan
perawat bahwa rasa nyeri yang dialami oleh kliennya adalah sungguh nyata
terjadi, kesediaan perawat untuk terlibat dalam menghadapi pengalaman nyeri
yang dialami oleh klien dan kompetensi untuk terus mengembangkan upaya-
upaya mengatasi nyeri atau pain management.
Strategi keperawatan utama yang spesifik dalam meningkatkan rasa nyaman
bagi pasien yang sedang mengalami nyeri, bersifat farmakologi dan non
farmakologi. Tapi Tindakan mengatasi nyeri – pain management, yang dapat
dilakukan oleh perawat sebagai penyedia asuhan keperawatan.
1. Managemen Nyeri Farmakologikal
Yaitu terapi farmakologis untuk menanggulangi nyeri dengan cara
memblokade transmisi stimulan nyeri agar terjadi perubahan persepsi dan
dengan mengurangi respon kortikal terhadap nyeri.
Adapun obat yang digunakan untuk terapi nyeri adalah
a. Analgesik Narkotik
menghilangkan nyeri dengan merubah aspek emosional dari
pengalaman nyeri (misal : persepsi nyeri).
b. Analgesik Lokal
Analgesik bekerja dengan memblokade konduksi saraf saat diberikan
langsung keserabut saraf.
c. Analgesik yang dikontrol klien
sistem analgesik yang dikontrol klien terdiri dari impus yang diisi
narotika menurut resep, dipasang dengan pengatur padalubang injeksi
intravena.
d. Obat – obat nonsteroid
obat.obat non steroid non inflamasi bekerja terutama terhadap
penghambat sintesa prostaglandin. Pada dosis rendah obat-obat ini
bersifat analgesik. Pada dosis tinggi obat ini bersifat anti
inflamatori,sebagai tambahan dari khasiat analgesik.
2. Managemen Nyeri Non Farmakologikal

56
Merupakan upaya-upaya mengatasi atau menghilangkan nyeri dengan
menggunakan pendekatan non farmakologi. Upaya-upaya tersebut antara
lain dengan distraksi, relaksasi, massage, akupuntur oleh akupunturist,
therapy music, pijatan, dan guided imaginary yang dilakukan oleh
seseorang yang ahli dibidangnya dan disebut sebagai therapist.
Setiap individu membutuhkan rasa nyaman. Kebutuhan rasa nyaman ini
dipersepsikan berbeda pada tiap orang. Dalam konteks asuhan
keperawatan, perawat harus memperhatikan dan memenuhi rasa nyaman.
Gangguan rasa nyaman yang dialami oleh klien diatasi oleh perawat
melalui intervensi keperawatan.
f. Tujuan Penatalaksanaan Nyeri
1. Mengurangi intensitas dan durasi keluhan nyeri
2. Menurunkan kemungkinan berubahnya nyeri akut menjadi gejala nyeri
kronis yang persisten
3. Mengurangi penderitaan dan ketidakmampuan akibat nyeri
4. Meminimalkan reaksi tak diinginkan atau intoleransi terhadap terapi nyeri
5. Meningkatkan kualitas hidup pasien dan mengoptimalkan kemampuan
pasien untuk menjalankan aktivitas sehari-hari
g. Faktor Yang Mempengaruhi Respon Nyeri
1. Usia
1) Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus
mengkaji respon nyeri pada anak.
2) Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan
mengalami kerusakan fungsi.
3) Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka
mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka
takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri
diperiksakan.
2. Jenis kelamin
3. Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan
seseorang cemas.

57
4. Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat
ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi nyerinya.
Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung pengalaman di
masa lalu dalam mengatasi nyeri
5. Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri dan
sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan seseorang
mengatasi nyeri.
6. Support keluarga dan social Individu yang mengalami nyeri seringkali
bergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh
dukungan dan perlindungan,dll
h. Metode yang Digunakan untuk Menghilangkan Nyeri
1. Distraksi
Distraksi adalah metode pengalihan perhatian dari "persepsi" rasa nyeri.
Dengan mengalihkan perhatian, kita bisa mengurangi fokus terhadap
respon nyeri. Distraksi bisa diterapkan untuk rasa nyeri ringan dan sedang,
untuk rasa nyeri berat obat masih menjadi pilihan paling tepat.
Contoh dari metode distraksi dalam mengurangi rasa nyeri adalah
melakukan kegiatan ringan untuk mengalihkan "persepsi" rasa nyeri, bisa
dengan mengobrol, menonton tv, atau dengan menikmati pemandangan
alam.
Dengan menerapkan metode distraksi untuk mengurangi rasa nyeri akan
menghindari dampak negatif dari obat kimia, seperti yang dijelaskan di
atas, distraksi bisa diterapkan pada nyeri ringan dan sedang, untuk itu pada
kasus rasa nyeri berat harus ditangani dengan obat/tindakan medis.
2. Relaksasi
Teknik relaksasi dapat mengurangi ketegangan otot dan mengurangi
kecemasan. Membantu klien dengan teknik relaksasi , bidan dapat
mengenal nyeri klien dan ekspresi kebutuhan dibantu dari klien untuk
mengurangi distress yang disebabkan oleh nyerinya.
Teknik relaksasi lebih efektif untuk klien dengan nyeri kronik.

58
Relaksasi memberikan efek positif untuk klien yang mengalami nyeri,
yaitu:
a. Memperbaiki kualitas tidur
b. Memperbaiki kemampuan memecahkan masalah
c. Mengurangi keletihan / fatigue
d. Meningkatkan kepercayaan dan perasaan dapat mengontrol diri dalam
mengatasinyeri
e. Mengurangi efek kerusakan fisiologi dari stress yang berlanjut atau
berulang karena nyeri
f. Pengalihan rasa nyeri/distraksi.
g. Meningkatkan keefektifan teknik – teknik pengurangan nyeri yang lain.
h. Memperbaiki kemampuan mentoleransi nyeri
i. Menurunkan distress atau ketakutan selama antisipasi terhadap nyeri.
Secara umum untuk melakukan teknik relaksasi membutuhkan 4 hal, yaitu:
a. Berikan posisi yang nyaman
b. Dilakukan dalam lingkungan yang tenang
c. Mengulang kata-kata, suara, phrase, doa-doa tertentu
d. Melakukan sikap yang pasif saat mendistraksi klien.
3. Imagery
Klien dapat menggunakan imagery /membayangkan untuk menurunkan
nyeri.Imagery sesuatu yang menyenangkan.Imagery dapat digunakan lebih
efektif pada klien dengan nyeri kronik dari pada nyeri akut, atau nyeri
berat. Bidan dapat mengajarkan klien untuk menggunakan teknik imagery
dengan melakukan guided imagery.
4. Stimulasi Kutan
Teknik dengan menstimulasi permukaan kulit untuk mengurangi
nyeri. Meintz (1995) menyatakan bahwa massage, salah satu
bentuk stimulasi kutan, dapat mengurangi kecemasan dan persepsi nyeri
pada klien dengan kanker. Stimulasi kutan, meliputi:
a. Massage
b. Kompres hangat atau dingin, atau keduanya bergantian
c. Accupressure

59
d. Stimulasikon trilateral.

5. Anestesi
Anestesi secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit
ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang
menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama
kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846.
a. Pengelompokan Anestesi
Obat untuk menghilangkan nyeri terbagi ke dalam 2 kelompok,
yaitu analgetik dan anestesi. Analgetik adalah obat pereda nyeri tanpa
disertai hilangnya perasaan secara total. seseorang yang mengonsumsi
analgetik tetap berada dalam keadaan sadar.
b. Analgetik tidak selalu menghilangkan seluruh rasa nyeri, tetapi selalu
meringankan rasa nyeri. Beberapa jenis anestesi menyebabkan
hilangnya kesadaran, sedangkan jenis yang lainnya hanya
menghilangkan nyeri dari bagian tubuh tertentu dan pemakainya tetap
sadar.
c. Tipe Anestesi
a) Pembiusan total — hilangnya kesadaran total.
b) Pembiusan lokal — hilangnya rasa pada daerah tertentu yang
diinginkan (pada sebagian kecil daerah tubuh). Pembiusan lokal
atau anestesi lokal merupakan salah satu jenis anestesi yang hanya
melumpuhkan sebagian tubuh manusia dan tanpa menyebabkan
manusia kehilangan kesadaran. Obat bius jenis ini bila digunakan
dalam operasi pembedahan, maka setelah selesai operasi tidak
membuat lama waktu penyembuhan operasi.
c) Pembiusan regional — hilangnya rasa pada bagian yang lebih luas
dari tubuh oleh blokade selektif pada jaringan
spinal atau saraf yang berhubungan dengannya.
6. Terapi Musik

60
Terapi musik terdiri dari 2 kata, yaitu kata “terapi” dan “musik”.
Terapi (therapi) adalah penanganan penyakit (Brooker, 2001). Terapi juga
diartikan sebagai pengobatan (Laksman, 2000). Sedangkan musik adalah
suara atau nada yang mengandung irama. Terapi musik adalah keahlian
menggunakan musik atau elemen musik oleh seseorang terapis untuk
meningkatkan, mempertahankan dan mengembalikan kesehatan mental,
fisik, emosional dan spiritual.
Dalam kedokteran, terapi musik disebut sebagai terapi pelengkap
(Complementary Medicine), Potter juga mendefinisikan terapi musik
sebagai teknik yang digunakan untuk penyembuhan suatu penyakit dengan
menggunakan bunyi atau irama tertentu. Jenis musik yang digunakan
dalam terapi musik dapat disesuaikan dengan keinginan, seperti musik
klasik, instrumentalia, dan slow musik.
Menurut Willougnby (1996), musik adalah bunyi atau nada yang
menyenangkan untuk didengar. Musik dapat keras, ribut, dan lembut yang
membuat orang senang mendengarnya. Orang cenderung untuk
mengatakan indah terhadap musik yang disukainya. Musik ialah bunyi
yang diterima oleh individu dan berbeda bergantung kepada sejarah,
lokasi, budaya dan selera seseorang.
B. Terapi Komplementer
a. Pengertian Terapi Komplementer
Terapi komplementer adalah cara penanggulangan penyakit yang dilakukan
sebagai pendukung kepada pengobatan medis konvensional atau sebagai
pengobatan pilihan lain di luar pengobatan medis yang konvensional.
Terapi komplementer adalah pengobatan non konvensional yang bukan berasal
dari negara yang bersangkutan. Misalnya, jamu bukan termasuk pengobatan
komplementer tetapi merupakan pengobatan tradisional (WHO).
b. Tujuan Terapi Komplementer
Terapi komplementer bertujuan untuk memperbaiki fungsi dari sistem – sistem
tubuh, terutama sistem kekebalan dan pertahanan tubuh agar tubuh dapat
menyembuhkan dirinya sendiri yang sedang sakit, karena tubuh kita
sebenarnya mempunyai kemampuan untuk menyembuhkan dirinya sendiri,

61
asalkan kita mau mendengarkannya dan memberikan respon dengan asupan
nutrisi yang baik lengkap serta perawatan yang tepat.
c. Jenis – Jenis Terapi Komplementer
1. Nutrisi (Nutritional Therapy);
2. Terapi herbal (Herbal Therapy);
3. Terapi psiko – somatik (Mind – Body Therapy);
4. Terapi spiritual berbasis doa (Spiritual Therapy Based On Prayer).
d. Obat – Obat Terapi Komplementer
1. Bersifat natural yaitu mengambil bahan dari alam, seperti jamu – jamuan,
rempah yang sudah dikenal (jahe, kunyit, temu lawak dan sebagainya);
2. Pendekatan lain seperti menggunakan energi tertentu yang mampu
mempercepat proses penyembuhan, hingga menggunakan doa tertentu
yang diyakini secara spiritual memiliki kekuatan penyembuhan.
e. Metode Terapi Komplementer
1. Yoga;
2. Akupuntur;
3. Pijat refleksi;
4. Chiropractic;
5. Tanaman obat herbal;
6. Homeopati, natuopati;
7. Terapi polaritas atau reiki;
8. Tekhnik – tekhnik relaksasi;
9. Hipnoterapi, meditasi dan visualisasi.
f. Aspek Legal Terapi Komplementer
1. Undang – Undang RI No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan
a. Pasal 1 butir 16, pelayanan kesehatan tradisional adalah pengobatan dan
atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman
dan keterampilan turun – temurun secara empiris yang dapat
dipertanggung jawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang
berlaku di masyarakat;
b. Pasal 48 tentang pelayanan kesehatan tradisional;
c. Bab III Pasal 59 s/d 61 tentang pelayanan kesehatan tradisonal.

62
2. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1076/Menkes/SK/2003 tentang
pengobatan tradisional;
3. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 120/Menkes/SK/II/2008 tentang
standar pelayanan hiperbarik;
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1109/Menkes/Per/IX/2007 tentang
penyelenggaraan pengobatan komplementer – alternatif di fasilitas
pelayanan kesehatan;
5. Keputusan Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik, No.
HK.03.05/I/199/2010 tentang pedoman kriteria penetepan metode
pengobatan komplementer – alternatif yang dapat diintegrasikan di
fasilitas pelayanan kesehatan.
g. Kendala Terapi Komplementer
1. Masih lemahnya pembinaan dan pengawasan;
2. Terbatasnya kemampuan tenaga kesehatan dalam melakukan bimbingan;
3. Terbatasnya anggaran yang tersedia untuk pelayanan kesehatan
komplementer;
4. Belum memadainya regulasi yang mendukung pelayanan kesehatan
komplementer;
5. Terapi komplementer belum menjadi program prioritas dalam
penyelenggaraan pembangunan kesehatan.
Perberdaan Terapi Komplementari dengan Terapi Alternatif

Pengobatan alternatif adalah jenis pengobatan yang tidak dilakukan oleh


paramedis/dokter pada umumnya, tetapi oleh seorang ahli atau praktisi yang
menguasai keahliannya tersebut melalui pendidikan yang lain/non medis.
Pengobatan komplementer adalah pengobatan tradisional yang sudah diakui
dan dapat dipakai sebagai pendamping terapi konvesional /medis

63
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien (dewasa dan anak-anak) dan keluargadalam menghadapi penyakit yang
mengancam jiwa, dengan cara meringankan penderita dari rasa sakit melalui identifikasi
dini, pengkajian yang sempurna, dan penatalaksanaan nyeri serta masalah lainnya baik
fisik, psikologis, sosial atau spiritual. Menurut International Association for Study of Pain
(IASP), nyeri merupakan pengalaman sensoris subyektif dan emosional yang tidak
menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan yang nyata, berpotensi
rusak, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Intensitas nyeri adalah
gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas
nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama
dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda.
Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan
respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri.

3.2 Saran
Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan pada makalah ini. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan sekali kritik yang membangun bagi makalah ini, agar penulis
dapat berbuat lebih baik lagi di kemudian hari. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.

64
DAFTAR PUSTAKA

1. Yanto. 2018. Pengkajian fisik psikologis dalamkeperawatan palatif. Tersedia pada


https://www.scribd.com/document/388723641/pengkajian-fisik-psikologi-keperawatan-
paliatif. Diakses pada tanggal 31 Maret 2019 Pukul 09.28 WITA
2. Campbell, M. L. (2013). Nurse to nurse : perawatan paliatif. Diterjemahkan oleh
Daniaty, D. Jakarta : Salemba Medika
3. Hill, K & Coyne, I. (2012). Palliative Care Nursing For Children In The Uk and Ireland.
British Journal Of Nursing. Vol. 21. No. 5.
4. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2019). Government Autority In Palliative
Care Development in Indonesia.
5. Kepmenkes RI Nomor : 812/MENKES/SK/VII/2007 Tentang Kebijakan Perawatan
Paliatif: Menteri Kesehatan Republik Indone

65

You might also like