Metodologi Fatwa Dan Produk Fatwa DSN Mata Kuliah Hes (Hukum Ekonomi Syariah)

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 18

METODOLOGI FATWA DAN PRODUK FATWA DSN

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Ekonomi Syariah


Dosen Pengampu: Bahtiar Effendi, M.E

Disusun Oleh:
Kelompok 9
1. 1. Muhammad Irzyad Arkan (4120118)
2. 2. Lili Mafela (4120119)
3. 3. Erfa Salwa Nahdliana (4120123)

KELAS E
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UIN K.H. ABDURRAHMAN WAHID PEKALONGAN
TAHUN AKADEMIK 2022/2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.


Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. Pencipta alam semesta
ini, yang telah memberikan nikmatnya sehingga penulis bisa menyusun makalah
ini dengan tepat waktu. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada
baginda kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam jahiliyah
menuju alam yang terang benderang seperti yang kita rasakan saat ini.
Tidak lupa, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Bahtiar
Effendi, M.E. selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum Ekonomi Syariah,
sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas
dari mata kuliah Hukum Ekonomi Syariah yang berjudul “Metodologi Fatwa dan
Produk Fatwa DSN”. Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di
dalamnya.
Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk
makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik
lagi. Demikian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya. Demikian, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi semuanya dan dapat menambah ilmu pengetahuan. Sekian dan
terima kasih.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Pekalongan, 06 September 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................ii

DAFTAR ISI....................................................................................................................iii

BAB I................................................................................................................................1

PENDAHULUAN.............................................................................................................1

A. Latar Belakang.......................................................................................................1

B. Rumusan Masalah..................................................................................................2

C. Tujuan Penulisan....................................................................................................2

BAB II...............................................................................................................................3

PEMBAHASAN...............................................................................................................3

A. Konsep Fatwa.........................................................................................................3

B. Ruang Lingkup Fatwa............................................................................................4

BAB III...........................................................................................................................13

PENUTUP.......................................................................................................................13

A. Simpulan..............................................................................................................13

B. Saran....................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemajuan peradaban yang lahir dari kemajuan ilmu pengetahuan


dan teknologi menghasilkan permasalahan hukum Islam kontemporer di
Indonesia yang membutuhkan ijtihad1 oleh para ulama di Indonesia. Hal
ini disebabkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi melahirkan
dilema kemanusiaan, terutama yang berkaitan dengan aspek hukum dan
moral(Izmuddin, 2018). Seiring dengan pertumbuhan industri ekonomi
syariah setelah tahun 1998, peran ulama, khususnya MUI, juga semakin
berkembang. Untuk aktivis gerakan ekonomi Islam, birokrat negara dan
bisnis Sebagai aktor, MUI dipandang sebagai wakil ulama yang memiliki
ilmu agama urusan. Apalagi peran sejarah MUI dalam berdirinya In made
keunggulannya dalam tata kelola industri ekonomi Islam tidak perlu
dipertanyakan lagi. Pada tahun 1999, Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia -MUI), lahir dengan Keputusan MUI No. Kp.
754/MUI/II/1999(Al Banna Choiruzzad & Nugroho, 2013).

Dalam konteks ini, fatwa MUI sangat urgen bagi umat Islam
Indonesia agar produk-produk teknologi modern dapat bersinergi dengan
kaidah-kaidah syariat Islam. Sehingga produk ilmu pengetahuan dan
teknologi dapat sejalan dengan tauhid, keimanan dan ketaqwaan kepada
Allah SWT. Sejalan dengan hal tersebut di atas, para ulama Indonesia
yang tergabung dalam organisasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah
melakukan transformasi hukum Islam dalam bentuk fatwa yang cukup
beragam. Keberagaman tersebut bersumber dari beragamnya
permasalahan yang muncul dalam masyarakat Indonesia. MUI sebagai
lembaga kajian hukum dan pemberi fatwa tetap berpegang pada semangat

1
melahirkan ide-ide hukum dan aspek keagamaan lainnya sesuai dengan
ajaran Al-Qur'an dan hadits dalam menjalankan fungsinya(Jamaa, 2018).

Dalam pembahasan ini, pemakalah akan mencoba untuk membahas


materi tentang ruang lingkup dan konsep fatwa. Menurut penulis, bahwa
pembahasan ini penting untuk dibahas karena mencangkup hukum islam
yang beroperasi pada industri ekonomi di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep fatwa?
2. Apa definisi, syarat, kedudukan, kaidah, metodologi, dan produk
fatwa?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui dan memahami konsep fatwa.
2. Untuk mengetahui definisi, syarat, kedudukan, kaidah, metodologi,
dan produk fatwa.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Fatwa

Fatwa adalah salah satu jenis produk pemikiran hukum Islam.


Fatwa berarti jawaban atas pertanyaan, atau “hasil ijtihad” atau ketetapan
hukum, yaitu ketetapan hukum tentang sesuatu masalah atau peristiwa
yang dinyatakan oleh seorang mujtahid, sebagai hasil ijtihadnya.(Nova,
2016) Fatwa lahir karena ada pertanyaan dan permintaan pendapat atas
suatu kasus. Pertanyaan dan atau permintaan bisa bersifat perseorangan
dan kolektif. Pertanyaan dan atau permintaan bisa juga datang dari
lembaga pemerintah. Yang disebut terakhir adalah pintu terrawan yang
mempengaruhi hasil keputusan fatwa terutama menyangkut dukungan
atas sejumlah kebijakan(Kau, 2010).

Secara historis, fatwa telah dilakukan oleh Nabi saw. Beliau adalah
mufti pertama dan utama. Pada masa Nabi saw., berbagai pertanyaan
menyangkut persoalan agama dan lebih khusus bidang hukum ditanyakan
langsung kepada Nabi saw. Pertanyaan-pertanyaan tersebut ada yang
dijawab melalui turunnya wahyu Allah dan ada yang dijawab melalui
hadis Rasulullah. Sepeninggal Nabi saw kegiatan pemberian fatwa
semakin berkembang karena perkembangan agama Islam dan masyarakat
Muslim yang semakin meluas dan kompleks di mana banyak kasus-kasus
baru timbul dan mengundang masyarakat untuk bertanya mengenai
ketentuan hukumnya. Kegiatan fatwa terus berkembang sepanjang zaman
klasik dan tengah Islam hingga zaman modem baik secara kuantitatif
maupun kualitatif. Pada zaman modern fatwa tidak hanya disampaikan
secara individual kepada penanya, melainkan untuk penyebarannya
digunakan berbagai media komunikasi yang tersedia seperti radio, surat
kabar, majalah, bahkan internet, sehingga penyebaran fatwa menjadi lebih

3
luas dan tidak hanya dibaca oleh pemintanya tetapi juga dapat diakses
oleh pembaca lain. Selain itu pada zaman modern fatwa, di samping
dilakukan oleh mufti perorangan, juga dikeluarkan oleh institusi yang
melibatkan mufti-mufti secara kolektif (jamâ’î). Fatwa-fatwa Majelis
Ulama Indonesia, dan fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN)(Nova,
2016).

Persoalan umat memang semakin maju seiring dengan


perkembangan zaman. Sehingga hukum Islam harus dapat mencover
setiap persoalan yang muncul. Fatwa yang ditetapkan oleh DSN-MUI
memiliki sifat yang moderat (tawasuth). Artinya, tidak terlalu berpacu
kepada teks nash dan juga tidak keluar dari mafhum al-nash serta
mempertimbangkan tingkat kemaslahatan umum (tasahul). Pertimbangan
kemaslahatan harus ditentukan dengan jelas dan pasti. Sehingga tidak ada
alasan apapun untuk mendahulukan kepentingan bisnis dengan melanggar
ketentuan nash. Fatwa yang ditetapkan DSN-MUI berkaitan dengan jenis-
jenis kegiatan, produk dan sistem operasional jasa keuangan syariah.
Dalam penetapan fatwa, DSN-MUI tidak hanya mengeluarkan fatwa
secara mandiri. Artinya, selalu melibatkan pihak lain yang berkepentingan
seperti Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, pelaku usaha dan para
ahli di bidangnya(Nurjaman & Ayu, 2021).

B. Ruang Lingkup Fatwa


1. Definisi Fatwa

Fatwa secara etimologis berarti al-ibânah yang menjelaskan,


dengan kata lain menjelaskan jawaban atas pertanyaan yang diajukan.
Sedangkan menurut terminologi adalah menjelaskan hukum syar'i suatu
masalah sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh orang yang
meminta fatwa, baik individu maupun kolektif, baik yang diketahui
maupun yang tidak diketahui. Tindakan memberi fatwa disebut al-iftâ',

4
yang memberi fatwa disebut mufti, sedangkan yang meminta fatwa
disebut mustaf(Izmuddin, 2018).

Fatwa menurut bahasa berarti jawaban mengenai suatu kejadian


(peristiwa), yang merupakan kata bentukan sebagaimana dikatakan
Zamakhsyari dalam Al-Kasysyaf dari kata (al-fataa/pemuda) dalam
usianya, dan sebagai kata kiasan (metafora) atau isti’arah. Sedangkan
pengertian fatwa menurut syara‟ adalah menerangkan hukum syara’
dalam suatu persoalan sebagai jawaban dari suatu pertanyaan, baik si
penanya itu jelas identitasnya maupun tidak, baik perseorangan maupun
kolektif. Fatwa adalah jawaban resmi terhadap pertanyaan dan persoalan
yang menyangkut masalah hukum. Fatwa berasal dari kata bahasa arab
al-ifta’, al-fatwa yang secara sederhana berarti pemberian keputusan.
Fatwa bukanlah sebuah keputusan hukum yang dibuat dengan gampang,
atau yang disebut dengan membuat hukum tanpa dasar(Sanusi et al.,
2020).

Fatwa adalah sebuah istilah mengenai pendapat atau tafsiran pada


suatu masalah yang berkaitan dengan hukum Islam. Fatwa dalam bahasa
Arab berarti nasihat, petuah, jawaban atau pendapat. Adapun yang
dimaksud adalah sebuah keputusan atau nasihat resmi yang diambil oleh
sebuah lembaga atau perorangan yang diakui otoritasnya, disampaikan
oleh seorang mufti atau ulama, sebagai tanggapan atau jawaban terhadap
pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustaftî) yang tidak
mempunyai keterikatan. Penggunaannya dalam kehidupan beragama di
Indonesia, fatwa dikeluarkan oleh MUI sebagai suatu keputusan tentang
persoalan ijtihâdiyah yang terjadi di Indonesia guna dijadikan pegangan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa fatwa merupakan salah satu
produk hukum Islam atas berbagai permasalahan yang terjadi dan belum
pernah ada di zaman Rasulullah SAW(Awaluddin & Febrian, 2020).

5
2. Syarat Fatwa

Ulama usul fikih mengemukakan persyaratan yang harus dipenuhi


seorang mufti agar fatwanya dapat dipertanggungjawabkan. Persyaratan
tersebut adalah: balig, berakal, dan merdeka; adil; dan memenuhi
persyaratan seorang mujtahid atau memiliki kapasitas keilmuan untuk
memberikan fatwa. Berdasarkan persyaratan ini, seorang mufti tidak
harus seorang laki-laki. Wanita pun boleh menjadi mufti asal memenuhi
persyaratan di atas. Adapun yang dimaksudkan dengan adil, menurut
Imam Abu Hamid al-Gazali, ahli usul fikih Mazhab Syafi'i, adalah
seseorang yang istikamah dalam agamanya dan memelihara kehormatan
pribadinya. Syarat ini sangat diperlukan, karena mufti merupakan panutan
bagi masyarakat, baik dari segi fatwa yang dikeluarkannya maupun dari
segi kepribadiannya(Nawawi, n.d.).

Pada prinsipnya seseorang mengeluarkan fatwa keagamaan harus


memiliki beberapa persyaratan yang mendasar yaitu:
1. Mengetahui secara detail seluruh isi kandungan Al-Quran,
mampu menganalisis serta menafsirkan secara mantap dan
meyakinkan;
2. Mengetahui secara mendetail As-Sunnah;
3. Menguasai ilmu agama secara komprehensip meliputi ilmu
fikih, ushul fikih, ilmu kalam, bahasa arab dan ilmu-ilmu lain
yang sifatnya untuk menunjang aspek-aspek tersebut.

Didalam melaksanakan tugasnya memberikan fatwa, MUI


memiliki pedoman dasar dan prosedur yang dirumuskan dalam Keputusan
No. U-596/MUI/X/1997 yang ditetapkan pada tanggal 2 Oktober 1997.
Untuk memperjelas dasar-dasar dalam memberikan fatwa, berikut rincian
dimaksud:

6
a) Setiap keputusan fatwa harus mempunyai dasar atas kitabullah
dan sunnah Rasul yang mu’tabarak serta tidak bertentangan
dengan kemashlahatan umat.
b) Jika tidak terdapat dalam Kitabullah dan Sunah Rasul
sebagaimana ditentukan pada Pasal 2 Ayat 1, Keputusan Fatwa
hendaklah tidak bertentangan dengan ijma, qiyas yang
mu’tabar dan dalil-dalil hukum yang lain seperti istihsân,
maslahah mursalah dan saddu al dzari’ah.
c) Sebelum pengambilan keputusan fatwa, hendaklah ditinjau
pendapat-pendapat para imam madzhab terdahulu, baik yang
berhubungan dengan dalil-dalil hukum yang berhubungan
dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang berbeda
pendapat.
d) Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan
diambil keputusan fatwanya, dipertimbangkan.

3. Kedudukan Fatwa

Fatwa menempati kedudukan strategis dan sangat penting, karena


mufti (pemberi fatwa), sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy-Syathibi,
berkedudukan sebagai khalifah dan ahli waris Nabi SAW, sebagaimana
hadits yang diriwayatkan oleh Abud Daud dan Tirmidzi bahwa “ulama
merupakan ahli waris para Nabi” dalam menyampaikan hukum syariat,
mengajar manusia, dan memberi peringatan kepada mereka agar sadar
dan berhati-hati. Secara hakikat, fatwa menurut pandangan Ibnu Taimiyah
pada dasarnya tidak terkait kepada sesuatu apapun (fatwa tidak mengenal
sistem paket/sponsor) kecuali hanya mendasarkan diri pada dalil-dalil
nash syari’ah (al-Qur’an dan al-Hadist) serta aqidah-aqidah yang umum
(ushul fiqih dan qawaidul fiqh)(Riadi, 2010).

Fatwa menempati kedudukan penting dalam hukum Islam, karena


fatwa merupakan pendapat yang dikemukakan oleh ahli hukum Islam

7
(fuqaha) tentang kedudukan hukum suatu masalah baru yang muncul di
kalangan masyarakat. Ketika muncul suatu masalah baru yang belum ada
ketentuan hukumnya secara eksplisit (tegas), baik dalam al-Qur’an, as-
Sunnah dan ijma’ maupun pendapat-pendapat fuqaha terdahulu, maka
fatwa merupakan salah satu institusi normatif yang berkompeten
menjawab atau menetapkan kedudukan hukum masalah tersebut. Karena
kedudukannya yang dianggap dapat menetapkan hukum atas suatu kasus
atau masalah tertentu, maka para sarjana Barat ahli hukum Islam
mengkategorikan fatwa sebagai jurisprudensi Islam(Riadi, 2010).

4. Kaidah Fatwa

Dalam fatwa, berlaku beberapa kaidah. Beberapa kaidah fatwa


yang antara lain diintrodusir Yusuf al‐Qardawi dalam Fiqih Prioritasnya
adalah:
1. Fatwa berubah sejalan dengan perubahan situasi dan kondisi;
Salah satu karakteristik fatwa adalah adanya pengakuan
terhadap perubahan yang terjadi pada manusia, apakah hal itu
disebabkan perubahan zaman, perkembangan masyarakat
ataupun karena munculnya berbagai tuntutan baru. Dengan
demikian perubahan fatwa diperbolehkan karena perubahan
ruang dan waktu, kebiasaan‐kebiasaan, dan kondisi masyarakat.
Perubahan fatwa ini didasarkan pada perbuatan‐ perbuatan para
Sahabat dan Khulafaur Rasyidin, karena pada dasamya Nabi
SAW memerintahkan (mengizinkan) umatnya untuk mengikuti
sunnah mereka (para sahabat dan Khulafaur Rasyidin). Hal
tersebut, menjadikan umat Islam harus mengkaji ulang
peryataan‐peryataan dan pendapat‐pendapat lama mengenai
hukum‐hukum (kemasyarakatan) yang telah ditetapkan para
muftii terdahulu, karena boleh jadi pendapat‐ pendapat yang
sesuai dengan suatu zaman dan kondisi, disebabkan adaya

8
perubahan yang terjadi kemudian, menjadikan pendapat
tersebut tidak sesuai lagi untuk zaman dan kondisi
setelahnya(Fauzi, 2018).
2. Fatwa bersifat meringankan, tidak memberatkan; memudahkan
dan tidak mempersulit.
Di antara pemberian kemudahan yang dituntut dalam hal fatwa
ini adalah pengakuan terhadap kebutuhan hidup yang
mendesak, baik keperluan individual maupun sosial. Untuk
keperluan ini, syari’ah menurunkan hukum‐ hukumnya yang
spesifik. Dengan hukum‐hukum itu pula, sesuatu yang pada
hakikatnya diharamkan dapat dihalalkan. Misalnya, dalam
kondisi darurat, makanan, pakaian, perjanjian dan muamalah
tertentu yang diharamkan menjadi diperbolehkan. Adapun
dasar pemberian kemudahan tersebut adalah Q.S. al-Baqarah
(2): 173, yang menyatakan bahwa kemudahan diperuntukkan
bagi orang yang memakan makanan yang diharamkan karena
keadaan terpaksa sementara ia sendiri sebenamya tidak
menginginkannya, dan tidak melebihi batas keperluan(Fauzi,
2018).
3. Fatwa harus memperhatikan hukum penahapan.
Di antara pemberian kemudahan yang dituntut dalam
menetapkan fatwa adalah mamperhatikan hukum penahapan,
sejalan dengan sunatullah dalam penciptaan makhluk, serta
metode penetapan syari’at Islam seperti dalam menetapkan:
kewajiban salat, puasa, dan lainya, ataupun larangan‐larangan.
Fatwa dapat diartikan sebagai jawaban atas permasalahan‐
permasalahan syari’ah ataupun perundang‐ undangan yang
belum jelas(Fauzi, 2018).

9
5. Metodologi Fatwa

Setiap produk fiqh yang dihasilkan oleh para pakar hukum Islam,
pasti melewati proses ijtihad. Proses ijtihad berjalan dengan benar jika
memiliki metodologi yang benar. Metodologi dalam hukum Islam adalah
ushul fiqh, setiap produk fiqh pasti mempunyai dasar-dasar ushul
fiqh(Zakirman, 2016).

Secara umum MUI sudah menyusun Pedoman Penetapan Fatwa


Majelis Ulama Indonesia Nomor: U-596/MUI/X/1997. Dalam pedoman
tersebut disebutkan bahwa setiap fatwa harus berupa pendapat hukum
yang mempunyai dasar-dasar paling kuat dan membawa maslahat bagi
umat. Dasar-dasar yang dijadikan pegangan dalam melahirkan fatwa
adalah al-Quran, hadits, ijma’, qiyas dan dalil-dalil hukum lainnya. Dasar
pijakan MUI dalam menghasilkan sebuah fatwa adalah ijmâ’ ulama. MUI
dalam fatwanya juga tidak menolak dalil-dalil hukum selain yang
disepakati para Ulama, seperti: istihsan, istishab, sad al-dzari’ah dan
dalil-dalil lain yang masih diperdebatkan oleh para ulama(Zakirman,
2016).

Lebih lanjut MUI dalam membahas masalah terlebih dahulu


memperhatikan dan mempertimbangkan pendapat para imam mazhab dan
fuqaha terdahulu. Mencari tahu dasar-dasar dan bentuk istidlal-nya, dan
mempertimbangkan yang paling maslahat bagi umat. Jika masalah
tersebut hanya terdapat satu pendapat saja, maka MUI (dalam hal ini
komisi fatwa atau tim khusus) dapat mengambilnya sebagai keputusan
fatwa. Hukum yang sudah disepakati melalui ijmâ’ ini menjadi wajib
untuk diikuti(Zakirman, 2016).

Para ulama yang sudah menyepakati sebuah hukum melalui ijmâ’,


tidak diperkenankan untuk keluar dari yang sudah ia sepakati. Begitu juga
bagi generasi berikutnya tidak boleh keluar dari yang sudah disepakati
oleh para Ulama sebelum mereka pada masalah yang sama. Namun jika

10
ternyata lebih dari satu pendapat, MUI melakukan pemilihan pendapat
melalui tarjih menguatkan satu pendapat). Pendapat yang memiliki dasar
paling kuat dan maslahat paling besar untuk ummat akan dipilih sebagai
keputusan fatwa. Tarjih adalah menetapkan sesuatu lebih kuat dari yang
lain, Al-Râzi dalam kitab al-Mahshûl menyebutkan bahwa tarjih adalah
memperkuat salah satu pendapat yang ada setelah mengetahui mana yang
memiliki dasar paling kuat, lalu menggunakannya dan mengabaikan
pendapat yang lemah. Dalam melakukan tarjih seorang mujtahid perlu
memperhatikan rambu-rambu umum tarjih(Zakirman, 2016).

Selanjutnya jika dalam pembahasannya MUI tidak menemukan


pendapat terdahulu dari para ulama, berarti tidak ada tarjih. MUI
melakukan metode ilhaq al-masail bi nazha’iriha (menganalogikan
dengan masalah yang serupa) jika memungkinkan. Metode ini dilakukan
dengan memperhatikan mulhaq bih (masalah yang belum dibahas ulama),
mulhaq ‘alaih (masalah yang sudah dibahas ulama) dan wajh al-ilhaq-nya
(bentuk persamaannya). Metode ini lebih dikenal dengan istilah takhrij.
Secara sederhana takhrij adalah menganalogikan masalah yang tidak
pernah dibahas oleh para ulama dengan masalah yang sudah pernah
dibahas oleh para ulama. Istilah takhrij lebih populer digunakan oleh para
pengkaji hadits, sedangkan dalam kajian-kajian fiqih-ushul fiqih
terminologi takhrij belum banyak dipahami oleh sebagian sarjana muslim
apalagi masyarakat awam(Zakirman, 2016).

6. Produk Fatwa DSN

Untuk mengeluarkan sebuah fatwa, MUI membentuk komisi fatwa.


Komisi ini menganalisis permasalahan yang akan difatwakan dengan
merujuk pada Al-Qur’an dan Hadits, pendapat empat Imam mazhab serta
pendapat para ulama terdahulu. Dalam memberikan fatwa tersebut, DPS
tidak boleh dipengaruhi atau terpengaruh oleh lembaga manapun.
Independen diperlukan agar fatwa yang dihasilkan benar-benar sesuai

11
dengan ketentuan syariah dan dapat menjaga objektivitas dari pembuatan
fatwa-fatwa yang dikeluarkan DSN.

Berikut merupakan beberapa produk fatwa DSN-MUI:


Nomor Fatwa Tentang
147/DSN-MUI/XII/2021 Penyelenggaraan Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan Berdasarkan
Prinsip Syariah
143/DSN-MUI/VIII/2021 Pembiayaan Personal (At-Tamwil
Asy-Syakhshi/Personal Financing)
142/DSN-MUI/VIII/2021 Pendapatan Lembaga Keuangan
Syariah Selama Masa Konstruksi
141/DSN-MUI/VIII/2021 Pedoman Pendirian dan Operasional
Koperasi Syariah
140/DSN-MUI/VIII/2021 Penawaran Efek Syariah Melalui
Layanan Urun Dana Berbasis
Teknologi Informasi Berdasarkan
Prinsip Syariah (Islamic Securities
Crowd Funding)
139/DSN-MUI/VIII/2021 Pemasaran Produk Asuransi
Berdasarkan Prinsip Syariah
138/DSN-MUI/V/2020 Penerapan Prinsip Syariah dalam
Mekanisme Kliring, dan Penjaminan
Penyelesaian Transaksi Bursa atas
Efek Bersifat Ekuitas di Bursa Efek
137/DSN-MUI/IX/2020 Sukuk
135/DSN-MUI/V/2020 Saham
134/DSN-MUI/II/2020 Biaya RiiI Sebagai Akibat
Penjadwalan Kembali Tagihan
Sumber: DSN-MUI, diakses dari https://dsnmui.or.id/kategori/fatwa/

12
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Fatwa adalah salah satu jenis produk pemikiran hukum Islam.


Fatwa berarti jawaban atas pertanyaan, atau “hasil ijtihad” atau ketetapan
hukum, yaitu ketetapan hukum tentang sesuatu masalah atau peristiwa
yang dinyatakan oleh seorang mujtahid, sebagai hasil ijtihadnya.

Fatwa menempati kedudukan penting dalam hukum Islam, karena


fatwa merupakan pendapat yang dikemukakan oleh ahli hukum Islam
(fuqaha) tentang kedudukan hukum suatu masalah baru yang muncul di
kalangan masyarakat.

Setiap produk fiqh yang dihasilkan oleh para pakar hukum Islam,
pasti melewati proses ijtihad. Proses ijtihad berjalan dengan benar jika
memiliki metodologi yang benar. Metodologi dalam hukum Islam adalah
ushul fiqh, setiap produk fiqh pasti mempunyai dasar-dasar ushul fiqh

B. Saran

Berdasarkan materi pembahasan yang kami tulis dalam makalah


yang berjudul Metodologi Fatwa dan Produk Fatwa DSN, kami selaku
penulis berharap agar makalah ini dapat bermanfaat ,dapat memberi
pemahaman bagi segenap pembaca terlebih lagi bagi penulis sendiri serta
dapat menjadi referensi ilmu bagi yang sedang mencari mengenai
pembahasan dalam makalah.

13
DAFTAR PUSTAKA

Al Banna Choiruzzad, S., & Nugroho, B. E. (2013). Indonesia’s Islamic Economy


Project and the Islamic Scholars. Procedia Environmental Sciences, 17, 957–
966.
Awaluddin, A., & Febrian, A. (2020). Kedudukan Fatwa DSN-MUI dalam
Transaksi Keuangan pada Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia. Al
Hurriyah : Jurnal Hukum Islam, 5(2), 196.
Fauzi, M. (2018). Fatwa dan Problematika Penetapan Hukum Halal Di Indonesia.
Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, 4(01), 51.
Izmuddin, I. (2018). Fatwa Methodology of National Sharia Board of Indonesian
Ulama Council in Islamic Economics. MIQOT: Jurnal Ilmu-ilmu Keislaman,
42(1), 43.
Jamaa, L. (2018). Fatwas of the Indonesian council of ulama and its contributions
to the development of contemporary Islamic law in Indonesia. Indonesian
Journal of Islam and Muslim Societies, 8(1), 29–56.
Kau, S. A. P. (2010). Posisi Fatwa Dalam Diskursus Pemikiran Hukum Islam. Al-
Ulum, 10(1), 177–184.
Nawawi, N. (n.d.). TEKNIK PEMBENTUKAN FATWA HUKUM.
Nova, E. M. (2016). Fatwa dalam Pemikiran Hukum Islam. Al-Mizan, 3(2), 80–
91.
Nurjaman, M. I., & Ayu, D. (2021). Eksistensi Kedudukan Fatwa Dsn Mui
Terhadap Keberlangsungan Operasional Bisnis Di Lembaga Keuangan
Syariah. Al Iqtishod: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Ekonomi Islam, 9(2),
55–67.
Riadi, M. E. (2010). Kedudukan Fatwa Ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum
Positif (Analisis Yuridis Normatif). Ulumuddin: Journal of Islamic Legal
Studies, VI(IV), 471–472.
Sanusi, S. R. F., Nurhasanah, N., & Surahman, M. (2020). Pengembangan Kaidah
Fikih Fatwa Ekonomi Syariah DSN-MUI. At-Taqaddum, 12(2), 201–222.

14
Zakirman, A. F. (2016). Metodologi Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Al-Hikmah,
10(2).

15

You might also like