Tugas Kimpol

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 25

Pengaruh Struktur Polimer Terhadap Sifat Mekanik dan Termal Polimer

Hanifan Lidin I (1106009072)

DEPARTEMEN METALURGI DAN MATERIAL FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS INDONESIA 2013

BAB I Pendahuluan

Bentuk material, umumnya dinyatakan dalam tiga macam, yaitu padatan, cairan dan gas. Pada polimer, sistem seperti itu tidak berlaku. Pada polimer, bentuk-bentuk yang ditemukan adalah hanya padatan dan cairan. Pada polimer tidak ditemukan bentuk gas, bahkan pada temperatur yang amat tinggi sekalipun. Pada bentuk cair pun, polimer tidak sepenuhnya cair, tetapi memiliki sifat campuran antara padatan dan cairan, yang disebut sifat-sifat viskoelastik. Bentuk padatan pada polimer juga tidak dapat sepenuhnya kristalin. Polimer yang dianggap hampir sepenuhnya kristalin pun memiliki bagian-bagian yang besifat gelas. Ini mengakibatkan polimer seperti itu lebih tepat disebut polimer semi-kristalin. Sifat ini mungkin dapat dijelaskan dengan mengumpamakan polimer sebagai suatu bola kawat. Rantai-rantai polimer yang sangat panjang dan tipis tergulung menjadi bola-bola dengan susunan yang biasanya dideskripsikan sebagai 'random walk'. Sifat-sifat yang nampak adalah sifat sebagai bola secara keseluruhan, dan tidak terlalu berkaitan dengan sifat individual rantai. Sifat yang nampak adalah sifat-sifat yang muncul karena interaksi rantai polimer dengan rantai lainnya. Dari sifat ikatan ini, akan berpengaruh kepada sifat mekanik dan termal suatu polimer. Sifat mekanik dan termal suatu polimer sangat berpengaruh pada aplikasi suatu polimer dalam bidang tertentu. Sifat-sifat ini menentukan apakah polimer tersebut layak dipakai dalam suatu bidang atau tidak dan pemilihan polimer yang tepat dalam suatu bidang yang sesuai dengan karakteristik mekanik dan termal polimer tersebut.

BAB II STRUKTUR KIMIA POLIMER


II.1. Identitas Monomer (Monomer Identity) Identitas polimer yang terdiri dari monomer-monomer adalah sifat utama dan yang penting dari polimer. Tatanama polimer biasanya berdasarkan pada tipe monomer yang menyusun polimer. Polimer yang terdiri dari hanya satu jenis monomer disebut homopolimer, contohnya yaitu Poly(styrene) yang terdiri dari monomer-monomer styrene. Sedangkan polimer yang terdiri dari campuran beberapa monomerdisebut kopolimer, contohnya yaitu Etilen Vinil Asetat yang terdiri atas lebih dari satu macam monomer. Molekul polimer yang mengandung sub-unit yang dapat diionisasi disebut sebagai

polyelectrolyte. Polyelectrolyte yang mengandung subunit yang fraksi ionisasinya rendah disebut ionomer. II.2. Chain Linearity Bentuk paling sederhana dari molekul polimer adalah rantai lurus atau disebut juga sebagai polimer linear yang terdiri dari satu rantai utama. Fleksibilitas dari rantai polimer yang tidak bercabang di pengaruhi oleh persistence length (sifat dasar mekanis yang mengukur kekakuan dari polimer panjang). Molekul polimer bercabang disusun dari Beberapa tipe khusus dari polimer Jika polimer rantai utama dengan satu atau lebih cabang.

bercabang adalah star polymers, comb polymers, dan brush polymers.

mengandung rantai cabang yang komposisinya berbeda dengan rantai utama maka dia disebut grafted polymer. Cross-link menunjukkan dimana titik percabangan dimulai. a. Linear Polymer Polimer linear tersusun atas satu rantai panjang yang kontinu, tanpa adanya percabangan dari rantai tersebut. Gambar struktur linear adalah sebagai berikut 2:

b. Branched Polymer Branched polymer terdiri atas satu rantai utama yang mempunyai rantai molekul lebih kecil sebagai cabang. Sebuah struktur rantai bercabang cendrung menurunkan tingkat kristanilitas ( cristanility ) dan kepadatan ( density ) polymer tersebut. Susunan geometrik dari ikatan bukan merupakan penyebab bervariasinya stuktur polymer. Branched polymer terbentuk ketika terdapat rantai cabang yang menempel pada rantai utama.contoh sederhana dari branched polymer seperti terlihat pada gambar di bawah.

Terdapat berbagai jenis branched polymer yang dapat terbentuk. Salah satunya yang dinamakan dengan star-branching. Star-branching terbentuk ketika polimerisasi

dimulai dengan single monomer dan mempunyai cabang radial keluar. Polymer dengan tingkat kecabangan yang tinggi disebut dendrimers. Sering kali pada molekul ini, tiap cabangnya mempunyai cabang lagi. Ini menyebabkan keseluruhan molekulnya mempunyai bentuk spherical. c. Cross-Linking Cross-linking dalam polymer terjadi ketika ikatan valensi primer terbentuk antara moleku-molekul rantai polymer yang terpisah. Selain ikatan dimana monomer membentuk rantai polymer, ikatan polymer yang lain terbentuk diantara polymer tetangganya. Ikatan ini dapat terbentuk secara langsung diantara rantai tetangganya, atau dua rantai dapat terikat menjadi rantai yang lain. Walupun tidak sekuat ikatan pada rantai, cross-links mempunyai peran yang sangat pentin pada polymer. Polymer mempunyai ikatan cross-links yang banyak mempunyai "memory." Ketika polymer diregangkan, ikatan cross-links mencegah rantai untuk berpisah. Ikatan ini memperkuat, namun ketika tegangan dihilangkan maka struktur akan kembali ke bentuk semula dan objek pun demikian.

II.3. Ukuran Rantai (Chain Size) Sifat jenuh polimer sangat bergantung pada ukuran dari rantai polimer. Seperti kebanyakan molekul, ukuran molekul polimer dapat digambarkan melalui berat molekul Pada polimer, berat molekul dapat digambarkan oleh derajat polimerisasi, yaitu jumlah monomer yang membentuk polimer. Untuk polimer sintetik, berat molekul digambarkan dengan statistik untuk menjelaskan distribusi berat molekul pada sampel. Hal ini karena hampir semua proses industri memproduksi distribusi ukuran rantai polimer. Contoh dari perhitungan statistic adalah number average molecular weight dan weight average molecular weight. Perbandingan dari kedua nilai tersebut disebut polydispersity index, biasanya digunakan untuk menggambarkan ketebalan dari berat molekul. Ruang yang ditempati oleh molekul polimer secara umum digambarkan oleh radius of gyration. II.4. Susunan Monomer dalam Kopolimer (Monomer Arrangement in Copolymers) a. Alternating copolymers monomer yang berbeda tersusun berurutan b. Random copolymers monomer yang berbeda tersusun acak

c. Block copolymers monomer yang sama membentuk grup dan 2 grup yang berbeda tersusun berurutan. d. Graft Copolymers Rantai-rantai cabang terdiri dari monomer yang berbeda dengan rantai utama.

II.5. Stereokimia Polimer a. Architecture Polimer yang berbeda arsitekturnya mewakili isomer konstitusional dimana hubungan dari atom-atomnya berbeda. Polimer semacam ini di dapat dari polimerisasi monomer dari sifat kimia yang berbeda tetapi memiliki komposisi atom yang yang sama. Rumus molekul dari unit monomer untuk semua tipe polimer berikut ini adalah C2H4O:

PEG
CH2CH2 O n
CH2

PVA
CH OH n

PAA
CH CH3 O n

Tg = 206 K

Tg = 358 K

Tg = 243 K

Struktur kimia atau arsitektur mempengaruhi sifat polimer

b. Orientation Perbedaan dimana atom dalam polimer dapat dihubungkan, muncul dari dua cara penambahan dari monomer yang sama untuk pertumbuhan rantai polimer.6 c. Geometric isomerism

Sebagai contoh, polimerisasi dari 1,3-diena mempunyai dua ikatan rangkap yang berbeda yang dapat mengalami tiga isomer geometri.

X CH2 C CH CH2 n

1,2-Addition

CH2

CX

CH

CH2

CH2

C X

CH

CH2 n

1,4-Addition

CH CH X

CH2 CH2 n

3,4-Addition

d. Tacticity 2

BAB III SIFAT-SIFAT POLIMER III.1. SIFAT MEKANIK III.1.1. Kekuatan (Strength) Kekuatan merupakan salah satu sifat mekanik dari polimer. Ada beberapa macam kekuatan dalam polimer, diantaranya yaitu sebagai berikut: a. Kekuatan Tarik (Tensile Strength) Kekuatan tarik adalah tegangan yang dibutuhkan untuk mematahkan suatu sampel. Kekuatan tarik penting untuk polymer yang akan ditarik, contohnya fiber, harus mempunyai kekuatan tarik yang baik. b. Compressive strength Adalah ketahanan terhadap tekanan. Beton merupakan contoh material yang memiliki kekuatan tekan yang bagus. Segala sesuatu yang harus menahan berat dari bawah harus mempunyai kekuatan tekan yang bagus. c. Flexural strength adalah ketahanan pada bending (flexing). Polimer mempunyai flexural strength jika dia kuat saat dibengkokkan. d. Impact strength : adalah ketahanan terhadap tegangan yang datang secara tiba-tiba. seperti dengan palu. III.1.2. Elongation Semua jenis kekuatan memberitahu kita berapa tegangan yang dibutuhkan untuk mematahkan sesuatu, tetapi tidak memberitahu kita tentang apa yang terjadi pada sampel kita saat kita mencoba untuk mematahkannya, itulah kenapa kita mempelajari elongation dari polimer. Elongasi merupakan salah satu jenis deformasi. Deformasi merupakan perubahan ukuran yang terjadi saat material di beri gaya. % Elongasi adalah panjang polimer setelah di beri gaya (L) dibagi dengan panjang sampel sebelum diberi gaya (Lo) kemudian dikalikan 100: Polimer mempunyai kekuatan impak jika dia kuat saat dipukul dengan keras secara tiba-tiba

Elongation-to-break (ultimate elongation) adalah regangan pada sampel pada saat sampel patah. Elastomer memiliki ultimate elongation yang tinggi. Elongasi sampai terjadinya fracture dapat dilihat pada gambar berikut 3:

III.1.3. Modulus Modulus diukur dengan menghitung tegangan dibagi dengan elongasi. Satuan modulus sama dengan satuan kekuatan (N/cm2) Pada kurva tegangan-regangan 4:

Untuk beberapa polimer, terutama flexible plastics, kurvanya adalah sebagai berikut 4:

Slope diatas tidak constant seiring dengan penambahan tegangan seperti pada kurva sebelumnya. Pada kasus seperti ini, biasanya digunakan initial slope sebagai modulus, seperti yang terlihat pada kurva diatas. diantara keduanya. III.I.4. Ketangguhan (Toughness) Secara umum, fiber mempunyai tensile moduli yang paling tinggi dan elastomer paling rendah, dan plastic berada

Ketangguhan adalah pengukuran sebenarnya dari energi yang dapat diserap oleh suatu material sebelum material tersebut patah. Pengukuran dibawah kurva stressstrain berikut ini 4, yang diberi warna merah, menunjukkan toughness (ketangguhan)

Apakah perbedaan dari ketangguhan dan kekuatan? Dari segi fisika, kekuatan (strength) adalah gaya yang dibutuhkan untuk mematahkan sampel, dan ketangguhan (toughness) adalah berapa banyak energi yang dibutuhkan untuk mematahkan sampel.

Pada kurva diatas 4, kurva yang berwarna biru menunjukkan sampel yang kuat tetapi tidak tangguh. Seperti yang dapat dilihat, sampel tersebut membutuhkan gaya yang besar untuk mematahkan sampel, tapi tidak banyak energi. Demikian pula, sampel tersebut tidak dapat merentang jauh sebelum patah. Material seperti ini, kuat tetapi tidak dapat banyak terdeformasi sebelum patah disebut material yang getas (brittle). Disisi lain, kurva berwarna merah, menunjukkan material yang kuat dan tangguh. Material ini tidak sekuat material yang digambarkan oleh kurva biru, tetapi memiliki luas daerah dibawah kurva yang lebih besar, menunjukkan bahwa material ini dapat menyerap energi lebih banyak dari pada sampel sebelumnya. Material merah memiliki elongasi yang lebih besar dibandingkan dengan material biru sebelum patah. Karena deformasi yang diikuti energi disipasi (energi yang tersimpan). Jika material tidak berdeformasi maka tidak ada energi dissipasi sehingga material patah

III.1.5 Pengaruh Struktur Kimia Terhadap Morfologi Polimer

Struktur material dapat mengakibatkan morfologi yang berbeda. Strukturstruktur yang teratur cenderung membentuk material yang kristalin. Sebaliknya struktur-struktur yang tidak teratur cenderung membentuk material yang amorf. Material kristalin biasanya ditemukan pada material yang strukturnya dominan isotaktik dan sindiotaktik. Material yang linier juga cenderung membentuk material kristalin karena material tersebut pada saat pembekuannya dapat menghasilkan struktur yang tersusun rapat. Sedangkan dengan struktur material ataktik biasanya menghasilkan material yang amorf. Material amorf juga didapatkan dari struktur molekul non-linier seperti bercabang, berjaringan, ataupun cross-link, juga dari material dengan gugus samping yang besar (contoh: polistirena). a Struktur Polimer dan Kristalinitas

Polimer tidak pernah ditemukan dalam keadaan kristalin murni. Kebanyakan polimer ditemukan sebagai kristalin sebagian. Hal ini disebabkan karena adanya hubungan antara struktur molekul dan kemampuan molekul untuk mengkristal. Polimer-polimer yang memiliki kristalinitas tinggi, biasanya berasal dari molekul yang teratur strukturnya, baik kimia ataupun geometrinya. Dengan kata lain, molekul yang linear, juga yang isotaktik ataupun sindiotaktik diharapkan dapat membentuk kristal. Tetapi, ternyata bukan hanya keteraturan yang berperan. Ukuran gugus samping yang besar akan dapat menghambat kristalisasi.

Dari struktur molekul yang linear dan seragam, dapat tergulung menjadi suatu keteraturan seperti kristal dengan rentang yang cukup panjang. 3 XRD dan struktur Kristal

Kristal dan struktur kristal dapat ditentukan dengan banyak cara, yaitu kerapatan, entalpi atau perubahan energi bebas pada pemanasan, asosiasi spektroskopik, keberadaan bidang-bidang tertentu dari registri pada pengamatan mikroskop misalnya. Untuk XRD sebuah kristal didefinisikan sebagai keteraturan 3-Dimensi yang sempurna. Ini berkaitan dengan definisi paling ketat dari kristal. Untuk polimer semi-kristalin, misalnya, 100% kekristalan tak akan didapat dengan definisi ini karena

ada wilayah antarmuka yang besar dengan keberadaan derajat ketidakteraturan. Keteraturan 3-Dimensi yang sempurna berarti strukturnya berulang di segala arah sehingga dengan mendeskripsikan struktur secara lokal (pada suatu unit ulangan 3D), keseluruhan strukturnya dapat dideskripsikan secara khas.

III.1.6 Morfologi Polimer dan Sifatnya Bentuk molekuler dan arah susunan molekul molekul dalam keadaan padat merupakan faktor faktor yang sangat menentukan sifat sifat dari polimer. Dari semua polimer baik yang hancur ketika disentuh maupun yang digunakan sebagai rompi anti peluru, struktur molekular, susunan dan arah orientasi polimer merupakan efek utama pada sifat sifat makroskopik material. Konsep umum penyusunan sendiri (selfassembly) sampai pengaturan molekul molekul dalam skala mikro dan makroskopik sebagai agregatnya, hingga struktur struktur yang mudah diatur. Kristalisasi, merupakan contoh proses penyusunan sendiri (self-assembly) yang memiliki pengorganisasian orientasi dari kristal cair. 1 Kristalinitas Sebelum kita membahas kristalinitas, kita perlu membedakan terlebih dahulu antara material kristalin dan amorf dan menunjukkan bagaimana bentuk bentuk tersebut dapat berdampingan didalam polimer. Sekarang, bandingkanlah gelas, sebagai material amorf dan es sebagai material kristalin. Selain penampilan umumnya yang keras, jernih dan dapat meleleh, penampilan lain ketika dilihat antara sudut sudut yang berlawanan, dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Dari gambar es dan gelas diatas dapat dibandingkan bahwa material kristalin seperti es akan lebih bersifat (opaque) tidak tembus cahaya dari pada gelas yang memiliki sifat amorf. Hal tersebut terjadi juga pada polimer, polimer amorf seperti polietine yang digunakan pada film/plastik akan memiliki derajat kejernihan tinggi

daripada polimer kristalin seperti bakelit.

Gambar diatas merupakan gambar polietilen: a Gambar atas merupakan polietilen yang memiliki kristalinitas rendah. b Gambar bawah merupakan polietilen yang memiliki kristalinitas tinggi. Dapat dibandingkan dari penampilannya bahwa polimer yang memiliki kristalinitas lebih tinggi akan memiliki derajat kejernihan optis (Optical Clarity) yang lebih rendah. Dari tingkat kristalinitasnya, polimer dapat dibagi menjadi 3 bagian: 1 polimer amorf 2 polimer semi kristalin 3 polimer kristalin.

Polimer semi kristalin Efek dari kristalinitas: 1 sifat mekanis meningkat. 2 kejernihan berkurang 3 density yang lebih tinggi

Polimer amorf

4 lebih tahan larut(Tm meningkat) Selengkapnya pada tabel berikut Sifat Kekuatan Kekakuan Ketangguhan Kejernihan Optik Perubahan sifat (dengan meningkatnya kristalinitas) Meningkat Meningkat Menurun Menurun Polimer kristalin tak tembus cahaya karena adanya beda indeks refraksi daerah kristalin dan amorf sehingga memicu penghamburan cahaya. Sifat Penghalang Kelarutan Meningkat Material kecil tak dapat menembus daerah kristalin. Menurun Molekul pelarut tak dapat menembus wilayah kristalin, yang harus dilebur agar polimer dapat larut Ketahanan kelarutan Tabel 1.: Perbandingan Sifat dan Derajat Kekristalan 2 Kristalisasi Meningkat

Kristalisasi Kristalisasi merupakan proses pembentukan polimer kristalin. Proses ini terjadi pada polimer saat terjadi pembekuan, dimana pada temperatur kristalisasi polimer cair membeku dengan membentuk initi/nukleus dan kemudian mengatur diri sehingga terbentuk polimer kristalin. Berikut ini diberikan metode metode kristalisasi yang jamak dilakukan untuk

mendapatkan polimer kristalin: Cooling of molten polymer Evaporation of polymer solutions Heatingof a polymer under vacuum or in an inert atmosphere at a specified temperature (Tg< T < Tm) = Annealing Stretching a polymer sample above Tg = Drawing Crystallization Methods III.1.5. Pengaruh Struktur Kimia Terhadap Sifat Mekanik Polimer Chain Length semakin panjang rantai ketangguhan dan kekuatan semakin meningkat sebab: terjadi peningkatan interaksi dalam rantai seperti ikatan Van der Waals rantai menjadi lebih kuat pada posisinya dalam menahan deformasi dan perpecahan matriks, baik pada tegangan tinggi maupun temperatur tinggi. Branching meningkatkan kekuatan & ketangguhan polimer Cross-Linking meningkatkan kekuatan & ketangguhan polimer Molecular Weight 5:

Tabel Mechanical Properties of Common Homopolymers5 III.2. Sifat Termal Polimer III.2.1. Sifat dan Performa Polimer pada Temperatur Tinggi Polimer sering dianggap sebagai material yang tidak mampu memberikan performa yang baik pada termperatur tinggi. Namun, pada kenyataannya, terdapat beberapa polimer yang cocok untuk penggunaan pada temperatur tinggi, bahkan lebih baik daripada traditional materials. Pada polimer, khususnya plastik, definisi temperatur tinggi adalah suhu diatas 135 C. Pada temperatur tinggi, polimer tidak hanya melunak, tetapi juga dapat mengalami degradasi termal. Sebuah plastik yang mengalami pelunakan pada temperatur tinggi tetapi mulai mengalami degradasi termal pada suhu yang jauh lebih rendah hanya dapat digunakan pada suhu di bawah suhu dia mulai mengalami degradasi. Menentukan temperatur aplikasi membutuhkan pengetahuan mengenai perilaku degradasi termal dari polimer tersebut. Titik pelunakan pada polimer sangatlah ditentukan oleh tipe polimer yang digunakan. Pada polimer amorf, suhu yang penting adalah Tg (glass transition temperature). Sedangkan, pada polimer kristalin dan semi-kristalin, suhu yang penting terletak pada Tm (melting point).
o

Time-Temperature Superposition Sifat mekanis dari polimer ditentukan oleh prinsip time-temperature superposition. Prinsip ini mampu menunjukkan bahwa waktu dan temperatur dapat memiliki sifat yang sama namun berlawanan. Kekuatan polimer pada pembebanan high-rate dan temperatur rendah dapat secara efektif menyerupai kekuatannya pada pembebanan low-rate dan temperatur tinggi. Hal ini dapat berarti jika dilakukan pengujian pada temperatur tinggi dan pembebanan fast-rate, hasil pengujian dapat digunakan untuk memperkirakan kekuatan polimer pada temperatur rendah dan rate pembebanan yang lebih rendah. Namun, hal ini dapat pula berarti temperatur aplikasi polimer dapat bervariasi tergantung pada rate pembebanan pada aplikasi tersebut, dimana beban kecil pada temperatur tinggi dapat berakibat yang sama dengan beban besar pada temperatur rendah. Untuk aplikasi pada temperatur tinggi, material yang paling cocok adalah : PTFE PFA PEEK FEP PEI PET/PBT : 260oC : 260oC : 260oC : 200oC : 180oC : 170oC

Polimer-polimer tersebut mampu mengcover wide-range temperatures dan dapat digunakan dengan baik pada temperatur tinggi. Selain itu, polimer-polimer ini juga tidak membutuhkan pemrosesan khusus (selain PTFE karena koefisien friksinya rendah) bila dibandingkan dengan commodity polymers. Hal ini berarti proses ekstrusi yang digunakan pada commodity polymers dapat pula digunakan untuk membuat polimer yang cocok untuk aplikasi pada suhu tinggi. Di bawah ini adalah beberapa aplikasi dari polimer pada temperatur tinggi : Interior pesawat udara / pesawat ulang-alik Komponen elektrik pesawat udara / pesawat ulang-alik Industri otomotif (under-hood) Insulator kabel untuk aplikasi pada extremely high temperature, coupling kabel, dan connectors Industri elektrik / elektronik pada temperatur aplikasi tinggi Medical tubing atau produk lain yang memerlukan sterilisasi Monofilament untuk proses produksi filter, belting, serta meshes

II.2.2. Sifat Polimer Pada Temperatur Rendah Pada umumnya, polimer pada suhu ruang menunjukkan sifat fleksibilitas dan ketahanan yang tinggi terhadap cracking, tetapi pada penurunan suhu, sifat tersebut dapat berubah drastis dan polimer menjadi getas hanya dengan beban kegagalan yang rendah. Polimer memiliki rantai molekul yang panjang dan saling tumpang-tindih satu sama lain. Jika polimer berada pada suhu ruang, gerakan antar rantai polimer dapat saling menyesuaikan dan meregang. Namun, jika polimer itu didinginkan, rantai tersebut akan menempel satu sama lain dan tidak dapat meregang lagi. Polimer tersebut akan menjadi kaku dan melewati temperatur transisi gelas menjadi material yang keras dan rapuh. Temperatur transisi gelas biasanya tidak memiliki transisi yang jelas antara rubbery state dan glass regions. Temperatur transisi gelas biasanya berkisar antara 10-50oC. Jika polimer didinginkan di bawah Tg, polimer menjadi stabil dan tidak terjadi transisi lagi. Dengan demikian, temperatur rendah pada polimer dapat didefinisikan sebagai suhu di bawah Tg.

Grafik Ketangguhan vs Temperatur 7 Nilai sesunguhnya dari Tg bervariasi bergantung kepada struktur molekul spesifik dari polimer dasarnya, berat molekul, distribusi berat molekul dari polimer tersebut, aditif yang ditambahkan ke dalam formula, serta beberapa faktor lain. Polimer dengan Tg di atas suhu ruang akan mengalami glassy state pada suhu ruang dan akan memiliki kecenderungan untuk rapuh dan rusak pada suhu ruang. Contohnya adalah PS, PMMA, dan PET. Polimer dengan Tg di bawah suhu ruang akan mengalami rubbery state pada suhu ruang sehingga akan cenderung fleksibel dan sulit dihancurkan pada suhu ruang. Contohnya adalah PP, PE, dan PTFE. Pada temperatur yang sangat rendah, beberapa aplikasi mengharuskan adanya kontak dengan Liquid Oxygen (LOX) dimana pada umumnya plastik tidak kompatibel dan akan terbakar. Namun, beberapa polimer yang tergabung dalam keluarga flourocarbon (PTFE, PCTFE, FEP, dll.) memiliki resistansi yang baik terhadap LOX. Selain itu, kelompok ini juga merupakan insulator yang baik, dan

memiliki keuletan yang dapat dihitung (sebesar 1%) pada temperatur mendekati absolute zero (-269oC). Dapat dilihat pada tabel berikut7:

II.2.3 Glass Transision Temperature (Temperatur Transisi Gelas) Merupakan temperature dimana polimer mengalami perubahan fasa kedua polimer dari yang bersifat karet, viscous amorphous solid menjadi getas, glassy amorphous solid. Temperatur gelas terjadi pada sekitar 0.5*Tm, dan terjadi akibat perubahan dari cabang atau cross linking pada polimer atau akibat penambahan plasticizer. Secara sederhana peristiwa transisi gelas tersebut terjadi pada permen karet. Bagi anda yang sering mengunyah permen karet, anda pasti tahu pada saat anda mengunyah permen karet bentuknya adalah lunak dan lentur, dimana itu merupakan amorf pada keadaan atau fasa karet(rubbery). Dan jika anda meminum minuman dingin dan menahan es pada permen karet, maka permen karet akan menjadi keras. Hal tersebut dikarenakan permen karet transisi gelas, dimana temperatur gelas permen karet berkisar antara 0 oC and 37oC. Temperatur transisi gelas tidak sama dengan temperature lebur. Berikut beberapa perbedaan temperatur transisi gelas dan temperatur lebur Temperatur Transisi Gelas 1 Sifatnya berada pada bagian amorf 2 Dibawah Tg: merupakan padatan amorf yang tak teratur dengan molekul yang tidak dapat bergerak bebas 3 Diatas Tg: merupakan padatan amorf dimana molekul molekulnya dapat bergerak. Struktur yang dihasilkan akan berbentuk lunak dan lentur. 4 Merupakan bentuk transisi kedua (lihat pada diagram dibawah)

Temperatur Lebur Sifatnya berada pada bagian kristalin Dibawah Tm: merupakan padatan kristalin yang teratur Diatas Tm: berbentuk polimer cair yang memiliki struktur tidak teratur. Merupakan bentuk transisi pertama (lihat pada diagram dibawah)

Secara thermodinamikanya proses transisi pada tersebut dibagi menjadi menjadi transisi orde pertama dan transisi orde kedua. Pada transisi orde pertama terdapat transfer panas antara system dengan lingkungan sekelilingnya dan sistem mengalami perubahan volume secara tiba tiba. Pada transisi orde kedua tidak terjadi transfer panas, tetapi kapasitas panas berubah. Perubahan volume terjadi akibat gerakan molekul yang lebih bebas karena rantai yang bebas bergerak, tetapi hal tersebut tidak merubah ketidakterusannya.

Pada Temperatur diatas Tg, (Free volume) volume bebas antar molekul menjadi semakin besar, hal tersebut mengakibatkan rantai rantai amorf menjadi semakin bebas bergerak, hal tersebut menyebabkan struktur polimer menjadi lunak dan lentur.

Gerakan yang terjadi pada rantai polimer akibat peningkatan volume bebas merupakan gerakan rotasi pada antarmer yang mengakibatkan perubahan sifat pada polimer.

Faktor Faktor yang mempengaruhi Tg: 1) Berat Molekul

Semakin besar berat molekul maka temperature Tg akan semakin tinggi, Hal tersebut disebabkan karena semain besar berat molekul maka ujung rantai akan semakin pendek, semakin pendek ujung rantai maka perubahan free volume akibat temperature akan semakin kecil sehingga Tg semakin tinggi. 2) Fleksibilitas Rantai Semakin kaku rantai tersebut maka temperature gelasnya akan semakin tinggi. 3) Steric Effect Semakin berat cabang maka Tg akan semakin tinggi, hal tersebut dikarenakan semakin besar cabang maka pergerakan rotasi akan semakin susah sehingga Tg semakin tinggi

4)

Effect Cross Linking Cross linking secara umum akan meningkatkan temperatur

gelas dari polimer

5)

Efek interaksi intermolekul Proses interaksi pada molekular adalah adanya ikatan ionik,

kovalen atau logam pada rantai. Ikatan tersebut akan meningkatkan temperatur gelas dari polimer. Contohnya pada PVC ikatan ionik antara Cl dengan C meningkatkan tempertur gelas polimer hingga beberapa kali lipat.

6)

Effect Kristalisasi. Ada tidaknya struktur kristalin pada polimer juga menentukan

temperatur gelas dari polimer, semakin banyak struktur kristalin yang ada akan menyebabkan Temperatur gelas akan semakin tinggi.

7)

Efek Diluent Adanya penambahan diluents seperti plasticizer akan

menurunkan temperatur gelas polimer.

II.3. FLAMMABILITY DAN FLAME RESISTANCE Dikarenakan polimer sintetsis telah banyak digunakan pada konstruksi dan transportasi, maka diperlukan suatu usaha untuk membuat polimer tahan api atau tidak mudah terbakar. Ditinjau dari ketahanan terhadap api, maka polimer terbagi menjadi tiga bagian: 1. Polimer yang tidak mudah terbakar Polimer yang mengandung banyak halogen. Contohnya PVC. 2. Polimer yang mampu memadamkan api sendiri Terbakar hanya ketika sumber api ada, akan tetapi berhenti terbakar ketika sumber api dipindahkan. Contohnya PC. 3. Polimer yang mudah terbakar Kebanyakan polimer adalah mudah terbakar. Pada polimer, proses pembakaran sangatlah kompleks akan tetapi secara umum mengalami 6 hal: Primary Thermal: sumber api memanaskan polimer dan menaikkan temperature. Primary Chemical: Plastik yang dipanaskan tadi mulai terdegradasi umumnya disebabkan oleh pembentukan radikal bebas dibawah pengaruh sumber api. Polymer Decomposition: polimer mulai terdegradasi secara cepat kea rah penurunan berat molekul. Produk khas dari tahapan ini adalah gas dan cairan yang mudah terbakar dan mungkin juga asap. Ignition: gas-gas yang mudah terbakar, karena ada ketersediaan oksigen dan sumber api, mulai terbakar. Combustion: gas yang terbakar menghasilkan kobaran api pada atau dekat permukaan polimer. Sebenarnya bisa terjadi pemadaman api dengan sendirinya jika tersedia cukup energi. Flame propagation: penyebaran api.

REFERENSI 1. http://polychem.kaist.ac.kr/bk_home/lecture2005/Chap4.pdf 2. http://www.eng.uwo.ca/es021/ES021a_2006/Lecture%20Notes/Chap%2014-15%20%20Polymers.pdf 3. http://faculty.uscupstate.edu/llever/Polymer%20Resources/Mechanical.htm 4. http://www.pslc.ws/mactest/mech.htm#strength 5. http://itl.chem.ufl.edu/2041_f97/lectures/lec_g.html 6. http://www.mikeblaber.org/oldwine/chm1045/notes/Forces/Intermol/Forces02.htm 7. http://matse1.mse.uiuc.edu/%7Etw/polymers/prin.html 8. http://plc.cwru.edu/tutorial/enhanced/files/polymers/struct/struct.htm 9.http://classes.cecs.ucf.edu/egn3365/sohn/Lectures/Polymers.pdf 10. http://www.direct.ca/trinity/dna2.gif

Anda mungkin juga menyukai