Terapi Batu Empedu
Terapi Batu Empedu
Terapi Batu Empedu
Biasanya penderita kolesistitis perlu dirawat inap di rumah sakit. Selama perawatan, dilakukan
beberapa tindakan yang bertujuan untuk meringankan keluhan yang timbul dan mengontrol
peradangan pada kandung empedu. Pengobatan kolesistitis meliputi:
1. Puasa, bertujuan untuk mengistirahatkan lambung selanjutnya mengistirahatkan kandung
empedu. Kebutuhan zat gizi dan cairan untuk tubuh dipenuhi melalui pemasangan infus;
2. Pemberian antibiotik, bertujuan untuk mengatasi infeksi kandung empedu. Contoh
antibiotik adalah sefadroksil, sefotaksim, dan lain-lain;
3. Obat nyeri, bertujuan untuk mengurangi nyeri dari kandung empedu yang meradang.
Contoh obat nyeri adalah asetaminofen, ibuprofen, asam mefenamat, tramadol, dan lain-
lain;
4. Jika kolesistitis sangat parah atau terjadi kebocoran, kandung empedu perlu diangkat
melalui pembedahan. Demikian pula jika kolesistitis bersifat menahun dan sering
kambuh. Saat ini, teknik bedah untuk mengangkat kandung empedu sudah sangat maju.
Hanya perlu sedikit sayatan kecil pada dinding perut, selanjutnya pengangkatan kandung
empedu dilakukan dengan panduan kamera dan layar monitor
Terapi konservatif
Walaupun intervensi bedah tetap merupakan terapi utama untuk kolestasis akut dan
komplikasinya, mungkin diperlukan periode stabilisasi di rumah sakit sebelum kolesistektomi.
Pengobatan umum termasuk istirahat total, perbaiki status hidrasi pasien, pemberian nutrisi
parenteral, diet ringan, koreksi elektrolit, obat penghilang rasa nyeri seperti petidin dan
antispasmodik. Pemberian antibiotik pada fase awal sangat penting untuk mencegah komplikasi
seperti peritonitis, kolangitis dan septisemia. Golongan ampisilin, sefalosporin dan metronidazol
cukup memadai untuk mematikan kuman kuman yang umum terdapat pada kolesistitis akut
seperti E. Coli, Strep. faecalis dan Klebsiela, namun pada pasien diabetes dan pada pasien yang
memperlihatkan tanda sepsis gram negatif, lebih dianjurkan pemberian antibiotik kombinasi
(Isselbacher, K.J, et al, 2009).
Berdasarkan rekomendasi Sanford, dapat diberikan ampisilin/sulbactam dengan dosis 3
gram / 6 jam, IV, cefalosporin generasi ketiga atau metronidazole dengan dosis awal 1 gram, lalu
diberikan 500 mg / 6 jam, IV. Pada kasus kasus yang sudah lanjut dapat diberikan imipenem
500 mg / 6 jam, IV. Bila terdapat mual dan muntah dapat diberikan anti emetik atau dipasang
nasogastrik tube. Pemberian CCK secara intravena dapat membantu merangsang pengosongan
kandung empedu dan mencegah statis aliran empedu lebih lanjut. Pasien pasien dengan
kolesistitis akut tanpa komplikasi yang hendak dipulangkan harus dipastikan tidak demam
dengan tanda tanda vital yang stabil, tidak terdapat tanda tanda obstruksi pada hasil
laboratorium dan USG, penyakit penyakit lain yang menyertai (seperti diabetes mellitus) telah
terkontrol. Pada saat pulang, pasien diberikan antibiotik yang sesuai seperti Levofloxasin 1 x 500
mg PO dan Metronidazol 2 x 500 mg PO, anti-emetik dan analgesik yang sesuai (Isselbacher,
K.J, et al, 2009).
2.7.2. Terapi bedah
Saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih diperdebatkan, apakah sebaiknya
dilakukan secepatnya (3 hari) atau ditunggu 6 8 minggu setelah terapi konservatif dan
keadaaan umum pasien lebih baik. Sebanyak 50 % kasus akan membaik tanpa tindakan bedah.
Ahli bedah yang pro operasi dini menyatakan, timbul gangren dan komplikasi kegagalan terapi
konservatif dapat dihindarkan dan lama perawatan di rumah sakit menjadi lebih singkat dan
biaya daat ditekan. Sementara yang tidak setuju menyatakan, operasi dini akan menyebabkan
penyebaran infeksi ke rongga peritoneum dan teknik operasi lebih sulit karena proses infalamasi
akut di sekitar duktus akan mengaburkan anatomi (Wilson E, et al, 2010).
Namun, kolesistostomi atau kolesistektomi darurat mungkin perlu dilakukan pada pasien
yang dicurigai atau terbukti mengalami komplikasi kolesistitis akut, misalnya empiema,
kolesistitis emfisematosa atau perforasi. Pada kasus kolesistitis akut nonkomplikata, hampir 30
% pasien tidak berespons terhadap terapi medis dan perkembangan penyakit atau ancaman
komplikasi menyebabkan operasi perlu lebih dini dilakukan (dalam 24 sampai 72 jam).
Komplikasi teknis pembedahan tidak meningkat pada pasien yang menjalani kolesistektomi dini
dibanding kolesistektomi yang tertunda. Penundaan intervensi bedah mungkin sebaiknya
dicadangkan untuk (1) pasien yang kondisi medis keseluruhannya memiliki resiko besar bila
dilakukan operasi segera dan (2) pasien yang diagnosis kolesistitis akutnya masih meragukan
(Wilson E, et al, 2010).
Kolesistektomi dini/segera merupakan terapi pilihan bagi sebagian besar pasien
kolesistitis akut. Di sebagian besar sentra kesehatan, angka mortalitas untuk kolesistektomi
darurat mendekati 3 %, sementara resiko mortalitas untuk kolesistektomi elektif atau dini
mendekati 0,5 % pada pasien berusia kurang dari 60 tahun. Tentu saja, resiko operasi meningkat
seiring dengan adanya penyakit pada organ lain akibat usia dan dengan adanya komplikasi
jangka pendek atau jangka panjang penyakit kandung empedu. Pada pasien kolesistitis yang sakit
berat atau keadaan umumnya lemah dapat dilakukan kolesistektomi dan drainase selang terhadap
kandung empedu. Kolesistektomi elektif kemudian dapat dilakukan pada lain waktu (Mutignani
M, et al, 2009)
Sejak diperkenalkan tindakan bedah kolesistektomi laparoskopik di Indonesia ada awal
1991, hingga saat ini sudah sering dilakukan di pusat pusat bedah digestif. Di luar negeri
tindakan ini hampir mencapai angka 90% dari seluruh kolesitektomi. Konversi ke tindakan
kolesistektomi konvensional menurut Ibrahim A. dkk, sebesar 1,9% kasus, terbanyak oleh karena
sukar dalam mengenali duktus sistikus yang diakibatkan perlengketan luas (27%), perdarahan
dan keganasan kandung empedu. Komplikasi yang sering dijumpai pada tindakan ini yaitu
trauma saluran empedu (7%), perdarahan, kebocoran empedu. Menurut kebanyakan ahli bedah
tindakan kolesistektomi laparoskopik ini sekalipun invasif mempunyai kelebihan seperti
mengurangi rasa nyeri pasca operasi. Menurunkan angka kematian, secara kosmetik lebih baik,
memperpendek lama perawatan di rumah sakit dan mempercepat aktivitas pasien (Siddiqui T, et
al, 2008). Pada wanita hamil, laparaskopi kolesistektomi terbukti aman dilakukan pada semua
trimester (Cox MR, et al, 2008)
Adapun beberapa kontraindikasi dari laparoskopi kolesistektomi diantaranya adalah:
Resiko tinggi terhadap anastesi umum
Tanda tanda perforasi kandung empedu seperti abses, fistula dan peritonitis
Batu empedu yang besar atau dicurigai keganasan
Penyakit hati terminal dengan hipertensi portal dan gangguan sistem pembekuan
darah (Wilson E, et al, 2010).