Resensi Buku

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 7

RESENSI BUKU "SISTEM POLITIK INDONESIA Konsolidasi Demokrasi

Pasca-Orde Baru" karangan Prof. DR. Kacung Marijan


Buku yang disusun oleh Prof. Dr. Kacung Marijan ini menjelaskan seluk beluk tentang
sistem politik mulai dari pengertian, budaya politik, fungsi , struktur, proses, masalah
dan prospek dari sistem politik di Indonesia yang dibagi menjadi tiga bab besar yang di
awali dengan pendahuluan dan diakhiri dengan penutup dan arah demokrasi Indonesia.
Politik memang selalu berkaitan dengan kondisi suatu Negara, dalam hal ini Negara
Indonesia yang menjadi perbincangan utama sesuai dengan judul yang di tulis yakni
system politik Indonesia. Dalam hal ini terdapat transfer kekuasaan yang berlangsung
pada saat lengsernya Suharto pada tanggal 21 mei 1998 kepada wakilmnya B. J.
Habibie. Namun dalam prakteknya dari krisis yang terjadi hingga melengserkan
presiden Suharto tetap saja tidak mengubah banyak keadaan perpolitikan di
inddonesia. Menurut Herbert Feith, ada agenda utama yang harus iwujudkan untuk
mewujudkan ketertiban nasional dan politik. Yaitu : political order, social order,
economic order, legal order, dan security order.
Kecenderungan Indonesia terjebak pada sisstem politik otoriter sejak tahun 1995
sampai akhir 1990 adalah adanya sentralitas kekuasaan. Dimana hal ini tidak
memisahkan kekuasaan antara legislative, eksekutif dan yudikatif. Untuk itulah sejak
lengsernya Suharto diadakan amandemen pada UUD yang mengartur tentang
kekuasaan eksekutif, yudikatif dan legislative. Sehingga setelah adanya amandemen.
Maka mulai tahun 2004, presiden dan seluruh anggota MPR dipilih langsung oleh
rakyat melalui pemilu. Hal ini dilakukan agar tidak terulangnya kekuasaan otoriter
seperti zaman Suharto. Dan agar terdapat mekanisme cheks and balances yang
seimbang dan terjadinya akuntabilitas serta berjalannya system perwakilan yang ada
antara yang terwakili dan yang diwakili.
Dan sebagai Negara yang masih dalam proses menuju demokrasi yang sesungguhnya.
Indonesia tidak lepas dari fenomena-fenomena munculnya partai-partai baru. Untuk
itulah Indonesia mulai tahun 2008 menggunakan system parliamentary threshold (PT).
yakni di dalam system ini hanya partai-partai yang memperoleh suara minimal 2,5%
saja yang mampu menarik kursi di DPR. Karena itulah dimungkinkan hanya kurang dari
10 partai saja yang dapat meraihnya. Tetapi hal ini hanya berlaku pada tingkat pusat.
Sehingga partai yang gagal masih memungkinkan untuk mengikuti pemilu pada periode
berikutnya atau memperoleh kursi di daerah. Dan dalam buku ini juga disebutkan
bahwa apabila system threshold diterapkan, maka system kepartaian yang muncul
adalah system kepartaian multipartai moderat.
Demokrasi juga ditandai oleh adanya 3 prasyarat : kompetensi di dalam
memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan, partisipasi masyarakat, dan adanya
jaminan hak-hak sipil dan politik. Hal inilah juga perlu didukung oleh system pemilu
yang mumpuni, yang dalam buku ini di terangkan dengan penjelasan instrument untuk
menerjemahkan perolehan suara di dalam pemilu ke dalam kursi-kursi yang
dimenangkan oleh partai atau calon. Dan di dalam system politik dan pemilu di

Indonesia system pluralitas/ mayoritas lebih dikenal sebagai system distrik. Yang sejak
pemilu 1995 indonesia mulai menganut system proporsional dalam pemilu dan
menggunakan system penyuaraan yang dari hanya memilih partai ke memilih partai
dan calon yang ada di dalam dafftar partai dan aokasi suara berdasarkan perolehan,
bukan hanya nomor urut. Dengan perubahan besar pula yakni memilih presiden dan
wapres langsung sejak 2004 dan kepala serta wakil kepala daerah yang dipilih
langsung sejak 1 juni 2005.
Budaya politik yang berkembang di masyarakat juga menentukan stabilitas dan
kelangsunan politik yang berjalan. Seperti tingkat kepercayaan (trust) masyarakat pada
pemerintah dan budaya politik warga masyarakat dapat menompang terjadinya
governmental power dan governmental responsiveness di dalam system perwakilan
menurut Almond dan verba (1963:18). Hal ini juga berkaitan dengan budaya politik yang
ada dalam masyarakat yang masih bercorak patronclient, serta perilaku pemilih yang
semata-mata bercorak voluntary serta transaksi material juga menyuburkan
terdapatnya disconnect electoral dimana wakil yang terpilih hanya berjalan dengan
agenda nya sendiri-sendiri. Hingga diperlukan adanya transaksi kebijakan pada masa
yang akan datang untuk membuat politik Indonesia yang lebih baik.
Untuk mendukung itulah perlu adanya pemeritahan yang accountability dan
responsibility. Maka di banyak Negara, khusunya Negara berkembang. Banyak
menggunakan system desentralisasi. Hal ini dimaksudkan agar alokasi penyediaan
barang-barang dan pelayanan public akan menjadi lebih efisien, dan mendorong
demokratisasi di daerah. Meskipun demikian, masih ada sisi negatif dan positif dari
desentralisasi itu sendiri. Maka pemerintah mengeluarkan UU Nomor 22 dan Nomor 25
tahun 1999 tentang kebijakan otonomi daerah.
Untuk itulah perlu dipakai satu cara untuk mengefektifkan kebijakan desentralisasi, yaitu
dengan meletakkannya dalam konteks hubungan antara pemerintah pusat dan daerah
yang lebih dinamis. Apabila hal ini sudah terwujud, maka bukan tidak mungkin otnomi
daerah akan berjalan dengan baik. Menurut Burn, Hambleton dan Hoggett (1994)
upaya untuk meningkatkan demokratisasi di tingkat local dapat di tempuh dengan
empat pendekatan yaitu melalui perbaikan system demokrasi perwakilan (improving
representative democracy), memperluas cakupan demokrasi perwakilan (extending
representative democracy), melibatkan demokrasi partisipatoris kedalam demokrasi
perwakilan (infusing representative with participatory democracy), dan memperluas
demokrasi partisipatory (extending participatory democracy). Hal ini untuk mendukung
tujuan dari otonomi daerah yang ada dalam UU Nomor 5 tahun 1974, yakni untuk
menjaga integrasi nasional, demokratisasi, dan efisiensi dan efektivitas proses
pemerintahan, manajemen pembangunan dan pelayanan pembangunan dan pelayanan
di daerah.
Menurut Brian C. Smith, munculnya transisi demokrasi di daerah berangkat dari suatu
keyakinan bahwa demokrasi di daerah merupakan prasyarat bagi munculnya demokrasi
di tingkat nasional (1998: 85-86). Dan Smith mengemukakan empat alasan pandangan
tersebut yakni, demokrasi pemerintahan ddi daerah merupakan suatu ajang pendidikan
yang relevan bagi warga Negara di dalam suatu masyaarakat yang demokratis,

pemerintah daerah bisa menjadi pengontrol bagi perilaku pemerintah pusat, kualitas
partisipasi di daerah dianggap lebih baik jika di bandingkan apabila terjadi di hanya
pusat, legitimasi pemerintah pusat akan mengalami penguatan apabila pemerintah
pusat itu melakukan reformasi di tingkat lokal. Namu hal ini akan terhambat apabila
adanya patronase kepentingan di dalam mengalokasikan dan mendistribusikan sumbersumber politik dan ekonomi di daerah kepada kelompok-kelompok tertentu saja.
Untuk menjembati hal yang memisahkan antara masyarakat, DPR dan pemerintah.
Maka di adakan UU yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah langsung, DPR
maupun DPD langung. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesenjangan antara
masyarakat dan pemerintah serta DPR dan kepala daerahnya. Relasi antara kepala
daerah dengan rakyat secara teoritis, bisa lebih baik lagi karena para kepala daerah I
tuntut memiliki akuntabilitas yang lebih baik. Dan Pilkada yang di adakan secara
langsung juga dapat melahirkan relasi baru antara Kepala Daerah-DPRD. Yang akan
memunculkan tiga pola yaitu executive heavy, checks and balances dan legislative
heavy.
Setelah runtuhnya Orde Baru, Indonesia berusaha untuk mereformasi birokrasi yang
telah ada. Yakni membawa ibirokrasi netral agar tidak seperti yang terjadi pada masa
Orba, saat terjadi otoritarisme. Keinginan untuk membawa birokrasi netral secara politik
dimaksudkan untuk menghindari adanya penyalahgunaan kekuasaan terhadap
birokrasi. Seperti adanya intervensi politik di dalam penempatan jabatan-jabatan di
dalam birokrasi, adanya penyalahgunaan atas sumber-sumber keuangan dan fasilitasfasailitas public yang dimiliki oleh birokrat, membuat terjadinya pemihakan-pemihakan
kepada kelompok tertentu yang sealiran dengan para birokrat yang bersangkutan
Dalam taraf tertetu, upaya upaya yang dilakukan untuk reformasi birokrasi sudah
membawa hasil yang cukup berarti seperti mulai berkurangnya fenomena pelibatan dan
penggalangan dukungan politik melalui birokrasi sangat minim, jauh berbeda dengan
apa yang terjadi pada zaman ORBA. Namu masih tidak dapat dipungkiri bahwa
poitisasi birokrasi tidak dapat dihindari. Hal ini berkaitan dengan sifat dasar birokrasi
yang tidak lepas dari banyaknya kepentingan dan birokrasi tidak semata-mata bertindak
untuk kepentingan public semata, karena adanya factor tarikan dari pejabat politik yang
terpilih atau berkuasa. Dan usaha untuk meningktakan pelayanan public terus dilakukan
dengan cara kebijakan desentalisasi, dengan desentralisasi terdapat transfer urusan
pemerintahan pusat ke daerah dan juga kepegawaian hingga diharapkan meratanya
pelayanan public sehingga merangsang kreaktivitas daerah hingga adanya lembaga
one stop Service di dalam pengurusan perizinan. Hingga dapat mewujudkan birokrasi
yang
professional.
Relasi antara militer dan politik di dalam suatu Negara pada dasarnya tidak bisa
dilepaskan dari karakteristik system politiknya. Di Negara otoriter atau totaliter,
pengaruh militer di dalam kehidupan politik sangat besar dan merupakan bagian
terpenting dari kekuasan, atau bahkan merupakan penguasa sendiri seperti di Negara
junta militer. Sementara di Negara demokrasi pengaruh militer cenderung mengecil

karena adanya paradigm supremasi sipil atas militer. Militer dengan demikian berada di
bawah kendali sipil.
Militer dapat tetap berintervensi dalam dunia politik takkala adanya suasana system
politik yang sedang berlangsung tidak stabil. Militer memiliki ruang yang lebih leluasa
untuk masuk ke wilayah politik di Negara-negara yang tergolong lemah, dalam kondisi
tidak stabil dan terjadi pembusukan politik. Dengan alasan membuat stabilitas,
permintaan, dan legitimasi atau ketika konsep NKRI dianggap dalam bahaya. Antara
militer dan sipil terdapat relasi yang saling terkait dalam demokrasi seperti tentara
professional, dimana control dilakukan oleh sipil melalui pemaksimalan profesionalisme
di dalam tubuh militer, cara demikian dilakukan agar tentara merasa di hargai atas
kemampuan yang dimilikinya. Dalam hal ini membutuhkan reformasi dalam tubuh militer
atau TNI, dan reformasi dalam tubuh TNI atau militer ini berasal dari berbagai tuntutan
kelompok, mulai dari kelompok civil society sampai political society.

Berbicara tentang system suatu Negara tidak dapat dilepaskan dari system
perekonomianya pula. Pasca lengsernya Orde Baru, kekuasaan Negara terfragmentasi
secara vertical maupun horizontal. Secara vertical terjadi karena adanya kebijakan
otonomi daerah dan terfragmentasi horizontal karena tidak ada lagi kekuatan politik
yang dominan di dalam proses-proses politik. Namun hal ini tidak menjadikan Indonesia
menjadi Negara kapitalis yang berasas ekonomi pasar bebas. Adanya patronase dalam
politik, serta menguatnya kekuatan-kekuatan di luar Negara membuat Indonesia
cenderung menuju arah Patrimonial Oligarchic State, dimana kekuatan yang
mengendalikan pasar memperoleh keuntungan yang lebih besar dari yang lainnya. Dan
karena hal ini Negara berusaha membuat kebijakan yang lebih berimbang, yakni yang
menguntungkan banyak pihak, sebagai mana yang terjadi dalam Negara embedded
autonomy .
Media massa memiliki perngaruh yang sangat besar terhadap jalannya pemerintahan,
mengingat media massa juga berfungsi sebagai media control atas kinerja pemerintah
dan penyambung jalan antara aspirasi masyarakat kepada pemerintahan. Mengingat
peran dan posisi media massa yang begitu penting, keberadaannya sering dikaitkan
dengan demokratis tidaknya suatu negara. System politik yang demokratis
memungkinkan media massa lebih bebas. Media massa berperan sebagai lembaga
yang aktif di dalam mendorong terjadinya proses demokratisasi dan berpengaruh besar
dalam Negara demokrasi. Sebagaimana dikemukakan oleh Kenneth Newton dan Jaw
W van Deth bahwa terdapat 4 teori untuk menjelaskan ada tidaknya pengaruh media
massa yaitu:
1. Teori penguatan ( reinforcement ) yaitu teori yang menjelaskan bahwa pengaruh
media massa itu minimal
2. Teori setting agenda yaitu teori yang menjelaskan bahwa media massa dianggap
tidak dapat menententukan apa yang kita pikirkan. Media massa dianggap dapat
dan memiliki pengaruh terhadap apa yang kita pikirkan.

3. Teori priming dan faming yaitu teori priming menjelaskan bahwa media dapat
mempengaruhi karna lebih focus pada isu-isu tertentu bukan yang lainnya
sementara teori framing empengaruhi menjelaskan bahwa media melakukan set
up untuk mempengaruhi penafsiran pembaca pemirsa dan pendengar tentang
suatu isu dalam makna tertentunya.
4. Teori efek langsung yaitu teori yang menjelaskan bahwa media dipandang
memiliki pengaruh langsung pada sikap dan perilaku seseorang termasuk
didalam perilaku politik. Besar kecilnya pengaruh media massa terhadap politik
berkaitan dengan corak system politik suatu Negara.
Besar kecilnya pengaruh media massa terhadap politik pada kenyataannya berkaitan
dengan corak system politik suatu Negara. Hal ini juga pernah di argumentasikan oleh
Siebert, Peterson, dan Schramm (1963), yang mengelompokkan pers menjadi 4 sistem.
Yakni :

System pers otoriter yaitu system pers yang berfungsi menunjang Negara.
Pemerintah secara langsung menguasai dan mengawasi berbagai kegiatan
media massa. Kebebasan pers bergantung pada penguasa yang memiliki
kekuasaan yang mutlak.
System pers liberal yaitu sytem pers yang diberi kebebasan seluas luasnya
sebagai arena untuk mencari kebenaran tetapi kebenarannya bersifat tidak
mutlak dan dikendalikan oleh kelompok tertentu.
System pers komunis yaitu sytem pers merupakan alat media massa pemerintah
atau partai komunis yang berkuasa dan merupakan bagian integral dari Negara.
System pers tanggung jawab social yaitu system yang dianggap memiliki
kebebasan tetapi kebebasannya tidak mutlak karna pers dituntut memiliki
tanggung jawab social terhadap masyarakat.

Karena demikian pers memiliki kecenderungan untuk memiliki paradoks di dalam


dirinya. Yakni harus merefleksikan suara masyarakat, menjaga keberlangsungan
demokrasi, dan terkadang tidak kuasa untuk memihak kepada pihak-pihak tertentu.
Meskipun tidak seperti dalam revolusi politik, perubahan-perubahan kelembagaan
politik pasca jatuhnya Orba berlangsung cukup cepat. Kelompok -kelompok yang ada di
dalam masyarakat (civil society) maupun kelompok politik (political society) yang sudah
ada melakukan rekonstruksi sendiri-sendiri bahkan kelompok yang merasa dipinggirkan
oleh partai yang sudah ada juga berusaha membentuk partai baru.
Meskipun demikian, partai-partai islam dapat dikelompokan dalam dua jenis yaitu
formalist Islamic parties dan pluratist islamic parties. Formalist islamic parties adalah
partai-partai yang memperjuangkan nilai-nilai islam ke dalam perundang-undangan dan
kebijakan-kebijakan negara diantaranya adalah PPP, PPB, PKS. Sedangkan pluralist
islamic parties adalah partai-partai yang berusaha memperjuangkan nilai-nilai islam di
dalam konteks negara bangsa indonesia yang plural diantaranya PKB dan PAN. Tidak

hanya kelompok islam yang mengembangkan ideologi, namun kelompok-kelompok


yang beraliran diluar islam juga ikut berkompetisi. Contohnya dengan muncul partai
Buddhis Demokrat (Budha), Partai Demokrasi Kasih Bangsa (kristean), ddl. namun
banyak yang tidak lolos dalam threshold.
Secara umum, sekularisme adalah adanya pemisahan antara domain negara dengan
domain agama. Negara merupakan domain publik sementara agama merupakan
domain privat. Tetapi relasi antara agama dan poltik tidak sepenuhnya berlangsung
linier. Pada kenyataanya, proses modernisasi tidak berarti adanya peninggalan agama
didalam kehidupan seseorang maupun kelompok. Selain munculnya partai-partai politik
yang berbasis agama, juga bermunculan kelompok kepentingan yang berbasis agama.
Munculnya kembali kekuatan politik berbasis agama atau menguatnya pengaruh agama
di dalam proses politik merupakan bagian dari paradoks di dalam perkembangan
demokrasi. Hal ini terjadi karena makna demokrasi telah direduksikan semata-mata
sebagai instrumen untuk memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan melalui
pemilu. Hal ini juga dapat dianggap wajar mengingat Indonesia yang berusaha
menjalankan demokratisasi.
Seiring dengan gelombang demokratisasi, suatu negara memang relatif mudah
mengalami transasi menuju demokrasi. Tetapi transisi semacam itu tidak menjanjikan
bahwa negara akan secara terus menerus dalam kerangka demokrasi. Karena itu,
semua negara yang berproses menuju demokrasi selalu menghadapi masalah
konsolidasi demokrasi.
Pada kenyataanya, dalam konsolidasi demokrasi sederhana, demokrasi yang
dihasilkan lebih pada demokrasi prosedural dan lebih menekankan adanya pemenuhan
elemen-elemen dasar yang harus ada di dalam negara demokrasi, Tetapi, demokrasi
demikian belum tentu mampu menyentuh kepentingan bersama, orang-orang yang
menjadi bagian dari negara demokrasi. Dalam perkembangan demokrasi di Indonesia
telah mengalami proses pelembagaan demokrasi yang cukup bermakna. Dimulai dari
adanya penataan pembagian kekuasaan yang memungkinkan terjadinya proses checks
and balance, pelembagaan sistem kepartaian dan improvisasi sistem pemilu, sampai
yang berkaitan dengan relasi antara pemerintah pusat dan daerah.
Namun masih banyak kekurangan yang harus segera diatasi. Demokratisasi dikatakan
terkonsolidasi apabila terdapat regularitas, adanya rutinitas dan berkesinambungan di
dalam mekanisme berdemokrasi. Dengan demikian, demokrasi tidak hanya akan
menguntungkan kelompok-kelompok tertentu saja.
Setelah beberapa kali membaca dan mencoba untuk mengerti tentang segala hal yang
berkaitan dengan system politik Indonesia pasca Orba, di dalam buku Sistem Politik
Indonesia Konsolidasi Pasca Orde Baru ini, kita dapat mengetahui banyak hal dalam
politik yang ada di Indonesia, mulai dari sejarah bangsa hingga politik Indonesia pada
masa yang akan datang yang diprediksi akan menjadi seperti apa. Dalam buku ini
banyak hal yang menarik, diantaranya karena buku ini menyediakan dan menjelaskan

proses dan kejadian politik pada masa lalu dan juga pasca Orde Baru dengan legkap,
menyajikan data dengan daftar singkatan pada awal-awal halaman utama untuk dapat
lebih mudah di pahami. Menyediakan penutup dan pendahuluan pada tiap bab,
sehingga membantu dalam mengerti isi dan tujuan bab per bab yang disuguhkan. Dan
menyusun bab awal sampai akhir dengan runtun mulai dari asal mula dan awal
demokrasi terjadi hingga pada akhir, yakni bagaimana kedemokrasian yang ada dalama
Indonesia setelah Orba. Juga dengan menyertakan argumentasi dari banyak pemikir
politik yang termasyur mulai dari zaman romawi kuno hingga zaman modern dengan
perbandingan pada kondisi yang ada saat ini. Dan juga Mempunyai sisi kritis yang
tajam atas apa yang terjadi pada perpolitikan Indonesia dengan sudut pandang yang
berbeda-beda sehingga tidak terpaku pada satu sisi saja.
Namun hal ini menjadi sedikit terganggu dengan beberapa kelemahannya, seperti
pencampuran bahasa inggris yang hampir menyeluruh dan tanpa terjemahan yang
memadai sehingga menyulitkan bagi pelajar baru yang pemula dalam memahami politik
apabila tidak di dukung oleh kemampuan berbahasa inggris yang cukup. Dan catatan
kaki yang terdapat di nilai kurang dalam menerangkan sumber yang diambil. Juga
penggunaan bahasa asing yang dominan dan digunakan untuk menerangkan
perpolitikan Indonesia tanpa filter bahasa Indonesia, dan kadang kala penerangan dan
penjelasan yang berbelit dan mengulang membuat buku ini kadang membuat jenuh.
Juga tidak adanya gambar otentik dan sejarah yang menompang, membuat buku ini
kurang menarik bagi pembaca pemula.
Dengan demikian para pembaca akan dipanduan dengan komprehensif sehingga apa
yang diperlukan untuk memahami system politik Indonesia yang kompleks dapat
dilakukan. Melalui buku ini, PROF.DR.KACUNG MARIJAN seolah-olah ingin
membimbing dan menginformasikan para pembaca untuk mengikuti sedetail mungkin
sebuah proses rumit tentang system poltik Indonesia konsolidasi demokrasi pasca-orde
baru.

Anda mungkin juga menyukai