Identifikasi Jenis Jenis Sagu Metroxylon SP
Identifikasi Jenis Jenis Sagu Metroxylon SP
Identifikasi Jenis Jenis Sagu Metroxylon SP
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanaman sagu (Metroxylon sp) merupakan salah satu komoditi bahan
pangan yang banyak mengandung karbohidrat, sehingga sagu merupakan bahan
makanan pokok untuk beberapa daerah di Indonesia seperti Maluku, Irian Jaya
dan sebagian Sulawesi.
industri pangan yang antara lain dapat diolah menjadi bahan makanan seperti
bagea, mutiara sagu, kue kering, mie, biskuit, kerupuk dan laksa (Harsanto,
1986).
Luas areal tanaman sagu di Indonesia sampai saat ini belum diketahui
secara pasti. Beberapa literatur yang ada memberikan data yang berbeda-beda,
tetapi berdasarkan perkiraan M. Yusuf Samad (2002) luas areal sagu di Indonesia
sekitar. 1.000.0000 hektar.
Pada tahun 2007 luas areal sagu di Sulawesi Tenggara diperkirakan sekitar
5.607 hektar(BPS Sultra 2007). Sulawesi Tenggara merupakan salah satu daerah
yang memiliki potensi sagu yang cukup luas dengan sebagian penduduknya
menjadikan sagu sebagai bahan makanan pokok atau pun bahan makanan
tambahan. Luas areal tanaman sagu di Sulawesi Tenggara semakin berkurang
karena banyaknya areal sagu yang dikonversi menjadi areal persawahan dan
lokasi pemukiman. Sagu di Sulawesi Tenggara tumbuh pada tiga macam kondisi
lingkungan tumbuh yang berbeda, yaitu : tanah kering, tanah rawa dan pinggir
sungai. Tanaman sagu ditemukan paling banyak pada kondisi tanah rawa dan
paling sedikit pada kondisi tanah pinggir sungai (Kanwil Perindustrian Sultra,
1995).
Sagu yang tumbuh di Sulawesi Tenggara dikenal ada empat jenis sagu
dengan nama lokal setempat, yaitu : runggamanu, rui, boruwila dan roe. Tiga
jenis pertama merupakan jenis sagu yang berduri, sedangkan jenis sagu roe tidak
berduri. Sagu jenis roe mempunyai aci yang putih dan rasanya enak sehingga
jenis sagu ini yang banyak diolah oleh penduduk setempat untuk dijadikan
sebagai bahan makanan (Haryanto dan Pangloli, 1992).
Beberapa
menyimpulkan
hasil
penelitian
yang
dirangkum
bahwa
tanaman
sagu
mempunyai
oleh
Wahid
beberapa
(1987)
keuntungan
rawa atau tanah marginal (kahat hara) dimana penghasil karbohidrat lainnya
sukar/sulit tumbuh dengan wajar. Di indonesia, khususnya di Sulawesi Tengara
pada umumnya masyarakat setempat baru memanfaatkan aci sagu sebagai bahan
pakan lokal/tradisional seperti : sinonggi, kapurung, bagea dan lain-lain, serta
masyarakat Sulawesi Tenggara memanfaatkan daunnya sebagai bahan atap.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan dapat dirumuskan
beberapa permasalahan :
1. Jenis-jenis sagu apa saja yang terdapat di Kecamatan Abeli Kota Kendari
Sultra?
2. Jenis-jenis sagu apa saja yang paling dominan di Kecamatan Abeli Kota
Kendari Sultra?
3. Jenis-jenis sagu apa saja yang berpotensi untuk dikembangkan di Kecamatan
Abeli kota Kendari Sultra?
C. Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan jenis
sagu yang terdapat di Kecamatan Abeli Kota Kendari. Kegunaan penelitian ini
diharapkan sebagai sumbangan pemikiran dan bahan pertimbangan dalam
mengoptimalkan produksi tanaman sagu (Metroxylon sp) dan merupakan bahan
pembanding pada penelitian selanjutnya.
Pada
anakan sagu durinya sangat banyak dan rapat. Setiap tangkai daun terdiri atas
100-200 helai daun dengan panjang 151-155 cm dan lebar 8,1-9,1 cm (Tenda
et al. 2003). Menurut Haryanto dan Pangloli (1992) produksi tepung sagu
tuni di Sulawesi Tenggara dapat mencapai 250-300 kg. Sagu ini merupakan
jenis sagu yang paling besar ukurannya dibandingkan dengan jenis lainnya
(Manan et al. 1984) dalam Haryanto dan Pangloli (1992).
.
2. Roe atau Molat
Tinggi batang sekitar 10-14 meter, diameter sekitar 40-60 cm dan berat batang
mencapai 1,2 ton atau lebih. Jenis sagu ini tidak berduri, ujung daun panjang
meruncing sehingga dapat melukai orang bila menyentunya.
Letak daun
berjauhan, panjang tangkai daun sekitar 4-6 meter, panjanhg lembaran daun
sekitar 1,5 meter dan lebernya sekitar 7 cm.
Jenis sagu ini mempunyai tinggi batang sekitar 10 meter dengan dimeter
sekitar 40-50 cm. Pelepah berwarna hijau keputih-putihan, empulurnya lunak
dan berwarna putih. Setiap pohon dapt menghasilkan sekitar 120 kg aci
kering. Produksi tepung sagu jenis barowila sangat sedikit jika dibandingkan
dengan jenis sgu lainnya (Haryanto dan Pangloli, 1992).
4. Rui atau Rotan
Jenis sagu ini dicirikan dengan tinggi batang yang relatif lebih pendek yaitu
7,20 meter, dengan diameter batang sekitar 40 cm. Panjang tangkai daun
dapat mencapai 6,07 meter, sedangkan panjang pelepah daun sekitar 3,56
meter. Setiap tangkai daun terdiri atas 100-200 helai daun yang berwarna
hijau dengan panjang daun antara 130-147 cm dan lebar daun 6-7 cm. Sagu
ini memiliki empulur agak keras, mengandung banyak serat, dan berwarna
kemerh-merahan serta kandungan aci paling sedikit (Tenda et al. 2003).
Kandungan aci dalam empulur hanya sekitar 200 kg per pohon dan rasanya
kurng enak (soerjono, 1980) dalam Harynto dan Pangloli (1992).
B. Morfologi sagu
Sagu tumbuh dalam bentuk rumpun. Setiap rumpun terdiri dari 1-8 batang
sagu, pada setiap pangkal tumbuh 5-7 batang anakan. Pada kondisi liar rumpun
sagu akan melebar dengan jumlah anakan yang banyak dalam berbagai tingkat
pertumbuhan (Harsanto, 1986). Lebih lanjut Flach (1983) dalam Djumadi (1989)
menyatakan bahwa sagu tumbuh berkelompok membentuk rumpun mulai dari
anakan sampai tingkat pohon. Tajuk pohon terbentuk dari pelepah yang berdaun
sirip dengan tinggi pohon dewasa berkisar antara 8-17 meter tergantung dari jenis
dan tempat tumbuhnya.
C. Batang
Batang sagu merupakan bagian terpenting karena merupakan gudang
penyimpanan aci atau karbohidrat yang lingkup penggunaannya dalam industri
sangat luas, seperti industri pangan, pakan, alkohol dan bermacam-macam
industri lainnya (Haryanto dan Pangloli, 1992).
Batang sagu berbentuk silinder yang tingginya dari permukaaan tanah
sampai pangkal bunga berkisar 10-15 meter, dengan diameter batang pada bagian
bawah dapat mencapai 35 samapi 50 cm (Harsanto, 1986), bahakan dapat
mencapai 80 sampai 90 cm (Haryanto dan Pangloli, 1992). Umumnya diameter
batang bagian bawah agak lebih besar daripada bagian atas, dan batang bagian
bawah umumnya menagndung pati lebih tinggi daripada bagian atas (Manuputty,
1954 dalam Haryanto dan Pangloli, 1992)
Pada waktu panen berat batang sagu dapat mencapai lebih dari dari 1 ton,
kandungan acinya berkisar antara 15 sampai 30 persesn (berat basa), sehingga
satu pohon sagu mampu menghasilkan 150 sampai 300 kg aci basah (Harsanto,
1986; Haryanto danPangloli, 1992).
D. Daun
Daun sagu berbentuk memanjang (lanceolatus), agak lebar dan berinduk
tulang daun di tengah, bertangkai daun dimana antara tangkai daun dengan lebar
daun terdapat ruas yang mudah dipatahkan (Harsanto, 1986).
Daun sagu mirip dengan daun kelapa mempunyai pelepah yang menyerupai
daun pinang. Pada waktu muda, pelepah tersusun secara berlapism tetapi setelah
dewasa terlepas dan melekat sendiri-sendiri pada ruas batang (Harsanto, 1986;
Haryanto dan Pangloli, 1992).
Pangloli (1992) menyatakan bahwa sagu yang tumbuh pada tanah liat dengan
penyinaran yang baik, pada umur dewasa memiliki 18 tangkai daun yang
panjangnya sekitar 5 sampai 7 meter. Dalam setiap tangkai sekitar 50 pasang
daun yang panjangnya bervariasi antara 60 cm sampai 180 cm dan lebarnya
sekitar 5 cm.
Pada waktu muda daun sagu berwarna hijau muda yang berangsur-angsur
berubah menjadi hijau tua, kemudian berubah lagi menjadi coklat kemerahmerahan apabila sudah tua dan matang. Tangkai daun yang sudah tua akan lepas
dari batang (Harsanto, 1986).
E. Bunga dan Buah
Tanaman sagu berbunga dan berbuah pada umur sekitar 10 sampai 15
tahun, tergantung jenis dan kondisi pertumbuhannya dan sesudah itu pohon akan
mati (Brautlecht, 1953 dalam Haryanto dan Pangloli, 1992).
Flach (1977)
menyatakan bahwa awal fase berbunga ditandai dengan keluarnya daun bendera
yang ukurannya lebih pendek daripada daun-daun sebelumnya.
Bunga sagu merupakan bunga majemuk yang keluar dari ujung atau pucuk
batang sagu, berwarna merah kecoklatan seperti karat (Manuputty, 1954 dalam
Haryanto dan Pangloli, 1992). Sedangkan menurut Harsanto (1986), bunga sagu
tersusun dalam manggar secara rapat, berkuran secara kecil-kecil, waranya putih
berbentuk seperti bunga kelapa jantan dan tidak berbau.
Bunga sagu bercabang banyak yang terdiri dari cabang primer, sekunder
dan tersier (Flach, 1977). Selanjutnya dijelaskan bahwa pada cabang tersier
terdapat sepasang bunga jantan dan betina, namun bunga jantan mengeluarkan
tepung sari sebelum bunga betina terbuka atau mekar. Oleh karena itu diduga
bahwa tanaman sagu adalah tanaman yang menyerbuk silang, sehingga bilamana
tanaman ini tumbuh soliter jarang sekali membentuk buah.
Bilamana sagu tidak segera ditebang pada saat berbunga maka bunga akan
membentuk buah. Buah bulat kecil, bersisik dan berwarna coklat kekuningan,
tersusun pada tandan mirip buah kelapa (Harsanto, 1986). Waktu antara bunga
mulai muncul sampai fase pembentukan buah diduga berlangsung sekitar dua
tahun (Haryanto dan Pangloli, 1992).
F. Lingkungan Tumbu Tanaman Sagu
Tanaman sagu merupakan tanaman yang dapat tumbuh baik di daerah
khatulistiwa, di daerah tepi pantai dan sepanjang aliran sungai pada garis lintang
antara 10 LU dan 10 LS dan pada ketinggian 300 sampai 700 meter di atas
permukaan laut (dpl), mempunyai curah hujan lebih dari 2000 mm per tahun
(Tan, 1982; Harsanto, 1986).
Menurut Harsanto (1986) bahwa jumlah curah hujan yang menguntungkan
bagi pertumbuhan sagu diduga antara 2000 sampai 4000 mm per tahun, tersebar
merata sepanjang tahun dengan temperatur rata-rata 24C sampai 30C.
10
11
sagu ini
merupakan jenis sagu yang paling besar ukurannya dibandingkan denga jenis
lainnya (Manan, dkk. 1984) dalam Haryanto dan Pangloli (1992).
12
2.
bunga
majemuk
berwarna
sawo
matang
kemerah-merahan.
Empulurnya lunak dan berwarna putih, oleh karena itu acinya berwarna putih
dan rasanya enak dan disukai penduduk. Berat empulur sekitar 80% dari berat
batang dan kandungan acinya sekitar 18% (Rumalatu, 1981) dalam Haryanto
dan Pangaloli. (1992). Setiap pohon dapat menghasilkan aci basah sekitar 800
kg atau sekitar 200 kg aci kering (Manuputy, 1954 dan Soeryono, 1980)
dalam Haryanto dan Pangloli (1992). Tenda et. al. (2003) menerangkan bahwa
produksi tepung dari sagu molat dapat mencapai 400 Kg.
3.
13
hanya sekitar 200 kg dan rasanya kurang enak (Soerjono, 1980) dalam
Haryanto dan Pangloli (1992).
Tinggi Batang , Diameter Batang Dan Tebal Kulit Batang
Tinggi batang, diameter batang dan tebal kulit disajikan pada tabel 1. Pada
umumnya jenis sagu tuni memiliki tinggi batang tertinggi, diameter batang yang lebih
besar dan mempunyai ketebalan kulit yang lebih tebal bila dibandingkan jenis sagu
molat dan jenis sagu rotan.
Tabel 1. Tinggi batang, diameter batang, tebal kulit batang berbagai jenis
sagu dari masing-masing lokasi penelitian.
Parameter Batang
Tinggi Batang (m)
Diameter batang (cm)
Tebal kulit batang (cm)
Ms = Metroxylon Sagus R,
Mm =
14
Parameter Daun
Menyirip
Hijau
Warna daun
tua
Panjang daun 7,10
Bentuk daun
(m)
Duri daun
Kel. Abeli
Mr
Ms
Mm
Berduri
Menyirip
Hijau
Menyirip
Hijau
Menyirip
Hijau
Menyirip
Hijau
6,40
Menyirip
Hijau
tua
7
7
Berduri
7,70
Berduri
Berduri
Berduri
Menyirip
Hijau
Menyirip
Hijau
6,20
Menyirip
Hijau
tua
6,70
6,80
Berduri
Berduri
Berduri
Kel. Tonoggeu
Mr
Ms
Mm
Menyirip
Hijau
Menyirip
Hijau
5,90
Menyirip
Hijau
tua
7,60
7,50
6,10
Berduri
Berduri
Berduri
Berduri
Ms = Metroxylon Sagus R,
Mm =
Jumlah Anakan
Jumlah anakan disajikan pada tabel 3. Tabel tersebut menunjukkan bahwa
jenis sagu molat memiliki anakan yang terbanyak, sedangkan jenis sagu tuni memiliki
anakan yang sedang dan hampir sama dengan jenis sagu rotan.
Tabel 3. Jumlah anakan bebagai jenis sagu dari dari masing-masing lokasi
penelitian
Lokasi penelitian/jenis sagu
Jumlah
Kel. Abeli
Kel. Tobimeita Kel. Nambo
Kel. Tonoggeu
anakan
Mr
Kurang
Sedang
Ms
Mm
Mr
Ms
Mm
Mr
Ms
Mm
Mr
Ms
Mm
Banyak
Usia Panen
15
= Metroxylon Sagus R, Mm =
Usia panen disajikan pada tabel 4, tabel tersebut menunjukkan bahwa jenis
sagu tuni memiliki usia panen yang lebih lama dan relatif sama dengan jenis sagu
molat, sedangkan jenis sagu rotan memiliki usia panen yang lebih cepat.
Tabel 4 Usia panen berbagai jenis sagu dari masing-masing lokasi penelitian
Parameter
Kel. Abeli
Mr
Ms
Mm
Kel. Tonoggeu
Mr
Mr
Ms
Mm
Mr
Ms
Mm
Usia panen
10 10
9
11 10
8
10 9,5 8
12
(umur)
Keterangan : Mr = Metroxylon rumphii M, Ms = Metroxylon Sagus R,
Metroxylon Microcanthum M
Ms
Mm
10
10
Mm =
Produksi Perbatang
Produksi perbatang disajikan pada tabel 5. tabel tersebut menunjukan bahwa
jenis tunimemiliki produksi perbatang lebih tinggi di ikuti sagu molat, sedangkan
jenis sagu rotan memiliki produksi perbatang yang ter rendah.
Tabel 5. Produksi perbatang berbagai jenis sagu dari masing-masing lokasi
penelitian
Lokasi penelitian/jenis sagu
Parameter
Kel. Abeli
Kel. Tobimeita
Kel. Nambo
Kel. Tonoggeu
produksi
Mr
Ms
Mm
Mr
Ms
Mm
Mr
Ms
Mm
Mr
Ms
Mm
Berat
tepung
sagu biasa 450 400 150 500 450 200 400 400 200 500 450 250
(Kg per 1
pohon)
Keterangan : Mr = Metroxylon rumphii M, Ms = Metroxylon Sagus R, Mm =
Metroxylon Microcanthum M
B. Pembahasan
16
Hasil penelitian menunjukan bahwa sagu yang dominan adalah jenis sagu
molat diikuti dengan jenis sagu tuni, dan jenis sagu rotan hampir punah. Menurut
Haryanto dan Pangloli (1992) jenis sagu molat banyak disukai masyarakat karena
acinya berwarna putih dan enak rasanya, disamping itu mudah dilakukan pengolahan
karena jenis sagu ini tidak berduri dan empulurnya lunak sehingga mudah di tokok
Jenis sagu rotan kurang disukai oleh masyarakat setempat karena sagu ini
berduri rapat dapat melukai orang yang menyentuhnya. Disamping itu empulurnya
agak keras dan banyak mengandung serat serta acinya berwarna kemerah-merahan
dan rasanya kurang enak. Produksi sagu rotan hanya dapat
mencapai 200 kg
kandungan acinya. Menurut Harsanto (1986) jenis sagu yang paling rendah
produksinya dibandingkan dengan jenis sagu lainnya.
Jenis sagu tuni memiliki batang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis sagu
molat dan sagu rotan, demikian pula pada diameter batang kecuali pada jenis sagu
rotan memiliki ukuran diameter batang yang kecil. Hal ini sesuai yang dinyatakan
oleh Ramalutu (1985) dalam Haryanto dan Pangloli (1992). Bahwa jenis sagu tuni
mempunyai ukuran tinggi batang 10-20 meter, dengan diameter 70-100 cm,
selanjutnya Manan Dkk (1994). Dalam Haryanto dan Pangloli (1992) menyatakan
bahwa jenis sagu tuni adalah jenis sagu yang paling besar ukurannya di bandingkan
dengan jenis sagu lainnya. Sedangkan dengan jenis sagu molat ukurannya sedang dan
dengan jenis sagu rotan diameter batangnya kecil. (Harsanto, 1986). Menurut
Rumalatu (1981) dalam Haryanto dan Pangloli (1992 ) menyatakan bahwa perbedaan
tinggi batang dari setiap jenis sagu pada tingkat umur dan lingkungan dan lingkungan
17
yang sama tergantung dari sifat genetis dan kemampuan pertumbuhannya. Jenis sagu
yang memiliki sifat genetis dan daya adaptasi terhadap lingkungan yahg baik akan
memperlihatkan pertumbuhan yang baik pula.
Jenis sagu tuni memiliki diameter batang terbesar, jenis sagu molat memiliki
diameter batang sedang, dan jenis sagu rotan memiliki diameter batang yang lebih
kecil. Hal ini sesuai yang dinyatakan Haryanto dan Pangloli (1992) yang menunjukan
bahwa jenis sagu tuni memiliki diameter batang 50-60 cm, jenis sagu molat memiliki
diameter batang 40-60 cm dan jenis sagu rotan memiliki diameter batang sekitar 40
cm. Adanya perbedaan ukuran tersebut diduga adanya toleransi dan kemampuan
suatu jenis sagu dalam memperoleh kebutuhan unsur hara, mineral, bahan organik
dah kecocokan pH air tanah dalam suatu lingkungan tumbuh, dengan demikian jenis
sagu yang mampu memenuhi kebutuhannya dalam jumlah maksimal akan
menampakan pertumbuhan yang lebih baik. Harsanto (1986) menyatakan bahwa jenis
sagu tuni mempunyai diameter yang paling besar, sagu molat mempunyai diameter
batang sedang, dan jenis sagu rotan mempunyai batang diameter yang kecil.
Jenis sagu tuni memiliki panjang daun yang paling panjang disusul dengan
jenis sagu molat, dan jenis sagu rotan memiliki panjang daun yang paling pendek.
Perbedaan ukuran daun tersebut disebabkan karena perbedaan sifat genetis dan
morfologis dari ketiga jenis sagu (Haryanto dan Pangaloli, 1992 ).
Jenis sagu molat memiliki jumlah anakan yang banyak, sedangkan jenis sagu
tuni dan jenis sagu rotan jumlah anakannya relatif sama. Hal ini diduga ada
hubungannya dengan jenis-jenis sagu tersebut dalam pengelolaannya. Pada jenis sagu
18
molat sering dilakukan penebangan terhadap pohon yang siap panen secara terus
menerus karena jenis sagu ini memiliki kandungan aci yang putih dan rasanya enak
sehingga banyak disenangi dan disukai masyarakat (Haryanto dan Pangloli, 1992) hal
ini mendorong anakan yang tumbuh dari induk yang di panen cenderung keluar
untuk menjauhi induknya sehingga memperluas jumlah anaknya.
Selanjutnya Haryanto dan Pangloli (1992) menjelaskan bahwa tanaman sagu
akan menghasilkan anakan secara berurutan dengan pola anak beranak yang
selanjutnya membentuk rumpun yang lebih luas. Jenis sagu rotan dibiarkan tumbuh
secara liar dan tidak ada usaha pemeliharaan. Lebih lanjut Haryanto dan Pangloli
(1992) menjelaskan bahwa populasi tanaman sagu tergantung dari jenis, daerah
produksi dan perlakuan yang diberikan selama masa pertumbuhan dimana
pertumbuhan sagu yang dipelihara atau dibudidayakan populasinya lebih padat dari
pada yang tumbuh secara liar.
Pada jenis sagu rotan usia panennya lebih cepat, kemudian diikuti jenis sagu
molat, sedangkan usia panen pada jenis sagu tuni lebih lama. Hal tersebut
berhubungan erat dengan tinggi batang dan jumlah daun, artinya batang yang tinggi
dan daun yang banyak secara umum mempengaruhi usia sagu. Semakin banyak
jumlah daun terbentuk dan tinggi batang lebih tinggi maka semakin lama usia panen
yang dilakukan. Dengan demikian tinggi batang dan jumlah daun pada sagu jenis
molat sangat mendukung untuk memiliki usia panen yang lebih panjang. Hasil ini
sama dengan yang dilaporkan Haryanto dan Pangloli (1992) bahwa jenis sagu tuni
memiliki usia panen yang lebih panjang dengan tinggi batang bahkan mencapai 18
19
meter. Adanya perbedaan usia sagu tersebut di duga kerena adanya perbedaan sifat
morfologis dan kondisi linkungan tumbuh.
Produksi aci sagu perbatang yang tertinggi terdapat pada jenis sagu tuni
diikuti jenis sagu molat. Sedangkan jenis sagu rotan memiliki produksi aci sagu
perbatang paling rendah, tingginya produksi jenis sagu tuni karena memiliki jumlah
daun yang banyak dan tinggi batang yang relatif tinggi dibandingkan dengan jenis
sagu lainnya. Menurut Flach (1977) dalam Haryanto dan Pangloli (1992) menyatakan
bahwa kandungan aci dalam batang sagu semakin lama semakin bertambah banyak
dan apabila sagu mendapatkan sinar matahari yang cukup selama pertumbuhannya,
kandungan aci dalam batangnya meningkat secara linear sampai terjadi pembentukan
bunga. Selain faktor lingkungan kandungan aci dalam batang sagu dipengaruhi oleh
umur dan jenisnya (Rumalatu, 1981) dalam Haryanto dan Pangloli (1992). Semakin
besar ukuran diameter batang sagu maka aci yang dihasilkan semakin besar pula.
Jumlah populasi sagu di Kecamatan Abeli Kota Kendari semakin berkurang karena
sebagian wilayah tanaman sagu digunakan untuk daerah pemukiman, persawahan,
tambak, dan kurangnya pemeliharaan pada tanaman sagu. Untuk mengatasi
kepunahan tanaman sagu maka perlu diadakan pembudidayaan sagu dan memilih
tanaman sagu yang mampu beradaptasi terhadap kondisi lingkungan tumbuh dan
keadaan iklim setempat. Jenis sagu yang cocok untuk dikembangkan dilokasi
penelitian adalah jenis sagu molat dan jenis sagu tuni karena kedua jenis sagu ini
memiliki keunggulan yaitu mampu beradaptasi terhadap kondisi lingkungan tumbuh
dan iklim setempat, empulurnya mudah ditokok, kadar empulurnya banyak dan
20
rasanya enak, acinya berwarna putih. Hal ini sesuai yang dinyatakan Haryanto dan
Pangloli (1992) bahwa jenis sagu tuni dan jenis sagu molat memiliki empulur yang
lunak sehingga mudah ditokok, acinya berwarna putih, dan rasanya enak sehingga
sangat disukai oleh penduduk setempat. Keunggulan lain dari kedua jenis sagu ini
memiliki diameter batang yang lebih besar bila dibandingkan dengan jenis sagu lain,
juga memiliki produksi yang lebih tinggi.
21
Jenis-jenis sagu yang tersebar di Kecamatan Abeli Kota Kendari ada tiga
jenis yaitu Tuni/Runggamanu (Metroxylon Rumphii Martius), olat/Roe
(Metroxylon Sagus Rottbol ) dan Rotan/Rui (Mitroxylon Micrachantum
Martius)
2.
Jenis sagu yang dominan di Kecamatan Abeli Kota Kendari adalah jenis
sagu molat.
3.
Jenis sagu tuni mempunyai mempunyai batang yang lebih tinggi dengan
lingar batang lebih besar dibandingkan dengan dua jenis sagu lainnya,
sehingga produksi yang dihasilkan lebih tinggi.
4.
Pada umumnya jumlah anakan dari ketiga jenis sagu relatif tidak merata
sehingga jarak populasi dalam satu rumpun nampak tidak teratur.
5.
Secara umum jenis sagu yang memiliki potensi untuk dikembangkan adalah
jenis sagu molat dan jenis sagu tuni karena kedua jenis tersebut mempunyai
kandungan aci yang tinggi.
B. Saran
Diharapkan kepada pemerintah, petani pengelola sagu serta pihak yang
berkepentigan dalam pengembangan tanaman sagu terhadap jenis molat secara
intensif maupun ekstensif guna memenuhi cadangan pangan serta untuk
komersialisasi sagu di masa mendatang.
22
DAFTAR ISI
ABSTRAK............................................................................................................
HALAMAN PENGESAHAN ..............................................................................
DAFTAR ISI .........................................................................................................
DAFTAR TABEL .................................................................................................
I
II
III
IV
i
ii
iii
iv
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ......................................................................................
TINJAUAN PUSTAKA
A. Klasifikasi ..............................................................................................
C. Batang ....................................................................................................
D. Daun ......................................................................................................
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu .................................................................................
10
10
10
10
10
11
B. Pembahasan ...........................................................................................
16
PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................
22
B. Saran ......................................................................................................
22
23
DAFTAR PUSTAKA
Harsanto, P.B., 1986. Budidaya dan Pengolahan Sagu. Kanisius. Yogyakarta.
Haryanto, B. Dan Pangloli, P., 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius.
Yogyakarta.
Jumadi, A., 1989. Sistem Pertanian Sagu di Daerah Luwu Sulsel. Thesis Pasca
Sarjana IPB. Bogor.
Kantor Wilayah Perindustrian Sultra, 1983. Profil Pengembangan Industri
Pengolahan Sagu. Proyek Pengembangan Industri Kecil dan Menengah.
Kendari.
Kantor Wilayah Perindustrian Sultra, 1995.
Pengolahan Sagu. Kendari.
24
ABSTRAK
La Siami (DIB11009). Identifikasi Jenis-Jenis Sagu (Metroxylon sp) di Kecamatan
Abeli Kota Kendari. (Dibimbing oleh Dirvamena Boer sebagai Pembimbing I dan
Muhidin sebagai Pembimbing II).
Suatu penelitian untuk mengetahui jenis-jenis sagu dan sagu yang dominan di
Kecamatan Abeli Kota Kendari.
Hasil penelitian menunjukan bahwa jenis-jenis sagu yang ad di Kecamatan
Abeli Kota Kendari terdiri dari tiga jenis yaitu Metroxylon rumphii Martius (tuni/
runggamanu), Metroxylon sagus Rottbol (molat/roe) dan Metroxylon micracanthum
Martius (rotan/rui). Jenis sagu yang dominan penyebarannya adalah Metroxylon
sagus Rottbol (molat/roe).
Hasil penelitian menunjukan bahwa jenis sagu tuni memiliki tinggi batang
tertinggi, diameter batang terbesar dibandingkan dengan jenis sagu molat dan jenis
sagu rotan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa jenis sagu tuni memiliki panjang daun
yang terpanjang disusul sagu molat, sedangkan jenis sagu rotan memiliki panjang
daun terpendek.
Hasil penelitian menunjukan bahwa jenis sagu molat memiliki jumlah anakan
yang terbanyak disusul sagu tuni, sedangkan jenis sau rotan memiliki jumlah anakan
yang kurang.
Hasil penelitian menunjukan bahwa jenis sagu tuni memiliki usia panen lebih
lama diikuti jenis sagu molat sedangkan jenis sagu rotan memiliki siap panen yang
cepat. Jenis sagu tuni memiliki produksi perbatang yang tinggi diikuti jenis sagu
molat sedangkan jenis sagu rotan memiliki produksi perbatang yang terendah.
Dapat disimpulkan bahwa jenis sagu tuni dan jenis sagu molat mempunyai
potensi untuk dikembangkan karena memiliki sifat genetis yang baik dan adaptasi
terhadaplingkungan yang baik serta kandungan acinya lebih tinggi.
i
25
HALAMAN PENGESAHAN
Judul
Nama
La Siami
Stambuk
D1B1 01 009
Prog. Studi
Agronomi
Jurusan
Budidaya Pertanian
Fakultas
Pertanian
Menyetujui :
Pembimbing I
Pembimbing II
Mengetahui
Ketua Program Studi Agronomi,
26
ii
27
DAFTAR TABEL
No.
1.
Teks
Halaman
2.
Bentuk daun, warna daun, panjang daun, duri daun, dan tipe pelepah
daun, berbagai jenis sagu dari masing-masing lokasi penelitian..................
3.
13
14
14
4.
Usia panen berbagai jenis sagu dari masing-masing lokasi penelitian .......
15
5.
iv
28
15