Konsep Positive Parenting Menurut Muhammad Fauzil Adhim Dan Implikasinya Terh Adap Pendidikan Anak
Konsep Positive Parenting Menurut Muhammad Fauzil Adhim Dan Implikasinya Terh Adap Pendidikan Anak
Konsep Positive Parenting Menurut Muhammad Fauzil Adhim Dan Implikasinya Terh Adap Pendidikan Anak
SKRIPSI
Ol
eh :
Disusun oleh:
ERNY TYAS RUDATI
3103126
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2008
DEPARTEMEN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS TARBIYAH
Jl. Prof. Dr. Hamka telp. 7601295 Semarang 50185
PENGESAHAN
Hari/ Tanggal
Tanda tangan
_________________
_________________
________________
_________________
Nasirudin, M.Ag
Penguji I
________________
_________________
_________________
_________________
ii
MOTTO
iii
PERSEMBAHAN
Dengan segala hormat dan kerendahan hati,
Skripsi ini penulis persembahkan kepada :
iv
KATA PENGANTAR
4. Drs. Abdul Wahid, M.Ag selaku wali studi yang telah memberikan bimbingan
dan pengarahan selama masa perkuliahan
5. Para Dosen pengajar yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan serta para
staff karyawan di lingkungan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang
6. Bapak Muhammad Fauzil Adhim yang menjadi sumber inspirasi dan telah
bersedia membantu dalam penyusunan skripsi ini.
7. Bapak Muhni dan Ibu Sukini, yang senantiasa memberikan semangat, kasih
sayang, dukungan moral dan materi'il serta doa, cinta dan atas segala
dukungannya dan motivasi serta doa restunya sehingga terselesaikan studi ini.
8.
Bulek Sukiyok, Bulek Mami, Bulek Kinok, Om Suwito Mbak Nungki dan
Adik-adik keponakanku, Urutya, Octavia, Mariska, dan Dea Nova, Shinya
Humayra, You are my inspiration
9. Kakak-kakakku tercinta, Kak Absory, Mas Ayi', yang tiada lelah membantu,
membimbing, dan memotivasi penulis. Thanks for all your kind
10. My best Friend, Nenk Lina, Nenk Rina, Nenk Anisatul, Himma, Anisa, Mbak
Kiki, Jeng Puji, Miss Jannah, Mas Rohmanto, Thanks for filling space in my
life .
11. Kepala TPQ Al-Iman, Ibu Rukmini beserta seluruh kepengurusan dan juga
ustadz-ustadzah, Bu Wati, Bu Nisa, Bu Isti, Bu As, Bu Ifah, dan Pak Badawi .
Terima kasih atas penerimaannya. It's a kind to me and helpfull
12. Segenap Keluarga Besar Koperasi Mahasiswa Walisongo Semarang
13. Teman-teman PPL di SMP 16 dan KKN di Kendal posko 23, Kebon
Gembong Pageruyung Kendal, yang telah memberikan sebuah arti tentang
persahabatan dan terima kasih atas segala dukungan dan motivasi yang
diberikan selama ini, teriring doa jazakumullah Khoiraljaza wajazakumullah
khoiran katsira. Amin.
Terakhir kali, penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan dan
keterbatasan yang ada dalam skripsi ini. Karena keterbatasan kemampuan, tenaga
dan juga biaya serta wawasan yang dimiliki penulis. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif guna mengevaluasi dan
memperbaiki skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat
vi
bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya serta hasanah ilmu
pengetahuan.
vii
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi
ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan.
Demikian juga skripsi ini tidak berisi pikiran orang lain, kecuali informasi yang
terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Deklarator,
viii
ABSTRAK
Erny Tyas Rudati (NIM. 3103126). Konsep Positive Parenting menurut
Muhammad Fauzil Adhim dan implikasinya bagi pendidikan Anak. Semarang :
Fakultas Tarbiyah, Jurusan Pendidikan Agama Islam IAIN Walisongo 2008.
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah; (1) Bagaimana
pemikiran Muhammad Fauzil Adhim tentang Positive Parenting; (2) Bagaimana
Implikasi Positive Parenting Muhammad Fauzil Adhim terhadap pendidikan anak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui; (1) Konsep Positive
Parenting menurut Muhammad Fauzil Adhim; (2) Implikasi Positive Parenting
bagi Pendidikan Anak menurut Fauzil Adhim
Penelitian ini menggunakan riset perpustakaan (Library research)
dengan pendekatan kualitatif. Data penelitian yang terkumpul dianalisis dengan
menggunakan metode induksi, komparasi dan wawancara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa menurut Fauzil Adhim, orang tua
yang mendidik anaknya menggunakan Positive Parenting akan membuat seorang
anak mempunyai kemampuan intelektual dan fisik yang bagus, termasuk
perkembangan emosi dan sosialnya.
Muhammad Fauzil Adhim mempunyai kriteria menasehati anak dengan
bijak, yaitu: menasehati anak bukan dengan luapan emosi karena merupakan
tindakan mendidik agar anak memiliki sikap yang baik, mengajarkan konsekuensi
bukan ancaman, jangan cela diri anak, cukup perilakunya saja, jangan pernah
berkata "jangan", ingatkan kekeliruan tanpa memojokkan, jika anak menegur,
terimalah dengan lapang.
Implikasi Positive Parenting menurut Muhammad Fauzil Adhim bagi
pendidikan anak adalah bahwa, jika anak dididik dengan lembut, penuh kasih
saying dan pengertian, maka perkembangan anak akan lebih cepat dewasa, cerdas
secara fisik dan psikis serta berjiwa besar dalam menghadapi kehidupan.
Sebaliknya, anak yang dididik dengan kasar menggunakan pola asuh otoriter
tanpa kasih sayang, anak akan menjadi penakut, minder, rapuh akan jiwa dan
bahkan akan menjadi anak liar, brutal, kasar dan tak bermoral.
ix
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................. 1
B. Penegasan Istilah ............................................................... 7
C. Rumusan Masalah ............................................................. 9
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................... 10
E. Kajian Pustaka ................................................................... 10
F. Metode Penelitian .............................................................. 11
BAB II
LANDASAN TEORITIS
A. Konsep Pola Asuh Yang Baik (Positive Parenting) ...... 15
1. Pengertian Pola asuh (Positive Parenting) .................. 15
2. Prinsip-Prinsip Parenting ............................................ 16
3. Tipe Pola Asuh Orang Tua .......................................... 19
4. Faktor-Faktor
yang
mempengaruhi
Pola
Asuh
BAB III
BAB IV
xi
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................... 77
B. Saran ... 79
C. Penutup .............................................................................. 80
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS
xii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya setiap orang tua menghendaki anaknya baik. Setiap
orang tua mengharapkan anaknya patuh. Setiap orang tua akan merasa bahagia
jika anaknya pintar, dan banyak lagi harapan lain tentang anak, yang
kesemuanya berbentuk positif.
Sementara itu, setiap orang tua berkeinginan untuk mendidik anaknya
secara baik dan berhasil. Mereka berharap mampu membentuk anak yang
mempunyai kepribadian, anak yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, anak yang berakhlak mulia, anak yang diharapkan berbakti
terhadap orang tua, anak yang berguna bagi dirinya, keluarga, masyarakat,
nusa, bangsa, dan negara, juga bagi agamanya. Namun, apa hendak dikata
terkadang harapan tinggal harapan semata. Mimpi tidak menjadi kenyataan,
bagai pungguk merindukan bulan. Kenyataan yang amat bertentangan dengan
harapan, malah itu yang harus dihadapi.1
Memperhatikan semakin maraknya peristiwa negatif yang terjadi
antara orang tua dengan anak-anaknya dalam masyarakat, tidak terkecuali
dalam masyarakat muslim Negara Republik Indonesia ini; mengapa peristiwa
negatif itu dengan mudah dapat terjadi? Secara umum jawabannya adalah
karena kurangnya pendidikan atau karena krisis iman dan ketakwaan.
Karena kurangnya pendidikan, anak bisa salah jalan, salah tingkah, dan
salah tindak serta salah mengambil keputusan. Akan lebih parah akibatnya
apabila kurang iman dan kurang takwa. Karena kurang iman orang akan lebih
mudah dipengaruhi dan dialihkan keyakinannya kepada jalan yang tidak
benar. Demikian pula karena kurang takwa, orang akan mudah melakukan
kesalahan dan berbuat dosa.
Seorang anak secara umum, bukan ia tidak tahu bahwa perilakunya itu
menyakiti orang tua, baik itu ayah atau ibunya, adalah salah dan termasuk
perilakunya tidak terdidik. Dia mengetahui betul yang telah mengasuh,
memberinya makan minum, menyekolahkan, mengobati ketika dia sakit.
Tetapi mengapa banyak peristiwa negatif yang dilakukan oleh anak yang
dicintai orang tua. Setelah menjadi besar atau dewasa, anak menelantarkan,
menyakiti, menyiksa, bahkan sampai ada yang membunuh orang tua yang
telah sangat berjasa membesarkan dan mendidiknya, padahal orang tua itu
seharusnya wajib dihormati dan dimuliakan. Dengan kata lain, perilaku
negatif yang mencerminkan kurangnya ketakwaan pada diri anak itu terjadi,
karena anak itu belum atau mungkin tidak mengetahui mana yang menjadi hak
dan kewajiban anak terhadap orang tuanya.
Dalam pertumbuhan dan perkembangan menuju dewasa, anak
mempunyai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, yaitu kebutuhan rohani dan
jasmani. Untuk terpenuhinya kedua kebutuhan tersebut sangat diperlukan
pembinaan, bimbingan, dan perhatian. Meskipun setiap anak yang baru lahir
telah membawa kapasitas dan potensi untuk dikembangkan, akan tetapi
perkembangan itu tidak akan berjalan dengan sendirinya tanpa bantuan orang
dewasa yaitu orang tuanya.2
Menurut Abraham Maslow kebutuhan pokok manusia terdiri dari 5
tingkatan. Pertama, kebutuhan fisiologis. Kedua, kebutuhan rasa aman dan
perlindungan.
Ketiga,
kebutuhan
sosial.
Keempat,
kebutuhan
akan
u$yft:$#u $9$# $y%u #Y$t /3=r&u /3|r& (#% (#t#u t%!$# $pr't
ts $t t=ytu ttr& !$t !$# tt #y s3n=t $pn=t
Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar
2005), hlm. 336-338.
Jamal Abdul Rahman, Kiat Mendidik Anak Menurut Rasulullah, (Semarang: Pustaka
Adnan, 2005), hlm. 10.
6
Mohammad Fauzil Adhim, Membuka Jalan Ke Surga, (Bekasi: Pustaka Inti, 2004),
hlm. 200.
mendorong semangat
mereka, menunjukkan
penerimaan yang tulus, dan memberi perhatian yang hangat atas semua
kebaikan yang mereka lakukan. Orang tua perlu mengembangkan inisiatif
positif dan melakukan pendekatan yang positif. Itulah positive parenting.7
Pada dasarnya setiap anak terlahir jenius, tetapi orang tua
memupuskan kejeniusan mereka dalam enam tahun pertama. Demikian
statement Buckminster Fuller sebagaimana dikutip oleh Dryden dan Vos
dalam buku The Learning Revolution. Menurut Fuller kegeniusan anak-anak
menguap begitu saja karena kesalahan orang tua dalam memperlakukan
mereka. Sebagai orang tua atau pendidik, tentunya tidak ingin menjadi orang
tua yang menghilangkan potensi-potensi serta antusiasme anak untuk belajar
seperti Fuller. Namun, disadari atau tidak seringkali orang tua melakukan
kesalahan-kesalahan dalam mendidik anak. Lalu, sebenarnya apa yang
membuat orang tua sering melakukan kesalahan dalam mendidik anak-anak
mereka.
Muhammad Fauzil Adhim menyebutkan setidaknya ada dua hal yang
menyebabkan orang tua keliru dalam memperlakukan anak. Pertama,
7
kurangnya ilmu menjadi orang tua. Orang tua mungkin termasuk orang yang
berpendidikan tinggi namun seringkali ilmu yang diperoleh hingga bangku
perguruan tinggi adalah ilmu untuk mempersiapkan diri kita memperoleh
jenjang karier yang lebih tinggi, sementara itu mereka tidak cukup
mempersiapkan ilmu untuk menjadi orang tua. Kedua, masail qolbiyah
(urusan hati) orang tua yang tidak terurus. Orang tua sendiri mengalami
kelaparan rohani pada saat harus mengenyangkan rohani anak-anak, orang tua
seringkali tidak cerdas secara emosi pada saat harus membimbing anak ke
arah kecerdasan emosional, orang tua pun seringkali tidak memiliki kebesaran
jiwa pada saat harus mendidik anak agar berjiwa besar.
Lalu, apa yang sebaiknya dilakukan untuk memperbaiki pola asuh dan
cara mendidik anak-anak agar pendidikan yang diberikan pada mereka bukan
saja tidak mematikan segala kebaikan mereka, tetapi juga merangsang inisiatif
mereka, mendorong semangat mereka, menunjukkan penerimaan yang tulus,
dan memberikan perhatian yang hangat atas setiap kebaikan yang mereka
lakukan? Salah satu jawaban dari pertanyaan itu adalah bahwa orang tua perlu
mengembangkan inisiatif positif dan melakukan pendekatan yang positif
dalam mendidik anak yang disebut positive parenting.
Positive parenting meliputi beberapa bagian. Pertama, konsep dasar
yang melandasi. Kedua, sikap dasar yang perlu orang tua miliki dalam
menerapkan positive parenting. Ketiga, prinsip-prinsip penting menjadi orang
tua yang positif. Keempat, adalah perwujudan positive parenting untuk
mengembangkan potensi-potensi positif anak, kecerdasan intelektual mereka,
emosi mereka, dan juga dorongan moralistik-idealistik mereka yang
bersumber pada bercahayanya ruhiyah mereka.8
Berangkat dari pernyataan di atas, penyusun merasa tertarik untuk
mengkaji lebih dalam bagaimana konsep Positive
Parenting menurut
B. Penegasan Istilah
Untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam pengertian terhadap
penulisan skripsi, penting ada penegasan istilah yang berkaitan dengan judul
skripsi tersebut. Adapun istilah-istilah yang penulis tegaskan pengertiannya
adalah sebagai berikut:
1. Konsep
Istilah konsep berasal dari bahasa Inggris concept9 yang secara
etimologi berarti ide, atau prinsip yang dihubungkan atau berhubungan
dengan sesuatu10 atau dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan
sebagai rancangan, buram surat, ide, atau pengertian.11 Dalam kamus
tersebut konsep secara epistemologi diartikan sebagai sebuah ide atau
pengertian yang diabstrasikan dari peristiwa konkret.12 Dalam skripsi ini
adalah konsep Positive Parenting diimplikasikan terhadap pendidikan
anak.
2. Positive Parenting
Pengertian ini terbagi ke dalam dua kata, yaitu sebagai berikut :
Positive artinya yang baik, parent artinya orang tua yaitu ayah dan
ibu, ditambah verb ing yang artinya pola asuh orang tua.13 Menurut Dr.
Ratna Megawangi, seorang muslimah bergelar doktor dan pelopor
pendidikan berbasis karakter Indonesia,Parenting merujuk kepada
suasana kegiatan belajar mengajar yang menekankan kehangatan bukan
ke arah suatu pendidikan satu arah atau tanpa emosi. Istilah Parenting
John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia,
2000), Cet.3, hlm. 135.
10
Concept, an idea or principle that is connected with something, lihat A. S. Hornby,
Oxford Advanced Learners Dictionary, (American: Oxford University Press, 2000), hlm. 252.
11
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2005), hlm. 588.
12
Ibid
13
John M. Echols dan Hasan Shadily, op.cit. hlm. 300.
15
Dalam hal
14
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan di atas
maka ada beberapa permasalahan yang menjadi pokok kajian penulis dalam
skripsi ini, yaitu:
1. Bagaimanakah konsep positive parenting menurut Muhammad Fauzil
Adhim?
2. Bagaimana implikasi konsep positive parenting menurut Muhammad
Fauzil Adhim bagi pendidikan anak?
10
2. Manfaat penelitian
Manfaat penelitian adalah:
a.
b.
c.
E. Kajian Pustaka
Sebagai acuan dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa
kajian pustaka sebagai landasan berpikir, pustaka yang penulis gunakan adalah
beberapa hasil penelitian skripsi. Beberapa kajian pustaka tersebut di
antaranya adalah:
Diantara peneliti yang mengkaji Muhammad Fauzil Adhim adalah
saudara:
Nuril Lathifah (3199220) dari Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo
Semarang tahun 2005 dengan judul skripsi Konsep Keluarga Muslim
menurut Muhammad Fauzil Adhim dan Implikasinya bagi Pendidikan Anak,
didalam tulisan ini diterangkan bagaimana konsep keluarga muslim yang ideal
menurut Islam dan dampak apa yang bisa ditimbulkan dalam pendidikan anak.
Siti Farida (3101240) dari Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo
Semarang tahun 2006, dengan judul skripsi Metode Pendidikan Akhlak Pada
Anak Prasekolah menurut Muhammad Fauzil Adhim di dalam tulisan ini
diterangkan bahwa metode yang digunakan untuk pendidikan akhlak
prasekolah adalah dengan metode cerita.
Wahyudi (3100340) dari Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo
Semarang tahun 2005 dengan judul skripsi Konsep Pendidikan Anak masa
Mumayyiz menurut Muhammad Fauzil Adhim di Majalah Hidayatullah edisi
2002-2003 di dalam tulisan ini menjelaskan seberapa jauh pendidikan masa
11
mumayyiz serta bagaimana metode yang tepat bagi anak. Penelitian ini lebih
menekankan pendidikan masa prasekolah.
Di antara karya ilmiah tersebut di atas tidak ada yang membahas
konsep positive parenting menurut Muhammad Fauzil Adhim dan
implikasinya bagi pendidikan anak. Sehingga penelitian ini berbeda dengan
penelitian tersebut di atas.
Sebagai post reseach, diharapkan studi pemikiran Muhammad Fauzil
Adhim dalam bentuk skripsi ini akan lebih mendalam, intensif, dan memiliki
signifikansi akademis yang lebih, baik dari segi content maupun metodologis.
F. Metodologi Penelitian
Pada dasarnya penelitian adalah kegiatan untuk menemukan,
mengembangkan, atau mengkaji suatu pengetahuan. Oleh karena itu penelitian
harus didasarkan pada penyelidikan dan pengumpulan data dengan analisis
yang logis untuk tujuan tertentu.
1. Jenis penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif. Sebagaimana yang didefinisikan
oleh Bogdan Taylor ialah proses penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang dapat diamati.19
2. Pendekatan penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pemikiran,
yaitu meneliti kehidupan seseorang dan hubungannya dengan masyarakat.
Sedangkan pendekatan deskriptif bertujuan untuk menuliskan secara
sistematis bidang-bidang tertentu secara faktual dan cermat.20
3. Metode pengumpulan data
Metode yang digunakan untuk memperoleh data dalam penulisan
skripsi ini adalah
19
12
interviw
adalah
suatu
metode
yang
dipakai
dalam
21
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, jilid 2, (Yogyakarta: Andi Offset, 2002), hlm.
193.
22
13
14
dan
menyelami
karya
tersebut
kemudian
23
24
hlm. 49.
BAB II
LANDASAN TEORITIS
otoritas dan cara orang tua memberikan dan tanggapan terhadap keinganan
anak.4
Dengan demikian yang dimaksud dengan pola asuh adalah
bagaimana cara mendidik orang tua terhadap anak, baik secara langsung
maupun tidak langsung, menyangkut semua perilaku orang tua sehari-hari
baik yang dapat ditangkap maupun dilihat oleh anak-anaknya, dengan
hlm. 12.
hlm. 109.
Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),
M. Shohib, Pola Asuh Orang Tua, (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), cet. I, hlm. 15.
Chabib Thoha, Ibid., hlm. 110.
15
16
17
"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus wajahmu dengan
lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang
menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan
pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui". (QS. Ar-Ruum: 30)9
Orang tua termasuk faktor lingkungan yang dominan bagi
anak. Pendidikan yang diberikan kepada anak harus selalu berupaya
untuk menjaga fitrahnya yaitu berimam kepada Allah Swt, berpegang
teguh pada al-Qur'an dan mengikuti sunnah Rasulullaah Saw.
misalnya, mengajari anak untuk membaca basmallah
setiap
yang
kuat
pada
usia-usia
tersebut,
sehingga
Muhaimin dan Abdul Mujib, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Filosofis dan
Kerangka Dasar Operasionalnya, (Bandung : Trigenda Karya, 1993), hlm. 15.
9
Soenarjo dkk, al-Qur'an dan Terjemahnya, (Semarang: Alwaah, 2003), hlm. 645.
18
mengarahkan
anak
pada
kesempurnaan,
mengabdi
kepada
Allah
sehingga
bimbingan
terhadap
11
4) Bertahap (at-tadaruj)
Mendidik anak harus dilakukan dengan penuh kesabaran dan
ketelatenan, tidak tergesa-gesa ingin melihat hasilnya, namun bertahap
sedikit demi sedikit hingga anak mengerti dan paham akan apa yang
kita ajarkan. Pendidikan sebaiknya dilakukan secara bertahap sesuai
dengan tahap kemampuan dan usia perkembangan anak. Anak akan
mudah menerima, memahami, menghafal dan mengamalkan bila
pendidikan dilakukan secara bertahap.12
Pendidikan adalah semua proses yang sangat panjang dan tidak
berujung sehingga dalam pelaksanaannya tidak berujung sehingga
dalam pelaksanaannya harus bertahap baik dalam pendidikan
keimanan, ibadah, akhlak, fisik, sosial, psikis maupun yang lainnya.
Pengasuhan anak harus diberikan dengan memperhatikan tahap-tahap
perkembangan dan pertumbuhan anak, sehingga ketika orang tua
memberikan bimbingan anak dengan mudah bisa menerima sesuai
kemampuannya.
10
11
hlm. 1.
12
19
cara
mendidik
anak
dengan
menggunakan
20
Zahari Idris, Dasar-dasar Pendidikan, (Padang: Angkasa Raya, 1987), hlm. 39-40.
21
yang dikehendaki. Kontrol orang tua atau pendidik sangat lemah, juga
tidak memberikan bimbingan yang cukup berarti bagi anaknya. Semua
apa yang kelak dilakukan oleh anak adalah benar dan tidak perlu
mendapatkan teguran, arahan atau bimbingan.16
Pada dasarnya orang tua atau pendidik permisif berusaha
menerima dan mendidik sebaik mungkin, tetapi cenderung sangat pasif
ketika sampai ke masalah penetapan batas-batas atau menanggapi
ketidakpatuhan. Pola permisif tidak begitu menuntut, juga tidak
menetapkan sasaran yang jelas bagi anak, karena meyakini bahwa anak
seharusnya berkembang sesuai dengan kecenderungan alamiahnya.
Ciri perilaku orang tua atau pendidik permisif yang
dijabarkan oleh Zahari Idris sebagai berikut.
1) Membiarkan anak bertindak sendiri tanpa memantau dan
membimbingnya.
2) Mendidik anak acuh tak acuh, pasif dan masa bodoh
3) Lebih menentukan pemberian kebutuhan material pada
anak
4) Membiarkan saja apa yang diberlakukan anak (terlalu
membiarkan kebebasan untuk mengatur dirinya tanpa ada
peraturan-peraturan dan norma-norma yang digariskan).
5) Kurang sekali keakraban dan hubungan yang hangat
dengan keluarga maupun teman sebayanya.17
Jika pola asuh otoriter dibandingkan dengan pola asuh permisif
terdapat keyakinan ada peluang lebih besar untuk dapat lebih
mengenali diri anak, sifat keakuannya sedikit lebih terbangun, sebab
anak lebih terbiasa untuk dapat mengatur dan menata dirinya sendiri
tanpa harus tergantung pada orang lain. Namun, ada juga peluang
untuk menciptakan anak-anak yang asosial sebab anak terbiasa untuk
berbuat semaunya sendiri.
c. Pola asuh demokratis
Pola asuh demokratis ditandai dengan adanya pengakuan orang
tua atau pendidik terhadap kemampuan anak. Anak diberi kesempatan
16
17
22
untuk tidak selalu tergantung kepada orang tua atau pendidik. Orang
tua pendidik sedikit memberi kebebasan kepada anak untuk memilih
apa yang terbaik bagi dirinya. Anak didengar pendapatnya, dilibatkan
dalam pembicaraan terutama yang menyangkut dengan kehidupan
anak itu sendiri. Anak diberi kesempatan untuk mengembangkan
kontrol internalnya sehingga sedikit demi sedikit berlatih untuk
bertanggung jawab kepada dirinya sendiri. Anak dilibatkan dan diberi
kesempatan untuk berpartisipasi dalam menyangkut hidupnya.
Pola demokratis yang digambarkan sebagai orang tua atau
pendidik yang memberi bimbingan, tetapi tidak mengatur mereka,
memberi penjelasan tentang yang mereka lakukan, serta membolehkan
anak memberi masukan dalam pengambilan keputusan penting. Orang
tua menghargai kemandirian anak-anaknya, tetapi menuntut anaknya
memenuhi standar tanggung jawab yang tinggi pada keluarga, teman
dan masyarakat serta perilaku kekanak-kanakan tidak diberi tempat.18
Dengan demikian, pola asuh demokratis ada hubungan timbal
balik antara anak dengan orang tua atau pendidik dalam menjalankan
dan memenuhi kewajiban masing-masing. Dalam pola ini tidak ada hal
yang mendominasi, semuanya mempunyai kesempatan yang sama
dalam menentukan keputusan dan tindakan.
Namun, Prof. Dr. Abduh Azizi El-Qussy, yang dikutip
oleh Chabib Thoha mengemukakan, tidak semua orang tua atau
pendidik harus memberi toleransi terhadap anak. dalam hal-hal
tertentu orang tua atau pendidik perlu ikut campur, misalnya :
1) dalam keadaan yang membahayakan hidupnya atau
keselamatan anak.
2) hal-hal yang terlarang bagi anak dan tidak tampak alasanalasan yang lahir
3) permainan yang menyenangkan bagi anak, tetapi
menyebabkan keruhnya suasana yang mengganggu
ketenangan umum.19
18
23
Pola asuh dan sikap orang tua atau pendidik yang demokratis
menjadikan adanya komunikasi yang dialogis antara anak dan orang
tuaatau pendidik. Dan adanya kehangatan yang membuat anak merasa
diterima di keluarga atau di masyarakat menjadi pendorong terhadap
perkembangan anak ke arah yang positif.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh
Diana Baumrind, sebagaimana dikutip oleh Paul Henry Mussen
mengemukakan beberapa aspek perilaku orang tua terhadap anak, antara
lain:
a. aspek kontrol, merupakan suatu usaha untuk mempengaruhi kegiatan
berdasarkan sasaran atau tujuan, memodifikasi ungkapan perilaku
bergantung, agresif, dan suka bermain serta memacu internalisasi
standar orang tua.
b. aspek
tuntutan
kedewasaan,
menekankan
pada
penampilan
Paul Henry Mussen, et. Al., Perkembangan dan Kepribadian Anak, terj. F.X.
Budiyanto, (Jakarta: Arcan, 1994), hlm. 399.
24
21
25
dan
menunjang
pertumbuhan
dan
perkembangan
anak,
Islam
B. Pendidikan Anak
1. Pengertian Pendidikan Anak
Pendidikan adalah sesuatu proses, baik berupa pemindahan
maupun penyempurnaan. Sebagai suatu proses
26
itu sendiri dipahami bahwa sejak manusia itu ada, sebenarnya sudah ada
pendidikan, tetapi dalam perwujudan yang berbeda-beda sesuai dengan
situasi dan kondisi pada waktu itu, selanjutnya dengan terjadinya
perkembangan ilmu dan teknologi, akan timbul pulalah bermacam-macam
pandangan tentang pengertian pendidikan itu sendiri.24
Secara etimologi kata pendidikan (education) berasal dari bahasa
latin yaitu educare. Educare means to train, to equip the learner with a
particular skill.25 Pendidikan berarti melatih, melengkapi pendidik dengan
keahlian khusus.
Sedang dalam Bahasa Arab ada tiga istilah yang biasa digunakan
untuk menyebut pendidikan. Pertama, Yaitu Tarbiyah, Talim dan Ta,dib,
namun yang paling popular digunakan adalah istilah Tarbiyah. Dari kata
tarbiyah ini, Imam Al-Baidlowi dalam tafsirnya Anwar at-Tanzil wa Asrar
at-Tawil, mengemukakan pengertian tarbiyah sebagai menyampaikan
sesuatu hingga mencapai kesempurnaan.26
Kedua, menurut An-Nahwawi, kata tarbiyah berasal dari tiga
kata, yaitu raba-yarbu yang artinya bertambah dan berkembang, rabiyayarba dengan wazan (bentuk) khafiya-yakhfa yang berarti tumbuh dan
berkembang, rabba-yarbu dengan wazan (bentuk) madda-yamuddu yang
berarti memperbaiki, mengurusi, menjaga dan memperhatikan.27
Menurut Ahmad D. Marimba, pendidikan adalah bimbingan atau
pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani
dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.28
Menurut M. Ngalim Purwanto, pendidikan adalah pimpinan yang
diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa kepada anak-anak, dalam
24
21-22.
A. Muri Yusuf, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hlm.
25
Ray Billington, Living Philosophy: An Introduction to Moral Thought, (London:
Rutledge, 1993), hlm. 275.
26
Abdurrahman An-Nahwawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat,
(Jakarta: Gema Insani,1995), hlm. 275.
27
Ibid, hlm. 20.
28
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: Angkasa,
1989), hlm. 19.
27
pertumbuhannya (jasmani dan rohani) agar berguna bagi diri sendiri dan
bagi masyarakat.29.
Atas dasar inilah, maka Athiyah al-Abrasyi merumuskan tujuan
tujuan pendidikan adalah mendidik budi pekerti dan pendidikan jiwa,
sehingga semua mata pelajaran haruslah mengandung pelajaran-pelajaran
akhlak. Setiap guru haruslah memikirkan akhlak keagamaan sebelum yang
lainnya. Karena akhlak keagamaan adalah akhlak yang tertinggi,
sedangkan akhlak yang mulia adalah tiang pendidikan Islam.30
Pendidikan merupakan usaha sadar melalui bimbingan dan
pimpinan kepada anak didik dalam pertumbuhannya menuju terbentuknya
kepribadian yang utama agar berguna bagi diri sendiri maupun masyarakat
luas.
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan
itu mencakup:
a. proses perkembangan yang sesuai dengan lingkungan.
b. pengarahan dan bimbingan yang diberikan kepada peserta didik.
c. usaha sadar menciptaan suatu keadaan/situasi tertentu yang dikehendaki
masyarakat.
d. pembentukan kepribadian dan kemampuan anak sesuai dengan tujuan
pendidikannya.31
Jadi pendidikan anak adalah suatu proses yang mencakup segala
usaha yang dilakukan oleh pendidikan (orang tua) untuk menumbuhkan
dan mengembangkan potensi-potensi (fitrah) dalam diri anak menuju
terbentuknya kepribadian yang utama yaitu pribadi yang mampu
menentukan masa depan dirinya, masyarakat, bangsa dan agama.
29
28
Zakiyah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikn Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 25.
Jalaludin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: Remaja Rosda Karya, 2001), hlm. 30.
29
r'/ st79$# grB y7=9$#u F{$# $ /3s9 ty !$# r& ts? s9r&
ts9 $9$$/ !$# ) 3 */ ) F{$# n?t ys)s? r& u!$y9$# 7u
m
Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah telah
menundukkan apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar
dilautan dengan perintah-Nya, dan Dia menahan (benda) langit jatuh
ke bumi, melainkan dengan izin-Nya? Sesungguhnya Allah benarbenar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (QS.
Al-Hajj: 65)36
Ruang lingkup pendidikan Islam telah mengalami perubahan serta
semakin meluas menurut tuntutan waktu yang berbeda-beda, dan tingkat
kebutuhan manusia. Allah senatiasa mengingatkan manusia tentang
kesaksian manusia, yang diucapkan sebelum memasuki alam dunia ini;
34
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur'an: Fungsi Akal dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1992) , hlm. 58.
35
Muhaimin A., et.al, Paradigma Pendidikan Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya,
2001), hlm. 23.
36
Depatemen Agama Republik Indonesia, op.cit, hlm.521.
30
37
31
38
32
33
42
34
45
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 19.
35
ia
mengidentifikasi
orang
tua.
Ngalim
Purwanto
potensi
sesuai
fungsinya
tersebut
harus
mengalami
perkembangan serta membutuhkan latihan-latihan pula, selain itu masingmasing anak juga mempunya tingkat kematangan yang berbeda-beda.47
Komunikasi
kepada
anak
adalah
segala
bentuk
perilaku
46
36
dimulai dengan doa kepada Allah, agar janinnya kelak bila lahir dan
besar menjadi anak yang saleh.48
Tahap ini berlangsung sejak proses pembuahan himgga anak
lahir, yaitu sekira sembilan bulan. Meskipun relatif singkat, proses
perkembangan pada tahap ini begitu penting, sebab pada saat hamil
itulah seorang ibu mulai berperan dalam mendidik anak.49
Perlu ditekankan sekali lagi, sebelum anak umur dewasa, setiap
anak akan mengalami perubahan lingkungan pada tahap pertama
ketika masih janin, lingkungan pertama anak adalah rahim ibunya,
baru kemudian keluarga, sekolah dan masyarakat tempat orang tua
tinggal, tetapi dalam dekade sekarang ini, ketika globalisasi informasi
telah menembus seluruh dinding rumah tangga, lingkungan anak dari
sejak dini sebenarnya tercebur ke dalam arus global.
b. Masa Balita
Masa bayi dan kanak-kanak dalam hal ini pendidikan dilakukan
dengan streesing sentuhan pada dzauqnya.50 Mengapa mesti pada
dzauqnya karena masa ini satu tahun pertama merasa butuh bantuan
orang orang yang ada di sekelilingnya terutama orang tua, kondisi
anak belum mampu mempergunakan anggota tubuhnnya sehingga
perlu bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya.
Setelah satu tahun pertama anak mulai bisa memenuhi
kebutuhannya sendiri karena semakin matang anggota badan, mulai
dari tangan kaki dan mulai mengidentifikasi hal-hal yang ada pada
anggota badannya dan orang-orang di sekelilingnya, orang asing atau
anggota keluarga.
Pada tahun berikutnya anak mulai bisa menangkap segala hal
yang sifatnya kongkrit, hal ini bisa berlangsung secara bertahap dan
senantiasa mengalami perkembangan, selama anak tidak mengalami
48
49
hlm. 28.
50
37
suatu benturan yang muncul dari dirinya atau keluarga, anak mampu
dengan cepat dalam merespons segala sesuatu yang ada di
sekelilingnya, sampai usia balita. Pada masa inilah ayah atau ibu harus
sudah memiliki konsep model pendidikan yang bagaimana yang akan
dipakai dalam mendidik anak. Dan hal itu harus tidak hanya sekedar
konsep tapi sudah sampai dalam dataran aplikatif.
c. Masa Prasekolah
Pada tahun pra sekolah usia anak mulai 2 sampai 6 tahun, anak
mulai menggunakan keterampilan untuk berinteraksi dan mengerti
dunia orang dan benda-benda, menemukan siapa diri anak,
menentukan apa yang dapat di lakukan, dan membentuk perasaan
dirinya sendiri (a sense of self). Keterampilannya terus bertambah,
anak prasekolah dapat menarik pengetahuan yang lebih luas, dengan
melalui beberapa tahapan. Tahap itu diantaranya, adalah berusaha
untuk mengontrol diri sendiri, lalu memakai bahasa kognitif, motorik
dan keterampilan sosial, untuk mengumpulkan informasi tentang
dunia.
sosial
yang
lebih
luas
digabungkan
dengan
51
Sri Esti Wuryani Djiwandono, Konseling dan Terapi Keluarga, (Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2005), hlm. 25.
38
tidak
akan
merisaukan
52
kondisi
anaknya,
yang
lebih
BAB III
BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN MUHAMMAD FAUZIL ADHIM
POSITIVE PARENTING DAN PENDIDIKAN ANAK
39
40
SMAN 2 Jombang
b. Pengalaman
-
41
Mitra
42
tugas
keayahbundaan
yang
baik,
yakni
mengasuh,
43
menurut
Orang
yang
memiliki
kepekaan
tentang
bagaimana
4
5
11.00 WIB.
44
surut
langkah.
Justru
sebaliknya,
ia
semakin
melahirkan
manusia-manusia
yang
berani
gagal?
45
Ibid
46
sehingga
adiknya
merasa
lebih
disayang.
Keempat,
pembicaraan
tentang
bagaimana
seharusnya
47
berikutnya
dalam
positive parenting
adalah
Ibid
48
yakni
hati
yang
sulit
Ibid
10
49
50
51
makan. Bahkan
makan
pun boleh
jadi tak
menyenangkan baginya.
Ini mungkin gambaran yang terlalu ekstrim. Tetapi jangan
dikatakan tidak ada, meski saya berharap itu tidak terjadi pada
keluarga kita. Saya berdoa, semoga atas setiap letih lelah kita
mengasuh mereka di waktu kecil, kelak Allah Azza wa Jalla akan
memberikan kepada kita kemurahan dan kasih sayang di surga-Nya.
Tak ada cita-cita yang lebih mengharukan bagi orangtua terhadap
anaknya, kecuali berharap agar mereka kelak menjadi anak-anak saleh
yang mendoakan (waladun shalihun yadulah). Oleh karena itu, sudah
seharusnya kita memberi perhatian yang lebih banyak kepada apa yang
dapat mengantarkan mereka menuju kesalehan. Orang tua seharusnya
menyentuh hati anaknya, sehingga hiduplah akal pikirannya. Bukan
menyibukkan dengan banyak pengetahuan yang mereka serap.
Sementara terhadap jiwa mereka, kita lupa menghidupkannya.12
Penelitian yang di lakukan Marian C. Diamond, peneliti otak
Einstein, setelah mempelajari otaknya, Diamond mencoba memahami
lebih jauh dengan melakukan berbagai percobaan terhadap tikus.
Mula-mula beliau memberi pengayaan lingkungan, kemudian mencoba
melakukan eksperimen yang berbeda. Diamond meneliti dua kelompok
12
Ibid
52
13
Ibid
53
cerdas,
justru
sebaliknya,
inisiatif,
antusiasme,
dan
54
55
otak.
Cara
orang
tua
membesarkan
merekalah
yang
membedakan seperti apa anak itu kelak tumbuh dan menjadi manusia.
Sepanjang sejarah, kita bahkan menemukan orang-orang besar
yang lahir dari bilik-bilik kecil rumah sempit. Rasulullah saw banyak
menghabiskan penatnya di rumah yang sangat kecil. Padahal beliau
adalah orang besar dan tidak ada yang lebih besar darinya sepanjang
15
Abdul Mustaqim, Menjadi Orang Tua Bijak: Solusi Kreatif Menangani Pelbagai
Masalah Pada Anak, (Bandung : Mizan Pustaka, 2005), hlm. 95-101.
56
anak
mengahafalkan
banyak
hal
sebenarnya
57
hafal. Dalam banyak hal, mau tidak mau harus bertemu hafalan.
Nama-nama unsur kimia, tidak bisa tidak, harus dihafal. Tetapi
menghafal haruslah berawal dari pemahaman dan kecintaan. Di luar
itu, proses menghafal lahir dari semangat yang besar, bukan sebagai
pembiasaan semata-mata.16
d. mengenalkan Allah kepada anak
Langkah-langkah orang tua dalam mengenalkan Allah kepada
anak di antaranya:
1. awali bayimu dengan kalimat Laa Ilaaha Illallaah
Rasulullah Saw Pernah mengingatkan, awalilah bayibayimu dengan kalimat Laa Ilaaha Illallaah. Kalimat suci inilah
yang perlu kita kenalkan pada awal kehidupan bayi-bayi, sehingga
membekas pada otaknya dan menghidupkan cahaya hatinya. Apa
yang didengar bayi pada saat-saat awal kehidupannya akan
berpengaruih pada perkembangan berikutnya, khususnya kepada
pesan-pesan yang disampaikan dengan cara yang mengesankan.
Suara ibu yang terdengar berbeda dari suara-suara lain, jelas
pengucapannya, terasa lebih mengajarkan (teaching style) atau
mengajak berbincang akrab, memberi pengaruh yang lebih besar
bagi perkembangan bayi. Selain menguatkan pesan pada diri anak,
cara Ibu berbicara seperti itu juga secara nyata meningkatkan IQ
balita, khususnya usia 0-2 tahun. Begitulah pelajaran yang Fauzil
petik dari hasil penelitian Bradley dan Caldwell berjudul, 174
Children:
Study
Of The
Relationship
Between
Home
58
t.F{$# y7/uu
s>t
matanya?
Oh
matanya
dua,
ya?
Berbinar-binar.
59
60
61
menjadi
tempat
berkembangnya
amat
rapuh.
Bukan
keburukannya
dan
berangsur-angsur
menjadi
baik.
Sementara yang telah baik, akan berjalan seiring dan berlomba untuk
semakin baik.
Karakter yang kuat dibentuk oleh penanaman nilai yang
menekankan tentang baik dan buruk. Nilai ini dibangun melalui
19
62
tidak
memberi
pengaruh
pada
perilaku
jika
20
21
BAB IV
ANALISIS KONSEP POSITIVE PARENTING MENURUT MUHAMMAD
FAUZIL ADHIM DAN IMPLIKASINYA BAGI PENDIDIKAN ANAK
menghargai setiap kebaikan yang dilakukan oleh anak, merangsang inisiatifinisiatif, mendorong semangat mereka, menunjukkan penerimaan yang tulus,
dan memberi perhatian yang hangat atas setiap kebaikan yang mereka
lakukan. Kemudian orang tua harus mengembangkan inisiatif positif dan
melakukan pendekatan yang positif. Itulah yang disebut Positive Parenting.
Menurut
Fauzil
Adhim,
Positive
Parenting
dimulai
dengan
63
64
diberi semangat untuk melejitkan seluruh kebaikan yang anak miliki sesuai
dengan makna nama yang dia sandang. Untuk memberikan semangat kepada
anak agar mengaktualisasikan seluruh potensi kebaikan yang dimilikinya, para
orang tua perlu melakukan pengayaan terhadap mental anak, bukan
memberikan berbagai materi pengetahuan yang tidak begitu dirasakan
manfaatnya oleh anak, apalagi jika anak menerima berbagai materi itu dengan
perasaan terpaksa dan terbebani.
Penelitian yang dilakukan oleh Marian C. Diamond (peneliti otak
Albert Einstein) menunjukkan bahwa pengayaan secara emosional yaitu
pemberian perhatian dengan penuh kasih sayang dapat memberikan kapasitas
fisik yang lebih luas bagi kecerdasan intelek dan emosi. Penelitian lain
menunjukkan pula bahwa pengayaan secara mental akan meningkatkan
kapasitas fisik kecerdasan dan memungkinkan anak memiliki kecerdasan cair
yang lebih tinggi.
Kecerdasan cair adalah ukuran efisiensi kerja otak bukan ukuran
jumlah fakta yang tersimpan di dalamnya. Seorang anak boleh jadi tahu
banyak, tetapi ia tidak dapat memanfaatkan pengetahuan yang ada di otaknya.
Ia dapat mempelajari sesuatu tetapi tidak mengambil manfaat darinya.
Pengetahuannya menjadi tumpukan pengetahuan yang mati sehingga menjadi
kotoran data (data smog) dalam otaknya.
Keadaan seperti ini mudah terjadi apabila anak-anak belajar seperti
robot, mereka belajar disertai beban yang harus mereka singkirkan. Tanpa
tujuan, tanpa keterlibatan emosi, tanpa bisa menikmati, itu semua tidak akan
membuat anak semakin cerdas; justru sebaliknya, inisiatif, antusiasme, dan
kecerdasan cairnya bisa melemah. Saat yang paling membahagiakan bagi
mereka adalah ketika terbebas dari beban dan tuntutan.1
Hal itu berbeda dengan anak-anak yang belajar karena adanya
semangat yang menyala dalam dirinya. Gairah belajar selalu ada pada diri
mereka, kecuali apabila orang tua atau guru telah menjebaknya dengan
rutinitas yang terus menerus tanpa memberi kesempatan rihat bagi jiwa anak.
1
65
Di antara bentuk rehat adalah menghibur diri, misalnya dengan mengajak anak
kita berlibur ke suatu tempat yang mereka sukai.
Menurut
Fauzil
Adhim,
sebaiknya
sekolah-sekolah
yang
Sekolah
harus
merancang
kegiatan
pembelajaran
yang
menyenangkan, antusias, dan positif agar anak memiliki semangat menyalanyala saat belajar. Jika tidak, anak bisa mengalami stres karena beban belajar
yang melampaui. Kita bisa memberi mereka project sebagai bahan pengayaan
apabila mereka ingin berlatih meningkatkan kecakapan intelektualnya di
rumah. Oleh sebab itu agar mereka menjadi anak-anak yang penuh inisiatif,
kecakapan emosinya berkembang, kecakapan sosialnya tidak terhalang. Oleh
sebab itu diberikan kesempatan kepada mereka untuk dapat menikmati hari
libur tanpa beban akademik. Selebihnya, semangat merekalah yang perlu
dibangkitkan; bukan membebani mereka dengan tuntutan-tuntutan seperti
dikejar anjing.
Tugas yang sederhana akan terasa sangat berat dan melelahkan jiwa,
bukan hanya fisik- apabila orang tua memberikan kepada anak sebagai
tuntutan dan bahkan ancaman. Tetapi, tugas yang sangat pelik, rumit, dan
berat pun jika orang tua menyertai dengan memotivasi anak dan memberi
perhatian yang tulus, akan dirasakan anak lebih ringan, dan insya Allah anak
akan sanggup menuntaskan tanggung jawabnya. Dan inilah yang seharusnya
ada pada jiwa anak-anak.2
Mendidik anak secara positif berarti pula memberikan imunisasi jiwa
pada anak. Maksudnya adalah memberi perhatian dan mengarahkan hatinya
pada kebaikan. Saat terbaik untuk melakukannya adalah ketika anak
mengajukan suatu pertanyaan kepada kita, apapun dan bagaimana pun
pertanyaan itu. Kesediaan anak untuk bertanya kepada orang tua merupakan
pertanda bahwa mereka memberikan kepercayaannya kepada orang tua untuk
2
http://www. Bmh-Jatim.org/module.php
66
menjawab. Sikap orang tua yang terbaik adalah menghargai kepercayaan anak
dengan tidak mematikan kesediaannya untuk bertanya serta memberikan
jawaban yang mengena dan menghidupkan jiwa sekaligus menumbuhkan
pada diri anak kita amanah untuk bertindak. Untuk menjadi orang tua atau
menjadi pendidik seperti itu tidaklah cukup hanya dengan mengumpulkan
perbendaharaan jawaban yang berlimpah. Yang harus dimiliki orang tua
adalah arah yang kuat dalam mendidik anak, cita-cita yang besar, visi yang
jelas dan kesediaan untuk terus belajar.
Kunci untuk menjadi orang tua dan pendidik yang positif ditunjukkan
dalam Q.S An-nisa ayat 9, sebagai berikut :
67
Abdul Mustaqim, Menjadi Orang Tua Bijak: Solusi Kreatif Menangani Pelbagai
Masalah Anak (Jakarta : Mizan Pustaka, 2005), hlm. 50-52.
68
fauzil adhim titik tekannya adalah bagaimana anak tumbuh dengan jiwa yang
69
70
akan menciptakan rasa nyaman pada bayi dan akan menjadi bayi yang tidak
rewel atau gampang diatur karena kepercayaan dasar (basic trust), bayi sudah
terbentuk pada kesan awal bayi dilahirkan. Kepercayaan dasar yang kuat pada
anak,maka ia akan menemukan harga dirinya (self-estem) sehingga tumbuh
harapan atau keyakinan untuk sukses (self-effecacy), dan akhirnya anak tidak
perlu mendapat dukungan dari luar, karena anak sudah menemukan
kebahagiaan manakala ia menemukan keberhasilan ( self-reward).
Setelah anak diberikan kepercayaan dasar yang kuat sehingga tumbuh
potensi-potensi, kebaikan pada dirinya maka ada dua hal lagi yang harus
dilakukan orang tua, yaitu memberikan keyakinan kepada anak bahwa ia
mempunyai keunggulan yang pantas ditonjolkan
(sense of competence).
Dalam hal ini ada 4 hal yang harus dilakukan orang tua , yaitu: pertama,
menerima apa dilakukan oleh anak tanpa membandingkan dengan anak
tetangga yang mungkin lebih cepat daripada perkembangan anaknya. Kedua,
memaafkan yang menyulitkan, maksudnya, memaafkan semua tingkah laku
anak yang dipandang orang dewasa/ orang tua mungkin salah dan sulit untuk
dimaafkan. Ketiga, tidak membebani anak dengan pekerjaan-pekerjaan atau
pelajaran tambahan sehingga kededasan anak dalam bermain kurang.
Keempat, jangan memaki/ memarahi anak baik dalam bentuk verbal maupun
fisik.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan orang tua dalam memarahi
anak, yakni memarahi anak bukan dengan luapan emosi, memarahi merupakan
tindakan mendidik agar anak memiliki sikap yang baik, ajarkan mereka
konsekuensi bukan ancaman, jangan cela dirinya, cukup perilakunya saja,
jangan mengatakan kata jangan, ingatkan kekeliruan yang dilakukan oleh
anak saat ini tanpa memojokkan, dan terimalah teguran ini dengan lapang.
Penyusun pada hakekatnya sepakat dengan konsep positive parenting
menurut Fauzil Adhim, akan tetapi ketika konsep ini dihadapkan dengan
realitas yang ada, nampaknya masih ada kekurangan dalam konsep ini. Bisa
dibayangkan ketika anak yang sering bermain video game/ playstation tanpa
aturan karena dapat menyebabkan anak idiot dan sikap keras orang tua dalam
71
menghadapi anak, anak akan menjadi penakut, tidak pernah ada kenyamanan
pada dirinya atau sebaliknya anak akan menjadi nakal, brutal, dan liar.
Menurut Ratna Megawangi, Positive parenting merujuk kepada
suasana kegiatan belajar mengajar yang menekankan kehangatan, bukan
kearah suatu pendidikan tanpa emosi, parenting lebih memberikan atmosfer
bahwa pendidikan sehangat suasana didalam keluarga. Seorang guru harus
mampu menjadi orangtua si murid jika ingin menyampaikan secara total
materi pelajaran kepada anak didik. Rasa kasih sayang harus menyertai
seluruh kegiatan belajar mengajar, karena tanpa sentuhan emosional, maka
dendrit-dendrit di sel-sel otak --menurut penelitian Marian C. Diamond-tidak akan tumbuh pesat. 6
Positive parenting atau pola asuh yang baik, ternyata bisa membuat
seorang
Ratna Megawangi, Character Parenting Space, "Menjadi Orang Tua Cerdas Untuk
Membangun Karakter Anak "(Bandung: Read ! Publising House, 2007), hlm. 9-10.
7
Ibid., hlm. 13.
8
Ibid., hlm. 15.
72
melejitkan intelektual, emosional, dan spiritual. Materi ini tidak jauh beda
dengan pendidikan agama ataupun pendidikan formal yang ada sekarang ini
yang diantaranya berupa Pendidikan Aqidah yang merupakan materi pertama
yang harus diberikan kepada anak dalam rangka merealisasikan pendidikan
dalam sebuah keluarga yang agamis. Selain itu aqidah atau iman memiliki satu
muatan makna yang substansial yaitu kepercayaan yang benar dan tidak
mempunyai kemampuan negatif sedikit pun. Iman melibatkan keyakinan akan
sebuah kebenaran sejati, bukan kebenaran prasangka.
Materi spiritualitas adalah salah satu materi agar anak dapat
mengenal diri dan keberadaan Tuhan dan segala yang diciptakan-Nya yakni
merangsang kecerdasan spiritual (IS). Sedangkan materi ilmu pengetahuan
adalah materi yang dimaksudkan untuk mempertajam wawasan berpikir anak
tentang realitas dunia yang terbagi atas beberapa tingkat dan tujuan hidup.
Materi spiritualitas berkisar pada rukun Islam dan rukun iman, sedangkan
materi ilmu pengetahuan memuat beberapa bidang kehidupan yang kelak anak
ingin capai dengan cita-citanya dan sesuai dengan kemampuan intelektual dan
emosional anak (IQ dan IE anak).
Sesungguhnya, perkembangan otak dapat lebih optimal, sangat
bergantung dari keadaan lingkungan tempat anak berada. Bagaimana
lingkungan tersebut memberikan pengalaman-pengalaman; apakah itu
pengalaman positif atau negatif terhadap anak-anak? Seandainya pengalaman
yang di alami seorang anak di rumah penuh kasih sayang, penghormatan, dan
keceriaan, ini akan membuat limbik otak anak menjadi lebih aktif. Ia
mengeluarkan neurotransmitter yang akan mengaktifkan korteks. Kita
mengetahui bahwa korteks adalah kemampuan seseorang untuk bisa berpikir,
beranalisis, dan berpikir kreatif.
Orang tua bukan hanya pihak penyandang dana bagi pendidikan anakanaknya, tetapi juga termasuk ikut bertanggung jawab kecerdasan anaknya.
Guru di sekolah hanyalah sebagai peran pembantu proses pencerdasan anak.
Sebagai pendidik di Sekolah memang mempunyai andil yang cukup besar
dalam upaya pembinaan ahlak dan kepribadian anak, yaitu melalui pembinaan
73
dan pembelajaran pendidikan agama islam bagi siswa. Disini pendidik harus
dapat memperbaiki akhlak dan kepribadian siswa yang sudah terlanjur rusak
dalam lingkungan keluarga, selain juga memberikan pembinaan pada siswa,
disamping itu kepribadian, sikap dan cara hidup, bahkan sampai cara
berpakaian, bergaul dan berbicara yang dilakukan oleh seorang pendidik juga
mempunyai hubungan yang signifikan dengan proses pendidikan dan
pembinaan moralitas siswa yang sedang berlansung.9 Bila orang tua menuntut
anak-anaknya menjadi cerdas, maka menjadi tuntutan juga terhadap dirinya
sendiri bagi orang tua. Sejauh mana orang tua dapat menempatkan diri dalam
proses pengasuhan dan pencerdasan anak, hal ini merupakan langkah yang
sangat baik dan sekaligus juga sebagai modal besar dalam upaya yang sangat
mulia.
Menurut Suharsono pada pengasuhan anak kepribadian dan kecerdasan
anak terbangun melalui transmisi spiritual, intelektual dan moral ibunya saat
mengandung anak-anaknya. Karena itu ibu-ibu yang sedang mengandung
sangat dianjurkan untuk meningkatkan bobot spiritual, intelektual dan
moralitasnya. Peningkatan ini bisa ditempuh dengan memperbanyak ibadah,
shalat malam, membaca Al-Qur'an, dan buku-buku, menjaga tutur kata,
mengedepankan sikap dermawan dan perilaku yang terpuji lainnya.10
Anak yang memperoleh pendidikan iman sejak dini akan membekas
dalam sanubarinya. Ibarat kain yang dicelup dalam pewarna dan dibiarkan
berhari-hari di dalamnya, sehingga tidak ada pori-pori sekecil apapun yang
tidak terwarnai. Bukan seperti kapur yang dicelup ke dalam segelas air tinta,
lalu segera diangkat . Hanya pinggirnya yang tipis yang terwarnai. Celupan
pendidikan imani semenjak kecil akan sangat berpengaruh dalam kehidupan
dia selanjutnya. Ia hanya akan menerima Islam sebagai pengatur
kehidupannya, al-Qur'an sebagai pedomannya, dan Rasulullah sebagai
teladannya. Keimanan yang terpatri dalam hati akan menghiasi lisan serta
9
Mukhtar M., Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: CV. Misaka
Galiza), cet. I, hlm. 73.
10
Suharsono, Mencerdaskan Anak, (Jakarta: Inisiasi Press,2004), edisi revisi, cet. I,
hlm.8.
74
jasadnya, islam akan melekat menjadi baju. Bagi dirinya sehingga dia akan
malu menanggalkannya.
Menurut Fauzil Adhim,kunci perubahan manusia ada sebagai individu,
masyarakat, bangsa dan skala yang lebih besar. Di dalam Ada pada jiwa.
Sesuai dengan ayat al-Quran:
11
75
76
budaya belajar yang kuat. Istilah motivasi sering tumbuh dengan semangat.
Menurut Fauzil, jika semangat dilakukan dengan keterlibatan emosi saat
melakukan aktivitas, maka motivasi akan menggerakkan seorang anak untuk
bertindak. Semakin kuat motivasi anak, semakin menyala semangatnya.
Artinya, motivasi merupakan salah satu faktor pemacu anak.
Budaya belajar (learning culture) pada anak sangat dipengaruhi oleh
kekuatan motivasi. Jika anak memiliki alasan yang kuat untuk bertindak, dan
alas an itu mengakar dalam dirinya, maka ia akan memiliki energi baru untuk
terus belajar. Semakin kuat ia membentuk budaya belajar dalam dirinya,
semakin tangguh semangatnya menggali ilmu meskipun lingkungan sekeliling
tak sebaik dulu. Ini berarti, kuatnya budaya belajar menjamin berlangsungnya
kebiasaan belajar (learning habit) hingga jenjang pendidikan berikutnya,
meskipun suasana belajar dijenjang tersebut tak sebaik jenjang sebelumnya.
Inilah yang perlu pendidik sadari ketika ingin mengembangkan budaya
be;lajar. Lingkungan yang mendukung memang sangat perlu. Tetapi, tanpa
membangun motivasi intrinsik yang kuat, anak-anak itu bisa kehilangan gairah
belajarnya --bahkan perilaku positifnya-- begitu mereka memasuki jenjang
pendidikan yang lebih tinggi.
Menurut Fauzil Adhim banyak hal yang sangat diperlukan dalam
mengasuh anak untuk membangun motivasi intrinsik anak, hal yang sangat
pokok adalah menanamkan keimanan yang aktif. Maksudnya, sekolah
mengajarkan aqidah kepada anak bukan hanya sebagai pengetahuan kognitif.
Lebih dari itu, sekolah harus menggerakkan mereka untuk bertindak karena
Allah dan untuk Allah yang menciptakan, sebagai contoh para guru
mengajarkan kepada jiwa anak-anak untuk meneguhkan diri bahwa shalat,
ibadah, hidupnya dan matinya hanya karena dan untuk Allah semata. Artinya,
aqidah yang kuat menjadi daya penggerak (driving force) bagi anak untuk
bertindak dan menentukan arah hidup.
BAB V
PENUTUP
Berdasarkan pada analisis yang berkaitan dengan konsep positive
parenting dan juga permasalahan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut :
A. Kesimpulan
1. Menurut Fauzil Adhim positive parenting adalah pola pikir orang tua
tentang bagaimana mengasuh dan menjalankan tugas keayahbundaaan
yang baik, yakni mengasuh, membesarkan, dan mendidik anak-anak
secara positif agar membangkitkan potensi-potensi positif, kecerdasan
intelektual, emosi, dan juga dorongan moralistic mereka yang bersumber
pada kekuatan ruhiyah anak.
2. Prinsip-prinsip positive parenting menurut Fauzil Adhim ada tiga, yaitu:
a. Supporting Healthy Attitudes
Supporting Healthy Attitudes adalah dukungan positif orang tua
bagi anak untuk mengembangkan inisiatif yang bersikap sehat dan
anak akan belajar bahwa dirinya diciptakan dengan potensi kebaikan
yang besar.
b. Qaulan Sadida: Assertive-Positive Communication
Prinsip
berikutnya
dalam
77
78
kesadaran,
akan
tetapi
diajarkan
sebagai
pengetahuan/knowledge
d) orientasi studi yaitu selama ini kita sebagai manusia apa saja yang
harus dipelajari supaya menjadi manusia yang bermanfaat.
Keempat hal tersebut berpijak pada hal yang kelima, yaitu :
79
e) nilai hidup yang kuat. Dalam hal ini adalah agama yang menjadi
pengawal. Lima hal itulah yang akan menjadi daya penggerak (driving
force) dalam perwujudan positive parenting.
B. Saran
Berawal dari membaca fenomena sosial yang berkembang di masyarakat,
khususnya perkembangan umat islam di tengah-tengah hegemoni kapitalis
membuat umat islam semakin mengalami keterpurukan dalam hal ini
mengajukan saran-saran sebagai berikut:
1. Adanya perhatian terhadap hal-hal kecil, karena selama ini kita menilai
hal-hal kecil tidak begitu signifikan dengan hal-hal besar, justru berangkat
dari hal-hal kecil itulah sesuatu yang besar dimulai, dalam hal ini keluarga
yang sukses adalah bagaimana keluarga mampu mengarahkan dan
membimbing anak sesuai dengan fitrahnya, proses transformasi
pengetahuan hendaknya dilakukan secara komprehensif yang meliputi
(intelektual dan spiritual) sehingga bisa membentuk insan Ulil Albab.
2. Untuk menyongsong agenda besar dalam mencapai tujuan pendidikan,
hendaknya keluarga sadar terhadap kewajiban mendidik anak, semestinya
orang tua atau calon orang tua mengetahui atau bahkan faham apa yang
terbaik dalam mendidik anaknya, hal ini demi masa depan anaknya, proses
sosialisasi sadar tentang pendidikan bisa diperoleh lewat media elektronik,
dan media cetak, atau lewat program khusus yang mengangkat wacana
tentang parenting bisa berbentuk penataran, symposium, seminar, training,
untuk menjadi orang tua yang baik.
3. mengetahui, memahami dan mengaplikasikan konsep tentang hak dan
kewajiban, sebagai suami-istri, sadar tentang jender dalam kehidupan
berumah tangga khususnya dalam mendidik anak.
4. perlu kerjasama yang baik dari berbagai unsur pendidikan, sehingga tidak
ada kesan menafikan dari salah satu pihak, misalnya yang terjadi selama
ini orang tua merasa pendidikan sebagai tanggung jawab sebuah lembaga
pendidikan sehingga tidak menimbulkan unsur diwaktu mendatang.
80
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mustaqim, Menjadi Orang Tua Bijak; Solusi Kreatif Menangani Pelbagai
Masalah Anak Jakarta: Mizan Pustaka, 2005
Abrasyi, al, Athiyah, at-Tarbiyah al-Islamiyah, terj. Abdullah Zaki al-Ahkaf,
Pokok-Pokok Dasar Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1970
Adhim, Mohammad Fauzil, Bercermin pada Nabi (Tidak di Terbitkan)
______, Positive Parenting: Cara-Cara Islam Mengembangkan Karakter Positif
pada Anak Anda, Bandung: PT Mizan Pustaka, 2006
______, Membuka Jalan Ke Surga, Bekasi: Pustaka Inti, 2004
______, Positive Parenting, makalah ini dipresentasikan di Fakultas Psikologi
UGM 22 Juni 2007 (tidak diterbitkan)
A. S. Hornby, Oxford Advanced Learners Dictionary, American: Oxford
University Press, 2000
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, edisi revisi,
Jakarta: PT Rineka Cipta, 1998
Agus, Sujanto, Psikologi Perkembangan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996
Ashraf, Syed Ali, New Horizons in Muslim Education, Cambridge: Hodder and
Stoughton, 1985
Abrasyi, al, Athiyah al-Tarbiyah al-Islamiyah, terj. Abdullah Zaki al-Kaaf,
Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1970
Arief, Armai, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat
Press, 2002
At-Thorqu, Mohammad Abdul Qodir, Talim At-Tarbiyah Al-Islamiyah, jilid 1,
Mesir: Maktabah Nahdhoh, 1981
Aziz, Sholeh Abdul, at-Tarbiyah Wa ath-Turuquth at-Tadris, juz 1, Darul Maarif
bi Mathor, t.th,
Billington, Ray, Living Philosophy: An Introduction to Moral Thought, London
Rutledge, 1993
Darojat, Zakiyah, dkk, Ilmu Pendidikn Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996
______, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996
Departemen Agama Republik Indonesia, al-Quran dan Terjemahnya, Semarang:
Kumudasmoro Grafindo, 1994
Djiwandono, Sri Esti Wuryani, Konseling dan Terapi Keluarga, Jakarta:
Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005F.J. Mc Donald, Educational
Psychology, Tokyo, Japan: AI-MEI, 1959
Nama
Pendidikan
: -
Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya untuk
dipergunakan sebagaimana mestinya.
Tertanda,
PEDOMAN WAWANCARA