Gangguan Jiwa Pada Lansia (Fix)

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 15

Gangguan Jiwa pada Lansia

Proses menua (aging) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi
fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu
cenderung berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa
secara khusus pada lansia. Masalah kesehatan jiwa lansia termasuk juga dalam masalah
kesehatan yang dibahas pada pasien-pasien Geriatri dan Psikogeriatri yang merupakan bagian
dari Gerontologi, yaitu ilmu yang mempelajari segala aspek dan masalah lansia, meliputi
aspek fisiologis, psikologis, sosial, kultural, ekonomi dan lain-lain. Timbulnya perhatian pada
orang-orang usia lanjut dikarenakan adanya sifat-sifat atau faktor-faktor khusus yang
mempengaruhi kehidupan pada usia lanjut.
Lansia merupakan salah satu fase kehidupan yang dialami oleh individu yang
berumur panjang. Lansia tidak hanya meliputi aspek biologis, tetapi juga psikologis dan
sosial. Perubahan yang terjadi pada lansia dapat disebut sebagai perubahan `senesens` dan
perubahan senilitas. Perubahan `senesens adalah perubahan-perubahan normal dan
fisiologik akibat usia lanjut. Perubalian senilitas adalah perubahan-perubahan patologik
permanent dan disertai dengan makin memburuknya kondisi badan pada usia lanjut.
Sementara itu, perubahan yang dihadapi lansia pada amumnya adalah pada bidang klinik,

kesehatan jiwa dan problema bidang sosio ekonomi. Oleh karma itu lansia adalah kelompok
dengan resiko tinggi terhadap problema fisik dan mental.
Proses menua pada manusia merupakan fenomena yang tidak dapat dihindarkan.
Seinakin baik pelayanan kesehatan sebuah bangsa makin tinggi pula harapan hidup
masyarakatnya dan padan gilirannya makin tinggi pula jumlah penduduknya yang berusia
lanjut. Demikian pula di Indonesia.
Dalam pendekatan pelayanan kesehatan pada kelompok lansia sangat perlu
ditekankan pendekatan yang dapat mencakup sehat fisik, psikologis, spiritual dan sosial. Hal
tersebut karena pendekatan dari satu aspek saja tidak akan menunjang pelayanan kesehatan
pada lansia yang membutuhkan suatu pelayanan yang komprehensif.
Usia lansia bukan hanya dihadapkan pada permasalahan kesehatan jasmaniah saja,
tapi juga permasalahan gangguan mental dalam menghadapi usia senja. Lansia sebagai tahap
akhir dari siklus kehidupan manusia, sering diwarnai dengan kondisi hidup yang tidak sesuai
dengan harapan. Banyak faktor yang menyebabkan seorang mengalami gangguan mental
seperti depresi.
A.

Definisi Lanjut Usia


Lansia adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan
untuk mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap
jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita. ( Wahyu, 2009)
Proses menua (aging) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi fisik,
psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Keadaan itu cenderung
berpotensi menimbulkan masalah kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara
khusus pada lansia.
Psikogeriatri adalah cabang ilmu kedokteran jiwa yang mempelajari masalah
kesehatan jiwa pada lansia yang menyangkut aspek promotof, preventif, kuratif dan
rehabilitatif serta psikososial yang menyertai kehidupan lansia. Diperkirakan Indonesia mulai
tahun 1990 hingga 2023 lansia (umur 60 ke atas) akan meningkat hingga 41,4 % (geriatric
and psychigeriatric workshop training for trainers, 2008) masalah yang paling banyak adalah

1.
2.
3.
4.
5.
6.
B.

demensia, delerium, depresi, paranoid dan ansietas.


Adapun tugas perkembangan lansia adalah sebagai berikut
Menyesuaikan diri terhadap ketahanan dan kesehatan yang berkurang.
Menyesuaikan diri terhadap masa pensiun dan berkurangnya pendapatan.
Menyesuaikan diri terhadap kemungkinan ditinggalkan pasangan hidup
Mempertahankan kehidupan yang memuaskan dan mencari makna hidup.
Menjaga hubungan baik dengan anak
Membina hubungan dengan teman sebaya dan berperan serta dalam organisasi sosial
Batasan Umur pada Lanjut Usia

1.
2.
3.

DEPKES RI membagi Lansia sebagai berikut:


Kelompok menjelang usia lanjut (45 - 54 tahun).
Kelompok usia lanjut (55 - 64 tahun).
Kelompok usia lanjut (65 tahun lebih ). (Farida, 2010)
Sedangkan WHO membagi lansia menjadi 3 kategori, yaitu:

1.
2.
3.

Usia lanjut : 60 - 74 tahun


Usia Tua : 75 - 89 tahun
Usia sangat lanjut : > 90 tahun

C.
1.
2.
3.
4.

Penyebab Gangguan Jiwa pada Lansia


Masalah keluarga
Masalah interpersonal
Penyakit
Masalah sosial. (Farida, 2010)

D.
1.
a.

Masalah Psikososial yang Muncul pada Lansia


Depresi
Tanda dan gejala
Frekuensi tampak bertambah sesuai usia, meski laju relaps, yaitu waktu antara dua
episod depresi tampak berkurang. Frekuensi bunuh diri juga naik tajam dengan penuaan.
Namun ada bukti baik bahwa ciri tertentu depresi, yaitu gangguan obsesional dan fobik
berkurang dengan penuaan.
Studi epidemiologik depresi pada manula diganggu oleh kebingungan antara depresi dan
demensia. Anggota keluarga pasien demensia sering membawa pasien dengan keluhan utama
depresi tanpa adanya gangguan mood sejati apapun. Psikiater harus mengenali kurangnya
bicara, melambatnya gait (cara berjalan), mendatarnya afek dan turunnya minat dalam dan
keterlibatan dengan aktivitas sosial dan personal, yang semuanya menunjukkan depresi pada
pasien muda, bila tanpa disforia jelas, pertanda demensia dini pada pasien tua. Penentuan
kognitif yang akan menentukan defisit pada demensia, bila sesuai, dapat membuat lebih jelas
diagnosa demensia.
Depresi dapat terjadi bersamaan dengan demensia dan merupakan konkomitan sering
dari stadium awal penyakit Alzheimer (stadium 3-5 pada Global Deterioration Scale). Bila
depresi terjadi dalam konteks penyakit Alzheimer, gejala tersering adalah berlinang air mata,
yang sering disertai tanda awal gangguan tidur khas, kecurigaan, cemas, dan agitasi, yang
membentuk sindrom perilaku dari penyakit Alzheimer. Gejala lain, yang mengingatkan pada
depresi dalam konteks lain, dapat terjadi pada sindrom depresif dari penyakit Alzheimer,
termasuk keluhan somatik dan perilaku obsesif. Disforia pervasif relative jarang sekali dan
pasien Alzheimer dengan depresi sangat jarang menunjukkan perilaku bunuh diri. Pernyataan
maneristik seperti saya berharap saya mati, sering ditemukan pada penyakit Alzheimer, tapi
pernyataan itu tidak disertai rencana bunuh diri, sikap atau tindakan kea arah itu.

Berbeda dengan psikosis, depresi tampak tak pernah terjadi pada stadium lebih lanjut
dari penyakit Alzheimer, meski sering merupakan manifestasi paling awal dari penyakit itu
dan dapat mendahului gejala kognitif sejauh banyak bulan atau tahun.
Depresi juga sering terjadi bersama infark atau cidera otak lain, dengan atau tanpa
demensia serentak. Patologi yang menimpa regio otak frontal dipercayai khususnya terkait
dengan simtomatologi afektif. Depresi berkaitan dengan infark otak secara khas berkaitan
dengan inkontinensia emosional, yaitu episod mendadak menangis tanpa disforia pervasive,
konsisten, atau afektif.
Selain demensia dan trauma otak jelas, depresi pada manula sering disebabkan oleh
patologi fisik dengan etiologi beraneka. Misal, gangguan elektrolit akibat diuretik saja atau
bersamaan dengan obat lain dapat menyebabkan presentasi gangguan mood, juga defisiensi
b.

vitamin B12 akibat malabsorpsi yang mungkin berkaitan dengan operasi saluran cerna.
Terapi
Penyakit depresi primer (idiopatik) pada manula bersifat serius dan dalam banyak hal
merupakan keadaaan yang mengancam nyawa. Cara terapi yang harus diberikan prioritas

1)

meliputi antidepresan, ECT, dan MAO-inhibitor. (Harold, 1994)


Anti-depresan
Semakin luas jenisnya, semuanya berpotensi berguna bagi manula. Diantaranya paling
disukai untuk manula adalah amina sekunder, termasuk desipramin dan nortriptilin, sebagian
karena mareka kurang menimbulkan hipotensi dari pada amina tersier. Desipramin sangat
rendah efek samping antikolinergiknya dibandingkan antidepresan lain umumnya, ini
menguntungkan karena manula diketahui kurang aktif fungsi neurotransmitter kolinergik dan
dipercaya khususnya peka terhadap efek samping antikolinergik. Nortriptilin jgua sering di
anggap obat terpilih untuk manula karena mampu dipantau jendela terapeutik berupa kadar
darah berhubungan dengan reaksi klinis. Fluoxetin dan bupropion dapat berguna khususnya

pada manula karena berefek samping antikolenergik minimal. (Harold, 1994)


2)
ECT
Dapat menjadi terapi terpilih untuk depresi pada manula, khususnya jika faktor jantung
membatasi atau memustahilkan obat antidepresen atau jika penolakan makan merupakan
ancaman akut bahkan masalah mengancam jiwa. Risiko ECT sangat rendah dan sering
kurang dari farmakoterapi. Setiap risiko terapi harus dipertimbangkan terhadap risiko depresi,
3)

terhadap status mental pasien dan setiap resiko bunuh diri. (Harold, 1994)
MAOI
Aman untuk manula bila diberikan dengan kewaspadaan lazim. Pada manula, terapi
depresi akibat penyakit lain tidak berbeda jauh dari terapi depresi idiopatik kecuali bahwa
terapi gangguan yang mendasari, jika mungkin, dapat mendahului atau mengesampingkan
perlunya menterapi gejala afektifnya secara lebih langsung. Bila depresi dan demensia terjadi

bersamaan, terapi depresi mungkin dapat atau tidak mengakibatkan resolusi gangguan
kognitif. Meski jika gangguan kognitif remisi seluruhnya, pada sekitar separuh kasus itu,
gejala dini kehilangan kognitif akan jelas lagi dalam sekitar 2-3 tahun. (Harold, 1994)
2.

Gangguan mania dan bipolar


Angka relaps mania dan gangguan bipolar bertambah dengan usia. Panjang rata-rata
episode morbid minimal sama pada pasien tua dibandingkan yang lebih muda. Kebanyakan
kasus penyakit bipolar mulai sebelum usia 50, kemunculan sesudah usia 65 dianggap tak
lazim. Bila suatu episode manik terjadi untuk pertama kalinya sesudah usia 65, harus
dicurigai adanya patofisiologik (organik) etiologik mencolok. Kemungkinan etiologi
termasuk efek samping obat atau demensia konkomitan.
Pemakaian litium pada manula lebih berbahaya karena sering timbulnya morbiditas
berkaitan dengan usia dan perubahan faali. Litium diekskesi oleh ren dan bersihan renal yang
menurun dan / atau penyakit renal dapat menaikkan resiko keracunan. Diuretik tiazid
menurunkan bersihan renal terhadap litium dan akibatnya pemakaian serentak obat-obat itu
dapat memerlukan penyesuaian dosis litium. Obat lain dapat juga mengganggu bersihan
litium. Litium dapat menimbulkan efek SSP yang mungkin lebih peka bagi manula. Karena
faktor-faktor ini, pemantauan kadar serum yang lebih sering dianjurkan bagi manula. (Harold,
1994)

3.

Skizofrenia, status paranoid, dan psikosis kehidupan lanjut lain

a.

Tanda dan gejala


Pemasukan awal ke rumah sakit jiwa untuk skizofren memuncak dari usia 25 hingga 34
dan relatif jarang sesudah usia 65. Psikosis paranoid dari aneka etiologi umumnya timbul
pada pasien tua, termasuk banyak pasien tua tanpa riwayat psikopatologi berarti pramorbid.
Defisit sensorik tampak merupakan predisposisi terhadap psikosis paranoid pada sebagian
pasien manula.
Pada yang lainnya, CVD atau demensia berkaitan dengan munculnya patologi. Obat
atau kausa patofisiologik lain harus digali dengan hati-hati pada semua kasus. Temuan
mutakhir menunjukkan bahwa paranoid dan psikosis delusional pada kasus tertentu mungkin
menjadi sebab demensia degeneratif primer tipe Alzheimer. Pada kasus lain, status ini
mungkin berkaitan dengan faktor serebrovaskular yang tidak selalu jelas berdasarkan temuan
klinis atau neuroimaging. Perubahan neurotransmitter berkaitan dengan penuaan dapat juga
menjadi predisposisi psikosis pada manula.

Secara lebih spesifik, pada manula penurunan aneka sistem neurotransmitter telah
ditunjukkan secara meyakinkan. Misalnya terdapat penurunan fungsi dopaminergik berkaitan
dengan kehilangan sel berkaitan usia pada substansia nigra, dengan atau tanpa gejala
parkinsonian jelas. Juga terdapat perubahan berkaitan usia pada fungsi noradrenergik
berkaitan dengan bukti fisik kehilangan sel di lokus seruleus. Demikian juga, perubahan
sistem neurotransmitter kolinergik berkaitan-usia terjadi berkaitan dengan turunnya aktivitas
enzim asetiltransferase kolin. Secara keseluruhan, perubahan neurokimia SSP ini semua
mengakibatkan penetapan ulang imbangan (resetting) neurotransmitter SSP, dan dalam
banyak hal perubahan itu dapat menjadi predisposisi bagi psikosis pada manula. (Harold,
b.

1994)
Terapi
Perubahan system neurotransmitter SSP manula tampak berperan besar, baik dalam
etiologi maupun terapi psikosis. Pada umumnya psikosis pada manula sering bereaksi
terhadap dosis obat yang jauh lebih rendah dibandingkan psikosis pada pasien lebih muda.
Manula juga jauh lebih peka terhadap banyak efek samping obat antipsikotik dibandingkan
pasien lebih muda. (Harold, 1994)

4.

Gangguan ingatan berkaitan usia, penyakit Alzheimer, dan gangguan demensia lain.
Perubahan kognisi adalah termasuk yang paling sering dan penting (dalam hal morbiditas,
mortalitas dan dampak terhadap anggota keluarga dan masyarakat umumnya) daripada

a.

kondisi medis berkaitan dengan usia. (Harold, 1994)


Penyakit Alzheimer
Perubahan kognisi pada penuaan normal dan pada penyakit Alzheimer progresif terjadi

dalam kesinambungan.
1).
Stadium satu : normal : tanpa bukti objektif atau subjektif penurunan kognitif.
2).
Stadium dua : normal untuk usia : keluhan subjektif penurunan kognitif. Umumnya klien
lebih dari 65 mengeluh subjektif tak mengingat hal seperti nama dan lokasi objek seperti
halnya 5-10 tahun silam.
3).
Stadium tiga : kompatibel dengan penyakit alzheimer insipien : bukti samar penurunan
4).

objektif dalam tugas sosial atau pekerjaan kompleks.


Stadium empat : penyakit alzheimer ringan : defisit muncul jelas pada wawancara klinis

5).

yang cermat.
Stadium lima : penyakit alzheimer sedang : defisit cukup berat hingga pasien tak lagi dapat

hidup lebih lama tanpa bantuan.


6).
Stadium enam : penyakit alzheimer berat sedang : defisit cukup besar hingga butuh bantuan
dalam hal aktivitas kehidupan dasar sehari-hari.

7).

Stadium tujuh : penyakit alzheimer berat : defisit cukup berat hingga butuh bantuan terus
menerus dalam aktivitas sehari-hari.

STAGING FUNGSIONAL DAN PROGRESI PADA PENUAAN NORMAL DAN


PENYAKIT ALZEIMER
Stadium

Perkiraan

penilaian

Karakteristik

fungsiona

Diagnosis klinis

lamanya
penyakit
alzeimer

Tanpa penurunan

Dewasa normal

Defisit subjektif dalam pencarian kata

Dewasa tua normal

Defisit ditemukan dalam tugas menuntut Sesuai dengan penyakit 7 tahun


perhatian besar

alzeimer insipien

Perlu bantuan dalam tugas kompleks

Penyakit alzeimer ringan

Perlu bantuan dalam memilih pakaian yang Penyakit

2 tahun

alzeimer 18 bulan

tepat

sedang

Perlu bantuan dalam berpakaian

Penyakit alzeimer berat 5 bulan

Perlu bantuan untuk mandi dengan benar

sedang

Perlu bantuan dengan mekanika toilet

5 bulan

Inkonteninsia uri

4 bulan

Inkontinensia vokal

10 bulan

Kemampuan bicara terbatas kepada sekitar Penyakit alzeimer berat

12 bulan

6a

7a

5 bulan

enam kata
b

Khazanah

kata

yang

dapat

dimengerti

18 bulan

terbatas pada satu kata


c

Kemampuan ambulasi hilang

12 bulan

Kemampuian duduk tegak hilang

12 bulan

Kemampuan terseenyum hilang

18 bulan

Kemampuan mempertahankan kepala tegak

12 bulan atau

hilang

lebih lama

b.

Demensia multi infark


Ini mrupakan sebab utama kedua dari demensia pada manula. Itu paling sering terjadi
bersamaan dengan penyakit Alzheimer. Studi patologi klasik menunjukkan sekitar 50% kasus
demensia yang di autopsi berkaitan dengan penyakit Alzheimer saja, 25% dengan penyakit
Alzheimer berkaitan dengan faktor serebrovaskular, dan 15% dengan demensia multi infark

c.

tanpa bukti neuropatologik penyakit Alzheimer.


Gangguan demensia lain dan diagnosis banding demensia
Kausa demensia lain termasuk penyakit pick, penyakit creutzfeldt-jakob, korea
huntington, demensia terkait alkohol (demensia Korsakoff), hidrosefalus tekanan normal, dan

demensia akibat aneka gangguan faali.


1)
Penyakit pick adalah demensia degeneratif yang sulit dibedakan secara klinis dari penyakit
alzeimer. Secara neuropatologis, itu berbeda karena hasil pemeriksaan autopsi otak
menunjukan badan pick dan bukan karakteristik berkas neurofibrilar, plakat senil, atau
degenerasi granulovaskular dari penyakit alzeimer. Penyakit pick juga cenderung mengenai
regio frontal otak, sedang alzeimer jauh lebih difus. Penyakit pick berdistribusi usia lebih
muda daripada alzheimer, menimbulkan jauh lebih banyak demensia pada dekade keenam.
Secara klinis, penyakit pick tampak di tandai gambaran yang lebih ke lobus frontal daripada
2)

penyakit alzheimer. Tak ada terapi untuk penyakit pick.


Penyakit creutzfeldt-jakob adalah kondisi yang langka menimpa sekitar satu per sejuta
orang bervariasi dan akut. Seringkali penyakit ini dibedakan dari penyakit alzhemier yang

3)

mungkin lebih cepat perjalannanya atau berdasarkan patologi neural, vokal dan terlokaliasasi.
Korea-huntington dapat tampil dengan ganguan demensia sebelum munculnmya patologi

koreiform.
4)
Hidrosefalus tekanan normal ditandai oleh gangguan berjalan inkontinensi uri, temuan
5)

neuro radiologi dan timbulnya relatif dini.


Demensia akibat gangguan faali beragam. Temuan positif dari salah satu studi ini harus di
interpretasi oleh klinisi mereka mungkin menunjukan suatu etiologi primer demensia yang
mungkin dapat diobati, mereka mungkin pertanda tambahan rudapaksa dalam konteks
demenseia degeneratif. (Harold, 1994)

E.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Jiwa Lansia


Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan jiwa lansia. Faktorfaktor tersebut hendaklah disikapi secara bijak sehingga para lansia dapat menikmati hari tua
mereka dengan bahagia.

Adapun beberapa faktor yang dihadapi para lansia yang sangat mempengaruhi kesehatan
jiwa mereka adalah sebagai berikut:
1.

Penurunan Kondisi Fisik


Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi adanya kondisi fisik

yang bersifat patologis berganda (multiple pathology), misalnya tenaga berkurang, energi
menurun, kulit makin keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh, dan sebagainya. Secara
umum kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan
secara berlipat ganda. Hal ini semua dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik,
psikologik

maupun

sosial,

yang

selanjutnya

dapat

menyebabkan

suatu

keadaan

ketergantungan kepada orang lain.


Dalam kehidupan lansia agar dapat tetap menjaga kondisi fisik yang sehat, maka perlu
menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan fisik dengan kondisi psikologik maupun sosial,
sehingga mau tidak mau harus ada usaha untuk mengurangi kegiatan yang bersifat memforsir
fisiknya. Seorang lansia harus mampu mengatur cara hidupnya dengan baik, misalnya makan,
tidur, istirahat dan bekerja secara seimbang.
2. Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual
Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali berhubungan dengan
berbagai gangguan fisik seperti : Gangguan jantung, gangguan metabolisme, misal diabetes
millitus, vaginitis, baru selesai operasi : misalnya prostatektomi, kekurangan gizi, karena
pencernaan kurang sempurna atau nafsu makan sangat kurang, penggunaan obat-obat
tertentu, seperti antihipertensi, golongan steroid, tranquilizer. Faktor psikologis yang
a.
b.

menyertai lansia antara lain :


Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual pada lansia
Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta diperkuat oleh tradisi dan

c.
d.
e.

budaya.
Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam kehidupannya.
Pasangan hidup telah meninggal.
Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah kesehatan jiwa lainnya
3.

misalnya cemas, depresi, pikun dan sebagainya.


Perubahan Aspek Psikososial
Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami penurunan fungsi
kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman,
pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi
makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang berhubungan
dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa
lansia menjadi kurang cekatan.

Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami perubahan
aspek psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia.
4. Perubahan yang Berkaitan Dengan Pekerjaan
Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun. Meskipun tujuan ideal
pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam
kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pensiun sering diartikan sebagai kehilangan
penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status dan harga diri. Reaksi setelah orang
memasuki masa pensiun lebih tergantung dari model kepribadiannya seperti yang telah
diuraikan pada point tiga di atas.
Makin meningkatnya jumlah manula dalam masyarakat telah melahirkan sejumlah
penelitian psikologis tentang kemampuan orang lanjut usia. Penelitian ini telah mengukuhkan
bahwa orang lanjut usia cenderung lebih lamban dalam pemahaman mental dan kurang
mampu melakukan tugas-tugas yang menuntut ia mempelajari hal-hal baru.
F.
1.

Gangguan Jiwa pada Usia Lanjut


Delirium.
Merupakan Sindrom Otak Organik (SOO), yang ditandai dengan fluktuasi kesadaran,
apatis, somnolen, spoor, koma, sensitif, gangguan proses berpikir. Konsentrasi pada lanjut
usia akan mengalami kebingungan dan persepsi halusinasi visual (pada umumnya).

2.

Psikomotor akan mengikuti gangguan berpikir dan halusinasi


Psikosa pada lansia
Gejala gejala : awalnya idea of reference, waham, terkadang sebagai penyerta

demensia, premorbid, schizofrenia


3. Abuse pada lansia
Tindakan yang disengaja atau kelalaian terhadap lansia baik dalam bentuk malnutrisi,
fisik/tenaga atau luka fisik, psikologis oleh orang lain yang disebabkan adanya kegagalan
pemberian asuhan nutrisi, pakaian, pengawasan, pelayanan medis, rehabilitasi, dan
perlindungan yang dibutuhkan.
Abuse, suatu tindakan kekerasan yang disengaja seperti kekerasan fisik, mental dan
psikologi, serta jenis penyiksaan lainnya yang tidak dibenarkan
Neglect, suatu keadaan di ana lansia yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan

a.

sendiri tidak mendapatkan bantuan dari keluarga maupun pemberi asuhan (caregiver)
Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan sebagai berikut
primer : pendekatan kepada komunitas/lingkunganpeberi dukungan pada lansia,
memperkuat koping individu dan keluarga, pola sehat lingkungan, melihat tanda-tanda risiko

b.
c.

tinggi.
sekunder : diskusi,komunikasi yang efektif dengan keluarga
tersier : tidak menoleransi kekerasan, mengharagai dan peduli pada anggota keluarga,
memprioritaskan kepada keamanan, tulus secara utuh dan pendayagunaan. (Farida, 2010)

4.

Gangguan demensia
Faktor resiko demensia yang sudah diketahui adalah usia, riwayat keluarga, dan jenis
kelamin wanita. Perubahan khas pada demensia terjadi pada kognisi, memori, bahasa, dan
kemampuan visuospasial, tapi gangguan perilaku juga sering ditemui, termasuk agitasi,
restlessness, wandering, kemarahan, kekerasan, suka berteriak, impulsif, gangguan tidur, dan

waham.
5. Gangguan depresi
Gejala yang sering muncul pada gangguan depresif adalah menurunnya konsentrasi
dan fisik, gangguan tidur (khususnya bangun pagi terlalu cepat dan sering terbangun
(multiple awakenings), nafsu makan menurun, penurunan berat badan, dan masalah-masalah
6.

pada tubuh.
Gangguan kecemasan
Termasuk gangguan panik, ketakutan (fobia), gangguan obsesif-kompulsif, gangguan
kecemasan yang menyeluruh, gangguan stres akut, dan gangguan stres pasca trauma.
Tanda dan gejala ketakutan (fobia) pada lansia tidak seberat daripada yang lebih
muda, tetapi efeknya sama. Gangguan kecemasan mulai muncul pada masa remaja awal atau
pertengahan, tetapi beberapa dapat muncul pertama kali setelah usia 60 tahun.
Pengobatan harus disesuaikan dengan penderita dan harus diperhitungkan pengaruh
biopsikososial yang menghasilkan gangguan. Farmakoterapi dan psikoterapi dibutuhkan.

G.
1.

Pendekatan Perawatan Lanjut Usia


Pendekatan fisik
Perawatan yang memperhatikan kesehatan obyektif, kebutuhan, kejadian-kejadian
yang dialami klien lanjut usia semasa hidupnya, perubahan fisik pada organ tubuh, tingkat
kesehatan yang masih bias di capai dan dikembangkan, dan penyakit yang yang dapat
dicegah atau ditekan progresifitasnya. Perawatan fisik secara umum bagi klien lanjut usia

a.

dapat dibagi atas dua bagian yaitu:


Klien lanjut usia yang masih aktif, yang keadaan fisiknya masih mampu bergerak tanpa
bantuan orang lain sehingga untuk kebutuhannya sehari-hari masih mampu melakukan

b.

sendiri.
Klien lanjut usia yang pasif atau yang tidak dapat bangun, yang keadaan fisiknya
mengalami kelumpuhan atau sakit. Perawat harus mengetahui dasar perawatan klien usia
lanjut ini terutama tentang hal-hal yang berhubungan dengan keberhasilan perorangan untuk
mempertahankan kesehatannya.
Kebersihan perorangan sangat penting dalam usaha mencegah timbulnya peradangan,
mengingat sumber infeksi dapat timbul bila keberhasilan kurang mendapat perhatian.
Disamping itu kemunduran kondisi fisik akibat proses penuaan, dapat mempengaruhi
ketahanan tubuh terhadap gangguan atau serangan infeksi dari luar. Untuk klien lanjut usia

yang masih aktif dapat diberikan bimbingan mengenai kebersihan mulut dan gigi, kebersihan
kulit dan badan, kebersihan rambut dan kuku, kebersihan tempat tidur serta posisi tidurnya,
hal makanan, cara memakan obat, dan cara pindahdari tempat tidur ke kursi atau sebaliknya.
Hal ini penting meskipun tidak selalu keluhan-keluhan yang dikemukakan atau gejala yang
ditemukan memerlukan perawatan, tidak jarang pada klien lanjut usia dihadapkan pada
dokter dalam keadaan gawat yang memerlukan tindakan darurat dan intensif, misalnya
gangguan serebrovaskuler mendadak, trauma, intoksikasi dan kejang-kejang, untuk itu perlu
pengamatan secermat mungkin.
Adapun komponen pendekatan fisik yang lebuh mendasar adalah memperhatikan atau
membantu para klien lanjut usia untuk bernafas dengan lancar, makan, minum, melakukan
eliminasi, tidur, menjaga sikap tubuh waktu berjalan, tidur, menjaga sikap, tubuh waktu
berjalan, duduk, merubah posisi tiduran, beristirahat, kebersihan tubuh, memakai dan
menukar pakaian, mempertahankan suhu badan melindungi kulit dan kecelakaan.Toleransi
terhadap kakurangan O2 sangat menurun pada klien lanjut usia, untuk itu kekurangan O2
yang mendadak harus disegah dengan posisi bersandar pada beberapa bantal, jangan
melakukan gerak badan yang berlebihan.
Seorang perawat harus mampu memotivasi para klien lanjut usia agar mau dan menerima
makanan yang disajikan. Kurangnya kemampuan mengunyah sering dapat menyebabkan
hilangnya nafsu makan. Untuk mengatasi masalah ini adalah dengan menghidangkan
makanan agak lunak atau memakai gigi palsu. Waktu makan yang teratur, menu bervariasi
dan bergizi, makanan yang serasi dan suasana yang menyenangkan dapat menambah selera
makan, bila ada penyakit tertentu perawat harus mengatur makanan mereka sesuai dengan
diet yang dianjurkan.
Kebersihan perorangan sangat penting dalam usaha mencegah timbulnya peradangan,
mengingat sumber infeksi bisa saja timbul bila kebersihan kurang mendapat perhatian. Oleh
karena itu, kebersihan badan, tempat tidur, kebersihan rambut, kuku dan mulut atau gigi perlu
mendapat perhatian perawatan karena semua itu akan mempengaruhi kesehatan klien lanjut
usia.
Perawat perlu mengadakan pemeriksaan kesehatan, hal ini harus dilakukan kepada klien
lanjut usia yang diduga menderita penyakit tertentu atau secara berkala bila memperlihatkan
kelainan, misalnya: batuk, pilek, dsb. Perawat perlu memberikan penjelasan dan penyuluhan
kesehatan,

jika

ada

mengkomunikasikan

keluhan

dengan

insomnia,

mereka

harus

tentang

cara

dicari

penyebabnya,

pemecahannya.

kemudian

Perawat

harus

mendekatkan diri dengan klien lanjut usia membimbing dengan sabar dan ramah, sambil

bertanya apa keluhan yang dirasakan, bagaimana tentang tidur, makan, apakah obat sudah
dimminum, apakah mereka bisa melaksanakan ibadah dsb. Sentuhan (misalnya genggaman
tangan) terkadang sangat berarti buat mereka.
2.

Pendekatan psikis
Disini perawat mempunyai peranan penting untuk mengadakan pendekatan edukatif
pada klien lanjut usia, perawat dapat berperan sebagai supporter , interpreter terhadap segala
sesuatu yang asing, sebagai penampung rahasia yang pribadi dan sebagai sahabat yang akrab.
Perawat hendaknya memiliki kesabaran dan ketelitian dalam memberikan kesempatan dan
waktu yang cukup banyak untuk menerima berbagai bentuk keluhan agar para lanjut usia
merasa puas. Perawat harus selalu memegang prinsip Tripple, yaitu sabar, simpatik dan
service.
Pada dasarnya klien lanjut usia membutuhkan rasa aman dan cinta kasih sayang dari
lingkungan, termasuk perawat yang memberikan perawatan.. Untuk itu perawat harus selalu
menciptakan suasana yang aman , tidak gaduh, membiarkan mereka melakukan kegiatan
dalam batas kemampuan dan hobi yang dimilikinya.
Perawat harus membangkitkan semangat dan kreasi klien lanjut usia dalam
memecahkan dan mengurangi rasa putus asa , rendah diri, rasa keterbatasan sebagai akibat
dari ketidakmampuan fisik, dan kelainan yang dideritanya.
Hal itu perlu dilakukan karena perubahan psikologi terjadi karena bersama dengan
semakin lanjutnya usia. Perubahan-perubahan ini meliputi gejala-gejala, seperti menurunnya
daya ingat untuk peristiwa yang baru terjadi, berkurangnya kegairahan atau keinginan,
peningkatan kewaspadaan , perubahan pola tidur dengan suatu kecenderungan untuk tiduran
diwaktu siang, dan pergeseran libido.
Perawat harus sabar mendengarkan cerita dari masa lampau yang membosankan,
jangan menertawakan atau memarahi klien lanjut usia bila lupa melakukan kesalahan . Harus
diingat kemunduran ingatan jangan dimanfaatkan untuk tujuan tertentu.
Bila perawat ingin merubah tingkah laku dan pandangan mereka terhadap kesehatan,
perawat bila melakukannya secara perlahan lahan dan bertahap, perawat harus dapat
mendukung mental mereka kearah pemuasan pribadi sehinga seluruh pengalaman yang
dilaluinya tidak menambah beban, bila perlu diusahakan agar di masa lanjut usia ini mereka

puas dan bahagia.


3. Pendekatan sosial
Mengadakan diskusi, tukar pikiran, dan bercerita merupakan salah satu upaya perawat
dalam pendekatan social. Memberi kesempatan untuk berkumpul bersama dengan sesama
klien usia berarti menciptakan sosialisasi mereka. Jadi pendekatan social ini merupakan suatu

pegangan bagi perawat bahwa orang yang dihadapinya adalah makhluk sosial yang
membutuhkan orang lain.
Penyakit memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada para lanjut usia untuk
mengadakan konunikasi dan melakukan rekreasi, misal jalan pagi, nonton film, atau hiburan
lain. Tidak sedikit klien tidak tidur terasa, stress memikirkan penyakitnya, biaya hidup,
keluarga yang dirumah sehingga menimbulkan kekecewaan, ketakutan atau kekhawatiran,
dan rasa kecemasan.
Tidak jarang terjadi pertengkaran dan perkelahian diantara lanjut usia, hal ini dapat
diatasi dengan berbagai cara yaitu mengadakan hak dan kewajiban bersama. Dengan
demikian perawat tetap mempunyai hubungan komunikasi baik sesama mereka maupun
terhadap petugas yang secara langsung berkaitan dengan pelayanan kesejahteraan sosial bagi
4.

lanjut usia di Panti Werda.


Pendekatan spiritual
Perawat harus bisa memberikan ketenangan dan kepuasan batin dalam hubungannya
dengan Tuhan atau agama yang dianutnua dalam kedaan sakit atau mendeteksi kematian.
Sehubungan dengan pendekatan spiritual bagi klien lanjut usia yang menghadapi
kematian, DR. Tony styobuhi mengemukakan bahwa maut sering kali menggugah rasa takut.
Rasa semacam ini didasari oleh berbagai macam factor, seperti ketidak pastian akan
pengalaman selanjutnya, adanya rasa sakit dan kegelisahan kumpul lagi bengan keluatga dan
lingkungan sekitarnya. Dalam menghadapi kematian setiap klien lanjut usia akan
memberikan reaksi yang berbeda, tergantung dari kepribadian dan cara dalam mengahadapi
hidup ini. Adapun kegelisahan yang timbul diakibatkan oleh persoalan keluarga perawat
harus dapat meyakinkan lanjut usia bahwa kalaupun kelurga tadi di tinggalkan , masih ada
orang lain yang mengurus mereka. Sedangkan rasa bersalah selalu menghantui pikiran lanjut
usia.
Umumnya pada waktu kematian akan datang agama atau kepercayaan seseorang
merupakan factor yang penting sekali. Pada waktu inilah kelahiran seorang iman sangat perlu
untuk melapangkan dada klien lanjut usia.
Dengan demikian pendekatan perawat pada klien lanjut usia bukan hanya terhadap
fisik saja, melainkan perawat lebih dituntut menemukan pribadi klien lanjut usia melalui
agama mereka.

Referensi :
Kaplan, Harold I & Benjamin J. Sadock. 1994. Buku Saku Psikiatri Klinik. Jakarta: Binapura Aksara.
Kusumawati, Farida & Yudi Hartono. 2011. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.
Damaiyanti, Mukhripah & Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatn Jiwa. Bandung: Refika Aditama.
Maramis, W.F. 1994. Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press.
Maryam, R. Siti. 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba Medika.
Purwaningsih, Wahyu & Ina Karlina. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakartaa : Nuha Medika

Anda mungkin juga menyukai