Laporan Surimi Dan Kamaboko

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 22

Laporan Praktikum

Teknologi Pengolahan Pangan


Hewani

Hari/Tanggal
Dosen

: Selasa/02 April 2013


: Ir. Dewi Sarastani, M.Si
Ir. DR. Joko Hermanianto
Asisten Dosen : Danang Adi Hapsoro, Amd

PROSES PEMBUATAN SURIMI DAN KAMABOKO


Oleh:
Kelompok 3
A / P2
Rico Fernando Theo
Talitha Citra Ulima

J3E111044
J3E111064

Suci Saelan AB

J3E111068

Tia Esha Nombiga

J3E111073

Shelly Maulanie

J3E111075

Zahra Ainnurkhalis

J3E111079

PROGRAM KEAHLIAN SUPERVISOR JAMINAN MUTU PANGAN


DIREKTORAT PROGRAM DIPLOMA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Ikan merupakan salah satu produk perairan yang mengandung protein
hewani. Produk perikanan sangat baik untuk dikonsumsi karena dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhan akan protein di dalam tubuh manusia
karena protein dari hewani memiliki nilai tinggi. Sebagai sumber protein
hewani, ikan harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk memenuhi
kebutuhan manusia dan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Salah
satu produk olahan perikanan adalah surimi dan kamaboko.
Surimi merupakan produk hasil olahan ikan yang masih asing di
Indonesia, dan bahkan sangat sukar untuk mendapatkannya di pasaran. Tetapi
dinegara asalnya, yaitu jepang surimi telah ratusan tahun dikenal dan sekarang
telah menjadi bagian industri perikanan yang cukup penting di Jepang.
Surimi dibuat dari daging ikan giling yang telah di ekstraksi dengan air
dan diberi bahan anti denaturasi, lalu dibekukan. Surimi merupakan produk
antara atau bahan-bahan baku dasar dalam pembuatan kamaboko, sosis, fish
nugget, ham ikan dan lain-lain. Kamaboko dibuat dengan surimi dengan cara
menambahkan pati kemudian dimasak (dikukus) hingga terbentuk gel ikan.
Keuntungan menggunakan surimi bila dibandingkan dengan ikan segar dalam
pembuatan kamaboko adalah dapat menjaga mutu agar seragam dan
mempercepat pengolahan.
Kamaboko merupakan produk hasil olahan daging ikan yang berbentuk
gel, bersifat kenyal dan elastis. Produk ini berasal dari jepang. Di Indonesia
dikenal produk semacam kamaboko yaitu baso ikan, otak-otak, dan empekempek.
Kamaboko dibuat dari bahan daging giling, surimi, pati, garam dan
bumbu-bumbu. Proses pembuatan kamaboko pada prinsipnya melauli tahaptahap penggilingan ikan, pencucian, pembuatan adonan, pencetakan dan
pemanasan (pemasakan).

1.2 Tujuan

Praktikum ini bertujuan unutk mengetahui proses pengolahan daging ikan


menjadi surimi dan kamaboko. Untuk mengetahui fungsi penambahan bahan
tambahan pada proses pembuatan surimi dan kamaboko serta mengetahui
pengaruh penyimpanan beku terhadap mutu surimi dan kamaboko.

BAB II
METODOLOGI
2.1 Alat dan bahan
Alat-alat yang digunakan pada praktikum ini adalah baskom, pisau,
food processor, panci, sendok, talenan, kain saring, nampan,
timbangan, piring, loyang dan mangkuk stainless. Bahan-bahan yang
digunakan pada praktikum ini adalah ikan tenggiri, gula, es batu/air es,
tapioka, STPP, gliserol 4%, NaHCO3, garam/NaCl, air bersih, minyak
goreng, dan bumbu yang terdiri dari lada dan bawang putih.
2.2 Metode
2.2.1 Pembuatan Surimi dan Kamaboko
Ikan tenggiri
Disiangi
Cuci dengan air es
Potongan kecil
Food Processor
Rendam dengan larutan NaHCO3 0,5%
Rendam dengan larutan air es/ air dingin

Surimi 50 gr+
gliserol 4%+ STPP
0,2%

Aduk perlahan
Simpan dalam
lalu kemas dalam
freezer
plastik

Sisa adonan dibuat


kamaboko+ tapioka
6%+ garam 2%+
gula 1%+ STPP 0,2%
+ bumbu
Kukus
dalam
cetak
panci selama
15 menit
Goreng
dengan
minyak panas

Lakukan uji
hedonik

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil

3.1.1Uji Hedonik Kamaboko

3.1.2 Uji Hedonik Surimi


Tabel 1. Hasil Pengamatan Surimi yang disimpan di suhu freezer selama 3 hari
Kelompok
Aroma
Warna
Tekstur
1
Khas ikan
Putih cerah
Halus, kenyal
2
Khas ikan
Putih cerah
Halus, kenyal
3
Khas ikan
Putih cerah
Halus, kenyal
3.2 Pembahasan
3.2.1 Surimi dan Kamaboko
Surimi atau daging ikan lumat merupakan produk hasil olahan ikan yang
masih asing di Indonesia, dan bahkan sangat sukar untuk mendapatkannya di

pasaran. Surimi dibuat dari daging ikan giling yang telah diekstraksi dengan air da
diberi bahan anti-denaturasi, lalu dibekukan. Surimi merupakan produk antara
atau bahan-bahan baku dasar dalam pembuatan kamaboko (produk gel ikan),
sosis, fish nugget, ham ikan dan lain-lain. Pada prinsipnya ada empat tahap proses
dalam pembuatan surimi, yaitu pencucian daging ikan, penggilingan, pengemasan
dan pembekuan.
Kamaboko adalah produk hasil olahan daging ikan yang berbentuk gel,
bersifat kenyal dan elastis. Kamaboko berasal dari jepang. Di Indonesia dikenal
produk-produk kamaboko, ayitu bakso ikan, otak-otak dan empek-empek.
3.2.1.1 Bahan Baku Pembuatan Surimi dan Kamaboko
Surimi dibuat dari daging ikan yang digiling. Kamaboko dibuat dari bahan
daging ikan giling, surimi, pati, garam dan bumbu-bumbu. Bahan utama dari
pembuatan surimi adalah daging ikan segar, sedangkan bahan utama kamaboko
adalah daging ikan dan bumbu.
a. Ikan
Ikan merupakan hasil sumber daya di air. Ikan pada pengolahan
kamaboko biasanya adalah ikan laut. Ikan memiliki tiga jenis protein
yaitu protein miofibril, sarkoplasma dan jaringan ikan. Protein
miofibril adalah protein yang dapat larut dalam larutan garam. Protein
miofibril merupakan penyusun protein ikan terbanyak yaitu 66-77%.
Protein sarkoplasma bersifat larut dalam air. Adanya sarkoplasma
dalam ikan dapat mempengaruhi pembuatan gel pada pengolahan
kamaboko. Protein yang larut air ini memepengaruhi gel yang
terbentuk sehingga gel menjadi tidak elastis karena selama pemanasan
protein ini mengalami koagulasi dan melekat bersama protein
miofibril. Jumlah protein ini adalah sekitar 10% total protein ikan.
Sementara yang lainnya merupakan protein jaringan ikat yang tidak
dapat diekstrak dengan air, larutan garam, dan larutan alkali pada
konsetrasi 0,01-0,1 M.
b. Bumbu
Bumbu merupakan faktor penting pembentuk cita rasa pada produk
akhir kamaboko. Disini praktikan dibebaskan untuk menentukan

bumbu apa saja yang akan digunakan sesuai dengan selera masingmasing kelompok.
3.2.1.2 Proses Pengolahan Surimi dan Kamaboko
Pada dasaranya bahan baku dan proses pengolahan keduanya hampir sama
tetapi surimi prosesnya hanya sampai pengemasan dan pembekuan, sedangkan
kamoboko diolah kembali dengan menggunakan penambahan bumbu.
3.2.1.2.1 Proses Pengolahan Surimi
Pada prinsipnya ada empat tahap proses dalam pembuatan surimi, yaitu
pencucian daging ikan, penggilingan, pengemasan dan pembekuan.
1. Pencucian
Pencucian dengan air sangat diperlukan dalam pembuatan surimi karena
dapat menunjang kemampuan dalam pembentukan gel dan mencegah
danaturasi protein akibat pembekuan. Pencucian yang berulang-ulang akan
meningkatkan sifat hidrofilik daging ikan. Selama pencucian, daging ikan
dibersihkan dari darah, pigmen, lemak, lendir dan protein yang larut air.
Melalui cara ini warna dan bau daging ikan menjadi lebih baik,
kandungan aktomiosinnya meningkat dan secara nyata dapat memperbaiki
elasitisitas produk yang dihasilkan.
2. Penggilingan
Ikan digiling dengan menggunakan food processor. Selama penggilingan
sebaiknya ditambahkan krioprotektan (bahan anti denaturasi protein
terhadap pembekuan) berupa gula dan bahan pengikat (pati).
3. Pengemasan dan Pembekuan
Surimi yang diperoleh (berupa adonan), kemudian dikemas dalam kantong
plastik dan selanjutnya dibekukan pada suhu -10oC sampai -20oC. Sebelum
digunakan surimi harus dicairkan (dithawing) dan digiling terlebih dahulu,
kemudian diolah menjadi produk akhir yang diinginkan (kamaboko).
3.2.1.2.2 Proses Pengolahan Kamaboko
Proses

pembuatan

kamaboko

pada

prinsipnya

melalui

tahap-tahap

penggilingan daging ikan, pencucian, pembuatan adonan, pencetakan dan


pemasakan.
1. Pendinginan

Daging ikan didinginkan sebagai sumber protein miofibril. Protein ini


adalah faktor yang mempengaruhi terbentuknya gel pada kamaboko.
Selama penanganan protein ini tidak boleh mengalami denaturasi,
sehingga suhu daging ikan harus stabil bawah 15oC.
2. Pencucian
Pencucian daging dilakukan untuk memisahkan kotoran, darah, lendir,
protein larut air dan komponen flavor. Pencucian harus dilakukan berkalikali dengan menggunakan air es. Hal ini dimaksudkan agar daging ikan
tidak mengalami pengembangan karena menyerap air. Air pencuci untuk
mencuci daging sebaiknya memiliki pH 6-7 dan pencucian terakhir dengan
larutan NaCl 0,01-0,3%.
3. Pembuatan adonan kamaboko
Pada pembuatan adonan, daging ikan ditambahkan garam, pati, dan
bumbu. Garam ditambahkan pertama kali dan digunakan untuk
mengekstrak protein aktomiosin sehingga terbentuk pasta sol aktomiosin.
Selain itu garam juga berfungsi sebagai bumbu untuk menambahkan cita
rasa asin. Garam yang digunakan dalam pembuatan kamaboko adalah 2,53%. Penggunaan garam yang terlalu banyak dapat mempengaruhi tektur
dari kamaboko. Pati ditambahkan juga pada adonan untuk meningkatkan
daya ikat air, memperkecil penyusutan dan memperbaiki tekstur. Selain itu
bumbu-bumbu lain juga ditambahkan untuk menambah cita rasa
kamaboko.
4. Pencetakkan
Pencetakkan adonan kamaboko harus segera dilakukan untuk menghindari
terbentuknya gel. Hal ini karena adonan yang sudah membentuk gel akan
sulit dicetak.
5. Pemasakkan
Proses pemanasan pada pemasakan kamaboko menyebabkan terjadinya
gel. Pada suhu 60oC terjadi pelunakan gel. Pada suhu sekitar 70oC
terbentuk gel kamaboko yang kenyal dan elastis. Pemansan dapat
dilakukan

dengan

perebusan,

pengukusan,

penggorengan,

atau

pemanggangan.
3.2.2 Uji Hedonik
Penilaian terhadap daging tergantung pada kesukaan atau selera konsumen
dan kepuasan dalam mengkonsumsi daging yang dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik

serta selera masing-masing individu (Natasasmita dkk., 1987 dalam Anshori,


2002). Penilaian terhadap tingkat kesukaan (palatabilitas) dapat dilakukan dengan
cara organoleptik. Penilaian organoleptik merupakan suatu cara penilaian dengan
indera yang banyak digunakan untuk menentukan mutu komoditi hasil pertanian
dan makanan (Soekarto, 1985 dalam Anshori, 2002). Menurut Rahayu (1998)
dalam Anshori (2002), indera yang berperan dalam pengujian organoleptik adalah
indera penglihatan, penciuman, dan peraba sedangkan indera pendengaran jarang
sekali digunakan dalam pengujian produk pangan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
untuk melaksanakan penilaian organoleptik diperlukan panel yang bertindak
sebagai instrumen atau alat. Panel ini terdiri dari orang atau kelompok yang
bertugas menilai sifat atau mutu komoditi berdasarkan kesan subyektif. Salah satu
contoh penilaian organoleptik terhadap mutu atau analisis sifat-sifat sensori suatu
komoditi adalah hedonik.
Uji hedonik merupakan salah satu jenis uji penerimaan atau dalam bahasa
Inggrisnya disebut acceptance test atau preference test. Soekarto (1985)
mengatakan bahwa uji hedonik menyangkut penilaian seseorang akan suatu sifat
atau kualitas suatu bahan yang menyebabkan orang menyenanginya. Menurut
Rahardjo (1998) bahwa pada uji hedonik, panelis mengemukakan tanggapan
pribadinya yaitu berupa kesan yang berhubungan dengan kesukanan atau
tanggapan senang atau tidaknya terhadap sfat sensori atau kualitas yang dinilai.
3.2.2.1 Uji Hedonik Kamaboko
Uji organoleptik yang dilakukan terhadap kamaboko dari ikan Tenggiri
adalah uji hedonik untuk memberikan penilaian mengenai tingkat kesukaan
terhadap produk yang dihasilkan. Adapun parameter yang akan diuji pada produk
kamaboko yaitu warna, aroma, kekenyalan, penampakan, sifat irisan, dan rasa.
Panelis disediakan enam sampel kamaboko yang telah dibuat oleh semua
kelompok dan disajikan secara acak. Panelis disediakan enam contoh uji dengan
kode berbeda yaitu UIN [Kelompok 1], UPI [Kelompok 2], ITB
[Kelompok 3], UGM [Kelompok 4], IPB [Kelompok 5], dan ITS
[Kelompok 6]. Setelah itu, panelis diminta untuk menyatakan kesukaaan terhadap
produk akhir kamaboko. Adapun skala hedonik atau skala numerik yang
diberikan, yaitu sangat suka [7], suka [6], agak suka [5], netral [4], agak tidak

suka [3], tidak suka [2] dan sangat tidak suka [1]. Hal ini bertujuan untuk melihat
kesan pertama yang timbul saat panelis melakukan penilaian terhadap
karakteristik mutu yang diujikan.
A. Uji Hedonik Keseragaman Warna
Kesan yang ditimbulkan setelah setelah panelis melihat suatu produk
(daging) adalah warna yang ditimbulkan. Warna merupakan hasil dari indera mata
yang bisa menjadi pertimbangan dalam penilaian suatu produk. Menurut Winarno
(1991) dalam Surnesih (2000), bahwa secara visual faktor warna tampil terlebih
dahulu dan kadang-kadang sangat menentukan sebelum faktor-faktor lain
dipertimbangkan.
Panelis diminta untuk melakukan pengujian uji hedonik terhadap warna
pada keenam produk kamaboko dari enam kelompok. Panelis disediakan enam
contoh uji kamaboko dengan kode berbeda yaitu, UIN [Kelompok 1], UPI
[Kelompok 2], ITB [Kelompok 3], UGM [Kelompok 4], IPB [Kelompok
5], dan ITS [Kelompok 6]. Panelis diminta untuk menilai warna dari keenam
kamaboko tersebut lalu memberikan penilaian berupa suka atau tidak suka
terhadap warna kamaboko tersebut pada kolom respon form uji. Adapun skala
hedonik atau skala numerik yang diberikan, yaitu sangat suka [7], suka [6], agak
suka [5], netral [4], agak tidak suka [3], tidak suka [2], dan sangat tidak suka [1].
Berdasarkan hasil penilaian dari segi parameter warna kamaboko pada
Tabel 1, dapat dikatakan bahwa kamaboko kode UPI paling disukai diantara
warna kamaboko yang lain karena memiliki penilaian tertinggi, yaitu 5.07
berkisar antara agak suka sampai suka sedangkan penilaian terkecil terdapat pada
kode UGM. Tingkat intensitas warna ini tergantung dari lama dan suhu
penggorengan serta komposisi kimia pada permukaan luar dari bahan pangan,
sedangkan jenis lemak/minyak yang digunakan berpengaruh sangat kecil terhadap
permukaan bahan pangan. Suhu menggoreng yang optimum adalah sekitar 161190oC (Ketaren, 1986 dalam Surnesih, 2000). Salah satu pertimbangan pemilihan
suhu menggoreng yang optimum adalah pengaruhnya langsung terhadap warna
bahan pangan yang digoreng. Disamping itu, suhu tinggi dapat mengakibatkan
denaturasi protein dalam bahan pangan, terutama pada daging sehingga
menghasilkan bahan pangan dengan flavor yang tidak disukai (Ketaren, 1986

dalam Surnesih, 2000). Semakin tinggi suhu dan lama waktu penggorengan, akan
mengakibatkan tingkat kecerahan produk berkurang. Pada saat penggorengan,
bahan pangan mengalami reaksi Maillard karena adanya interaksi antara gugus
amino primer atau gugus amino dari protein dengan adanya senyawa karbonil
(gula pereduksi) menjadi melanoidin (polimer yang berwarna cokelat) dan tidak
larut dalam air (Winarno, 1997 dalam Surnesih, 2000).
B. Uji Hedonik Aroma
Aroma makanan dalam banyak hal menentukan enak atau tidaknya
makanan. Aroma atau bau-bauan lebih kompleks daripada rasa dan kepekaan
indera pembauan biasanya lebih tinggi dari indera pengecap. Bahkan industri
pangan menganggap sangat penting terhadap uji bau karena dapat dengan cepat
memberikan hasil penilaian, apakah produk disukai atau tidak (Soekarto, 1985
dalam Hermawan, 2002).
Panelis diminta untuk melakukan pengujian uji hedonik terhadap aroma
pada keenam produk kamaboko dari enam kelompok. Panelis disediakan enam
contoh uji kamaboko dengan kode berbeda yaitu, UIN [Kelompok 1], UPI
[Kelompok 2], ITB [Kelompok 3], UGM [Kelompok 4], IPB [Kelompok
5], dan ITS [Kelompok 6]. Panelis diminta untuk menilai aroma dari keenam
kamaboko tersebut lalu memberikan penilaian berupa suka atau tidak suka
terhadap aroma kamaboko tersebut pada kolom respon form uji. Adapun skala
hedonik atau skala numerik yang diberikan, yaitu sangat suka [7], suka [6], agak
suka [5], netral [4], agak tidak suka [3], tidak suka [2], dan sangat tidak suka [1].
Berdasarkan hasil penilaian dari segi parameter aroma kamaboko pada
Tabel 1, dapat dikatakan bahwa kamaboko kode UPI paling disukai diantara
aroma kamaboko yang lain karena memiliki penilaian tertinggi, yaitu 4.81
berkisar antara netral sampai agak suka sedangkan penilaian terkecil terdapat pada
kode UGM. Aroma muncul yang paling dominan diduga berasal dari ikan,
selain dari bahan-bahan lain seperti bumbu dan lain-lain. Menurut de Man (1997)
dalam Surnesih (2000), bahwa ikan mengandung gula dan asam amino yang
mungkin terlibat dalam reaksi Maillard. Adapun bumbu yang digunakan adalah
garam, gula, merica, dan bawang putih. Pemberian gula dapat mempengaruhi cita
rasa yaitu menambah rasa manis, kelezatan, dapat mempengaruhi aroma, tekstur
daging, dan mampu menetralisir garam yang berlebihan serta menambah energi.

Penggunaan bawang putih (Allium sativum L.) terutama dimaksudkan agar produk
memiliki cita rasa dan aroma yang merangsang. Karakteristik bau bawang muncul
setelah terjadi pemotongan atau perusakan jaringan (Matz, 1976 dalam Surnesih,
2000). Bau yang kuat pada bawang putih berasal dari minyak volatil yang
mengandung komponen sulfur. Ketika sel pecah, terjadi reaksi antara komponen
allisin dan enzim allinase membentuk allicin (Lewis, 1984 dalam Surnesih, 2000).
Allicin ini yang berperan memberi aroma bawang putih dan merupakan salah satu
zat aktif yang bersifat antibakteri.
C. Uji Hedonik Kekenyalan
Kekenyalan adalah kemampuan produk pangan untuk pecah akibat gaya
tekan (Soekarto, 1990). Kekenyalan terbentuk sewaktu pemasakan, dimana
protein akan mengalami denaturasi dan molekul-molekulnya mengembang.
Kondisi tersebut mengakibatkan gugus reaktif pada rantai polipeptida terbuka dan
selanjutnya akan terjadi pengikatan kembali pada gugus reaktif yang sama atau
berdekatan (Winarno, 1988).
Kegiatan praktikum ini, dilakukan pengujian uji hedonik terhadap
kekenyalan keenam produk kamaboko yang dibuat oleh keenam kelompok.
Panelis disediakan enam contoh uji kamaboko dengan kode berbeda yaitu, UIN
[Kelompok 1], UPI [Kelompok 2], ITB [Kelompok 3], UGM [Kelompok
4], IPB [Kelompok 5], dan ITS [Kelompok 6]. Panelis diminta untuk meraba
kekenyalan keenam kamaboko tersebut lalu memberikan penilaian berupa suka
atau tidak suka terhadap kekenyalan keenam kamaboko tersebut pada kolom
respon form uji. Adapun skala hedonik atau skala numerik yang diberikan, yaitu
sangat suka [7], suka [6], agak suka [5], netral [4], agak tidak suka [3], tidak suka
[2] dan sangat tidak suka [1].
Uji hedonik kamaboko untuk parameter kekenyalan berdasarkan hasil
penilaian pada Tabel 1, penilaian tertinggi untuk parameter kekenyalan kamaboko
adalah kamaboko ITS [kelompok 6] dengan rataan penilaian 4.67 dan penilaian
terendah adalah kamaboko ITB [kelompok 3] dengan rataan penilaian 4.15.
Hasil penilaian uji hedonik kekenyalan pada kamaboko dapat disimpulkan bahwa

kekenyalan kamaboko yang paling disukai oleh panelis, yaitu kelompok 6


memiliki skala kriteria hedonik antara [agak suka] dan [suka].
Tidak semua jenis ikan dapat digunakan sebagai bahan baku kamaboko.
ikan yang digunakan harus mempunyai mutu yang baik. apabila mutu kesegaran
ikan telah menurun akan dihasilkan kamaboko dengan tekstur yang berelastisitas
rendah.
Pembentukan gel kamaboko (ashi) dipengaruhi oleh besarnya kandungan
protein aktomiosin dan protein yang dapat dilarutkan pada ddaging ikan. Protein
sakroplasma (miogen) bersifat larut air. Adanya protein sarkoplasma dam
pembuatan kamaboko akan mempengaruhi proses dalam pembuatan gel (ashi)
pada pemanasan produk kamboko. Menurut Muchtadi (1987), sarkoplasma
mengandung bermacam-macam protein yang larut dalam air (miogen). Pada
pembuatan surimi, protein sarkoplasma harus dihilangkan dulu karena dapat
menghambat pembentukan gel. Shimizu & Nishioka (1974) mengatakan,
walaupun kandungan gizinya tidak lebih rendah dibandingkan protein miofibril,
protein sarkoplasma biasanya akan dibuang pada tahap pencucian surimi. Hal ini
disebabkan pada waktu pemanasan, protein ini akan terkoagulasi dan menempel
pada protein miofibril. Shimizu et al. (1954), ekstraksi maksimum miosin daging
ikan akan meningkatkan kekerasan dan kekenyalan produk.
Hasil penelitian Muchtadi (1987), menunjukkan bahwa kekerasan gel
surimi ikan tambakan sangat dipenharuhi oleh konsentrasi bahan pengikat dan
komposisi krioprotektan yang ditambahkan. Kamaboko yang dibuat dengan
menggunakan sorbitol sebagai bahan krioprotektab mempunyai tekstur yang lebih
keras bila dibandingkan dengan yang menggunakan sukrosa (Suzuki, 1981).
Hough et al(1979) menambahkan, sorbitol bersifat higroskopis sehingga lebih
banyak mengikat air daripada sukrosa. Menurut Matsumoto et al (1985), sukrosa
mempunyai pengaruh pencegahan denaturasi protein yang lebih besar daripada
sorbitol. Dengan demikian surimi yang menggunakan sukrosa mempunyai
kekuatan gel yang lebih besar daripada surimi yang menggunakan sorbitol.

Air yang digunakan untuk pengolahan mempunyai suhu rendah (5-10OC)


karena air keran dapat merusak tekstur (akibat denaturasi protein) dan
mempercepat degradasi lemak. Pencucian dengan air sangat penting dalam
pembuatan surimi yang akan diolah menjadi kamaboko karena dapat menunjang
kemampuan dalam pembentukan gel dan mencegah denaturasi protein akibat
pembekuan. Pencucian akan melarutkan protein yang larut air dan kandungan
aktomiosin akan meningkat sehingga dapat memperbaiki sifat elastisitas produk
yang dihasilkan (Ristek, 2000).
Garam yang ditambahkan (2-3%) berfungsi un tuk mengekstrak protein
aktomiosin sehingga terbentuk pasta sol aktomiosin (Ristek, 2000). Penggunaan
garam yang terlalu banyak akan menyebabkan denaturasi protein sedangkan jika
terlalu sedikit menyebakan tesktur produk kamboko yang dihasilkan kurang baik
karena ekstraksi protein aktomiosin kurang sempurna.
Proses pemanasan menyebabkan terjadinya pembentukan gel. Pada saat
pemanasan, adonan (sol aktomiosin) akan berubah membentuk gel suwari.
Menurut Shimizu dan Yukad (1985) di dalam Ibrahim (2002), selama pelumatan
dan peenggilingan surimi akan terbentuk sol aktomiosin. jika pasta ini dibiarkan,
secara perlahan-lahan aktomiosin akan membentuk rantai silang gel (ikatan
disulfida) yang disebut suwari. gel suwai akan terbentuk pada suhu 20 OC sampai
suhu 50OC. Selanjutnya pada suhu sekitar 60 OC, terjadi pelunakan gel madori dan
pada suhu diatas 70OC terbentuk gel kamaboko (ashi) yang kenyal dan elastis
(Ristek, 2000).
D. Uji Hedonik Penampakan
Penampakan merupakan karakteristik pertama yang dinilai oleh konsumen
dalam mengkonsumsi suatu produk, kemudian akan melihat karakteristik lainnya
(aroma, rasa dan seterusnya). Meskipun penampakan tidak menentukan tingkat
kesukaan konsumen secara mutlak, tetapi penampakan juga mempengaruhi
penerimaan konsumen. Produk yang bagus, rapih dan utuh pasti lebih disukai oleh
konsumen dibandingkan dengan produk yang tidak utuh dan kurang rapi
(Soekarto 1985).

Kegiatan praktikum ini, dilakukan pengujian uji hedonik terhadap


penampakan keenam produk kamaboko yang dibuat oleh keenam kelompok.
Panelis disediakan enam contoh uji kamaboko dengan kode berbeda yaitu, UIN
[Kelompok 1], UPI [Kelompok 2], ITB [Kelompok 3], UGM [Kelompok
4], IPB [Kelompok 5], dan ITS [Kelompok 6]. Panelis diminta untuk meraba
penampakan keenam kamaboko tersebut lalu memberikan penilaian berupa
suka atau tidak suka terhadap penampakan keenam kamaboko tersebut pada
kolom respon form uji. Adapun skala hedonik atau skala numerik yang diberikan,
yaitu sangat suka [7], suka [6], agak suka [5], netral [4], agak tidak suka [3], tidak
suka [2] dan sangat tidak suka [1].
Uji hedonik kamaboko untuk parameter penampakan berdasarkan hasil
penilaian pada Tabel 1, penilaian tertinggi untuk parameter penampakan
kamaboko adalah kamaboko ITS [kelompok 6] dengan rataan penilaian 5.00
dan penilaian terendah adalah kamaboko ITB [kelompok 3] dengan rataan
penilaian 4.22. Hasil penilaian uji hedonik penampakan pada kamaboko dapat
disimpulkan bahwa penampakan kamaboko yang paling disukai oleh panelis,
yaitu kelompok 6 memiliki skala kriteria hedonik antara [agak suka] dan [suka].
Perbedaan bahan baku daging ikan menghasilkan kamaboko yang berbeda
dilihat dari penampakan permukaan irisan kamaboko. Proses pencucian pada
surimi dengan air dingin dan garam menghasilkan kamaboko yang lebih putih
juga bersih dari sisa kotoran dan darah. Penambahan polyphosphat menjadikan
permukaan irisan lebih halus. Menurut Peranginangin et al. (1999), penambahan
polyphosphat dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan mengikat air surimi
serta memberikan sifat pasta yang lebih lembut pada produk-produk olahan
surimi.
Semakin bertambahnya pencucian akan meningkatkan penampakan
produk kamaboko karena pada saat pencucian mengakibatkan berkurangnya
pigmen, darah, lemak, enzim pencernaan terutama protease dan protein
sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel (Nielsen dan Pigott 1994).
E. Uji Hedonik Sifat Irisan

Berdasarkan hasil dari uji hedonic untuk parameter sifat Irisan yang
dilakukan oleh setiap panelis dapat diketahui bahwa sifat irisan yang paling
disukai yaitu dari kelompok 6 kode ITS dengan nilai 4,81. Sedangkan untuk hasil
terendah didapatkan dari kelompok 4 kode UGM dengan nilai 4,07. Hasil
tertinggi untuk kamaboko yang didapat mungkin dikarenakan Penambahan bahan
pengisi berfungsi untuk memperbesar jumlah produk kamaboko. Bahan pengisi
(filler) yang ditambahkan dalam pembuatan kamaboko antara lain tepung tapioka
yang memiliki kandungan pati yang tinggi namun rendah protein. Bahan pengikat
(binder) yang umumnya digunakan dalam pembuatan kamaboko adalah lemak.
Bahan pengikat berfungsi sebagai bahan pengental, memperbaiki stabilitas emulsi,
memperbaiki hasil irisan, memperbaiki aroma, memperbaiki rasa,menahan lemak,
dan membentuk tekstur yang padat dan menarik air (Wilson 1960).
Nilai terendah yang didapat dalam parameter sifat irisan kamaboko ini
mungkin

dikarenakan

kurangnya

perhatian

dalam

menggiling

daging.

Penggilingan daging dilakukan dengan menggunakan alat penggiling daging


yaitu food processor. Penggilingan bertujuan memperluas permukaan daging
untuk mempermudah ekstraksi protein miofibrilar daging. Selama proses
penggilingan suhu adonan daging harus dijaga tetap rendah (kurang dari 15oC)
karena suhu daging yang terlalu tinggi menyebabkan protein miofibrilar
terdenaturasi sehingga tekstur kamaboko yang diinginkan tidak terbentuk.
Sehingga, saat mengiris tidak sesuai dengan sifat irisan yang diinginkan.
F. Uji Hedonik Rasa
Berdasarkan hasil dari uji hedonic untuk parameter Rasa yang dilakukan
oleh setiap panelis dapat diketahui bahwa rasa yang paling disukai yaitu dari
kelompok 6 kode ITS dengan nilai 5. Sedangkan untuk hasil terendah didapatkan
dari kelompok 2 kode UPI dengan nilai 4,41. Hasil tertinggi untuk kamaboko
yang didapat mungkin dikarenakan Penambahan konsentrasi garam yang sesuai.
Garam merupakan bumbu yang biasanya ditambahkan pada adonan pembuatan
sosis untuk meningkatkan cita rasa dan pembentuk tekstur. Pemakaian garam
NaCl biasanya lebih banyak diatur oleh rasa, kebiasaan dan tradisi daripada
keperluan. Makanan yang mengandung garam kurang dari 0,3% akan terasa

hambar sehingga kurang disenangi. Pemakaian garam dengan konsentrasi rendah


(1 3 %) tidak bersifat membunuh bakteri, melainkan hanya memberikan cita
rasa. Garam berfungsi sebagai pengawet karena garam berperan sebagai
penghambat mikroorganisme tertentu. Selain itu, pemakaian garam juga dapat
mempengaruhi aktivitas air (aw) dari bahan, sehingga dapat mengendalikan
pertumbuhan mikroorganisme. Garam dapat mengakibatkan proses osmosis pada
sel-sel mikroorganisme sehingga terjadi plasmolisis (kadar air dalam sel bakteri
berkurang, sehingga lama kelamaan dapat menyebabkan bakteri mati) (Moeljanto
1992). Sedangkan dengan nilai terendah mungkin dikarenakan penggunaan garam
yang terlalu banyak sekali dan menimbulkan rasa asin yang berlebihan juga
menyebabkan denaturasi protein. Namun, penggunaan garam terlalu sedikit
menyebabkan tekstur produk kamaboko yang dihasilkan kurang baik karena
ekstraksi protein aktomiosin kurang sempurna.
3.2.2.2 Uji Hedonik Surimi
Uji organoleptik yang dilakukan terhadap surimi dari ikan tenggiri adalah
uji hedonik untuk memberikan penilaian mengenai tingkat kesukaan terhadap
produk yang dihasilkan. Adapun parameter yang akan diuji pada surimi yaitu
warna, aroma, dan tekstur. Panelis melakukan pengamatan terhadap surimi yang
disimpan selama tiga hari pada suhu freezer. Hal ini bertujuan untuk mengukur
umur simpan surimi .
Pada pengamatan ini panelis diminta untuk mengamati aroma surimi, hasil
produk dari kelompok 1, 2 dan 3 yang disimpan selama 3 hari. Berdasarkan hasil
penilaian dari segi parameter aroma surimi, dapat dikatakan bahwa aroma yang
dimiliki surimi dari ketiga kelompok masih beraroma ikan. Maka dapat dikatakan
surimi dari ketiga kelompok masih memiliki kualitas yang cukup baik.
Pada parameter warna, warna surimi setelah dilakukan penyimpanan selama
tiga hari adalah putih cerah. Hal ini dapat dikatakan bahwa warna surimi masih
cukup baik karena dari segi warna, warna yang dimiliki surimi tidak ada ciri-ciri
bahwa surimi mengalami kebusukan. Kemudian pada parameter tekstur, tekstur
surimi setelah disimpan selama tiga hari adalah halus dan kenyal. Hal ini pun
menunjukkan bahwa tekstur yang dimiliki surimi masih cukup baik.

Maka dari produk surimi dari ketiga parameter tersebut dapat dikatakan baik
setelah dilakukan penyimpanan selama tiga hari. Hal ini dikarenakan daging akan
tetap bermutu baik apabila disimpan pada suhu rendah.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum, dapat disimpulkan bahwa dalam proses
pembuatan surimi dan kamaboko terdiri dari beberapa bahan yang umum
digunakan, yaitu daging ikan, bahan pengisi atau pengikat, bumbu-bumbu, garam,
air. Pada dasaranya bahan baku dan proses pengolahan keduanya hampir sama
tetapi surimi prosesnya hanya sampai pengemasan dan pembekuan, sedangkan
kamoboko diolah kembali dengan menggunakan penambahan bumbu.

Berdasarkan hasil uji hedonik, kamaboko UPI [Kelompok 2] memiliki


nilai parameter warna dan aroma yang paling disukai. Pada parameter kekenyalan,
penampakan, sifat irisan dan rasa kamaboko ITS [Kelompok 6] yang paling
disukai. Pada pengamatan surim, dari produk ketiga kelompok memiliki warna
putih cerah, beraroma khas ikan dan tekstur yang halus dan kenyal. Maka dapat
dikatakan bahwa surimi dari ketiga kelompok masih bermutu baik.\
4.2 Saran
Untuk mendapatkan hasil surimi dan kamaboko yang lebih baik, alat
penggiling yang digunakan adalah alat penggiling dengan tipe dingin. Hal ini
dilakukan untuk mencegah denaturasi protein akibat panas penggilingan. Apabila
akan dilakukan penyimpanan, maka harus disimpan pada suhu rendah agar mutu
daging dapat terjaga dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA
Hermawan. 2002. Pengaruh konsentrasi tepung tapioka dan kalsium karbonat
(CaCO3) terhadap mutu kamaboko ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
[skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB.
Soekarto. 1985. Penelitian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Hasil
Pertanian. Jakarta: Bhatara Karya Aksara.
Surnesih. 2000. Pengembangan diversifikasi produk tradisional otak-otak dari
ikan sapu-sapu (Hyposacarus pardalis) [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, IPB.
Hough CAM, Parker KJ dan Vlitos AJ. 1979. Developments in Sweeteners I.
applied Sci. Publ. Ltd. London.

Ibrahim, I. 2002. Studi pembuatan kamboko ikan belut (Monopteuru albus)


dengan berbagai suhu perebusan dan konsentrasi tepung terigu [Skripsi].
Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Matsumoto I, Oorzumi T dan Arai K. 1985. Protective Effect of Sugar on Freeze
Denaturation of Carp Myofibrillar Protein. Bull. of the Japanese Society of
Sci. Fisheries 51 (5); 833 839.
Muchtadi D. 1987. Karakterisasi Jaringan Daging Ikan untuk Pembuatan Gel
Ikan. Bogor: PAU Pangan dan Gizi IPB.
Nielsen RG, Pigott GM. 1994. Gel strength increased in low grade heat set surimi
with blended phosphates. J. Food Sci. 59(2): 285-298.
Peranginangin R, Wibowo S, Nuri Y, Fawza. 1999. Teknologi Pengolahan Surimi.
Jakarta: Balai Penelitian Perikanan Laut Slipi.
Ristek. 2000. Surimim dan Kamaboko. Di dalam Tekno Pangan dan Agroindustri.
Bogor: IPB. Vol 1:3 Hal 31-36.
Shimizu Y, Shimidu W, Ikeuchi T. 1954. Studies on Jelly Strength on
Kamaboko and Fish Sausage Product. dalam Amano, K. 1965. Sausage
Manufacturing. Halaman 265 297 didalam Borgstrom, G., 1965. Fish as
Food. Vol. III. Academic Press, New york and London.
Shimizu Y, Nishioka F. 1974. Protein in Fish Muscle. Jap. Fish. Soc. Sci. Bull. 40:
231 235.
Soekarto ST. 1985. Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Hasil
Pertanian. Jakarta: Penerbit Bhratara Karya Aksara
Soekarto. 1990. Dasar-Dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan.
Bogor: IPB Press.
Suzuki T. 1981. Fish And Krill Protein. Processing Techno logy. Applied
Science.
Winarno. 1988. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai