Sistem Aliran Terbuka (Paper Praktikum Mekanika Fluida Kelompok 1) Teknik Pertanian UNSRI
Sistem Aliran Terbuka (Paper Praktikum Mekanika Fluida Kelompok 1) Teknik Pertanian UNSRI
Sistem Aliran Terbuka (Paper Praktikum Mekanika Fluida Kelompok 1) Teknik Pertanian UNSRI
DISUSUN OLEH :
FEBRI IRAWAN ( 05091002006 )
SEPTI EFRIKA SARI ( 05091002011 )
NOVITA SARI INDAWAN ( 05091002022 )
AFFAN BUDIAWAN ( 05091002002 )
AHMAD ARTANTO ( 05091002040 )
DERY SAPUTRA ( 05071006035 )
DITO GUSTIANTO ( 05061006017 )
KELOMPOK 1
Paper ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Dia mungkin penyusun tidak
Paper ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang mekanika
fluida, yang kami sajikan berdasarkan dari berbagai sumber. Paper ini di susun oleh
penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun
maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama
Walaupun paper ini mungkin kurang sempurna tapi juga memiliki detail yang
cukup jelas bagi pembaca.
Semoga paper ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada
pembaca. Walaupun paper ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon
Penyusun
DAFTAR ISI
COVER…..………………………………………………………........................…...1
KATA PENGANTAR………………………………………………………………..2
DAFTAR ISI ……………………………………………...………………………….3
BAB I PENDAHULUAN ……………………………..……………………………..4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………..8
BAB III RANCANGAN……………………………………………….….………
.24
BAB IV PEMBAHASAN…………………………………………………..………30
BAB V PENUTUP………………………………………………………………….48
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………….51
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
Klasifikasi aliran pada saluran terbuka bergantung pada ruang dan waktu.
Waktu sebagai kriteria akan mengklasifikan aliran menjadi aliran steady (tunak)
dan aliran unsteady (tidak tunak). Kondisi aliran tunak didefinisikan sebagai
aliran dengan tidak adanya perubahan kecepatan (kecepatan konstan) di
sepanjang saluran terhadap waktu. Selain itu tidak berubahnya tinggi muka air
(kedalaman) terhadap waktu dari suatu aliran juga dapat mengidentifikasikan
aliran tersebut ke dalam kondisi tunak. Sedangkan aliran tidak tunak terjadi
pada aliran yang mengalami perubahan kecepatan di sepanjang aliran.
Sementara itu apabila ruang dijadikan kriteria, maka aliran akan
dikategorikan menjadi aliran uniform (seragam) dan nonuniform (tidak
seragam). Aliran dikatakan seragam bila selama aliran berada di sepanjang
penampang, tidak terjadi perubahan kecepatan baik nilai maupun arah. Aliran
juga dikatakan seragam bila tidak terjadi perubahan kedalaman air di sepanjang
penampang. Sedangkan aliran tidak seragam terjadi pada aliran yang
mengalami perubahan kecepatan dan kedalaman menurut ruang.
Berdasarkan klasifikasi tersebut, maka persamaan-persamaan pada aliran
di saluran terbuka akan bergantung pada variabel ruang (x) dan waktu (t). Berikut
tabel yang memaparkan kombinasi aliran di saluran terbuka.
Tabel II.1 Kombinasi Aliran di Saluran Terbuka
II.1.2 Struktur Hidrolika Aliran Saluran Terbuka
Struktur hidrolika saluran pada dasarnya terdiri atas tiga komponen yakni
debit aliran, kecepatan aliran, dan dimensi penampang saluran. Untuk saluran
buatan, perencanaan kondisi aliran didasarkan pada struktur hidrolikanya.
Dengan menentukan kecepatan aliran rencana, maka debit rencana juga akan
didapat. Dimentioning penampang yang dibutuhkan juga dapat direncanakan.
Sementara untuk saluran alami misalnya sungai, dengan diketahuinya struktur
hidrolika saluran maka pemanfaatan sungai akan lebih maksimal. Kegiatan
pemanfaatan ini, misalnya memanfaatkan debit aliran untuk kebutuhan irigasi.
Dari kebutuhan ini serta struktur hidrolika eksisting sungai maka dapat
dievaluasi potensi aliran. Kemudian, dengan diketahuinya struktur hidrolika
sungai dapat pula direncanakan bangunan pelengkap yang dibangun untuk
memaksimalkan potensi sungai tersebut.
Sementara itu, debit di sepanjang aliran dianggap seragam dengan kata lain
aliran bersifat kontinu, sehingga :
Q1 = Q2
A1 . V1 = A2 . V2 ....................................... (2)
Kualitas air adalah kondisi kualitatif air yang diukur dan atau diuji
berdasarkan parameter-parameter tertentu dan metode tertentu berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor : 115 Tahun 2003). Kualitas air dapat dinyatakan
dengan parameter kualitas air. Parameter ini meliputi parameter fisik, kimia, dan
mikrobiologis.
Parameter fisik menyatakan kondisi fisik air atau keberadaan bahan yang
dapat diamati secara visual/kasat mata. Yang termasuk dalam parameter fisik ini
adalah kekeruhan, kandungan partikel/padatan, warna, rasa, bau, suhu, dan
sebagainya.
Parameter kimia menyatakan kandungan unsur/senyawa kimia dalam air,
seperti kandungan oksigen, bahan organik (dinyatakan dengan BOD, COD, TOC),
mineral atau logam, derajat keasaman, nutrient/hara, kesadahan, dan sebagainya.
Parameter mikrobiologis menyatakan kandungan mikroorganisme dalam
air, seperti bakteri, virus, dan mikroba pathogen lainnya.Berdasarkan hasil
pengukuran atau pengujian, air sungai dapat dinyatakan dalam kondisi baik atau
cemar. Sebagai acuan dalam menyatakan kondisi tersebut adalah baku mutu air,
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001.
Dalam penelitian ini akan ditinjau parameter fisik kualitas air yakni
Oksigen Terlarut (Dissolve Oxygen) dan Zat Padat Tersuspensi (Total Suspended
Solid). Berikut adalah penjelasan mengenai kedua parameter tersebut :
Oksigen terlarut dapat dianalisis atau ditentukan dengan 2 macam cara, yaitu :
Metoda titrasi dengan cara Winkler secara umum banyak digunakan untuk
menentukan kadar oksigen terlarut. Prinsipnya dengan menggunakan titrasi
iodometri. Sampel yang akan dianalisis terlebih dahulu ditambahkan larutan
MnCl2 den Na0H - KI, sehingga akan terjadi endapan Mn02. Dengan
menambahkan H2SO4 atan HCl maka endapan yang terjadi akan larut kembali
dan juga akan membebaskan molekul iodium (I2) yang ekivalen dengan
oksigen terlarut. Iodium yang dibebaskan ini selanjutnya dititrasi dengan larutan
standar natrium tiosulfat (Na2S203) dan menggunakan indikator larutan amilum
(kanji). Reaksi kimia yang terjadi dapat dirumuskan sebagai berikut :
2. Metoda elektrokimia
Aliran reaksi yang terjadi tersebut tergantung dari aliran oksigen pada
katoda. Difusi oksigen dari sampel ke elektroda berbanding lurus terhadap
konsentrasi oksigen terlarut. Penentuan oksigen terlarut (DO) dengan cara titrasi
berdasarkan metoda Winkler lebih analitis apabila dibandingkan dengan cara
alat DO meter. Hal yang perlu diperhatikan dalam titrasi iodometri ialah
penentuan titik akhir titrasinya, standarisasi larutan tiosulfat dan pembuatan
larutan standar kaliumbikromat yang tepat. Dengan mengikuti prosedur
penimbangan kaliumbikromat dan standarisasi tiosulfat secara analitis, akan
diperoleh hasil penentuan oksigen terlarut yang lebih akurat. Sedangkan
penentuan oksigen terlarut dengan cara DO meter, harus diperhatikan suhu dan
salinitas sampel yang akan diperiksa. Peranan suhu dan salinitas ini sangat vital
terhadap akurasi penentuan oksigen terlarut dengan cara DO meter.
Disamping itu, sebagaimana lazimnya alat yang digital, peranan kalibrasi alat
sangat menentukan akurasi hasil penentuan.
adalah (Ahulu m2) dan kecepatan adalah (vhulu m/s), maka dapat
direncanakan kecepatan aliran di hilir serta dimensi penampang di hilir.
Selain BOD5, kadar bahan organik juga dapat diketahui melalui nilai
COD. (Effendi, 2003) menggambarkan COD sebagai jumlah total oksigen
yangdibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang
dapatdidegradasi secara biologi maupun yang sukar didegradasi menjadi CO2
dan H2O. Berdasarkan kemampuan oksidasi, penentuan nilai COD dianggap
paling baik dalam menggambarkan keberadaan bahan organik baik yang
dapat didekomposisi secara biologis maupun yang tidak.
Peningkatan kebutuhan oksigen akan mereduksi konsentrasi oksigen
terlarut (DO) dalam air. Semakin banyak organisme yang hidup dalam suatu
ekosistem sungai, maka kebutuhan akan oksigen juga akan meningkat
akibatnya konsentrasi DO menurun.
II.5 Self Purification
Self purification merupakan suatu proses alami dimana sungai
mempertahankan kondisi asalnya melawan bahan – bahan asing yang masuk
kedalam sungai. Menyempurnakan metode buatan dari pengelolaan kualitas air
dan menyangkut proses fisik kimia dan biologis. Bila penambahan pencemar di
hilir sungai tidak berlebihan, air akan membersihkan diri dengan sendirinya (self-
cleansing). Proses ini tidak berlaku untuk pencemar kategori senyawa organik non
biodegradabel atau logam.
Pada sungai yang tidak tercemar, oksigen terlarut memiliki kadar sekitar 8
ppm dan BOD dalam keadaan yang rendah. Namun pada kondisi sungai yang
tercemar, misalnya sungai yang mengalir di kawasan pemukiman dan mendapat
beban pencemar dari aliran limbah domestik. Limbah domestik sebagian besar
terdiri dari kandungan organik. Kandungan organic ini membutuhkan oksigen
untuk terdekomposisi. Karena itu BOD akan meningkat dan mempengaruhi DO di
hilir sungai.
Seiring dengan mengalirnya air ke hilir, jumlah bakteri meningkat.
Akibatnya ketersediaan DO pada air sungai menurun. Pada titik tertentu pencemar
organik terdekomposisi dan terjadi recovery oksigen atau DO kembali meningkat
sebagai sumbangan dari atmosfir (aerasi) dan tanaman air.
Mekanisme Self Purification berlangsung dalam beberapa tahapan :
1. Clean Zone
2. Decomposition Zone
3. Septic Zone
4. Recovery Zone
Gambar II.3 Tahapan dalam Self Purification
Kondisi oksigen terlarut pada zona bersih (Clean Zone) berada pada 8
ppm, yang merupakan konsentrasi normal DO di perairan dan BOD pada kondisi
yang rendah. Pada zona ini hewan – hewan air yang membutuhkan oksigen dalam
konsentrasi normal tumbuh dengan baik. Hewan hewan ini akan mati bila
konsentrasi oksigen menurun.
Dengan adanya pencemar yang memasuki badan air, peningkatan BOD
terjadi seiring dengan penurunan konsentrasi oksigen. Zona ini disebut dengan
zona dekomposisi (Decomposition Zone) dimana terjadi dekomposisi bahan
organik oleh bakteri. Populasi bakteri di zona ini meningkat. Hewan yang dapat
tumbuh adalah hewan dengan kebutuhan oksigen yang rendah, seperti beberapa
jenis ikan dan lintah.
Zona septik (Septic Zone) terjadi pada saat keberadaan oksigen dibawah 2
ppm. Ikan akan menghilang atau pindah dari zona ini karena ketidaksesuaian
dengan kebutuhan oksigennya. Pada beberapa bagian kehidupan yang terdapat
pada zona ini adalah cacing lumpur, jamur dan bakteri anaerobik. Bakteri berada
pada populasi yang tinggi pada zona ini.
Seiring dengan waktu dan jarak dari lokasi pencemaran sungai mengalami
peningkatan konsentrasi oksigen yang berasal dari penangkapan udara oleh air,
aerasi dan tanaman air. Selain itu bahan organik mengalami penurunan setelah
mengalami dekomposisi sehingga BOD menurun. Zona ini disebut (recovery
zone), pada zona ini hewan - hewan yang tidak membutuhkan oksigen tinggi
kembali dapat ditemui dan hidup disini dan populasi bakteri menurun. Zona bersih
kembali tercapai setelah recovery selesai. Hewan – hewan air dapat tumbuh
kembali dengan baik.
BAB III
RANCANGAN
Berdasarkan latar belakang, tujuan penelitian dan kajian teori yang telah
dilakukan dalam penelitian ini, maka dapat dibuat suatu kerangka pemikiran
sehingga diperoleh suatu hipotesa, yaitu :
” Perubahan dimensi penampang dari suatu segmen sungai akan
mengakibatkan struktur hidrolika di segmen tersebut (terutama kecepatan dan
bilangan Reynold) berubah, akibatnya terjadi pula perubahan pada kualitas air
terutama konsentrasi Dissolve Oxygen dan Total Suspended Solid di sepanjang
segmen dan hilir segmen”
Kendati demikian, pada penelitian ini yang akan diteliti adalah kondisi
kontraksi yang terjadi di penampang Sungai Sugutamu di lokasi tersebut. Segmen
memiliki panjang 180 meter dan terjadi akibat rekayasa manusia. Dimensi hulu
yang lebih lebar kemudian beralih ke lokasi segmen dan akhirnya beralih kembali
ke hilir yang memiliki lebar identik dengan hulu merupakan definisi adanya
kontraksi pada aliran sungai tersebut. Bentuk kontraksi yang terjadi dibuat
berdasarkan prinsip Parshall Flume. Segmen kontraksi dianggap sebagai saluran
menyempit dengan dimensi paling kecil dibanding hulu dan hilirnya. Pemilihan
rekayasa dimensi yang demikian dilatarbelakangi secara hidrolis, dimana segmen
kontraksi difungsikan sebagai pengontrol tinggi muka air yang bermanfaat untuk
mengantisipasi kejadian banjir yang seringkali terjadi di lokasi penelitian.
Kegiatan penelitian di lapangan diawali dengan kegiatan persiapan yakni
pengukuruan dimensi saluran berupa :
1. Lebar atas saluran di hulu, segmen, dan hilir
2. Lebar bawah saluran di hulu, segmen, dan hilir
3. Panjang saluran yang mengalami kontraksi
4. Kedalaman air pada saluran di hulu, segmen, dan hilir
Qn = Hn Bn Vn n = 1,........n
Qp = Σ qn
BAB IV
PEMBAHASAN
= 1,43306 m3/s
Bila debit ini menjadi dasar perhitungan kecepatan titik lainnya di setiap
titik di lokasi pengujian, maka berdasarkan persamaan kontinuitas, kecepatan
aliran di titik kontraksi adalah :
Qhulu = Qsegmen
Ahulu . vhulu = Asegmen . vsegmen
2,96375 . 0,483529 = 2,23875 . vsegmen
vsegmen = 0,640116 m/s
Dimana :
n = 0,025 → tipikal tanah asli
R = 0,370261 m
S = 8% → tipikal untuk daerah depok lereng landai (8 – 15%)
Sehingga,
Untuk penelitian ini, nilai Re untuk masing-masing titik adalah sebagai berikut:
ǿ Trata-rata = 30°C
Kualitas fisik air sungai yang ditinjau pada penelitian ini adalah
konsentrasi Dissolve Oxygen (DO) pada saat t = 0, atau dikenal dengan OT0
(Oksigen terlarut saat t = 0). Konsentrasi DO menunjukan tingkat kesegaran air
dari lokasi yang diujikan. Pada penelitian ini yang menjadi objek kajian adalah
Sungai Sugutamu yang berlokasi di Perumahan Lembah Griya Depok, Kota
Depok. Data terkait pengujian DO untuk Sungai Sugutamu masih sangat minimal
dalam kuantitas, sementara untuk spesifik lokasi Perumahan Lembah Griya belum
ada sama sekali. Menurut Kota Depok tahun 2005, konsentrasi DO Sungai
Sugutamu berada pada rentang 2 – 4 mg/L. Dengan demikian kualitas air Sungai
Sugutamu berdasarkan parameter DO tergolong tercemar sedang (Lee at al, 1978).
Sumber pencemar sebagian besar berasal dari buangan rumah tangga (domestik)
maupun industri. Industri yang dijumpai di sepanjang aliran Sungai Sugutamu
cukup bervariatif dan berpotensi menambah beban pencemar ke dalam sungai.
Diantaranya adalah pabrik tahu, pabrik payung, industri mebel, dan lain-lain.
Dilihat dari variasi industri yang ada, limbah yang dihasilkan juga bervariatif.
Dengan demikian beban pencemar yang masuk ke dalam sungai juga akan
bervariasi.
Kandungan pencemar dalam air sungai akan berpengaruh pada kesegaran
air sungai. Kesegaran air ini ditandai dengan konsentrasi Oksigen terlarut (DO)
dari sungai tersebut. Konsentrasi DO dipengaruhi oleh interaksi parameter fisik,
kimia, dan biologi yang terkandung dalam air sungai (Eaton, Clescery,
Greenberg,ed., 1995). Faktor – faktor tersebut diantaranya adalah :
Turbidity* Fenol
Debit* Fecal Coli
Temperatur* TSS
COD TDS
NO2-N Fe
NH4-N Mn
PO4 Cd
Deterjen Cr
Minyak/Lemak Ni
• Pb
• Zn
Keterangan :
* merupakan parameter fisik
Dari data pengujian lapangan berikut, dicari parameter apa saja yang
mempengaruhi perubahan konsentrasi DO sungai. Untuk mendapatkan parameter
yang berpengaruh dilakukan pengujian secara statistik dengan menggunakan
program SPSS 13. Dengan program tersebut dapat diketahui parameter yang
saling berkorelasi satu sama lain sehingga dapat disimpulkan parameter mana
yang paling berpengaruh terhadap perubahan konsentrasi DO.
Dalam pengujian kali ini, parameter – parameter yang diujikan adalah :
1. Konsentrasi DO
2. Jarak Pengukuran
3. Waktu Pengukuran
4. Temperatur
mana yang memiliki akurasi paling tinggi dilihat dari nilai R2-nya.
Berdasarkan grafik – grafik, diketahui bahwa data pada titik pengujian
50 meter dari base line memiliki tingkat akurasi paling besar dibanding data
lainnya, yakni 99,8%. Sehingga untuk menggambarkan korelasi antara
temperatur terhadap konsentrasi DO melalui persamaan akan digunakan data pada
titik tersebut.
Dari titik pengujian yang dimaksud (S = 50 meter → titik kontraksi),
diketahui data sebagai berikut :
Parameter kualitas air kedua yang diteliti pada penelitian ini adalah Total
Suspended Solid (TSS) atau kandungan padatan tersuspensi dalam air sungai.
Pengujian terhadap TSS dilakukan karena TSS dipengaruhi oleh perubahan
dimensi penampang dan juga dipengaruhi oleh konsentrasi DO dari aliran air
sungai yang diteliti.
Pengaruh perubahan dimensi penampang pada penelitian ini akibat adanya
kontraksi penampang di bagian S.Sugutamu. Dimensi penampang hulu yang lebih
lebar kemudian mengalami kontraksi menjadi 75% dari lebarnya dan berakhir
dengan dimensi yang sama akan berakibat pada berubahnya struktur hidrolika
penampang. Telah diketahui di atas bahwa perubahan dimensi penampang
berakibat pada meningkatnya kecepatan di titik kontraksi. Perubahan kecepatan
diikuti oleh semakin turbulennya aliran. Turbulensi aliran berindikasi pada
meningkatnya turbidity air sungai. Turbidity inilah yang merepresentasikan
adanya perubahan TSS di lokasi tersebut. Berdasarkan teori, semakin keruh air
sungai, maka konsentrasi TSS dalam air tersebut juga semakin besar. Sedangkan
semakin jernih air sungai, maka konsentrasi TSS juga semakin sedikit.
Kandungan dalam TSS diantaranya padatan yang berasal dari beban pencemar,
gerusan material pembentuk sungai, ataupun senyawa sederhana hasil interaksi
dalam self purification.
Pengujian TSS pada S.Sugutamu di Perumahan Lembah Griya Depok
menunjukan hasil sebagai berikut :
Tabel IV.7 Rekapitulasi Data Pengujian TSS
Berdasarkan pengujian, pada titik hulu konsentrasi TSS rata – rata sebesar
506,75 mg/L. Konsentrasi ini berasal dari aliran pada titik yang lebih hulu dari
lokasi tersebut dan diakumulasikan dengan beban pencemar yang berasal dari
buangan rumah tangga. Pada titik hulu pengujian, saluran berbatasan langsung
dengan rumah warga. Buangan limbah cair dari rumah tangga ini dialirkan
langsung ke badan sungai. Karakteristik limbah yang dihasilkan cenderung lebih
kental dibanding viskositas air sungai. Viskositas limbah cair ini dipengaruhi oleh
padatan yang terkandung di dalamnya. Oleh karenanya, saat limbah cair dialirkan
ke sungai dan bercampur dengan aliran air sungai, padatan yang terkandung
dalam air akan terakumulasi menjadi lebih besar dari sebelumnya.
Pada penelitian ini, kasus yang terjadi adalah aliran menemui titik yang
mengalami kontraksi penampang sehingga memiliki kecepatan yang lebih cepat
dibanding hulunya. Peningkatan kecepatan yang terjadi dari 0,48 m/s menjadi
0,58 m/s. Kecepatan di titik kontraksi mendekati 0,6 m/s dimana pada kecepatan
tersebut, aliran air mampu membawa partikel diskrit sehingga terjadi peningkatan
konsentrasi TSS. Terlebih lagi saluran ini terbentuk dengan material di dasar
saluran adalah tanah asli dan di sisi saluran adalah batu kali. Oleh karenanya
peningkatan TSS di titik kontraksi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni :
1. Akumulasi TSS dari daerah hulu belum berubah menjadi sedimen karena
jarak pengukuran hanya 50 meter.
2. Terjadi gerusan material pembentuk badan sungai di titik kontraksi akibat
peningkatan kecepatan.
3. Terjadi interaksi senyawa kompleks akibat peningkatan konsentrasi
oksigen terlarut di titik kontraksi. Peningkatan oksigen terlarut ini
dibuktikan berdasarkan pengukuran konsentrasi DO yang telah dilakukan
sebelumnya. Dengan tersedianya oksigen yang lebih banyak maka
senyawa kompleks yang berinteraksi juga lebih banyak. Akibatnya akan
terbentuk koloid berupa padatan dalam air dan menambah konsentrasi TSS
pada aliran tersebut.
Peningkatan konsentrasi TSS di titik kontraksi berdasarkan pengujian
ditunjukan dengan berubahnya konsentrasi TSS rata – rata menjadi 620,5 mg/L
dibanding konsentrasi awal rata – rata 506,75 mg/L.
TSS yang terkandung dalam aliran air sungai kemudian mengalir seiring
dengan aliran airnya menuju hilir. Berdasarkan data pengujian, pada titik hilir
terjadi penurunan konsentrasi TSS rata – rata menjadi 441,25 mg/L. Konsentrasi
ini lebih kecil dibanding titik kontraksi maupun titik hulu. Dibanding hulu terjadi
penurunan konsentrasi hingga 65,5 mg/L, sementara dibanding titik kontraksi
terjadi penurunan konsentrasi hingga 179,25 mg/L.
Penurunan konsentrasi TSS di titik hilir disebabkan terutama oleh
menurunnya kecepatan dibanding titik kontraksi dari 0,58 m/s menjadi 0,49 m/s.
Bila dibandingkan dengan kemampuan aliran mengangkut partikel diskrit yakni
pada v = 0,6 m/s, maka dengan kecepatan hanya 0,49 m/s padatan dalam ukuran
diskrit cenderung untuk mengendap dibanding terangkut aliran. Oleh karenanya
pada titik hilir, laju sedimentasi akan lebih besar dibanding titik lain di sepanjang
lokasi pengujian.
Selain itu, akibat adanya fenomena enlargement yang terjadi di titik akhir
kontraksi dan menjadi titik awal hilir segmen terjadi penyebaran aliran dari lokasi
yang lebih sempit ke lokasi yang lebih lebar.
Gb. IV.2 Potongan Melintang & Tinggi Muka Air Titik Enlargement
Melalui gambar dapat dilihat bahwa tinggi muka air berbeda untuk tiap
titik pengukuran. Semakin ke kanan, kedalaman air semkin besar diukur dari
permukaan. Melalui pengujian dibuktikan bahwa laju sedimentasi yang terjadi
pada titik ini lebih besar dibanding titik – titik lainnya sepanjang lokasi pengujian.
Kondisi di lapangan bahkan menunjukan pada sisi kiri badan sungai terdapat
akumulasi sedimen seperti pada gambar berikut :
Gb. IV.3 Sedimentasi di Hilir Segmen
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V. 1 Kesimpulan
V. 2 Saran
Dalam menetapkan debit aliran dan kecepatan aliran secara teoritis, perlu
diperhatikan faktor material pembentuk badan sungai. Tingkat kekasaran
yang berbeda dari masing – masing material akan memberikan nilai
hambatan yang berbeda pula untuk masing – masing aliran yang terjadi.
Semakin kasar material yang digunakan, maka semakin banyak energi
yang hilang. Sehingga, semakin lambat pula aliran yang terjadi.
Disarankan untuk melakukan pengujian pada lokasi yang memiliki
panjang segmen lebih besar atau lokasi dengan geometri yang
bervariatif misalnya cascade. Sehingga, dapat diteliti lebih lanjut
keefektifitasan kontraksi penampang dalam upaya perbaikan kualitas air
sungai. Namun, perlu diperhatikan pula debit aliran yang terjadi.
Diupayakan debit di setiap titik seragam, sehingga dapat diasumsikan tidak
terjadi penambahan beban pencemar yang mempengaruhi hasil pengujian.
Perlu diperhatikan pula kecepatan aliran yang terjadi di segmen yang
mengalami kontraksi. Apabila pada segmen tersebut kecepatan v < 0,6 m/s,
perlu ditinjau sedimentasi yang terjadi di sepanjang segmen.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. No 82 Tahun 2001.
Tentang : Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
2001. 28 hal.
Chanson, Hubert. 2004. Environmental Hydrulics of Open Channel Flows.
Elsevier Butterworth –Heinemann : Burlington.
Chapra, Steven C. 1997. Surface Water - Quality Modelling. McGraw Hill : New
York.
Chow, V. T. 1959. Open-Channel Hydraulics. McGraw Hill, New York. Effendi,
H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Kanisius : Yogyakarta.
Irianto, E. W. 2002. Fenomena Hubungan Debit Air dan Kadar Zat Pencemar
dalam Air Sungai (Studi Kasus : Sub DPS Citarum Hulu). Bidang
Lingkungan Keairan LIPI : Jakarta.
Kharistya. 2006. Self Purification in Water Bodies. 1 hlm.
http://www.nalms.org/glossary/lkword_s.htm, 13 Desember 2007, pkl.12.43.
Monoarfa, Winarni. 2002. Dampak Pembangunan bagi Kualitas Air di Pesisir
Pantai Losari, Makassar. Sci&Tech, Vol. 3 No. 3 Desember 2002: 37-44
Mujiono, M. 2004. Model Prediksi Penyebaran Suspended Solid untuk
Mengetahui Sebagian Tingkat Kekeruhan pada Kanal Tarum Barat. Tesis
S2. Departemen Sipil FT UI, Depok: x + 77 hlm.
Nasution, I. R. 2005. Aliran Seragam pada Saluran Terbuka Teori dan
Penyelesaian Soal. e-USU repository. Jurusan Sipil FT USU : Medan.
Potter, Merley C & Wiggert David C. 1997. Mechanics of Fluids. Prentice-Hall
International Inc. New Jersey.
Purcell, Patrick J. 2003. Design of Water Resources System. Thomash Telford,
London.
Salmin. 2005. Oksigen Terlarut dan Kebutuhan Oksigen Biologi sebagai Salah
Satu Indikator untuk Menentukan Kualitas Perairan. Oseana, Volume
XXX, Nomor 3, 2005 : 21 – 26.