Sistem Aliran Terbuka (Paper Praktikum Mekanika Fluida Kelompok 1) Teknik Pertanian UNSRI

Unduh sebagai doc atau txt
Unduh sebagai doc atau txt
Anda di halaman 1dari 52

PAPER PRAKTIKUM MEKANIKA FLUIDA

SISTEM ALIRAN TERBUKA


“ PENGARUH KONTRAKSI PENAMPANG SALURAN
TERHADAP KUALITAS FISIK AIR SUNGAI
STUDI KASUS : SUNGAI SUGUTAMU ”

DISUSUN OLEH :
FEBRI IRAWAN ( 05091002006 )
SEPTI EFRIKA SARI ( 05091002011 )
NOVITA SARI INDAWAN ( 05091002022 )
AFFAN BUDIAWAN ( 05091002002 )
AHMAD ARTANTO ( 05091002040 )
DERY SAPUTRA ( 05071006035 )
DITO GUSTIANTO ( 05061006017 )
KELOMPOK 1

PROGRAM STUDI TEKNIK PERTANIAN


JURUSAN TEKNOLOGI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
INDERALAYA
2010
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan

Paper ini dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Dia mungkin penyusun tidak

akan sanggup menyelesaikan dengan baik.

Paper ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang mekanika

fluida, yang kami sajikan berdasarkan dari berbagai sumber. Paper ini di susun oleh

penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang dari diri penyusun

maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama

pertolongan dari Tuhan akhirnya paper ini dapat terselesaikan.

Paper ini memuat tentang “PENGARUH KONTRAKSI PENAMPANG SALURAN


TERHADAP KUALITAS FISIK AIR SUNGAI STUDI KASUS : SUNGAI
SUGUTAMU”.

Walaupun paper ini mungkin kurang sempurna tapi juga memiliki detail yang
cukup jelas bagi pembaca.

Semoga paper ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada

pembaca. Walaupun paper ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon

untuk saran dan kritiknya. Terima kasih.

Palembang, 03 Desember 2010

Penyusun
DAFTAR ISI

COVER…..………………………………………………………........................…...1
KATA PENGANTAR………………………………………………………………..2
DAFTAR ISI ……………………………………………...………………………….3
BAB I PENDAHULUAN ……………………………..……………………………..4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………..8
BAB III RANCANGAN……………………………………………….….………
.24
BAB IV PEMBAHASAN…………………………………………………..………30
BAB V PENUTUP………………………………………………………………….48
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………….51
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sungai merupakan bagian dari tatanan air bumi. Berdasarkan konsep


hidrologi, pada hakikatnya sungai terbentuk untuk mengalirkan air dari hulu ke
hilir hingga bermuara di lautan. Sebagai sumber daya alam, sungai berpotensi
untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup, terutama manusia untuk melanjutkan
keberlangsungan hidupnya. Potensi sungai untuk manusia diantaranya sebagai
sumber air baku untuk air minum, irigasi, perikanan, industri, dan lain-lain.
Konsekuensi dari kegiatan-kegiatan tersebut akan menghasilkan materi
buangan, atau disebut limbah. Limbah dapat berwujud padat, cair, gas, maupun
B3. Limbah juga dapat dikategorikan berdasarkan kegiatannya, yaitu limbah
rumah tangga (domestik), industri, rumah sakit, dan lain-lain. Penanganan limbah
yang bijak tentunya sangat diharapkan, namun pada praktiknya tidak demikian.
Limbah yang dihasilkan oleh manusia, terutama limbah domestik seringkali tidak
diolah terlebih dahulu sebelum dikembalikan lagi ke alam. Perilaku ini misalnya
mengalirkan air limbah domestik dari satu kawasan perumahan yang merupakan
daerah aliran dari suatu sungai ataupun perilaku membuang sampah rumah tangga
ke badan sungai.
Perilaku yang demikian tentunya akan berakibat pada berubahnya kondisi
alami dari sumber daya alam tersebut. Sejalan dengan perkembangan manusia
yang kian hari kian meningkat, produksi limbah yang dihasilkan turut meningkat.
Dengan demikian, beban yang harus ditanggung oleh alam akan semakin berat.
Selain itu, dengan adanya peningkatan jumlah penduduk kebutuhan lahan untuk
tempat tinggal juga akan meningkat. Oleh sebab itu perubahan tata guna lahan
juga akan berubah mengikuti kebutuhan manusia. Integrasi dari dua hal tersebut
akan mengakibatkan perubahan kondisi alam baik secara hidrolis maupun
kualitas.
Perubahan tersebut diantaranya akan berpengaruh terhadap sungai.
Kebutuhan akan lahan seringkali memaksa manusia untuk merekayasa bentuk asli
sungai menjadi seperti yang diinginkan manusia. Tindakan tersebut misalnya
mengurangi lebar pada satu segmen sungai (kontraksi dimensi sungai). Kondisi
yang demikian terjadi di Sungai Sugutamu, tepatnya di Perumahan
Lembah Griya, Kota Depok. Dengan adanya perubahan pada dimensi
sungai, maka struktur hidrolika sungai juga ikut berubah. Berkaitan
dengan hal ini, berkurangnya dimensi berpengaruh pada kualitas air limbah
yang masuk ke sungai. Kualitas tersebut mungkin akan lebih buruk, sama,
atau bahkan dapat lebih baik dibanding kondisi eksisting.
Sehubungan dengan fenomena tersebut, telah dilakukan penelitian oleh :
1. Eko W. Irianto dengan judul Fenomena hubungan Debit Air dan Kadar Zat
Pencemar dalam Air Sungai (Studi Kasus : Sub DPS Citarum Hulu).
2. Michitada Sugara dengan judul Usaha Perlindungan Lingkungan Perairan di
Kota Kobe.
3. Salmin dengan judul Oksigen Terlarut dan Kebutuhan Oksigen Biologi
sebagai Salah Satu Indikator untuk Menentukan Kualitas Perairan.
4. Winarni Monoarfa dengan judul Dampak Pembangunan bagi Kualitas Air di
Pesisir Pantai Losari, Makassar.

Dilatarbelakangi oleh penelitian-penelitian tersebut, maka dapat pula


dilakukan suatu pengujian terhadap kualitas air sungai dari segmen pada lokasi
yang mengalami perubahan geometri. Pengujian yang dilakukan adalah
pengukuran konsentrasi Dissolve Oxygen (DO) dan Suspended Solid (SS).
Penyederhanaan dari konsep ini akan memaparkan bahwa apabila di hulu segmen
memiliki v < 0,6 m/s, akibat kontraksi penampang di satu segmen dan berdasarkan
persamaan debit aliran (Q = v.A), maka pada segmen akan terjadi peningkatan
kecepatan. Apabila v menjadi lebih besar dari 0,6 m/s maka terjadinya
pengendapan dapat direduksi (Chanson, 2004). Dipengaruhi peningkatan
kecepatan aliran dan kemampuan sungai membersihkan dirinya sendiri (self
purification), maka konsentrasi DO pada segmen tersebut akan meningkat
dibanding wilayah hulu. Sehingga kesegaran air di hilir segmen akan lebih baik
dibanding hulu segmen. Selain itu, konsentrasi TSS juga berimplikasi pada laju
sedimentasi yang terjadi.
Seringkali kondisi yang terjadi di lapangan berbeda dari teori yang
dipaparkan. Laju buangan limbah domestik ke badan sungai dapat mengganggu
self purification. Limbah domestik yang dibuang tidak hanya berwujud cair,
namun juga berwujud padat. Oleh karena itu ada kemungkinan laju sedimentasi
lebih tinggi dibanding laju pembersihan diri sungai tersebut. Sedimentasi ini akan
mempengaruhi kecepatan aliran. Oleh karenanya kendati terjadi kontraksi
penampang, kecepatan aliran di sepanjang segmen bisa saja tidak sesuai dengan
perhitungan secara teoritis.
Fenomena tersebut melatarbelakangi dilakukannya penelitian ini.
Kemungkinan adanya ketidaksesuaian antara teori dan kondisi di lapangan
mendorong peneliti untuk melakukan pengujian terhadap kualitas DO dan TSS di
segmen sungai yang mengalami kontraksi. Dari pengujian tersebut dapat
dianalisis seberapa signifikan parameter fisik mempengaruhi kualitas DO dan TSS
di suatu segmen yang mengalami perubahan dimensi penampang .

B. Rumusan Masalah

Perubahan dimensi penampang pada satu segmen di Sungai Sugutamu


berdampak pada berubahnya aspek hidrolika serta mempengaruhi kualitas air di
sepanjang segmen maupun hilir segmen. Tinjauan terhadap kualitas air sungai
dalam hal ini dapat dilakukan melalui pengukuran konsentrasi Dissolve Oxygen
(DO) dan Total Suspended Solid (TSS).
Melalui penelusuran segmen sungai yang mengalami perubahan geometri
maka dapat diketahui dimensi penampang segmen. Kemudian dengan memetakan
wilayah hulu dan hilir segmen serta dilakukan uji kualitas DO dan TSS wilayah
hulu, maka dapat diidentifikasi kondisi eksisting kualitas DO dan TSS Sungai
Sugutamu untuk kawasan tersebut. Sementara itu, dilakukan juga uji kualitas DO
dan TSS di wilayah hilir. Hasil pengujian tersebut merepresentasikan kualitas DO
dan TSS yang mengalami rekayasa akibat adanya kontraksi penampang di
segmen. Dari hasil yang didapat, akan dapat dimonitor dan diprofilkan kualitas
DO dan TSS serta dapat disimpulkan perubahan kualitas air dari satu segmen
sungai akibat perubahan dimensi ditinjau dari aspek hidrolikanya.
C. Tujuan
Adapun tujuan dari paper ini adalah untuk memprofilkan perubahan
konsentrasi Dissolve Oxygen dan Total Suspended Solid yang terkandung dalam
air sungai dari suatu segmen sungai di Sungai Sugutamu yang dipengaruhi oleh
parameter fisik akibat mengalami perubahan dimensi, yakni terjadinya kontraksi
penampang akibat rekayasa struktur hidrolikanya. Dan juga untuk memahami
system Aliran terbuka.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Aliran Saluran Terbuka

Suatu aliran dikatakan tergolong aliran saluran terbuka apabila tekanan di


permukaan air berada pada level yang sama dengan tekanan atmosfer. Secara
sederhana, aliran di saluran terbuka diasumsikan bersifat paralel, memiliki
distribusi kecepatan yang sama di setiap segmen di sepanjang aliran saluran, dan
memiliki kemiringan dasar saluran yang kecil. Namun pada kenyataannya, ada
faktor yang mempengaruhi aliran sehingga kondisi tersebut dapat berubah.
Faktor-faktor yang dapat merubah kondisi aliran bergantung pada ruang dan
waktu. Aliran pada saluran yang memiliki penampang yang irregular, misalnya
sungai akan menghasilkan kecepatan yang tidak seragam pula di setiap segmen.
Oleh karenanya, untuk saluran terbuka, tidak dapat dilakukan generalisasi untuk
keseluruhan saluran. Tinjauan yang lebih akurat akan didapat dengan membagi
saluran ke dalam segmen-segmen dengan bentang tertentu dari keseluruhan
bentang saluran. Dengan diketahuinya kondisi aliran di tiap segmen, maka dapat
diketahui pula kondisi aliran di seluruh saluran. Kondisi aliran yang dimaksud
mencakup struktur hidrolika aliran seperti debit, kecepatan, dan luas penampang,
ataupun kondisi kualitas air yang mengalir di saluran tersebut. Berikut gambar
yang menggambarkan kondisi aliran di suatu segmen di saluran terbuka.

Gb. II.1 Kondisi Aliran di Saluran Terbuka


Berdasarkan gambar, titik awal segmen (wilayah hulu) ditandai dengan
titik 1, sementara titik 2 merupakan titik akhir segmen (wilayah hilir). Sepanjang
bentang dengan panjang bentang L (m), maka dapat digambarkan hydraulic grade
line yang merepresentasikan elevasi muka air, piezometric height yang
merepresentasikan kedalaman air, dan energy grade line direpresentasikan sebagai
energi.

II.1.1 Tipe Aliran

Klasifikasi aliran pada saluran terbuka bergantung pada ruang dan waktu.
Waktu sebagai kriteria akan mengklasifikan aliran menjadi aliran steady (tunak)
dan aliran unsteady (tidak tunak). Kondisi aliran tunak didefinisikan sebagai
aliran dengan tidak adanya perubahan kecepatan (kecepatan konstan) di
sepanjang saluran terhadap waktu. Selain itu tidak berubahnya tinggi muka air
(kedalaman) terhadap waktu dari suatu aliran juga dapat mengidentifikasikan
aliran tersebut ke dalam kondisi tunak. Sedangkan aliran tidak tunak terjadi
pada aliran yang mengalami perubahan kecepatan di sepanjang aliran.
Sementara itu apabila ruang dijadikan kriteria, maka aliran akan
dikategorikan menjadi aliran uniform (seragam) dan nonuniform (tidak
seragam). Aliran dikatakan seragam bila selama aliran berada di sepanjang
penampang, tidak terjadi perubahan kecepatan baik nilai maupun arah. Aliran
juga dikatakan seragam bila tidak terjadi perubahan kedalaman air di sepanjang
penampang. Sedangkan aliran tidak seragam terjadi pada aliran yang
mengalami perubahan kecepatan dan kedalaman menurut ruang.
Berdasarkan klasifikasi tersebut, maka persamaan-persamaan pada aliran
di saluran terbuka akan bergantung pada variabel ruang (x) dan waktu (t). Berikut
tabel yang memaparkan kombinasi aliran di saluran terbuka.
Tabel II.1 Kombinasi Aliran di Saluran Terbuka
II.1.2 Struktur Hidrolika Aliran Saluran Terbuka

Struktur hidrolika saluran pada dasarnya terdiri atas tiga komponen yakni
debit aliran, kecepatan aliran, dan dimensi penampang saluran. Untuk saluran
buatan, perencanaan kondisi aliran didasarkan pada struktur hidrolikanya.
Dengan menentukan kecepatan aliran rencana, maka debit rencana juga akan
didapat. Dimentioning penampang yang dibutuhkan juga dapat direncanakan.
Sementara untuk saluran alami misalnya sungai, dengan diketahuinya struktur
hidrolika saluran maka pemanfaatan sungai akan lebih maksimal. Kegiatan
pemanfaatan ini, misalnya memanfaatkan debit aliran untuk kebutuhan irigasi.
Dari kebutuhan ini serta struktur hidrolika eksisting sungai maka dapat
dievaluasi potensi aliran. Kemudian, dengan diketahuinya struktur hidrolika
sungai dapat pula direncanakan bangunan pelengkap yang dibangun untuk
memaksimalkan potensi sungai tersebut.

II.2 Persamaan Aliran di Saluran Terbuka


Pada umumnya persamaan aliran di saluran terbuka hanya digunakan pada
aliran tetap dengan debit dinyatakan :
Q = A. V......................................... .(1)

Keterangan : Q = debit (m3/s)

A = luas penampang melintang saluran (m2)

V = kecepatan rata-rata aliran (m/s)

Sementara itu, debit di sepanjang aliran dianggap seragam dengan kata lain
aliran bersifat kontinu, sehingga :
Q1 = Q2

A1 . V1 = A2 . V2 ....................................... (2)

Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa akibat material yang


berbeda pada setiap saluran, terutama saluran terbuka seperti sungai, aliran akan
mengalami gesekan dengan material salurannya. Oleh sebab itu perlu juga
dilakukan perhitungan kecepatan aliran yang memperhatikan faktor gesekan
tersebut. Persamaan Manning dapat digunakan untuk melakukan perhitungan
yang dimaksud. Koefisien Manning (n) memperhitungkan koefisien kekasaran
saluran pada perhitungannya. Koefisien kekasaran merupakan pengerem dari
aliran air baik di saluran (channel) maupun dataran banjir (flood plain). Nilai
n pada saluran ditentukan dengan mengevaluasi pengaruh-pengaruh yang
ditimbulkan oleh faktor-faktor kekasaran di dalam saluran. Persamaan Manning
adalah sebagi berikut :

V = 1/n . R2/3 . S1/2........................................... (3) Dimana :


V = Kecepatan aliran (m/s)
n = Koef. Kekasaran Manning → berdasarkan material saluran
R = Jari-jari hidrolik saluran (m)
S = Slope of energy grade line (m/m) → tipikal untuk masing- masing wilayah
Berikut tabel yang menunjukan nilai koefisien Manning untuk beberapa material
saluran :
Aliran pada saluran terbuka dapat diklasifikasikan berdasarkan kekentalan fluida
(viskositas) dan gaya gravitasi. Perbandingan gaya-gaya akibat viskositas,
gravitasi dan gaya inersia didefinisikan sebagai bilangan reynold (Reynold
number = Re) yang ditulis sebagai berikut :

Re = v.h / V…………………………………. (4)


Keterangan :
Re = Reynold number v = viskositas (m2/s)
h = panjang karakteristik (m)
V = kecepatan rata-rata aliran (m/s)
Untuk saluran terbuka, aliran dikatakan :

• Laminer jika Re < 2000


• Turbulen jika Re > 2000
II.3 Parameter Kualitas Air Sungai

Kualitas air adalah kondisi kualitatif air yang diukur dan atau diuji
berdasarkan parameter-parameter tertentu dan metode tertentu berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor : 115 Tahun 2003). Kualitas air dapat dinyatakan
dengan parameter kualitas air. Parameter ini meliputi parameter fisik, kimia, dan
mikrobiologis.
Parameter fisik menyatakan kondisi fisik air atau keberadaan bahan yang
dapat diamati secara visual/kasat mata. Yang termasuk dalam parameter fisik ini
adalah kekeruhan, kandungan partikel/padatan, warna, rasa, bau, suhu, dan
sebagainya.
Parameter kimia menyatakan kandungan unsur/senyawa kimia dalam air,
seperti kandungan oksigen, bahan organik (dinyatakan dengan BOD, COD, TOC),
mineral atau logam, derajat keasaman, nutrient/hara, kesadahan, dan sebagainya.
Parameter mikrobiologis menyatakan kandungan mikroorganisme dalam
air, seperti bakteri, virus, dan mikroba pathogen lainnya.Berdasarkan hasil
pengukuran atau pengujian, air sungai dapat dinyatakan dalam kondisi baik atau
cemar. Sebagai acuan dalam menyatakan kondisi tersebut adalah baku mutu air,
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001.
Dalam penelitian ini akan ditinjau parameter fisik kualitas air yakni
Oksigen Terlarut (Dissolve Oxygen) dan Zat Padat Tersuspensi (Total Suspended
Solid). Berikut adalah penjelasan mengenai kedua parameter tersebut :

II.3.1 Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen = DO)

Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen = DO) menyatakan kandungan


oksigen yang terlarut di dalam air. Kemampuan air dalam melarutkan oksigen
sangat tergantung pada suhu air, tekanan gas oksigen dan kemurnian air.
DO dibutuhkan oleh makhluk hidup untuk pernapasan, proses
metabolisme atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk
pertumbuhan dan pembiakan. Disamping itu, DO juga dibutuhkan untuk oksidasi
bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik. Sumber utama oksigen
dalam suatu perairan berasal dari proses aerasi dan hasil fotosintesis organisme
yang hidup dalam perairan tersebut (Salmin, 2000).
Aerasi didefinisikan sebagai pengaliran udara ke dalam air untuk
menigkatkan kandungan oksigen dengan memancarkan air atau melewatkan
gelembung udara ke dalam air. Sementara pada sungai, aerasi yang terjadi
digolongkan sebagai aerasi permukaan yang didefinisikan sebagai sistem
pemberian udara pada permukaan cairan. Dengan cara ini akan terjadi proses
kelarutan udara sehingga terjadi proses difusi oksigen dari udara terhadap badan
air/sungai.
Kecepatan difusi oksigen dari udara, tergantung dari beberapa faktor,
seperti kekeruhan air, suhu, salinitas, pergerakan massa air dan udara seperti
arus, gelombang dan pasang surut.
Pada lapisan permukaan, kadar oksigen akan lebih tinggi, karena adanya
proses difusi antara air dengan udara bebas serta adanya proses
fotosintesis. Dengan bertambahnya kedalaman akan terjadi penurunan kadar
oksigen terlarut, karena proses fotosintesis semakin berkurang dan kadar oksigen
yang ada banyak digunakan untuk pernapasan dan oksidasi bahan-bahan organik
dan anorganik. Keperluan organisme terhadap oksigen relatif bervariasi
tergantung pada jenis, stadium dan aktifitasnya. Kebutuhan oksigen untuk ikan
dalam keadaan diam relatif lebih sedikit apabila dibandingkan dengan ikan
pada saat bergerak. Jenis-jenis ikan tertentu yang dapat menggunakan oksigen
dari udara bebas, memiliki daya tahan yang lebih terhadap perairan yang
kekurangan DO (Wardoyo, 1978). Konsentrasi DO minimum adalah 2 ppm dalam
keadaan normal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toksik). Konsentrasi
DO minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan organisme (Swingle, 1968).
Idealnya, konsentrasi DO tidak boleh kurang dari 1,7 ppm selama waktu 8
jam dengan sedikitnya pada tingkat kejenuhan sebesar 70 % (Huet, 1970).
Oksigen memegang peranan penting sebagai indikator kualitas perairan, karena
DO berperan dalam proses oksidasi dan reduksi bahan organik dan anorganik.
Dalam kondisi aerobik, peranan oksigen adalah untuk mengoksidasi bahan
organik dan anorganik dengan hasil akhirnya adalah nutrien yang pada
akhirnya dapat memberikan kesuburan perairan. Dalam kondisi anaerobik, oksigen
yang dihasilkan akan mereduksi senyawa-senyawa kimia menjadi lebih sederhana
dalam bentuk nutrien dan gas. Karena proses oksidasi dan reduksi inilah maka
peranan oksigen terlarut sangat penting untuk membantu mengurangi beban
pencemaran pada perairan secara alami maupun secara perlakuan aerobik yang
ditujukan untuk memurnikan air buangan industri dan domestik (rumah tangga).
Sebagaimana diketahui bahwa oksigen berperan sebagai pengoksidasi dan
pereduksi bahan kimia beracun menjadi senyawa lain yang lebih sederhana dan
tidak beracun. Disamping itu, oksigen juga sangat dibutuhkan oleh
mikroorganisme untuk pernapasan.
Organisme tertentu, seperti mikroorganisme, sangat berperan dalam
menguraikan senyawa kimia beracun rnenjadi senyawa lain yang lebih
sederhana dan tidak beracun. Penyebab utama berkurangnya kadar oksigen terlarut
dalam air disebabkan adanya zat pencemar yang dapat mengkonsumsi oksigen.
Zat pencemar tersebut terutama terdiri dari bahan-bahan organik dan anorganik
yang berasal dari barbagai sumber, seperti kotoran (hewan dan manusia),
sampah organik, bahan-bahan buangan dari industri dan rumah tangga. Menurut
Connel and Miller (1995), sebagian besar dari zat pencemar yang menyebabkan
oksigen terlarut berkurang adalah limbah organik. Menurut Lee et al. (1978),
kandungan oksigen terlarut pada suatu perairan dapat digunakan sebagai
indikator kualitas perairan, seperti terlihat pada Tabel II.3.
Tabel II.3. Status Kualitas Air Berdasarkan Kandungan DO

Oksigen terlarut dapat dianalisis atau ditentukan dengan 2 macam cara, yaitu :

1. Metoda titrasi dengan cara Winkler

Metoda titrasi dengan cara Winkler secara umum banyak digunakan untuk
menentukan kadar oksigen terlarut. Prinsipnya dengan menggunakan titrasi
iodometri. Sampel yang akan dianalisis terlebih dahulu ditambahkan larutan
MnCl2 den Na0H - KI, sehingga akan terjadi endapan Mn02. Dengan
menambahkan H2SO4 atan HCl maka endapan yang terjadi akan larut kembali
dan juga akan membebaskan molekul iodium (I2) yang ekivalen dengan
oksigen terlarut. Iodium yang dibebaskan ini selanjutnya dititrasi dengan larutan
standar natrium tiosulfat (Na2S203) dan menggunakan indikator larutan amilum
(kanji). Reaksi kimia yang terjadi dapat dirumuskan sebagai berikut :

MnCI2 + NaOH.Mn(OH)2 + 2 NaCI


2 Mn(OH)2 + O2 2 MnO2 + 2 H20
MnO2 + 2 KI + 2 H2O.Mn(OH)2 + I2 + 2 KOH
I2 + 2 Na2S2C3.Na2S4O6 + 2 NaI

2. Metoda elektrokimia

Cara penentuan oksigen terlarut dengan metoda elektrokimia adalah cara


langsung untuk menentukan oksigen terlarut dengan alat DO meter. Prinsip
kerjanya adalah menggunakan probe oksigen yang terdiri dari katoda dan
anoda yang direndam dalarn larutan elektrolit. Pada alat DO meter, probe ini
biasanya menggunakan katoda perak (Ag) dan anoda timbal (Pb). Secara
keseluruhan, elektroda inim dilapisi dengan membrane plastik yang bersifat semi
permeable terhadap oksigen. Reaksi kimia yang akan terjadi adalah :

Katoda : O2 + 2 H2O + 4_4 HO_ Anoda : Pb + 2 HO_PbO + H20 + 2e_

Aliran reaksi yang terjadi tersebut tergantung dari aliran oksigen pada
katoda. Difusi oksigen dari sampel ke elektroda berbanding lurus terhadap
konsentrasi oksigen terlarut. Penentuan oksigen terlarut (DO) dengan cara titrasi
berdasarkan metoda Winkler lebih analitis apabila dibandingkan dengan cara
alat DO meter. Hal yang perlu diperhatikan dalam titrasi iodometri ialah
penentuan titik akhir titrasinya, standarisasi larutan tiosulfat dan pembuatan
larutan standar kaliumbikromat yang tepat. Dengan mengikuti prosedur
penimbangan kaliumbikromat dan standarisasi tiosulfat secara analitis, akan
diperoleh hasil penentuan oksigen terlarut yang lebih akurat. Sedangkan
penentuan oksigen terlarut dengan cara DO meter, harus diperhatikan suhu dan
salinitas sampel yang akan diperiksa. Peranan suhu dan salinitas ini sangat vital
terhadap akurasi penentuan oksigen terlarut dengan cara DO meter.
Disamping itu, sebagaimana lazimnya alat yang digital, peranan kalibrasi alat
sangat menentukan akurasi hasil penentuan.

II.3.2 Zat Padat tersuspensi (Total Suspended Solid = SS)

Zat padat tersuspensi (Total Suspended Solid = TSS) adalah bahan-bahan


tersuspensi yang digolongkan sebagai partikel diskrit (diameter >1μm) yang
tertahan pada saringan millipore dengan diameter pori 0,45 μm. TSS terdiri atas
lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik terutama yang disebabkan oleh
kikisan tanah atau erosi yang terbawa ke dalam badan air. Masuknya TSS ke
dalam perairan dapat menimbulkan kekeruhan air. Hal ini menyebabkan
menurunnya laju fotosintesis fitoplankton, sehingga produktivitas primer
perairan menurun, dan pada akhirnya dapat menyebabkan terganggunya
keseluruhan rantai makanan.
Konsentrasi TSS yang tinggi akan mempengaruhi biota di perairan.
Menurut Fardiaz (1992), TSS akan mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air,
sehingga mempengaruhi regenerasi oksigen secara fotosisntesis dan turbidity
(kekeruhan) air juga semakin meningkat
Mahida (1993) mendefinisikan turbidity (kekeruhan) sebagai intensitas
kegelapan di dalam air yang disebabkan oleh bahan-bahan yang melayang.
Kekeruhan perairan umumnya disebabkan oleh adanya partikel-partikel
suspensi seperti tanah liat, lumpur, bahan-bahan organik terlarut, bakteri,
plankton dan organisme lainnya. Kekeruhan perairan menggambarkan sifat
optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan
dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air (Davis dan Cornwell,
1991).
Kekeruhan yang terjadi pada perairan seperti sungai lebih banyak
disebabkan oleh bahan tersuspensi berupa koloid dan parikel-partikel halus.
Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunnya system osmeregulasi
seperti pernafasan dan daya lihat organisme akuatik serta dapat menghambat
penetrasi cahaya ke dalam air. Menurut Koesoebiono (1979), pengaruh
kekeruhan yang utama adalah penurunan penetrasi cahaya secara mencolok,
sehingga aktivitas fotosintesis fitoplankton dan alga menurun, akibatnya
produktivitas perairan menjadi turun. Di samping itu (Effendi, 2003),
menyatakan bahwa tingginya nilai kekeruhan juga dapat menyulitkan usaha
penyaringan dan mengurangi efektivitas desinfeksi pada proses
penjernihan air.
Kekeruhan perairan sangat dipengaruhi oleh keberadaan TSS, zat-zat
terlarut, partikel-partikel dan warna air. Pengaruh kandungan lumpur yang dibawa
oleh aliran sungai dapat mengakibatkan tingkat kekeruhan air meningkat,
sehingga dapat menurunkan nilai produktivitas perairan (Nybakken, 1992).
Zat padat tersuspensi dapat dianalisis atau ditentukan secara gravimetri.
Metode ini digunakan untuk menentukan residu tersuspensi yang terdapat dalam
contoh uji air dan air limbah secara gravimetri. Metode ini tidak termasuk
penentuan bahan yang mengapung, padatan yang mudah menguap dan
dekomposisi garam mineral. Prinsip pengujian SS dengan metode ini adalah
dengan penyaringan contoh uji yang telah homogen dengan kertas saring yang
telah ditimbang. Residu yang tertahan pada saringan dikeringkan sampai
mencapai berat konstan pada suhu 103ºC sampai dengan 105ºC. Kenaikan
berat saringan mewakili padatan tersuspensi total (TSS). Jika padatan
tersuspensi menghambat saringan dan memperlama penyaringan, diameter pori-
pori saringan perlu diperbesar atau mengurangi volume contoh uji. Untuk
memperoleh estimasi TSS, dihitung perbedaan antara padatan terlarut total dan
padatan total.

II.4 Kontraksi Penampang Sungai


II.4.1 Struktur Hidrolika
Suatu sungai sepanjang alirannya tentu memiliki dimensi yang berbeda-
beda. Namun untuk pemenuhan kebutuhan manusia seringkali rekayasa
terhadap dimensi sungai dilakukan. Sungai diasumsikan sebagai saluran dengan
dimensi yang besar, sehingga rekayasa yang dilakukan berdasarkan pada struktur
hidrolikanya. Misalnya, mengurangi luas penampang sungai dengan harapan
mempercepat kecepatan dan debit aliran. Rekayasa sungai ini menerapkan
persamaan kontinuitas dan momentum tergantung pada asumsi yang diterapkan.
Untuk kondisi aliran yang tunak dan seragam, persamaan kontinuitas dapat
menggambarkan hubungan debit yang sama pada dua penampang yang berbeda.
Bila terjadi kontraksi penampang dan aliran diasumsikan tunak, maka debit di
hulu sama dengan debit di hilir. Dari hubungan ini, bila luas penampang di hulu

adalah (Ahulu m2) dan kecepatan adalah (vhulu m/s), maka dapat
direncanakan kecepatan aliran di hilir serta dimensi penampang di hilir.

II.4.2 Pengaruh Kontraksi Penampang terhadap Kualitas DO dan TSS


Air Sungai

Adanya kontraksi penampang pada satu segmen sungai tentunya akan


mengakibatkan kecepatan aliran di hilir menjadi meningkat dibanding
kecepatan di hulu. Pengaruh peningkatan kecepatan berdampak pada
berubahnya nilai bilangan Reynold (Re) sungai. Kecepatan aliran
sebanding dengan nilai Re (Wiggert, 1991). Sehingga, apabila kecepatan
bertambah maka nilai Re akan bertambah. Namun karena luas penampang juga
berubah (penampang menyempit), maka akan menyebabkan perubahan Re.
Sementara viskositas air bergantung pada suhu. Peningkatan kecepatan akan
menyebabkan pergerakan air meningkat pula, adanya gerakan tersebut akan
menimbulkan energi tambahan. Penambahan energi ini akan menimbulkan
panas atau dengan kata lain terjadi peningkatan suhu. Adanya peningkatan
suhu akan merubah nilai viskositas (Wiggert, 1991). Dengan demikian, perubahan
dimensi penampang akan mempengaruhi semua faktor Re sehingga nilai Re
meningkat. Peningkatan nilai Re mengindikasikan jenis aliran. Untuk saluran
terbuka, bila Re < 2000 maka jenis aliran adalah laminer sementara untuk Re >
2000 jenis aliran adalah turbulen (Wiggert, 1991).
Aliran yang turbulen akan mempengaruhi kualitas air sungai. Turbulensi
yang terjadi akan mengakibatkan proses mixing antara air sungai dengan partikel-
partikel lain, misalnya lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik terutama
yang disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi ataupun partikel-partikel
organik dari limbah domestik yang dibuang manusia. Adanya proses mixing
ini akan meningkatkan konsentrasi oksigen dari proses aerasi. Dari proses
mixing yang terjadi, akan mengganggu stabilitas air sehingga pergerakan air
seakan menciptakan gelombang yang lebih besar. Pergerakan ini akan
menangkap oksigen dari udara bebas. Oksigen yang terikat kemudian menjadi
gelembung udara dan akan terlarut dalam air menjadi oksigen terlarut
(DO). Dengan demikian, terjadilah peningkatan
konsentrasi DO akibat aerasi.
Peningkatan turbulensi akibat perubahan kecepatan menyebabkan partikel
yang terangkut aliran akan bertambah dan tingkat kekeruhan meningkat.
Kekeruhan yang meningkat mengindikasikan konsentrasi TSS dalam aliran
meningkat. Kondisi ini akan terjadi pada aliran dengan kecepatan (v ≥ 0,6 m/s).
Pada kecepatan ini, kekuatan air akan mampu mengangkut partikel tersuspensi
yang tergolong partikel diskrit (Chanson, 2004). Reduksi suspensi dalam kurun
waktu yang lama akan menciptakan kestabilan aliran pada segmen yang
mengalami kontraksi. Dengan demikian tingkat kekeruhan juga akan menurun
sebanding dengan waktu. Oleh karenanya pada segmen yang mengalami kontraksi,
konsentrasi TSS di wilayah hilir segmen akan lebih rendah dibanding
wilayah hulu. Menurunnya sedimentasi akan meningkatkan kecerahan air mulai
dari titik paling hilir segmen. Dengan meningkatnya kecerahan, maka
aktivitas fotosintesis biota sungai akan meningkat. Akibatnya O2 yang
dihasilkan akan meningkat pula.
Sementara, apabila kecepatan (v < 0,6 m/s), maka air tidak mampu
mengangkut partikel diskrit. Akibatnya akan terjadi sedimentasi di sungai tersebut.
Sedimentasi akan mempengaruhi sungai baik secara kuantitas maupun kualitas.
Secara kuantitas dimensi sungai akan berkurang, akibatnya debit yang
dihasilkan berkurang pula. Secara kualitas, sedimentasi dari jasad renik akan
mempercepat pertumbuhan mikroorganisme. Akibatnya terjadi
peningkatan BOD5. BOD5 merupakan salah satu indikator pencemaran

organik pada suatu perairan. Perairan dengan nilai BOD5 tinggi


mengindikasikan bahwa air tersebut tercemar oleh bahan organik. Lee et al. (1978)
menyatakan bahwa tingkat pencemaran suatu perairan dapat dinilai berdasarkan
nilai BOD5- nya, seperti disajikan pada Tabel II.4.

Tabel II.4. Status Kualitas Air Berdasarkan Nilai BOD5

Selain BOD5, kadar bahan organik juga dapat diketahui melalui nilai
COD. (Effendi, 2003) menggambarkan COD sebagai jumlah total oksigen
yangdibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang
dapatdidegradasi secara biologi maupun yang sukar didegradasi menjadi CO2
dan H2O. Berdasarkan kemampuan oksidasi, penentuan nilai COD dianggap
paling baik dalam menggambarkan keberadaan bahan organik baik yang
dapat didekomposisi secara biologis maupun yang tidak.
Peningkatan kebutuhan oksigen akan mereduksi konsentrasi oksigen
terlarut (DO) dalam air. Semakin banyak organisme yang hidup dalam suatu
ekosistem sungai, maka kebutuhan akan oksigen juga akan meningkat
akibatnya konsentrasi DO menurun.
II.5 Self Purification
Self purification merupakan suatu proses alami dimana sungai
mempertahankan kondisi asalnya melawan bahan – bahan asing yang masuk
kedalam sungai. Menyempurnakan metode buatan dari pengelolaan kualitas air
dan menyangkut proses fisik kimia dan biologis. Bila penambahan pencemar di
hilir sungai tidak berlebihan, air akan membersihkan diri dengan sendirinya (self-
cleansing). Proses ini tidak berlaku untuk pencemar kategori senyawa organik non
biodegradabel atau logam.
Pada sungai yang tidak tercemar, oksigen terlarut memiliki kadar sekitar 8
ppm dan BOD dalam keadaan yang rendah. Namun pada kondisi sungai yang
tercemar, misalnya sungai yang mengalir di kawasan pemukiman dan mendapat
beban pencemar dari aliran limbah domestik. Limbah domestik sebagian besar
terdiri dari kandungan organik. Kandungan organic ini membutuhkan oksigen
untuk terdekomposisi. Karena itu BOD akan meningkat dan mempengaruhi DO di
hilir sungai.
Seiring dengan mengalirnya air ke hilir, jumlah bakteri meningkat.
Akibatnya ketersediaan DO pada air sungai menurun. Pada titik tertentu pencemar
organik terdekomposisi dan terjadi recovery oksigen atau DO kembali meningkat
sebagai sumbangan dari atmosfir (aerasi) dan tanaman air.
Mekanisme Self Purification berlangsung dalam beberapa tahapan :

1. Clean Zone
2. Decomposition Zone
3. Septic Zone
4. Recovery Zone
Gambar II.3 Tahapan dalam Self Purification
Kondisi oksigen terlarut pada zona bersih (Clean Zone) berada pada 8
ppm, yang merupakan konsentrasi normal DO di perairan dan BOD pada kondisi
yang rendah. Pada zona ini hewan – hewan air yang membutuhkan oksigen dalam
konsentrasi normal tumbuh dengan baik. Hewan hewan ini akan mati bila
konsentrasi oksigen menurun.
Dengan adanya pencemar yang memasuki badan air, peningkatan BOD
terjadi seiring dengan penurunan konsentrasi oksigen. Zona ini disebut dengan
zona dekomposisi (Decomposition Zone) dimana terjadi dekomposisi bahan
organik oleh bakteri. Populasi bakteri di zona ini meningkat. Hewan yang dapat
tumbuh adalah hewan dengan kebutuhan oksigen yang rendah, seperti beberapa
jenis ikan dan lintah.
Zona septik (Septic Zone) terjadi pada saat keberadaan oksigen dibawah 2
ppm. Ikan akan menghilang atau pindah dari zona ini karena ketidaksesuaian
dengan kebutuhan oksigennya. Pada beberapa bagian kehidupan yang terdapat
pada zona ini adalah cacing lumpur, jamur dan bakteri anaerobik. Bakteri berada
pada populasi yang tinggi pada zona ini.
Seiring dengan waktu dan jarak dari lokasi pencemaran sungai mengalami
peningkatan konsentrasi oksigen yang berasal dari penangkapan udara oleh air,
aerasi dan tanaman air. Selain itu bahan organik mengalami penurunan setelah
mengalami dekomposisi sehingga BOD menurun. Zona ini disebut (recovery
zone), pada zona ini hewan - hewan yang tidak membutuhkan oksigen tinggi
kembali dapat ditemui dan hidup disini dan populasi bakteri menurun. Zona bersih
kembali tercapai setelah recovery selesai. Hewan – hewan air dapat tumbuh
kembali dengan baik.

BAB III
RANCANGAN

III.1 Kerangka Pemikiran

Terjadinya perubahan dimensi sungai (kontraksi dimensi) akan berpengaruh


pada perubahan struktur hidrolika sungai tersebut. Apabila aliran sungai
diasumsikan seragam (uniform flow), maka di setiap titik di sepanjang aliran
akan memiliki debit yang sama. Oleh karenanya, bila terjadi perubahan dimensi
penampang menjadi lebih sempit dari penampang di wilayah hulu, maka untuk
mencapai debit yang sama akan terjadi perubahan kecepatan dan
kedalaman. Berubahnya kecepatan aliran menjadi lebih cepat akan berpengaruh
pada berubahnya nilai bilangan Reynold (Re). Begitupun dengan perubahan
kedalaman. Akibat kontraksi penampang, secara teoritis nilai Re akan bertambah,
penambahan ini menunjukkan bahwa aliran air semakin turbulen. Turbulensi yang
terjadi serta kecepatan aliran yang lebih cepat akan menggerus sedimen yang
terjadi di dasar sungai (faktor terjadinya perubahan kedalaman).
Meningkatnya kecepatan akan menghasilkan energi yang dirubah menjadi
panas. Perubahan ini ditandai dengan meningkatnya suhu pada titik kontraksi.
Selain itu, dengan adanya rentang waktu pengujian akan terjadi pula peningkatan
temperatur akibat intensitas penyinaran matahari. Karena itu dalam melakukan
pengujian terhadap kualitas fisik air sungai, perlu mempertimbangan parameter
temperatur sebagai parameter fisik yang akan mempengaruhi konsentrasi DO air
sungai.
Sungai memiliki kemampuan menetralisir limbah yang dikandungnya (self
purification). Oleh karenanya, limbah yang masuk ke badan sungai dalam
konsentrasi tertentu akan mampu dinetralisir oleh sungai itu sendiri secara
alamiah. Akibat proses ini dan disertai kecepatan aliran, pada segmen sungai yang
mengalami kontraksi setelah kurun waktu beberapa tahun, tingkat sedimentasi
akan lebih rendah dibanding sedimentasi di hulu. Menurunnya sedimentasi akan
meningkatkan kecerahan air sungai. Akibatnya proses fotosintesis yang dilakukan
oleh biota sungai akan berlangsung baik, sehingga terjadi peningkatan konsentrasi
Dissolve Oxygen (DO)
Sedimentasi menentukan konsentrasi Total Suspended Solid (TSS) suatu
sungai. Semakin tinggi konsentrasi TSS maka semakin rendah laju sedimentasi.
Suatu sungai yang melintas di wilayah pemukiman memiliki karakteristik sedimen
yang tergolong sedimen organik. Kandungan ini didapat dari limbah cair domestik
yang dialirkan penduduk setempat ke badan sungai ataupun limbah padat yang
dibuang ke badan sungai.
Apabila laju self purification sungai tidak sebanding dengan laju
pengaliran limbah domestik ke badan sungai, maka akan berpengaruh pada
meningkatnya laju sedimentasi di segmen sungai tersebut. Dengan kata lain,
kendati perubahan dimensi penampang mampu mereduksi sedimentasi yang
terjadi pada segmen, namun apabila konsentrasi limbah domestik yang dialirkan
melebihi kapasitas, maka sedimentasi tidak dapat dihindarkan. Akibatnya, pada
segmen yang mengalami kontraksi pun kecepatan alirannya belum tentu lebih
cepat dibanding wilayah hulu segmen. Begitupun dengan kedalaman airnya. Oleh
karenanya dalam penelitian ini, apabila terdapat ketidaksesuaian kecepatan aliran
yang terjadi di lapangan dengan kecepatan aliran berdasarkan literatur, maka
faktor sedimentasi menjadi faktor penting untuk ditinjau.
Dari tinjauan tersebut kemudian dilakukan pengujian terhadap sampel air
dari wilayah hulu, segmen yang mengalami kontraksi dan wilayah hilir segmen.
Parameter yang diujikan adalah DO dan TSS. Dari hasil pengujian dapat diketahui
dan dianalisis bagaimana pengaruh parameter fisik terhadap kualitas air dari suatu
segmen sungai yang mengalami kontraksi penampang.
III.2 Hipotesa

Berdasarkan latar belakang, tujuan penelitian dan kajian teori yang telah
dilakukan dalam penelitian ini, maka dapat dibuat suatu kerangka pemikiran
sehingga diperoleh suatu hipotesa, yaitu :
” Perubahan dimensi penampang dari suatu segmen sungai akan
mengakibatkan struktur hidrolika di segmen tersebut (terutama kecepatan dan
bilangan Reynold) berubah, akibatnya terjadi pula perubahan pada kualitas air
terutama konsentrasi Dissolve Oxygen dan Total Suspended Solid di sepanjang
segmen dan hilir segmen”

III.3 Diagram Alir

Tahapan penelitian yang dilakukan mengikuti bagan alir penelitian berikut:


Gambar III.1 Bagan Alir

Gb. III.2 Lokasi Segmen yang Mengalami Kontraksi

Kendati demikian, pada penelitian ini yang akan diteliti adalah kondisi
kontraksi yang terjadi di penampang Sungai Sugutamu di lokasi tersebut. Segmen
memiliki panjang 180 meter dan terjadi akibat rekayasa manusia. Dimensi hulu
yang lebih lebar kemudian beralih ke lokasi segmen dan akhirnya beralih kembali
ke hilir yang memiliki lebar identik dengan hulu merupakan definisi adanya
kontraksi pada aliran sungai tersebut. Bentuk kontraksi yang terjadi dibuat
berdasarkan prinsip Parshall Flume. Segmen kontraksi dianggap sebagai saluran
menyempit dengan dimensi paling kecil dibanding hulu dan hilirnya. Pemilihan
rekayasa dimensi yang demikian dilatarbelakangi secara hidrolis, dimana segmen
kontraksi difungsikan sebagai pengontrol tinggi muka air yang bermanfaat untuk
mengantisipasi kejadian banjir yang seringkali terjadi di lokasi penelitian.
Kegiatan penelitian di lapangan diawali dengan kegiatan persiapan yakni
pengukuruan dimensi saluran berupa :
1. Lebar atas saluran di hulu, segmen, dan hilir
2. Lebar bawah saluran di hulu, segmen, dan hilir
3. Panjang saluran yang mengalami kontraksi
4. Kedalaman air pada saluran di hulu, segmen, dan hilir

Berikut adalah gambar – gambar yang menunjukan kondisi penampang sesuai


hasil pengukuran dengan bantuan program Auto Cad 2006 :

Gb. III.3 Dimensi Penampang Saluran

Gb. III.4 Potongan Melintang & Ketinggian Air di Hulu


Gb. III.5 Potongan Melintang & Ketinggian Air di Segmen

Gb. III.6 Potongan Melintang & Ketinggian Air di Hilir

Mean area method

Persamaan debit menjadi sebagai berikut :

Qn = Hn Bn Vn n = 1,........n
Qp = Σ qn
BAB IV
PEMBAHASAN

IV. 1 Struktur Hidrolika Sungai

Perhitungan struktur hidrolika sungai pada segmen yang ditinjau serta


wilayah hulu dan hilir segmen diselesaikan dengan menerapkan persamaan-
persamaan berikut :
1. Persamaan kontinuitas
2. Hukum kekekalan massa
3. Reynold number

Telah diketahui di atas bahwa berdasarkan pengujian telah didapatkan data


kecepatan aliran dari air sungai yang mengalir di lokasi pengujian. Dari hasil
tersebut, apabila kecepatan dikalikan dengan luasan masing-masing bidang
potongan melintang tiap titik pengujian maka didapat debit aliran di tiap titik.
Nilai debit tersebut diupayakan saling mendekati agar sesuai dengan asumsi awal
yakni steady state. Pada kondisi ini, debit di tiap titik diasumsikan sama, oleh
karenanya berdasarkan persamaan kontinuitas :
Q1 = Q2
A1 . V1 = A2 . V2

Maka, dengan mengetahui dimensi melintang sungai, kecepatan di tiap


titik akan diketahui. Bila diasumsikan debit awal yang dimiliki adalah debit hulu
sebagai titik awal dari peninjauan, maka berdasarkan pengujian lapangan, debit
hulu adalah :
 vhulu = 0,483529 m/s
2
 Ahulu = 2,96375 m

 Qhulu = vhulu . Ahulu


= 0,483529 . 2,96375

= 1,43306 m3/s

Bila debit ini menjadi dasar perhitungan kecepatan titik lainnya di setiap
titik di lokasi pengujian, maka berdasarkan persamaan kontinuitas, kecepatan
aliran di titik kontraksi adalah :
Qhulu = Qsegmen
Ahulu . vhulu = Asegmen . vsegmen
2,96375 . 0,483529 = 2,23875 . vsegmen
vsegmen = 0,640116 m/s

Sesuai dengan persyaratan awal, apabila terjadi kontraksi di segmen


dengan kecepatan v ≥ 0,6 m/s, maka aliran air akan semakin turbulen dan mampu
membawa partikel dalam alirannya sehingga akan meminimalkan sedimentasi.
Hasil perhitungan dengan persamaan kontinuitas ini disandingkan dengan hasil
pengujian. Hasil teori menyebutkan kecepatan aliran 0,640116 m/s, sementara
hasil pengujian hanya 0,58076 m/s. Perbedaan antara teori dengan kondisi real di
lapangan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor utama yang paling
mempengaruhi adalah tidak ratanya bentuk permukaan saluran dan gesekan akibat
kekasaran material saluran. Akibat hal ini, aliran akan melalui hambatan. Sesuai
dengan prinsip Manning, hambatan yang ditemui oleh aliran permukaan memiliki
koefisien kekasaran yang menyebabkan berkurangnya kecepatan.
Oleh karena itu, perlu dicari kecepatan aliran berdasarkan dengan
persamaan Manning (persamaan 2 Bab II):

V = 1/n . R2/3 . S1/2

Dimana :
n = 0,025 → tipikal tanah asli
R = 0,370261 m
S = 8% → tipikal untuk daerah depok lereng landai (8 – 15%)
Sehingga,

Hasil kecepatan yang didapat dengan persamaan Manning memiliki nilai


yang tidak jauh berbeda dengan pengujian lapangan. Oleh karenanya, dengan
memperhitungkan faktor kekasaran material, hasil pengujian yang didapat telah
mewakili kecepatan aliran yang sebenarnya di lapangan.
Berdasarkan teori, apabila kecepatan aliran v ≥ 0,6 m/s, aliran mampu
membawa partikel sehingga TSS bertambah dan sedimentasi berkurang.
Sementara kondisi lapangan menyebutkan kecepatan di segmen v < 0,6 m/s, oleh
karenanya perlu dianalisis pengaruh kecepatan terhadap laju sedimentasi yang
terjadi di sepanjang segmen serta pengaruhnya terhadap sedimentasi di hilir
segmen.
Setelah didapat kecepatan, langkah selanjutnya adalah mencari nilai
bilangan Reynold untuk tiap titik yang ditinjau. Nilai Re mengindikasikan jenis
aliran. Untuk saluran terbuka :
1. Aliran dikatakan laminer jika Re < 2000
2. Aliran dikatakan turbulen jika Re ≥ 2000

Nilai Re didapat dengan persamaan (3) dari Bab II : Re = v.Dv


Keterangan :

Re = Reynold number v = viskositas (m2/s)

D = kedalaman karakteristik (m)


v = kecepatan rata-rata aliran (m/s)

Untuk penelitian ini, nilai Re untuk masing-masing titik adalah sebagai berikut:

ǿ Trata-rata = 30°C

ǿv = 0.89332 E-6 m2/s

Hasil tabulasi data Nilai Re penelitian :

Tabel IV.1 Rekapitulasi Data Debit Aliran

Hasil perhitungan menyebutkan nilai Re di hulu lebih kecil dibanding Re


di segmen, hal ini mengindikasikan bahwa terjadi peningkatan antara aliran di
hulu dengan aliran di segmen. Kondisi ini sesuai dengan prediksi awal yang
menyebutkan apabila terjadi kecepatan aliran maka akan berpengaruh kepada
peningkatan Nilai Re. Peningkatan Nilai Re mengindikasikan bahwa aliran yang
terjadi semakin turbulen. Pada Sub Bab selanjutnya akan dibahas pengaruh
peningkatan turbulensi terhadap kualitas fisik air sungai, terutama konsentrasi DO
dan TSS serta pengaruhnya terhadap kemamampuan sungai dalam melakukan self
purification.
Dari titik segmen aliran menuju titik hilir. Berdasarkan perhitungan terjadi
penurunan Nilai Re di hilir. Hal ini dipengaruhi oleh fenomena enlargement di
muka hilir. Konsekuensi dari enlargement adalah penurunan kecepatan yang
berindikasi pada berkurangnya turbulensi di titik enlargement tersebut. Titik
pertemuan antara akhir kontraksi dengan awal enlargement menunjukan
penurunan kecepatan yang cukup signifikan. Berdasarkan pengujian, kecepatan
dari arah segmen ± 0,58 m/s sedangkan kecepatan rata-rata di hilir ± 0,49 m/s,
maka terjadi penurunan kecepatan hingga 0,9 m/s. Penurunan kecepatan
berdampak pada berkurangnya kemampuan aliran dalam mengikat/membawa
partikel diskrit sehingga di hilir segmen laju sedimentasi akan lebih besar
dibanding lokasi lainnya. Hal ini akan ditandai dengan berkurangnya konsentrasi
TSS di titik hilir. Penjelasan lebih lanjut tentang hal ini akan dibahas pada sub bab
selanjutnya.
IV. 2 Konsentrasi Dissolve Oxygen (DO) Air Sungai

Kualitas fisik air sungai yang ditinjau pada penelitian ini adalah
konsentrasi Dissolve Oxygen (DO) pada saat t = 0, atau dikenal dengan OT0
(Oksigen terlarut saat t = 0). Konsentrasi DO menunjukan tingkat kesegaran air
dari lokasi yang diujikan. Pada penelitian ini yang menjadi objek kajian adalah
Sungai Sugutamu yang berlokasi di Perumahan Lembah Griya Depok, Kota
Depok. Data terkait pengujian DO untuk Sungai Sugutamu masih sangat minimal
dalam kuantitas, sementara untuk spesifik lokasi Perumahan Lembah Griya belum
ada sama sekali. Menurut Kota Depok tahun 2005, konsentrasi DO Sungai
Sugutamu berada pada rentang 2 – 4 mg/L. Dengan demikian kualitas air Sungai
Sugutamu berdasarkan parameter DO tergolong tercemar sedang (Lee at al, 1978).
Sumber pencemar sebagian besar berasal dari buangan rumah tangga (domestik)
maupun industri. Industri yang dijumpai di sepanjang aliran Sungai Sugutamu
cukup bervariatif dan berpotensi menambah beban pencemar ke dalam sungai.
Diantaranya adalah pabrik tahu, pabrik payung, industri mebel, dan lain-lain.
Dilihat dari variasi industri yang ada, limbah yang dihasilkan juga bervariatif.
Dengan demikian beban pencemar yang masuk ke dalam sungai juga akan
bervariasi.
Kandungan pencemar dalam air sungai akan berpengaruh pada kesegaran
air sungai. Kesegaran air ini ditandai dengan konsentrasi Oksigen terlarut (DO)
dari sungai tersebut. Konsentrasi DO dipengaruhi oleh interaksi parameter fisik,
kimia, dan biologi yang terkandung dalam air sungai (Eaton, Clescery,
Greenberg,ed., 1995). Faktor – faktor tersebut diantaranya adalah :

 Turbidity*  Fenol
 Debit*  Fecal Coli
 Temperatur*  TSS
 COD  TDS
 NO2-N  Fe
 NH4-N  Mn
 PO4  Cd
 Deterjen  Cr
 Minyak/Lemak  Ni
• Pb
• Zn
Keterangan :
* merupakan parameter fisik

Interaksi parameter – parameter tersebut dapat bernilai positif maupun


negative terhadap konsentrasi DO. Parameter yang bernilai positif akan
meningkatkan konsentrasi DO. Kelompok parameter yang berpengaruh positif
umumnya adalah zat yang bersifat toksik, baik yang terlarut maupun tidak
terlarut, yang dapat mengurangi, bahkan mencegah pertumbuhan bakteri.
Sehingga pada kondisi tersebut, proses biodegradasi organik oleh bakteri yang
menggunakan oksigen bisa terhambat. Parameter tersebut adalah zat toksik logam
berat, Minyak/Lemak dan Fenol. Kelompok parameter yang berpengaruh negatif
terhadap oksigen terlarut adalah parameter yang menghambat proses reaerasi dari
udara dan parameter yang menjadi pengguna oksigen untuk proses biodegradasi.
Parameter tersebut adalah CBOD (BOD dan sebagian COD), NBOD (NH3 dan
NO2) dan Bakteri. Parameter turbidity berpengaruh positif maupun negatif,
karena pada parameter ini selain terkandung partikel tersuspensi yang dapat
menghambat proses reaerasi, pada partikel tersuspensi tersebut terkandung juga
zat toksik misalnya logam berat yang dapat menghambat terjadinya proses
biodegradasi.
Pada penelitian ini hanya akan dilihat pengaruh parameter fisik dalam
proses aerasi, sementara fotosintesis tidak dikaji lebih lanjut. Karena pada
penelitian ini, fokus penelitian dititikberatkan pada pengaruh perubahan dimensi
penampang terhadap konsentrasi DO. Sementara kontribusi fotosintesis terhadap
konsentrasi DO dianggap sudah terakumulasi dengan mempertimbangkan faktor
temperatur.
Pengaruh parameter fisik dilatarbelakangi oleh fenomena kontraksi
penampang yang terjadi di lokasi penelitian. Perubahan dimensi penampang akan
berpengaruh pada perubahan struktur hidrolika saluran, terutama kecepatan.
Dengan mengasumsikan bahwa aliran bersifat steady, debit di tiap titik di
sepanjang saluran bernilai konstan. Akibatnya pada saluran yang memiliki lebar
penampang lebih kecil dari lebar penampang sebenarnya (penampang yang
mengalami kontraksi), kecepatan pada titik tersebut akan lebih besar dibanding
titik lainnya. Hal ini didasari oleh persamaan kontinuitas yakni :
Qhulu = Qsegmen
Ahulu . vhulu = Asegmen . vsegmen

Penambahan kecepatan menyebabkan aliran air pada titik tersebut akan


semakin turbulen. Fenomena turbulensi ini digambarkan dengan pergolakan air
yang lebih tidak stabil dibanding titik hulu. Akibat pergolakan tersebut terjadi
peningkatan temperatur di sekitar titik kontraksi. Peningkatan temperatur
berpengaruh pada nilai viskositas aliran. Secara teoritis, peningkatan turbulensi
aliran dapat digambarkan melalui bilangan Reynold. Semakin besar nilai bilangan
Reynold-nya, maka semakin turbulen aliran yang terjadi. Melalui pengujian
lapangan didapat nilai bilangan Reynold untuk tiap titik pengujian adalah sebagai
berikut :
Tabel IV.2 Data Hidrolika Lokasi Pengujian
Berdasarkan hasil pengujian di atas telah dapat dibuktikan bahwa
kontraksi penampang akan meningkatkan turbulensi aliran pada titik tersebut.
Dapat dilihat di atas bahwa pada titik hulu nilai Reynold-nya sebesar 196.833,9
sementara untuk titik kontraksi meningkat menjadi 240.708,5846.
Peningkatan turbulen akan berakibat pada meningkatnya turbidity/
kekeruhan air yang mengalir pada saluran tersebut. Berdasarkan teori, turbidity
berpengaruh positif terhadap konsentrasi DO. Oleh sebab itu, peningkatan
turbidity akan turut meningkatkan konsentrasi DO di titik tersebut. Selain
peningkatan turbidity, semakin turbulennya aliran akan meningkatkan temperatur
di titik tersebut. Temperatur juga bernilai positif terhadap konsentrasi DO, oleh
karenanya peningkatan temperatur akan turut meningkatkan konsentrasi DO di
titik pengujian.
Sebagai akibat dari peningkatan temperatur dan turbidity, pada titik
kontraksi akan terjadi proses aerasi. Dari proses ini, air menjadi tidak stabil.
Pergerakan air yang demikian akan menciptakan prses mixing antara udara bebas
dengan molekul air. Oksigen yang terkandung dalam udara bebas akhirnya
berdifusi dan berubah menjadi oksigen terlarut dalam air. Dengan demikian,
terjadilah peningkatan konsentrasi DO dibanding titik hulu akibat proses aerasi.
Prediksi terhadap peningkatan konsentrasi DO telah dibuktikan melalui pengujian
lapangan yang dilakukan pada aliran air Sungai Sugutamu di Perumahan Lembah
Griya Depok, Kota Depok. Berikut tabel yang menunjukan peningkatan
konsentrasi DO di lokasi pengujian :

Tabel IV.3 Data Pengujian Kualitas DO


Pengukuran Pendahuluan
Pengukuran Hari Pertama

Pengukuran Hari Kedua

Pengukuran Hari Ketiga


Berikut Tabel Rekapitulasi data keseluruhan :

Tabel IV.4 Rekapitulasi Data Pengujian DO

Dari data pengujian lapangan berikut, dicari parameter apa saja yang
mempengaruhi perubahan konsentrasi DO sungai. Untuk mendapatkan parameter
yang berpengaruh dilakukan pengujian secara statistik dengan menggunakan
program SPSS 13. Dengan program tersebut dapat diketahui parameter yang
saling berkorelasi satu sama lain sehingga dapat disimpulkan parameter mana
yang paling berpengaruh terhadap perubahan konsentrasi DO.
Dalam pengujian kali ini, parameter – parameter yang diujikan adalah :

1. Konsentrasi DO
2. Jarak Pengukuran
3. Waktu Pengukuran
4. Temperatur

Parameter – parameter tersebut kemudian dijadikan input data, dalam


pengujian ini terdapat 40 variasi input data yang didapat dari pengujian. Dengan
menggunakan analisis bi-variate didapat hasil seperti tabel berikut :

Tabel IV.5 Bi-Variate Correlations

Dari hasil pengujian dengan program SPSS 13 ini diketahui bahwa


temperatur memiliki pengaruh paling dominan terhadap perubahan konsentrasi
DO. Besar pengaruh yang diberikan adalah positif 50,8% dengan tingkat
kepercayaan 90%. Sementara itu waktu pengukuran berpengaruh positif 43,8%
terhadap perubahan DO dengan tingkat kepercayaan 90%. Sementara jarak
pengukuran tidak berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan DO namun
memberikan pengaruh negatif terhadap perubahan DO.
Selain berpengaruh terhadap DO, waktu pengukuran sangat dominan
mempengaruhi temperatur. Dapat dilihat pada tabel bahwa tingkat korelasi antara
temperatur dan waktu pengukuran mencapai 97,6%. Sebagai variabel yang
ditentukan, maka waktu pengukuran adalah parameter yang menentukan
perubahan konsentrasi DO. Dengan menentukan waktu pengukuran, maka akan
mempengaruhi temperatur, sedangkan temperatur akan mempengaruhi perubahan
konsentrasi DO.
Waktu pengukuran ditetapkan dengan rentang waktu satu jam. Dengan
demikian bila diasumsikan pengambilan sampel pada jam 08.00, maka dari jam
08.00 menuju jam 09.00 terjadi peningkatan suhu. Peningkatan suhu ini berasal
dari pemanasan dari sinar matahari. Dengan intensitas penyinaran yang semakin
lama, temperatur air sungai akan mengalami peningkatan. Peningkatan ini
mempengaruhi konsentrasi DO air sungai. Karena temperatur berpengaruh positif
terhadap konsentrasi DO, maka terjadilah peningkatan konsentrasi DO air sungai.
Sehingga konsentrasi DO pada jam 09.00 akan memberikan nilai yang lebih besar
disbanding pengukuran pada jam 08.00.

Dari grafik pengujian bagaimana rentang waktu pengukuran mempengaruhi konsentrasi


DO. Semakin siang waktu pengukuran, konsentrasi juga semakin meningkat.
Sehingga pada akhirnya diperoleh kesimpulan bahwa konsentrasi DO paling
rendah pada waktu pengukuran jam 08.00, kemudian diikuti dengan jam 09.00,
jam 10.00, jam 11.00, dan paling besar pada jam 12.00. Sementara itu, titik
pengukuran juga mempengaruhi besar konsentrasi DO. Pada titik hulu, yakni 0
meter dan 20 meter berada pada kisaran 2,56 – 2,76 mg/L. Konsentrasi ini
meningkat secara tajam pada titik kontraksi. Pada titik ini konsentrasi berada
pada level di atas 3 mg/L.
Parameter Temperatur disimpulkan sebagai parameter dominan penentu
perubahan konsentrasi DO. Oleh karena itu dapat ditentukan hubungan antara
Temperatur dan konsentrasi DO secara regresi. Persamaan tersebut didapat dari
data pengujian lapangan. Berdasarkan pengujian lapangan diketahui konsentrasi
DO berdasarkan waktu dan jarak pengukuran. Dari data tersebut ditentukan data

mana yang memiliki akurasi paling tinggi dilihat dari nilai R2-nya.
Berdasarkan grafik – grafik, diketahui bahwa data pada titik pengujian
50 meter dari base line memiliki tingkat akurasi paling besar dibanding data
lainnya, yakni 99,8%. Sehingga untuk menggambarkan korelasi antara
temperatur terhadap konsentrasi DO melalui persamaan akan digunakan data pada
titik tersebut.
Dari titik pengujian yang dimaksud (S = 50 meter → titik kontraksi),
diketahui data sebagai berikut :

Tabel IV.6 Data Pengujian DO pada S = 50 meter

Berdasarkan data tersebut dibuat grafik dengan ketentuan temperatur


sebagai axis dan konsentrasi DO sebagai ordinat. Dengan membuat batasan nilai
axis (parameter temperatur) yang berlaku yakni antara 28°C - 32°C maka
hubungan antara konsentrasi DO dengan temperatur dapat ditentukan secara
linear. Batasan nilai axis ini disesuaikan dengan temperatur berdasarkan pengukuran.
Dari hubungan tersebut didapat persamaan linear sebagai berikut:

Dimana: y = besar konsentrasi DO (mg/L)


x = besar temperature (°C)
a = faktor regresi
b = faktor kesalahan
Berikut adalah grafik yang menyatakan hubungan tersebut :
Berdasarkan grafik diatas, maka didapat persamaan linear yang menyatakan
pengaruh temperatur terhadap perubahan konsentrasi DO di suatu titik yang
mengalami kontraksi penampang adalah :

Dengan demikian, apabila diketahui temperatur di titik kontraksi sebagai x


°C dengan range temperatur adalah 28 - 32°C, maka dengan memasukan nilai x
ke dalam persamaan, akan didapat konsentrasi DO sebagai y mg/L.
Selain pembatasan pada temperature, persamaan ini tidak berlaku di
sepanjang segmen yang menyempit. Berdasrkan prinsip Parshall Flume, kontraksi
yang terjadi secara tiba-tiba dengan titik kontraksi yang jauh lebih kecil dibanding
keseluruhan panjang segmen yang menyempit. Dengan demikian, persamaan ini
hanya akan berlaku untuk terbatas hanya sepanjang peralihan antara hulu segmen
dengan segmen yang menyempit.
Adanya peningkatan konsentrasi ini telah membuktikan hipotesa yang
menyebutkan bahwa konsentrasi DO akan meningkat akibat adanya perubahan
dimensi penampang. Dengan parameter yang mempengaruhi antara lain
perubahan kecepatan, turbidity, dan temperatur sebagai parameter
fisik. Sementara itu, pada titik setelah titik kontraksi, kecepatan mulai
mendekati konstan, sehingga terjadi penurunan konsentrasi DO. Pada akhirnya,
saat aliran memasuki titik hilir dimana terjadi fenomena enlargement,
konsentrasi DO menurun seiring dengan penurunan kecepatan. Kendati
menurun, namun berdasarkan pengujian di lapangan, konsentrasi DO di titik hilir
masih lebih tinggi dibanding titik hulu, yakni berada pada kisaran 2,63 – 2,92
mg/L. Berikut adalah grafik yang menunjukan perubahan konsentrasi DO akibat
variasi jarak di lokasi pengujian :
Dengan demikian, maka secara umum telah terjadi perbaikan kualitas air
dimana tingkat kesegaran air di daerah hilir segmen kontraksi meningkat
dibanding kesegaran air di daerah hulu segmen kontraksi. Kendati range tingkat
kesegaran airnya masih berada pada kualifikasi pencemaran air yang sama (DO =
2 – 4 mg/L → tercemar sedang), namun peningkatan konsentrasi DO ini cukup
berpengaruh sebagai suplai oksigen yang digunakan oleh badan air dalam
melakukan self purification. Dengan adanya peningkatan oksigen yang terlarut
dalam air, semakin banyak senyawa kompleks yang terkandung dalam air yang
berinteraksi membentuk koloid dan pada akhirnya menurunkan tingkat
pencemaran. Salah satu interaksi yang terjadi misalnya :

Pada interkasi antara senyawa kompleks dan oksigen akan menghasilkan


karbon dioksida, molekul air, dan senyawa sederhana. Namun self purification
yang terjadi hanya mampu mengubah senyawa yang bersifat organik. Hal ini
terjadi karena dalam interkasi ini, mikroba menjadi pengurai senyawa kompleks.
Mikroba hanya mampu menguraikan senyawa yang bersifat organik dan berada
pada kondisi aerob. Sementara senyawa anorganik akan saling berikatan secara
kimiawi. Hasil dari interaksi senyawa organik dengan oksigen berupa senyawa
sederhana yang terkandung dalam aliran air. Kandungan senyawa sederhana ini
tidak dapat diuraikan lebih lanjut, namun untuk mengetahui konsentrasi senyawa
sederhana pada aliran air sungai dapat diketahui melalui pengujian Total
Suspended Solid (TSS).

IV. 3 Konsentrasi Total Suspended Solid (TSS) Air Sungai

Parameter kualitas air kedua yang diteliti pada penelitian ini adalah Total
Suspended Solid (TSS) atau kandungan padatan tersuspensi dalam air sungai.
Pengujian terhadap TSS dilakukan karena TSS dipengaruhi oleh perubahan
dimensi penampang dan juga dipengaruhi oleh konsentrasi DO dari aliran air
sungai yang diteliti.
Pengaruh perubahan dimensi penampang pada penelitian ini akibat adanya
kontraksi penampang di bagian S.Sugutamu. Dimensi penampang hulu yang lebih
lebar kemudian mengalami kontraksi menjadi 75% dari lebarnya dan berakhir
dengan dimensi yang sama akan berakibat pada berubahnya struktur hidrolika
penampang. Telah diketahui di atas bahwa perubahan dimensi penampang
berakibat pada meningkatnya kecepatan di titik kontraksi. Perubahan kecepatan
diikuti oleh semakin turbulennya aliran. Turbulensi aliran berindikasi pada
meningkatnya turbidity air sungai. Turbidity inilah yang merepresentasikan
adanya perubahan TSS di lokasi tersebut. Berdasarkan teori, semakin keruh air
sungai, maka konsentrasi TSS dalam air tersebut juga semakin besar. Sedangkan
semakin jernih air sungai, maka konsentrasi TSS juga semakin sedikit.
Kandungan dalam TSS diantaranya padatan yang berasal dari beban pencemar,
gerusan material pembentuk sungai, ataupun senyawa sederhana hasil interaksi
dalam self purification.
Pengujian TSS pada S.Sugutamu di Perumahan Lembah Griya Depok
menunjukan hasil sebagai berikut :
Tabel IV.7 Rekapitulasi Data Pengujian TSS
Berdasarkan pengujian, pada titik hulu konsentrasi TSS rata – rata sebesar
506,75 mg/L. Konsentrasi ini berasal dari aliran pada titik yang lebih hulu dari
lokasi tersebut dan diakumulasikan dengan beban pencemar yang berasal dari
buangan rumah tangga. Pada titik hulu pengujian, saluran berbatasan langsung
dengan rumah warga. Buangan limbah cair dari rumah tangga ini dialirkan
langsung ke badan sungai. Karakteristik limbah yang dihasilkan cenderung lebih
kental dibanding viskositas air sungai. Viskositas limbah cair ini dipengaruhi oleh
padatan yang terkandung di dalamnya. Oleh karenanya, saat limbah cair dialirkan
ke sungai dan bercampur dengan aliran air sungai, padatan yang terkandung
dalam air akan terakumulasi menjadi lebih besar dari sebelumnya.
Pada penelitian ini, kasus yang terjadi adalah aliran menemui titik yang
mengalami kontraksi penampang sehingga memiliki kecepatan yang lebih cepat
dibanding hulunya. Peningkatan kecepatan yang terjadi dari 0,48 m/s menjadi
0,58 m/s. Kecepatan di titik kontraksi mendekati 0,6 m/s dimana pada kecepatan
tersebut, aliran air mampu membawa partikel diskrit sehingga terjadi peningkatan
konsentrasi TSS. Terlebih lagi saluran ini terbentuk dengan material di dasar
saluran adalah tanah asli dan di sisi saluran adalah batu kali. Oleh karenanya
peningkatan TSS di titik kontraksi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yakni :
1. Akumulasi TSS dari daerah hulu belum berubah menjadi sedimen karena
jarak pengukuran hanya 50 meter.
2. Terjadi gerusan material pembentuk badan sungai di titik kontraksi akibat
peningkatan kecepatan.
3. Terjadi interaksi senyawa kompleks akibat peningkatan konsentrasi
oksigen terlarut di titik kontraksi. Peningkatan oksigen terlarut ini
dibuktikan berdasarkan pengukuran konsentrasi DO yang telah dilakukan
sebelumnya. Dengan tersedianya oksigen yang lebih banyak maka
senyawa kompleks yang berinteraksi juga lebih banyak. Akibatnya akan
terbentuk koloid berupa padatan dalam air dan menambah konsentrasi TSS
pada aliran tersebut.
Peningkatan konsentrasi TSS di titik kontraksi berdasarkan pengujian
ditunjukan dengan berubahnya konsentrasi TSS rata – rata menjadi 620,5 mg/L
dibanding konsentrasi awal rata – rata 506,75 mg/L.
TSS yang terkandung dalam aliran air sungai kemudian mengalir seiring
dengan aliran airnya menuju hilir. Berdasarkan data pengujian, pada titik hilir
terjadi penurunan konsentrasi TSS rata – rata menjadi 441,25 mg/L. Konsentrasi
ini lebih kecil dibanding titik kontraksi maupun titik hulu. Dibanding hulu terjadi
penurunan konsentrasi hingga 65,5 mg/L, sementara dibanding titik kontraksi
terjadi penurunan konsentrasi hingga 179,25 mg/L.
Penurunan konsentrasi TSS di titik hilir disebabkan terutama oleh
menurunnya kecepatan dibanding titik kontraksi dari 0,58 m/s menjadi 0,49 m/s.
Bila dibandingkan dengan kemampuan aliran mengangkut partikel diskrit yakni
pada v = 0,6 m/s, maka dengan kecepatan hanya 0,49 m/s padatan dalam ukuran
diskrit cenderung untuk mengendap dibanding terangkut aliran. Oleh karenanya
pada titik hilir, laju sedimentasi akan lebih besar dibanding titik lain di sepanjang
lokasi pengujian.
Selain itu, akibat adanya fenomena enlargement yang terjadi di titik akhir
kontraksi dan menjadi titik awal hilir segmen terjadi penyebaran aliran dari lokasi
yang lebih sempit ke lokasi yang lebih lebar.

Gb. IV.1 Penampang yang Mengalami Enlargement


Pada aliran yang demikian, air dari lokasi yang lebih sempit menyesuaikan
diri dengan kondisi enlargement tersebut. Aliran yang berada di tengah menyebar
ke samping dan aliran yang bergesekan dengan dinding penampang juga melebar
mengikuti bentuk penampang di depannya. Karena kecepatan menurun,
kemampuan mengangkut partikel juga menurun. Akibat kontur lokasi yang
menurun ke arah kanan, maka kecepatan air di sebelah kanan cenderung lebih
cepat dibanding sebelah kiri. Pengaruh dari kondisi geografis dan hidrolis yang
demikian mengakibatkan pada titik enlargement terjadi sedimentasi ke arah kiri
bidang penampang sungai. Berikut data pengujian lapangan tinggi muka air di
titik enlargement.

Gb. IV.2 Potongan Melintang & Tinggi Muka Air Titik Enlargement

Melalui gambar dapat dilihat bahwa tinggi muka air berbeda untuk tiap
titik pengukuran. Semakin ke kanan, kedalaman air semkin besar diukur dari
permukaan. Melalui pengujian dibuktikan bahwa laju sedimentasi yang terjadi
pada titik ini lebih besar dibanding titik – titik lainnya sepanjang lokasi pengujian.
Kondisi di lapangan bahkan menunjukan pada sisi kiri badan sungai terdapat
akumulasi sedimen seperti pada gambar berikut :
Gb. IV.3 Sedimentasi di Hilir Segmen

Pengaruh dari kondisi tersebut bagi sungai berakibat pada menurunnya


konsentrasi TSS dalam aliran. Apabila kecepatan di lokasi lebih hilir dari titik
enlargement ini lebih kecil dibanding titik hilir pengujian, maka konsentrasi TSS
akan semakin kecil dan laju sedimentasi akan lebih besar. Sedimen yang
terendapkan akan mengurangi kekeruhan air. Karenanya kekeruhan akan menurun
sehingga air yang mengalir dapat lebih jernih. Pada air yang lebih jernih,
kemungkinan memiliki kualitas yang lebih baik dibanding daerah hulu yang
memiliki kekeruhan lebih tinggi. Perbaikan kualitas ini dapat dilihat pada
parameter biologis dan kimiawi dari air sungai. Namun penelitian ini belum
mengarah pada pengujian tersebut sehingga perbaikan kualitas air di hilir segmen
baru bisa dilihat pada menurunnya konsentrasi TSS di hilir akibat meningkatnya
laju endapan.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V. 1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan dari pengaruh kontraksi penampang saluran


terhadap kualitas fisik air Sungai Sugutamu yang berlokasi di Perumahan Lembah
Griya Depok didapat kesimpulan sebagai berikut :
 Hasil pengukuran debit di lokasi menyatakan bahwa apabila pada suatu
segmen sungai mengalami kontraksi, maka pada titik kontraksi tersebut
akan mengalami peningkatan kecepatan dibanding titik hulunya,
kemudian akan menurun secara signifikan di titik hilir akibat terjadinya
enlargement. Pengaruh dari meningkatnya kecepatan, turut pula
meningkatkan turbulensi aliran dan berimplikasi terhadap peningkatan
turbidity aliran.
 Akibat perubahan struktur hidrolika, terjadi peningkatan konsentrasi
Dissolve Oxygen akibat proses aerasi dimana penambahan oksigen
berasal dari difusi oksigen dalam udara bebas yang berikatan dengan
molekul air.
 Hubungan antara konsentrasi DO dengan temperatur pada lokasi
penelitian direpresentasikan melalui persamaan linear y = 0,131x – 0.773.
Dimana y (variabel tidak bebas) merupakan konsentrasi DO, sedangkan x
(variabel bebas) merupakan temperatur. Persamaan ini berlaku pada
temperatur 28-32°C dan terbatas pada titik kontraksi.
 Peningkatan konsentrasi DO mengindikasikan jumlah oksigen terlarut
semakin bertambah dalam aliran air sungai yang mengalami kontraksi.
Peningkatan oksigen terlarut ini akan digunakan oleh badan air untuk
melakukan self purification. Akibatnya akan terjadi interaksi antara
senyawa kompleks dengan oksigen menghasilkan karbon dioksida,
molekul air, dan senyawa sederhana dalam bentuk padatan tersuspensi (TSS).
 Berdasarkan hasil pengukuran TSS diketahui bahwa kontraksi
penampang berpengaruh terhadap peningkatan TSS di titik tersebut. Hal ini
dipicu oleh peningkatan kecepatan sehingga aliran yang ada semakin
banyak mengangkut partikel diskrit. Namun dengan adanya penurunan
kecepatan di titik enlargement, maka partikel diskrit tersebut akan
mengendap membentuk sedimen di daerah hilir.
 Laju sedimentasi akan meningkatkan kecerahan air di daerah hilir.
Peningkatan kecerahan ini berdasarkan hasil pengukurun konsentrasi DO
yang menyatakan bahwa konsentrasi DO di titik hilir lebih besar dibanding
konsentrasi DO di titik hulu. Oleh karenanya dapat disimpulkan
bahwa kontraksi penampang mampu memperbaiki kualitas fisik air
sungai terutama untuk meningkatkan kecerahan air.
 Fenomena kontraksi penampang saluran dapat dilakukan sebagai upaya
perbaikan kualitas air sungai, terutama kualitas fisik seperti DO dan TSS.
Untuk dapat memaksimalkan potensi kontraksi penampang dalam perbaikan
kualitas air sungai perlu diperhatikan kecepatan aliran yang terjadi serta beban
pencemar yang masuk ke badan sungai.

V. 2 Saran

 Dalam menetapkan debit aliran dan kecepatan aliran secara teoritis, perlu
diperhatikan faktor material pembentuk badan sungai. Tingkat kekasaran
yang berbeda dari masing – masing material akan memberikan nilai
hambatan yang berbeda pula untuk masing – masing aliran yang terjadi.
Semakin kasar material yang digunakan, maka semakin banyak energi
yang hilang. Sehingga, semakin lambat pula aliran yang terjadi.
 Disarankan untuk melakukan pengujian pada lokasi yang memiliki
panjang segmen lebih besar atau lokasi dengan geometri yang
bervariatif misalnya cascade. Sehingga, dapat diteliti lebih lanjut
keefektifitasan kontraksi penampang dalam upaya perbaikan kualitas air
sungai. Namun, perlu diperhatikan pula debit aliran yang terjadi.
Diupayakan debit di setiap titik seragam, sehingga dapat diasumsikan tidak
terjadi penambahan beban pencemar yang mempengaruhi hasil pengujian.
 Perlu diperhatikan pula kecepatan aliran yang terjadi di segmen yang
mengalami kontraksi. Apabila pada segmen tersebut kecepatan v < 0,6 m/s,
perlu ditinjau sedimentasi yang terjadi di sepanjang segmen.

DAFTAR PUSTAKA
Anonimous. 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. No 82 Tahun 2001.
Tentang : Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
2001. 28 hal.
Chanson, Hubert. 2004. Environmental Hydrulics of Open Channel Flows.
Elsevier Butterworth –Heinemann : Burlington.
Chapra, Steven C. 1997. Surface Water - Quality Modelling. McGraw Hill : New
York.
Chow, V. T. 1959. Open-Channel Hydraulics. McGraw Hill, New York. Effendi,
H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Kanisius : Yogyakarta.
Irianto, E. W. 2002. Fenomena Hubungan Debit Air dan Kadar Zat Pencemar
dalam Air Sungai (Studi Kasus : Sub DPS Citarum Hulu). Bidang
Lingkungan Keairan LIPI : Jakarta.
Kharistya. 2006. Self Purification in Water Bodies. 1 hlm.
http://www.nalms.org/glossary/lkword_s.htm, 13 Desember 2007, pkl.12.43.
Monoarfa, Winarni. 2002. Dampak Pembangunan bagi Kualitas Air di Pesisir
Pantai Losari, Makassar. Sci&Tech, Vol. 3 No. 3 Desember 2002: 37-44
Mujiono, M. 2004. Model Prediksi Penyebaran Suspended Solid untuk
Mengetahui Sebagian Tingkat Kekeruhan pada Kanal Tarum Barat. Tesis
S2. Departemen Sipil FT UI, Depok: x + 77 hlm.
Nasution, I. R. 2005. Aliran Seragam pada Saluran Terbuka Teori dan
Penyelesaian Soal. e-USU repository. Jurusan Sipil FT USU : Medan.
Potter, Merley C & Wiggert David C. 1997. Mechanics of Fluids. Prentice-Hall
International Inc. New Jersey.
Purcell, Patrick J. 2003. Design of Water Resources System. Thomash Telford,
London.
Salmin. 2005. Oksigen Terlarut dan Kebutuhan Oksigen Biologi sebagai Salah
Satu Indikator untuk Menentukan Kualitas Perairan. Oseana, Volume
XXX, Nomor 3, 2005 : 21 – 26.

Anda mungkin juga menyukai