S3 Studi Fenomenologi Tentang Pola Pembentukan Profesionalisme Tni Muhadjir
S3 Studi Fenomenologi Tentang Pola Pembentukan Profesionalisme Tni Muhadjir
S3 Studi Fenomenologi Tentang Pola Pembentukan Profesionalisme Tni Muhadjir
POLA PEMBENTUKAN PROFESIONALISME
TENTARA NASIONAL INDONESIA
(Berdasar Pengalaman Pendidikan, Pelatihan dan
Penugasan pada Perwira Menengah TNI AD Daerah
Garnizun Malang)
Peneliti:
Dr. Muhadjir Effendy, M.Si.
Laporan Penelitian Mandiri
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
LEMBAGA PENELITIAN
Agustus 2009
1
ABSTRAK
2
Implikasi teoritik penelitian ini antara lain menguatkan sekaligus juga
memberi koreksi atas thesis Samuel P. Huntington yang sering disebut sebagai
pandangan Profesionalisme Klasik (Old Professionalism) mengenai
profesionalisme militer, serta menguatkan sekaligus memberi koreksi atas thesis
Profesionaisme Baru (New Professionalism) mengenai profesionalisme militer
yang dikemukakan oleh ilmuwanilmuwan nonHuntingtonian.
Kata kunci: Fenomenologi, Militer, Profesionalisme.
ABSTRACT
3
troops’ base, education institutions, or territorial. In this case, research subjects
played as social actors participating in creating military social structure. In the
fieldwork, significant other was replaced by significant other(s), namely other
figure other than oneself, whether from military family or not.
(2) The construction of understanding TNI professionalism consisted of
two levels. First, reflective understanding on the social reality of “micro military”,
which meant the reality created especially by the TNI elites itself. It led to the
shaping of selfconcept. Second, the reflective understanding on the social reality
of “micromacro” was not only created by TNI elites but also other social actors,
which led to the expression on various problems on TNI’s body.
(3) Values on which construction of understanding were based were from
the idea of “ksatriya” coming from the tradition of Javanese Mataram Imperial
soldiers. Therefore, the professional TNI was specifically labeled as “Tentara
Profesional Ksatriya” (Professional and Noble Army).
The theoretical implication of this research both strengthened and revised
the Samuel P. Huntington’s study on old professionalism, focusing on military
professionalism. In addition, this research also strengthened and revised the thesis
on new professionalism, focusing on military professionalism proposed by the
nonHuntingtonian schoolars.
Key terms: Phenomenology, military, professionalism.
4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tatkala terjadi gelombang reformasi tahun 19971998, Institusi Tentara
Nasional Indonesia (TNI) yang waktu itu masih bernama Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ABRI) telah menjadi salah satu target utama. Gerakan
reformasi ini mencapai klimaksnya ditandai dengan turunnya Jenderal Besar
(Purn.) Soeharto dari kursi kepresidenan, 21 Mei 1998.
Ada anggapan sangat kuat kala itu bahwa, ”membenahi profesionalisme
militer Indonesia”, adalah kalimat kunci dalam mereformasi TNI. Dengan
profesionalisme, ABRI yang kemudian berganti nama menjadi TNI (Tentara
Nasional Indonesia) ini akan dapat terhindar dari godaan perilaku menyimpang,
sebagaimana yang telah dipertontonkannya selama pemerintahan Orde Baru.
Beberapa konsep dan gagasan pun diolah dan disodorkan oleh TNI sebagai
respon terhadap tuntutan reformasi itu. Tarik ulur antar berbagai pihak pun terjadi.
Tahap demi tahap pun dilewati. Hingga akhinya lahir Undangundang Republik
Indonesia nomer 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
Di dalam Undangundang tersebut, khususnya Bab II Pasal 2, disebutkan
bahwa Jati Diri TNI itu mencakup empat karakter yaitu sebagai: ”Tentara Rakyat,
Tentara Pejuang, Tentara Nasional dan Tentara Profesional”. Adapun mengenai
Tentara Profesional dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:
”Tentara Profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara
baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta
mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi
sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional
yang telah diratifikasi” 1 .
Secara semantik, ada yang tidak lazim dalam rumusan tersebut. Yaitu
penggunaan katakata negatif: ”tidak berpolitik praktis” dan ”tidak berbisnis”.
Terlepas dari adanya ketidaklaziman, rumusan itu dapat dimaknai betapa dua
domain itu telah menjadi persoalan sangat serius dalam kaitannya dengan masalah
reformasi dan profesionalime TNI.
1
Undangundang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004, tentang Tentara Nasional Indonesia,
butir d, pasal 2, Bab II.
5
Senarnya tuntutan agar TNI menjadi tentara profesional sudah muncul
sejak saat awal pembentukannya. Dari dalam TNI, ada dua elemen utama dari tiga
elemen embrional TNI yang mendukung profesionalisme TNI. Yaitu para perwira
eks PETA (Pembela Tanah Air) dan para perwira eks KNIL (Koninklijk
Nederlandshe Indishe LegerTentara Kerajaan Hindia Belanda). Sedang elemen
ketiga yang kurang menyambut gagasan profesionalisme TNI adalah elemen
satuansatuan gerilya yang terdiri dari para gerombolan dan lasykar 2 .
Para eks perwira bekas PETA 3 mulai mewarnai pembentukan institusi
militer ketika mereka bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR) pada 22
Agustus 1945. Kemudian dirubah menjadi Tentara Kemanan Rakyat (TKR) pada
5 Oktober 1945. Saat itu para perwira eks serdadu KNIL (Koninklijk
Nederlandshe Indishe Leger Tentara Kerajaan Hindia Belanda) 4 bergabung.
Prosesproses yang berlangsung saat itu secara tidak langsung telah
menyingkirkan elemen satuansatuan gerilya dalam tubuh Tentara Nasional
Indonesia 5 .
Sekalipun dua elemen dari tiga elemen utama embrio TNI, yaitu eks PETA
dan eks KNIL sepakat untuk membawa TNI ke arah militer yang profesional,
namun mereka berangkat dari konsep dan orientasi profesionalisme militer yang
berbeda.
Perbedaan orientasi eks perwira PETA versus eks perwira KNIL ini pada
berikutnya secara dialektik mewarnai proses perkembangan sejarah militer
Indonesia modern. Masingmasing pihak saling bersaing untuk mewariskan nilai
nilai yang diyakini kepada perwira generasi selanjutnya. Salah satu contoh adalah
2
C. van Dijk, Darul Islam, Jakarta: Grafiti Pers, 1983, hal. xxxxi, juga lihat Ulf Sundhaussen,
The Road to Power, Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1982, hal. 4.
Mengenai pertentangan antara tentara Republik Indonesia dengan lasykar Hizbullah sebagai akibat
perjanjian Renvile, 1948, lihat Van Dijk, hal. 910; juga hal. 6165.
3
PETA, didirikan 3 Oktober 1943. Organisasi sejenis dibentuk juga di Sumatera disebut Gyugum
(lihat Peter Britton, Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1996, hal.
3739; Sundhaussen, hal. 6).
4
KNIL, tentara yang dibentuk tahun 1830 dibubarkan tahun 1950 di Semarang. Sesuai hasil
konferensi “Meja Bundar” di Denhaag akhirnya personelnya dilebur kedalam TNI. KNIL
diabdikan untuk kepentingan kerajaan Hindia Belanda. (Penjelasan lebih jauh lihat: Ulf
Sundhaussen, hal. 1 dan 7, juga Ken Conboy, KOPASSUS Inside Indonesia Special Forces,
Singapore: Equinox, 2003, hal. 45; lihat juga Nasution, Ideologi TNI, Yogyakarta: Jurnal Media
Inovasi, 1995, hal 39).
5
Mengenai reorganisasi dan demobilisasi satuansatuan gerilya oleh pucuk pimpinan TNI lihat
Van Dijk, hal. 98101.
6
”Peristiwa 17 Oktober 1952”, menurut penuturan Kol. Zulkifli Lubis peristiwa
tersebut terutama dilatarbelakangi oleh konflik dan persaingan antara dua elemen
utama TNI ini. Yaitu bermula dari prokontra masalah bantuan pelatihan dari
pemerintah kerajaan Belanda (Nederlansche Militaire Ahlissie – NMA) untuk
meningkatkan profesionalisme TNI yang ditentang oleh kelompok perwira eks
PETA 6 . Adanya konflik antara eks PETA versus eks KNIL, juga dikuatkan oleh
Letnan Jenderal (Purn.) TNI Sayidiman Soeryohadiprodjo dalam sebuah
otobiografinya 7 .
Di samping dua orientasi di atas, sebetulnya ada orientasi profesionalisme
lain yang gagal berkembang, yaitu profesionalisme militer yang berpandangan
bahwa militer itu harus berada di bawah kontrol partai sebagaimana terjadi di
negaranegara Blok Timur (pada era Komunis). Orientasi ini pernah dicobakan
pada era kabinet parlementer pertama di bawah perdana menteri Sutan Syahrir,
segera setelah Syahrir mengambil alih kabinet Presidential dari tangan Presiden
Soekarno.
Perdana Menteri Syahrir mengangkat Amir Syarifuddin sebagai Menteri
Keamanan. Pada saat itulah Amir Syarifuddin yang condong kepada komunis
membentuk lembaga Pendidikan Politik Tentara (Pepolit) di tiaptiap kesatuan
dan tingkatan, guna memberi indoktrinasi ideologi para prajurit. Pejabat yang
didudukkan dalam Pepolit ini adalah dari kalangan para politisi terutama yang
sehaluan dengannya yaitu dari kalangan komunis 8 . Di samping itu juga
membangun satuan gerilya Pesindo 9 (Pemuda Sosialis Indonesia) yang kelak
menjadi pasukan inti dalam pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI)
Madiun, 10 September 1948.
Sekalipun gagasan dan semangat untuk menjadikan TNI sebagai militer
profesional sudah muncul sejak awal berdirinya, namun bagaimanapun tidak bisa
6
RZ. Leirissa, PRRI Permesta, Jakarta: Grafiti Pers, 1994, hal. 2728.
7
Sayidiman, Mengabdi Negara Sebagai Prajurit TN1, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997, hal.
3940.
8
Hendri Supriyatmono, Nasution, Dwifungsi dan Konstribusi Kearah Reformasi Politik,
Surakarta: Univ. Sebelas Maret Press, 1994, hal. 17.
9
Pesindo adalah salah satu badan perjuangan bersifat ideologis yang cukup besar dan
berpengaruh. Organisasi ini dilahirkan dalam Kongres Pemuda 10 November 1945 di Yogyakarta.
Pertengahan Desember 1945, Pesindo menyusun program yang radikal, antara lain menuntut
terciptanya tentara yang berideologi kerakyatan, dan menghapus “cara” militer yang mungkin
memisahkan tentara dari rakyat (Sejarah TNI Jilid I, 19451949, Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi
TNI, 2000, hal.16).
7
dipungkiri bahwa kejatuhan Presiden Soeharto serta tekanan yang sangat kuat dari
kaum reformis adalah menjadi pemicu utama terjadinya reformasi militer
Indonesia, khususnya terkait dengan kesadaran untuk menata kembali
profesionalismenya.
Momentum reformasi telah mendorong dan memberi kesempatan kepada
masyarakat untuk menyuarakan secara lebih keras kesalahankesalahan TNI di
masa lalu. Belum pernah dalam sejarah organisasi ini memperoleh kritikan
sedemikian keras, bertubitubi dan berani. Daftar panjang yang berisi kesalahan
kesalahan dipublikasikan secara luas. Tuntutan reformasi terhadapnya pun
semakin terfokus pada dua hal yaitu menegakkan otoritas sipil atas TNI, dan
menciptakan profesionalisme TNI 10 . Doktrin Dwifungsi, sebagai pengabsah
peran TNI sebagai kekuatan sosial politik di samping sebagai kekuatan
pertahanan pun dipersoalkan. Pertama, ada yang menuntut agar Dwifungsi
dihapuskan; kedua, tidak ditinggalkan tapi direvisi; ketiga, cukup disesuaikan
saja. Bagi sebagian yang menghendaki Dwifungsi ditinggalkan ada yang
menuntut ditinggalkan saat itu juga, ada pula yang mengusulkan agar
dilaksanakan secara bertahap 11 .
Namun arus pandangan umum yang paling kuat di masyarakat adalah
bahwa penghapusan Dwifungsi hendaknya dilakukan secara bertahap. Hal ini
didasarkan pada pengalaman sejarah, faktor empiris, dan realitas politik. Dalam
sejarahnya, Dwifungsi muncul adalah sebagai alternatif utama pengganti
paradigma Orde Lama, bukan demokrasi atau demokratisasi. Justru kala itu, partai
politik sebagai pilar utama demokrasi dihujat lantaran dianggap sebagai biang
keladi ketidakstabilan politik, terlalu mendewadewakan politik dan mengabaikan
pembangunan ekonomi. Dengan demikian, kala itu yang hendak dikembangkan
ialah suatu stabilitas politik demi memperlaju proses pembangunan. Di sini,
10
Untuk lebih jelasnya lihat T.A. Legowo, Menyelamatkan TNI, Mengembangkan
Profesionalisme, dalam Military Without Militarism, Suara Dari Daerah (Jakarta: Puslitbang
Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI, 2001), hal. 291322.
11
Dalam suatu survei yang dilakukan oleh Cesda (Center for the Study of Development and
Democracy) dan LP3ES pada Agustus 1998 ditemukan bahwa 74,3% dari total responden (1.000
orang) menghendaki agar ABRI hanya berperan dalam mempertahankan negara. Hanya 3,8%
responden yang menilai ABRI berpihak kepada rakyat, sementara 56,1% melihat ABRI lebih
berpihak kepada penguasa. Data juga menunjukkan, semakin jauh dari Jakarta, rakyat semakin
kurang percaya terhadap fungsi ABRI sebagai pelindung rakyat, misalnya 72,0% di Medan
dibanding dengan 42,5% di Jakarta.
8
Dwifungsi justru dianggap sebagai ’obat mujarab’ untuk mengatasi persoalan
utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan alasan sudah jenuh
terhadap konflik ideologis yang tidak berkesudahan dan kegagalan politisi sipil
membangun pemerintahan yang stabil, masyarakat menerima tanpa reserve
dominasi militer dalam pemerintahan negara lewat Dwifungsi tersebut.
Kelompok moderat ini mempertimbangkan aspek kesejarahan di
Indonesia, dimana militer lahir dari rakyat yang secara bersamasama
melakukan gerilya, merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Itu pulalah yang
mendasari memori segenap unsur Angkatan '45 atas motto ”ABRI adalah tentara
yang berasal dari rakyat dan untuk rakyat". Atas dasar alasan kesejarahan itu
pulalah, golongan militer yang merasa telah mengucurkan keringat dan darah
bagi kemerdekaan bangsa ini, dikemudian hari merasa mempunyai hak yang lebih
daripada golongan lain di masyarakat. Salah satu hak yang mereka merasa miliki
adalah hak untuk ikut bertanggung jawab (baca: terlibat), bahkan menentukan,
dalam segenap aspek kehidupan sosial dan politik.
Masa transisi menurut kelompok moderat adalah saat untuk melakukan
perbaikanperbaikan sistem politik. Kehadiran militer di masa transisi masih
dibutuhkan, terutama untuk mengamankan negara dari kemungkinan
perpecahan. Di lain pihak TNI diharapkan bisa melakukan penyesuaian
penyesuaian di tengah transisi, konsolidasi, dan institusionalisasi demokrasi.
Sehingga proyekproyek transformasi sipil akhirnya didukung oleh militer,
termasuk bagaimana membangun kontrol sipil atas militer.
Sementara arus keras penuntut dilaksanakannya reposisi TNI terutama
datang dari kalangan kritis di masyarakat, aktivis, maupun kelompok pro
demokrasi dan mahasiswa 12 . Pada intinya mereka menuntut segera
dikembalikannya TNI kepada fungsi utamanya yaitu fungsi pertahanan. Para
pengecam keras TNI sebagian adalah berasal dari penyandang trauma historis
12
Kelompok yang mewakili garis paling radikal dari gerakangerakan mahasiswa adalah Forum
Kota (Forkot), Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), dan Persatuan Rakyat
Demokrarik (PRD). Yang terakhir, bahkan belakangan menjelma menjadi sebuah partai den gan
nama Part ai Rakyat Demokratik. Dalam kampanyekampanyenya menjelang Pemilu 1999,
PRD dengan tegas menolak kompromi dengan gagasan Dwifungsi ABRI. Dalam salah satu
pasal dari selebaran ”10 Musuh Bersama dan Cara Melawannya”, ialah ABRI/TNI yang masih
mempertahankan Dwifungsi ABRI. (Lihat: Sukardi Rinakit, ibid, hal. 6970).
9
atas pelbagai penyelewengan yang dilakukan oleh TNI. Melalui peran gandanya,
TNI dianggap telah banyak melakuan pelanggaran terhadap hak asasi manusia 13 .
Seranganserangan yang ditujukan kepada institusi TNI sebagaimana telah
dipaparkan di atas kemudian mendapatkan sejumlah respons. Salah satunya
respons terpenting adalah seminar tentang "Peran ABRI Abad XXI" yang
diselenggarakan di Sesko ABRl Bandung pada 2224 September 1998. Sikap
TNI yang akomodatif dan kesediaan menampung setiap kritik yang masuk, seraya
berupaya merekonstruksi posisi dan peran TNI di masa mendatang, menjadi
kesan awal yang sangat positif. Meskipun di satu sisi dalam beberapa kesempatan
pimpinan TNI waktu itu masih menunjukkan sikap defensif terhadap berbagai tuntutan
dan kritikan yang terus berkembang. Bahkan besarnya gelombang kritik ini justru
sering dicurigai 14 .
Pada saat penelitian ini mulai dilaksanakan, yaitu pada awal tahun
2000an, setelah euforia reformasi mereda, tatkala berbagai pihak mulai bisa
melihat permasalahan TNI dengan kesadaran penuh dan jernih, agaknya telah
terjadi pula perubahan yang signifikan di dalam diri para elit (perwira menengah)
TNI. Termasuk dalam memaknai profesinya. Hal tersebut secara hipotetis dapat
dijelaskan: pertama karena adanya perbedaan jarak waktu yang cukup jauh para
perwira tersebut dengan perwiraperwira seniornya, yaitu perwira angkatan 1945.
Kedua, adanya realitas eksternalobyektif yang berubah membuat kesadaran
subyektifnya juga mengalami perubahan. Dengan demikian kesadaran
profesionalisme militer TNI saat ini –pasca reformasi diperkirakan memiliki
kelainan dibandingkan dengan pemahaman profesionalisme militer oleh
perwiraperwira pendahulunya, khususnya perwira angkatan 1945 dan pasca
angkatan 1945; dan atas dasar latar belakang masalah tersebut lah maka penelitian
ini dilakukan.
B. Tujuan Penelitian dan Rumusan Masalah
13
Ikrar Nusa Bhakti et al., ibid, hal. 115116.
14
Menhankam/ Pangab Jenderal TNI Wiranto waktu itu mempertanyakan, benarkah wajah
ABRI sudah begitu jelek, bengis, sehingga layak menerima berbagai tudingan kasar. Menurut
Wiranto, yang dilakukan pihak ABRI di masamasa lalu itu mestinya tidak dilihat dengan konteks
sekarang. Alasannya, semua yang terjadi itu berawal dari penugasan negara untuk menjaga
keselamatan dan integritas bangsa. Itu karena kondisinya keras dan membutuhkan tindakan cepat sebab
bisabisa pihaknya sendiri yang menjadi korban. "Banyak prajurit jadi korban mati atau cacat. Banyak
istri tentara jadi janda dan anakanaknya jadi yatim karena kehilangan bapaknya”, tukasnya.
10
Adapun tujuan utama dari penelitian ini adalah: “Untuk
mengkonstruksikan pemahaman serta makna (meaning) 15 tentang
profesionalisme prajurit TNI oleh elit Tentara Nasional Indonesia Angkatan
Darat (TNIAD)”.
Untuk agar sampai pada tujuan penelitian tersebut di atas, masalah yang akan
dicari jawabannya dalam penelitian ini dirumuskan dalam tiga pertanyaan
penelitian, yaitu:
1. Fenomenfenomen apa sajakah yang mensiratkan bahwa dibaliknya ada
makna profesionalisme yang bersumber dari alam kesadaran subyek
penelitian?
2. Seperti apakah pola pembentukan profesionalisme prajurit TNI
sebagaimana yang dipahami oleh subyek penelitian?
3. Apakah nilainilai yang mendasari atau yang ada di baliknya sehingga
muncul pemahaman tersebut?
C. Konstribusi Teoritis
Di dalam peta Ilmuilmu sosial, studi ini termasuk dalam bidang Sosiologi
yang secara lebih spesifik menfokuskan pada bidang Sosiologi Pendidikan
(sociology of education) dan Sosiologi Militer (sociology of the military).
Penelitian ini dapat memperkuat tugas profesional peneliti sebagai dosen,
khususnya dalam mengampu mata kuliah Kajian Problematika Sosial di Jurusan
Pendidikan Luar Sekolah FIP Universitas Negeri Malang, dan mata kuliah Militer
dan Politik , pada jurusan Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah
Malang.
Kendatipun begitu penelitian ini dapat disebut bersifat interdisipliner.
Karena untuk kepentingan penelitian ini, peneliti telah menggunakan beberapa
pendekatan dari disiplin ilmu sosial yang lain yaitu ilmu politik, sejarah,
antropologi dan psikologi.
15
Meaning, atau meaningful social action. Dimaksudkan di sini adalah konsep kerangka kerja
Max Weber yang membedakannya dengan tingkah laku (behavior) yang hanya bersifat gerakan
pisik semata, dimana si ’aktor’ tidak mengaitkannya dengan suatu arti tertentu (misalnya mata
berkedip). Tindakan sosial bermakna (meaningful sosial action) sebaliknya adalah tindakan yang
diarahkan atau terarah kepada sesuatu obyek. (Baca lebih lanjut: Gordon Marshal Ed.., Oxford
Dictionary of Sociology, New York: Oxford University Press, 1998, hal. 404).
11
Khusus dalam sosiologi militer, penelitian ini memiliki peluang untuk
menyempurnakan atau melengkapi teori yang pernah dikemukakan oleh teoritisi
teoritisi di bidang kajian militer (Military Studies), khususnya mengenai
pemikiran dan konsepsi tentang profesionalisme militer. Perlu sedikit disinggung
di sini bahwa perdebatan konsep dan teori mengenai profesionalisme militer
sudah cukup intensif terjadi. Secara kasar peta perdebatan adalah merentang dari
satu kutub –apa yang disebut—profesionalisme lama (old professionalism)
dengan profesionalisme baru (new professionalism) di kutup yang keduanya akan
dikupas lebih lanjut di bagian ”tinjauan teoritik” dalam laporan penelitian ini.
12
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Pengertian Profesionalisme
Di dalam Webster Dictionary, kata profession adalah berasal dari kata
profess. Dari bahasa Yunani berarti “ikrar”. Kata Profes berarti “pengikrar laki
laki”, professe “pengikrar perempuan”, Professed berarti “Rahib” atau
“Biarawati” yang sudah mengucapkan kaul.
Selanjutnya dari kata profess timbul kata bentukan, profession yang di
dalam bahasa Latin Professio, yang memiliki beberapa arti, antara lain:
1. An occupation, not purely commercial, to which one devotes oneself. (Suatu
pekerjaan yang tidak murni komersial, di mana seseorang mencurahkan seluruh
dirinya).
2. A calling in which one profess to have acquired some special knowledge used
by way either of instructing, guidening, or advising others of serving them in
some art; as profession of arms, profession of teaching, profession of chemist.
(Suatu panggilan dalam mana seseorang berikrar untuk menguasai pengetahuan
pengetahuan khusus melalui pelatihan, pembimbingan, atau kepenasehatan yang
ia abdikan bagi orang lain dalam beberapa bidang kiat; misalnya profesi militer,
profesi guru, profesi ahli kimia dlsb).
Kata bentukan berikutnya adalah Professionalism antara lain berarti:
1. Conduct, aims, qualities, etc. characteristic of, peculiar to, a profession or
professional man (tingkah laku, tujuan, sifatsifat; karakteristik mengenai
keistimewaan suatu profesi; atau manusia professional).
2. The characteristics, standards or methods of professionals (karakteristik,
standar atau metode professional).
Dari beberapa pengertian tersebut di atas, berikut ini penulis mengajukan rumusan
pengertian istilah profesionalisme:
“Profesionalisme adalah standar yang dikenakan terhadap suatu pekerjaan yang
dilakukan dengan lebih dilandasi oleh keyakinan akan adanya nilainilai
kebenaran, kehormatan, kecintaan dan keterpanggilan di dalam pekerjaan itu;
baik dalam hal menguasai keahlian yang diperlukan maupun pelayanan atas nama
pekerjaan itu kepada orang lain, dari pada sekedar, atau sematamata untuk
memperoleh bayaran”.
13
Di antara para ahli, Samuel P. Huntington mengajukan tiga prasyarat
profesionalisme yaitu: adanya keahlian (expertise), tanggung jawab sosial (social
responsibility), dan adanya organisasi kesejawatan yang mengikat
16
(corporateness) . Morris Janowitz sebagaimana dikutip oleh Segal dan
Schwartz 17 , mengajukan empat sifat yaitu: “Sebagai suatu keahlian yang sangat
spesifik yang diperoleh melalui latihan yang intensif, adanya standar etika dan
kinerja, adanya rasa identitas kelompok, dan adanya sistem administrasi internal”
(special skill acquired through intensive training, standards of ethics and
performance, a sense of group identity, system of internal administration).
Berdasarkan pengertian istilah serta pendapat Huntington dan Janowitz
tersebut di atas menunjukkan bahwa adanya keahlian yang spesifik adalah bukan
satusatunya kriteria yang harus dimiliki oleh seorang profesional. Memang
kriteria itu mutlak karena berkenaan dengan “bagaimana” pekerjaan itu
dilaksanakan, namun ada kriteria yang tidak kalah penting adalah bahwa seorang
profesional harus memiliki tanggung jawab sosial, memiliki standar etika dan
kinerja yang secara aksiologis sebagai ramburambu yang memberi batas dan arah
mengenai “untuk apa” pekerjaan itu dilaksanakan, dan bilamana pekerjaan itu
harus, boleh, atau tidak boleh dilakukan.
B. Profesionalisme Militer
1. Perwira sebagai Prajurit Profesional
Beberapa ahli militer berpendapat bahwa hanya para prajurit yang
memiliki kualifikasi perwira (Comisioned Officer) saja yang bisa disebut militer
profesional. Sedangkan para prajurit yang berada pada tingkatan yang lebih
rendah –yaitu bintara dan tamtama—adalah bukan kelompok profesional militer
melainkan adalah kelompok vokasional atau petrampil militer.“The modern
officer corps is a professional body and the modern military officer is a
professional man” (Korps perwira modern adalah merupakan suatu badan
professional, dan perwira militer modern itu adalah seorang profesional) 18 . Amos
16
Huntington, The Soldier and The State: The Theory and Politics of CivilMilitary Relations, The
Belknap Press of Harvard University Press, 1956, hal. 8.
17
Lihat: Segal, David R. and Janet S. Schawart, 1981, Professional Autonomy of Military in the
United States and the Soviet Union, www.airpower.maxwell.af.mi
18
Huntington, The Soldier and The State, hal. 1.
14
Perlmutter menyebutnya sebagai “Dasar pembentukan profesionalisme militer” 19 .
Dalam penjelasannya lebih lanjut, Perlmutter menyatakan bahwa landasan
profesionalisme militer itu bertumpu pada dua pilar yaitu profesionalisme personil
dan profesionalisme korps. Profesionalisme personil meliputi: keahlian, tanggung
jawab dan kesetiaan pada korps, yang didukung adanya sifat ulet, tekun, tegar,
patuh, tulus, disiplin dan mencintai pekerjaannya. Sedangkan profesionalisme
korps: meliputi adanya spesialisasi fungsi dan peran yang didukung oleh adanya
satu sumber otoritas kekuasaan yang berasal dari masyarakat yang ada di dalam
suatu negara (nation state) yang demokratis.
Hubungan antara profesionalisme personel dan profesionalisme korps
militer bersifat koheren dan saling mempengaruhi. Personel yang profesional akan
membuat korpsnya menjadi lebih profesional dalam menjalankan perannya,
demikian juga sebaliknya korps yang profesional akan meningkatkan
profesionalisme personilnya.
Pergeseran makna profesional terjadi ketika makna istilah itu disamakan
dengan bekerja untuk mendapat bayaran. Konsekuensinya, para tamtama pun juga
disebut prajurit profesional. Dengan demikian kata “prajurit profesional” telah
mengaburkan perbedaan antara karir tamtama profesional dalam arti seseorang
yang bekerja di birokrasi militer dengan mendapatkan bayaran, dengan karir
perwira profesional yang mengejar sebuah kehormatan dan “panggilan jiwa”
dalam melayani masyarakat 20 . Dalam hal tersebut, Huntington menegaskan, para
tamtama adalah merupakan bagian dari birokrasi ”organisasi” militer tetapi bukan
merupakan bagian dari birokrasi ”profesi” militer. Tamtama relatif tidak memiliki
keahlian dalam arti kompetensi intelektual dan juga tidak memiliki tanggung
jawab profesional sebagaimana perwira. Tamtama adalah para juru terampil
dalam penerapan kekerasan bersenjata tetapi bukan manajer kekerasan itu sendiri.
Jadi korps perwira dan para perwira lah yang lebih memenuhi kriteria
profesional. Sekalipun dalam prakteknya tidak ada satupun pekerjaan yang
memiliki semua sifat profesional. Termasuk perwira. Namun menurut Huntington,
justru keperwiraan (officership)lah yang lebih mendekati kriteria ideal
dibandingkan dengan profesiprofesi lainnya. Menurut Huntington, dalam
19
Amos Perlmutter, Militer dan Politik, Jakarta: Rajawali Press, 2000, hal. 2931.
20
Huntington, The Soldier and The State, hal. 34.
15
praktek, keperwiraan akan menjadi kuat dan sangat efektif jika lebih memenuhi
sifat profesional yang ideal; sebaliknya keperwiraan menjadi lemah dan tidak
efektif jika semakin menjauhi sifatsifat profesional yang ideal itu 21 .
2. Keahlian Perwira Militer
Profesi militer memiliki begitu banyak spesialisasi, termasuk spesialisasi
yang sama atau mirip dengan yang dimiliki oleh profesiprofesi sipil. Misalnya di
dunia militer juga terdapat pekerjaan keinsinyuran, dokter, pilot, ahli peralatan,
ahli personalia, ahli komunikasi, dlsb. —yang pada kenyataanya semua itu bisa
ditemukan baik dalam organisasi sipil maupun dalam satuan organisasi militer. Di
dalam satuan organisasi militer keahlian tersebut sangat dibutuhkan sebagai apa
yang disebut dengan bantuan tempur (combat support) maupun bantuan
administrasi (noncombat support).
Adapun yang paling kontras profesi militer di banding profesi sipil adalah
dalam hal manajemen kekerasan. Di dalam organisasi militer terdapat berbagai
sumber kekuatan kekerasan baik berupa personel, peralatan dan persenjataan. Juga
terdapat pembagian tugas dan wewenang yang diatur dalam hirarkhi yang sangat
ketat disamping berdasar jenis kemahiran dan ketrampilan dalam penggunaan alat
dan persenjataan. Hal tersebut menjadikan pekerjaan militer sangat unik.
Pengelolanya pun memerlukan kemampuan yang sangat khusus. Kemampuan
itulah yang menjadi kompetensi utama para prajurit perwira. Kemampuan itu pula
yang membedakan mereka dengan para prajurit tamtama. Harold D. Lasswell 22
menyebutnya keahlian perwira itu sebagai spesialis di bidang manajemen
kekerasan. Para perwira disebutnya sebagai seorang manajer kekerasan (the
manager of violence) 23 . Tujuan utama pengelolaan kekerasan adalah berhasil
memenangi pertempuran. Untuk itu tugas perwira sebagai militer profesional
adalah meliputi: (1) mengorganisasi, memperlengkapi dan melatih angkatan
21
Huntington, The Soldier and The State, hal. 7.
22
Harold Dwight Lasswell (19021978) adalah ilmuwan sosiologi politik. Dikenal sebagai tokoh
madzhab Sosiologi Chicago (Chicago School of Sociology) bersama G. Herbert Mead. Tulisannya
dalam American Journal of Sociology yang berjudul “The Garrison State” (1941) ia menyebut
militer sebagai “the specialists in violence”, dengan mengambil analog dari istilah tersebut lantas
para perwira disebut sebagai “the manager of violence”.
23
Burhan Magenda, dalam Amos Perlmutter, Militer dan Politik, Jakarta: Rajawali Pers, 2000, hal.
vi.
16
bersenjata, (2) merencanakan operasinya, (3) mengarahkan dan mengendalikan
kegiatan operasinya baik dalam pertempuran maupun di luar pertempuran 24 . Hasil
akhir dari tugas tersebut adalah terciptanya keamanan umumHuntington
menyebut sebagai ”keamanan militer” (military security).
Persoalan selanjutnya adalah bagaimanakah keamanan umum tersebut
diproduksi atau diciptakan? Secara spesifik keamanan umum tersebut diciptakan
melalui tiga tingkatan yaitu dengan menjadikan kekerasan sebagai alat
penangkalan, alat pencegahan, alat pertempuran dan alat pemulihan. Setiap
organisasi militer didesain dan dipersiapkan untuk suatu keadaan tidak normal
yaitu keadaan perang. Sedangkan yang tidak kalah penting adalah juga
dipersiapkan untuk menangani rehabilitasi dan rekonstruksi setelah pertempuran
atau perang.
Jadi tujuan tingkat pertama penggunaan potensi kekerasan dalam militer
adalah untuk menangkal dan mencegah bagaimana agar tidak perlu terjadi perang.
Untuk itu keberadaan kekuatan kekerasan pertamatama harus menghasilkan efek
tangkal (detterence effects). Ke dalam mampu membangkitkan kebanggaan,
percaya diri serta keberanian sedang efek keluar bisa menimbulkan rasa segan,
takut dan jera kepada pihak musuh. Untuk negaranegara bangsa yang memiliki
kecenderungan agresif (belligerent nation) atau yang memiliki musuh potensial,
efek tangkal ini biasanya diciptakan dengan melalui praktek ”spectator sport
militarism” (pamer kekuatan militer) atau operasi militer dalam bentuk insiden
kecil terhadap musuh potensialnya.
Siapakah yang menjadi sasaran penggunaan kekerasan? Tidak bisa
disangkal lagi penggunaan kekerasan itu adalah diarahkan terhadap mereka yang
terkategori sebagai musuh. Musuh yang dimaksud adalah bisa berasal dari luar
yaitu negara lain yang berdaulat yang dengan alasanalasan tertentu, nyatanyata
atau potensial mengancam kedaulatan negara; atau dari dalam negeri berupa
pemberotakan atau kekuatankekuatan bersenjata yang lain.
24
Huntington, ibid., hal. 8.
17
3. Tanggung Jawab Profesional Militer
Keahlian perwira professional yaitu di bidang manajemen kekerasan
memiliki implikasi pada keharusan adanya tanggung jawab sosial yang sangat
besar. Sebab produk dari keahlian ini adalah berupa barang publik (public goods)
yaitu berupa keamanan 25 . Sebagaimana halnya barang publik, keamanan yang
dihasilkan oleh profesi militer memiliki dua karakteristik yaitu nonrivalry dan
nonexcludability.
Nonrivalry maksudnya bahwa jasa keamanan ini tidak dapat
dipersaingkan melalui mekanisme pasar. Karena hampir bisa dipastikan, tidak bisa
diberlakukan hukum permintaanpenawaran (demand and supply) terhadapnya.
Semua orang butuh dan ingin mengambil manfaat atas produk keamanan namun
semua orang juga ingin menjadi “penumpang gratis” (free raiders). Maka mau
tidak mau tanggung jawab atas pengadaannya harus diambil alih oleh negara.
Oleh karena itu institusi militer termasuk didalamnya organisasi profesi (korps
perwira) yang menyediakan jasa ini adalah bagian dari birokrasi negara. Tenaga
profesional yang memproduknya (para perwira) juga adalah sebagai aparatus
negara.
Nonexcludability maksudnya bahwa jasa keamanan ini tidak bisa
diperkecualikan untuk orang atau kalangan tertentu saja. Semua orang memiliki
peluang yang sama untuk mengambil manfaat darinya. Kalau toh harus
diperkecualikan, secara teknis akan sangat sulit dan membutuhkan biaya yang
sangat besar 26 .
Jasa keamanan sebagai public goods yang diproduksi oleh profesi militer
berbeda dibandingkan dengan private goods yang diproduksi oleh profesi lain
seperti dokter ataupun lawyer. Dalam profesi dokter, pengambil manfaat atas jasa
yang mereka produk bisa diperkecualikan yaitu hanya pasiennya saja. Begitu juga
jasa pengacara bisa hanya clientnya saja.
Perbandingan resiko dari ke dua karakter jasa tersebut adalah, untuk
profesi militer manakala terjadi malpraktek akibatnya tidak hanya menimpa orang
25
Huntington menyebutnya sebagai keamanan militer (military security).
26
Lebih jauh mengenai “barang publik”, lihat: Goeritno Mangkoesoebroto, Ekonomi Publik, edisi
III, Yogyakarta: BPFE, 1993, hal. 5. Juga, Ekonomi Kebijakan Publik di Indonesia oleh penulis
dan penerbit yang sama.
18
perorang melainkan semua orang tanpa kecuali. Ketika para perwira dalam
mengelola kekerasan gagal menciptakan keamanan maka ketidakamanan dengan
segala akibatnya akan menimpa kepada siapa saja. Atau mengancam kedaulatan
negara.
Berbeda dengan profesi yang hanya menghasilkan barang privat (private
goods), misalnya kesembuhan yang diproduksi oleh profesi dokter. Di sana di
samping memungkinkan terjadinya persaingan antar para pasien untuk
mendapatkan manfaat pelayanan, suatu kesembuhan sebagai produk juga bisa
diperkecualikan, yakni hanya bagi pasien yang berobat. Manakala terjadi
malpraktek, yang menanggung akibat langsung juga hanya si pasien tersebut.
Dengan memperbandingkan profesi militer dengan profesi dokter tersebut di atas,
setidaktidaknya, secara tidak langsung dapat disimpulkan betapa jauh lebih besar
tanggung jawab sosial profesi militer dibandingkan profesi yang lain.
Untuk memperkuat argumen mengenai sangat besarnya tanggung jawab
sosial perwira dapat juga dilihat dari tingkat campur tangan negara. Hampir untuk
semua profesi, negara hanya bertindak sebatas membuat aturan dan mengawasi
berlakunya aturan itu bagi badan ataupun anggota profesi. Namun untuk profesi
militer ini negara bertindak lebih jauh: yaitu melakukan monopoli.
Pertanyaan selanjutnya adalah: apakah perwira militer memiliki motivasi
profesional? Menurut Huntington, motivasi profesional militer adalah bahwa ia
tidak bertindak lantaran insentif ekonomi. Tingkah lakunya dalam menjalankan
profesinya tidak diatur oleh imbalan ekonomis. Perwira adalah bukan prajurit
upahan, yang –seperti pemain bola profesional bisa memindahkan jasa
pelayanannya kepada pihak mana saja yang bisa memberi upah lebih
menguntungkan. Juga bukan tentara sukarela yang tindakannya terinspirasi oleh
semangat juang dan patriotisme semata, tanpa ada upaya yang sistematis
terencana untuk peningkatan dan penyempurnaan kemampuan secara terus
menerus 27 .
Motivasi seorang militer profesional didasari oleh: (1) adanya keyakinan
terhadap suatu nilai kebenaran, (2) cinta terhadap pekerjaan dan keahlian yang ia
kuasai, serta (3) rasa tanggung jawab sosial dalam menggunakan keahliannya itu
27
Huntington, ibid., hal. 16.
19
demi kepentingan masyarakat luas. Di pihak lain masyarakat melalui agennya
yaitu negara harus bisa menjamin bahwa motivasi seperti ini akan terus
terpelihara dengan cara memberikan honorarium yang layak sebagai penghargaan
atas pengorbanan mereka, baik pada saat sedang aktif bertugas maupun tidak 28 .
Perilaku perwira dalam hubungannya dengan masyarakat dipandu oleh sebuah
kesadaran bahwa keahliannya hanya dapat dipergunakan untuk maksud dan tujuan
yang diizinkan oleh masyarakat melalui agennya yaitu negara. Jadi tanggung
jawab perwira militer adalah terhadap negara 29 .
4. Rasa Kesejawatan (Corporateness)
Keperwiraan adalah merupakan profesi yang bersifat birokrasi 30 publik.
Produk yang dihasilkan juga berupa barang publik (public goods), yaitu jasa
keamanan umum. Karena demikian penting produk jasa keamanan ini membuat
profesi militer menuntut keahlian yang kompleks dalam institusi yang eksklusif.
Hal itu membuat korps perwira berada dalam sebuah unit sosial yang eksklusif
mandiri. Unit ini hanya bisa dimasuki oleh mereka yang memiliki pendidikan dan
keterlatihan tertentu yang diwajibkan.
Struktur kesatuan korps perwira tidak hanya meliputi birokrasi resmi,
tetapi juga berupa lingkungan masyarakat yang eksklusif. Para perwira secara
pisik dan sosial mungkin memiliki hubungan nonprofesional yang paling sedikit
dibading dengan para profesional lainya. Eksklusifitas perwira terhadap orang
awam dilambangkan dengan seragam, pangkat, dan tata cara hidup mereka 31 .
Di samping keperwiraan itu merupakan profesi birokratis, organisasinya
yaitu korps perwira juga merupakan organisasi birokratis pula. Dalam hal profesi
28
Huntington, ibid., hal. 12.
29
Huntington, ibid., hal. 13.
30
Birokrasi adalah suatu sistem hubungan kewenangan yang ditetapkan dengan kaidahkaidah
rasional. Birokrasi sebagai istilah pertamatama dikenalkan oleh Vincent de Gournay, seorang
fisiokrat Perancis, 1745. Untuk menggambarkan keadaan pemerintah Prusia. Ia semula
mengandung makna hinaan terhadap bentuk pemerintahan dimana kekuasan terletak di tangan para
pegawai. Istilah ini kemudian dikembangkan oleh Max Weber (18641920) sebagai ”ideal type”
organisasi yang bekerja berdasarkan: (1) tugas diorganisasikan dengan kaidahkaidah atau aturan,
(2) spesialisasi dalam pembagian kerja atau tugas, (3) berjenjang, dalam arti terdapat hubungan
atasanbawahan, (4) semua keputusan didasarkan pada standar hukum dan teknis, (5) administrasi
didasarkan pada arsip dan pencatatan, (6) adminisitrasi sebagai pekerjaan. (lebih lanjut lihat: Ralp
C. Chandler & Jack Plano, The Public Administration Dictionary, edisi II, ABCClio, Santa
Barbara, Cal. 1988, hal. 168169).
31
Huntington, hal. 14.
20
birokratis, tingkat kemampuan dibedakan dengan hirarkhi kepangkatan; sedang
dalam hal organisasi birokratis pembagian pekerjaan dibedakan dalam hirarkhi
jabatan. Setiap pangkat yang disandang yang melekat pada pribadi perwira
mencerminkan keberhasilan dan derajat keprofesionalan yang telah dicapai; yang
diukur berdasarkan pengalaman, senioritas, pendidikan dan kemampuan.
Penentuan pangkat dan jabatan biasanya dilakukan oleh korps perwira itu sendiri.
Sifat pekerjaan profesi militer adalah tergolong ”korporasional” sebagai
lawan dari ”asosiasional”. Tingkat keberhasilan kinerjanya sangat ditentukan oleh
kerjasama, kohesivitas dan solidaritas antar anggotanya. Dalam dunia militer tidak
dikenal “bekerja sendirian”. Karena itu satuan terkecil organisasi militer adalah
bukan individuindividu, tetapi regu, scuad atau group dalam sebuah kerjasama
dan saling tergantung.
Ikhwal kerjasama dan saling ketergantungan dalam pekerjaan militer ini
sangat penting karena bukan hanya berkenaan dengan masalah kegagalan
keberhasilan sebuah tugas semata tetapi juga menyangkut hidupmati. Oleh sebab
itu profesi militer –jika dibandingkan dengan profesi lain lebih sangat
memerlukan kuatnya rasa kesejawatan atau “Esprit de corp” yaitu perasaan setia
dan bela teman serta saling menghormati antar anggota kesatuan 32 .
C. Militer, Negara dan Kekerasan
Terdapat keterkaitan yang sangat erat antara penggunaan kekerasan,
militer dan negara. Beberapa thesis tentang hal itu diajukan oleh para pemikir
awal seperti John Locke, Engels dan Max Weber, dan pemikir terkemudian seperti
Althusser dan Alfred Stepan.
Max Weber (18641920) antara lain menyatakan bahwa ”memonopoli atas
penggunaan kekerasan yang sah”, adalah merupakan bagian dari definisi negara
modern 33 . Dengan demikian, pada dasarnya adalah hak negara untuk
menggunakan kekerasan terhadap warganya ataupun terhadap siapa pun
dikarenakan sebabsebab dan alasan tertentu. Dalam kaitan ini keberadaan militer
boleh dikatakan merupakan konsekuensi dari kebutuhan negara akan perangkat
kekerasan (coercive apparatus) tersebut, dan oleh karenanya militer itu adalah
32
Lihat: Peter Salim, Collegiate EnglishIndonesian Dictionary, Modern English Press, 2000.
33
Alfred Stepan, Militer dan Demokrasi, Jakarta: Grafiti Pers, 1996, hal. 1.
21
institusi yang menjalankan tugas negara dalam pengelolaan kekerasan
(Management of violence in the service of the state) 34 .
Pemikir Marxis, Friedrich Engels (18201895) menyatakan bahwa
munculnya negara dengan repressive apparatusnya adalah suatu keterpaksaan,
karena adanya kepentingankepentingan kelas ekonomi di masyarakat yang saling
berlawanan yang memunculkan organisasiorganisasi bersenjata yang bertindak
sendirisendiri 35 . Argumen tersebut diperkeras oleh ilmuwan Marxis terkemudian
yaitu Louis Althusser (19181990), menurutnya negara itu pada dasarnya adalah
mesin penindas yang menjamin kelas penguasa dapat tetap mempertahankan
dominasinya atas klas pekerja (The State is a "machine" of repression, which
enables the ruling classes to ensure their domination over the working class).
Untuk memenuhi hajat itu maka negara merekrut dua jenis apparatus yaitu
Repressive State Apparatus (RSA), dan Ideological State Apparatus (ISA) 36 .
Termasuk di dalam RSA ini adalah militer.
Sebagaimana thesis yang dikemukakan oleh Althusser di atas, maka bisa
jadi kekuasaan absolut negara untuk mengatur masyarakat dengan kekerasan
hasilnya tidak seperti sebagaimana yang diinginkan. Bahkan bisa sebaliknya,
kemungkinan terjadi apa yang disebut ”state abuse” atau penyalahgunaan
kekuasaan oleh negara dengan memperalat militer untuk atau militer itu sendiri
melakukan tindak kekerasan. Apabila militer melakukan hal itu dampaknya akan
jauh lebih berbahaya dibanding seandainya dilakukan oleh pihak warga biasa.
Jenis penyimpangan yang dilakukan oleh militer sudah banyak tercatat dalam
sejarah peradaban kuno hingga zaman modern. Pada zaman Yunani misalnya
dikenal praktek pretorianisme, sedang zaman modern dikenal praktek fasisme
oleh Italia dan Jepang sebelum perang dunia II.
Karena mengingat adanya kemungkinan negatif tersebut, muncul gagasan
perlunya membatasi kekuasaan negara berikut aparatusnya dengan memperkuat
34
Sam C. Sarkesian, “Military Professionalism”, dalam Trevor N. Dupuy, International Military
and Defense Encyclopedia, Brassey’s (US) Inc., 1993, hal. 219397.
35
W.I. Lenin, (Sulang Sahun, penerjemah), Negara dan Revolusi, penerbit: FUSPAD, 2000, ibid.,
hal. 10.
36
Althusser, Louis. "Lenin and Philosophy" and Other Essays. London: New Left Books, 1977.,
hal. 137.
22
kekuasaan yang ada di masyarakat. Gagasan tersebut lah yang menjadi landasan
konsep Civil Society.
D. Militer antara ”Old Profession” dan ”New Profession”
Sebagaimana telah dibahas terdahulu bahwa hakekat pekerjaan perwira
militer profesional adalah dalam bidang pengelolaan kekerasan. Produk utama
dari pekerjaan tersebut adalah keamanan. Namun tidak semua keamanan itu
adalah merupakan produk dari pengelolaan kekerasan. Huntington, misalnya,
membagi jenis keamanan ke dalam tiga katagori yaitu; (1) keamanan militer
(military security), (2) keamanan internal (internal security), dan (3) keamanan
situasional (situational security) 37 .
Pertama, keamanan militer meliputi berbagai kegiatan yang dirancang
untuk mengurangi atau menetralkan berbagai usaha yang akan melemahkan atau
menghancurkan negara dengan menggunakan kekuatan senjata yang dioperasikan
dari luar batasbatas institusional dan teritorialnya.
Kedua, keamanan internal yaitu kegiatan yang berhubungan dengan upaya
menetralkan ancaman subversi, yaitu usaha untuk melemahkan atau
menghancurkan negara dengan berbagai kekuatan yang dioperasikan di dalam
batasbatas institusional dan teritorial negara itu.
Ketiga, keamanan situasional adalah menyangkut ancaman penghancuran
yang dilakukan oleh kekuatankekuatan tertentu sebagai akibat dari adanya
perubahan kondisi sosial, ekonomi, demografi, dan politik dengan cara
menggerogoti dan merongrong kekuatan negara.
Dengan mengetengahkan tiga katagori tersebut secara implisit Huntington
membatasi wilayah tugas pokok militer adalah hanya terbatas pada “keamanan
militer” (military security) saja. Yaitu menggunakan kekuatan bersenjata untuk
menghadapi ancaman keamanan yang berasal dari luar atau ancaman dari negara
merdeka yang lain. Pandangan ini jelas beda dengan mereka yang berkeyakinan
bahwa munculnya militer sebagai aparatur negara adalah pertamatama memiliki
tugas domestik, yaitu menciptakan keamanan umum dengan cara mengatasi,
37
Huntington, hal. ix.
23
memonopoli dan menetralisasi kekerasan yang ada di masyarakat baik secara
individu maupun bersama 38 .
Menurut Giddens, negara dan kekerasan memiliki hubungan yang sangat
intim. Berdasar teoriteori sosial klasik, hubungan tersebut hanya terbatas dalam
masalah sosial yang bersifat internal; terkait dengan memelihara ketertiban sosial.
Hubungan negara dan kekerasan jarang sekali dikaitkan dengan soal peperangan
ataupun hubungan antar negaranegara secara lebih luas.
Sekalipun Giddens mengkritik teoriteori sosial klasik namun
bagaimanapun ia melihat bahwa peranan keamanan yang bersifat eksternal adalah
bukan asalmuasal tugas militer, dan jika pada akhirnya tugas itu harus
dibebankan kepadanya maka juga harus dimungkinkan akan adanya bagian tugas
militer di dalam memproduksi keamaan dalam arti yang lebih luas termasuk
keamanan internal dan keamanan situasional. Hal ini beda dengan Huntington
yang memposisikan militer hanya memproduksi keamanan militer yang bersifat
eksternal. Sungguh pun demikian Giddens menekankan bahwa fenomena
semacam itu biasanya terjadi terutama pada negara pramodern (premodern state)
dengan ciri: (1) meningkatnya pengawasan dan pengendalian oleh kekuatan
negara, (2) monopoli penggunaan kekerasan melalui kontrol oleh tentara dan
polisi, (3) intensifikasi industrialisasi yang kadang disubsidi oleh negara dan (4)
meluasnya kapitalisme 39 .
Persoalan yang paling rumit dalam membahasan peran atau cakupan
wilayah tugas militer di bidang keamanan adalah pada wilayah keamanan
situasional, yaitu keamanan yang berkaitan dengan ancaman penghancuran
masyarakat atau negara yang diakibatkan oleh perubahan jangka panjang dibidang
sosial, ekonomi, demografi dan politik.
Pertanyaan yang timbul adalah: Apakah –dalam upaya pencegahan,
penindakan dan pemulihan keamanan situasional kehadiran peran militer,
khususnya di bidang politik dibolehkan? Secara garis besar ada dua pendapat
yang berbeda di antara para ahli. Pendapat pertama dianggap mewakili pandangan
“profesionalisme militer lama”, yaitu terutama pandangan yang digagas oleh Samuel
P. Huntington dan beberapa ilmuwan pendukungnya. Sedangkan pandangan yang
38
Geoff Boucher, The Nation State and Violence, Blackwood Project, 2001, hal.15.
39
Geoff Boucher, ibid., hal. 34.
24
kedua pendapat yang dianggap mewakili pandangan “profesionalisme militer baru”
yang dikemukakan oleh para ilmuwan militer yang umumnya diilhami oleh
fenomena militer di negaranegara sedang berkembang dan nonBarat. Di mana
profesionalisme militer Barat oleh Sarkesian dilukiskan memiliki dua karakteristik
tambahan yaitu orientasi eksternal, dan pemisahan yang tegas dari lingkaran
pembuatan kebijakan dan politik domestik 40 .
Mengapa Huntington menolak peran militer di luar tugas keamanan militer
(eksternal). Ia menyatakan bahwa syarat agar korps militer menjadi profesional
adalah: pertama, adanya spesialisasi fungsi dan pembagian kerja. Sebab, adalah
tidak mungkin menjadi seorang yang ahli dalam bidang pengelolaan kekerasan
(militer) untuk pertahanan dan pada saat yang bersamaan ahli juga dalam bidang
politik, kenegaraan atau keamanan dalam negeri. Merujuk pada pendapat tersebut,
secara tidak langsung ia menyatakan bahwa korps militer akan profesional apabila
hanya menjalankan satu peran yaitu hanya keamanan militer. Bahkan dengan tegas
ia katakan apabila militer dibiarkan ikut campur dalam dunia politik, akan
menyebabkan “political decay”.
Kedua, seorang perwira yang profesional dikaruniai kekuatan pemikiran
untuk melayani negara. Dalam prakteknya, ia harus setia pada satu institusi tertentu
yang pada umumnya diterima sebagai perwujudan dari otoritas suatu bangsa. Ketika
ada otoritasotoritas yang saling bersaing dan militer menjadi bagian dari salah satu
pihak, atau terpecah ke beberapa pihak, maka profesionalisme akan menjadi sulit
dan bahkan tidak mungkin tercapai. Oleh karena itu, dalam profesionalisme militer
perlu ditiadakan perselisihan antar pihak dan konflik politis, sebagai langkah
pencegahan agar otoritas yang saling bersaing tidak memaksakan diri untuk
membangun kekuatan militer, atau kemungkinan terjadi penyaluran pengaruh politik
kedalam militer dilakukan melalui beberapa lembaga formal pemerintahan.
Singkatnya, argumen di atas menekankan bahwa agar korps militer dan personilnya
menjadi profesional maka mereka harus bersikap netral dalam politik dan tidak
memihak pihakpihak tertentu.
Ketiga, bangkitnya berbagai pemikiran dan partaipartai demokratis, dimana
ide demokrasi itu sendiri pada dasarnya merupakan sistem untuk mengorganisasikan
40
Ibid., hal. 2195.
25
institusiinstitusi politik. Namun, sering para pendukungnya berusaha membentuk
institusiinstitusi militeristis atau menarik elemen militer ke dalamnya. Oleh karena
itu, korps militer jangan sampai menjadi sebuah partai politik, bertujuan politik, dan
menjadi bagian partai politik tertentu. Selain itu, personilnya juga tidak boleh
menjadi anggota partai politik atau mendukung partai tertentu.
Di antara pendukung pandangan profesionalisme militer lama adalah
Morris Janowitz. Samasama pendukung pandangan profesionalisme militer lama,
dalam banyak hal antara Huntington dan Janowitz memang memiliki pandangan
yang sama, namun juga terdapat beberapa perbedaan.
Dalam masalah tugas pokok, bahwa militer itu memiliki tugas utama sebagai
kekuatan pertahanankeamanan eksternal, Janowitz sependapat dengan Huntington.
Perbedaan mereka berdua tampak dalam mensikapi masalah otonomi profesional
dengan merujuk pada definisi misi dan kontrol sipil atas militer. Huntington
berpendapat bahwa efektifitas militer dapat terjamin hanya melalui otonomi
profesional dan bahwa pemerkosaan terhadap otonomi itu akan merugikan nilainilai
kebebasan pemerintah sipil dan membahayakan efektivitas militer. Menurut
Huntington, keahlian tentara profesional adalah bertempur dalam peperangan.
Profesionalisme itu akan terganggu dengan adanya pemberlakuan nilainilai sipil
pada militer.
Sebaliknya, Janowitz tidak melihat adanya keharusan membatasi sama
sekali pengaruh nilainilai sipil terhadap otonomi profesional militer. Militer
dewasa ini tidak berada dalam pilihan dikotomis antara aktivitas perdamaian dan
peperangan. Militer lebih merupakan instrumen hubungan internasional, dimana
pembedaan antara masa damai dan perang, antara aktivitas politik dan militer kian
sulit untuk dipisahpisahkan 41 .
Menurut Janowitz, karena militer kian terlibat jauh kedalam pengambilan
kebijakan di dalam pemerintahan sipil, membuat keahlian militer sebagai tentara
professional juga harus diperlengkapi sensitifitas politik. Perubahan definisi
mengenai misi penugasan ini menjadi penghalang bagi pandangan bahwa militer
itu adalah hanya ahli bertempur dalam perang. Kenyataan tersebut berpadu
dengan peningkatan birokratisasi dalam tubuh organisasi militer. Kedua faktor
41
Ibid., hal. 3.
26
tersebut menjadi penghalang bagi otonomi profesi militer sebagaimana yang
dimaksud Huntington.
Pandangan senada dengan Janowitz adalah berasal dari Sarkesian.
Menurut Sarkesian bahwa profesi militer pada saat ini merupakan kombinasi
antara elemenelemen profesional militer klasik dengan pandangan yang lebih
realistis akan adanya hubungan militer dengan sistem politik. Konsep profesi
militer menjadi lebih rumit daripada pandangan klasik yang hanya mengaitkannya
dengan pengelolaan kekerasan dalam menjalankan tugas negara. Kerumitan itu
tampak misalnya dalam masalah keamanan lingkungan nuklir yang harus diatasi
dengan lebih mengedepankan pada upaya penangkalan dan pencegahan konflik.
Dengan demikian dalam semua sistem, profesi militer itu memiliki dimensi
politik 42 .
Pandangan Huntington tersebut kontras dengan para ilmuwan penganut
profesionalisme militer baru. Misalnya, Yazid Syaigh, Amos Perlmutter, Eric A.
Nodlinger.
Para ilmuwan pendukung profesionalisme baru jelasjelas memberi ruang
yang luas bagi peran profesi militer. Keahlian militer profesional mencakup juga:
kemampuan memelihara kelangsungan kehidupan teritorial dan politik,
kelangsungan kehidupan penduduk, penciptaan prakondisi untuk mendorong
terciptanya kesejahteraan ekonomi, dan melihara keharmonisan hubungan antar
komunitas 43 . Profesi militer baru juga dimungkinkan mempunyai orientasi politik
tertentu. Karena bagaimanapun posisi militer yang sedemikian rupa menyebabkan
ia mempunyai titik singgung atau berhubungan secara erat dengan ’policy
formation’, 44 terutama yang berkaitan dengan masalah keamanan nasional.
Sehingga militer profesional adalah militer yang tidak steril dari urusan politik.
Sedang Eric A. Nodlinger melihat kemungkinan adanya peran politik yang
dimainkan oleh korps perwira. Dalam hal ini Nodlinger membagi kedalam tiga
kategori peran yaitu apa yang dia sebut sebagai; moderator, guardians, dan rulers.
42
Dupuy, Trevor N., International Military and Defense Encyclopedia, vol. 5, p. 2197.
43
Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat di Peter Britton, Profesionalisme dan IdeologiMiliter
Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1996).
44
Dr. Burhan D. Magenda, dalam Kata Pengantar buku Amos Perlmutter; 2000, hal. xixii.
27
Militer berkarakter moderator adalah keadaan manakala hubungan antara
militer dan sipil sangat cair. Bidang politik dan pemerintahan dipegang oleh sipil
yang mempunyai patron atau backup dari militer. Guardians mengacu pada
peran militer sebagai pengawal dan pengawas jalannya pemerintahan. Militer
terlibat dalam bidang politik hanya pada tataran yang makrostrategis. Sedang
kategori rulers adalah keadaan ketika militer menguasai semua bidang kehidupan,
terutama pada bidang politik. Dalam konteks yang terakhir inilah terjadi apa yang
disebut sebagai rejim militer 45 .
Di samping itu ada beberapa ilmuwan militer yang melihat kemungkinan
keterlibatan militer dalam politik dengan kondisikondisi yang lain. Antara lain
Alfred Stepan, Claude E. Welch.
Alfred Stepan 46 , mengajukan thesis berdasar penelitiannya tentang
peranan politik militer di Brazil dikaitkan dengan proses demokratisasi. Penelitian
ini dimaksudkan untuk menemukan jawaban, apakah keterlibatan militer didalam
politik dapat mendorong terjadinya proses demokratisasi? Khususnya bagi
negaranegara yang sedang membangun sistem politik yang lebih demokratis?
Dalam hasil penelitiannya Stepan mengelompokkan militer kedalam tiga kategori:
militer sebagai pemerintah, militer sebagai lembaga, dan militer sebagai
komunitas profesional keamanan.
Stepan mengintrodusir istilah civil society, political society dan state, di
mana civil society dan political society dimaknai sebagai arena, di tempat mana
warga masyarakat dalam bernegara melakukan suatu kiprah tertentu. Civil society
menurut Stepan adalah arena berkiprahnya berbagai gerakan sosial seperti
kelompok keagamaan, kelompok wanita, organisasi sipil semua kelas, termasuk
kelompokkelompok profesional, di mana mereka dapat mengekspresikan diri dan
memajukan kepentingankepentingannya. Sedangkan political society adalah
arena tempat berkiprahnya warga masyarakat dalam bernegara yang secara
45
Dalam hal dua peran terakhir ini yaitu sebagai guardians dan rulers Salim Said membahasakan
dengan istilah ”P” besar manakala militer berperan dalam bidang politik namun tidak terlibat
langsung dalam tataran mikroteknis, sedang ”p” kecil untuk yang sebaliknya yaitu manakala
militer terlibat pada tataran politik praktis atau day to day politics. Lebih lanjut lihat Salim Said,
Wawancara Tentang Tentara dan Politik, Pustaka Sinar Harapan, 2001, hal. 3031.
46
Alfred Stepan, Militer dan Demokratisasi, Pengalaman Brazil dan Beberapa Negara Lain,
Jakarta: Grafiti, 1996, hal. 1316.
28
khusus melibatkan diri dalam kontestasi politik guna memperoleh kendali atas
kekuasaan pemerintahan dan aparatur negara.
Adapun state oleh Stepan dimaknai bukan sekedar pemerintah, melainkan
suatu sistem administratif, legal, birokratis dan memaksa yang
berkesinambungan, peranannya tidak hanya mengelola aparat negara tetapi juga
menyusun hubungan ”antara” kekuasaan sipil dan pemerintah, serta menyusun
tata hubungan ”dalam” political society maupun civil society.
Komentar dan kritik perlu dimajukan di bagian akhir sub bagian
pembahasan ini terutama pada pengkatagorian Huntington tentang keamanan
yaitu: keamanan militer, keamanan internal dan keamanan situasional.
Penggunaan istilah ”keamanan militer” secara tidak langsung Huntington ingin
membuat batasan yang tegas mengenai tugas dan peran militer dengan hanya
memproduksi jasa keamanan yang spesifik yaitu ”keamanan militer”. Militer tidak
memiliki kewenangan untuk memasuki wilayah katagori ke dua (keamanan
internal) maupun wilayah ke tiga (keamanan situasional). Di samping itu
Huntington menganggap bahwa ketiga katagori tersebut bersifat lateral, berada
dalam posisi sejajar, tanpa memiliki keterkaitan satu sama lain atau seandainya
ada keterkaitan maka secara teoritik dianggap tidak memiliki siginifikansi.
Hubungan ketiganya bersifat koaksi (coaction), yang secara parsial (sendiri
sendiri) memberikan sumbangan kumulatif bagi terciptanya keamanan nasional
bagi suatu negara.
Memang ketika Huntington menempatkan ”keamanan” dalam posisi
sentral adalah tepat, namun dalam pengkatagoriannya tidak paralel. Model yang
diajukan juga kurang bisa menjelaskan persoalan yang ada. Oleh sebab itu dalam
tulisan ini dicoba diajukan bentuk katagori yang lain (baru) mengenai istilah
keamanan. Argumen yang disampikan diharapkan bisa lebih memperjelas
pandangan mengenai istilah keamanan, atau setidaktidaknya memunculkan
pemaknaan baru terhadap istilah tersebut.
Pertama, ”keamanan” (Security) 47 seharusnya difahami sebagai hasil atau
produk, yang bagaimanapun keadaannya sangat ditentukan oleh adanya tiga
47
Istilah Security (keamanan) didifinisikan sebagai: (1) The state of being secure. Sedangkan kata
secure diartikan sebagai: safe, protected against danger or risk Having no doubt, fear, or anxiety.
(2) Protection against lawbreaking, violence, enemy act (Longman Dictionary of Contemporary
29
fungsi: yaitu fungsi pertahanan (defence) pemeran utama fungsi ini adalah militer,
fungsi ketertiban (order) dengan pemeran utama polisi 48 dan aparat penegak
hukum yang lain, dan stabilitas (stability) 49 pemeran utamanya alatalat negara
yang membidangi ekonomi, sosial dan politik.
Fungsi pertahanan adalah gelar atau pengerahan kekuatan terutama dengan
alat kekerasan guna mencegah ataupun mengatasi ancaman keamanan. Biasanya
ancaman itu berasal dari luar, bersifat eksternal namun juga bisa berasal dari
dalam. Eksternal adalah –biasanya kekuatan bersenjata yang berasal dari negara
lain, namun juga bisa berasal dari organisasi bersenjata transnasional. Pilihan
tindakan terakhir dari fungsi ini adalah berupa peperangan. Pemeran utama fungsi
ini adalah militer.
Fungsi ketertiban, yaitu gelar kekuatan kekerasan, namun lebih
diutamakan penggunaan alat pemaksa yang lain guna mencegah dan mengatasi
ancaman keamanan yang bersumber dari pembangkangan ataupun pelanggaran
atas undangundang, peraturan dan tatanan yang berlaku. Biasanya lebih bersifat
internal. Pemeran utama fungsi ini adalah polisi dan aparat hukum yang lain.
Ketiga, fungsi stabilitas, adalah penggunaan kekuatan bukan kekerasan,
ataupun kekuatan kekerasan jika terpaksa untuk mencegah ataupun mengatasi
adanya ancaman keamanan yang menggerogoti daya tahan, serta
menggoncangkan keseimbangan; kehidupan sosial, ekonomi dan politik baik
ancaman itu berasal dari dalam maupun dari luar. Pemeran utama adalah alatalat
negara yang berkaitan dengan bidang ekonomi, sosial, dan politik. Di samping
English, Longman Group Limited, 1978), hal 107. Dengan diskripsi tersebut terlihat bahwa
cakupan makna keamanan sangat luas. Dan pengertian tersebut yang dijadikan landasan konsep
keamaman dalam tulisan ini.
48
Katagori ini sangat sesuai dengan doktrin Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) yaitu
“Tri Brata”. Khususnya Brata III, yang berbunyi: “Jana Anu Vacana Dharma”, artinya Wajib
menjaga ketertiban rakyat. Baca:Sejarah TNI Jilid II, 19501959, Pusat Sejarah dan Tradisi TNI,
2000, hal. 140142. Baca juga: Kunarto, Tri Brata, catur Prasetya, Sejarah Perspektif dan
Prospeknya, Jakarta: Cipta Manunggal, 1997, hal. 115116.
49
Kata Stability berasal dari kata Stable, artinya: (1) firmly fixed, not likely to move , changing or
fail, (2) Steady, (3) balanced .
Adapun Security didefinisikan sebagai: “the quality or state of being steady and not changing or
being disturbed in any way (= the quality of being stable): political/ economic/social stability.
(Lihat: Sally Wehmeier, Oxford Advanced Learner ‘s Dictionary, Oxford University Press, 2000,
hal. 1258).
30
kelompokkelompok strategis 50 yang ada di masyarakat, antara lain para pelaku
bisnis; Lembaga Swadaya Masyarakat, tokoh agama, pekerja sosial; dan politisi.
Ketiga fungsi tersebut di atas, samasama memproduk keamanan yaitu:
Pertahanankeamanan (Hankam), ketertibankeamanan (Tibkam) dan stabilitas
keamanan (Bilkam).
Kedua, antara ketiganya –pertahananketertibanstabilitas— memiliki
hubungan yang bersifat interaksi (interaction) dan berjalinberkelindan
(coherence). Karena itu terciptanya keamanan nasional adalah bukan merupakan
akumulasi, tetapi hasl agregasi dari ketiga fungsi tersebut. Keadaan keamanan
nasional suatu negara adalah bukan ditentukan oleh karena ketiga fungsi tersebut
”samasama” memberi konsrtibusi dalam aksi bersama (coaction) 51 , melainkan
ditentukan oleh karena ”kerjasama” dari ketiga fungsi tersebut.
Dengan diketengahkannya konseptualisasi alternatif mengenai makna
”keamanan” tersebut di atas, sebagai bandingan terhadap konsep ”keamanan”
yang dikemukakan oleh Huntington, berimplikasi pula adanya kesimpulan yang
berbeda. Konsep ”Keamanan” Huntington membawa kepada kesimpulan bahwa
membatasi peran militer hanya dalam bidang keamanan militer (pertahanan)
adalah suatu keharusan, sebaliknya konsep baru tersebut berimplikasi pada
kesimpulan bahwa keterlibatan militer pada wilayah di luar pertahahan adalah
suatu keniscayaan, terlepas dari hal: dalam wujud seperti apa, serta seberapa besar
dan jauh keterlibatan itu.
Konsep keamanan baru ini juga tidak samasebangun dengan pandangan
profesionalisme baru sebagaimana argumentasi dan rumusan yang dikemukakan
oleh Syaigh, Perlmutter, Nordlinger, Stepan dan Welch. Profesionalisme baru
mengandaikan keterlibatan militer di luar fungsi pertahahan atau keamanan militer
(dalam istilah Huntington) lebih bersifat ideografis, bukan suatu hal yang umum
berlaku pada sembarang tempat dimana institusi militer berada. Syaigh,
Perlmutter, dan Nordlinger menganggap sebagai ciri khas negarabangsa dunia ke
50
Yang dimaksud Kelompok Strategis disini sebagaimana dikonseptualisasikan oleh Hans Dieter
Evers & Tilman Schiel. Untuk mengetahuinya baca tulisan yang yang bersangkutan, Kelompok
Kelompok Strategis: Studi Perbandingan tentang Negara, Birokrasi, dan Pembentukan Kelas di
Dunia Ketiga, Jakarta: Yayasan Obor, Edisi kedua, 1992, khususnya bagian pendahuluan.
51
Anatoly A. Piskoppel, Relativization of the Conflict Space, (abstract), Department of
Psychology Moscow State University, t.th.
31
tiga. Sedang Stepan dan Welch melihatnya sebagai keadaan upnormal atau darurat
dikarenakan adanya kondisikondisi tertentu. Maka apabila kondisi atau syarat
syarat keterlibatan militer di luar urusan pertahanan tersebut hilang maka dengan
sendirinya militer akan hanya berada dalam fungsi aslinya di bidang pertahanan.
Dengan konseptualisasi baru ”keamanan” argumenargumen tersebut tidak untuk
menafikan keterlibatan militer dalam dua fungsi selain pertahanan, yaitu fungsi
ketertiban, dan stabilitas, melainkan berlaku dalam hal: keterlibatan macam apa,
serta seberapa luas dan besar keterlibatan itu? Kiranya akan lebih jelas
perbandingan antara konsep keamanan Huntington, dengan konsep keamanan
baru yang ditawarkan dalam tulisan ini dengan melihat gambar sebagai tercantum
dalam bab VII bagian kesimpulan dalam penelitian ini.
E. Pemikiran tentang Profesionalisme TNI
Pada awal lahirnya tentara Indonesia modern (1946) wacana tentang tentara
profesional bisa dipastikan belum ada. Karena saat itu di negaranegara Barat pun, di
mana gagasan profesionalisme militer itu pertama kali muncul, masih baru bersifat
embrional. Namun demikian gagasan ke arah pembentukan militer Indonesia yang
profesional dalam arti terdidik dan terlatih agaknya tidak perlu menunggu terlalu
lama lantaran segera setelah terbentuk embrio militer Indonesia modern, mulai
muncul keinginan kuat para perintis militer Indonesia untuk menyelenggarakan
pendidikan formal militer khususnya untuk mencetak calon “opsir” yang kelak
mengambil alih kepempimpinan pasca tentara angkatan 1945. Gagasan maju
tersebut tidak lepas dari adanya para pemimpin militer angkatan ’45 yang sempat
mengenyam pendidikan militer kolonial, terutama para perwira eks KNIL dan juga
perwira eks Peta. Bahkan hal itu kadang dilakukan lebih sebagai inisiatif pribadi,
seperti yang dilakukan oleh Mayor Jenderal Djatikusumo. Sebagaimana dituturkan
oleh Hardijono 52 , Djatikusumo, waktu itu menjabat Komandan devisi IV, yang
pernah mengenyam pendidikan CORO 53 (Corps Opleiding tot Reserve Officer),
merekrut pelajar yang tergabung dalam pasukan “T” Ronggo Lawe untuk dididik
dan dilatih sebagai perwira cadangan. Hal itu terjadi setelah pertempuran Ambarawa
52
Ant. P. Degraaff, Napak Tilas Tentara Belanda dan TNI, Pustaka Sinar Harapan, 1997, hal. 60.
53
Pusat latihan yang dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mereka yang akan menjadi
opsir (perwira) cadangan.
32
(1946). Dalam pendidikan itu mereka antara lain dilatih dan diajarkan ilmu perang,
pengetahuan senjata, taktik infantri, hukum internasional, dan hukum perang. Di
antara yang ikut pendidikan ini adalah Letjen (purn.) Sudharmono yang kelak
menjadi wakil presiden RI.
Sebelum itu, tanggal 10 Nopember 1945 beberapa perwira yaitu Letkol
Singgih, Komandan Resimen 40/Tangerang, Mayor Daan Mogot, Mayor Daan
Yahya, Mayor Kemal Idris dan Letnan Taswin telah memprakarsai berdirinya
Sekolah Tinggi Militer. Sebuah sekolah bagi calon perwira yang lebih dikenal
dengan nama EmA (Militer Akademi) sempat menghasilkan satu angkatan
kemudian bubar. Di Jawa Timur (Devisi VII) didirikan Sekolah Kader Perwira oleh
pemudapemuda bekas Shodanco Jugekitai, antara lain Ronokusumo, Sobiran,
Jamal, Abdulgani, Ronopuspito dan Suhadi.
Di Malang pada bulan Nopember 1945, berdiri Sekolah Kadet Malang,
mulamula bernama Sekolah Tinggi Divisi VIII/Suropati. Didirikan atas inisiatif
Panglima Divisi Suropati Jenderal Mayor Sudjai. Selanjutnya lembaga pendidikan
ini lebih dikenal sebagai Sekolah Tentara Malang (STM). Sekolah ini hanya sempat
meluluskan satu angkatan saja dengan pangkat Letnan Dua, sebelum kemudian
dilebur dengan Militer Akademi (MA) di Yogyakarta 54 .
Adapun Militer Akademi (Militaire Academie) sendiri didirikan tanggal 31
Oktober 1945 bersamasama dengan Sekolah Kader, adalah atas prakarsa Letjen
Oerip Sumohardjo. Di Militer Akademi, para siswa dididik untuk menjadi calon
opsir (Letnan Dua) selama 33 bulan; 19 bulan di sekolah dan 14 bulan praktek di
pasukan. Sedang di Sekolah Kader pendidikan berlangsung enam bulan untuk
memperoleh pangkat Sersan Kelas II, dan satu tahun untuk pangkat Sersan Kelas I.
Pada tahun 1948, tatkala Kol. G.P.H Djati Kusumo menjabat sebagai direktur, nama
Militer Akademi di ubah menjadi Akademi Militer 55 .
Pendirian pusat pendidikan militer secara melembaga bukan prakarsa
perorangan baru dimulai awal tahun 50an. Tahun 1951 didirikan Sekolah Perwira
Genie Angkatan Darat (SPGiAD), dan Pusat Pendidikan Perwira Angkatan Darat
(P3AD) keduanya di Bandung. Pada tahun 1956 SPGiAD berubah nama menjadi
54
______, Sejarah TNI jilid I, 19451949, Jakarta: Pusat Sejarah dan Tradisi TNI, 2000, hal. 69
73.
55
Ibid, hal 7576.
33
Akademi Tehnik Angkatan Darat (ATEKAD) 56 .
Pada tahun 1957 diresmikan Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang.
Tahun 1961 ATEKAD diintegrasikan kedalam AMN. Pada tahun 1965 AMN, AAL
(Akademi Angkatan Laut), AAU (Akademi Angkatan Udara) dan Akademi
Angkatan Kepolisian yang sudah ada diintegrasikan menjadi Akademi Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI). Pada tahun 1984, AKABRI berubah
kembali menjadi Akademi Militer (AKMIL) 57 .
Pada ranah wacana, profesionalisme TNI kian gencar diperbincangkan pada
awal tahun sembilan puluhan, di mana isu profesionalisme militer berjalin dengan
upaya membangun militer Indonesia yang profesional, efektif, efisien dan modern
yang sering disingkat menjadi PEEM. Gerakan profesionalisasi militer tersebut
antara lain dipelopori oleh para perwira Akademi Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (Akabri) angkatan 1973, salah seorang di antaranya adalah Susilo
Bambang Yudhoyono (kini presiden RI). Mereka antara lain membuat tulisan
bersama dalam sebuah buku “ABRI Profesional dan Dedikatif” 58 .
Kajian ilmiah mengenai profesionalisme militer Indonesia dilakukan oleh
Peter Britton, yang dalam pengkajiannya itu ia lebih melihat dari perspektif
antropologis, dan mencoba membuat rekonstruksi tentang profesionalisme TNI
dengan mendasarkan pada hasil telaahnya terhadap Tentara Nasional Indonesia
terutama Angkatan Darat.
Britton dalam pembahasannya tidak menempatkan aspek keterdidikan dan
keterlatihan sebagai elemen utama profesionalisme sebagai fokus kajiannya. Ia lebih
mencurahkan perhatiannya terhadap karakteristik militer profesional a la Indonesia.
Ia mendiskripsikan ideal type organisasi tentara profesional a la Indonesia sebagai:
“Tentara yang memposisikan dirinya di atas semua golongan, berperan sebagai
penyelamat nasional yang bertugas untuk memulihkan integritas nasional dan
sekaligus sebagai suatu kekuatan modernisasi yang efisien. Para perwiranya
bertindak sebagai satria yang merupakan perwujudan dari sifat bijaksana dan
56
_____, Wikipedia Indonesia, t.th. , t. hal.
57
Ibid., Wikipedia Indonesia, t.th., t.hal.
58
Lihat: Yusuf Solichien (ed., et. al), ABRI Profesional Dedikatif, (Jakarta: Yayasan Cadaka
Dharma, 1998).
34
integritas moral yang tinggi” 59 .
Britton juga mencermati adanya pengaruh budaya Jawa yang sangat kuat
dalam pemikiran militer (military mind) Indonesia. Budaya Jawa yang dimaksud
adalah budaya yang dipelihara dan dikembangkan di sekitar wilayah “Mataraman” 60 .
Sekalipun Kerajaan Sriwijaya (6841377 M) yang berpusat di Sumatera bagian
Selatan dan Kerajaan Majapahit (12931520 M) yang berpusat di Jawa Timur
dianggap dua kerajaan yang pernah berjaya menguasai Nusantara yang sekarang
bernama Indonesia, namun pemikiran militer Indonesia modern lebih dipengaruhi
oleh tradisi militer Kerajaan Mataram Kuno (abad 8 dan 10 M) dan kerajaan
Mataram Islam yang dimulai sejak Panembahan Senopati naik tahta (1582) hingga
Perjanjian Gianti (1775) yang membuat Mataram Islam terpecah menjadi
Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kenapa demikian? Ada beberapa
sebab: pertama, Mataram adalah kerajaan besar yang era berdirinya paling terakhir
sebelum Indonesia memasuki era pemerintahan modern; kedua, Mataram adalah
salah satu kerajaan yang berada pada awal era kolonialisme di Indonesia dan
pasukannya terlibat peperangan melawan pihak penjajah. Dimulai oleh Sultan
Agung (16131645) yang melakukan perang besarbesaran melawan VOC
(Vereenigde Oost Indische Compagnie) hingga pemberontakan Pangeran
Diponegoro (18251830). Ketiga, pada saat perang kemerdekaan (19451950)
wilayah bekas pusat kerajaan Mataram ini menjadi salah satu basis pasukan pejuang
kemerdekaan terpenting, dan berkalikali menjadi medan pertempuran besar antara
para tentara pejuang Republik Indonesia melawan tentara penjajah.
Ketiga sebab tersebut membuat pemuda di wilayah Mataraman seolah
ditakdirkan mewarisi tradisi militer yang kuat. Oleh karenanya wilayah ini menjadi
sumber utama perekrutan tentara sejak –sudah barang tentu zaman kerajaan
Mataram, hingga era tentara Indonesia modern. Bahwa prajurit yang meraih puncak
karir sebagai petinggi militer Indonesia, terutama di jajaran Angkatan Darat,
sebagian besar berasal dari wilayah Mataraman adalah menjadi bukti sekaligus
59
Baca Lebih lanjut: Peter Britton, Profesionalisme dan Ideologi Militer Indonesia, Jakarta:
LP3ES, 1996. Khususnya Bab II yang membahas “Warisan Kemiliteran Jawa,” hal. 239.
60
Istilah yang merujuk pada wilayah petilasan yang pernah menjadi pusat kerajaan Mataram Kuno
yang HinduBudha (abad 810 M) serta kerajaan Mataram Islam (15821775). Pusat kerajaan ini
berada di pulau Jawa bagian tengah selatan. Meliputi Yogyakarta, sebelah barat meliputi Banyumas,
Purwokerto, Purworejo, di sebelah utara Magelang, dibagian timur hingga Madiun, Ponorogo dan
Kediri.
35
jawaban atas pertanyaan mengapa budaya Jawa khususnya tradisi militer Mataraman
sangat berpengaruh dalam military mind TNI 61 . Salah satu wujud pengaruh tersebut
adalah konsep istilah “Ksatriya” 62 . Di dalam kode etik prajurit TNI, yaitu “Sapta
Marga”, ksatriya adalah sebagai salah satu sebutan (julukan) lain dari TNI yang
berbunyi: “Kami ksatria Indonesia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
serta membela kejujuran kebenaran keadilan”.
Peter Britton menegaskan bahwa di dalam istilah ksatriya tersebut memuat
nilainilai ideal yang dijadikan rujukan bagi pembantukan kepribadian TNI, di
antaranya: (1) ksatriya itu memiliki disiplin diri yang kuat untuk mencapai sikap
tidak terpengaruh oleh apapun manakala peranannya diperlukan; (2) harus
mengesampingkan kesetiaannya kepada keluarga demi tugas dan kewajibannya; (3)
harus mampu mengalahkan keinginankeinginan pribadi demi kemuliaan tugas
kewajibannya; harus menguasai keterampilan manajemen dan seni peperangan; (4)
harus sanggup menguasai batinnya sendiri, menjauhkan diri dari pamrih,
mengalahkan nafsu dan hasrat yang tidak pada tempatnya 63 .
Menurut P.J Zoetmulder 64 ksatriya bukan hanya anggota golongan militer,
tetapi juga sekaligus golongan yang memerintah. Jika demikian halnya maka
kecenderungan TNI memposisikan diri sebagai atau setidaktidaknya ingin
turut terlibat dalam pemerintahan, dalam arti bukan sekedar sebagai alat negara
di bidang pertahanan, berarti memiliki akar di dalam kesadaran citra dirinya
sebagai ksatriya itu. Bahwa ”Lungguh keprabon” (duduk sebagai pemimpin
pemerintahan) adalah prestasi puncak bagi seorang ksatriya, sedang ”madeg
pandita” (penobatan dirinya sebagai panutan bagi bangsa) adalah puncak
kematangan seorang ksatriya setelah lengser keprabon (berhenti dari pimpinan
pemerintahan).
61
Sejak tahun 1974 hingga 2007, dari 14 jenderal yang menjabat Kepala Staf Angkatan Darat
(KASAD) separuhnya adalah berasal dari wilayah Mataraman ini (Lihat: Sejarah TNI AD 1974
2004, Jakarta: Dinas Pembinaan Mental Angkatan Darat, 2005.
62
Katakata yang adalah: ‘prajurit’ untuk sebutan lain dari tentara; ‘Perwira’, ‘Tamtama’, ‘Bintara’,
sebutan untuk tiga kelompok jenjang kepangkatan. (2) ‘Sapta Marga’ sebutan bagi nilai dasar
perjuangan TNI, (3) ‘Ing arsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tutwuri handayani, Waspada
purba wisesa, Hambeg parama arta, Satya, prasaja, gemi nastiti, Belaka, legawa’ dalam asas
kepemimpinan TNI; (4) dan ‘Budi bakti wira tama’ sebutan untuk kode etik perwira.
63
Peter Britton, Ibid , hal. 1116.
64
P.J. Zoetmulder & S.O Robson, Kamus Jawa Kuna Indonesia I, Jakarta: PT Gramedia, cetakan
ke2, 1997, hal. 523.
36
Di dalam ajaran stratifikasi sosial Hindu sebagaimana disebut oleh
Zoetmulder, Ksatriya (prajurit dan bangsawan) adalah kasta kedua setelah
Brahmana (pemuka agama), di atas kasta Waisa (kaum pedagang) dan Sudra
(kaum rendahan). Namun ketika istilah tersebut diadopsi dalam budaya Jawa
Islam justru bukan kasta brahmana yang dinomorsatukan melainkan ksatriya.
Sebuah naskah kuno tegastegas menempatkan prajurit pada urutan pertama dari
empat pilar kekuatan kerajaan, yaitu: prajurit, agamawan, petani dan pedagang 65 .
Di dalam kisah pewayangan –sebagai salah satu sumber nilai budaya
Jawa— di samping sebagai komandan dan panglima perang, ksatriya adalah juga
pemimpin dan kepala pemerintahan. Daerah atau wilayah di mana ia berdaulat
disebut ”kaksatryan” atau ”kesatriyan”. Sebutan ksatriya ini agaknya lebih
diarahkan untuk para prajurit golongan perwira daripada para prajurit yang berada
di bawahnya. Oleh karena itu hingga sekarang komplekskompleks di mana para
perwira bertempat tinggal disebut ”kompleks kesatriyan”.
Benedict ROG Anderson dalam deskripsinya mengenai gagasan kekuasaan
dalam kebudayaan Jawa, menyatakan bahwa kekuatan ksatriya itu diperoleh dan
dipelihara dengan dua cara. Pertama, pemusatan dan penyerapan energi yang
terpencar, kedua penyatukan dua pasangan yang berlawanan (oposisi biner).
Pertama, pemusatan dan penyerapan energi yang terpencar (sentripetal
integralistik). Manurut gagasan ini, usaha memperoleh kekuasaan dilakukan
melalui praktek yoga dan bertapa. Menurut Anderson, walaupun praktikpraktik
yoga berbedabeda bentuknya di berbagai daerah di Jawa, termasuk berpuasa,
melekan atau tidak tidur, bersemedi, tidak melakukan hubungan seksual, dan
mempersembahkan berbagai sesaji. Seiring dengan datangnya pengaruh ajaran
Islam, tindakan spiritual tersebut mengalami perubahan bentuk misalnya berupa
berhalwat (bersemedi versi Islam) menjalani puasa seninkamis, puasa Nabi Daud
(sehari puasa sehari tidak), sholat malam, berdzikir, dlsb.
Terdapat suatu gagasan pokok yang mendasari tindakan spiritual semacam
itu, yaitu semuanya dimaksudkan untuk menfokuskan atau memusatkan
kemurnian hakekat. Tuntunan terbaik untuk menghayati garisgaris besar
65
“Serat Margawirya” dikarang oleh R.M. Hariya Jayadiningrat I. Lebih lanjut lihat: Soemarsaid
Moertono, “Budi dan Kekuasaan dalam Konteks Kesejarahan”, dalam Miriam Budiardjo, Aneka
Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991, hal. 153.
37
konsepsi itu menurut Anderson adalah gambaran suatu suryakanta dalam sinar
laser, di mana pemusatan cahaya yang luar biasa akan menciptakan curahan panas
yang luar biasa. Analog ini sangat tepat karena dalam pelukisan klasik dalam
kepustakaan Jawa bertapa yang amat keras memang mempunyai kemampuaan
untuk menimbulkan panas pisik. Menurut Rassers, sebagaimana dikutip Anderson
menyatakan: orang percaya bahwa para pembuat keris legendaris di zaman dahulu
mampu menempa mata keris yang terbuat dari besi denga pamor yang indah
hanya dengan panas yang terpusat dalam ibu jari mereka 66 .
Gagasan kekuasaan sentripetalintegralistik tersebut di atas telah
tertransformasikan kedalam nilainilai militer Indonesia modern berupa jati diri,
yaitu “TNI sebagai Tentara Nasional”. Substansi jati diri ini adalah realitas
keanekaragaman bangsa Indonesia dari segi suku, budaya, agama dll. yang
tersebar dan berpencar di seluruh wilayah Republik Indonesia. Realitas tersebut
dipandang sebagai energi. Agar TNI memperoleh kekuatannya sekaligus dapat
memelihara kekuatan itu maka ia harus menyerap, memusatkan dan
menyatukannya, yang dalam wujud lahiriahnya bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Oleh karena itu keutuhan NKRI bagi TNI “harga mati” karena
pada hakekatnya NKRI itu adalah kekuatan dan jati dirinya sendiri.
Kedua, mempersatukan dua pasang yang berlawanan (unifikasi oposisi
biner). Cara kedua dalam memperoleh dan memelihara kekuatan dalam gagasan
kekuasaan ksatriya adalah dengan cara mempersatukan dua pasangan yang
berlawanan. Jika merujuk pada hasil temuan Claudeu LeviStrauss, seorang
antropolog strukturalis tampaknya gagasan kekuasaan semacam ini berlaku di
banyak masyarakat termasuk masyarakat primitif. LeviStrauss, juga telah
memperkenalkan teori mengenai pasangan berlawanan (oposisi biner [binary
opposition]) sebagai cara pengintegrasian suatu pemikiran 67 .
Mengacu pada pandangan LeviStrauss tersebut, cara berpikir integratif
dengan metode oposisi biner juga sangat menonjol dalam kaitannya dengan gagasan
tentang bagaimana suatu kekuatan atau kekuasaan diperoleh dan dipertahankan
66
W.R Rassers, “Panji: The Culture Hero, Struktural Study of Religion in Java, Nijhoff, 1959,
hal. 219297.
67
Octavio Paz, Claude LeviStrauss: An Introduction, dalam edisi terjemahan “LeviStrauss Empu
Antropologi Struktural”, Yogyakarta: LKiS, 1997, hal. 62.
38
dalam berbagai subkultur Indonesia. Bukan hanya terdapat dalam kultur Jawa 68 .
Konsep ini adalah bentuk derivat dari konsep “manunggaling kawulo lawan gusti”,
atau menyatunya hamba dengan Tuhan, yang juga bisa berarti menyatunya rakyat
dengan raja.
Gagasan ini mengandung unsur dialektika. Hanya beda dengan dialektika
Marxis yang menabrakkan dua klas yang berlawanan untuk melahirkan kekuatan
baru yaitu masyarakat tanpa klas, namun di dalam dialektika “ksatriya” ini justru
sebaliknya, dua energi yang memiliki sifat berlawanan itu harus dipasangkan
(unifikasi) untuk bisa melahirkan kekuatan yang dahsyat.
Wujud lahiriah penyatuan pasangan energi yang berlawan (unifikasi oposisi
biner) dalam militer Indonesia modern adalah tercermin dalam jati diri “TNI sebagai
Tentara Rakyat”. Dalam frasa “tentara rakyat” ini bukan berarti keduanya lebur
dalam satu, akan tetapi “manunggal”, dalam arti keduanya tetap sebagai dirinya
masingmasing akan tetapi membangun relasi yang intens dan intim antara rakyat
(hamba) dengan TNI (pemimpin). Makna kemanunggalan dari tugas dan peran TNI
bisa berarti bahwa dengan melindungi keselamatan segenap rakyat Indonesia pada
hakekatnya adalah melindungi kekuatan TNI itu sendiri. Ancaman terhadap
keselamatan rakyat pada hakekatnya adalah ancaman terhadap keselamatan TNI itu
sendiri. Untuk memperoleh kekuatan dan memeliharanya secara doktrinal TNI
mengharuskan dirinya: bersikap ramah tamah sopan dan santun terhadap rakyat,
tidak sekalikali merugikan, menakuti, dan menyakiti hati rakyat; menjadi contoh
dan mempelopori usahausaha untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi rakyat 69 .
Pada awal kemerdekaan bangsa Indonesia sangat berharap pada pasangan
berlawanan “DwiTunggal”, yaitu pasangan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden
Muh. Hatta, dua sosok yang memiliki watak dan kepribadian yang berlawanan—
yang dipandang mampu menjadi kekuatan yang dahsyat untuk memajukan negara
dan bangsa Indonesia. Dan sebagian masyarakat percaya bahwa perpecahan
pasangan DwiTunggal SoekarnoHatta lah yang menjadi penyebab bangsa
68
Penggunaan pola pemikiran oposisi biner tentang kekuasaan juga terdapat dalam kultur Bugis
dan Makassar. Hal itu dapat dilihat pada penampilan Bissu, yaitu julukan para penjaga lambang
kekuasaan dalam tradisi para penguasa Bugis dan Makassar. Para Bissu ini diberi pakaian
gabungan antara pakaian wanita dan pakaian lakilaki (lihat Anderson, dalam Meriam Budiardjo,
ibid., hal. 61).
69
Lihat dalam “Delapan Wajib TNI”, butir 1, 2, 6, 7 dan 8.
39
Indonesia mengalami kebangkrutan politik dan ekonomi yang klimaksnya terjadi
peristiwa G30S/PKI tahun 1965, dan kurang berhasil tumbuh menjadi bangsa yang
besar.
Mengenai sifatsifat istimewa ksatriya, Soedjarwo 70 melukiskan sebagai
bertikut:
“….. mungsuhe satriya iku buta utawa raseksa. Sifating satriya iku kosokbalen
karo sifating raseksa. Satriya iku anteng lan alus tindaktanduke, dene raseksa
iku sapari polahe sarwa kasar. Sanajan katone ora mitayani, nanging satriya iku
nduweni watak tangguh, tanggon, lan sembada.... Satriya iku kulina mesu raga,
mesu budi, lan gentur tapane”.
Makna yang terkandung dalam kutipan di atas adalah bahwa di dalam
dunia pewayangan, musuh ksatriya adalah ”buta” atau ”raksasa”. Keduanya
memiliki sifat yang berlawanan. Sosok buta, segala sifat dan tingkah lakunya
serba kasar, bengis, secara pisik tampak kuat dan perkasa. Sebaliknya, ksatriya
memiliki sifat tenang, berperangai halus, tindakannya efisien. Dalam hal
penampilan pisik seorang satriya itu “ora mitayani” atau tidak tampak kuat.
Namun begitu, sebetulnya ia tangguh, menguasai persoalan dan penuh tanggung
jawab. Tidak takut menghadapi segala kesulitan. Membiasakan diri bukan hanya
berolah pisik tetapi terutama berolah budi atau batin. Gemar bertapa.
Mengapa faktor pisik seperti gagah, kekar dan berotot, tidak dipandang
istimewa? Hal tersebut secara simbolik mencerminkan makna penggunaan
kekuatan serta makna kemenangan yang harus dicapai oleh ksatriya bukanlah
sematamata bersifat keunggulan kekerasan pisik semata. Bahwa kemenangan
yang hakiki itu adalah kemenangan yang diperoleh tidak dengan cara
menggunakan kekuatan kekerasan, menghancurkan, dan merendahkan martabat
musuh. Prinsip tersebut dalam istilah Jawa disebut: ”nglurug tanpo bolo menang
tanpa ngasorake” (menyerbu tanpa dengan bala kekuatan, menang tanpa dengan
mengalahkan) 71 .
Mengenai watak ksatriya, Soedjarwo mendeskripsikan bahwa watak
ksatriya itu adalah perwira, yaitu mengutamakan kewajiban dan tanggung jawab sesuai
70
Surat Kabar Suara Merdeka, dalam rubrik “Blencong”, 2004.
71
Pangsar Jend. Soedirman tatkala menjadi Komandan TRI Divisi V/KeduBanyumas berhasil
membujuk tentara Jepang menyerahkan seluruh perlengkapan dan persenjataannya dengan tanpa
ada pertumpahan darah di kedua belah pihak. Hal tersebut oleh para pengikutnya dipandang
sebagai “memenangi“ pertempuran dengan menggunakan prinsip ini. Waktu itu Soedirman adalah
satusatunya komandan yang bisa merebut persenjataan tentara Jepang tanpa lewat pertempuran.
40
dengan kedudukanya. Lebih baik mati dari pada dipermalukan. Berpembawaan halus,
penuh empati, tenang, dan intelek. Tidak pongah atau arogan. Namun dalam soal tugas
selalu ia selesaikan dengan tuntas 72 .
Menurut Anderson, golongan lawan ksatriya (rasaksa) juga bisa berhasil
memperoleh kekuatan dengan caracara yang ditempuh ksatriya. Perbedaan
apakah ia ksatriya apakah bukan adalah pada akhir penggunaan kekuatan itu.
Biasanya yang bukan ksatriya atau ksatriya yang gagal akan tidak tahan godaan
sehingga menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk maksud tujuan yang
menyimpang dari watak dan prinsip ksatriya. Mereka membiarkan kekuasaannya
kacau balau, karena mereka menuruti hawa nafsu tanpa kekangan, sedangkan para
ksatriya mempertahankan kebulatan tekad dan kesatuan tujuan secara ketat, yang
menjamin dapat dipertahankannya dan dihimpunnya kekuatan itu secara terus
menerus 73 .
Di dalam cerita ”pakem” (baku) dunia pewayangan, secara simbolik tipe
ksatriya ideal tercermin dalam sosok Raden Janaka yang memiliki nama lain
Permadi. Yaitu anak ke tiga dari lima bersaudara dari keluarga Pandawa. Dilihat
secara pisik Janaka tampak ringkih, 74 ”ora mitayani”. Namun di balik yang
tampak itu tersimpan daya kekuatan yang dahsyat (ngedapedapi) oleh sebab itu
ia dijuluki sebagai ”Lelananging jagad” (lelaki terpilih). Tokoh antagonis sebagai
lawan Arjuna (nama lain dari Janaka) adalah pasukan para Buta atau Rasaksa
dengan perangai dan tampilan yang sebaliknya. Dalam perang tanding antara
kedua belah pihak biasanya para Buta selalu kalah dengan tragis dan ironis: tewas
terkena senjata bertuahnya sendiri. Kisah tersebut mengandung makna pasemon
(sindiran) betapa pentingnya faktor mentalitas kepribadian prajurit itu melebihi
faktor kecanggihan dan kelengkapan senjata. Apabila mental kepribadiannya
rapuh bisa membuat kecanggihan dan keampuhan senjata yang dimiliki malah
membunuh dirinya sendiri.
72
Soedajarwo, Suara Merdeka, op. cit.
73
Benedict R.O’G Anderson, “Gagasan Tentang Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa”, dalam
Miriam Budiardjo, Pemikiran Tentang Kuasa dan Wibawa, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991,
hal. 54.
74
Ciri ksatriya adalah memiliki banyak nama yang biasanya namanama itu terkait dengan suatu
keistimewaan atau prestasi yang pernah dicapai. Bandingkan dengan TNI dengan jati dirinya dan
perubahan namanama TNI dari waktu ke waktu.
41
Mengenai penggunaan kekuatan yang dimiliki ksatariya Soedjarwo
mendeskripsikan bahwa, Selain pantang menolak tugas, satriya itu memegang teguh
kebenaran dan selalu siap siaga membela negara dan rakyat. Ksatriya juga
mengedepankan pengabdian, sebaliknya mengenyampingkan keinginan mendapat
imbalan 75 . Sikap teguh membela negara (telatahing projo) dan rakyat (kawulo) ini
tercermin dalam sesanti: ”Sadumuk bathuk sanyari bumi, den tohi ataker pati”
artinya: setiap pelanggaran dan ancaman, ibaratnya hanya sekedar menyentuh
jidat atau mengambil sejengkal tanah, maka nyawalah yang menjadi taruhan).
Tugas dan peran ideal ksatriya adalah sebagaimana tercermin dalam gelar
yang diberikan kepada rajaraja Jawa khususnya pada era kerajaan Mataram Islam
yaitu: “Senopati ing alogo kalipatullah sayidin panoto gomo” yaitu di samping
sebagai pemimpin pertempuran dalam perang, juga sebagai raja dan sekaligus
sebagai penegak aturan.
Konsep Prajurit ksatriya sebagaimana disebutkan di atas di era ketentaraan
Indonesia modern di pandang oleh sementara pihak telah menjelma di dalam
sosok dan kepribadian Jenderal Soedirman. Kepribadian Soedirman tersebut
lantas diidealisasikan sebagai “legendary rolemodel” bagi TNI yang bersumber
dari sejarah TNI itu sendiri. Deskripsi pribadi ksatriya Soedirman antara lain telah
ditulis dengan lengkap oleh S. Sulistyo Admodjo 76 . Sulistyo antara lain
mengemukakan bahwa dalam kehidupan seharihari cara berpakaian Soedirman sangat
sederhana. Sejak kecil Soedirman senang hidup prihatin, sehingga setiap malam tidak
pernah tidur di atas tilam (kasur). Pada masa sekolah di Wiworotomo, Soedirman mulai
terjun dalam kegiatan organisasi Muhammadiyah. Di kalangan Kepanduan Hizbul
Wathon [organisasi kepanduan Muhammadiyah] Soedirman besar pengaruhnya terhadap
kawankawannya sehingga dipilih sebagai pemimpin. Sikapnya yang pendiam tetapi
tegas, patuh dan taat pada kebenaran dan dapat ngemong kawankawannya. Sikap ini
terus terbawa hingga menjadi Panglima Besar” 77 . Jenderal Soedirman, yang juga
Panglima Besar TNI pertama lahir di dukuh Rembang, desa Bantar Barang,
75
Soedjarwo, Suara Merdeka, op.cit.
76
S. Sulistyo Atmodjo, Mengenang Almarhum Panglima Besar Jenderal Soedirman, Jakarta:
Badan Penerbit Yayasan Jenderal Soedirman.
77
Ibid., hal. 2.
42
kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Banyumas, Jawa Tengah 78 , secara
geografis adalah termasuk wilayah Mataraman.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Menteri Pertahanan pertama Republik
Indonesia mengakui akan adanya pengaruh yang sangat kuat dari kepribadian
(pikiran, sikap dan perilaku) Soedirman di dalam military mind TNI:
“.... Ketetapan dan ketabahan hati beliau, kesetiaan beliau terhadap perjuangan
rakyat Indonesia, usahausaha beliau untuk menyusun angkatan perang yang
sempurna hendaklah menjadi pedoman dalam hidup tiap prajurit Indonesia, dan
dalam perkembangan angkatan perang Indonesia dalam waktu yang akan datang,
Panglima Besar Jenderal Soedirman telah memberikan sifat dan arah yang terang
kepada angkatan perang Indonesia yakni angkatan perang adalah pelindung rakyat
dan abdi rakyat” 79 .
Di samping dirinya telah dijadikan model ideal kepribadian prajurit TNI,
Soedirmanlah yang meletakkan dasardasar identitas institusional TNI yang kini
lebih dikenal sebagai “Jati Diri” TNI. Dalam amanat “Order Harian Pangsar”yang
disampaikan pada 4 Oktober 1949, Ia menyatakan Angkatan Perang Republik
Indonesia adalah: tentara nasional, tentara rakyat dan tentara revolusi” 80 .
Setelah figur Soedirman, dengan tanpa bermaksud mengecilkan andil para
perintis TNI yang bukan berasal dari suku Jawa, seperti misalnya Nasution, T.B.
Simatupang, Alex Kawilarang, Andi Aziz, dlsb. namun agaknya Jenderal (Purn.)
Soeharto lah figur yang memiliki pengaruh kuat dalam mewarnai pemikiran militer
Indonesia. Terutama pemikiran dan pandangannya tatkala memegang tampuk
kekuasaan sebagai presiden Republik Indonesia (19661997). Kebetulan Soeharto
juga berasal dari daerah pusat tradisi agung budaya Jawa, yaitu Jogjakarta.
Soedirman dan Soeharto samasama meraih puncak reputasi yang nyaris
melegenda dalam sejarah awal proses pertumbuhan TNI. Reputasi itu membuat
keduanya memiliki kedudukan yang sangat terhormat dan sebagai ‘the significant
other’ dalam organisasi TNI secara umum, dan korps perwira pada khususnya.
Soedirman meraih puncak reputasi itu tatkala berhasil memimpin pertempuran
melawan pasukan gabungan BelandaInggris dalam apa yang dikenal dengan
78
Ibid., hal. 1.
79
Susilo Bambang Yudoyono, 1996, Ceramah Kepemimpinan pada Kursus Reguler Angakatan
XXIII Sesko ABRI Th 1996/1997, Bandung, 4 Juli 1996.
80
____, Setia dan Menepati Janji Serta Sumpah Prajurit, Jakarta: Markas Besar Angkatan Darat,
2006, hal. 78.
43
“Palagan Ambarawa” 81 . Sedangkan Soeharto meraihnya tatkala memimpin
“Serangan Oemoem” 1 Maret 1949, untuk mengusir pasukan Belanda dari
Jogjakarta yang dikenal dengan sandi “Janur Kuning” 82 . Meskipun seusai Soeharto
tidak lagi berkuasa mulai dipersoalkan mengenai siapa penggagas serangan itu.
Berdasar catatan Mgr. Soegijopranoto S.J., Hamengku Buwono IX lah
penggagasnya 83 .
Salah satu dari gagasan pemikiran “besar” Soeharto adalah reinterpretasinya
atas konsep “Politik Jalan Tengah” yang pernah digagas oleh Jenderal Nasution pada
awal tahun 50an sebagai respon atas konsepsi “Demokrasi Terpimpin” Presiden
Soekarno 84 .
Selanjutnya di tangan Soeharto “Politik Jalan Tengah” lantas mengalami
metamorfosis menjadi “Dwifungsi” dan menjadi landasan ideologis yang kuat bagi
Soeharto bersama perwiraperwira tinggi seangkatan dengannya untuk meraih
kekuasaan politik, sekaligus oleh Soeharto digunakan untuk mempertahankan
kekuasaan selama 32 tahun lebih sebagai sebagai presiden RI (19661997).
Makna lahiriah “Dwifungsi” adalah bahwa TNI bukan hanya memiliki
fungsi pertahanan tetapi sekaligus juga fungsi sosial dan politik. Dalam perspektif
budaya Jawa, ‘Dwifungsi’ juga memiliki makna batiniah, yaitu sebagai bentuk
penyatuan antara dua pasang fungsi yang berlawanan (binary oposition), yaitu fungsi
keras (militer) dan fungsi halus (sosialpolitik). Dalam gagasan kekuasaan Jawa,
apabila dua hal yang berlawanan bisa disatukan menjadi sebuah pasangan maka akan
bisa melahirkan kekuatan yang dahsyat. Sebaliknya apabila gagal menyatukan dua
berlawanan yang seharusnya berpasangan maka akan melemah bahkan lenyap
kekuatan itu.
Maka oleh sebab itu, secara ideologis adalah bukan tanpa alat pembenar
tatkala Soeharto memegang tampuk kekuasaan, profesionalisme militer Indonesia
ditafsirkan sedemikian rupa sehingga makna dari konsep Dwifungsi dan “tentara
81
Pertempuran Ambarawa terjadi sekitar NopemberDesember 1945. Pasukan Kol. Soedirman
meraih kemenangan dari pasukan sekutu pada tanggal 15 Desember 1945, kelak tanggal itu
dijadikan sebagai Hari Infanteri dan sejak tahun 1999 dirubah menjadi “Hari Juang Kartika”.
(_____, Sejarah TNI Jilid I, ibid., hal. 117118).
82
_____, Sejarah TNI Jilid I, ibid., hal. 208212.
83
Harian “Suara Merdeka”, Sabtu 2 Maret 2002.
84
Nasution, Ideologi TNI Menuju Tujuan UUD Proklamasi, Yogyakarta: Jurnal Media Inovasi
Univ. Muhammadiyah Yogyakarta, 1995, hal. 42. Istilah “Jalan Tengah” menurut penuturan
Nasution diberikan oleh Prof. Djokosutono, rektor AHM.
44
rakyat” bisa compatible dan dijadikan landasan ideologis bagi strategi politik rezim
yang dipimpinnya.
Seiring dengan pemaknaan baru yang terkandung dalam istilah Dwifungsi,
Presiden Soeharto waktu itu juga mengetengahkan beberapa gagasan mengenai
profesionalisme TNI dimana dalam gagasan tersebut ada keyakinan akan adanya
kecocokan antara profesionalisme TNI dengan doktrin Dwifungsi. Misalnya
menurut Presiden Soeharto, ABRI (TNI) yang profesional adalah TNI yang mampu
mengabdikan diri dalam kehidupan militer, sosial, dan politik; 85 TNI yang
profesional harus menunjang pelaksanaan pembangunan ekonomi, dan turut serta
dalam kegiatan politik, pemerintahan, dan pembangunan, dengan cara bersamasama
dengan rakyat menggerakkan pembangunan dan membina kehidupan politik yang
demokratis berdasarkan Pancasila, juga tidak hanya mampu menyingkirkan bahaya
yang mengancam, melainkan sekaligus harus meletakkan dasardasar yang kuat bagi
pembangunan masa depan bangsa 86 .
Seiring dengan berakhirnya kekuasaan Soeharto (1997) doktrin Dwifungsi
pun serta merta kehilangan tuahnya. Para perwira TNI yang tergolong pemikir pun
segera melakukan rekonseptualisasi terhadap arti profesionalisme. Jenderal A.C.
Mantiri misalnya, 87 dalam membuat rumusan militer yang profesional sama sekali
tidak menyinggung Dwifungsi. Secara lebih rinci Mantiri mengemukakan lima
aspek yang menentukan terwujudtidaknya profesionalisme TNI yaitu: (1) adanya
potensi kemampuan intelektual personil; (2) memiliki kemampuan berkomunikasi,
disamping bahasa juga teknologi komunikasi; (3) kemampuan kepemimpinan,
karena pada dasarnya setiap personil militer harus mampu menjadi pemimpin dari
tingkat terbawah hingga teratas; (4) memiliki kondisi kesamaptaan dan kesehatan
yang prima sesuai dengan standar umur bagi personil militer; (5) memiliki motivasi
yang kuat dari sanubari setiap personil untuk ingin menjadi personel yang
profesional.
Jenderal Endriartono Sutarto tatkala menjabat Panglima TNI membuat
deskripsi mengenai profesionalisme TNI sebagai berikut:
85
Pidato Presiden Soeharto pada saat melantik Jend. M. Panggabean menjadi Pangad.
86
Pernyataan Presiden Soeharto, tanggal 11 Oktober 1971 pada saat membuka Commander’s Call
terbatas ABRI yang berlangsung di Aula Departemen Pertahanan dan Keamanan.
87
A.C. Mantiri, “Memelihara Profesionalisme Sepanjang Masa Penugasan,” dalam Majalah
Akademi Tentara Nasional Indonesia, Edisi Desember 2000, hal. 15.
45
“Profesionalisme sangat terkait dengan kemampuan untuk menjalankan tugas
pokoknya, patuh terhadap hukum dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia,
...lebih mengedepankan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan
pribadi, kelompok dan golongan, senantiasa mendorong berlangsungnya proses
demokrasi bangsa, menjalankan peran dominan di bidang pertahanan dan
keamanan, tidak terlibat langsung dalam bidang politik 88 .”
Gambar 1
DIAGRAM PENTAGONAL PROFESIONALISME TNI
46
kepribadian TNI yang profesional. Selanjutnya, pada masingmasing tandan
tersebut terdapat lima aspek.
Tandan terluar (I) berisi landasanlandasan normatif yang dijadikan
pedoman institusi maupun individu guna terwujudnya profesionalisme TNI, yaitu:
TNI harus menerima diberlakukanya sistem demokrasi, menghargai supremasi
sipil, mentaati hukum nasional dan hukum internasional yang sudah diratifikasi,
menghormati hakhak asasi manusia, tidak berpolitik praktis dan tidak berbisnis.
Tandan II adalah berisi lima prasyarat mutlak yang diperlukan bagi
pembentukan TNI profesional yaitu: terdidik dengan baik dalam program
pendidikan yang berjenjang dan berkelanjutan, terlatih dengan baik dalam medan
latihan yang intensif, dipersenjatai dengan baik didukung dengan adanya alat
utama sistem persenjataan (Alutsista) yang memadai dan modern, menjalani
penugasanpenugasan baik tempur maupun nontempur, baik dalam perang
maupun selain perang; dan kesejahteraan terjamin baik untuk dirinya maupun
keluarganya.
Tandan terdalam (III) adalah memuat lima komponen kemampuan dan
sikap mental yang harus dimiliki oleh pribadi TNI yang profesonal yaitu:
memiliki kemampuan intelektual yang tinggi, memiliki kesamaptaan yang relatif
sempurna, memiliki motivasi yang kuat, memiliki kemampuan memimpin yang
baik, lancar dan mahir dalam melakukan komukasi berikut menggunakan
teknologi komunikasinya.
47
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian Fenomenologis
Metode dalam penelitian ini adalah menggunakan metode fenomenologi.
Namun karena masalah penelitian ini memiliki aspekaspek historis yang harus
diungkap maka penelitian ini juga diperlengkapi dengan metode Historical
Sociology of mentality (Sosiologi Sejarah Mentalitas).
1. Metode Fenomenologi
Fenomenologi sebagai metode penelitian telah mengalami perkembangan
yang sangat pesat, yang pada sisi yang lain juga telah memunculkan beberapa
perspektif. Salah satu diantaranya adalah fenomenologi reflektif atau
fenomenologi transendental 89 . Tentu membahas perkembangan aliran dan
perbedaan metode fenomonelogi adalah bukan menjadi maksud penelitian ini.
Sebaliknya untuk kepentingan penelitian ini perlu ditegaskan bahwa metode
fenomenologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah merujuk kepada
fenomenologi yang digagas oleh Edmund Husserl (18591938) yang pada intinya,
sebagaimana disimpulkan oleh J.J. Kockelmans dalam bagian pengantar bukunya
”The Philosophy of Edmund Husserl” dinyatakan bahwa gagasan pokok (mean
idea) fenomenologi Husserl adalah memandang tugas ilmuilmu sosial itu berada
pada bentangan garis (interval) yang memiliki dua kutub ekstrem. Di satu pihak,
ilmuilmu sosial bertugas melukiskan realitas sosial setepat mungkin serta
menjelaskannya sebagai obyek, di pihak lain bertugas untuk memahami realitas
sosial sebagaimana adanya dalam subyek. Di antara dua kutub itu, fenomenologi
bertindak sebagai ”jembatan” (bridging) yang menghubungkan realitas subyektif
”di sini” dengan realitas obyektif yang ada ”di luar sana”. Dengan peranannya
sebagai jembatan itu sebagaimana dikemukakan oleh Max Scheler,
89
Di samping fenomenologi transendental (transcendental phenomenology) juga ada dialogical
phenomenology, existential phenomenology, hermeneutic phenomenology, dan empirical
phenomenology (lihat John W. Creswell, Qualitative Inquiry and Research Design, SAGE
Publication, 1998, hal. 53).
48
fenomenologi menjadi jalan yang mengarah pada penyingkapan suatu hakekat
atau esensi 90 . Jadi dalam perpektif fenomeologi realitas subyektif dan realitas
obyektif itu bukan ibarat dua sisi sebuah kepingan. Tugas ilmuilmu sosial juga
bukan untuk memilih salah satu sisi dari seuatu kepingan itu.
Dengan bertitik tolak dari jalan pikiran Kockelmans dan Scheler di atas
secara sederhana perlu dinyatakan di sini bahwa ”hakekat” yang akan disingkap
dalam penelitian ini pada intinya adalah tentang ”bagaimana makna
profesionalisme yang ada dalam alam kesadaran perwira menengah TNI
Angkatan Darat”.
Untuk menuju kearah penyingkapan hakekat tersebut, di samping
menetapkan metodemetode yang bisa berfungsi sebagai jembatan, langkah yang
harus dilakukan adalah Bracketing atau tahap reduksi fenomenologi yang dalam
metode Fenomenologi berarti ”menangguhkan lebih dulu” keyakinan, anggapan
anggapan umum, dan prasangkaprasangka teoritik di sekitar fenomena yang akan
diungkap sehingga fenomena tersebut terlepas dari penilaianpenilaian tertentu,
sampai ditemukan landasannya berupa pengalamanpengalaman murni dari
Subyek Penelitian. Penangguhan inilah yang oleh Husserl disebut epoche 91 .
Di dalam penelitian ini bracketing akan dilakukan terhadap pandangan
pandangan dan asumsiasumsi teoritik yang berkaitan erat dengan masalah
profesionalisme militer sebagaimana telah dibahas pada bagian terdahulu; yang
telah terekonstruksi melalui kajian pustaka, yang dikelompokkan pada dua
kategori yaitu: nomotetis dan ideografis. Yang bersifat nomotetis adalah postulat
postulat teoritik yang dikemukakan para ahli militer terutama oleh Huntington
mengenai profesionalisme militer yang di dalam khazanah studi militer disebut
Old professionalism, apabila diderivasikan (diturunkan) untuk memberi penilaian
(judgment) masalah profesionalisme TNI pernyataan akan berbunyi sbb:
1) Bahwa keahlian utama perwira adalah manajemen kekerasan, oleh sebab itu
seorang perwira pada dasarnya adalah seorang manajer kekerasan.
2) Bahwa wilayah peran militer itu hanya di bidang keamanan militer dan
berfungsi sebagai alat pertahanan.
90
J.J. Kockelmans (ed). The Philosophy of Edmund Huserl, New York, 1967.
91
John Creswell, Ibid., hal. 52.
49
3) Bahwa perwira itu dididik dan dilatih untuk memimpin pertempuran dalam
perang (saja).
Sedangkan yang tergolong ideografis adalah deskripsi sejarah dari
perpektif sosiologis mengenai tradisi ketentaraan di Indonesia, berbagai
pandangan dan pemikiran para pendiri dan perintis TNI, serta UU No 34 Th. 2004
mengenai TNI, yang antara lain dalam pasal 2 ayat (d) Bab II UndangUndang RI
no 34 tahun 2004, yang berbunyi:
”Tentara Profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara
baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta
mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi
sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional
yang telah diratifikasi” 92 .
Kiranya perlu dijelaskan di sini Bracketing adalah tidak sama dengan
hipotetis dalam tradisi penelitian kuantitatif positivistik dimana dalam pendekatan
penelitian semacam itu hipotesis adalah menjadi sasaran pembuktian penelitian.
Adapun Bracketing adalah lebih merupakan sebuah ”giro kompas” atau ”mercu
suar”, yang memberi informasi mengenai ancarancar dimana posisi
”petualangan” penelitian fenomenologis dilakukan atau kemana haluan ”biduk”
penelitian harus diarahkan. Jadi membuktikan benar tidaknya atau cocok tidaknya
pandangan dan asumsi teoritik yang ditahan di dalam kurung dengan pemahaman
Subyek Penelitian adalah bukan tujuan sejatinya dari penelitian ini.
Oleh sebab itu masalah jarak antara masa pendidikan militer pertama
Subyek Penelitian dengan waktu disahkannya Undang Undang No 34 tahun 2004,
misalnya, juga bisa dikesampingkan. Memang Subyek Penelitian adalah lulusan
Akademi Militer paruh kedua tahun 80an, sedangkan UndangUndang tersebut
baru disahkan pada tahun 2004, terpaut sekitar 15 tahun. Hal tersebut secara
teoritik bisa berarti penyelengaran pendidikan yang dilaksanakan di akademi
militer waktu itu belum dijiwai oleh semangat UndangUndang tersebut. Namun
demikian, rentang waktu antara saat UndangUndang tersebut di sahkan (2004)
dengan saat penelitian dilaksanakan (20062007) adalah waktu yang dipandang
cukup bagi proses sosialisasi UndangUndang tersebut bagi perwira Subyek
Penelitian lagi pula selama dalam penugasan setamat dari akademi militer
92
UndangUndang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004, Tentang Tentara Nasional
Indonesia
50
pertama (Dikma) mereka juga menempuh berbagai pendidikan pengembangan.
Lagi pula sebagaimana sudah dibahas panjang lebar dalam bagian pendahuluan
bahwa kehendak untuk membangung TNI sebagai militer profesional itu sudah
muncul sejak awal pembentukannya.
Tahap selanjutnya adalah menggali dan mengumpulkan data dari para
informan dengan melalui teknikteknik yang relevan antara lain wawancara yang
mendalam (indepht interview), angket terbuka, dan diskusi kelompok terfokus
(focused group discussion). Dari data yang terkumpul dibuat kompilasi tematik.
Data dipilahpilah ke dalam subsub tema yang merupakan bagianbagian dari
tema umum penelitian. Termasuk pada tahap ini, peneliti berusaha keras
melakukan ”penyelaman” kedalam alam kesadaran subyek (contemplating the
content of mind) yang berupa aktivitasaktivitas mengingati (remembering),
meresapi (perceiving), dan mengingini (desiring) di mana ketiga jenis aktivitas
kesadaran tersebut memiliki keterarahan (directedness) pada ”sesuatu” yang di
dalam metode fenomenologi disebut intensionalitas (intentionality). Dan
”sesuatu” dalam penelitian ini itu adalah tema penelitian itu sendiri yaitu
profesionalisme TNI.
Dengan mengikuti jalan pikiran tersebut di atas, maka yang dimaksud
alam kesadaran subyek dalam penelitian ini adalah alam kesadaran para perwira
menengah TNI yang menjadi Subyek Pelitian, yaitu aktivitas (1) kenangan atas
pengalaman mereka, (2) kesan dan penghayatan atas yang dialami dan (3)
keinginan serta harapan mereka yang mengarah kepada soal profesionalisme TNI.
Proses terakhir dari metode fenomenologi ini adalah transendensi
fenomenologi yaitu mencari dan menemukan interelasi dan koherensi data dari
lapangan yang digali dari Subyek Penelitian dengan keyakinan, pandangan
pandangan dan prasangkaprasangka teoritik yang sebelumnya ditangguhkan
(bracketed). Dari tahap ini, melalui pemikiran reflektif dan spekulatif diharapkan
akan diketemukan nilainilai yang ada dibalik maknamakna (meanings) yang
ditemukan di sekitar profesionalisme TNI.
51
2. Metode Sosiologi Sejarah
Secara umum yang dimaksud Metode Sosiologi Sejarah (Historical
Sociology) adalah suatu telaah sosiologis yang didasarkan pada sumbersumber
data sejarah. Baik itu menggunakan data dokumen orisinal dari arsip ataupun dari
tulisantulisan sejarah yang disusun oleh sejarawan 93 . Sedangkan Sejarah
Mentalitas (History of Mentality) sebagaimana dinyatakan oleh Kuntowijoyo 94
adalah salah satu bentuk metode penelitian (sejarah) yang lebih memusatkan
perhatian mengenai keadaan, perilaku, dan bawah sadar kolektif. Dengan
demikian ia tidak sepenuhnya tergantung pada adanya peristiwaperistiwa
spektakular dan “orang besar” pembuat sejarah.
Metode ini menggunakan alat bantu teoriteori ilmu lain terutama
sosiologi, dan antropologi sosial. Kuntowijoyo menyatakan, pendekatan sejarah
mentalitas memandang sangat penting adanya sistem simbol. Karena sebagaimana
pendapat Mary Douglas, sistem simbol yang terstruktur secara sosial adalah
sebagai sumber pengalaman. Keterkaitan antara pendekatan Sejarah Mentalitas
dengan pendekatan fenomenologi antara lain karena Sejarah Mentalitas
memandang sangat penting penggunaan kerangka penjelas teori konstruksi sosial
(Social Construction Theory) Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Menurut
perspektif Sejarah Mentalitas, masyakat itu melihat realitas sosial dengan
disposisi mentalnya adalah dengan tidak secara langsung melainkan melalui
sebuah konstruksi sosial 95 .
Dalam kaitannya dengan manfaat pendekatan sejarah mentalitas,
menguatkan pendapat Kuntowijoyo, J. Kadjat Hartojo menyatakan bahwa dengan
93
Gordon Marshal, Dictionary of Sociology, Oxford University Press, 1998, hal. 277278.
94
Kuntowijoyo, Raja Priyayi dan Kawula, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2006, hal. 12 dan 10.
Perlu sedikit dijelaskan di sini, istilah “Sejarah Mentalitas” diperkenalkan oleh Fernand Braudel,
sejarawan Prancis yang bersama, antara lain, dengan Jacques Legoff, membentuk madzhab
sejarawan Les Annales. Ia membagi tiga lapisan sejarah atas dasar ‘kecepatan’; yakni ‘Sejarah
PeristiwaPeristiwa’, ‘Sejarah Geologi’, dan ‘Sejarah Mentalitas’.
Sejarah Peristiwa berjalan paling cepat, sedangkan Sejarah Geologi berjalan lambat sekali.
Kemudian Sejarah Mentalitas, berjalan lambat yang perubahannya kadang harus dihitung dengan
ukuran abad.
Yang dimaksud mentalitas (mentalite) di sini adalah sesuatu yang tertanam dalam lubuk
budaya suatu masyarakat yang bentuk keluarannya adalah reaksi otomatis terhadap masalah
masalah sosisal, politik, dan ekonomi. Pemikiran Braudel antara lain, terdapat dalam bukunya
(terjemahan dari Bahasa Prancis) The Mediterranea and the Mediterranean World in Age of Philip
II (1949 dan 1966).
95
Kunto Wijoyo, loc.cit.
52
pendekatan tersebut, sejarah masa lalu akan jauh lebih bisa dipahami dari pada
sekedar sejarah serba peristiwa yang menjelaskan peristiwa dalam hubungan
kausal dengan peristiwa lain 96 .
Penggunaan Historical Sociology of Mentality dalam penelitian ini adalah
sebagai penyempurna atas pendekatan fenomenologi. Fungsinya sangat vital
sebab rasanya tidak mungkin mengungkap fenomenfenomen yang berkenaaan
dengan profesionalisme militer (TNI) tanpa mempertautkannya dengan dimensi
ruangwaktu masa lalu. Lebih spesifik lagi, tidak mungkin menyingkap esensi
pemahaman tentang profesionalisme TNI tanpa mengkaitkannya dengan sejarah
mentalitas yang ada. Pentingnya pendekatan Historical Sociology dalam
penelitian ini dapat diresapi dari substansi yang ada dalam pemaparan latar
belakang masalah serta diskripsi wilayah penelitian.
Sedikit kembali ke Historical Sociology, memang penggunaan pendekatan
ini masih mengundang kontroversi. Sejarawan Charles Wilson, guru besar sejarah
dari University of Cambridge misalnya, menyebut sosiolog yang menggunakan
pendekatan Historical Sociology sebagai ilmuwan yang tidak pernah yakin dengan
caranya sendiri. Namun E.H. Carr, penulis buku ”What is History” menyatakan
bahwa dari waktu ke waktu semakin dibutuhkan penggunaan pendekatan
Sociological History dalam studi sejarah sebagaimana juga semakin dibutuhkan
penggunaan pendekatan Historical Sociology dalam sosiologi. Katanya lebih
lanjut:”Let the frontier between them be kept open for twoway traffic” 97 .
Malahan, Anthoni Giddens (dalam ”Central Problem in Social Theory”, 1979)
menyatakan bahwa tidak ada perbedaan logika bahkan metodologi antara ilmu
ilmu sosial dengan sejarah. Praktisi dari ke dua disiplin ilmu tersebut mempunyai
tujuan sama yaitu menganalisis tingkah laku yang bermakna dari individu ataupun
kelompok, memahami secara tepat tentang proses, hubungan, dan perubahannya.
B. TeoriTeori Fenomenologis
Di dalam bagian terdahulu sudah disinggung bahwa gagasan pokok
metode fenomenologi adalah menjembatani tugas ilmuilmu sosial yang pada
dasarnya berada pada bentangan garis yang memiliki dua kutub ekstrem. Yaitu
96
Kadjat Hartoyo, dalam Kuntowijayo, ibid., hal. xix.
97
Gordon Marshal, Ibid., hal. 279
53
realitas subyektif yang ada ”di sini” di satu kutub, dengan realitas obyektif yang
ada ”di luar sana” di kutub yang lain. Oleh sebab itu semua teori sosial yang
dikembangkan dengan maksud untuk menemukan esensi dengan jalan
merujukkan dua kutub ekstrem tersebut pada dasarnya adalah tergolong metode
fenomenologi. Sekalipun teoriteori tersebut tidak betulbetul berada di dalam
posisi tengah, karena bisa jadi masingmasing teori memiliki kecondongan ke arah
salah satu kutub tertentu.
Di antara teoriteori fenomenologi yang ada, yang akan digunakan di
dalam penelitian ini adalah: Teori Konstruksi Sosial (Social Construction) oleh
Peter L. Berger & Thomas Luckmann; dan Teori Interaksionisme Simbolik
(Symbolic Interactionism) oleh George Herbert Mead.
Masingmasing teori dijelaskan secara ringkas sebagai berikut:
1. Teori Konstruksi Sosial Berger
Sebagaimana dinyatakan oleh Margaret Poloma, bahwa ”darah”
fenomenologi yang mengalir dalam teori yang dikembangkan oleh Peter L. Berger
adalah diwarisi dari gurunya seorang fenomenolog, yaitu Alfred Schutz. Dari ide
ide Schutz ini, dua muridnya yaitu Berger dan Garfinkel mengembangkan teori
teori sosialnya. Berger –bersama Thomas Luckmann mengembangkan teori
Konstruksi Sosial dan Garfinkel mengembangkan teori Etno Metodologi 98 .
Mengenai Etno Metodologi, Bogdan & Taylor menyebutnya sebagi salah satu dari
dua teori utama dalam perspektif fenomenologi di samping teori Interaksionisme
Simbolik 99 .
Gagasan pokok (mean idea) teori konstruksi sosial Peter Berger dan
Thomas Luckmann 100 adalah bahwa manusia itu pada hakekatnya adalah
memproduksi dirinya sendiri. Tidak ada tempat bagi individu untuk memencilkan
diri atau terkurung. Dalam melakukan produksi diri selalu memerlukan suatu
‘perkongsian sosial’ (social enterprice). Mereka secara bersamasama
menciptakan lingkungan manusia, dengan segala bentuk sosiobudaya dan
98
Margaret M. Poloma, Sosiologi Kotemporer, Jakarta: Rajawali Pers, 1992, hal. 301302.
99
Bogdan & Taylor (Arif Furchan, penerjemah), Pengantar Metoda Penelitian Kualitatif,
Surabaya: Usaha Nasional, 1992, hal. 3541.
100
Charles Lemert ed., Social Theory the Multicultural and Classic Reading, Westview Press,
1999, hal. 384388.
54
prikologisnya. Tidak ada seorang pun dalam bentukan ini bisa dimengerti sebagai
bentukan dari raga biologisnya semata yang hanya menyediakan batasbatas luar
untuk aktivitas produktif manusia.
Lebih lanjut Berger menyatakan, adalah tidak mungkin manusia
mengembangkan dirinya sebagai manusia dalam keterisolasian melainkan harus
berada dalam sebuah struktur, juga tidak mungkin seseorang dalam
keterisolasiannya sebagai agensi yang memproduksi sebuah lingkungan
manusia 101 . Peter L. Berger meyakini bahwa hubungan antara struktur dan agensi
sebagai sebuah dialektika. Masyarakat membentuk individuindividu, sebaliknya
individuindividu juga membentuk masyarakat, demikian itu terjadi secara timbal
balik berbentuk ikal dalam putaran terus menerus (a continous loop). Dalam hal
ini Berger manyatakan bahwa konstruksi sosial itu terjadi dalam proses dialektik
yang melibatkan tiga tahap yaitu apa yang ia sebut: eksternalisasiobyektivasi
internalisasi (externalizationobjectivationinternalization).
Mengenai eksternalisasi, menurut Berger, manusia melakukan
eksternalisasi sepanjang ia menggunakan raga, energi dan gagasannya untuk
membentuk atau membangun dunia sosialnya. ‘Membangun dunia sosial’ (build
social world) adalah bagian esensial dari kehidupan manusia. Keadaan biologis
manusia perlu diperlengkapi. Karena tidak seperti binatang, manusia tidak hadir
dengan sempurna yang dilengkapi dengan alatalat yang diperlukan untuk
bertahan hidup. Eksternalisasi adalah menciptakan struktur yang stabil yang
diperlukan untuk bertahan hidup itu. Struktur itu adalah sebuah produksi bersama
(a collective production) yang terjadi dalam kurun waktu yang sangat lama 102 .
Adapun obyektivasi Berger menggambarkan sebagai penciptaan berbagai
lembaga, bahasa, benda, peralatan, ilmu pengetahuan, kesenian, dalam aktivitas
terstruktur. Segala struktur itu memiliki aturan yang harus ditaati. Agar penciptaan
itu menjadi obyektif maka harus ada aturan yang dibuat bersama. Struktur dimana
manusia itu hidup, akan memberi arah, peranan dan makna didalam sebuah
totalitas. Dengan adanya struktur akan memberi kepastian mengenai berbagai
101
Charles Lemert, ibid., hal 285.
102
Tim Knepper (reviewer), Berger The Sacred Canopy: Elements of Sociological Theory of
Religion, Religious Experience Resources Review of Books and Articles,
http://people.bu.edu./wwildman
55
tindakan dan kemungkinan tindakan, peranan, identitas dan makna. Singkat kata,
obyektivasi adalah pada saat mana sebuah totalitas pemaknaan sedang diproduksi.
Jadi obyektivasi adalah tahap berikut manakala para “aktor sosial” secara simultan
melakukan eksternalisasi, atau melakukan tindakan sosial yang pada gilirannya
membentuk sebuah realitas sosial obyektif. Atau dalam perpektif fenomenologi
realitas obyektif yang dimaksud dianggap tidak akan pernah ada, yang ada adalah
intersubyektif 103 .
Internalisasi bagi Berger adalah kurang lebih sama dengan sosialisasi.
Dalam internalisasi, peran (role) dan identitas (identity) sangat penting. Dengan
peranan dan identitas tertentu anggotaanggota dari suatu struktur melakukan
internalisasi. Manusia itu sendiri adalah terstruktur oleh realitas obyektif. Masing
masing orang memiliki peranan dalam struktur. Memainkan sebuah peran berarti
menjadi sebuah pribadi (be that person). Kesadaran individual akan diri dan
dunianya akan terbentuk sesuai dengan peran tadi. Struktur obyektif akan
membuat seseorang tidak hanya sekedar memainkan sebuah peranan (play a role)
melainkan juga “menjadi”. Misalnya dalam internalisasi mengenai nilainilai
keprajuritan (military values), ‘menjadi’ seorang komandan adalah menjadi,
sepanjang sebagai komandan itu didefinisikan oleh struktur. Sang komandan tadi
akan menginterpretasikan seluruh kehidupan, diri, dan dunia sosialnya menurut
identitas yang diberikan oleh struktur sosial kemiliteran. Secara empiris
keberadaan seseorang selalu mengambil tempat di dalam konteks keteraturan,
keterarahan, dan stabilitas yang diperolehnya lewat tatanan sosial (social order).
Tatanan sosial adalah suatu produk manusia, atau persisnya adalah yang sedang
dan terus menurus diproduksi manusia. Ia diciptakan manusia dalam sebuah
perjalanan ’eksternalisasi’ yang terus menerus 104 .
Penggunaan teori konstruksi sosial oleh Berger dan Luckmann sebagai
landasan analisis tidak akan bisa berhasil memberi perspektif yang memadahi
tanpa dikombinasikan dengan alat analisis yang lain. Untuk itu teori strukturasi
oleh Anthony Giddens juga akan menjadi landasan analisis penelitian ini.
103
Intersubjectivity adalah istilah di dalam metode fenomenologi, yang dijadikan kesepakatan
kerja (working agreement) agar tidak boleh ada klaim akan adanya ”objectivity”. (Penjelasan
selanjutnya lihat pada catatan kaki nomer 135).
104
Charles Lemert, ibid., hal. 287.
56
2. Interaksionisme Simbolik Mead
Masalah penelitian ini adalah berkisar tentang profesionalisme TNI yang
di dalam Undangundang No. 34 tentang TNI dikonseptualisasikan sebagai bagian
dari Jati Diri (self identity) TNI. Oleh sebab itu pemakaian teori Interaksionisme
Simbolik Herbert Mead sebagai alat penjelas adalah suatu yang tidak terelakkan.
Sebagaimana telah disinggung di bagian terdahulu bahwa teori ini adalah
merupakan teori utama dalam perspektif fenomenologi, di samping teori Etno
Metodologi 105 . Herbert Mead dengan Interaksionisme Simboliknya 106
menempatkan ”self” sebagai kata kunci. Menurut Mead, selflah yang membuat
masyarakat manusia menjadi istimewa. Dalam kerangka kerja Mead, self
dibayangkan sebagai ruangan bagi terjadinya dua fase proses diri, yaitu ”I” yang
memiliki sifat spontan, dari dalam (inner), subyektif, tidak terkekang 107 . Dan
”Me” yang adalah sikapsikap yang terorganisir dan terarah kepada orangorang
lain; yang menghubungkan orang itu dengan masyarakat luas; memiliki sifat
sosial dan terkekang (determinated). Me inilah yang sering disebut selfconcept
(konsep diri) atau juga disebut Selfidentity (jati diri) 108 . Mead melukiskannya
sebagai ”How people see themselves through the eyes of others” (Bagaimana
seseorang memandang dirinya melalui mata orang lain). Apa yang
dikonseptualisasikan oleh Mead dalam Selfidentity inilah yang akan dijadikan
landasan untuk memberi interpretasi mengenai prosesproses pembentukan serta
hakekat dari profesionalisme TNI sebagai Jati Diri TNI.
Self berkembang melalui komunikasi dan simbolsimbol. Mead
menunjukkan perkembangan ini terjadi melalui dua fase yaitu play stage (tahap
mainmain), dan game stage (tahap permainan). Dalam fase mainmain,
105
Bogdan & Taylor, op.cit.
106
“Self” menjadi konsep ilmiah dikemukakan oleh Charles Horton Cooley, dengan teorinya
“Looking Glass Self”. Lantas oleh William James dan George Herbert Mead dijadikan sebagai
dasar dari teori “Interaksionisme Simbolik”. “Self” ini menggambarkan kemampuan reflective
(berpikir mendalam) dan reflexive (berpikir memantul) manusia dengan mengambil dirinya sendiri
sebagai obyek berpikirnya. Pandangan “self” dari James dan Mead adalah representasi pandangan
pragmatisme. (Gordon Marshal [editor], A Dictionary of Sociology, New York: Oxford University
Press, 1998, hal. 589591, juga lihat, Terrence A. Doyle, Ph.D., dalam [email protected]).
107
Relasi Self – I – Me oleh Mead ini secara konseptual berbeda dengan Id Ego Super Ego
dalam psikoanalisa Freud. Untuk penjelasan ini lihat Robert Hagedorn (editor), Sociology,
Toronto: Holt, Rinehart & Winston of Canada Limited, 1983, hal. 72.
108
Wikipedia Free Encyclopedia.
57
mengandaikan adanya significant other sebagai rolemodel 109 dan pada fase
permainan mengandaikan adanya generalized other yang pengertiannya mengacu
pada sikapsikap yang terorganisir dan terarahkan kepada masyarakat
keseluruhan, yang dengan demikian memungkinkan seseorang memarasukkan
nilainilai yang menopang masyarakat tersebut ke dalam konsepsi mengenai
dirinya 110 .
3. Teori Antropologi Pengalaman dan Teori Strukturasi.
Di samping menggunakan dua teori tersebut (konstruksi sosial dan
interaksionisme simbolik) dalam penelitian ini juga meminjam konsepkonsep
dari Teori Antropologi Pengalaman Edward Bruner dan Teori Strukturasi
Anthony Giddens, sebab ada sudutsudut (angle) dari persoalan penelitian yang
penulis anggap akan lebih bisa dijelaskan dengan konsepkonsep yang berasal dari
kedua teori tersebut. Untuk memberikan gambaran sekilas mengenai kedua teori
tersebut berikut ini deskripsi singkat mengenai Teori Antropologi Pengalaman
dan Teori Strukturasi.
Salah satu kekuatan yang dimiliki oleh Teori Antropologi Pengalaman
sebagai salah satu teori dalam perspektif fenomenologi adalah ketegasannya
menyatakan ketidakidentikan antara realitas, pengalaman dan ekspresi. Di
samping menekankan pentingnya pengalaman sebagai bagian sentral dari mata
rantai proses produksi realitas kebudayaan. Ketegasan ini penulis pandang perlu
sebagai penguat analisis pada bagianbagian atau tematema tertentu dari
penelitian ini. Dalam buku “The Anthropology of Experience”, Turner dan
Bruner 111 membuat skema hubungan sirkuler dialektik: realitapengalaman
109
Rolemodel adalah seorang significant other, yang memiliki polapola tingkah laku individual
dalam suatu peran sosial tertentu, termasuk dalam hal kecocokannya dalam mengadopsi sikap
sikap. Role model tidak harus seorang yang dikenal secara pribadi. Beberapa orang meneladankan
tingkah lakunya dalam peran tertentu pada yang nyata, tapi juga pada figur legendaris dalam
sejarah (Gordon Marshal, ibid., hal 572).
110
Robert Hagedorn, ibid., hal. 7576.
111
Victor W. Turner and Edward M. Bruner, The Antropology of Experience, Urbana: University
of Illinois Press, 1986. Turner meninggal tahun 1983 tatkala sedang mempersiapkan buku ini.
Adapun Bruner adalah profesor emeritus di University of Illinois, AS. Beberapa tulisan monograf
mengenai Indonesia ditulisnya antara lain: The Expression of Ethnicity in Indonesia (1974),
Kinship Organization among the Urban Batak of Sumatra (1959), Antopology Perspectives on
Primary Education in Indonesia (1969). Kunjungannya terakhir ke Indonesia adalah pada tahun
1989.
58
ekspresi, yang di antara ketiganya dipandangnya memiliki jarak yang membuat
satu sama lain tidak identik. Lebih lanjut Turner dan Bruner
mengkonseptualisasikannya sebagai berikut: (1) realitas adalah yang senyatanya
ada “di luar sana”, apapun status ontologisnya, (2) pengalaman, adalah bagaimana
realitas tersebut menghampiri kesadaran manusia. Atau lebih tepatnya, bagaimana
seseorang menautkan diri dan menginternalisasi realitas tersebut, dan (3) ekspresi,
yaitu bagaimana pengalaman seseorang tersebut dibingkai dan diartikulasikan 112 .
Realitas adalah bersifat umum, general, dalam arti bahwa realitas yang
sama dapat dialami oleh banyak orang. Namun realitas yang sama itu selalu
dialami oleh orangperorang dengan disposisi mental serta ketubuhan (physical)
nya sendiri. Dengan kata lain, pengalaman itu selalu bersifat individual, subyektif.
Disposisi mental (pikiran dan emosi yang ada dalam diri) dan ketubuhan (kondisi
pisik dan posisinya dalam lingkungan pisik) telah mengarahkan momentum sesaat
tadi kepada sebuah pengalaman yang unik dan membekas. Realitas yang sama
ketika dialami seseorang akan ‘disaring’ lewat disposisi mental dan pisiknya
menjadi pengalaman diri. Maka terciptalah perbedaan antara realitas dengan
pengalaman. Oleh sebab itu pengalaman selalu tidak akan lagi identik dengan
realitas 113 .
Lebih lanjut, menurut Bruner, antara realita, pengalaman, dan ekspresi itu
bersifat dialogis dan dialektis. Ketika pengalaman seseorang diekspresikan,
artinya dicurahkan kedalam bentuk atau tingkahlaku yang terindra (terdengar,
terlihat, tercecap, terasa, terbaui) maka hasil interpretasi dan pemaknaan atas
realita tadi terlahir kembali ke dalam realita. Oleh karena itulah, dengan mensitir
pendapat Giddens, ada dua fungsi realita yaitu realita sebagai obyek di mana
individu melakukan internalisasi dan realita sebagai medium di mana individu
mengrekspresikan (melakukan eksternalisasiBerger) pengalamannya. Dalam
mengajukan skema dialektika yaitu: realitas, pengalaman dan ekspresi, Bruner
menganggap pengalamanlah yang menempati posisi sentral di antara ketiganya.
59
Adapun dalam memahami Teori Strukturasi Giddens dapat dimulai dari
adanya berdebatan ilmu sosial klasik mengenai mana yang lebih penting dan
menentukan, apakah ”struktur” ataukah ”agensi” 114 , dalam perdebatan tersebut,
Giddens –begitu juga Berger—termasuk teoritisi sosial modern yang berusaha
menemukan titik keseimbangan (a point of balance) terlebih dahulu di antara
keduanya. Keduanya melihat kekuatan struktur dan kekuatan agensi samasama
saling melengkapi (complementary forces). Struktur mempengaruhi tingkah laku
manusia dan manusia memiliki kemampuan merubah struktur sosial yang mereka
diami.
Teori strukturasi yang dikembangkan oleh Anthony Giddens dalam ”The
constitution of society” menunjukkan adanya faktor lain yang bekerja dibalik
dualisme yang terjadi antara struktur dan agensi itu. Giddens mengusulkan
sebutan faktor tersebut adalah ”dualitas struktur” (the duality of structure), dengan
bekerjanya dualitas struktur membuat fungsi struktur sosial itu menjadi berganda.
Satu sisi sebagai perantara (medium) untuk mencipta di sisi lain sebagai hasil dari
tindakan sosial yang siap direinternalisasi.
Dengan digunakannya kombinasi ke dua teori fenomenologi (konstruksi
sosial dan interaksionisme simbolik) untuk analisis penelitian, pada dasarnya
adalah sebagai usaha agar penelitian ini tetap konsisten sebagai penelitian
fenomenologi yang mencari kesahihan dengan mencari titik temu antara realitas
obyektif dengan realitas subyektif. Sedangkan pemakaian konsepkonsep dari ke
dua teori pendukung (Antropologi Pengalaman dan Strukturasi) diharapkan bisa
lebih memperjelas jawaban dari bagianbagian tertentu dari pertanyaan penelitian.
C. Prosedur Penelitian
Sebagai rujukan pokok untuk prosedur penelitian tentang ”Pemahaman
Elit TNI AD terhadap Profesionalisme Militer” ini adalah dengan
mengkombinasikan dua sumber yaitu prosedur penelitian yang disusun oleh
114
Debat sekitar pengaruh ’struktur’ dan ’agensi’ dalam pikiran dan perilaku manusia adalah
merupakan isu sentral dalam sosiologi. Dalam hal ini istilah ’agensi’ mengacu pada kapasitas
manusia sebagai individuindividu untuk bertindak secara bebas dan membuat pilihan bebas
mereka sendiri. Istilah ’struktur’ mengacau pada faktor luaran individu misalnya klas sosial,
agama, jender, etnisitas, adat kebiasaan, dll. yang nampaknya membatasi atau mempengaruhi
kesempatan yang dimiliki individuindividu itu. (J. M. Baldwin, Encyclopedia of Philosophy and
Psyichology, Cosmos Publications, India, 2002).
60
Bogdan dan Taylor dalam bukunya ”Introduction to Qualitative Research
Method: A Phenomenological Approach to the Social Science” 115 dan prosedur
penelitian oleh John W. Cresswell dalam buku yang disusunnya ”Qualitative
Inquiry and Reseach Design: Choosing Among Five Traditions” 116 .
Prosedur penelitian fanomenologis ini pada dasarnya adalah bertitik tolak
dari upaya menyingkap fenomenfenomen yang dapat ditemukan di balik data
mentah yang diperoleh melalui proses penggalian informasi. Data mentah dalam
penelitian antara lain berupa pandangan, penuturan pengalaman dan lontaran
fikiran para Subyek Penelitian yang terarahkan (directedness) kepada masalah
profesionalisme TNI. Namun karena pada dasarnya penelitian fenomenologi harus
mengelak dan bebas dari common sense, maupun prasangkapraangka teoritis
yang ada, maka keberadaan rumusan mengenai TNI sebagai tentara profesional
sebagaimana dalam UU No. 34 tahun 2004, ataupun rumusanrumusan yang
lainnya adalah hanya tidak ubahnya semacam kegunaan kompas bagi petualang
atau mercu suar bagi pelaut sebagai acuan untuk mengetahui posisi serta arah
penelitian. Sama sekali bukan tujuan penelitian itu sendiri. Adapun arah tujuan
penelitian adalah apa adanya yang terdapat dalam realitas subyektif yaitu berupa
pandangan, pengalaman dan pikiran perwira menengah Subyek Penelitian.
Pandangan, pikiran dan kesan mengenai profesionalisme militer
disampaikan oleh Subyek Penelitian dalam bentuk pernyataan lisan dan tertulis.
Pernyataan lisan adalah merupakan hasil wawancara mendalam (indepth
interview) individual maupun dalam diskusi kelompok terfokus (focused group
discussion). Sedangkan penyataan tertulis merupakan jawaban atas angket terbuka
yang disodorkan oleh peneliti (untuk yang tertulis ini tidak semua subyek
penelitian bersedia melakukannya). Data mentah dari hasil wawancara mendalam
dan diskusi kelompok terfokus, deskripsi aslinya berupa transkripsi yang sudah
melalui proses penyutingan. Sedangkan data mentah dari jawaban tertulis (berupa
pointers) Subyek Penelitian adalah berupa tulisan asli sebagaimana adanya.
115
Bogdan and Steven J. Taylor, Introduction to Qualitative Research Methods. A
Phenomenological Approach to the Social Science, New York, 1975.
116
Cresswell, Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Traditions.
Thousand Oaks, California. Sage Publications, Inc., 1998.
61
Pernyataanpernyataan penting yang terkandung dalam masingmasing
deskripsi asli atau data mentah dikelompokkan ke dalam tematema yang
berkaitan langsung dengan permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini yaitu
tentang profesionalisme TNI. Dalam hubungan ini, pernyataanpernyataan yang
sama atau memiliki makna relatif sama dieliminasi, karena yang dipentingkan
bukanlah jumlah kali sesuatu pernyataan dilontarkan, melainkan tentang
keseluruhan pernyataanpernyataan penting yang terlontarkan, sehingga dari
padanya bisa ditemukan struktur essensial, yaitu “sari tak bervarian” tentang
“profesionalisme TNI” berdasarkan apa yang terkandung dalam pemahaman
Subyek Penelitian.
Setelah daftar pernyataanpernyataan penting tersebut diidentifikasi, tahap
selanjutnya adalah memformulasikan maknamakna yang terkandung didalamnya
dengan cara membaca berulangulang dan melakukan refleksi terhadap deskripsi
asli (data mentah), untuk menemukan adanya hubungan dan sangkut paut antar
masingmasing pernyataan.
Kumpulan maknamakna yang telah diformulasikan selanjutnya
diorganisasikan ke dalam kelompok tematema yang mencerminkan gambaran
utuh aspekaspek tentang TNI profesional dalam pemahaman elit AD. Kumpulan
kelompok tematema yang diorganisasikan itu juga dicek keseuaiannya dengan
deskripsi asli dalam data mentah, sekaligus sebagai bentuk upaya untuk
memvalidasikannya
Hasil rumusan tematema beserta formulasi maknamakna yang ada
dalamnya –secara teknis akan dicantumkan di bagian awal dari setiap Babbab
yang menyajikan hasil dan analisis penelitian. Temuan penelitian yang akan
dinarasikan dalam penelitian ini merupakan produk akhir dari keseluruhan proses
analisis fenomenologis tersebut di atas. Keseluruhan proses analisis
fenomenologis sebagaimana dipaparkan di atas adalah mengacu pada prosedur
analisis fenomenologis yang disarankan John W. Cresswell 117 .
117
John W. Cresswell, Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five
Traditions. Thousand Oaks, California. Sage Publications Inc., 1998.
62
D. Fokus, Lingkup dan Lokasi Penelitian
Di dalam bagian latar belakang sudah dijelaskan agak panjang lebar bahwa
isu utama yang menjadi fokus penelitian ini adalah masalah profesionalisme TNI
yang dalam perjalanan sejarah telah mengalami penafsiran bahkan pemaknaan
kembali secara terus menerus, sebagai konsekuensi dari adanya proses dialektik
yang melibatkan para elit yang ada dalam internal TNI maupun pihak luar.
Pembaharuan makna itu akan terus terjadi baik dalam alam kesadaran berupa
pemahaman sebagai realitas subyektif maupun termanifestasikan dalam bentuk
anggapan, prasangka umum terhadap TNI sebagai realitas obyektif. Dalam kaitan
tersebut di atas level dan lingkup penelitian ini akan terfokus pada –apa yang
dalam sosiologi disebut sebagai mikrosubyektif 118 mutakhir mengenai
profesionalisme TNI.
Adapun subyek penelitian adalah Perwira Menengah TNI AD. Sengaja
penelitian ini mengambil lingkup perwira, karena kelompok perwiralah yang
dipandang memenuhi kriteria sebagai elit militer, dibanding kelompok pada level
yang lebih rendah yaitu Bintara dan Tamtama. Dengan demikian penelitian ini
bisa dikatakan telah menjadikan elite theory sebagai salah satu alat penjelas
terhadap persolan yang diteliti. Sedang dari kelompok perwira dikerucutkan
kearah para perwira menengah yaitu perwira yang memiliki pangkat Mayor
hingga Kolonel. Di antara sekitar 26 perwira menengah di Garnizun Malang tidak
seluruhnya terliput sebagai informan dan menjadi Subyek Penelitian. Hal itu
terjadi karena:
Pertama, bidikan perhatian penelitian ini diarahkan kepada sedikit perwira
menengah yang memang berada pada pucuk piramida hirarkhi pada masing
masing unit atau satuan tugasnya. Mereka dianggap memiliki posisi strategis di
dalam jajarannya, yaitu sebagai komandan, wakil komandan atau jabatan lain
yang dianggap sangat menentukan, dengan demikian subyek penelitian ini
memenuhi kriteria sebagai ”elit militer”. Di samping itu, para perwira menengah
terutama yang sekarang berada dalam jabatan strategis kemungkinan besar akan
ikut menentukan keadaan TNI di masa depan seiring dengan proyeksi promosi
dan perjalanan karir yang kelak bakal dilalui oleh yang bersangkutan, dengan
118
Level dan lingkup studi Sosiologi adalah terbagi menjadi empat yaitu: mikrosubyektif, makro
subyektif, mikroobyektif, dan makroobyektif.
63
demikian subyek penelitian memenuhi kriteria dari maksud penelitian ini yaitu
membuat proyeksi sosok TNI ke depan.
Sedang pemberian perhatian secara khusus kepada TNI Angkatan Darat
pertamatama didasari oleh pertimbangan teknis pelaksanaan penelitian,
kendatipun begitu secara metodologis bisa dipertangungjawabkan sebab Angkatan
Darat adalah merupakan matra yang paling dominan dibandingkan dengan dua
matra yang lain, yaitu Angkatan Laut maupun Angkatan Udara—sebab, matra ini
memiliki jumlah personil paling besar yaitu mencapai 233.000 personel,
dibandingkan dengan jumlah personel Angkatan Laut termasuk Korps Marinir
hanya 43.500 dan Angkatan Udara 24.000 (pada tahun 2005) 119 . Di samping itu
matra Darat lah yang paling potensial memiliki pandangan yang sensitif mengenai
sekitar profesionalisme militer terutama apabila profesionalisme tersebut
dikaitkan dengan masalah pemaknaan peran militer yang tidak hanya di bidang
pertahanan semata.
Kedua, sebagai konsekuensi dari pilihan snowballing sebagai strategi
pengempulan data, dimana dengan strategi ini pekerjaan pengumpalan data akan
menggelinding sedemikian rupa mengikuti alur informasi atau data yang
diperlukan untuk dikais setuntastuntasnya tanpa menentukan terlebih dahulu
kecuali hanya pada saat awal dimulai penggalian informasi atau data—tentang
siapasiapa saja dan seberapa banyak subyek yang harus berpartisipasi serta tidak
mementingkan perimbangan informasi yang diperoleh dari masingmasing
Subyek Penelitian.
Penelitian ini mengambil waktu sejak bulan Agustus hingga Nopember
2009. Mengambil lokasi di daerah Kabupaten, Kota Malang dan Kota Batu,
selanjutnya akan lebih banyak disebut daerah Malang atau Malang Raya. Malang
dipandang cukup representatif sebagai lokasi penelitian, karena daerah ini dikenal
sebagai daerah Garnizun, atau ”Garrison” (Inggris), yaitu ”a group of soldiers
whose task is to guard the town or building where they live”; atau “the buildings
which the soldier llive in” 120 . Di samping itu Malang pernah menjadi markas
Kodam Jawa Timur hingga awal tahun 70an.
119
______, The Military Balance 20052006, (London: The International Institute for Strategic
Studies, 2005), hal. 276277.
120
Collin Cobuild, English Electronic Dictionary.
64
Di Malang terdapat instalasi dan markas militer yang cukup banyak, lebih
dari dua puluh buah. Meskipun sebagian besar adalah merupakan instalasi di
bawah Angkatan Darat, baik Kodam V/Brawijaya maupun langsung di bawa
Markas Besar Angkatan Darat (Mabesad), namun juga terdapat instalasi militer
yang berada di bawah Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
E. Pengumpulan Data, Informan dan Partisipan
Untuk keperluan penggalian data digunakan teknik snowballing. Dimulai
dengan penentuan dua informan sebagai pembuka jalan (entry point) yaitu dipilih
dua perwira menengah (Pamen). Satu orang berasal dari satuan teritorial dan satu
orang dari satuan tempur. Dari ke dua informan yang sekaligus sebagai partisipan
penelitian tersebut peneliti dapat menjalin hubungan dengan perwiraperwira
menengah yang lain baik melalui pertemuan pribadi maupun pertemuan bersama.
Seiring dengan langkah untuk memperdalam dan memperluas informasi
sehingga dapat diperoleh informasi yang tuntas, akhirnya penelitian ini meliput
sebanyak tujuh subyek atau partisipan. Ketujuh partisipan tersebut terdiri dari
empat orang berpangkat Kolonel dan tiga orang berpangkat Letnan Kolonel.
Mereka dipilih dengan sengaja, seiring dengan perkembangan alur informasi yang
digali yang secara tidak langsung telah menjadi semacam pemandu atau radar
yang mengarah kepada yang bersangkutan.
Di samping hal tersebut di atas, merujuk pada pendapat John W.
Cresswell 121 , ada kriteria teknis atas pemilihan ketujuh orang tersebut yaitu
mereka bersedia membuat jawaban tertulis atas angket terbuka, bersedia direkam
baik melalui wawancara maupun diskusi terarah.
Dilihat dari asal kecabangan, lima orang dari infantri dan dua orang dari
artileri. Dilihat dari lingkup penugasan, dua orang memimpin lembaga pendidikan
dan lembaga pengkajian, tiga orang memimpin wilayah (teritorial), satu orang
memimpin satuan bantuan tempur dan satu orang memimpin unit usaha atau
bisnis TNI.
Ketujuh subyek penelitian tersebut dipilih dengan kriteria: (1) dikenal
sebagai tokoh intelektual atau pemikir di dalam lingkungan Garnizun, setidak
121
John W. Cresswell, Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five
Traditions. California: Thousand Oaks, Sage Publications Inc., 1998.
65
tidaknya di kalangan sejawatnya TNI AD, (2) menduduki posisi strategis, di mana
oleh karena posisinya itu yang bersangkutan baik secara langsung atau tidak
langsung berperan sebagai `think tank' bagi TNI AD sekaligus sebagai `significant
others' bagi koleganya di wilayah Garnizun Malang.
Selanjutnya dari tujuh orang perwira menengah Subyek Penelitian ini bisa
dianggap sebagai partisipan utama, sebab sebenarnya ada sejumlah perwira
menengah yang juga terliput sebagai Subjek Penelitian, namun konstribusi
informasi yang diperoleh dari yang bersangkutan kurang memadai dan atau
informasi yang diberikan lebih berupa pengulangan (repetisi) terhadap informasi
sebelumnya.
Dalam pelaksanaan penelitian ini ternyata penetapan lokasi penelitian
yaitu garnizun wilayah Malang Raya, tidak bisa diterapkan secara kaku sebab ada
beberapa Subjek Penelitian yang pindah tugas ke tempat lain tatkala proses
penggalian informasi dari yang bersangkutan sedang berjalan.
Guna pengumpulan data, terdapat tiga teknik utama yaitu: (1) angket
terbuka di mana partisipan memberi jawaban tertulis dalam bentuk esai, (2)
wawancara mendalam, (3) serta diskusi terfokus; dimana untuk dua cara yang
terakhir tersebut informasi kumpulkan dalam rekaman suara kemudian
ditranskripsikan. Di samping itu disertai juga teknik pengumpulan data
pendukung yaitu observasi langsung, dan dokumentasi.
66
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Temuan Penelitian
Studi ini menggunakan dua gugus penelitian, yakni penelitian pustaka
(letterer research) dan penelitian lapangan (field research). Penelitian pustaka
mencoba merekonstruksikan berbagai konsep dan postulat tentang
profesionalisme militer secara umum yang bersifat nomotetis, yang berasal dari
para ilmuwan dan ahli militer; di samping yang bersifat ideografis yaitu
pandangan, gagasan dan pemikiran tentang profesionalisme TNI yang berasal dari
kalangan pendiri dan tokoh intelektual TNI baik yang sudah purnawirawan
maupun yang masih dinas aktif. Sesuai prosedur penelitian fenomenologi,
temuantemuan teoritik tersebut ditahan sementara di dalam kurung (bracketing
theory). Sedang penelitian lapangan menghasilkan data atau informasi berupa
pemahaman Subyek Penelitian di sekitar tema utama yaitu mengenai
profesionalisme militer.
Dari hasil penelitian lapangan terdapat empat temuan utama, yang dapat
dikemukan sebagai berikut:
Temuan I: Terdapat ”Realitas Sosial Kemiliteran” yang Terpola.
Realitas Sosial Kemiliteran yang ditemukan berupa realitas kompleks yang
berputar dan mengembang searah dengan perjalanan karir para Subyek Penelitian.
Putaran dimulai tatkala mereka akan memasuki pendidikan hingga dinas aktif
pada saat ini. Masa sebelum memasuki pendidikan militer tersebut penulis sebut
sebagai: ”Realitas Sosial Kekeluargaan” (Reskel). Pada masa Subyek Penelitian
mengikuti pendidikan militer disebut sebagai ”Realitas Sosial Pendidikan Militer”
(Resdikmil) sedangkan ruang dan waktu mereka menjalankan tugastugas disebut
sebagai ”Realitas Sosial Penugasan” (Restu).
Resdikmil terdiri dari Pendidikan Pertama (Dikma), dan atau Pendidikan
Pembentukan (Diktuk) dan Pendidikan Pengembangan (Dikbang). Dikbang
terbagi dua yaitu Dikbang spesialisasi (Dikbangspes) dan Umum (Dikbangum).
67
Realitas Sosial Penugasan (Restu) terbagi ke dalam empat medan yaitu tugas di
pasukan, tugas operasi, tugas di lembaga pendidikan dan tugas kewilayahan.
Sudah barang tentu bentangan Realitas Sosial Obyektif (RSO) yang
sesungguhnya mereka alami tidak selinier dalam skema ini. Artinya di samping
realitas sosial yang terskemakan ini sebetulnya keberadaan RSORSO tersebut
jauh lebih kompleks. Adalah diperlukan penelitian lebih lanjut yang mengungkap
secara lebih terang mengenai kompleksitas Realitas Sosial Obyektif (RSO)
tersebut.
Berikut ini adalah skema realitas sosial obyektif sebagaimana dimaksud
dalam deskripsi di atas.
Gambar 2
SKEMA REALITAS SOSIAL OBYEKTIF
KETERANGAN:
RSO = Realitas Sosial Obyektif
RESKEL = Realitas Sosial Keluarga
RESDIKMIL = Realitas Sosial Pendidikan Militer
DIKMA = Pendidikan Pertama
DIKTUK = Pendidikan Pembentukan
DIKBANG = Pendidikan Pengembangan
DIKBANGSPES = Pendidikan Pengembangan Spesialisasi
DIKBANGUM = Pendidikan Pengembangan Umum
RESTU = Realitas Sosial Penugasan
RESTUPAS = Realitas Tugas Pasukan
RESTUOPS = Realitas Tugas Operasi
RESTUDIK = Realitas Tugas Pendidikan
RESTUTER = Realitas Tugas Teritorial
68
Temuan II: Terdapat pola perkembangan profesionalisme militer di
kalangan elit TNI AD
Pola perkembangan profesionalisme militer ditandai dengan ciriciri sbb.:
(1) Embrio profesionalisme TNI terjadi semenjak mereka berada dalam realitas
sosial kekeluargaan (social kindship) melalui significant other(s) ataupun
melalui significant accident tertentu. Pada saat itu kesadaran diri (self) Subyek
Penelitian mulai terarah kepada dunia kemiliteran.
(2) Pembentukan pertama terjadi dalam realitas sosial pendidikan militer. Yaitu
pada saat Subyek Penelitian mengikuti pendidikan akademi militer
(AKMIL/AKABRI). Pada fase ini peranan para pendiri dan perintis TNI
sebagai role model sangat penting. Terutama Jenderal Soedirman. Panglima
TNI pertama ini ditempatkan sebagai legendary significant other. Sedang para
Gadik dan Gumil berperan sebagai real significant other. Adapun tiga
komponen kurikulum di akademi militer yang meliputi: pembentukan sikap
dan perilaku, transfer pengetahuan dan ketrampilan, serta pembinaan jasmani
sebagai instrumen pembentukan profesionalisme TNI tersebut.
(3) Tahap pembentukan lanjutan profesionalisme TNI terjadi dalam berbagai
pendidikan pengembangan dan berbagai penugasan, di mana antara
pendidikan pengembangan dan penugasanpenugasan tersebut di alami oleh
Subyek Penelitian secara silih berganti.
(4) Selama menempuh pendidikan, khususnya pendidikan pertama Subjek
Penelitian lebih berposisi sebagai pribadi yang ditentukan (diterminated).
Posisi itu berubah, yaitu berperan sebagai aktor (sosial) militer ketika yang
bersangkutan memasuki realitasrealitas (sosial) penugasan.
Fasefase tersebut setahap demi setahap membentuk puncak kematangan
jari diri (self identity) Subyek Penelitian sebagai TNI profesional pada akhirnya
dapat dicapai. Berikut ini adalah visualisasi tentang bagaimana tahapantahapan
pola pembentukan profesionalisme TNI.
69
Gambar 3
MODEL POLA PERKEMBANGAN PROFESIONALISME TNI
KETERANGAN:
AB = Keluarga
BC = Akademi Militer (Akmil)
CD = Penugasan dan Pendidikan Pengembangan (Dikbang)
DE = Penugasan
AE = Realitas Kesadaran Subyektif (RKS)
F = Realitas Historis
G = Realitas Sosial Obyektif (RSO)
Di antara dua entitas tersebut ada momen yang simultan berupa
internalisasi dan eksternalisasi. Internalisasi terjadi dari arah Realitas Sosial
Obyektif ke Ruang Kesadaran elit TNI AD. Sebaliknya eksternalisasi terjadi dari
Ruang Kesadaran elit TNI AD ke arah Realitas Sosial Obyektif kemiliteran.
Dalam Proses dialektika tersebut telah menciptakan gradasi tiga Realitas Sosial
Obyektif kemiliteran yaitu Mikro, MikroMakro dan Makro; dimana gradasi
tersebut juga merefleksikan adanya gradasi pemahaman di dalam Ruang
Kesadaran Subyektif elit TNI AD.
70
Pertama, penulis sebut sebagai ”Realitas Obyektif Mikro” yaitu berupa
dunia sosial TNI yang diciptakan bersamasama dalam momentum obyektivasi
yang hampir sepenuhnya dilakukan oleh para aktor elit TNI. Realitas ini sudah
dengan sendirinya juga merefleksi ke dalam ruang kesadaran aktor elit TNI AD
dalam bentuk ruang kesadaran mikro.
Kedua, penulis sebut sebagai ”Realitas Obyektif MikroMakro” dimana
realitas ini posisinya berada dalam persilangan, sebagian berada dalam dunia
sosial TNI dan sebagian yang lain sudah berada di luarnya. Realitas obyektif ini
dicirikan antara lain oleh andilnya aktoraktor sosial diluar TNI yang ikut
berekspresi ke dalam wilayah yang pada dasarnya lebih merupakan domain dari
dunia sosial TNI. Konsekuensinya realitas ini juga merefleksi pula ke dalam ruang
kesadaran elit TNI AD dalam bentuk ruang kesadaran mikromakro.
Ketiga, penulis sebut ”Realitas Obyektif Makro”, yaitu dunia sosial
dimana andil para aktor elit TNI hanyalah menjadi bagian sangat kecil diantara
keterlibatan aktoraktor sosial yang lain, yang secara kolektif melakukan
eksternalisasi atau ekspresi dalam dunia sosial keseluruhan (the whole of social
world). Dan bagaimanapun realitas ini juga memantul ke dalam ruang kesadaran
aktor elit TNI AD dalam bentuk ruang kesadaran makro.
Diskripsi mengenai proses dialektika yang terjadi antara realitas sosial
obyektif dengan ruang kesadaran subyektif sebagaimana tersebut di atas, dapat
digambarkan dalam sebuah model sebagaimana sebagai berikut:
71
Gambar 4
MODEL PEMAHAMAN TENTANG PROFESIONALISME MILITER
(DIALEKTIKA ”REALITAS SOSIAL OBYEKTIF”
DENGAN ”RUANG KESADARAN SUBYEKTIF”)
KETERANGAN:
A – Realitas Sosial Mikro A’ – Ruang Kesadaran Mikro
B – Realitas Sosial MikroMakro B’ – Ruang Kesadaran MikroMakro
C – Realitas Sosial Makro C’ – Ruang Kesadaran Makro
72
Subyektif (RKS). Adapun proses dialektika yang telah terjadi antara Realitas
Sosial Obyketif (RSO) dengan Ruang Kesadaran Subyektif (RKS) yang
ditemukan dalam penelitian ini adalah berupa hubungan dialektik antara Realitas
Sosial Keluarga (Reskel), Realitas Sosial Pendidikan Kemiliteran (Resdikmil) dan
Realitas Sosial Penugasan (Restu) di satu pihak dengan kesadaran elit TNI AD
(yang menjadi Subyek Penelitian) di pihak lain. Proses dialektik tersebut terjadi
sangat kompleks, namun apabila disederhanakan maka akan tampak adanya pola
tertentu. Pola itu adalah, terjadinya internalisasi dan eksternalisasi. Internalisasi
lebih cenderung terjadi tatkala RKS masih berada di Reskel dan ketika berada
Resdikmil, baik pada saat mengikuti Pendidikan Pertama (Dikma) maupun
Pendidikanpendidikan Pengembangan (Dikbang). Sedang eksternalisasi lebih
cenderung terjadi terutama tatkala RKS berada dalam Realitas Sosial Penugasan
(Restu) yang meliputi: Realitas Tugas Pasukan (Restupas), Realitas Tugas Operasi
(Restusop), Realitas Tugas Pendidikan (Restudik) dan Realitas Tugas Teritorial
(Restuter).
Apabila menggunakan perspektif Strukturasi Giddens temuantemuan
penelitian tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Ada dua jenis entitas yaitu ”Struktur” di satu pihak dengan ”Agensi” di
pihak lain 122 . Struktur di sini adalah berupa ”Struktur Sosial Kemiliteran”
(Sesosmil) yang dalam hal ini dapat dibuat tiga katagori yaitu: Keluarga Militer
(Kemil), Pendidikan Militer (Dikmil) serta Penugasan Militer (Tumil). Sedang
entitas agensi adalah terdiri dari para ”Aktor Militer” 123 (AM) yaitu para Perwira
Menengah TNIAD (yang menjadi Subyek Penelitian).
Di antara keduanya, yaitu Sesosmil dengan AM ini terdapat faktor lain
yang bekerja yaitu apa yang Berger menyebutnya sebagai ”dualitas struktur” yang
berfungsi membuat titik keseimbangan (a point of balance) di antara keduanya
yang samasama sebagai kekuatan yang saling melengkapi (complementary
122
Istilah “struktur” mengacu pada faktorfaktor misalnya klas sosial, agama, jender, etnisitas, adat
kebiasaan dll. yang nampaknya membatasi, mengekang atau mempengaruhi kesempatan yang
dimiliki individuindividu. Istilah “agensi” mengacu pada kapasitas manusia sebagai individu
individu untuk bertindak secara bebas dan membuat pilihan bebas mereka sendiri. (Juga lihat:
Malcolm Waters, Modern Sociological Theory, London: Sage Publications, th. 1994, hal. 11 dan
12.
123
Giddens menggunakan istilah aktor sosial (social actor) dan agensi manusia (human agency)
secara bergantian untuk pengertian yang sama (Lihat: Anthony Giddens, The Constitution of
Society, [edisi bahasa Indonesia], Penerbit Pedati, 2004, hal xxvii).
73
forces). Dengan bekerjanya faktor dualitas struktur (structure of duality) ini
membuat Sesosmil (struktur sosial militer) mampu mempengaruhi tingkah laku
AM (aktor militer), sebaliknya AM memiliki kemampuan merubah Sesosmil yang
mereka diami. Di dalam Kemil (keluarga militer) dan Dikmil (pendidikan militer),
Sesosmil lebih berada dalam posisi mempengaruhi bahkan membentuk AM
sedangkan di dalam Tumil (tugas militer), AM lah yang menjadikan Sesosmil
sebagai medium untuk penciptaan.
Dengan menggunakan perspektif Teori Interaksionisme Simbolik Herbert
Mead dapat diimajinasikan bahwa di dalam jagad cilik (inner world) masing
masing elit TNI AD (Subyek Penelitian) itu terdapat apa yang disebut ”self”, ”I”
dan ”Me”. ”Self” adalah ruang dan aktivitas yang ada di dalam inner world para
elit TNI AD, yang secara terusmenerus berusaha mensinergikan dan memelihara
harmoni antara ”I” dan ”Me” elit TNI AD yang dari waktu ke waktu dua entitas
tersebut terusmenerus mengalami perkerkembangan. Di mana”I” adalah sifat
sifat elit TNI AD yang spontan, individual, subyektif, dan bebas. Sedangkan
”Me” yaitu sikapsikap elit TNI AD yang terorganisir dan terarahkan kepada
orangorang lain. “Me” ini boleh dikatakan sebagai penghubung antara diri elit
TNI AD dengan masyarakat luar. “Me” ini memiliki sifatsifat sosial lagi
terbatasi (determinated). Dengan menggunakan perspektif Interaksionisme
Simbolik, ”Me Pamen TNI AD” (Subyek Penelitian) ini penulis beri makna
sedikit lebih luas sebagai “Jati Diri TNI” 124 yang pada dasarnya –dalam
hubungannya dengan penelitian ini—ia adalah pemahaman dan pemaknaan elit
TNI AD tentang Profesionalisme TNI. Pemahaman dan pemaknaan tersebut
mereka konstruksikan dengan cara “melihat” dirinya sendiri dengan melalui
“mata” orangorang lain yang berada sekitarnya (to see themselves through the
eyes of others)”. Adapun orang lain tersebut adalah bisa dari kalangan prajurit
TNI, terutama para elitnya, tetapi juga orangorang di luar TNI. ”Me” inilah yang
disebut self identity atau jati diri.
Self identity yang sedang menjadi di dalam diri elit TNI AD (Subyek
Penelitian) ini bukan anugerah dari lahir, melainkan berkembang melalui
124
Penulis bersandar pada pendapat bahwa “Me” itu sama dengan “Self Concept” atau juga“Self
Identity” (Lihat: Gordon Marshal [editor], A Dictionary of Sociology, New York: Oxford
University Press, 1998).
74
komunikasi yang dilakukannya dengan aktoraktor sosial lain melalui simbol
simbol yang lazim digunakan di kalangan masyarakat militer maupun masyarakat
yang lebih luas. Perkembangan Jati Diri TNI itu terjadi dalam dua fase yaitu play
stage (tahap mainmain), dan game stage (tahap permainan). Fase mainmain
cenderung lebih banyak terjadi tatkala Pamen TNI AD masih berada di dunia
keluarga, sebelum memasuki pendidikan militer dan kemudian tatkala mereka
berada di dalam pendidikan militer khususnya Akademi Militer Magelang. Pada
fase play stage diperlukan adanya significant other(s) yang bertindak sebagai
rolemodel. Di dunia sosial keluarga significant other(s) tersebut pada umumnya
adalah anggota keluarga, terutama ayah atau kakak lakilaki; sedang di dunia
pendidikan militer adalah Jenderal Soedirman dan tokohtokoh TNI yang lain
sebagai legendary role model, serta para Guru Militer dan Pelatih sebagai model
nyata (real model).
Fase kedua, yaitu tahap permainan (Game Stage). Fase ini cenderung lebih
banyak terjadi di dunia penugasan. Dalam fase permainan, dengan merujuk
pendapat Herbert Mead, yang sangat diperlukan bukan lagi significant other(s),
melainkan generalized other(s) –yaitu berbagai individuindividu yang bertindak
sebagai Pemain Sosial (Social Player), di samping berbagai status, dan aturan
permainan; yang semua itu harus dikenali dan diikuti oleh Pamen TNI AD. Jenis
keberagaman itu tergantung pada macam medan tugas yang dijalani. Di medan
pasukan misalnya, Pemain Sosialnya relatif homogen yaitu para anggota prajurit
dan keluarganya dengan jenis status dan aturan yang relatif sederhana. Beda
dengan tugas di teritorial Pamen TNI AD akan berhadapan dengan berbagai
Social Player yang lebih beragam, begitu juga status dan tata aturan yang ada 125 .
Di medanmedan penugasan inilah para Pamen TNI AD membangun dan
mengembangkan sikapsikap dan tingkah lakunya yang terorganisir dan terarah
kepada masyarakat keseluruhan. Mereka mencoba menginterpretasikan status
yang diberikan dan mengadakan adaptasi diri sesuai dengan status yang diberikan
125
Oleh karena itulah dalam tradisi TNI, tugas memimpin teritorial adalah tugas pemantapan,
artinya diperuntukkan bagi yang sudah memiliki pengalaman di pasukan. Misalnya jabatan
Komandan Batalyon dan Komandan Kodim adalah samasama diperuntukkan bagi Pamen TNI
AD berpangkat Letnan Kolonel (Letkol). Akan tetapi hampir dipastikan, untuk bisa menjadi
Komandan Kodim seorang Letkol harus terlebih dahulu pernah menjabat Komandan Batalyon atau
jabatan staf yang setara dengan itu di pasukan.
75
oleh –atau ia rumangsa (sense) memperoleh status itu dari– orangorang lain di
sekitarnya. Dengan melalui dua fase –play stage dan game stage ini
memungkinkan para elit TNI AD memasukkan nilainilai yang menopang
keberadaan masyarakat sekitarnya ke dalam jati dirinya. Baik dalam lingkup kecil
yaitu di lingkungan masyarakat militer yang relatif homogin, maupun dalam
masyarakat yang lebih luas dan heterogin, bahkan dalam masyarakat bernegara
yang kompleks.
Temuan IV: Di balik fenomenfenomen yang dapat diungkap dari ruang
kesadaran elit TNI AD, secara refleksifspekulatif dapat
diduga adanya gagasan dan nilainilai yang bersifat adikodrati
(transendental) yang berada di baliknya. Gagasan dan nilai
nilai yang dimaksud, penulis sebut sebagai “gagasan dan nilai
ksatriya”.
Temuan IV ini diperoleh pada tahap akhir dari penelitian fenomenologi
ini. Yaitu tahap mentransendensikan pemahamanpemahaman tentang
profesionalisme TNI yang ada di dalam ruang kesadaran elit TNI AD. Tahap ini
dimulai dengan “membuka” gagasan dan pemikiran tentang TNI, yang berasal
dari tokohtokoh intelektual dan pemikir TNI, yang telah dikonstruksikan
sebelumnya, yang untuk sementara telah “ditahan di dalam kurung”
(Bracketing) untuk dicari hubungan dan sangkut pautnya dengan apa yang ada di
dalam ruang kesadaran elit TNI AD (Subyek Penelitian).
Dalam tahap transendental fenomenologi ini, peneliti dengan melakukan
aktivitas berpikir reflektif, berusaha menemukan jawaban spekulatif mengenai
nilainilai yang terdapat di balik fenomen dan pemahaman tentang
profesionalisme militer yang ada dalam ruang kesadaran elit TNI AD (Subyek
Penelitian). Yaitu nilainilai yang bersifat intrinsik dan transendental.
Tahap ini dapat dikatakan sebagai tahap akhir dari penelitian
fenomenologi Husserlian yang tujuan utamanya adalah mengembalikan ilmuilmu
sosial kepada asal muasalnya yaitu filsafat. Husserl melakukannya untuk
mengurangi kuatnya kecenderungan terjadinya “saintifikasi” ilmuilmu sosial
akibat pemakaian metodemetode kealaman dalam studi ilmu sosial, yang
membuat ilmu sosial menjadi positivistik dan supervisial.
76
Adapun nilai transendental yang ditemukan dalam penelitian ini adalah
berupa gagasan kekuasaan (power of idea) yang berasal dari apa yang di dalam
konsep subbudaya bangsa Indonesia masa lalu (untuk tidak menyebut budaya
Jawa) disebut sebagai “Ksatriya”. Memang, konsep ksatriya atau istilah sejenis –
antara lain worrior (Barat), Samurai (Jepang) bukanlah hanya dikenal dalam
khasanah budaya Indonesia. Di kalangan bangsabangsa lain juga mengenal
konsep tersebut. Namun secara substansi masingmasing sangat dipengaruhi oleh
budaya dimana konsep itu berkembang. Demikian pula halnya konsep “Ksatriya”
dapat dikatakan sebagai khas budaya Indonesia.
Di dalam Tabel 1 di bawah ini penulis mencoba menyajikan ikhtisar
mengenai bagaimana nilainilai ksatriya yang semula merupakan landasan etik
bagi para prajuritprajurit bangsa Indonesia masa lalu kemudian
tertransformasikan ke dalam etika tentara Indonesia modern (TNI). Tabel tersebut
merupakan hasil elaborasi teoritis, doktrindoktrin TNI dan pemaknaan nilainilai
ksatriya sebagaimana sering dipahami dalam budaya Jawa.
Tabel 1
TRANSFORMASI NILAINILAI KSATRIYA DALAM DIRI TNI
126
Mengendalikan nafsu jasmani dan kebendaan, mempertajam akal pikiran (budi), membersihkan
dan memusatkan diri lahir batin agar selalu dekat kepada Yang Maha Kuasa.
127
Lebih memilih mati dari pada dipermalukan.
77
dilakukan dengan apapun resiko yang harus
ditanggung.
Idealisasi tugas Sebagai “Lelananging Jagat” 129 TNI Sebagai Tentara Pejuang
dan peran yang Sebagai “senopati ing alogo, Sebagai kekuatan kekerasan sekaligus sebagai
dimainkan kalifatullah sayidin panoto gomo” 130 . kekuatan nirkekerasan, adalah komandan dalam
perang/pertempuran sekaligus pemimpin di
luar/selain perang/pertempuran
(dahulu, sebelum reformasi diformulasikan dengan
istilah “Dwifungsi”, yaitu antara lain sebagai
stabilisator dan dinamisator).
Obsesi akan tugas, tanggung Obsesi akan watak kepribadian
jawab dan peran kaum ksatriya ksatriya
Pelaksanaan Tugas Pokok Jati diri TNI sebagai:
TNI: Tentara Rakyat,
Operasi Militer Perang Tentara Pejuang
Operasi Militer Selain Tentara Nasional
Perang
1. Kode Etik Prajurit TNI:
Sapta Marga,
Sumpah Prajurit
Delapan Wajib TNI
Sebelas Azas Kepemimpinan
Kode Etik Perwira ”Budhi Bakti Wira
Utama”
P
2. NilaiNilai Militer Profesional
PROFESIONALISME TNI
128
Artinya: Ibarat ancaman terhadap rakyat itu hanya berupa sebuah sentuhan di jidat, dan
pelanggaran terhadap wilayah negara itu hanya berupa perampasan atas sejengkal tanah, maka
harus dibela meski untuk itu harus dibayar dengan kematian.
129
Arti secara harfiah adalah sebagai paling jantan di dunia, sedang secara maknawi berarti
manusia terpilih.
130
Komandan di medan pertempuran [di saat perang], wakil Tuhan pemimpin bagi hamba serta
penegak aturan [disaat damai].
78
BAB V
KESIMPULAN DAN
IMPLIKASI PENELITIAN
A. Kesimpulan
Salah satu konsepsi dan norma tentang profesionalisme TNI adalah
sebagaimana dirumuskan di dalam UU No. 34 tahun 2004. Di dalam Undang
Undang tersebut ”TNI profesional” ditempatkan sebagai bagian dari Jati Diri TNI.
Adapun diskripsi lebih lanjut dari Tentara Profesional adalah sebagai berikut:
”Tentara Profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara
baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta
mengikuti kebijakan politik negara ......”.
79
menginternalisasi realita itu dengan disposisi mental (pikiran dan emosi)nya
sendiri. Dengan demikian pengetahuan, perasaan, pandangan, dan sikap Subyek
Penelitian terhadap ikhwal profesionalisme TNI adalah pengalaman yang
sesungguhnya; yang subyektif, individual, dan unik, yang ada dalam ruang
kesadaran.
Pengalaman tentang profesionalisme TNI itu sebetulnya lebih merupakan
“misteri” sebab hanya individu Subyek Penelitian dengan kesadaran diri (self
conciousness)nya lah yang agak betulbetul mengerti dan merasakan. Sedang
bagi orang lain –termasuk peneliti— ia memang “jagad kecil” (inner world)
namun kedalaman dan luasnya nyaris tidak terbatas. Ia seperti halnya horizon,
yang apabila dikejar seolaholah terus menjauh.
Kerja penelitian fenomenologi ini hanya sebatas memahami melalui
fenomenfenomen yang diekspresikannya dalam bentuk pikiran, sikap dan
tindakan mereka. Padahal pikiran, sikap dan tindakan (ekspresi) Subyek Penelitian
berkaitan dengan profesionalisme TNI itu adalah merupakan pengalaman yang
juga sudah “tersaring” dan terbatasi. “Tersaring” oleh disposisi mental (pikiran
dan emosi) dan ketubuhannya (kondisi pisik dan posisinya di lingkungan pisik),
dan “terbatasi” oleh realita struktur sosial (baik struktur sosial militer maupun
struktur sosial yang luas) selaku media dimana pengalaman itu diekspresikan.
Sehingga pengalaman yang terekspresikan itu tidak lagi sebebas dan seliar tatkala
masih di dalam ruang kesadaran mereka, ibarat imajinasi pelukis yang terkekang
oleh bingkai kanvas, tinta dan kuas.
Konsekuensi dari pemahaman di atas adalah bahwa suatu temuan yang
dihasilkan dari penelitian fenomenologi harus diperlakukan sebagai bukan temuan
akhir, ia masih bisa berkembang mendalam maupun meluas dan tidak akan pernah
final.
Implikasi dari analisis Antropologi Pengalaman Bruner ini adalah bahwa
bagaimanapun, berbagai realita sosial senyatanya itu apabila diinternalisasi oleh
Pamen TNI AD maka akan membentuk pengalaman sesungguhnya yang tidak
sama persis (identik) dengan realita senyatanya tadi. Begitu juga akan tidak sama
persis antara pengalaman itu dengan ekspresinya. Bahkan antara pengalaman
80
dengan ekspressi itu bisa melahirkan fenomenfenomen paradoks, baik berupa
IntensiParadoksi maupun EkstensiParadoksi 131 .
Subyek Penelitian cenderung lebih memahami profesionalisme dalam
militer secara umum itu hanya berkaitan dengan pengetahuan, ketrampilan dan
keahlian di bidang kemiliteran (expertise) semata bukan sebagaimana pendapat
Huntington yang memasukkan aspek tanggung jawab sosial dan ikatan korps.
Selanjutnya Subyek Penelitian memahami profesionalisme militer bagi
TNI lebih sebagai upaya agar prajurit TNI menjadi ahli dibidangnya yang
diperlukan untuk melaksakan Tugas Pokok TNI. Tuntutan profesionalisme
semacam itu berlaku bagi semua prajurit, tidak terbatas pada golongan perwira.
Kendatipun begitu memang ada yang lebih spesifik sepanjang menyangkut
profesionalisme bagi golongan perwira, yaitu lebih ditekankan pada aspek
manajemen termasuk didalamnya mengenai kepemimpinan. Oleh sebab itu kode
etik profesi di dalam TNI juga terdiri dari dua tingkatan. Pertama, ”Kode Etik
Prajurit TNI”, yang berlaku bagi prajurit TNI untuk semua tingkatan, yaitu terdiri
dari ”Sapta Marga”, ”Sumpah Prajurit” dan ”Wajib TNI”. Sedang bagi para
perwira di samping dikenakan kode etik tersebut juga diberlakukan Kode Etik
Perwira yaitu ”Budhi Bakti Wira Utama”.
Manajemen kepemimpinan perwira TNI dipahami oleh mereka bukanlah
untuk mengelola penggunaan kekerasan (management of the instruments of
violence) semata, melainkan diberi pemahaman yang lebih luwes dan luas yaitu
mengelola penggunaan kekuatan (management of force). Kekuatan tersebut bisa
termanifes dalam bentuk kekerasan maupun nonkekerasan, tergantung mana yang
diperlukan sesuai dengan Tugas Pokok TNI.
Implikasi dari pemahaman tersebut, maka tugastugas operasi militer
selain perang (military operation other than war) adalah memiliki derajat yang
sama terhormat dan mulianya dengan tugas operasi militer perang dan tempur.
Sudah barang tentu termasuk yang terakhir adalah tugastugas pengkondisian dan
131
Apa yang dimaksud dengan “Intensi Paradoksi” adalah fenomen berkebalikan antara ekspresi
dengan pengalaman, misalnya bersikap ramah padahal sedang mengalami rasa benci, sedangkan
“Ekstensi Paradoksi” adalah keadaan pengalaman dan ekspresi yang berkebalikan dengan realita.
Misalnya tatkala masyarakat dengan keras menuntut perbaikan disiplin anggota TNI Polri, justru
banyak pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh anggota TNIPolri.
81
pembinaan wilayah sebagai upaya menyiapkan basis kekuatan pertahanan semesta
sesuai dengan doktrin Sistem Pertahanan Semesta ( Total Defence System).
Di bagian terdahulu dinyatakan para elit TNI AD memahami bahwa
militer profesional adalah bukan merupakan bagian yang otentik dari Jati Diri TNI
melainkan sesuatu hasil inplantasi kedalam Jati Diri TNI. Namun diakui bahwa
militer profesional adalah menjadi ciri umum bagi semua tentara modern,
sedangkan bagi TNI dengan Jati Diri yang dimiliki –sebagai tentara rakyat,
pejuang, dan nasional—berpadukan dengan nilai profesionalitas tersebut
menghasilkan formula profesionalisme militer khas TNI yang di samping tetap
memelihara nilainilai keIndonesiaan juga sekaligus menjadi tentara yang
modern. Pemahaman semacam ini agak berbeda dengan apa yang termaktub
dalam UU No. 34 Tahun 2004, dimana “TNI Profesional” memiliki posisi yang
setara, menjadi salah satu dari empat ciri Jati Diri TNI, di samping sebagai
“Tentara Rakyat”, “Tentara Pejuang” dan “Tentara Nasional” itu. Eksistensi
profesionalisme di dalam badan maupun personel TNI dalam pemahaman elit TNI
AD adalah sebagai hal yang sangat penting dan menentukan terhadap pelaksanaan
tugas pokok, karena dengan adanya profesionalisme di dalam TNI akan bisa
menghasilkan efek berganda (multiple effect) terhadap fungsi Jati Diri sebagai
”Tentara Rakyat”, ”Tentara Pejuang” dan ”Tentara Nasional” sehingga capaian
TNI dalam melaksanakan Tugas Pokoknya dapat optimal. Karena itu pendidikan
keahlian sebagai upaya membentuk TNI yang profesional menjadi mutlak akan
tetapi yang lebih penting adalah pendidikan yang membentuk watak kerakyatan,
semangat kejuangannya serta patriotisme.
Elit TNI AD secara hakiki (intrinsic) memaknai tugas pokok TNI, yaitu
”menjaga kedaulatan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
serta melindungi dan menjamin keselamatan segenap bangsa Indonesia” adalah
merupakan Jati Diri TNI itu sendiri. Oleh sebab itu tugas pokok tersebut bagi TNI
adalah merupakan ”harga mati” karena kegagalan dalam menjalankan tugas pokok
berarti juga memudarnya bahkan hilangnya Jati Diri TNI.
Elit TNI AD memahami pentingnya ketentuanketentuan yang harus
dihormati dan dipatuhi oleh TNI profesional dalam mengikuti kebijakan politik
negara; yaitu demokrasi, supremasi sipil, hakhak asasi manusia, ketentuan
82
hukum, dll. Yang harus menjadi catatan penting adalah bahwa ketentuan
ketentuan tersebut harus ditempatkan di bawah kerangka Tugas Pokok TNI. Dan
menurut pemahamannya, apabila prajurit baik secara individu maupun secara
korps suatu saat dihadapkan pada pilihanpilihan dilematis karena telah terjadi
kontradiksikontradiksi antara ketentuanketentuan tersebut di atas dengan
substansi tugas pokok maka secara moral bagi TNI harus tegas dan tidak ada
keraguan sedikitpun harus lebih memilih tugas pokoknya itu, apapun resiko yang
harus diterima dan dihadapi sebagai prajurit.
Tugas Pokok TNI dan semua doktrindoktrin normatif TNI adalah
bersumber dari Jati Diri TNI. Sedang jati diri tersebut memiliki akar yang sangat
kuat di dalam tradisi dan budaya keprajuritan khas Indonesia yang bersumber dari
nilainilai ”Ksatriya”. Dengan adanya perpaduan antara pembentukan watak dan
keahlian tersebut oleh karenanya secara ideal TNI sebagai tentara yang
profesional khas Indonesia bisa diberi karakteristik sebagai ”Tentara Profesional
Ksatriya”. Kesimpulan tersebut didasari dengan asumsi bahwa dalam perspektif
sejarah mentalitas, sejak munculnya negaranegara kerajaan yang dibarengi oleh
munculnya prajuritprajurit kerajaan tersebut di berbagai wilayah yang sekarang
disebut NKRI, hingga lahir dan tumbuhnya tentara Indonesia modern dewasa ini,
sebenarnya telah terjadi transformasi nilainilai ksatriya dalam alam kesadaran
para prajurit TNI, khususnya para perwiranya.
Dipandang dari perspektif nilai ksatriya maka pamor, wibawa, martabat
dan moral TNI baik sebagai institusi, terutama perwiranya baik dalam arti korps
maupun personel, akan mengalami kemerosotan bila mana mereka itu banyak
yang meninggalkan “laku ksatriya”. Yaitu secara normatif mereka tidak lagi
menjalani kehidupan asketis melainkan lebih memilih kehidupan hedonis; tidak
menjaga keluhuran budipekerti tapi mengumbar nafsu rendah; tidak taat kepada
melainkan lebih cenderung meninggalkan ajaran agama yang dianutnya;
meninggalkan semangat “sepi ing pamrih rame ing gawe” dan mengedepankan
”vested interest”; tidak lagi menyatu dengan dan berpihak kepada kepentingan
rakyat melainkan lebih berposisi berseberangan dengan rakyat; lebih
mengutamakan kepentingan diri pribadi, sanak keluarga, serta kepentingan
primordial sempit yang lain daripada kepentingan nasional, tergoda terjun ke
83
dalam dunia politik rendahan (law politics) dan berdagang; di mana ke dua jenis
pekerjaan itu –sebagai pekerja politik rendahan dan pedagang—adalah bukan
pekerjaan yang lebih mulia (untuk tidak menyebut lebih rendah) dibanding
sebagai ksatriya itu sendiri. Atau dari semua itu dapat dinyatakan dengan kata lain
kemerosotan akan terjadi yaitu apabila mereka melanggar Kode Etik Prajurit TNI
yaitu: Sapta Marga, Sumpah Prajurit, Wajib TNI, ”Budhi Bakti Wira Utama”, dan
doktrindoktrin TNI yang lainnya.
Masalah TNI dan politik, sekalipun nilai kstariya itu berpantang
melakukan politik rendahan akan tetapi bukan berarti tidak boleh meraih
kekuasaan dan kedudukan politik. Akan tetapi secara ideal pencapaian kekuasaan
dan kedudukan itu harus di peroleh dengan caracara elegan, high politics
menjunjung tinggi moralitas, etika dan rightous objective. Sebab justru
keberhasilan meraih puncak kekuasan dan kedudukan politik (bukan sekedar
menjadi pemimpin militer) adalah simbol puncak pencapaian derajat keksatriya
an seorang Perwira. Jadi tidak hanya berhenti sampai yang bersangkutan
mencapai pangkat jenderal, melainkan adalah bilamana ia bisa menduduki posisi
sebagai pemimpin negara atau ”lungguh ing keprabon”, yaitu terpilih menjadi raja
dalam konsep kekuasaan tradisional, atau terpilih menjadi pejabat tinggi dalam
konsep kekuasan Indonesia modern. Sedang tahap berikutnya adalah tahap
pencapaian kematangan sebagai seorang ksatriya yang ditandai oleh ”lengsering
keprabon, madeg pandito” artinya adanya sikap ”Legawa” yaitu bahwa ada
saatnya kedudukan, peran dan tanggung jawab itu harus diserahkan kepada orang
lain termasuk kepada yang lebih muda 132 . Berikutnya memposisikan diri sebagai
junjungan dan sesepuh sebagai tempat orang lain meminta nasehat. Menurut
hemat kita term ”Bapak bangsa” dalam konsep politik Indonesia kontemporer
adalah memiliki akar keterkaitan dengan nilai ksatriya ini.
B. Implikasi Penelitian
Penelitian ini sebetulnya memiliki beberapa implikasi teoritik, namun
demikian hanya akan diketengahkan dua implikasi yang penulis anggap paling
penting yaitu mengenai relasi statepolitical societycivil society dalam konsep
132
Legawa, adalah merupakan salah satu dari 11 Azas Kepemimpinan TNI.
84
mengenai tatanan sosial, dan relasi expertisesocial responsibilitycorporateness
dalam konsep profesionalisme militer.
Berikut ini adalah penjelasan mengenai implikasi teoritik tersebut:
1. Relasi: State – Political Society Civil Society
Kerangka teoritik tersebut di atas digunakan Alfred Stepan 133 untuk
mengkonseptualisasikan adanya dua ”arena”. Stepan mengkaitkan teorinya
dengan masalah kehidupan masyarakat bernegara (state). Menurut hemat penulis,
Stepan relatif dapat menjelaskan siapa, dan bagaimana posisi TNI dalam realitas
negara dan bangsa Indonesia.
Sebagaimana telah dibahas pada bagian terdahulu Alfred Stepan menyebut
political society dan civil society yang didefinisikan sebagai dua arena yang relatif
terpisah, di arena mana warga masyarakat melakukan peran tertentu di dalam
kerangka hidup bernegara. Jadi arena itu hadir bersama di dalam waktu dan ruang
tertentu.
Apabila dilihat dari aspek distribusi dan alokasi kekuasaan antara ketiga
entitas yaitu StatePolitical SocietyCivil Society harus berada dalam
keseimbangan. Apabila kekuasaan negara terlalu sangat besar yang tercermin
pada perilaku aparatus negara, termasuk aparatus pemaksa (coersive apparatus)
nya maka akan mendegradasikan hakekat fungsi dan tugas negara sampai pada
tingkat state abuse, di mana kekuasaan negara itu ”menelan” (pinjam istilah Prof.
Satjipto Rahardjo) kekuasaan masyarakat.
Perspektif teoritik ini secara empirik menemukan contoh kasusnya dapat di
Indonesia pada era Orde Baru (akhir tahun 60an hingga pertengahan 90an). Di
mana negara, dalam hal ini aparatus eksekutifnya menjadi terlalu kuat untuk
dikendalikan dan diimbangi oleh kekuasaan masyarakat, sehingga banyak terjadi
penyalahgunan kekuasaan dan TNI sebagai coersieve apparatus pun tidak bisa
menghindarkan diri dari keadaan itu. Bahkan menjadi pemeran utamanya. Tak
pelak peranan TNI sebagai pemonopoli alat dan tindakan kekerasan atas nama
negara juga sangat menonjol. TNI selalu di depan dalam penyelesaian berbagai
persoalan yang dipandang oleh pelaksana negara mengarah pada terjadinya social
disorder.
133
Alfred Stepan, Militer dan Demokrasi, Jakarta: Grafiti Pers, 1996, hal.1 dst.
85
Ketika terjadi perubahan paradigma sosial di Indonesia pasca reformasi
pada saat mana kekuasaan negara melemah, dan kekuasaan masyarakat baik di
arena Political Society maupun Civil Society kian menguat bisa jadi peranan TNI
semacam itu dipandang sebagai suatu kesalahan. Padahal dalam kontek paradigma
tatanan sosial, ia adalah menjadi bagian dari kebenaran relatif paradigma tatanan
sosial yang berlaku kala itu, kalau lantas pada kurun berikutnya hal itu dianggap
sebagai suatu kesalahan tidak lain adalah sebagai bagian dari perubahan penilaian
karena adanya perubahan pandangan paradigmatik semata.
Era reformasi (akhir tahun 90an hingga awal 2000an), Indonesia
dengan–merujuk pada apa yang disebut Thomas Kuhn (19221996) 134 — dapat
disebut sebagai berada dalam krisis paradigma. Setelah kurang lebih 30 tahun
berada dalam orde sosial yang stabil yang diberi label ”Orde Baru”.
Harus diakui bahwa ”Orde Baru” telah membuktikan kebenaran relatifnya
dalam arti telah menunjukkan kemampuannya merespon, menampung dan
menahan berbagai anomali selama tiga puluh tahun hingga akhirnya ambrol
karena gagal menahan gelombang krisis, yang pada giliran muncul masa transisi
menuju paradigma orde sosial baru. Paradigma orde sosial baru yang muncul
tersebut secara skeptis diharapkan adalah sejenis civil society, ditandai dengan
kian menguatnya kekuasaan dan peran masyarakat warga. Namun pada
kenyataanya peran masyarakat warga tersebut dalam beberapa aspek tampak
kebablasan.
Pada dasarnya tidak salah kalau ada anggapan umum yang menyatakan
bahwa civil society adalah orde sosial sebagai bentuk koreksi atas paradigma
paradigma tatanan sosial sebelumnya, namun kalau oleh karena itu ia dianggap
yang paling sempurna dan final maka anggapan tersebut sangat menyesatkan.
Dengan adanya anggapan semacam itu menyebabkan munculnya ekspektasi yang
sangat tinggi serta tidak adanya upaya untuk mengkritisi kemungkinan terjadinya
degradasi akibat terlalu kuatnya kekuasaan masyarakat yang bisa menyeret kearah
terjadinya kecenderungan negatif yang sebaliknya, yaitu bukan ”state abuse”
134
Menurut Thomas S. Kuhn siklus perubahan paradigma pengetahuan dari paradigma lama ke
paradigma baru melalui tahaptahap: normal – anomaly – krisis revoluasi – paradigma baru.
(Lihat: Frank Pajares (reviewer), Thomas Kuhn: The Structure of Scientific Revolutions, Outline
and Study Guide, Emory University, t.th.).
86
melainkan ”people abuse” sehingga kekuasaan masyarakat ”menelan” kekuasaan
negara.
Fenomena kekuasaan masyarakat telah ”menelan” kekuasan negara
agaknya sedikit banyak telah terjadi di Indonesia paling tidak pada sepuluh tahun
di awal tahun 2000an. Kalau ”state abuse” adalah negara akan diwarnai oleh
suasana sentralistisotoritarianisme oleh aparat negara, maka apabila terjadi
”people abuse” negara akan berada dalam suasana mobokratisanarkhisme oleh
rakyat bernegara.
Lantas bagaimana agar distribusi dan alokasi kekuasan antara negara di
satu pihak dengan masyarakat dipihak lain agar tetap dalam bentuknya yang
ideal? Pertama, antara kekuasaan negara dengan kekuasaan masyarakat harus
diupayakan selalu berada dalam posisi berkeseimbangan (inequilibrium).
Berkeseimbangan berarti tidak statis melainkan dinamis. Dengan demikian harus
ada kesadaran bahwa porsi antara kekuasaan negara dengan kekuasaan
masyarakat itu tidak mungkin benarbenar berada pada sebuah titik
keseimbangan.
Antara kekuasaan masyarakat dan kekuasan negara pada dasarnya
memerlukan satu sama lain dalam sebuah koeksistensi, dan kedua belah pihak
berusaha berada dalam sebuah keseimbangan, yang penulis sebut sebagai ”In
equilibrium State and Society”. Memang sangat bisa jadi akan selalu ada tarik
menarik dan timbul ketegangan antara keduanya namun ketegangan itu harus
diusahakan bersifat positif (positive tension). Di samping itu harus ada kekuatan
yang bertindak sebagai jangkar penyeimbang yang menurut hemat penulis dapat
diperankan oleh para perwira baik dalam arti korps maupun individu karena
mereka ini memiliki status ganda, satu sisi sebagai bagian dari birokrasi negara di
sisi lain adalah sebagai bagian dari komunitas profesional (security community) di
masyarakat.
Gagasan yang diajukan penulis mengenai inequilibrium statesociety
sebagaimana yang dimaksud di atas dapat dilihat melalui visualisasi model yang
ditampilkan di bawah ini:
87
Gambar 5
MODEL INEQUILIBRIUM STATESOCIETY
KETERANGAN GAMBAR:
Garis XY = menunjukkan tingkat (besarkecil) kekuasaan/kekuatan negara.
Garis XZ = menunjukkan tingkat (besarkecil) kekuasaan/kekuatan masyarakat.
Garis YZ = menunjukkan sistem pemerintahan atau praktek kekuasan yang berlaku.
88
melibatkan diri dalam kontestasi politik guna memperoleh kontrol atas kekuasaan
pemerintahan dan aparatur negara.
Sudah disinggung pada bagian terdahulu bahwa Stepan mengkaitkan
political society dan civil society dengan masalah kehidupan masyarakat
bernegara (state). Meski keduanya memberi tekanan definisi negara yang agak
berbeda dengan Max Weber. Misalnya, bagi Weber, negara adalah badan superior
jelmaan mandat masyarakat untuk memonopoli atas penggunaan kekerasan yang
sah, memiliki perangkat administratif (termasuk mengelola apparatus), dan
kemampuan menegakkan monopolinya atas keseluruhan wilayah. Sedang negara
bagi Stepan peranannya tidak hanya mengelola aparatus negara tetapi juga
menyusun pola hubungan ’antara’ kekuasaan sipil dan kekuasan pemerintah, serta
menyusun tata hubungan ’dalam’ political society maupun civil society; di
samping sebagai suatu sistem administratif, legal, birokratis dan memaksa yang
berkesinambungan.
Lantas siapakah (Perwira) TNI itu? Dan bagaimanakah posisinya? Dengan
mengkombinasikan definisi negara yang dikemukakan oleh Weber dan kerangka
teori Arena Stepan, maka TNI adalah sebagai aparatus Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang memonopoli penggunaan alat kekerasan atas nama NKRI
guna menjamin keamanan dan keutuhan NKRI dan sekaligus juga sebagai
komunitas profesional (keamanan) yang berhak mengekspresikan kepentingannya
di dalam arena civil society.
Selanjutnya dapat dikatakan bahwa: Pertama, TNI (baca: korps perwira)
adalah merupakan entitas yang unik. Ia adalah aparatus pemerintah namun juga
salah satu kelompok profesional. Sebagai aparatus ia sangat istimewa karena
sebagai bagian dari aparatus pemaksa yang paling ahli dan menguasai alat
kekerasan bersenjata, di pihak lain adalah sebagai bagian dari kelompok
profesional yang berhak mengekpresikan diri dan seharusnya juga memajukan
kepentingankepentingannya di tengahtengah arena civil society bersama
golongangolongan sipil yang lain. Dengan dua identitas yang dimiliki tersebut
bagaimanapun membuat posisi TNI sangat strategis di dua sisi sekaligus, baik
dalam kekuasaan negara maupun kekuasan masyarakat. Sayang menurut
sepanjang pengetahuan penulis, studistudi militer terutama yang bersifat
89
konseptual normatif, masih belum memalingkan perhatiannya kepada masalah
militer sebagai kelompok profesional, terutama korps perwira, di arena civil
society berdampingan dengan kelompokkelompok profesional dan kelompok
strategis yang lain.
Kedua, dengan identitas dan posisi seperti tersebut di atas maka sangat
mungkin TNI berperan sebagai jangkar penyeimbang antara kekuasaan
negara/pemerintah dengan kekuasaan masyarakat dalam rangka membangun civil
society di Indonesia dewasa ini maupun di masamasa mendatang.
Peran TNI itu bisa dinisbatkan dengan pendulum yang gerakannya
menjamin tetap berputarnya jarum jam. Atau gerakan pendayung yang menjamin
perahu tidak oleng dan tetap berada pada haluannya. TNI harus siap untuk
bergerak ke salah satu di antara dua sisi: kekuasaan negara (selaku aparatus)
dengan kekuasaan masyarakat (selaku komunitas profesional) dengan demikian
tanggung jawab sosial TNI tidak hanya melulu kepada negara sebagai agennya,
akan tetapi juga langsung kepada masyarakat sebagai pengguna dan pengambil
manfaat yang sesungguhnya dari jasa profesional keamanan TNI.
Untuk melaksanakan peran itu paling tidak ada tiga azas yang harus
dipatuhi yaitu asas temporalitas (emergency), tetap memelihara dan meningkatkan
profesionalisme, memberi penguatan pada peranperan sosial kemasyarakatan
(Civic mission).
135
Samuel P. Huntington, The Soldier and The State: The Theory and Politics CivilMilitary
Relation, Cambridge: Harvard University Press, 1998, hal. x, 47, dst.
90
Perdebatan teoritis atas konseptualisasi Huntington mengenai
profesionalisme militer ini pada tingkat puncaknya adalah melahirkan dua faham
utama antara mereka yang mendukung pandangan Huntington (Huntingtonian)
dan yang menentangnya. Akhirnya teori yang dikembangkan dengan dasar
pandangan Huntington dikatagorikan sebagai pandangan profesionalisme lama
(the old professionalism), sedang yang mengembangkan teori yang berpijak atas
ketidak setujuannya terhadap pandangan Huntington disebut sebagai pandangan
profesionalisme militer baru (the new professionalism).
Kalau diadakan pengkajian lebih jauh sebetulnya kandungan makna
dalam istilah the new professionalism, adalah bukan untuk menyatakan bahwa
teori yang dirintis oleh Huntington itu sudah usang, sehingga sekalipun
kehadirannya memang terkemudian namun bukan berarti menumbangkan
pandangan the old professionalism Huntingtonian. Bahkan juga bukan untuk
menyempurnakannya.
Barangkali yang lebih tepat posisi pandangan profesionalisme baru
terhadap pandangan profesi lama adalah saling mengukuhkan. Eksistensi
pandangan profesionalisme baru adalah terletak pada adanya kenyataan bahwa
memang ada fenomenfenomen baru dalam realitas dunia kemiliteran yang tidak
terakomadasikan dalam konseptualisasi Huntington. Fenomenfenomen baru
tersebut pada umumnya baru muncul setelah kajiankajian militer secara ekstensif
dilakukan di negaranegara dunia ketiga atau negara sedang berkembang. Oleh
sebab itu pandangan profesionaisme baru dapat dianggap sebagai pandangan
profesionalisme militer negara berkembang, yang umumnya memiliki sejarah dan
tradisi yang berkebalikan dengan sejarah dan tradisi militer di negaranegara
maju.
Bertitik tolak dari analisis relasi antara pandangan profesionalisme lama
Huntingtonian dengan pandangan profesionalisme baru tersebut di atas, kalau
diadakan penelaahan lebih mendalam dapat terungkap bahwa telah terjadi
ketersesatan (falsifikasi) asumsi yang mendasari kerangka teori Huntington.
Falsifikasi asumsiasumsi tersebut adalah:
Pertama, falsifikasi terjadi dalam pendefinisian tentang jenis pekerjaan
atau keahlian militer. Huntington bersandar pada asumsi bahwa bidang keahlian
91
perwira militer itu adalah manajemen kekerasan (management of violence),
sedang sebagai profesional perwira militer adalah sebagai pengelola kekerasan
(manager of violence). Pandangan ini diadopsi dari pengertian yang dikemukakan
oleh Harold D. Lasswell 136 yang menyebut pekerjaan militer sebagai spesialis di
bidang kekerasan (specialist of violence). Sedang Lasswel memberikan definisi
tersebut diilhami oleh hasil kajiannya terhadap tentara fasisme Jepang dalam
perang SinoJepang II, dalam kapasitasnya sebagai tenaga ahli militer pemerintah
Amerika Serikat. Dalam kajian tersebut Lasswel lebih menfokuskan perhatiannya
pada kekuatan angkatan udara kekaisaran Jepang, sebagaimana kita tahu bahwa
ciri khas angkatan udara adalah lebih dominan peralatan daripada personel dan
sangat sensitif terhadap perkembangan teknologi perang. Sedang tentara
kekaisaran Jepang pada perang dunia II dikenal memiliki mental pembunuh yang
melebihi batas kemanusiaan hingga sampai mengabaikan keselamatan diri.
Aspek partikularitas pemahaman Lasswel mengenai pekerjaan keahlian
militer yang menggunakan rujukan pada kinerja tentara kekaisaran Jepang lebih
khusus lagi hanya terhadap angkatan udaranya inilah yang menyebabkan
terjadinya ketersesatan ketika pemahaman itu ditarik menjadi definisi yang lebih
umum mengenai pekerjaan profesional militer.
Dalam kerangka pengertian Lasswell ini, bahwa prasyarat pekerjaan
militer itu harus dimulai dengan mengubah total kepribadian manusia sipil
(civilian man) menjadi manusia militer (military man) yaitu manusia yang sudah
mengalami mati rasa diri sebagai manusia dan berubah menjadi mesin pembunuh.
Padahal pada perkembangan realitas yang terjadi, definisi pekerjaan keahlian
militer tidak sekaku dan sedemikian paradoks dengan pekerjaan keahlian sipil.
Pandangan inilah yang telah berimplikasi pada perdebatan mengenai ruang
lingkup tugas dan tanggung jawab militer, dan menjadi isu utama dalam
perbedaan pandangan antara profesionalisme militer lama Huntingtonian dengan
pandangan profesionalisme militer baru.
Realitas tugas dan tanggung jawab militer yang tidak hanya melulu
untuk perang dan memenangi pertempuran melainkan juga ada tugas nontempur
seperti operasi kemanusiaan (humanitarian operation), misi sipil (civic mission),
136
Harrold D Lasswell, “The Garrison State”, American Journal of Sociology , 1941.
92
pemeliharaan perdamaian (peace keeping), dll. menuntut adanya definisi
pekerjaan keahlian militer yang lebih tepat. Definisi yang lebih tepat bagi
pekerjaan militer –menurut hemat penulis berdasar temuan lapangan adalah
”spesialis dalam bidang penggunaan kekuatan (specialist of force)”, sedangkan
perwira militer adalah manajer pengelola kekuatan (manager of force). Adapun
kekerasan (violance) adalah salah satu bentuk kemungkinan penerapan kekuatan
itu, di samping nonkekerasan.
Kedua, pandangan mengenai larangan militer terlibat dalam politik oleh
Huntington adalah dipengaruhi pandangan kaum teoritisi di dalam ilmu
administrasi klasik yang dalam pandangan mereka, pemisahan secara keras dan
tegas antara fungsi politik (pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan)
dengan fungsi adminstrasi (implementasi kebijakan dan realisasi keputusan)
adalah mutlak, misalnya sebagaimana digagas oleh ilmuwan administrasi klasik
Dwight Waldo maupun Frank J. Goodnow 137 . Pandangan semacam ini sudah tidak
terlalu relevan lagi untuk menjelaskan hubungan fungsi politik dengan
administrasi pemerintahan dewasa ini yang semakin cenderung melihat antara dua
fungsi politik dan fungsi administratif tersebut bukan terpisah sama sekali
melainkan saling berjalin dan berkelindan, dalam arti bahwa didalam fungsi
politik sedikit banyak juga terdapat fungsi administratif, demikian pula halnya di
dalam fungsi administratif pasti terdapat muatan politis pula. Persoalannya adalah
bukan mengenai keharusan pemisahan antara fungsi politik dan administrasi
secara kaku karena pada kenyatannya hal itu tidak mungkin dilakukan, melainkan
bagaimana porsi yang paling tepat untuk masingmasing fungsi dalam tiap jenjang
hirarkhi birokrasi yang ada.
Ketiga, falsifikasi terjadi pada konseptualisasi Huntington mengenai
keamanan. Huntington menggolongkan keamanan ke dalam tiga jenis yaitu: (1)
keamanan militer, (2) keamanan internal dan (3) keamanan situasional. Di dalam
keamanan militer, dilihat dari istilah yang dikenakan saja sudah jelas bahwa
bahwa ia adalah wilayah tugas dan tanggung jawab militer. Meskipun di dalam
domain ini Huntington juga memasukkan masalah keamanan yang berkaitan
137
Lihat Dwight Waldo, “What is Pubic Administration?”, dan Frank J. Goodnow, “Politics and
Administration”, dalam Jay M. Shafritz & Albert C. Hyde (ed.), Classics of Public Administration,
Brooks Cole Publishing Company, 1987.
93
dengan insurgensi dan kejahatan bersenjata namun secara tersirat Huntington
lebih menekankan pada tugas dan tanggung jawab militer sebagai kekuatan
bersenjata yang bersifat eksternal. Konseptulisasi ini sebenarnya mengacu pada
karakteristik militer negara maju terutama Eropa Barat, dan Amerika Serikat
pasca perang dunia II yang kekuatan militernya memiliki sejarah dan tradisinya
menjadi bagian dari penjajahan. Karena itu sangat kuat karakter invasionis dan
orientasi eksternalnya. Doktrin pertahannya bukan melindungi dan
mempertahanan wilayah negara, tetapi lebih diarahkan kepada melindungi dan
mempertahankan wilayah jajahan. Pada pasca perang dunia II seiring perubahan
bentuk dari imperialisme menjadi kapitalisme, maka doktrin melindungi dan
mempertahankan wilayah jajahan berubah menjadi melindungi dan mengamankan
kepentingankepentingan negara di luar negeri terutama kepentingan ekonomi.
Itulah sebabnya mengapa konseptualisasi Huntington mengenai tugas dan
tanggung jawab keamanan militer lebih bersifat eksternal. Kendatipun Huntington
memasukkan juga jenis ancaman dari dalam seperti insurgensi ke dalam wilayah
keamanan militer.
Keempat, masih berkaitan dengan konseptualisasi Huntington mengenai
keamanan, tampaknya Huntington telah menempatkan ketiga katagori yaitu
Keamanan Militer, Keamanan Internal dan Keamanan Situasional di dalam posisi
sejajar dan linier. Ketiga domain tersebut secara bersama tetapi sendirisendiri
memberi kontribusi jenis keamanan tertentu yang secara akumulatif berwujud
keamanan nasional (national security).
Kerangka teoritik seperti tersebut di atas menjadi kurang berhasil
digunakan untuk menjelaskan fenomenfenomen militer di negara berkembang
dan bukan dalam posisi sebagai bekas militer penjajah atau sedang menjajah,
justru malah sebaliknya yaitu militer yang lahir dari kekuatan perlawanan
terhadap penjajahan. Oleh sebab itu jugalah mengapa kerangka teori Huntington
ini tidak cukup akurat untuk menjelaskan fenomen peran, tugas dan tanggung
jawab TNI. Karena sekalipun TNI pernah melakukan tugastugas invasionis
seperti merebut Irian Barat (1963), konfrontasi dengan Malaysia (1964), dan
menguasai TimorTimur (1977), akan tetapi sejatinya TNI adalah tentara yang
postur dan doktrinnya lebih sebagai tentara pertahanan rumahan (home defence
94
army), dan berorientasi internal. Bagi negaranegara yang tidak pernah memiliki
pengalaman sebagai penjajah, atau malah sebaliknya sebagai negara terjajah,
maka konseptualisasi Huntington itu tidak berlaku. Maka dalam konteks ini, thesis
Giddens akan lebih sesuai untuk menjelaskan posisi TNI saat ini, dimana Giddens
mengatakan bahwa keberadaan militer di negaranegara yang tidak pernah
menjadi penjajah yang oleh Giddens disebut negara pramodern, umumnya lebih
memiliki fungsi internal berkaitan dengan tanggung jawab negera untuk
menciptakan tertib sosial. Sedangkan guna mewujudkan keamanan nasional,
katagorisasi keamanan militerkeamanan internalkeamanan situasional tidak
bisa diposisikan secara sejajarlinier, melainkan bersifat saling mencakup dan
saling menentukan. Ketiganya tidak secara sendirisendiri dalam mewujudkan
keamanan umum atau nasional, melainkan secara saling melengkapi dan saling
menentukan. Perbedaan konsepsi keamanan Huntington dengan yang digagas oleh
penulis adalah dapat dilihat dalam gambar sbb:
Gambar 6
MODEL PARADIGMA KEAMANAN HUNTINGTON
95
Gambar 7
MODEL PARADIGMA KEAMANAN BARU
(Diajukan oleh Penulis)
Dalam gambar 7 di atas menggambarkan adanya tiga fungsi yang masing
masing menghasilkan keamanan. Fungsi tersebut adalah pertahanankeamanan,
ketertibankeamanan, dan stabilitaskeamanan. Pada ketiga fungsi tersebut satu
sama lain terjadi interseksi dan pada berikutnya secara simultan menghasilkan
keamanan nasional. Fungsi pertahanan peran utamanya adalah militer, fungsi
ketertiban peran utamanya adalah polisi dan aparat penegak hukum yang lain,
sedangkan fungsi stabilitas diperankan oleh aktoraktor sosial di luar militer dan
polisi, antara lain para politisi, pebisnis, pemuka agama, dlsb. Sistem sebagaimana
yang terlukis dalam Gambar 7 di atas yang mengandaikan keterlibatan seluruh
aktor untuk menciptakan keamanan nasional tersebut apabila dimungkinkan
menggunakan istilah ”pertahan” dalam arti yang luas, bisa disebut sebagai sistem
pertahan semesta (Total Defence System).
Sekedar sebagai bandingan, negara Singapura juga menggunakan konsep
doktrin keamanan nasional yang didasarkan pada sistem pertahanan semesta yang
mulai dicanangkan sejak tahun 1984. Di sana konsep pertahanan diberi arti yang
luas, dan pertahanan militer (military defence) adalah hanya sebagai salah satu
dari aspek pertahanan yang ada. Sedangkan –ke empat yang lain adalah:
pertahanan psikologi (psychological defense), pertahanan ekonomi (economic
96
defense), pertahanan sosial (social defense), dan pertahanan sipil (civil defense) 138 .
3. Perwira Menengah Antara Dibentuk dan Membentuk
Di samping implikasi atas kedua kerangka teori sebagaimana telah
dipaparkan tersebut di atas perlu juga diketengahkan kembali di sini bahwa
ploting ”cerita” penyajian dan analisis fenomenologi atas hasil penelitian ini telah
menggunakan: (1) kerangka analisis relasi RealitasPengalamanEkspresi dalam
Antropologi Pengalaman yang dikemukakan oleh Edward Bruner 139 , (2) kerangka
analisis relasi ObyektivasiInternalisasiEksternalisasi oleh Peter Berger 140 , (3)
kerangka analisis StrukturAgensi dalam teori strukturasi Anthony Giddens 141 dan
(4) Kerangka relasi Self – I – Me dalam analisis Interaksionisme Simbolik oleh
George Herbert Mead 142 .
Penggunaan keempat kerangka analisis tersebut telah berhasil
mengungkap paling tidak ada fenomen di seputar profesionalisme TNI. Pertama,
bahwa personel militer, khususnya para perwira adalah memiliki karakter lebih
sebagai aktor elit TNI yang memproduksi struktur sosial kemiliteran. Mereka
bukan hanya melulu sekedar sebagai produk dari struktur sosial kemiliteran.
Dengan demikian pengungkapan ini membantah anggapan umum bahkan
beberapa kalangan akademis selama ini yang memandang bahwa dengan struktur
sosial kemiliteran yang dicirikan oleh adanya organisasi yang kaku, menekankan
nilai kepatuhan, interaksi sosial yang hirarkhis dan komando dlsb. membuat setiap
prajurit nyaris sama sekali kehilangan sifat ”keagensiannya” dan nyaris
sepenuhnya terkungkung dan kehilangan kapasitasnya untuk bertindak secara
bebas dan melakukan pilihanpilihannya sendiri. Anggapan akademik seperti
tersebut di atas tidak sepenuhnya benar.
138
Derek Da Cuncha, Sociological Aspect of the Singapore Armed Forces, dalam: Armed Forces
and Society, ProQuest Social Science Journals, Spring 1999, 25,3; hal 460.
139
Victor W. Turner and Edward M. Bruner, The Anthropology of Experience, Urbana: University
of Illinois Press, th 1986.
140
”Structure and Agency”, dalam Wikipedia, The Free Encyclopedia.
141
Robert Hagedorn (editor), Sociology, Toronto: Holt, Rinehart & Winston of Canada, Limited,
1983, hal. 72 dst.
142
Tim Knepper (reviewer), Berger The Sacred Canopy: Elements of Sociological Theory of
Religion, Religious Experience Resources Review of Books and Articles,
http://people.bu.edu./wwildman
97
Para prajurit, dalam hal ini perwira TNI adalah aktor sosial juga, yang ikut
memproduk struktur sosial terutama struktur sosial kemiliteran. Mereka
mengkonstruksi dan merekonstruksi dunia sosial kemiliteran dan juga dunia sosial
yang luas. Peran tersebut terjadi terutama ketika mereka menjalankan bermacam
macam tugas di berbagai area. Semakin tinggi jenjang kepangkatan, semakin
strategis posisi yang dipegang baik dalam arti individu maupun korps—maka
akan semakin besar pula kapasitasnya sebagai aktor sosial kemiliteran. Kalau
dilihat dari perspektif kekuasaan 143 hal itu terjadi seiring dengan kian
membesarnya kekuasaan yang ada pada dirinya, dengan demikian semakin besar
kekuasaan yang ada pada dirinya akan semakin besar pula andilnya dalam
mengkonstruksi dan merekonstruksi struktur sosial tersebut.
Kedua, dengan mengacu pada pendapat Edward Burner yang
menempatkan pengalaman berada dalam posisi sentral dalam relasi Realitas
PengalamanEkspressi, dimana pengalaman itu selalu memiliki karakteristik
individual, subyektif, dan unik; maka realitas sosial kemiliteran TNI juga harus
dipandang memiliki karakteristik (inter)subyektif, (multi)individual dan unik.
Realitas sosial tersebut adalah merupakan akumulasi produk dari para aktor/agensi
elit TNI (yang dalam batas tertentu juga melibatkan aktor/agensi lain di luar TNI)
yang membentuk continous loop dalam kumparan ruangwaktu yang sangat lama,
oleh karenya ia memiliki urat dan akar dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Semua itu harus dilihat sebagai semacam local genius dan adalah
pekerjaan yang siasia dan ahistoris kalau harus mencerabutnya dan
menggantikannya dengan realitas struktur sosial yang dibangun dari dan oleh
aktor sosial lain yang asing.
143
Konsep kekuasaan terkaitan dengan agensi oleh Giddens dinyatakan: kekuasaan itu aslinya
berada di manamana dan jumlahnya tetap. Kekuasaan pada dasarnya adalah kapasitas untuk
mencapai hasil. Kekuasaan diekspresikan dan dilaksanakan melalui sumbersumber (resources), di
mana sumbersumber itu adalah medium untuk bertindak bagi seorang agen.
Ada dua jenis sumber medium itu menurut Giddens terdiri dari sumber alokatif dan sumber
autoritatif. Sumber alokatif merujuk pada suatu penguasan manusia atas dunia alam; sedang
sumber autoritatif adalah penguasaan atau pengendalian seseorang atas dunia sosial melalui
penerapan kekuasaan atas orang lain (Geoff Boucher, The Nation State and Violence, Blackwood
Project, 2001, hal. 5).
98
4. TNI Sebagai Tentara Profesional Ksatria
Setelah melalui penjelajahan terhadap sejumlah literatur mengenai militer,
diikuti dengan penelaahan terhadap kajiankajian tentang militer Indonesia atau
TNI, lantas keduanya dipertemukan dengan data atau informasi dari lapangan di
seputar pemahaman perwira menengah TNI AD tentang profesionalisme, akhirnya
terkuak segugusan fenomena di seputar profesionalisme TNI yang dapat
dimaknakan secara khusus dan unik yang dirangkum dalam suatu sebutan bagi
TNI yaitu “Tentara Profesional Ksatriya”.
Kesimpulan atas kajian ini tidak berdiri sendiri melainkan diilhami dan
terkait dengan kajiankajian sebelumnya. Pertama adalah bertitik tolak dari
konstruksi militer yang dikemukakan oleh Samuel P. Huntington, yang dalam
salah satu thesisnya mengajukan dua tipologi tentara modern yaitu apa yang ia
sebut Tentara Pretorian dan Tentara Profesional. Dari tipologi Huntington
tersebut, Eric Nordlinger dalam telaahnya menemukan adanya varian dalam
tentara pretorian yaitu apa yang ia sebut sebagai tentara pretorian moderator,
tentara pratorian guardian, dan tentara pretorian rulers. Sedang dalam hal tentara
profesional, Amos Perlmutter menemukan sebuah varian yang ia sebut ‘tentara
profesional revolusioner’.
Dalam kaitannya dengan kajian terhadap militer Indonesia (TNI), Syamsul
Ma’arif dalam penelitiannya “Militer dalam Masyarakat Menuju TNI Profesional
di Era Reformasi” barubaru ini, menyebut fenomena TNI profesional sebagai
“Tentara Profesional Patriot”. Dan pemunculan rumusan makna tentang TNI
sebagai “Tentara Profesional Ksatriya” ini tidak dimaksudkan untuk menyanggah
atau menafikan terhadap apa yang telah ditemukan oleh peneliti sebelumnya,
khususnya terhadap rumusan TNI sebagai “Tentara Profesional Patriot”,
sebagaimana dikemukakan oleh Syamsul Ma’arif. Barangkali yang lebih tepat
temuan mengenai “Tentara Profesional Ksatriya” ini adalah merupakan perspektif
yang lain dari TNI, yaitu manakala TNI ditelaah dari sudut makna hakiki
(intrinsic meaning) yang mendasarinya.
99
5. Perlunya Level Studi ”MikroSubyektif”
Perkategori, studi mengenai pemahaman tentang profesionalisme militer
yang penulis lakukan adalah tergolong studi ”mikrosubyektif”. Studi semacam
ini menurut hemat penulis tergolong masih langka dalam studi militer, setidak
tidaknya dalam studi mengenai TNI. Hal tersebut merupakan keunikan dari karya
penelitian ini. Mengingat kebanyakan studi militer yang selama ini dilakukan –
khususnya di Indonesia—adalah bersifat ”makroobyektif” atau juga ”makro
subyektif”. Begitu juga wilayah kajian, sebagian besar pengkajian militer di
Indonesia diarahkan pada isuisu yang ekstrinsik misalnya hubungan sipilmiliter,
politik militer, dan bisnis militer. Sedang penelitian ini lebih memiliki nilai
intrinsik, yang mengarah kepada pengkajian di bidang etika militer (Military
Ethic). Ketidakseimbangan porsi –antara ekstrinsik dengan intrinsik— ini
memiliki konsekuensi terjadinya ketidakimbangan dalam melihat persoalan
persoalan yang dihadapi TNI. Sehingga wacana publik yang berkembang
berkenaan dengan masalah profesionalisme TNI, misalnya, lebih berkutat pada
tataran ektrinsiksuperfisial misalnya soal keterbatasan anggaran, keterbatasan dan
ketertinggalan di bidang perlengkapan dan persenjataan, rendahnya tingkat
kesejahteraan prajurit dlsb. Sementara halhal yang intrinsiksubstansial seperti
masalah sistem pendidikan TNI, reaktualisasi dan revitalisasi doktrin, penguatan
ideologi serta penanaman nilai dlsb. cenderung diabaikan atau setidaktidaknya
tidak pernah menjadi perhatian publik.
6. Jati Diri TNI Bersumber dari Nilainilai Ksatria
Telah disebutkan juga di bagian terdahulu, bahwa salah satu temuan
kesimpulan penelitian ini mengungkap bahwa sumber nilai TNI itu pada
hakekatnya adalah terletak dalam apa yang dikonseptualisasikan dengan nilai
“ksatriya”. Tiga unsur jati diri TNI –sebelum profesionalisme dicangkokkan
didalamnya melalui UU No. 34 tahun 2004—yaitu sebagai tentara rakyat, tentara
pejuang dan tentara nasional pun pada dasarnya adalah bersumber dari nilainilai
yang terkandung di dalam ksatriya tersebut. Begitu juga butirbutir pernyataan
yang terdapat di dalam doktrindoktrin TNI yaitu Sapta Marga, Sumpah Prajurit,
8 Wajib TNI, 11 Asas Kepemimpinan TNI serta Kode Etik Perwira atau Budi
100
Bakti Wira Utama—adalah merupakan normanorma yang ‘diejawantahkan’ dari
nilai ksatriyaan itu.
Kajian mengenai ide ksatriya di dalam khasanah studi militer Indonesia
memang belum banyak. Barangkali hanya Piter Britton dan Benedict R.O’G
Anderson yang mengangkat fenomena itu ke wilayah kajiannya meskipun tidak
dilanjutkan dengan pengkajian yang lebih mendalam. Namun di dalam literatur
lama dalam sejarah dan kesusasteraan Jawa pembahasan terhadap konsep tentang
ksatriya ini cukup intens di lakukan. Lantas apa perbedaan antara tentara
profesional klasik Huntingtonian, tentara profesional revolusioner Perlmutter
dengan tentara profesional ksatriya khas Indonesia tersebut?
Dari segi keahlian, perwira profesional dalam konsep Huntington dan
Perlmutter adalah manajer kekerasan (manager of violence). Sebagai tujuan utama
dengan kekerasan itu adalah memenangkan pertempuran dengan mengalahkan
musuh. Sedang tentara profesional ksatriya, adalah pengelola kekuatan
(manajement of forces). Memang penggunaan atau aktualisasi dari kekuatan
tersebut bisa berupa kekerasan, namun bagi tentara profesional ksatriya kekuatan
yang dihimpunnya adalah terutama untuk tujuantujuan nonkekerasan. Karena
tentara ksatriya memberi makna yang berbeda mengenai kemenangan. Bagi
tentara ksatriya untuk mencapai kemenangan tidak harus dengan mengalahkan
musuh sebagaimana terkandung dalam kalimat ”ngluruk tanpo bolo menang
tanpo ngasorake” yaitu menyerang tanpa harus dengan bala pasukan,
memenangkan pertempuran tanpa harus dengan mengalahkan.
Apabila term ksatriya dijadikan isu bahasan, maka yang menjadi topik
utama adalah masalah kekuatan atau kekuasaan. Kekuatan atau kekuasaan yang
dimiliki ksatriya disebut ’kadigdayan’ atau ’kesaktian’. Persoalannya adalah
berkisar tentang bagaimanakah ksatriya itu memperoleh kedigdayan? Bagaimana
cara memelihara atau mempertahankan kedigdayaan itu? Untuk apa kedigdayan
digunakan?
Di dalam konsep tentara profesional Huntington, kekuatan seorang perwira
terletak didalam kemampuan intelektual yang terutama diperoleh melalui
pendidikan serta keadaan yang bersifat lahiriah yang diperoleh melalui latihan
latihan pisik yang intensif, sehingga ia menjadi seorang ahli yang menguasai
101
teknis kemiliteran sekaligus sebagai manajer kekerasan. Pola pembentukan
semacam ini membuat pencitraan tentara profesional dalam pandangan
Huntingtonian menjadi sangat ”macho militarism”.
Dewasa ini mulai banyak kritik terhadap ”macho militarism" ini. Misalnya
dilontarkan oleh Carol Burke, dalam bukunya: “Camp AllAmerican, Hanoi Jen
and the HighandTight: Gender, Folklore and Changing Military Culture”.
Berdasar penelitian dan pengalamannya mengajar di Naval Academy, Annapolis,
Maryland, Burke berpendapat: “The macho culture of the military is not only
unjust, but will be irrelevant in a future where brute force will not be the primary
military need” 144 . (Budaya macho dalam militer bukan hanya tidak adil, tetapi
akan menjadi tidak relevan dalam sebuah masa depan dimana kekuatan kejam dan
kasar tidak lagi merupakan kebutuhan utama dalam militer). Memang Burke
dalam penelitiannya lebih menyoroti tata cara pendidikan dan latihan militer
tentara Amerika Serikat yang sangat bias gender, memarginalkan perempuan,
memuja maskulinitas; serta kenyataan berbagai efek negatif yang ditimbulkannya.
Namun hal tersebut juga sangat relevan jika dikaitkan dengan perubahan yang
sangat besar dalam dunia kemiliteran dewasa ini khususnya dalam hal definisi
mengenai postur dan paradigma pertahanan serta mengenai alat utama sistem
senjata. Salah satu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri adalah bahwa perubahan
tersebut menuntut adanya kemahirankemahiran untuk melakukan pekerjaan
militer yang menggunakan sentuhan halus dan kekuatan otak; bukan lagi dengan
kekuatan pisik yang kasar.
Kian kurang relevannya macho militarism tersebut kalau bertitik tolak dari
pandangan Bruce Berkowitz terutama terkait dengan munculnya apa yang disebut
sebagai “Wajah Baru dalam Perang abad 21”. Dalam perang abad 21an,
pertarungan tidak hanya terjadi di medan tempur, tetapi juga di dunia komputer
dan sistem komunikasi. Menurut Berkowitz, dewasa ini tidak ada efek revolusi
informasi sedahsyat yang terjadi di dunia kekuatan kemiliteran 145 .
Relevansi perubahan postur dan paradigma militer tersebut di atas dengan
konsep tentara ksatriya adalah sangat signifikan. Dalam konsep tentara ksatriya,
144
Di kutip dari bahan review dalam Books on Military Sociology, 15 Mei 2005.
145
Bruce Berkowitz, The New Face of war: How War Will be Fought in the 21th Centure, Sydney
Singapore:The Free Press, th. 2003, hal. 13.
102
khususnya bagi seorang perwira, kekuatannya bukan terutama dan hanya
diperoleh melalui pendidikan dan latihan yang bersifat pisik dan kasar, akan tetapi
justru yang lebih penting adalah melalui olah batin atau ”mesu budi topo broto”.
Sehingga ”Macho” adalah bukan suatu keharusan menjadi ciri seorang ksatriya.
Penampilan pisik yang sahaja justru menunjukkan kematangan seorang ksatriya,
sekaligus menjadi ciri pembeda antara prajurit biasa dengan perwira ksatriya.
Postur yang sahaja semacam itu adalah sebagai hasil dari melakukan olah batin
melalui tirakat, mesu budi, menahan diri dari dorongan nafsu naluriah dan
menghindari kehidupan yang hedonis.
103