Makalah KBLI

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH

PENGARUH PENCAHAYAAN (LIGHTING) TERHADAP


KESEHATAN TERNAK dan MANAJEMEN LINGKUNGAN
KEMAMPUAN BELAJAR DAN LITERASI INFORMASI
(KBLI)

TUGAS PERORANGAN
DISUSUN OLEH :
200110160176

INDRA WIJAYA

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
1

2016

ABSTRAK

Pengaruh pencahayaan (lighting) terhadap kesehatan


ternak dan manajemen lingkungan.
Oleh:
Indra Wijaya
(200110160176)
Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan
mengamati bagaimana susunan sel pada hewan maupun
tumbuhan, serta untuk menyelesaikan salah satu tugas
mata kuliah KBLI. Adapun data penulisan ini diambil dari
berbagai media internet yang menyediakan berbagai jenis
jurnal. Adapun metode yang digunakan dalam penulisan
makalah ini adalah deskriptif dengan jenis data sekunder
yang sebelumnya telah diolah dengan metode penelitian
dengan pengujian secara ilmiah. Hasil penelitian ini
menunjukan bahwa pencahayaan adalah parameter penting
dari produksi unggas. Pencahayaan merupakan faktor
eksogen yang kuat dalam mengontrol banyak proses
fisiologis dan perilaku. Pencahayaan mungkin merupakan
faktor yang paling kritis dari semua faktor lingkungan bagi
unggas. Pencahayaan juga dapat menentukan bagaimana
kesehatan unggas itu berjalan selama hidupnya, selain pada
aspek
pencahayaan
yang
sangat
penting,
dapat
lingkungannya pun harus selalu diperhatikan agar tercipta
sistem peternakan unggas yang terintegritas.

Kata Kunci : Unggas, Pencahayaan, Limbah, Penyakit.

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah


S.W.T yang telah melimpahkan karunia-Nya, serta atas
pencerahan dan hidayah-Nya lah, penulis dapat menyusun
makalah yang berjudul
PENGARUH

PENCAHAYAAN

(LIGHTING)

TERHADAP

KESEHATAN TERNAK dan MANAJEMEN LINGKUNGAN.


Adapun penyusunan makalah ini merupakan salah
satu tugas mata kuliah KBLI ( Keterampilan Belajar Literasi
Informasi ) pada Program Studi Ilmu Peternakan, Fakultas
Peternakan Universitas Padjadjaran, Jatinangor. Penulis sadar
sepenuhnya akan keterbatasan dari penulis baik itu dalam
hal pengetahuan, pengalaman, maupun kemampuan yang
penulis

miliki.

Namun,

Alhamdulillah

berkat

petunjuk,

bantuan dan kerja sama berbagai pihak yang penulis


dapatkan, penulis mampu mengatasi berbagai hambatan

tersebut pada akhirnya hanya atas ridho Allah S.W.T penulis


dapat menyelesaikan makalah ini.
Akhir kata penulis ucapkan terima kasih dan mohon
maaf atas segala kekurangan yang penulis miliki.

Tasikmalaya, Oktober 2016,


Penulis,

Indra Wijaya

DAFTAR ISI
Abstrak..........................................................................................
i
Kata Pengantar............................................................................
ii
Daftar Isi.......................................................................................
iii
Daftar Gambar..............................................................................
iv

BAB I PENDAHULUAN
1

Latar

Belakang
4

....................................................................
1
2

Rumusan
Masalah
....................................................................
1

Tujuan
Penulisan
....................................................................
1

Manfaat
Penulisan
....................................................................
2

BAB II PENYAKIT PADA UNGGAS


2.1....................................................................
Penyakit
Pada
unggas
.....................................................................
3
2.1.1 Penyakit
Viral
...........................................................
3
2.1.2
Penyakit
Bakteri
.....................................................................
5
2.1.3
Penyakit
Mikal
.....................................................................
6
2.1.4
Penyakit
Parasit
.....................................................................
8

BAB III PENGARUH CAHAYA PADA KESEHATAN UNGGAS..................


11

BAB IV MENEJEMEN KESEHATAN......................................................


24
BAB V PENUTUP ..............................................................................
26
DAFTAR PUSTAKA............................................................................
27

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kelumpuhan dengan kedua kaki ke samping.................


4
Gambar 2 Katarak ekstensif local...................................................
4
Gambar 3 Kaheksia akibat chlamidiosis kronis...............................
6
Gambar 4 Ayam terserang asperrgilosis.........................................
7
Gambar 5 Nodul pada paru ayam...................................................
8
Gambar 6 Cacing Ascaridia galli.....................................................
10

BAB I
Pendahuluan

1.1. Latar Belakang


Usaha peternakan
unggas merupakan salah satu
usaha yang potensial untuk meningkatkan konsumsi protein
bagi masyarakat. Salah satu faktor yang mempengaruhi
keberhasilan dalam peternakan unggas adalah menajemen
kesehatan.
Industri unggas telah menjadi suatu kegiatan ekonomi
yang penting dibanyak negara. Dalam skala pemeliharaan
yang besar, dimana unggas tersebut terpapar kondisi stres,
masalah yang berkaitan dengan penyakit dan kemerosotan
kondisi lingkungan sering terjadi dan mengakibatkan kerugian
ekonomi yang serius. Pencegahan dan pengendalian penyakit
selama
beberapa
dekade
terakhir
telah
menyebabkan peningkatan besar dalam penggunaan obatobatan hewan. Namun, kegunaan dari agen antimikroba
sebagai tindakan pencegahan telah dipertanyakan, mengingat
dokumentasi
luas
tentang
perkembangan
resistensi
antimikroba antar bakteri patogen. Jadi, kemungkinan
antibiotik berhenti untuk digunakan sebagai stimulan
pertumbuhan untuk unggas dan kepedulian tentang efek
samping dari penggunaannya sebagai agen terapeutik telah
menghasilkan sebuah iklim di mana konsumen dan produsen
telah mencari alternatif lain yang lebih baik.
1.2.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah
diatas, maka dapat dirumuskan masalahnya, yaitu :
1). Bagaimana berbagai penyakit bisa menyerang pada
unggas?
2). Bagaimana menajemen pencahayaan yang baik?
3). Bagaimana manajemen limbah yang baik?
1.3. Tujuan
Tujuan dari makalah ini, yaitu
1. Menyelesaikan salah satu tugas mata kuliah KBLI.

1.4. Manfaat
Diharapkan dengan adanya makalah ini, berguna bagi:
a. Penulis sebagai wawasan dan ilmu pengetahuan mengenai
bagaiamana menejemen pencahayaan yang baik pada
unggas.
b. Masyarakat
sebagai
informasi
mengenai
cara
memanajeman kesehatan dan mengelola peternakan
unggas yang baik, sehingga tercapai peternakan yang
terintegrasi.

BAB II
Penyakit Pada Unggas

2.1.

Penyakit Pada Unggas


Penyakit

pada

ternak

secara

umum

terbagi

menjadi penyakit infeksi dan penyakit non infeksi.


Penyakit infeksius adalah penyakit yang disebabkan
oleh agen-agen infeksi. Agen-agen infeksi penyebab
penyakit antara lain virus, bakteri, mikal, parasit.
Sedangkan penyakit non infeksius adalah penyakit yang
disebabkan

selain

agen

infeksi

misalnya

akibat

defisiensi nutrisi, defisiensi vitamin, defisiensi mineral


dan keracunan pakan (Tariakoso, 2009).
2.1.1 Penyakit viral
Contoh jenis penyakit viral ini adalah :
AVIAN

ENCEPHALOMYELITIS

Sinonim : Epidemic Tremor, Infectious Avian


Encephalomyeliti
Avian

Encephalomyelitis

(AE)

merupakan

penyakit viral akut pada anak ayam, yang ditandai


dengan ataksia, tremor pada otot kepala dan leher
serta kelumpuhan. Penyakit ini mempunyai arti
ekonomi yang cukup penting pada peternakan.
Penyakit AE umumnya menyerang anak ayam
umur 1-4 minggu, sedang pada ayam petelur
hanya mengakibatkan penurunan produksi telur
antara 5-20%,yang mempengaruhi daya tetas telur
yang diproduksinya. Bila diingat bahwa penyakit AE
ini ditularkan melalui telur maka Breeder yang
paling dirugikan akibat serangan penyakit ini.

Virus AE ditularkan melalui dua cara yaitu


secara vertikal dan horizontal, secara vertikal
melalui telur, dimana telur dierami oleh induk yang
terinfeksi secara sub klinis sehingga menjadi media
pembawa virus, setelah telur menetas maka anak
ayam akan terinfeksi secara klinis virus tersebut.
Secarahorizontal
tersebut

akan

anak

ayam

menyebarkan

yang

terinfeksi

virus

pada

ayam lainnya dalam satu kelompok melalui feses


yang

mengandung

virus.

Gambar 1. Kelumpuhan dengan kedua kaki terjulur ke


samping
(Sumber : http://keep-hens-raisechickens.com/health/avian-encephalomyelitis-ae)

Gambar 2. A. Katarak ekstensif local pada lensa mata, B.


Mata normal
(Sumber : http://partnersah.vet.cornell.edu/avianatlas/search/lesion/465)

2.1.2. Penyakit Yang Disebabkan Bakteri


Contoh penyakit yang disebabkan oleh bakteri adalah :

Chlamydiosis
Sinonim : Parrot Fever, Ornithosis, Psittacosis
Psittacosis atau Ornithosis adalah penyakit menular
yang disebabkan Chlamydophila psittaci. Selain menginfeksi
saluran pernafasan, organisme ini juga menyerang organ
bagian dalam seperti hati dan limpa. Istilah psittacosis berasal
dari kata Yunani untuk menyebut kakaktua atau psittacos.
Orang pertama yang mempopulerkan istilah ini di bidang
kesehatan adalah Morange pada tahun 1892.
Chlamydiosis merupakan penyakit zoonosis yang
disebabkan oleh bakteri obligat intraseluler Chlamydophila.
Mikroorganisme ini memiliki siklus hidup yang unik dan
menyebabkan peradangan dari ringan sampai berat pada
hewan dan manusia. Jenis yang paling dikenal adalah
Chlamydophila psittaci (C.psittaci) dan Chlamydophila
trachomatis (C.trachomatis). Penyakit ini disebut psittacosis
jika yang terserang adalah kelompok burung Psittacideae
(berparuh bengkok antara lain parkit, kakaktua dan lain-lain)
dan bila menyerang burung lainnya disebut ornithosis.
Agen penyebab chlamydiosis digolongkan ke
dalam ordo Chlamydiales. Chlamydiales ada 2 genus yaitu
chlamydia dan chlamydophila. Chlamydophila terdiri dari
empat spesies yaitu C.psittaci, C.trachomatis, C.pneumonia
dan galur lain yang diisolasi dari sapi dan domba yakni
C.pecorum. Chlamydophila atau Chlamydia merupakan
mikroorganisme antara bakteri dan virus. Dinding selnya
menyerupai bakteri, berkembang biak dengan pembelahan
dan bersifat obligat intra seluler, serta bersifat gram positif
yang dapat menyebabkan penyakit pada berbagai hewan
termasuk burung.
Gejala ornithosis pada merpati antara lain
mengantuk, bulu leher dan kepala berdiri, nafsu
makan turun, bulu kusam, kurus, feses berwarna
hijau cair dan/ atau feces berdarah dan berwarna
abu-abu, mata berair, rongga hidung kotor
dan atau berair, radang tenggorokan, kepala
bengkak dan kadang ditemukan susah bernafas
dengan paruh yang terbuka. Pada kasus yang parah,
badan merpati menggigil. Ornithosis juga menyerang
selaput mata yang disertai dengan keluarnya air
mata dalam jumlah banyak. Jika menyerang merpati

muda menyebabkan kematian, sedangkan pada


infeksi ringan gejala sulit terdeteksi. Pada burung liar
gejalanya kebanyakan laten bahkan tidak ada gejala
yang tampak. Pada merpati balap tidak dapat
berprestasi dengan baik karena kondisinya yang tidak
optimal. Bila diternakkan hasil kurang maksimal
karena pembuahan sulit terjadi dan persentase telur
menetas rendah.

Gambar 3. Kaheksia akibat chlamidiosis kronis


(Sumber :
http://www.poultrymed.com/Poultry/UploadFiles/
PGallery/1243091586.jpg)
2.1.3. Penyakit Yang Disebabkan Oleh Mikal
Contoh penyakit yang disebabkan oleh mikal
adalah :
ASPERGILLOSIS
Sinonim : Brooder Pneumonia
Aspergillosis atau Brooder Pneumonia adalah
penyakit yang disebabkan oleh cendawan. Penyakit ini
menyerang manusia dan hewan. Pada unggas terutama
menyerang alat pernapasan, pada sapi biasanya berupa
radang plasenta yang mengakibatkan keguguran. Kerugian
terjadi karena kematian pada anak ayam akibat aspergillosis
paru, dan keguguran pada sapi.
Selanjutnya untuk menghindari kesalahan penafsiran,
penyakit yang disebabkan oleh jamur, disebut penyakit mikal.
Obatnya disebut anti mikal (anti mikotik).
Dalam bentuk akut, aspergillosis menyebabkan
hewan tidak mau makan, kelihatan mengantuk, kadang

membuka mulut karena kesulitan bernapas, bahkan


mengalami kejang. Apabila cendawan menginfeksi otak,
akan menimbulkan gejala kelumpuhan dan gangguan syaraf
lainnya. Jika terjadi infeksi pada mata umumnya hanya
menyerang salah satu matanya, hingga matanya tertutup
oleh cairan kental berwarna kuning dan ayam tumbuh
lambat. Dalam kronis, aspergillus biasanya menyerang satu
atau beberapa ayam dewasa dengan gejala nafsu makan
menurun, batuk, kesulitan bernapas dan ayam menjadi
kurus.

Gambar 4. Ayam terserang Aspergillosis


(Sumber : http://oldvet.com/aspergillosis-in-poultrycausesigns-and-treatment/)
Patologi anatomi Aspergillosis paru ditunjukkan
dengan adanya bentuk radang paru yang tersebar, berbentuk
bungkul kecil dan radang kantung udara. Selain itu sering
dijumpai cairan bernanah yang berwarna hijau kekuningan,
selaput kantung udara menebal dengan pertumbuhan jamur
berwarna putihan pada permukaannya. Infeksi dapat
menyebar ke seluruh tubuh ke terbatas pada satu organ
tubuh saja.

Gambar 5. Nodul pada paru ayam terserang Aspergillosis


(Sumber : http://oldvet.com/aspergillosis-in-poultrycausesigns-and-treatment/)

2.1.4. Penyakit Parasit


Contoh penyakit yang disebabkan oleh parasit
adalah:
ASCARIASIS PADA AYAM
Ascariasis adalah penyakit cacing yang menyerang
unggas dan disebabkan oleh Ascaridia galli . Cacing ini
terdapat di usus dan duodenum hewan unggas. Pada ternak
ayam sering menyerang baik tipe pedaging maupun tipe
petelur, sedangkan pada ayam buras kemungkinan tertular
lebih besar karena sistem pemeliharaan yang bebas
berkeliaran. Beberapa faktor yang mempengaruhi infeksi
cacing A. galli diantaranya adalah umur, jenis ayam, dosis
infeksi, tipe kandang, nutrisi, sistem pemeliharaan dan
cuaca. Untuk melakukan pencegahan terhadap infeksi
cacing ini maka harus diketahui faktor yang mempengaruhi
infeksi tersebut. Unggas muda harus dipisahkan dari unggas
dewasa dan tempat unggas berkeliaran harus mempunyai
saluran air yang baik sehingga tidak terjadi penumpukan air
di tanah dan tanah tidak menjadi becek. Tempat unggas
dilepas harus sering dirotasi. Pemeliharaan ayam
menggunakan lantai litter, secara periodik litter di tempat
pakan dan minum harus sering dicampur dengan litter yang
kering dari tempat lain. Infeksi yang berat dari cacing A.galli
umumnya terjadi pada kandang litter yang tebal dan sangat
lembab. Setiap akan memasukkan ayam baru dalam
kandang litter, maka litter harus dibiarkan selama beberapa
hari untuk penyuci hamaan dan pemanasan sehingga
diharapkan litter menjadi kering dan telur yang mengandung
larva infektif juga ikut mati (proses kering kandang). Secara
berkala obat cacing dapat diberikan tergantung derajat
infeksinya.

Ascariasis adalah penyakit cacing yang menyerang


unggas dan disebabkan oleh cacing A. galli. Sinonim
spesies ini adalah A.lineata , A.perspicillum. Cacing ini
merupakan cacing nematoda yang ukurannya paling besar
diantara jenis cacing pada unggas, berwarna putih,
berbentuk bulat, tidak berpigmen dan dilengkapi dengan
kutikula yang halus. Cacing jantan berukuran 50-76 mm,
sedang yang betina 72-112 mm dengan diameter 0,5-1,2
mm, mempunyai 3 bibir yang besar.
Telurnya berbentuk oval, berukuran 73-92m sampai
45-57m

Gambar 6. Cacing Ascaridia galli


(Sumber : http://www.vetklinik.com)

BAB III
Pengaruh Cahaya Pada Kesehatan Ayam
A. Pencahayaan Pada unggas
Ilmuwan menemukan kurang lebih 60 % gen ayam
serupa dengan gen manusia. Gen ayam yang terlibat dalam
struktur dasar sel dan fungsi menunjukkan kesamaan sekuens
dengan gen manusia dibandingkan gen yang bertanggung
jawab

dalam

reproduksi,

reaksi

imunitas,

dan

adaptasi

terhadap lingkungan. Ayam adalah unggas pertama, juga


binatang ternak pertama yang dianalisis genomnya. Ada
sekelompok gen yang bertugas mengkode protein penerima
bau-bauan berkembang sedemikian baik pada genome ayam.
Temuan ini berlawanan dengan pandangan bahwa jenis
burung memiliki penciuman yang buruk. Jika dibandingkan
dengan mamalia, burung memiliki lebih sedikit keluarga gen
yang bertanggung jawab untuk penerima rasa pengecap,
terutama pengecap rasa pahit. Ayam memiliki gen yang
mengkode enzim tertentu terkait dengan cahaya, sedangkan
mamalia tidak memiliki gen itu. Ayam memiliki gen-gen yang
mengkode enzim untuk membentuk pigmen berwarna biru,
mamalia tidak meiliki gen seperti itu (Biogen, 2006). Lingkup
cahaya yang berpengaruh terhadap fisiologis unggas ada
empat macam, yaitu photoperiod, intensitas, warna dan
sumber cahaya. Photoperiod adalah lama waktu terang dari
pencahayaan alami, untuk aktifasi hormon yang ideal 11 12
jam. Intensitas adalah kekuatan cahaya yang diberikan pada
unggas, umumnya berkisar 5 20 lux. Pada saat embrio
berumur 17 hari di dalam inkubator, embrio unggas telah
merespon cahaya. Unggas tidak dapat memutar mata secara
bebas tapi mereka mampu melihat pada jarak pandang 300
derajat dengan suatu lapang binokuler sebesar 26 derajat.
Unggas mengikuti obyek dengan menggunakan mobilitas
11

kepalanya. Ketajaman penglihatannya

bagus

pada

jarak

pandang cukup jauh. Unggas mampu membedakan bentuk


segi empat dan segitiga, juga titik titik merah dan hitam.
Pentingnya indera penglihatan bagi unggas ditunjukkan oleh
ukuran mata yang amat besar dibandingkan dengan ukuran
kepala dan otak. Rasio berat dari dua mata dibanding otak
adalah nyaris 1 : 1 (Bell dan Freeman, 1971), sedangkan pada
3 manusia rasio sekitar 1 : 25. Selanjutnya ditunjukkan oleh
Appleby (1992) bahwa mata spesies-spesies herbivora dan
omnivora

yang

terletak

secara

lateral

seperti

unggas

memperluas bidang pandang lebih dari 300. Pencahayaan


adalah parameter penting dari produksi unggas. Pencahayaan
merupakan faktor eksogen yang kuat dalam mengontrol
banyak proses fisiologis dan perilaku. Pencahayaan mungkin
merupakan faktor yang paling kritis dari semua faktor
lingkungan

bagi

unggas.

Pencahayaan

merupakan

keterpaduan dengan penglihatan, termasuk ketajaman visual


dan pembedaan warna ( Manser dalam Olanrewaju, 2006).
Pencahayaan

memungkinkan

unggas

untuk

menetapkan

keserasian dan mensinkronkan / menyamakan banyak fungsi


esensial, termasuk temperatur tubuh dan berbagai langkah
metabolis

yang

mempermudah

kegiatan

makan

dan

pencernaan. Pencahayaan juga menstimulasi pola sekresi


beberapa

hormon

yang

mengontrol

sebagian

besar

pertumbuhan, kematangan / kedewasaan dan reproduksi.


Jelaslah pencahayaan menjadi penting karena berhubungan
dengan produksi dan kesejahteraan unggas. Pencahayaan
terdiri dari tiga aspek yaitu : intensitas, durasi dan panjang
gelombang. Intensitas cahaya, warna dan aturan photoperiod
(waktu penyinaran) mempengaruhi aktivitas fisik unggas.
Peningkatan aktivitas fisik dapat menstimulir perkembangan
tulang, sehingga memperbaiki kesehatan kaki. Nalbandov
(1990) dalam Sunarti (2004), menjelaskan bahwa cahaya
12

melalui retina mata akan diteruskan melalui saraf mata


menuju hipotalamus anterior, kemudian merespon dengan
melepaskan substansi yang menstimulir kelenjar hipofise
untuk memproduksi hormon gonadotropin. Hormon ini akan
bersama aliran darah merangsang ovarium serta organ
reproduksi lain. Di samping itu juga akan membantu proses
pematangan folikel telur di gonad, perkembangan bulu dan
jengger pada ayam petelur. Di sisi lain cahaya juga akan
menggertak

kelenjar

tiroid

untuk

menghasilkan

hormon

pertumbuhan untuk mengatur proses metabolisme. Selain itu


cahaya

gelap

androgen.

akan

Hormon

menggertak
androgen

dilepaskannya

ikut

serta

hormon

dalam

proses

pembentukan tulang (Byuse, 1996 dalam Sunarti, 2004), lebih


lanjut 4 dinyatakan bahwa selama periode gelap ternyata
level hormon kortikosteroid menjadi rendah. Level hormon
kortikosteroid berbanding lurus dengan level stres. Unggas
adalah hewan yang mudah stres, sehingga pemberian cahaya
gelap akan menghambat pelepasan hormon kortikosteroid dan
memberikan kesempatan labih banyak pada unggas untuk
beristirahat, sehingga stres dapat berkurang. Efek cahaya
setelah diterima hipotalamus juga akan mensekresikan STHRH (somatotropik releasing hormon) dan dan TRH (tirotropik
releasing hormon). Releasing itu akan merangsang glandula
pituitary anterior untuk mensekresikan STH dan TSH, TSH
akan menstimulir kelenjar tiroid untuk melepaskan tiroksin.
Somatotropik hormon dan tiroksin akan menstimulir tubuh
meningkatkan aktivitas pertumbuhan (Bell dan Freeman, 1971
dan Card, 1961). Isroli (1996) menyatakan, bahwa hormon
pertumbuhan dari kelenjar pituitary anterior dan tiroksin dari
kelenjar tiroid bekerja secara simultan dalam kontrol terhadap
pertumbuhan
hormon

ternak

dalam

metabolisme,

menjelang

tubuh

berfungsi

meningkatkan
13

pubertas.

Somatotropik

memacu

cadangan

aktifitas
nitrogen,

meningkatkan

penyediaan

energi

dan

merangsang

pembentukan somatotropik hormon. Untuk memulai proses


pembentukan

telur

setiap

harinya,

puyuh

memerlukan

rangsangan cahaya. Peran cahaya lebih penting daripada


temperatur dalam hal kemampuannya bertelur. Puyuh masih
dapat bertelur pada suhu 0 C pada cahaya lebih dari 14 jam.
Cahaya

terang

tidak

diperlukan.

Cahaya

cukup

untuk

membuat puyuh terjaga aktivitas sosialnya. Bola lampu 40-60


watt cukup untuk kandang koloni.
3.1.

Intensitas pencahayaan
Perilaku unggas sangat dipengaruhi oleh intensitas

cahaya. Secara umum, cahaya yang lebih terang akan


mendorong peningkatan aktivitas, sedangkan intensitas
yang lebih rendah efektif dalam mengontrol tindakantindakan

agresif

yang

dapat

mengakibatkan

kanibalisme. Charles et al (1992) dalam Olanrewaju


(2006), 5 mengamati peningkatan bobot badan ketika
broiler ditumbuhkan di bawah intensitas cahaya 5 lx.
Intensitas cahaya yang lebih tinggi mengurangi bobot
badan karena aktivitas meningkat. Riset menunjukkan
intensitas cahaya yang amat sangat rendah (kurang dari
5

lx)

dapat

menyebabkan

degenerasi

retina,

bupthalmuos, miopa, glaucoma dan kerusakan pada


lensa mata yang mengarah pada kebutaan. Anak
unggas (umur 1 28 hari) secara umum lebih menyukai
pencahayaan yang lebihterang.
3.2.

Durasi Pencahayaan
Durasi pencahayaan, yaitu photoperiod (waktu

pencahayaan di siang hari), adalah aspek utama kedua


dari pencahayaan yang mengubah performans unggas.
Diduga photoperiod singkat di awal kehidupan akan
mengurangi intake pakan dan membatasi pertumbuhan.
Periode kegelapan yang lebih panjang menghalangi
14

akses

reguler

pada

pakan

dan

konsekuensinya

mengurangi intake pakan dan membatasi pertumbuhan.


Penelitian

menunjukkan

pertumbuhan
periode

secara

kegelapan

bahwa

signifikan
yang

lebih

kecepatan

awal

berkurang

dengan

panjang,

Namun

bertambah dari 14 sampai 35 hari, seperti halnya bobot


tubuh akhir yang tidak terpengaruh oleh program
pencahayaan.

Konversi

pakan

lebih

tinggi

selama

periode 12 L : 12 D dan periode 6 L : 6 D per periode 24


jam daripada 12 ( 1 L : 1 D) per periode 24 jam.
Perlakuan 12 L : 12 D menghasilkan mortalitas lebih
rendah daripada perlakuan 12 (1L : 1 D) dan 2 ( (6L : 6D)
adalah intermediet. Secara umum, periode gelap yang
lebih panjang berhubungan dengan mortalitas yang
lebih rendah dan perbaikan cara berjalan. Broiler yang
dipelihara di bawah periode gelap yang lebih panjang
dilaporkan mengalami kesehatan lebih baik daripada
broiler lain yang diletakkan dalam kondisi penyinaran
siang

hari

yang

panjang.

Penjelasan

fisiologisnya,

melatonin adalah hormon yang dilepaskan dari kelenjar


pineal yang terlibat dalam penetapan irama circadian
temperatur tubuh, beberapa fungsi metabolis esensial
yang mempengaruhi pola intake pakan / air dan 6
pencernaan, serta sekresi beberapa lymphokines yang
terpadu dengan fungsi kekebalan normal (Apeldoorn et
al, 1999 dalam Olanrewaju 2006). Periode gelap harian
diperlukan

untuk

menetapkan

pola

sekresi

normal

melatonin. Melatonin, yang dikumpulkan dalam kelenjar


pineal dan retina mata unggas, dilepaskan selama waktu
gelap

sebagai

respon

pada

aktivitas

serotonin-

Nacetyltransferase, enzim yang mengkatalisasi sntesis


melatonin di retina maupun kelenjar pineal (Binkley et
al, 1973). Unggas yang diberi periode gelap secara
15

memadai memiliki lebih sedikit masalah yang terkait


dengan kesehatan, termasuk sindrom kematian tibatiba, kematian kaku (SMS) dan masalah kaki daripada
ayam yang dipelihara dalam pencahayaan yang terus
menerus atau nyaris terus menerus (Apeldoorn et al,
1999; Moore dan Sipes, 2000 dalam Olanrewaju 2006).
Penting

diketahui,

walaupun

dalam

keadaan

gelap

melatonin akan terus mengatur proses metabolisme dan


proses retensi nitrogen secara maksimal, sehingga
proses pertumbuhan unggas akan terus berlangsung
semaksimal mungkin sesuai dengan potensi genetiknya.
Kemampuan hidup (livability), BW rata-rata, tingkat
konversi pakan dan presentase apkiran diperbaiki pada
broiler

yang

terekspos

photoperiod

terbatas,

jika

dibandingkan dengan broiler yang diletakkan pada


pencahayaan terus menerus. Broiler pada photoperiod
intermittent

menunjukkan

lebih

sedikit

stres,

sebagaimana diukur dengan corticosterone plasma.


Corticosterone plasma diketahui naik pada broiler stres.
Peningkatan ratio heterophil : limphosit adalah statu
indikator stres yang dapat diterima pada ayam. Broiler
yang dipelihara dalam cahaya berkelanjutan memiliki
rasio heterofil : limphosit lebih tinggi dan mengalami
respon

ketakutan

peningkatan

lebih

waktu

besar,

ditunjukkan

immobilitas

dibandingkan

unggas

photoperiod

12

yang
:

(tidak

dipelihara
12

dengan

bergerak),
di

bawah

(Zulkifli

et

al, 1998 dalam Olanrewaju 2006).


3.3.

Pencahayaan Konstan
Kecepatan

pertumbuhan

yang

lebih

lambat

merupakan refleksi dari pengurangan intake pakan yang


berhubungan dengan siang yang lebih pendek dan
pengurangan

abnormalitas
16

kaki.

Penggunaan

pencahayaan berkelanjutan atau nyaris terus menerus


terbukti

menyebabkan

stres

dan

mengakibatkan

kematian lebih besar ( Freeman et al, 1981)


3.4.

Warna Cahaya
Warna adalah aspek utama ketiga dari cahaya.

Warna

ditentukan

oleh

panjang

gelombang

dan

mendorong pengaruh-pengaruh variabel pada performa


broiler. Siang hari memiliki distribusi panjang gelombang
secara relatif antara 400 dan 700 nm. Unggas menerima
cahaya

malalui

retina

mata

mereka

(retinal

photoreceptor) dan melalui sel-sel photosensitive di otak


(extra retinal photoreceptor). Cahaya biru memiliki efek
menenangkan pada unggas, sedangkan merah akan
meningkatkan patukan ke bulu dan kanibalisme. Cahaya
biru-hijau
sedangkan

menstimulasi

pertumbuhan

orange-merah

anak

menstimulasi

ayam,

reproduksi

(Rozenboim et al, 2004).


Cahaya dari panjang gelombang yang berbeda
memiliki efek stimulasi yang berbeda pada retina dan
dapat

menghasilkan

perubahan

perilaku

yang

mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan (Lewis


dan Morris, 2000). Terdapat empat jenis lampu untuk
unggas : pijar, fluoresen, halide logam, dan sodium
tekanan tinggi. Keempat lampu itu digunakan dalam
fasilitas unggas untuk menetaskan telur, berkumpulnya
turunan broiler dan kalkun. Bola lampu pijar adalah
stndar saat ini untuk broiler. 10 Bola lampu pijar
memberi

energi

cahaya

Namun

sebagian

besar

merupakan energi listrik dengan efisiensi cahaya sekitar


8 24 lumen per watt dan tingkat keawetannya sekitar
750 2000 jam ( Dare dan Rock, 1995). Lampu
fluoresen dapat bertahan lebih dari 20.000 jam dalam
kondisi

kandang

unggas

dan

dapat

mengeluarkan

output cahaya mereka sekitar 20-30 %. Lampu sodium


17

tekanan tinggi menghasilkan energi, namun intensitas


tertinggi adalah bagian kuning, orange, dan merah
dengan umur paling panjang dari semua lampu adalah
24.000 jam. Lampu halide logam memiliki daya 32
1.500 watt dengan tiga lapisan luar yang berbeda :
bening, fosfor, dan menyebar. Lampu tersebut dianggap
sebagai cahaya dingin, memiliki banyak warna biru.
Lampu ini memiliki 80 100 lumens per watt dan masa
pakai sekitar 10.000 20.500 jam.
Unggas domestik memiliki sejumlah adaptasi pada
perangkat warna mereka yang tidak dimiliki manusia.
Unggas memiliki tiga fotoreseptor dibanding manusia
hanya memiliki dua (batang dan kerucut) reseptor (King
Smith, 1971). Unggas memiliki empat pigmen fotoreaktif
yang

berhubungan

dengan

sel

kerucut

yang

bertanggungjawab terhadap fotopic, sedang manusia


hanya punya tiga pigmen (Yoshizawa, 1992). Pigmen
kerucut unggas secara maksimal sensitif pada panjang
gelombang 415, 455, 508 dan 571 nm, sedangkan
pigmen

manusia

maksimal

sensitif

pada

panjang

gelombang 419, 531, dan 558 nm.


Unggas memiliki droplet (kantung air mata) warna
berminyak dalam sel-sel kerucut mereka sehingga
cahaya

disaring

dulu

sebelum

mencapai

pigmen

fotoreaktif. Droplet berhubungan dengan sel kerucut.


Kemampuan ayam untuik memvisualisasi warna sama
dengan manusia, namun mereka tidak mampu melihat
dengan

baik

ketika

terekspos

dengan

panjang

gelombang yang pendek (biru-hijau). North dan Bell


(1990) menyatakan bahwa terdapat efek warna cahaya
terhadap beberapa hal seperti pertumbuhan, tingkat
dewasa kelamin, produksi, berat telur dan lain-lain.
B. Efek Cahaya Terhadap Pertumbuhan

18

Hipotalamus

akan

berkembang

dengan

rangsangan

cahaya. Cahaya merupakan stimulan positif bagi hipotalamus.


Cahaya yang memancar membawa gelombang elektromagnetik
yang menggertak ayam merangsang aktivitas hipotalamus.
Cahaya melalui retina mata akan diteruskan melalui syaraf mata
menuju

hipotalamus

anterior,

sehingga

disekresikan

somatotropik hormon releasing faktor (STH-RH) dan tirotropik


releasing

hormon

(TRH).

Releasing

faktor

tersebut

akan

merangsang glandula pituitary anterior mensekresikan STH dan


TSH, TSH akan merangsang kelenjar tiroid untuk melepaskan
tiroksin. STH dan tiroksin akan merangsang tubuh meningkatkan
aktivitas pertumbuhannya ( Bell dan Freeman, 1971). Unggas
lebih atraktif pada perlakuan cahaya dibanding perlakuan panas
(Alsam dan Wathes, 1991, dalam Sunarti, 2004). Tiroksin di
dalam

tubuh

ayam

pertama-tama

secara

langsung

mempengaruhi enzim-enzim yang brehubungan dengan proses


metabolisme, memacu aktifitas peningkatan konsumsi oksigen,
mempercepat denyut nadi, meningkatkan aktifitas metabolisme,
meningkatkan cadangan nitrogen, meningkatkan penyediaan
energi dan secara tidak langsung merangsang pengeluaran
somatotropik

hormon.

Pada

tingkat

seluler,

hormon

tiroid

meningkatkan absorpsi dan pemanfaatan glukosa. Hormon ini


meningkatkan glikogenolisis. Hormon ini juga meningkatkan
sntesis protein di dalam semua sel bersama-sama dengan
aktivtas yang lebih besar dari RNA ribosom dan nukleus
( Frandson, 1992).
Aktivitas kalorigenik (menghasilkan panas) dari hormon
tiroid

merupakan

Kirakira

setengah

dari

keseluruhan

laja

metabolik basal (BMR) dari seekor hewan yang normal, karena


hormon ini meningkatkan konsumsi oksigen dalam semua
metabolisme

sel

sitoplasma.Stres
menghambat

serta

secara

sekresi

merangsang
fisik

hormon.
19

dan

sntesis

emocional

Tiroksin

penting

protein

cenderung
untuk

12

pertumbuhan
hormon

normal

ini

Defisiensi

pada

hormon

dan

diferensiasi

hewan

muda

triroksin

jeringan.

Kurangnya

menyebabkan

kekerdilan.

mempengaruhi

sebagian

besar

sistem-sistem dalam tubuh, serta mempengaruhi metabolisme


karbohidrat, lemak, protein dan elektrolit. Unggas di bawah
cahaya putih lebih cepat dirangsang dibanding di bawah cahaya
biru, sedang warna merah membuat unggas lebih atraktif dalam
makan, sehingga pemberian perlakuan dengan cahaya merah
dapat mencegah dischondroplasia (kerapuhan tulang). Cahaya
merah mencapai otak lebih efisien dibanding yang lain. Cahaya
secara tidak langsung akan meningkatkan konsumsi ransum,
dan dapat disamakan sebagai metode pemberian ransum ( Mc
Ardle, 1972 dalam Sunarti 2004). Darre (2001), menyatakan
cahaya yang mempengaruhi otak besar ayam ada tiga faktor
yaitu panjang gelombang, intensitas dan durasi atau lamanya
cahaya yang terpancar.
Terkait panjang gelombang, ayam di bawah umur 8
minggu dapat distimulasi cahaya biru, sementara cahaya merah
dapat menstimulasi perkembangan organ-organ reproduksi pada
ayam masa grower atau masa produksi. Cahaya merah memberi
kematangan seksual lebih cepat dan lebih seragam dibanding
cahaya lampu TL biasa. Berdasar recording di farm layer di
Yogyakarta,

penggunaan

lampu

khusus

peternakan

ayam

menghasilkan HDP (Hen Day Production) cenderung lebih tinggi


daripada

lampu

menggunakan

biasa.

lampu

Pada

khusus

minggu

ke

26

menghasilkan

flock

HDP

yang

92,8

sedangkan lampu ruang biasa memiliki HDP 83,7% ( Trobos,


2007).

Selain

berpengaruh

terhadap

sekresi

hormon

pertumbuhan, cahaya juga akan merangsang hipotalamus untuk


mensekresikan hormon gonadotropin (Card dan Nesheim, 1972),
sehingga hipofise anterior akan melepaskan FSH dan LH yang
akan memacu ovulasi.

20

Hormon

yang

dihasilkan

progesteron

ovarium

adalah

dan

estrogen,
androgen.

Estrogen akan meningkatkan kadar Ca, protein, lemak, vitamin


dan substansi lain di dalam darah untuk pembentukan telur.
Selain itu menyiapkan ayam betina 13 untuk bertelur, secara
anatomis dengan peregangan tulang pubis dan perkembangan
oviduk. Hormon ini juga mempengaruhi perkembangan karakter
seksual sekunder ayam betina, untuk pigmentasi bulu spesifik
ayam

betina

Progesteron

berperan

terhadap

produksi

LH

dari

pituitari

anterior, sehingga ada pelepasan yolk masak dari ovarium ke


infundibulum, akibat peningkatan metabolismo lemak.
Hormon ini juga mempengaruhi tingkah laku perkawinan.
Hormon

androgen

berfungsi

untuk

pertumbuhan

jengger,

bersama-sama dengan progesteron berperan dalam formasi


albumen

di

mgnum.

Badan Pineal terletak di atas talamus dan melekat pada atap


ventrikel ketiga. Badan badan ini mengandung banyak
serotonin dan suatu enzim yang mengkonversinya menjadi
melatonin. Glandula pineal ( glandula epifise) menghasilkan
hormon melatonin (enzim epifise atau N-asetil transferase) yang
disekresikan di malam hari dan mempunyai peran dalam
memperbaiki

respon

kekebalan

pada

ayam

broiler.

Ada

peningkatan sntesis dan pelepasan melatonin tiap hari, yang


tergantung pada jumlah sinar, konsentrasi yang tertinggi di
dalam darah tercapai pada saat gelap.
Hormon melatonin merupakan mata ketiga bagi ayam
berfungsi mengatur ritme harian dan fungs fisiologi bagianbagian tubuh ayam. Meskipun tidak ada cahaya, reseptor cahaya
di kulit khususnya di daerah kepala mampu memanipulasi
cahaya tersebut untuk dikirim ke hipotalamus yang akhirnya
memacu semua organ untuk beraktivitas. Penggunaan sistem
pencahayaan gelap terang pada broiler dapat menekan kasus
21

kasus spiking mortality sndrome dan hipoglisemia. Melatonin


mampu bekerja sebagai antioksidan, sehingga bekerja sama
dengan vitamin E dapat mengikat unsur radikal bebas yang
merugikan.

C. Pengaruh Cahaya terhadap Performans


Deposisi (pengendapan) adalah akibat dari intake energi di
satu sisi dan pengeluaran energi di sisi yang lain dan dikontrol
oleh berbagai macam mekanisme. Di samping faktor genetis,
juga faktor eksogen seperti kondisi lingkungan dan faktor 14
nutrisi (kualitas diet dan komposisi) berinteraksi dengan kuat
dengan

kontrol

dan

regulasi

dari

aliran

energi.

Protein

merupakan zat organik bermolekul tinggi, yang mempunyai


peranan banyak untuk mengembangkan struktur tubuh, sebagai
enzym, hormon, alat transportasi, buffer, sumber energi dan
lainnya. Pada hewan dewasa, protein tidak dapat diserap
langsung oleh dinding usus (kecuali mamalia setelah lahir),
maka harus dipecah menjadi zat yang dapar diserap yaitu asam
amino. Pada hewan nonruminansia, protein tidak mengalami
degradasi

dalam

ventriculus/proventriculus,

tapi

langsung

dipecah oleh enzim proteolitic dalam usus halus.


Di samping itu nonruminansia tidak dapat memanfaatkan
nonprotein nitrogen (NPN) sebagai sumber protein atau asam
amino.Unggas membutuhkan lebih dari 12 asam amino dan
cukup

tambahan

nitrogen

untuk

biosintesis

asam

amino

nonessensial. Arginin, histidin, isoleusin, leusin, lisin, metionon,


fenilalanin, threonin, triptofan, dan valin adalah esensial bagi
unggas umumnya. Hampir semua nitrogen yang dihasilkan dari
proses katabolisme dikeluarkan lewat ginjal (urine) sebagai urea.
Urea di dalam ginjal akan terbentuk dari empat bahan utama,
22

yaitu : (1) NH3 dari hepar, (2) CO2, (3) ATP dan carbamyl
phosphat, (4) enzim carbamyl phosphatase (pada mitokondria).
Enzim carbamyl phospohatase pada unggas tidak ada,
akibatnya bangsa burung tidak terjadi siklus urea atau tidak
dapat mensinteis urea dari arginin. Asam urat adalah produk
akhir dari degradasi protein dalam spesies unggas. Ayam
leghhorn putih yang sedang tumbuh hanya 61 % efisien pada
pengunaan protein per hari. Protein yang diretensi oleh ayam
broiler sekitar 67 % per hari. Kebutuhan protein per hari untuk
ayam yang sedang tumbuh dapat dibagi menjadi 3 bagian : (1)
protein yang diperlukan untuk pertumbuhan jaringan, (2) protein
untuk hidup pokok, (3) protein untuk pertumbuhan bulu.
Sebagaimana diungkap pada pembahasan di atas, bahwa efek
cahaya setelah diterima hipotalamus juga akan mensekresikan
STH-RH (somatotropik releasing hormon) dan dan TRH (tirotropik
releasing hormon).
Releasing itu akan merangsang 15 glandula pituitary
anterior

untuk

menstimulir

mensekresikan

kelenjar

tiroid

STH
untuk

dan

TSH,

TSH

melepaskan

akan

tiroksin.

Somatotropik hormon dan tiroksin akan menstimulir tubuh


meningkatkan aktivitas pertumbuhan. Hormon pertumbuhan dari
kelenjar pituitary anterior dan tiroksin dari kelenjar tiroid bekerja
secara simultan dalam kontrol terhadap pertumbuhan ternak
menjelang

pubertas.

berfungsi

Somatotropik

memacu

meningkatkan

hormon

aktifitas

cadangan

nitrogen,

dalam

tubuh

metabolisme,
meningkatkan

penyediaan energi dan merangsang pembentukan somatotropik


hormon. Dengan meningkatnya kedua hormon tersebut akan
menaikkan konsumsi ransum, sehingga pertumbuhan akan lebih
cepat (Harper et al, 1979 dalam Isroli , 1996). Ditambahkan oleh
Isroli (1996), peningkatan kedua hormon tersebut pada ternak
menjelang

pubertas

dapat

mempertinggi

nafsu

makan,

meningkatkan efisiensi penggunaan pakan dan meningkatkan


23

laju

metabolisme

basal

pertumbuhan. Dapat
langsung

akan

sehingga

dinyatakan,

meningkatkan

meningkatkan

cahaya

konsumsi

secara

laju
tidak

ransum

dan

dapat disamakan sebagai metode pemberian ransum.


Rahimi ( 2005) dalam penelitiannya menyatakan, bahwa
jadwal pencahayaan intermittent (berselang) meningkatkan rasio
konversi pakan secara signifikan (P<0,05). Sehubungan dengan
timbunan lemak, program pencahayaan berselang mengurangi
persentase lemak abdomen ( P < 0,05). Disimpulkan, karena
aktvitas fisik sangat rendah selama gelap, dan pengeluaran
energi untuk aktivitas berkurang, oleh karenanya penggunaan
program

pencahayaan

intermittent

meningkatkan

efisiensi

produksi, menurunkan temperatur ruang, dan menghemat listrik.


Intake pakan ayam di bawah pencahayaan berselang (IL) lebih
tinggi daripada kelompok di bawah pencahayaan terus menerus
(CL) di umur 3 6 minggu ( Ohtani dan Leeson, 2000, dalam
Rahimi , 2005). Dalam penelitian lain (Ohtano dan Tanaka, 1998
dalam Rahimi, 2005), mengamati bahwa ayam ayam IL terburuburu ke feeder dan dengan penuh semangat makan pada satu
waktu

segera

setelah

mulainya

periode

pencahayaan,

sedangkan ayam ayam CL menunjukkan sedikit kesenangan


pada saat makan. Mereka menyimpulkan, pada ayam ayam IL
saluran pencernaan atas mungkin 16 telah kosong selama
periode gelap, dan unggas siap makan ketika cahaya tiba.
Terkait dengan pengurangan listrik, program IL juga
mengurangi temperatur ruangan (sekitar 3 derajat C). Penelitian
Bolukbasi (2006), menyimpulkan bahwa rasio konversi pakan
terbaik ditentukan dari kelompok pencahayaan intermittent
(berselang).

Pakan

rendah

protein

adalah

efektif

untuk

mencegah ascites dalam stress dingin. Mortalitas / kematian


yang diasebabkan oleh ascites lebih rendah pada kelompok yang
terekspos pencahayaan intermittent dibanding kelompok kontrol,
dan tidak ada mortalitas yang disebabkan oleh ascites, pada
24

pakan binatang dengan protein rendah. Hasil penelitian Q.


Swennen et al (2005), menunjukkan, tanpa memperhatikan
kondisi pemberian pakan, level asam urat yang amat sangat
rendah diukur dalam plasma ayam ayam dengan diet rendah
protein dibanding ayam dengan diet rendah lemak, yang
menegaskan penemuan penemuan sebelumnya dengan ayam
yang diberi pakan ad lib.
Ayam dengan diet pakan rendah protein memberi reaksi
kompensasi

dengan

memperbaiki

efisiensi

retensi

protein.

Analisis menunjukkan hubungan negatif antara level plasma


asam urat plasma
pengurangan

dan efiseiensi retensi

degradasi

protein

protein. Diduga

oksidasi

asam

amino

mengakibatkan retensi yang lebih efisien dari protein pakan


sebagai

mekanisme

imbangan

bagi

intake

protein

yang

menurun. Perbedaan dalam level asam urat antara ayam diet


rendah protein dan diet rendah lemak tetap bertahan dalam
kondisi berpuasa, menunjukkan pengaruh kuat pada protein
tubuh dari ayam yang sudah terlambat pertumbuhannya.
Dari uraian di atas jelas kiranya, bahwa secara umum
pencahayaan akan meningkatkan konsumsi pakan, tentu saja
termasuk konsumsi protein akan meningkat. Pada akhirnya kadar
asam urat di dalam darah ayam juga akan meningkat.

25

BAB IV
Manajemen Kesehatan
Berdasarkan pembentukannya yang alami, maka keberadaan
PPC tidak jauh dari pemukiman (0-20 meter). Kalaupun jaraknya
relatif jauh (>500 meter), jalan akses menuju PPC umumnya
melalui jalan yang melalui pemukiman. Pertanyaannya adalah
apa
yang
telah dilakukan pihak perusahaan peternakan sebagai inti pada
usaha peternakan dalam PPC tersebut untuk menjamin tidak
terjadi pencemaran lingkungan dan melakukan pengawasan
terhadap
kesehatan
lingkungan. Tanggung jawab tersebut seharusnya ada pada
pemilik ternak dan pemilik ternak itu pada dasarnya adalah
perusahaan
inti,
sementara
peternak
plasma hanyalah pemelihara. Sejauh ini pengawasan dan
pengendalian terhadap lingkungan masih sangat terbatas.
Bahkan
dengan
alasan
efisiensi
pada
beberapa
kandang sudah menggunakan batubara sebagai bahan bakar
untuk penghangat unggas (brooder) (Ilham et al.2013). Padahal
asap hasil pembakaran batubara menimbulkan gas berbau yang
dapat mengganggu saluran pernafasan. Pada lokasi PPC tertentu
pihak perusahaan memberikan kompensasi bantuan natura
berupa unggas, perbaikan jalan dan sumbangan dana untuk
kegiatan sosial.
Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana pengawasan
pemerintah terhadap inti dan para peternak rakyat termasuk
dampak lingkungan yang ditimbulkan. Peran pemerintah dalam
memberi bantuan dan fasilitas hingga kini masih sangat
26

terbatas.
Padahal
keberadaan PPC
berperan terhadap
peningkatan kesejahteraan peternak. Itu berarti keberadaan PPC
mendukung pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya.
Pihak perusahaan sendiri merasa sudah membantu menciptakan
lapangan kerja. Selanjutnya bagaimana peran pemerintah
menjaga keberlangsungan keberadaan PPC. Peran tersebut tidak
harus yang sudah dilakukan oleh perusahaan sebagai inti, tetapi
dapat lebih kepada pengaturan sistem budidaya unggas secara
lebih baik, dengan mengacu pada konsep kesehatan
lingkungan (Basuno 2008). Pengawasan lingkungan yang baik
dapat
menghindari
konflik
yang
berarti
menjaga
keberlangsungan keberadaan PPC.
Menurut Pranadji (2004) kegiatan pembangunan dan upaya
mengatasi masalah lingkungan di Indonesia masih dalam situasi
yang sangat dilematis. Langkah yang ditempuh untuk
memecahkan masalah lingkungan secara sistematik masih jauh
tertinggal
dibandingkan
dengan perkembangan masalah lingkungan yang timbul. Dalam
upaya mengatasi permasalahan lingkungan secara komprehensif,
holistik dan berkelanjutan, maka paradigma pembangunan ke
depan
harus memasukkan perbaikan lingkungan sebagai tujuan yang
harus dicapai termasuk tujuan untuk pencapaian kesejahteraan
masyarakat. Untuk merelokasi PPC pada satu kawasan khusus
yang jauh dari lingkungan pemukiman membutuhkan biaya besar.
Selain itu, kalaupun ada lahan khusus sulit mengharapkan
peternak untuk memindahkan lokasi kandangnya ke tempat yang
baru dan jauh dari pemukiman. Pendapatan dari usaha
peternakan unggas ras skala kecil, hanya sebagian dari berbagai
sumber pendapatan rumah tangga peternak. Untuk merelokasi
pemukiman penduduk dari kawasan berbahaya di sekitar Gunung
Merapi yang meletus secara reguler setiap tahun pun tidak dapat
dilakukan (Wasito et al. 2013). Penduduk telah melakukan
adaptasi, sehingga kelangsungan hidup terus berlangsung. Hal
yang dapat dilakukan adalah melakukan upaya untuk
memperkecil risiko yang dihadapi petani (Ilham 2013).
Peraturan yang telah ditetapkan banyak yang tidak
dipatuhi oleh peternak akibat pengawasan yang kurang. Untuk
mengurangi bau gas ammonia dan populasi lalat akibat
keberadaan kandang unggas pada PPC yang berada tidak jauh
dari pemukiman dilakukan dengan pendekatan teknologi (Ilham
et al. 2014). Teknologi yang diberikan pada peternak adalah cara
membuat dan memberikan minuman herbal (jamu) pada
unggas. Kotoran unggas dapat dikumpulkan untuk diolah
menjadi pupuk organik dengan teknologi fermentasi. Dua
27

teknologi ini selain dapat menekan bau juga mampu


menurunkan biaya penggunaan obat-obatan kimia dan
menghasilkan
pupuk
organik
sehingga
mampu meningkatkan pendapatan peternak. Namun, hal ini
tidak mudah dilakukan karena petani sudah terbiasa
menggunakan obat-obatan kimia sesuai anjuran perusahaan.
Pihak perusahaan juga enggan mengambil risiko untuk
menurunkan
penggunakan
obat-obatan
kimia dengan memberikan obat-obatan herbal (jamu).

BAB V
Penutup
5.1. Kesimpulan
Diagnosis penyakit yang menyerang ternak
unggas sangatlah membantu para peternak unggas
dalam mengantisipasi gejala yang ditimbulkan guna
pengobatan yang cepat, tepat, dan efisien. Hal ini dapat
mengurangi kerugian yang dapat ditimbulkan akibat
penyebarluasan penyakit yang kini cenderung
28

berbahaya. Para pengusaha peternakan pun dapat


meningkatkan produktivitas dengan deteksi dini adanya
serangan penyakit. Selain mendiagnosisi penyakit pada
ayam, juga diperlukan berbagai perlakuan khusus dalam
pemeliharan terutama tentang pencahayaan. Aspek
lingkungan sekitar kandang juga perlu diperhatiakn,
memngingat begitu banyaknya jenis penyakit pada
ungga yang bisa menular pada manusia, oleh karena itu
pengetahuan akaan kesehatan lingkungan sanagt di
perlukan dan harus sudah dimiliki oleh para peternak
unggas.

Daftar Pustaka
Rohajawati, Siti., dan Supriyati, Rina. (2010). diagnosis penyakit unggas
dengan metode certainty factor. Hal(41-46). Bogor. Universitas
Pakuan.
29

Syah, Setiawan Putra. (2009). Peran Probiotik dalam Industri Unggas.


Hal(1-2). Bogor. Institut Pertanian Bogor.
A.P. Sinurat, T. Purwadaria, M.H. Togatorop Dan T. Pasaribu. (2003).
Pemanfaatan Bioaktif Tanaman Sebagai Feed Additive Pada Ternak
Unggas. Hal(140-141). Bogor. Balai Penelitian Ternak.
Ilham, Nyak. (2015). Kebijakan Pemerintah terhadap Usaha Unggas Skala
Kecil
dan
Kesehatan Lingkungan di Indonesia. Hal(103). Bogor. Pusat Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Sulistyoningsih, Mei. (2009). Pengaruh pencahayaan (lighting) terhadap
performans dan konsumsi protein pada ayam. Hal(11-12). Semarang.
IKIP PGRI Semarang.
Syibli, Muhammad., dkk. (2014). Manual Penyakit Unggas. Hal(103-165). Jakarta.
Subdit Pengamatan Penyakit Hewan.

30

Anda mungkin juga menyukai