Kumpulan Ringkasan Jurnal BBLR

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 32

Referensi: jurnal Gradien Vol.11 No.1 Januari 2015 : 1079-1084.

Faktor Risiko Yang Memengaruhi


Berat Badan Lahir Rendah Dan Sangat Rendah Di Kecamatan Seberang Ulu II Kota PalembangPeriode
1 Januari-31 Desember 2008. Makbruri 2008.

Secara global dikemukakan bahwa selama tahun 2000, terdapat 4 juta kematian neonatus (3
Juta kematian neonatal dini dan 1 juta kematian neonatal lanjut). Hampir 99% kematian
tersebut terjadi di Negara berkembang. Kematian tertinggi di Afrika (88 per seribu kelahiran),
sedangkan di Asia angka kematian perinatal mendekati 66 bayi dari 1000 kelahiran hidup. Bayi
Kurang Bulan dan Berat Lahir Rendah adalah satu dari tiga penyakit utama kematian
neonates tersebut. (Lawn, dkk. 2005 dalam Makbruri, 2008)
Pembahasan
Faktor resiko BBLR secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi factor ibu, janin dan
keluarga.(supono, 1985 dalam Makbruri 2008).
Faktor ibu antara lain usia kehamilan, paritas, kadar hemoglobin, riwayat abortus, preeclampsia,
eklampsia, pendidikan terakhir. Faktor janin adalah kehamilan ganda, hidramnion, jenis kelamin,
Faktor keluarga adalah status ekonomi. (Najoan, dkk 2005 dan Jovan 2007 dalam Makbruri
2008).
Dari hasil penelitian didapatkan, untuk ibu melahirkan dengan kelompok umur < 20 tahun
terdapat 60 bayi dengan berat badan lahir normal, 13 berat badan lahir rendah, dan 3 berat
badan lahir sangat rendah, kelompok 20-35 tahun terdapat 1264 dengan berat badan lahir normal,
231 BBLr dan 39 BBLSR dan tidak terdapat hubungan bermakna antara kejadian BBLR dan
BBLSR dengan usia ibu dengan p = 0,329.
Pada kelompok preeklampsia terdapat 59 dengan berat badan normal, 25 BBLR dan 7 BBLSR. Pada
kelompok tidak ada riwayat preeklampsia terdapat 1426 dengan berat lahir.
Analisis statistik didapatkan nilai p= 0,681 dapat disimpulkan bahwa Riwayat abortus bukan
merupakan faktor resiko kejadian BBLR dan BBLSR normal, 253 BBLR dan 45 BBLSR. Dari uji
statistic didapatkan nilai p= 0,000 dapat disimpulkan terdapat hubungan bermakna antara preeclampsia
dengan BBLR dan BBLSR
Berdasarkan uji statistic didapatkan nilai p = 0,000 dapat disimpulkan bahwa kehamilan
ganda merupakan faktor risiko terhadap kejadian BBLR dan BBLSR. Untuk faktor resiko volume
amnion kelompok polihidroamnion terdapat 4 faktor resiko bayi dengan berat badan lahir
normal,untuk normal terdapat 1471 dengan berat badan bayi lahir normal, 269 dengan BBLR,
dan 49 dengan BBLSR. Untuk Oligohidramnion didapatkan 10 dengan berat badan bayi normal, 9
dengan BBLR dan 3 dengan BBLSR
Dari uji statistik didapatkan P value 0,000 ada hubungan signifikan antara volume amnion dengan
BBLR dan BBLSR. Dari kelompok jenis kelamin laki-laki didapatkan 764 berat badan lahir
normal, 126 BBLR dan 20 BBLSR. Dari kelompok jenis kelamin perempuan didapatkan 721 berat
lahir normal, 152 BBLR dan 32 BBLSR. Dari uji statistik didapatkan P Value 0,04 angka ini
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara jenis kelamin janin dengan kejadian BBLR dan
BBLSR.
Dari kelompok dengan status ekonomi tinggi terdapat 1 bayi dengan berat badan lahir normal, 3
BBLR dan 13 BBLSR. Dari kelompok ekonomi sedang terdapat 1463 dengan berat badan lahir
normal, 273 dengan BBLR dan 51 BBLSR. Untuk kelompok status ekonomi rendah terdapat 9
orang dengan berat badan lahir normal, 2 BBLR dan 0 BBLSR. Dari Uji statistij didapatkan nilai P:
0,904 dapat disimpulkan tidak ada hubungan signifikan antara status ekonomi dengan BBLR dan
BBLSR.
Analisis multivariat
Dalam analisis multivariat, faktor risiko kandidat yaitu usia kehamilan preeclampsia, hidramnion,
kehamilan ganda, dan jenis kelamin dianalisis secara bersama-sama. Faktor risiko dengan nilai
probabilitas < 0,05 akan dimasukkan ke dalam analisis sedangkan factor risiko dengan nilai
probablitas >0,05 akan dikeluarkan dari analisis secara berurutan dimulai dari nilai probabilitas
yang terbesar.
Dari analisis pertama didapatkan bahwa usia kehamilan preeclampsia, hidramnion,kehamilan
ganda, jenis kelamin merupakan factor risiko mempunyai p value <0,05 dan signifikan sebagai
factor risiko penentu kejadian BBLR

Faktor ibu
Usia ibu
Usia ibu < 20 tahun merupakan faktor resiko kejadian BBLR dan BBLSR. Hal ini sesuai
dengan survey demografi kesehatan Indonesia (SKDI) yang menyatakan usia ibu < 20 tahun
merupakan factor risiko, Ibu usia yang muda umumnya kurang paham dalam asuhan perawatan
dan asupan nutrisi kehamilan.
Usia kehamilan
Usia kehamilan merupakan faktor resiko terjadinya BBLR dan BBLSR. Usia kehamilan
mempengaruhi pematangan organ dan efektifitas penyaluran nutrisi dan oksigenasi plasenta yang
dibutuhkan janin untuk tumbuh optimal. (Supono 1985 dalam Makbruri 2008). Pada Usia
kehamilan kurang bulan pematangan organ yang belum sempurna dan kurangnya efektifitas
penyaluran nutrisi dan oksigenisasi membuat janin tumbuh tak optimal. Hal ini membuat bayi terlahir
mempunyai berat badan lahir rendah dan sangat rendah, Pada penelitian ini uji statistik menunjukkan
bahwa usia kehamilan sangat berpengaruh terhadap kejadian BBLR dan BBLSR.
Paritas bukan merupakan faktor resiko terhdap angka kejadian BBLR dan BBLSR
Riwayat abortus
Melalui uji statistik disimpulkan bahwa riwayat abortus bukan merupakan faktor resiko terhadap
terjadinya bayi dengan BBLR dan BBLSR.
Preeklamsia
Hasil uji statistic menunjukkan bahwa preeclampsia bermakna pengaruhnya terhadap kejadian
BBLR. Pada preeclampsia terjadi gangguan awal pada plasenta yang merupakan jalur penyaluran
oksigen dan makanan dari ibu ke janin melalui asupan darah. Gangguan pada plasenta
menyebabkan janin kekurangan oksigen dan nutrisi
Faktor janin
Kehamilan ganda
Pada kehamilan ganda suplai darah ke janin harus terbagi dan atau lebih untuk masing-masing janin
sehingga suplai nutrisi berkurang. 8 Pada penelitian ini kehamilan ganda merupakan factor risiko
kejadian BBLSR dan bukan factor resiko BBLR
Hasil Uji statistic menunjukkan bahwa hidramnion sangat bermakna pengaruhnya terhadap
kejadian bayi dengan BBLR. Hal ini sesuai dengan teori, bahwa hidramnion menyebabkan
prognosis anak kurang baik karena adanya kelainan kongenital, prematuritas, prolapse
funikuli dan lain-lain.
Dari uji statistik ditunjukkan bahwa jenis kelamin merupakan factor risiko BBLR. Belum ada
teori yang menyebutkan bahwa jenis kelamin tertentu memiliki kecenderungan untuk
mendapatkan BBLR lebih besar.
Berdasarkan hasil uji statistic disimpulkan status ekonomi bukan merupakan factor risiko
BBLR. Hal ini berbeda dengan teori, bahwa dampak dari status ekonomi yang rendah, bermuara pada
ketersediaan pangan yang terbatas, asupan makanan yang tidak seimbang dan perawatan
antenatal yang kurang. Hal ini memegang peranan penting dalam pertumbuhan anak, terlihat dari
berat badan bayi yang lahir dari golongan orang tua dengan status ekonomi kurang lebih rendah
daripada bayi dari keluarga dengan status ekonomi cukup.
JURNAL ILMIAH MANUNTUNG, 2(1), 56-59, 2016, ISSN Cetak. 2443-115X ISSN Elektornik:
2477-1821
Hubungan Pemberian Suplemen Zat Besi (Fe) Pada Ibu Hamil Dengan Berat Badan Lahir
Rendah (Bblr) Di Rsud Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. Iriyani K.
Salah satu upaya untuk mengurangi Rendahnya status gizi ibu selama kehamilan dapat
mengakibatkan berbagai dampak tidak baik bagi ibu dan bayi, antara lain meningkatkan
risiko kematian ibu, risiko kematian bayi, bayi lahir dengan berat lahir rendah, dan
gangguan perkembangan bayi. (Chairunita, 2006 dalam Iryani, 2015).
Ibu hamil perlu memperhatikan asupan gizi yang cukup, agar janin yang dikandung tumbuh
secara optimal dan Ibu hamil harus mengkonsumsi makanan yang bergizi tinggi supaya
pertumbuhan janin sempurna. Dan juga diberikan melalui konsumsi bahan formula khusus
ibu hamil seperti susu dan suplemen. (Anshor, 2010 dalam Iriyani 2015). Suplemen
merupakan kebutuhan mikronutrien yang meliputi vitamin larut air dan larut lemak
serta makromineral dan mikromineral. Peranan mikronutrien pada masa perinatal sangat
penting agar janin tumbuh dengan baik khususnya dapat mencegah Berat Badan Lahir
Rendah (BBLR). (Efendi 2011 dalam Iriyani 2015). Pemberian jangka panjang
suplementasi besi dapat menurunkan resiko BBLR. Pemberian suplementasi lebih dari 4 bulan
selama kehamilan memberikan nilai signifikan. (Palma 2008 dalam Iriyani 2015).
Hasil
Berdasarkan hasil uji statistic Chi Square diperoleh nilai ρ value = 0,001 (<0,05), maka dapat
disimpulkan bahwa ada hubungan pemberian suplemen Fe pada ibu hamil dengan BBLR
Di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. Hasil perhitungan Risk Estimate diperoleh
OR=8,25, yang artinya ibu hamil yang mengkonsumsi suplemen Fe kurang dari 90 tablet
mempunyai peluang 8,25 kali melahirkan bayi dengan BBLR dibandingkan dengan ibu
hamil yang mengkonsumsi lebih dari 90 tablet Fe.
Fe merupakan mineral yang diperlukan oleh semua sistem biologi di dalam tubuh. Besi
merupakan unsur esensial untuk sintesis hemoglobin, sintesis katekolamin, produksi panas
dan sebagai komponen enzim-enzim tertentu yang diperlukan untuk produksi adenosin
trifosat yang terlibat dalam respirasi sel. Fe disimpan dalam hepar, lien dan sumsum
tulang. Sekitar 70% Fe yang ada di dalam tubuh berada dalam hemoglobin dan 3 persennya
dalam mioglobin (simpanan oksigen intramuskuler)(7). Kekurangan Fe dalam kehamilan
dapat mengakibatkan anemia, karena kebutuhan wanita hamil akan Fe meningkat
(untuk pembentukan plasenta dan sel darah merah) sebesar 200 % – 300 % (8). Dilihat dari
penelitian yang telah dilakukan terdapat odd ratio sebesar 8,25 yang artinya ibu hamil
yang mengkonsumsi suplemen Fe kurang dari 90 tablet mempunyai peluang 8,25 kali
melahirkan bayi dengan BBLR dibandingkan dengan ibu hamil yang mengkonsumsi lebih
dari 90 tablet Fe. Hal ini dikarenakan ibu yang mendapat suplementasi tidak rajin meminum
suplementasi tersebut dikarenakan responden tidak kuat minum obat dan meminum
suplemen ini dapat terjadi mual selama kehamilan.
Suplementasi Fe (80 mg besi sulfat) dikaitkan dengan risiko yang lebih rendah terhadap
rasio BBLR(6). Dan pemberian jangka panjang suplementasi Fe dapat menurunkan
resiko BBLR. Pemberian suplementasi lebih dari 4 bulan selama kehamilan memberikan
signifikan pelindung OR yaitu >120 hari dengan (OR 0,38). Hal tersebut juga sesuai dengan
hasil penelitian yang telah dilakukan dengan ρ value = 0,001 yaitu ada hubungan antara
pemberian suplemen Fe pada ibu hamil terhadap kejadian bayi dengan BBLR di
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 4, Nomor 2, Juli-Desember 2016. Faktor risiko yang
berhubungan dengan kejadian berat badan lahir rendah pada neonatus yang dirawat di
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou periode Januari 2015-Juli 2016. Enny Susilowati, Rocky
wilar dan Praevilia Salendu. Fakultas kedokteran universitas sam ratulangi
Angka kematian (AKB) merupakan indikator pertama dalam menentukan derajat kesehatan
anak. Selain itu, angka kematian bayi juga merupakan cerminan dari status kesehatan
masyarakat. Sebagian besar penyebab kematian bayi dan balita adalah masalah yang
terjadi pada bayi yang baru lahir/neonatal (usia 0-28 hari). Masalah neonatal ini meliputi
asfiksia (kesulitan bernapas saat lahir), bayi berat badan lahir rendah (BBLR) dan infeksi.
(Depkes RI, 2011).
Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) merupakan masalah yang sangat kompleks dan
memberikan kontribusi berbagai hasil kesehatan yang buruk karena tidak hanya menyebabkan
tingginya angka morbiditas dan mortalitas, tetapi dapat juga menyebabkan kecacatan,
gangguan, atau menghambat pertumbuhan dan perkem- bangan kognitif, dan penyakit
kronis dikemudian hari. (Khatun 2008 dalam Susilowati, 2015).
Faktor risiko yang memengaruhi terhadap kejadian BBLR antara lain ialah karakteristik
sosio-demografi ibu (usia <20 tahun dan >34 tahun, ras kulit hitam, status sosial ekonomi
kurang, status perkawinan tidak sah, tingkat pendidikan rendah).
Risiko medis ibu sebelum hamil juga berperan terhadap kejadian BBLR (paritas, berat badan
dan tinggi badan, pernah melahirkan neonatus dengan BBLR, jarak kelahiran). Status
kesehatan reproduksi ibu berisiko terhadap BBLR (status gizi ibu, infeksi dan penyakit
selama kehamilan riwayat kehamilan dan komplikasi kehamilan). Status pelayanan
antenatal (frekuensi dan kualitas pelayanan antenatal, tenaga kesehatan tempat periksa
hamil, umur kandungan saat pertama kali pemeriksaan kehamilan) juga dapat
beresiko unntuk melahirkan BBLR. (Rosmala, 2016).
Hasil
Berdasarkan jenis kelamin, neonatus dengan BBLR berjenis kelamin laki-laki berjumlah
lebih banyak dibanding dengan yang berjenis kelamin perempuan. Hal ini tidak sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Pramono dan Putro10 yang melaporkan bahwa
neonatus dengan BBLR yang berjenis kelamin perempuan (5,4%) lebih banyak
dibandingkan yang berjenis kelamin laki-laki (4,1%). Sejauh ini belum diketahui referensi
atau kasus yang menyatakan bahwa jenis kelamin bayi berpengaruh terhadap kelahiran
BBLR. (Pramono 2009 dalam Susilowati 2015).
Berdasarkan usia ibu, angka kejadian terbanyak dari neonatus dengan BBLR pada
ibu dengan kelompok usia 20- 35 tahun diikuti oleh kelompok usia >35 tahun dan <20
tahun. Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Hasanah et al.
Yang mendapatkan kelompok usia tersering melahirkan neonataus dengan BBLR ialah
kelompok usia 20-35 tahun (54,3%) kemudian diikuti usia >35 tahun
(30,5%) dan <20 tahun (15,2%).
Berdasarkan jumlah anak (paritas), angka kejadian BBLR terbanyak pada ibu yang baru
mempunyai 1 orang anak sedangkan angka kejadian yang paling sedikit ialah ibu yang
mempunyai 5 orang anak. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Sulistyorini
dan Siswoyo12 yang mendapatkan angka kejadian terbanyak ialah ibu yang melahirkan 2
kali atau mempunyai 3 orang anak (95,6%) dan angka kejadian yang paling sedikit pada ibu
yang melahirkan lebih dari 4 kali (4,4%).
Berdasarkan kebiasaan merokok, ibu yang merokok lebih sedikit daripada ibu yang tidak
merokok. Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Mahdalena et al.
(Mahdalena 2014 dalam Susilowati 2015). yang mendapatkan ibu yang tidak merokok
cenderung lebih lebih banyak dibandingkan dengan ibu yang merokok aktif tetapi ibu yang
berpeluang melahirkan bayi dengan BBLR ialah ibu yang terpapar dengan asap rokok
dari suami, keluarga, atau lingkungan sekitar (perokok pasif).
Berdasarkan mengonsumsi alkohol, ibu yang tidak mengonsumsi alkohol lebih banyak
daripada ibu yang mengonsumsi alkohol. Hal ini didukung dengan penelitian yang
dilakukan oleh Adi. (Mahayana 2015 dalam Susilowati 2015). yang mendapatkan ibu yang
tidak mengonsumsi alkohol lebih banyak.
Berdasarkan infeksi pada ibu, infeksi yang paling tersering terjadi ialah keputihan. Ibu
yang tidak mengalami infeksi lebih banyak dibandingkan ibu yang mengalami infeksi.
Hal ini didukung dengan penelitian oleh Adi dalam Mahayana (2015) dengan hasil ibu
yang tidak memiliki infeksi lebih banyak.
Berdasarkan hamil ganda, ibu yang tidak memiliki kehamilan ganda lebih
banyak dibandingkan yang memiliki kehamilan ganda. Hal ini didukung dengan penelitian
oleh Tjekyan (2010) dalam Susilowati (2015) yang mendapatkan kehamilan ganda
merupakan faktor tersering pada BBLR karena pasokan darah untuk kehamilan ganda terbagi
dua atau lebih untuk masing-masing janin sehingga pasokan nutrisi terbagi.
Berdasarkan riwayat BBLR sebelumnya, ibu yang tidak memiliki riwayat BBLR lebih
banyak. Hal ini didukung dengan penelitian oleh Adi. (Mahayana 2015 dalam
Susilowati 2015). yang mendapatkan ibu yang tidak memiliki
riyawat BBLR sebelumnya lebih banyak dibanding yang memiliki riwayat sebelumnya.
Berdasarkan komplikasi, ibu yang tidak memiliki komplikasi pada kehamilan lebih
banyak. Hal ini didukung dengan penelitian oleh Puspita et al. (Zendrato, 2015 dalam
Susilowati 2015). dengan hasil yang serupa.
Berdasarkan kelahiran prematur, neonatus yang lahir dengan kelahiran prematur atau
dismatur hampir sama jumlahnya. Hal ini didukung dengan penelitian oleh Adi dalam
Mahayana (2015) yag melaporkan jumlah kasus BBLR yang diakibatkan kelahiran
prematur atau dismatur hampr sama banyak tetapi menurut Nelson menyebutkan bahwa
kejadian berat badan lahir rendah di negara berkembang, termasuk Indonesia, lebih banyak
untuk kejadian dismatur dibandingkan prematur. Kemungkinan ini diakibatkan oleh jumlah
sampel penelitian yang lebih sedikit akibat banyak dieksklusi, selain itu cakupan yang
terbatas untuk ibu yang melahirka di RSUP Prof. R. D. Kandau Manado.
Berdasarkan kelainan bawaan, hal ini didukung dengan penelitian oleh Adi dalam
Mahayana (2015) yang mendapatkan kelainan kongenital tidak mempunyai hubungan
bermakna secara statistik dengan BBLR.

Jurnal Gizi Indonesia (ISSN : 1858-4942. Vol. 5, No. 1, Desember 2016 : 14-19. Retni, Ani
Margawati, Bagoes Widjanarko. Pengaruh status gizi & asupan gizi ibu terhadap berat bayi
lahir rendah pada kehamilan usia remaja

Kehamilan usia remaja sangat berisiko karena kondisi ibu masih dalam pertumbuhan
sehingga asupan makanan lebih banyak dibutuhkan oleh tubuhnya sendiri, sedangkan janin
yang dikandungnya juga memerlukan masukan gizi yang tinggi, selain itu perkembangan fisik
juga belum sempurna termasuk organ reproduksi. (Manuaba, 2010 dalam Retni, dkk, 2016).
Belum matangnya organ reproduksi pada ibu hamil usia remaja ini dapat merugikan
kesehatan ibu maupun pertumbuhan dan perkembangan janin sehingga itu akan semakin
menyulitkan bila ditambah dengan tekanan/stress psikologi dan sosial ekonomi. (Ahmad, dkk,
2007 dan Atikah, 2009 dalam Retni 2016). Pertumbuhan linier pada umumnya baru selesai
pada usia 18 tahun, dilanjutkan dengan pematangan pertumbuhan rongga panggul sampai usia
22 tahun dan masa tulang maksimal tercapai hingga usia 25 tahun. (BKKBN bengkulu,
2010 dalam Retni, dkk 2016).
Berat bayi lahir adalah indikator yang baik untuk melihat kesehatan dan status gizi
ibu,
memprediksi kesehatan jangka panjang bayi untuk bertahan hidup, bertumbuhdan
memiliki perkembangan psikososial yang baik. Berat badan lahir rendah (kurang dari
2.500 gram) membawa berbagairisiko kesehatan serius bagi anak-anak. (BPS Papua 2012
dalam Retni dkk, 2016). Bayi yang kekurangan gizi saat berada di rahim sangat berisikonya
terhadap kematian. Mereka yang bertahan hidup memiliki gangguan fungsi kekebalan tubuh
dan peningkatan risiko penyakit, mereka cenderung tetap kurang gizi, dengan kekuatan
otot berkurang, sepanjang hidup mereka dan menderita insiden diabetes dan penyakit
jantung yang lebih tinggi di kemudian hari. (Ahmad, dkk 2007 dalam Retni dkk 2016).
Anak yang lahir kekurangan berat badan juga cenderung memiliki IQ lebih rendah dan cacat
kognitif, mempengaruhi kinerja mereka di sekolah dan kesempatan pekerjaan mereka
sebagai orang dewasa. (Depkes RI, 2002 dalam Retni 2016). Penelitian mengenai
kehamilan remaja dan dampaknya terhadap bayi yang dilahirkan masih jarang di Indonesia.
Oleh sebab itu penelitia tertarik untuk menganalisis pengaruh status gizi dan asupan gizi ibu
terhadap BBLR pada kehamilan usia remaja.
Hasil
Pada penelitian ini ditemukan sebagian besar ibu hamil usia remaja berada pada
status gizi kurang
pada waktu kehamilan, hal ini dilihat dari ukuran LiLA, sebanyak 66,7% ibu mengalami
KEK, 51,9% mengalami pertambahan BB tidak cukup dan 59,3%
mengalami anemia.
Hasil uji didapatkan bahwa faktor risiko melahirkan dengan beyi BBLR pada
kehamilan ibu remaja adalah KEK pada ibu hamil dan pertambahan berat badan yang
kurang selama kehamilan. Ibu hamil remaja yang KEK mempunyai risiko 16,31 kali lebih
besar untuk melahirkan bayi BBLR dibandingkan ibu hamil yang tidak KEK. Ibu hamil
remaja yang pertambahan berat badannya kurang selama kehamilan mempunyai risiko 3,71
kali lebih besar untuk melahirkan bayi BBLR dibandingkan ibu hamil dengan pertambahan
berat badan yang cukup. Anemia pada ibu hamil remaja bukan merupakan faktor risiko
bayi BBLR
Pengaruh Asupan Nutrien Terhadap Berat Bayi
Lahir Rendah
Pada penelitian ini ditemukan sebagian besar ibu hamil remaja mengalami
kekurangan asupan nutrien,sebanyak 63% ibu berada pada kategori
asupan energi tidak cukup, 51,9% asupan protein tidak cukup, 55,6% asupan asam
folat tidak cukup,
59,3% asupan zat besi tidak cukup, 96,3% asupan seng tidak cukup, 59,3% asupan
vitamin A tidak
cukup dan 85,2% asupan vitamin C tidak cukup.
Hasil uji bivariat menunjukkan bahwa asupan energi, protein, asam folat dan zat
besi yang rendah
pada ibu hamil remaja merupakan faktor risiko melahirkan bayi BBLR. Asupan energi
yang rendah
pada ibu hamil remaja mempunyai risiko 6,03 kali lebih besar untuk melahirkan
bayi BBLR
dibandingkan ibu hamil dengan asupan energi cukup.
Asupan protein yang rendah pada ibu hamil mempunyai risiko 13 kali lebih besar untuk
melahirkan bayi BBLR dibandingkan ibu hamil dengan asupan protein cukup. Asupan
asam folat yang rendah pada ibu hamil remaja mempunyai risiko 13 kali lebih besar untuk
melahirkan bayi BBLR dibandingkan ibu hamil dengan asupan asam folat cukup. Asupan
zat besi yang rendah pada ibu hamil remaja mempunyai risiko 4 kali lebih besar untuk
melahirkan bayi BBLR dibandingkan ibu hamil dengan asupan zat besi cukup.
Asupan seng, vitamin A dan vitamin C bukan merupakan faktor risiko bayi BBLR pada
penelitian ini.
Pembahasan
Tingginya peresentase ibu hamil dengan status gizi kurang disebabkan
rendahnya sosial ekonomi yang dapat dilihat dari pekerjaan ibu hamil yang tidak bekerja
dan dan pekerjaan suami sebagai tani. Rendahnya sosial ekonomi ini
dapatmenyebabkan menurunya daya beli pangan baik secara kualitas maupun
kuantitas. Disebabkan juga rendahnya tingkat pendidikan ibu hamil disertai umur yang
masih remaja sehingga pola pikir cenderung lebih sempit atau sederhana atau kurang
bisa tanggap terhadap ide-ide baru. Informasi yang disampaikan lebih sulit untuk diterima
sehingga kemampuan untuk menerima informasi khususnya mengenai kesadaran dan
pemahaman mengenal kondisi kehamilannya masih sangat kurang yang akan
menyebabkan keterbatasan dalam upaya menangani masalah gizi.
Ibu yang mengalami status gizi kurang akan mengalami gangguan pertumbuhan
dan fungsi plasenta yang direfleksikan dengan berat plasenta yang lebih rendah dan
ukuran plasenta yang lebih kecil. Malnutrisi pada ibu akan mengurangi aliran
darah ke plasenta yang berdampak pada ukuran plasenta yang tidak optimal dan mengurangi
transfer zat gizi ke janin hingga berakibat BBLR. Ibu yang mengalami anemia akan berisiko
melhirkan BBLR karena anemia akan mengurangi kemampuan metabolisme tubuh
sehingga mengganggu pertumbuhan janin dalam rahim (Warhington, 2000 dalam Retni 2016).

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes Volume VII Nomor 1, Januari 2016 ISSN:
2086-3098. Hubungan Antara Umur Dan Status Gizi Ibu Berdasarkan Ukuran Lingkar Lengan Atas
Dengan Jenis BBLR. Eny Pemilu Kusparlina (Akademi Kebidanan Muhammadiyah Madiun)

World Health Organization (WHO) pada tahun 1961 menyatakan bahwa semua bayi baru
lahir yang berat badannya kurang atau
sama dengan 2500 gram disebut low birth weight infant (bayi berat badan lahir rendah/
BBLR), karena morbiditas dan mortalitas neonatus tidak hanya bergantung pada berat
badannya tetapi juga pada tingkat kematangan (maturitas) bayi tersebut. Definisi WHO
tersebut dapat disimpulkan secara ringkas bahwa bayi berat lahir rendah adalah bayi dengan
berat badan kurang atau sama dengan 2500 gram (Pantiawati, 2010).
Hingga saat ini, Bayi dengan Berat Lahir
Rendah (BBLR) masih merupakan masalah di dunia karena merupakan penyebab
kesakitan dan kematian pada masa bayi baru lahir. Apabila ditanyakan kepada bidan
atau perawat, apakah bayi premature dengan bayi yang dengan berat lahir rendah
itu sama? Jawabannya adalah bahwa terdapat (sedikit) perbedaan antara istilah bayi
premature dengan bayi berat lahir rendah. Karena tidak semua bayi berat lahir
rendah adalah lahir premature (kurang bulan) atau lahir lebih awal dari waktunya/
kehamilan <37 minggu (Maryunani, 2009).
Prevalensi BBLR diperkirakan 15% dari seluruh kelahiran dunia dengan batasan
3,3%-38% dan lebih sering terjadi pada negara–negara yang sedang berkembang atau
sosial ekonomi rendah. Di negara- negara sedang berkembang kesehatan masih
merupakan masalah yang harus mendapat penanganan yang lebih serius. Secara
Statistik menunjukkan 90% kejadian BBLR didapatkan di negara berkembang dengan angka
kematian lebih tinggi dibandingkan pada bayi dengan berat lahir lebih dari 2500 gram
(Pantiawati, 2010).
BBLR termasuk faktor utama dalam peningkatan mortalitas, morbiditas dan disabilitas
neonatus, bayi dan anak serta memberikan dampak jangka panjang terhadap kehidupannya
dimasa depan. Angka kejadian di Indonesia sangat bervariasi antara satu daerah dengan
daerah lain, yaitu berkisar antara 9%-30%, hasil studi di 7 daerah multicenter diperoleh
angka BBLR dengan rentang 2,1%-17,2%. Secara nasional berdasarkan analisa lanjut SDKI,
angka target BBLR sekitar 7,5%. Angka ini lebih besar dari target BBLR yang ditetapkan
pada sasaran program perbaikan gizi menuju Indonesia Sehat 2015 yakni maksimal 7%
(Pantiawati, 2010).
Di Indonesia batas ambang LILA dengan resiko KEK adalah 23,5 cm hal ini berarti ibu
hamil dengan resiko KEK diperkirakan akan melahirkan bayi BBLR. Bila bayi lahir dengan
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) akan mempunyai resiko kematian, gizi kurang,
gangguan pertumbuhan, dan gangguan perkembangan anak. Untuk mencegah resiko KEK
pada ibu hamil sebelum kehamilan wanita usia subur sudah harus mempunyai gizi yang
baik, misalnya dengan LILA tidak kurang dari 23,5 cm. Apabila LILA ibu sebelum hamil
kurang dari angka tersebut, sebaiknya kehamilan ditunda sehingga tidak beresiko
melahirkan BBLR (Kristiyanasari, 2010).
Pada bayi dengan BBLR banyak sekali resiko terjadi permasalahan pada sistem tubuh,
oleh karena kondisi tubuh yang tidak stabil. Kematian perinatal pada BBLR adalah
8 kali lebih besar dari bayi normal. Prognosis akan lebih buruk bila berat badan semakin
rendah, kematian sering disebabkan karena komplikasi neonatal seperti asfiksia, aspirasi,
pneumonia, perdarahan intra cranial, hipoglikemia. Bila hidup akan dijumpai kerusakan
saraf, gangguan bicara, tingkat kecerdasan rendah. Prognosis ini juga tergantung dari
keadaan sosial ekonomi, pendidikan orang tua dan perawatan pada saat kehamilan,
persalinan dan postnatal. Pengaturan suhu lingkungan, resusitasi, makanan, pencegahan
infeksi, mengatasi pernafasan, asfiksia, hiperbilirubinemia, hipoglikemia, dan lain-lain
(Proverawati, 2010).
Hasil dan Pembahasan
Umur ibu
Dari data pada Gambar 1 didapatkan bahwa hampir seluruh ibu berumur tidak aman (<20/
>35 tahun) yaitu sebanyak 16 bayi (69,6%).
Hal ini dapat dijelaskan bahwa, kehamilan dan kelahiran terbaik, artinya resiko paling
rendah untuk ibu dan anak adalah antara 20-35 tahun (Saifuddin, 2010). Menurut penelitian
Suradi, dkk (2000) usia ibu kurang dari 20 tahun mempunyai peluang 1,27 kali untuk
melahirkan bayi dengan BBLR dibandingkan dengan usia ibu 20-35 tahun dan usia ibu lebih
dari 35 tahun mempunyai peluang 2,10 kali untuk melahirkan bayi dengan BBLR
dibandingkan dengan usia 20-35 tahun.
Resiko kehamilan pada ibu yang terlalu muda biasanya timbul karena mereka belum siap
secara psikis maupun fisik. Secara psikis, umumnya remaja belum siap menjadi ibu. Selain
tidak ada persiapan, kehamilannya pun tidak dipelihara dengan baik. Resiko fisiknya pun
tak kalah besar karena beberapa organ reproduksi remaja putri seperti rahim belum cukup
matang untuk menanggung beban kehamilan (Soelaeman, 2006).
Bagian panggul juga belum cukup berkembang sehingga bisa mengakibatkan kelainan letak
janin. Kemungkinan komplikasi lainnya adalah terjadinya keracunan kehamilan/ preeklamsia
dan kelainan letak ari-ari (plasenta previa) yang dapat menyebabkan perdarahan selama
persalinan (Soelaeman, 2006).
Sedangkan resiko kehamilan yang akan dihadapi pada usia tua hampir mirip dengan
kehamilan diusia muda hanya saja karena faktor kematangan fisik yang dimiliki maka ada
beberapa resiko yang akan berkurang, misalnya menurunnya resiko cacat janin yang
disebabkan asam folat. Resiko kelainan letak janin juga berkurang karena rahim ibu
diusia ini sudah matang. Panggulnya juga sudah berkembang baik. Bahaya yang mengancam
justru berkaitan dengan organ reproduksi diatas usia 35 tahun yang sudah menurun
sehingga bisa mengakibatkan perdarahan pada proses persalinan dan preeklamsia
(Soelaeman, 2006).
Ukuran lila
Dari data Gambar 2 didapatkan bahwa hampir seluruh responden termasuk resiko KEK
(<23,5 cm) yaitu sebanyak 15 bayi (65,1%).Hal ini dapat dijelaskan, bahwa masih
ada ibu yang memiliki status gizi kurang pada saat hamil dilihat dari ukuran Lingkar
Lengan Atas (LILA). Seperti yang diungkapkan oleh Satriono (2010) bahwa antropometri
yang paling sering digunakan untuk menilai status gizi yaitu LILA (Lingkar Lengan
Atas), pengukuran LILA adalah salah satu cara untuk mengetahui resiko Kekurangan
Energi Kronis (KEK) Wanita Usia Subur (WUS). Penilaian yang lebih baik untuk
menilai status gizi ibu hamil yaitu dengan pengukuran LILA, karena pada wanita hamil
dengan malnutrisi (gizi kurang atau lebih) kadang-kadang menunjukkan odem tetapi ini
jarang mengenai lengan atas (Ferial, 2011).
Di Indonesia batas ambang LILA dengan resiko KEK adalah 23,5 cm, hal ini berarti ibu
hamil dengan resiko KEK diperkirakan akan melahirkan bayi BBLR. Bila bayi lahir
dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) akan mempunyai resiko kematian, gizi
kurang, gangguan pertumbuhan, dan gangguan perkembangan anak. Untuk mencegah
resiko KEK pada ibu hamil sebelum kehamilan wanita usia subur sudah harus mempunyai
gizi yang baik, misalnya dengan LILA tidak kurang dari 23,5 cm. Apabila LILA ibu
sebelum hamil kurang dari angka tersebut, sebaiknya kehamilan ditunda sehingga tidak
beresiko melahirkan BBLR (Kristiyanasari, 2010).
Sebagaimana disebutkan di atas, berat bayi yang dilahirkan dapat dipengaruhi oleh status
gizi ibu baik sebelum hamil maupun saat hamil. Status gizi ibu sebelum hamil juga
cukup berperan dalam pencapaian gizi ibu saat hamil. Status gizi ibu sebelum hamil
mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap kejadian BBLR. Ibu dengan status gizi
yang kurang sebelum hamil mempunyai resiko 4,27 kali untuk melahirkan bayi BBLR
dibandingkan dengan ibu yang mempunyai status gizi baik (normal) (Kristiyanasari,
2010).

Jenis BBLR

Dari data Gambar 3 didapatkan bahwa hampir seluruh responden termasuk dalam
BBLR dismatur , yaitu sebanyak 14 bayi (60,9%).
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2500
gram tanpa memandang usia gestasi. Berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang
dalam 1 jam setelah lahir. BBLR dapat terjadi pada bayi kurang bulan (<37 minggu)
atau pada bayi cukup bulan (IDAI, 2010).

BBLR termasuk faktor utama dalam peningkatan mortalitas, morbiditas dan


disabilitas neonatus, bayi dan anak serta memberikan dampak jangka panjang
terhadap kehidupannya dimasa depan. Secara nasional berdasarkan analisa lanjut
SDKI, angka target BBLR sekitar 7,5%. Angka ini lebih besar dari target BBLR
yang ditetapkan pada sasaran program perbaikan gizi menuju Indonesia Sehat 2010
yakni maksimal 7% (Pantiawati, 2010).
Menurut Pantiawati (2010) Bayi Berat Lahir Rendah diklasifikasikan menjadi:
Prematuritas Murni adalah bayi baru lahir dengan umur kehamilan kurang dari
37 minggu dan mempunyai berat badan sesuai dengan berat badan untuk masa
kehamilan atau disebut Neonatus Kurang Bulan Sesuai Masa Kehamilan
(NKBSMK), serta Dismaturitas adalah bayi lahir dengan berat badan kurang
dari berat badan seharusnya untuk masa kehamilan, dismatur dapat terjadi
dalam paterm, term, dan posterm. Dismatur ini dapat juga Neonatus Kurang Bulan
– Kecil untuk Masa Kehamilan (NKB- KMK). Neonatus Cukup Bulan – Kecil
Masa Kehamilan (NCB-KMK), Neonatus Lebih Bulan – Kecil Masa Kehamilan
(NLB-KMK).
Adapun menurut Proverawati (2010) faktor-faktor yang berhubungan dengan
BBLR adalah faktor Ibu (penyakit, ibu, social
ekonomi, sebab lain), faktor Janin (kelainan kromosom, infeksi janin kronik,
disautonomia familial, radiasi, kehamilan ganda, aplasia pancreas), faktor
Plasenta(berat plasenta
berkurang, luas permukaan berkurang, plasentitis virus, infark, tumor, plasenta
yang lepas, sindrom plasenta yang lepas, sindrom tranfusi bayi kembar), dan faktor
Lingkungan (bertempat tinggal di dataran tinggi, terkena zat beracun, terkena
radiasi).

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kesehatan, Vol. 1, Nomor 2, Maret 2014, hlm : 129 – 134. Hamil
Ganda Penyebab Bermakna Berat Bayi Lahir Rendah. Siti Masitoh, Syafrudin, Delmaifanis.
Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Jakarta III

Beberapa faktor penyebab kejadian BBLR adalah faktor ibu, faktor kehamilan, faktor janin
dan faktor yang masih belum diketahui (Manuaba, 1998). Faktor ibu yaitu gizi saat hamil
yang kurang, umur kurang dari 20 tahun atau diatas 35 tahun, jarak hamil dan bersalin yang
terlalu dekat, penyakit menahun ibu (hipertensi, jantung, gangguan pembuluh
darah/perokok) dan pekerja yang terlalu berat. Faktor kehamilan yaitu hamil dengan
hidramnion, hamil ganda, perdarahan antepartum dan komplikasi hamil (pre eklamsi/eklamsi,
ketuban pecah dini). Faktor janin yaitu cacat bawaan dan infeksi dalam rahim serta faktor
yang masih belum diketahui. Mengingat relatif tingginya morbiditas dan mortalitas pada
bayi dengan BBLR menjadi masalah utama di negara- negara berkembang termasuk di
Indonesia.
Sebagian kecil (14,3%) responden berumur kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun
yang mengalami BBLR. Hasil uji kai kuadrat diperoleh nilai p= 0,482,dengan demikian tidak
ada hubungan yang signifikan antara umur ibu dengan kejadian BBLR dan nilai OR didapat
1,682. Penelitian ini sesuai dengan Depkes (2000) menyebutkan bahwa umur yang baik untuk
melahirkan adalah 20-35 tahun. Bayi yang dilahirkan oleh ibu berumur kurang dari 20 tahun
mempunyai resiko lebih tinggi begitu juga pada ibu yang melahirkan lebih dari 35 tahun
(Manuaba, 1998). Angka kejadian tertinggi BBLR adalah pada usia ibu dibawah 20 tahun
khususnya pada multi gravida dengan jarak kehamilan yang terlalu dekat (Hasan, 2005).
Sebesar 11,1% responden dengan paritas lebih atau sama dengan 4 yang mengalami BBLR,
Hasil uji kai kuadrat diperoleh nilai p=1,000, dengan demikian tidak ada hubungan yang
signifikan antara paritas dengan kejadian BBLR. Hasil ini didukung Rosikin (2005)
menyatakan di puskesmas Cangkol kota Cirebon yaitu 16,3% ibu yang paritas lebih dari 4
melahirkan BBLR daripada ibu dengan paritas kurang dari 4 yaitu sebesar 10,3%. Hal ini
sependapat dengan Rusdaniah (2005) mengatakan kejadian BBLR pada ibu dengan paritas
lebih dari 4 sebesar 30,2% dibanding ibu paritas kurang dari 4 sebesar 8,8% artinya kelahiran
lebih dari 4 mempunyai peluang 4,5 kali dibandingkan kelahiran kurang dari 4.
Pada penelitian ini juga didapatkan yang mengalami kejadian BBLR sebesar 10,6%
adalah respoden dengan jarak bersalin berresiko yaitu kurang atau sama dengan 24 bulan.
Hasil uji kai kuadrat diperoleh nilai p=1,000, dengan demikian tidak ada hubungan
yang signifikan antara jarak bersalin dengan kejadian BBLR. Hasil penelitian yang sama
dilakukan Rosikin (2005) di puskesmas Cirebon tahun 2004 yaitu ibu yang mempunyai jarak
kehamilan kurang dari 24 bulan lebih banyak melahirkan BBLR sebesar 23,2% daripada ibu
yang mempunyai jarak kehamilan lebih dari 24 bulan yaitu sebesar 5,6%. Hasil estimasi resiko
didapatkan ratio untuk jarak kehamilan adalah 5,09 yang berarti ibu mempunyai jarak
kehamilan kurang dari 24 bulan mempunyai resiko 5,09 kali melahirkan bayi dengan BBLR
daripada ibu yang mempunyai jarak kehamilan lebih dari 24 bulan. Namun hasil penelitian
yang berbeda dilakukan Rohayati (2004), yaitu bayi yang lahir dari ibu yang jarak
kelahirannya kurang dari 24 bulan cenderung lebih sedikit lahir dalam keadaan BBLR (1,0%)
dibandingkan dengan yang tidak BBLR (4,0%), dari hasil uji chi square menunjukkan
tidak ada hubungan yang bermakna antara jarak kelahiran dengan kejadian BBLR
dengan p value = 0,367.
Rata-rata berat badan anak kembar lebih rendah daripada berat badan anak tunggal, hal ini
terjadi karena lebih sering persalinan kurang bulan.yang dapat meningkatkan angka kematian
diantara bayi kembar. Walaupun demikian prognosis anak kembar yang lahir kurang bulan
lebih baik dibandingkan dengan anak tunggal yang sama beratnya. Kejadian kehamilan
kembar monozigotik terjadi kira- kira 1 diantara 250 kehamilan sedangkan kehamilan
kembar dizigotik cenderung meningkat karena penggunaan obat pemacu ovulasi seperti
kiomifen dan fertilisasi invitro (Martadisoebrata, 2005). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
menunjukkan sebesar 58,3% adalah respoden dengan hamil ganda yang berresiko
mengalami kejadian BBLR. Hasil uji kai kuadrat diperoleh nilai p=0,000, dengan demikian ada
hubungan yang signifikan antara hamil ganda dengan kejadian BBLR dan nilai OR didapat
22,8 berarti ibu hamil ganda mempunyai resiko 22,8 kali melahirkan bayi dengan BBLR
daripada ibu yang hamil tunggal. Hasil penelitian yang sama dikemukakan Rohayati
(2004) menyatakan bayi yang lahir kembar cenderung lebih banyak lahir dengan BBLR
(16 %) dibanding dengan yang tidak kembar terjadi BBLR (2
%). Dan hasil uji kai kuadrat menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara kelahiran
kembar dengan kejadian BBLR.
Hasil penelitian didapatkan sebesar 7,7% dengan pemeriksaan ANC kurang dari 4 kali
mengalami BBLR. Hasil uji kai kuadrat diperoleh nilai p=1,000, dengan demikian tidak
ada hubungan yang signifikan antara pemeriksaan ANC dengan kejadian BBLR. Hasil
penelitian tidak sesuai Rohayati (2004) bahwa bayi yang lahir dari ibu yang memeriksakan
kehamilannya kurang dari 4 kali cenderung lebih banyak lahir dalam keadaan BBLR (40%)
dibandingkan dengan yang memeriksakan kehamilannya 4 kali atau lebih akan terjadi BBLR
(16%) dan hasil uji kai kuadrat menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara frekuensi
pemeriksaan kehamilan dengan kejadian BBLR
Pada penelitian ini didapatkan yang mengalami kejadian BBLR sebesar 9,3 % adalah
respoden dengan Pre eklamsi. Hasil uji kai kuadrat diperoleh nilai p=1,000, dengan demikian
tidak ada hubungan yang signifikan antara Pre eklamsi dengan kejadian BBLR dan nilai OR
didapat 0,878.. Menurut Wiknjosastro (1998) bahwa pre eklamsi ringan jarang sekali
menyebabkan kematian dan bila tidak diobati dapat menyebabkan kerusakan yang menetap
pada sistem syaraf, pembuluh darah atau ginjal dari ibu sehingga terjadi keterbelakangan
pada janin karena kurangnya aliran darah melalui plasenta atau kurangnya oksigen pada janin
yang menyebabkan BBLR.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas | April 2014 - September 2014 | Vol. 8, No. 2, Hal.
72-78 Suryati Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Bblr Dl Wilayah Kerja
Puskesmas Air Dingin Tahun 2013.
dapat diketahui proporsi usia ibu pada waktu hamil yang be- risiko pada kelompok kasus lebih
kecil (15,4%) dibanding dengari proporsi usia ibu yang be- risiko pada kelompok kontrol
(23,1%). Ha- sil uji statistik dengan menggunakan uji Chi Square menyatakan tidak ada
hubungan yang bermakna antara usia ibu sewaktu hamil de- ngan kejadian BBLR (p = 0,566,
p = >0,05).
terlihat proporsi penambahan berat badan yang berisiko pada kelompok kasus lebih besar
(64,1%) dibanding dengan proporsi penambahan berat badan yang berisiko pada kelompok
kontrol (15,4%). Hasil uji statistik dengan menggunakan uji Chi Square, menyatakan
hubungan yang ber- makna antara penambahan berat badan sela- ma hamil dengan kejadian
BBLR (p = 0.000, p = <0,05), sedangkan nila OR = 9,821.
terlihat bahwa kelompok kasus yang diperiksa Hb hanya 35 orang dan untuk kontrol juga 35
orang. Proporsi keja- dian anemia pada ibu sewaktu hamil, pada res- ponden kelompok kasus
lebih besar (82,9%) dibanding dengan proporsi anemia pada ibu kontrol (37,1%). Hasil
uji statistik meng- gunakan uji Chi Square menunjukkan ada hubungan yang bermakna
antara anemia pada ibu waktu hamil dengan kejadian BBLR ( p =
0,000, p = <0,05) dengan nilai OR = 8,179.
Terlihat bahwa proporsi KEK pada kelompk kasus lebih besar (64,1%) dibanding dengna
proporsi KEK pada kelompok kontrol (10,3%). Hasil uji statistik dengan menggunakan uji
Chi Square menyatakan ada hubungan yang bermakna antara KEK pada waktu hamil dengan
kejadian BBLR (p = 0,000, p = < 0,05), sedangkan nilai OR = 15,625.
Dapat diketahui bahwa proporsi jarak kehamilan yang berisiko pada kelompok kasus lebih
besar (56,4%) dibanding dengan proporsi jarak kehamilan berisiko pada kelompok kontrol
(23,1%). Ha- sil uji statistik menyatakan ada hubungan yang bermakna antara jarak kehamilan
dengan keja- dian BBLR (p = 0,005, p = <0.05) dengan nilai OR = 4,314.
dapat diketahui bahwa proporsi riwayat penyakit ibu yang berisiko pada waktu hamil, pada
kelompok kasus lebih kecil (12,8%) dibanding dengan proporsi riwayat penyakit yang
berisiko pada kelompok kontrol (17,9%). Hasil uji statistik dengan menggunakan uji Chi
Square, menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara riwayat penyakit ibu
dengan kejadian BBLR (p = 0,754, p = >0,05) dengan nilai OR = 0,672.
Pembahasan
Usia minimum ibu waktu hamil pada kelompok kasus adalah 15 tahun berjumlah 2 responden
(5,1%) dan usia maksimum 35 ta- hun berjumlah 1 responden (2,6%). Rata-rata usia ibu
waktu hamil pada responden kelom- pok kasus adalah 25,2 tahun. Usia terbanyak ibu adalah
26 tahun, yaitu berjumlah 6 respon- den (15,4%). Usia minimum ibu waktu hamil pada
kelompok kontrol adalah 15 tahun se- banyak 2 orang (5,1%) dan usia maksimum 40 tahun
sebanyak 1orang (2,6%). Rata-rata usia ibu pada waktu hamil pada kelompok kontrol adalah
25,8 tahun. Usia terbanyak adalah 24 tahun berjumlah 5 responden (12,8%). Ber- dasarkan uji
statistik tidak terdapat hubungan antara usia ibu waktu hamil dengan kejadian BBLR.
Menurut Atikah “Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya BBLR dan prematur di
antaranya adalah usia ibu <20 tahun atau
>35 tahun”.(6) Kehamilan yang terjadi pada ibu yang memiliki umur berisiko tidak hanya
akan melahirkan bayi BBLR saja, tetapi juga menga- kibat terjadinya : “abortus, pertumbuhan
janin terlambat, anemia, dan cacat janin”.(7) Sedang- kan menurut Shelov : “about five or
six out of every one hundred birth in this country are premature”.(8)
Dilihat dari distribusi frekuensi usia ibu waktu hamil diketahui bahwa usia yang mela- hirkan
di wilayah kerja Puskesmas Air Dingin tahun 2012 sebagian besar berada pada kate- gori usia
reproduksi sehat (20-35 tahun), baik ibu yang melahirkan bayi BBLR maupun yang
melahirkan bayi berat normal.
Hasil penelitian menemukan ada- nya pengaruh proporsi penambahan berat badan ibu
sewaktu hamil dengan kejadian BBLR dengan nilai OR sebesar 9,821, arti- nya
responden dengan penambahan berat badan yang berisiko selama hamil memili- ki risiko
9,821 kali untuk melahirkan bayi BBLR dibanding dengan responden yang memiliki
penambahan berat badan yang ti- dak berisiko selama hamil. Menurut peneli- tian Pipit di
Kab. Sumenep, “hampir seluruh responden kelompok kasus (93,8%) memi- liki
penambahan perat badan berisiko sela- ma hamil”.(9) Normalnya ahan berat badan ibu
selama hamil adalah sekitar 10-12,5 kg.
Pada penelitian ini, rata-rata penambahan berat badan ibu selama hamil pada responden
kelompok kasus lebih rendah (8,9 kg) dibanding dengan rata-rata penambahan berat badan
ibu selama hamil pada responden kelompok kontrol (11,5 kg). Hasil temuan tersebut
menunjukkan bahwa rata-rata penambahan berat badan ibu pada kelompok kasus berada
pada rentang yang berisiko, karena minimal pertambahan berat badan ibu selama hamil
adalah 10 kg. Berat badan ibu selama hamil harus bertambah sesuai umur kehamilan .
Berat badan ibu yang bertambah dalam batas normal akan menghasilkan bayi dengan berat
normal pula. Jika berat badan ibu kurang dari normal akan berisiko keguguran, anak lahir
prematur, BBLR, dan perdarahan pada waktu dan setelah bersalin.
Variabel anemia pada ibu dalam penelitian ini turut menjadi faktor yang mempengaruhi
terjadinya BBLR. Besarnya hubungan anemia pada ibu dengan kejadian BBLR ditemukan
dengan nilai OR 8,179, artinya responden yang menderita anemia pada waktu hamil memiliki
risiko 8,179 kali untuk melahirkan bayi BBLR dibanding dengan responden yang tidak
menderita anemia pada waktu hamil. Hal ini sejalan dengan penelitian Pipit di Kab. Sumenep
(2010) di mana dia melaporkan bahwa : “51,6% ibu-ibu hamil dengan anemia melahirkan
bayi BBLR”.(9) Hasil penelitian kadar Hb ibu di wilayah kerja Puskesmas Air Dingin pada
kelompok kasus, minimum adalah 8,5 gr% dan maksimum 11,5 gr%. Rata-rata kadar Hb ibu
adalah 10,1 gr%. Sedangkan pada kelompok kontrol, kadar Hb minimum adalah 9 gr%
dan maksimum 13 gr%. Rata-rata kadar HB ibu hamil pada kelompok kontrol adalah 10,9
gr%.
Upaya yang harus dilakukan tenaga kesehatan khususnya bidan dalam rangka pencegahan
anemia terhadap ibu-ibu hamil adalah dengan meningkatkan konsumsi zat besi yang
bersumber dari makanan seperti : sayuran hijau, buah-buahan, kacang- kacangan dan
padi-padian, serta pemberian suplemen zat besi. Untuk meningkatkan penyerapan zat besi di
dalam tubuh perlu ditambah dengan pemberian Vitamin C.
Variabel status KEK ibu dalam penelitian ini merupakan variabel yang mempengaruhi kejadian
BBLR dengan nilai OR 15,625, artinya responden yang KEK sewaktu hamil, memiliki risiko
15,625 kali untuk melahirkan bayi BBLR dibanding dengan responden yang tidak berisiko
KEK pada waktu hamil. Ha- sil penelitian ini didukung oleh Eddyman di Makasar (2009)
yang melaporkan bahwa ada hubungan antara status gizi ibu hamil (ber- dasarkan pengukuran
LiLA) dengan BBLR.
Variabel jarak kehamilan dalam peneli- tian ini ditemukan sebagai faktor yang mem-
pengaruhi terjadinya BBLR dengan nilai OR
4,314, artinya responden yang memiliki jarak kehamilan berisiko, memiliki risiko 4,314 kali
untuk melahirkan bayi BBLR dibanding de- ngan responden yang memiliki jarak kehami- lan
yang tidak beriksiko. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian L. Nurlaili di Cere- bon
(2009) yang melaporkan bahwa “terdapat hubungan jarak kelahiran < 2 tahun dengan
kejadian bayi BBLR dengan nilai OR = 5,333”.
Wanita yang hamil dengan jarak kehamilan sebelumnya < 2 tahun cenderung akan melahirkan
bayi BBLR. Ibu ini juga berisiko menderita anemia. Kehamilan yang berulang dengan
waktu singkat dapat menyebabkan cadangan zat besi ibu terkuras untuk keperluan janin yang
dikandungnya. Apabila seorang wanita sebelum kondisinya benar-benar pulih dari kehamilan
sebelumnya, besar kemungkinan akan melahirkan bayi BBLR atau bayi prematur. Bayi BBLR
memiliki kemungkinan kecil sekali untuk tumbuh dengan baik dan akan lebih mudah
terserang penyakit, apalagi kalau tidak ditangani dengan sebaik-baiknya. Untuk bayi-bayi
BBLR dan bayi lahir prematur sangat memerlukan perhatian khusus atau perhatian ekstra
dalam hal memberikan asukan keperawatan sejak dia lahir. Bayi-bayi ini harus dirawat
secara intensif oleh bidan atau perawat, bahkan oleh dokter spesialis anak jika ditemui hal-hal
yang membahayakan bayi. Oleh sebab itu diharakan sekali semua bidan, perawat, dan juga
dokter terlatih dan kompeten dalam memberikan asuhan yang intensif terhadap bayi-bayi
BBLR.
Variabel riwayat penyakit tidak ditemukan sebagai pengaruh terjadinya BBLR
. Hasil penelitian ini berbeda dengan yang ditemukan oleh Kasim di RS Immanual Bandung,
ditemukan : “33,3% ibu-ibu yang mempunyai riwayat penyakit berisiko mempunyai
bayi BBLR”.(11)
Riwayat penyakit yang diderita ibu selama hamil seperti : Hipertensi, Preeklampsi,
Eklampsi, Anemia, Dibetes Mellitus dan penyakit khronik lainnya dapat berdampak pada
kehamilan dan janin yang dikandungnya, seperti abortus, persalinan prematur dan BBLR.
Pada penelitian ini riwayat penyakit bukan merupakan penyakit berisiko terhadap kehamilan
karena ibu sudah mendapatkan pengobatan, sehingga penyakit yang diderita tersebut tidak
berpengaruh terhadap kejadian bayi BBLR.

Jurnal Kesehatan Masyarakat (E-Journal) Volume 5, Nomor 1, Januari 2017 (Issn: 2356-
3346) Http://Ejournal-S1.Undip.Ac.Id/Index.Php/Jkm. Faktor – Faktor Yang Berhubungan
Dengan Kejadian Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) Di Kabupaten Kudus (Studi Di Wilayah
Kerja Puskesmas Undaan Kecamatan Undaan Kabupaten Kudus Tahun 2015). Cynthia Putri
H.*), Siti Fatimah P.**), M. Zen Rahfiludin**)

Berat badan lahir rendah (BBLR) didefinisikan oleh organisasi kesehatan dunia World
Health Organization (WHO) yaitu, berat badan saat lahir kurang dari 2500 gram. BBLR
selalu menjadi masalah kesehatan masyarakat yang signifikan secara global dan
berhubungan dengan berbagai konsekuensi jangka pendek maupun jangka panjang. Secara
keseluruan, diperkirakan 15% - 20% dari seluruh kelahiran di dunia mengalami berat badan
lahir rendah, yang mewakili lebih dari 20 juta kelahiran per tahun. (WHO, 2014 dalam
Chintya, dkk, 2015).
WHO telah berkomitmen untuk memantau kemajuan perubahan global dan mendukung
target global dalam upaya meningkatkan gizi ibu, bayi dan gizi anak-anak melalui
enam target gizi global tahun 2025. Salah satunya adalah target ketiga yaitu bertujuan
untuk mencapai pengurangan 30% berat badan lahir rendah pada tahun 2025. Hal ini
berarti target penurunan relatif 3% per tahun antara 2012 hingga 2025 yaitu penurunan
dari sekitar 20 juta menjadi sekitar 14 juta bayi dengan berat badan rendah saat lahir. (WHO,
2014 dalam Chintya, dkk, 2015).
Pada tahun 2013, hampir semua (98%) dari 5 juta kematian neonatal di Negara
berkembang atau berpenghasilan rendah diantaranya dua per tiga kematian dikarenakan
BBLR. Ada variasi signifikan pada prevalensi BBLR, yaitu tertinggi di Asia Tengah (27,1%)
dan terendah di Eropa (6,4%).2 Asia Tenggara memiliki insidensi BBLR paling tinggi yaitu
27% dari seluruh kelahiran bayi BBLR di dunia. Tahun 2010, angka kejadian BBLR di
Indonesia sebesar 11,1% masih diatas angka rata-rata Thailand (6,6%) dan Vietnam
(5,3%). (WHO,UNICEF, 2011 dalam Chintya, dkk, 2015).
Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013, menunjukkan bahwa kejadian BBLR di Indonesia
memiliki prevalensi sebesar 10,2% dan sebagian besar bayi BBLR yang meninggal pada
masa neonatus adalah bayi dengan berat lahir <2.500 gram. (Riskesdas, 2013).
Beberapa penyebab terjadinya BBLR diantaranya adalah ibu hamil mengalami kekurangan
energi kronis (KEK), mengalami anemia, kurangnya suplai zat gizi ibu hamil,
komplikasi kehamilan, paritas ibu danjarak kelahiran. Bayi dengan BBLR
dibutuhkan penanganan serius, karena pada kondisi tersebut bayi mudah mengalami
hipotermi dan belum sempurna pembentuakan organ tubuhnya sehingga rentan mengalami
kematian. (Proverawati dan Misaroh, 2010).
Ibu yang mengalami KEK cenderung melahirkan bayi BBLR. Pria dan Wanita Usia
Subur (WUS) dengan Kurang Energi Kronis (KEK yaitu WUS dengan lingkar lengan atas
kurang (LILA) dari 23,5 cm. Secara nasional, prevalensi risiko KEK pada WUS sebanyak
20,8% dan prevalensi risiko KEK pada wanita hamil usia 15-19 tahun sebesar 24,2%. Pada
wanita tidak hamil kelompok umur 15-19 tahun prevalensinya naik 15,7%. Demikian juga
pada wanita hamil kelompok umur 15-19 tahun naik 15,1%. (Depkes RI, 2002 dalam
Chintya, dkk 2015).
Faktor-faktor lain pada ibu hamil yang rentan melahirkan bayi BBLR yaitu, umur ibu
hamil, paritas ibu, jarak persalinan, tinggi badan ibu, hipertensi, pre eklamsi/eklamsi,
kelainan letak janin, riwayat obstetriburuk, dan penyakit kronis yang diderita ibu, serta
masalah lainnya. (Chintya, dkk, 2015)
Hasil
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase ibu KEK yang melahirkan bayi
dengan BBLR (29,5%) hampir sama dengan ibu KEK yang melahirkan bayi dengan berat
badan normal (22,7%).
Suhartati, et al. 2016. Hubungan Anemia pada ibu hamil dengan kejadian bayi berat lahir
rendah di wiliayah kerja puskesmas tanta kabupaten bima tahun 2016. Dinamika Kesehatan,
Vol 8 No.1 Juli 2017.
Latar belakang
Salah satu indikator derajat kesehatan masyarakat adalah jumlah angka kematian ibu (AKI)
dan Angka kematian Bayi (AKB).
Sampai saat ini tingginya AKI dan AKB di indonesia masih merupakan masalah yang
menjadi prioritas di bidang kesehatan. (Wahyuddin, 2008).
Secara global prevalensi anemia pada ibu hamil di seluruh dunia adalah sebesar 41,8%.
Prevalensi anemia pada ibu hamil di Asia diperkirakan sebesar 48,2%, Afrika 57,1%,
Amerika 24,1% dan Eropa 25,1%. Prevalensi anemia pada ibu hamil di Indonesia adalah
70% mengalami anemia dan prevalensi anemia di kalimantan selatan 10,9%. Anemia pada
ibu hamil dihubungkan dengan meningkatnya kelahiran bayi berat lahir rendah (BBLR),
prematur, kematian ibu dan anak dan penyakit infeksi. Anemia defisiensi besi pada ibu
dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin/ bayi saat
kehamilan maupun setelahnya (Depkes RI dalam Waryana 2010).
BBLR adalah bayi baru lahir yang berat badannya saat lahir kurang dari 2500 gram (Nur,
2010). Prevalensi bayi berat lahir rendah diperkirakan 15 % dari seluruh kelahiran didunia
dengan batasan 3,3 - 38%. Kejadian BBLR di Indonesia sangat bervariasi antara satu
daerah dengan daerah lain yaitu berkisar antara 9-30 % dan hasil studi di 7 daerah multicenter
di dapatkan angka BBLR berkisar 2,1-17,2%. Secara nasional berdasarkan survey
demografi kesehatan Indonesia (SDKI,2012), angka BBLR sekitar 7,5%. Laporan riset
kesehatan dasar (Riskesdas,2013) prevalensi kasus BBLR mencapai 10,2 %. Persentase
BBLR tertinggi terdapat di propinsi Sulawesi Tengah (16,8 %) dan terendah di Sumatera
Utara (7,2%). Angka ini lebih besar dari target BBLR yang ditetapkan pada sasaran program
perbaikan gizi menuju Indonesia sehat 2010 sebesar 7% (Pantiawati,2010). ). Beberapa
faktor yang mempengaruhi terjadinya BBLR antara lain faktor ibu, janin dan lingkungan.
Dari ketiga faktor tersebut, faktor yang secara langsung mempengaruhi kejadian BBLR
adalah status gizi kurang saat hamil yang bisa di ukur dari status anemia ibu hamil.
Hasil dan pembahasan
Berdasarkan tabel 1 diatas hasil analisis univariat menunjukan bahwa jumlah ibu
hamil diwilayah kerja Puskesmas Tanta Tahun 2016 dari 108 orang ibu hamil
mengalami anemia sebanyak 60 orang ibu hamil (55,6%). Anemia pada ibu hamil
disebabkan beberapa hal antara lain karena kekurangan zat gizi dalam makanan yang
dikonsumsi dan terjadinya pengenceran darah atau hemodelusi. Anemia yang sering
terjadi adalah anemia difisiensi besi. Anemia defisiensi besi pada ibu dapat
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin/ bayi saat kehamilan maupun
setelahnya. Anemia merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
gangguan pertumbuhan intra uterin sehingga faktor ini menjadi salah satu penyebab
kematian janin, BBLR dan abnormalitas (Wiknjosastro,2008).
Berdasarkan tabel 3 diatas kategori anemia pada ibu hamil yang mengalami
anemia ringan sebanyak 56 orang (90%) dan ibu hamil yang mengalami anemia sedang
sebanyak 4 orang (10%),peneliti tidak menemukan ibu hamil dengan kategori anemia
berat. Penyebab paling umum dari anemia pada kehamilan adalah kekurangan zat
besi. Hal ini penting dilakukan pemeriksaan untuk anemia pada kunjungan pertama
kehamilan. Bahkan, jika tidak mengalami anemia pada saat kunjungan pertama,
masih mungkin terjadi anemia pada kehamilan sebelumnya. ( Proverawaty, 2010).
Berdasarkan tabel 4.5 diatas hasil analisis univariat menunjukan bahwa jumlah bayi
berat lahir rendah diwilayah Puskesmas Tanta tahun 2016 dari 108 bayi yang lahir dengan
bayi berat lahir rendah (BBLR) sebanyak 36 orang (33,3%).Hasil ini menunjukan
peningkatan dari tahun 2015 yang hanya 14 orang kejadian bayi berat lahir rendah diwilayah
Puskesmas Tanta. Hal ini disebabkan beberapa faktor antara lain status gizi anemia sebelum
dan selama hamil dapat mempengaruhi pertumbuhan janin yang sedang dikandung, faktor
lainnya adalah penyakit yang berhubungan dengan kehamilan dalam hal ini preeklampsia
dan faktor dari bayi yakni kelahiran prematur dan gemelli.
Berdasarkan tabel 4.6 Hasil analisis bivariat pada penelitian ini ditunjukan dengan
hasil uji chi square hubungan anemia dengan kejadian bayi berat lahir rendah (BBLR)
diperoleh hasil dengan p value = 0,000 dengan nilai α=0,05 maka p<α Ha
diterima dan Ho ditolak yang berarti ada hubungan antara anemia dengan kejadian
BBLR. Nilai OR 9,19 yang berarti ibu hamil dengan anemia memiliki risiko 9 kali lebih
besar melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR) dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak
anemia.
Berdasarkan tabel 4 bahwa ibu hamil yang mengalami anemia sebanyak 60 orang (55,6%)
melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR) sebanyak 31 orang bayi (51,6%) dan
melahirkan bayi dengan normal sebanyak 29 orang (48,3%). Demikian ibu yang tidak anemia
sebanyak 48 orang (44,4%) melahirkan bayi berat lahir rendah sebanyak 5 orang bayi (10,4%)
dan yang melahirkan bayi lahir normal sebanyak 43 orang bayi (89,5%). Hal ini menunjukan
bahwa anemia memiliki hubungan dengan kejadian bayi berat lahir rendah (BBLR)
sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya
BBLR antara lain faktor ibu, janin dan lingkungan. Faktor ibu meliputi usia, riwayat
kehamilan, keadaan sosial dan status gizi kurang saat hamil. Faktor yang secara langsung
mempengaruhi kejadian BBLR adalah status gizi kurang saat hamil yang bisa di ukur dari
status anemia ibu hamil (Nur,2010). Hasil penelitian Linda Darmayanti (2013) menunjukan
bahwa responden dengan status anemia sebanyak 1 orang melahirkan bayi BBLR. Nilai RR =
1,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa ibu hamil yang menderita anemia mempunyai
kesempatan untuk melahirkan bayi BBLR 1,05 kali lebih besar daripada ibu hamil yang tidak
anemia.
Saat hamil seorang wanita memerlukan asupan gizi lebih banyak mengingat selain
kebutuhan gizi tubuh, wanita hamil harus memberikan nutrisi yang cukup untuk sang
janin (Waryana, 2010). Status gizi anemia sebelum dan selama hamil dapat
mempengaruhi pertumbuhan janin yang sedang dikandung. Kekurangan gizi dalam hal ini
anemia pada ibu hamil dapat mempengaruhi Proses pertumbuhan janin menimbulkan
keguguran, bayi lahir mati, cacat bawaan dan anemia pada bayi lahir dengan berat badan
rendah. Anemia pada saat hamil dapat mengakibatkan efek buruk pada ibu maupun
kepada bayi yang akan dilahirkannya. Anemia dapat mengurangi suplai oksigen pada
metabolisme ibu karena oksigen berfungsi untuk mengikat oksigen.
Suplai zat gizi ke janin yang sedang tumbuh tergantung pada jumlah darah ibu yang
mengalir ke plasenta dan zat-zat makanan yang diangkutnya. Pada ibu hamil yang anemia
pasokan oksigen, masukan nutrisi berkurang sehingga mengakibatkan gangguan
pertumbuhan dan perkembangan janin (Manuaba,2010). Pada ibu hamil dengan anemia
terjadi gangguan penyaluran oksigen dan zat makanan dari ibu ke plasenta dan janin, yang
mempengaruhi fungsi plasenta. Fungsi plasenta yang menurun dapat mengakibatkan
gangguan tumbuh kembang janin. Anemia pada ibu hamil dapat mengakibatkan
gangguan tumbuh kembang janin, abortus, partus lama, sepsis puerperalis, kematian ibu dan
janin (Cunningham et al., 2005; Wiknjosastro,
2005), hal lain disebutkan oleh Karasahin anemia pada ibu hamil meningkatkan risiko
bayi berat lahir rendah.
Namun demikian dalam hasil penelitian ini anemia yang dialami ibu hamil di wilayah
kerja Puskesmas Tanta hanya berkisar pada kategori anemia ringan dan anemia sedang,
peneliti tidak menemukan kategori anemia berat. Mengutip dari penelitian yang
dilakukan oleh Jumirah (1999), menunjukan bahwa ada hubungan kadar HB ibu hamil
dengan berat lahir bayi, dimana semakin tinggi kadar HB Ibu semakin berat badan bayi
yang dilahirkan. Pada penelitian ini nilai OR = 9,19 sehingga dapat disimpulkan bahwa ibu
yang menderita anemia baik kategori anemia ringan,anemia sedang dan anemia berat secara
keseluruhan mempunyai risiko untuk melahirkan bayi BBLR 9 Kali lebih besar
daripada ibu yang tidak anemia. Ibu hamil penderita anemia kemungkinan akan melahirkan
bayi dengan berat bayi lahir rendah (BBLR) .
Susilowati, Wilar, Salendu: Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian berat badan lahir
rendah pada neonatus yang dirawat di RSUP prof. Dr.R.D.Kandou periode janurari 2015-juli 2016.
2016. Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 4, Nomor 2, Juli-Desember 2016

Latar belakang
Angka kematian (AKB) merupakan indikator pertama dalam menentukan derajat kesehatan
anak. Selain itu, angka kematian bayi juga merupakan cerminan dari status kesehatan
masyarakat. Sebagian besar penyebab kematian bayi dan balita adalah masalah yang
terjadi pada bayi yang baru lahir/neonatal (usia 0-28 hari). Maslah neonatal ini meliputi
asfiksia (kesulitan bernapas saat lahir), bayi berat badan lahir rendah (BBLR) dan Infeksi.
(Depkes RI, 2011 dalam Susilowati 2016).
Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) merupakan masalah yang sangat kompleks dan
memberikan kontribusi berbagai hasil kesehatan yang buruk karena tidak hanya menyebabkan
tingginya angka morbiditas dan mortalitas, tetapi dapat juga menyebabkan kecacatan,
gangguan, atau menghambat pertumbuhan dan perkem- bangan kognitif, dan penyakit
kronis dikemudian hari. (Khatun dan Rahman dalam Susilowati 2016).
Berdasarkan studi epidemiologi, bayi dengan BBLR mempunyai resiko kematian 20 kali
lipat lebih besar dibandingkan dengan bayi yang lahir dengan berat badan normal. (WHO,
UNICEF 2004 dalam Susilowati, 2016). Pada tahun 2012, World Health Organization
(WHO)4 melaporkan kejadian BBLR di dunia rentang tahun 2005-2010 adalah sebesar 15%.
Di South-East Asia angka kejadian BBLR mencapai 24% dan yang tertinggi ada pada
negara India dengan persentase 28%.
Di Indonesia, menurut hasil Riset Kesehatan Daerah (Rikesdas) tahun 2013 menyatakan
bahwa persentase BBLR sebesar 10,2%. Persentase BBLR tertinggi terdapat di Provinsi
Sulawesi Tengah (16,8%) dan terendah di Sumatera Utara (7,2%). (Riskesdas 2013 dan
Kemenkes 2014 dalam Susilowati, 2016).
Faktor risiko yang memengaruhi terhadap kejadian BBLR antara lain ialah karakteristik
sosio-demografi ibu (usia <20 tahun dan >34 tahun, ras kulit hitam, status sosial ekonomi
kurang, status perkawinan tidak sah, tingkat pendidikan rendah).Risiko medis ibu
sebelum hamil juga berperan terhadap kejadian BBLR (paritas, berat badan dan tinggi badan,
pernah melahirkan neonatus dengan BBLR, jarak kelahiran). Status kesehatan reproduksi ibu
berisiko terhadap BBLR (status gizi ibu, infeksi dan penyakit selama kehamilan, riwayat
kehamilan dan komplikasi kehamilan). Status pelayanan antenatal (frekuensi dan kualitas
pelayanan antenatal, tenaga kesehatan tempat periksa hamil, umur kandungan saat pertama
kali pemeriksaan kehamilan) juga dapat beresiko unntuk melahirkan BBLR. (
Rosmala, dkk. 2016 dalam Susilowati 2016).

Hasil dan pembahsan


Distribusi neonatus dengan BBLR berdasarkan tahun memperlihatkan pada tahun 2015
terdapat 42 kasus BBLR pada neonatus (68%) dan tahun 2016 terdapat 20 kasus (32%).
Jumlah keseluruhan neonatus dengan BBLR yang dirawat di RSUP Prof Dr. R. D Kandau
Manado periode Januari 2015-Juli 2016 ialah 62 kasus (100%)
Berdasarkan jenis kelamin neonatus dengan BBLR berjenis kelamin laki-laki berjumlah
lebih banyak dibanding dengan yang berjenis kelamin perempuan (5,4%) lebih banyak
dibandingkan yang berjenis kelamin laki-laki (4,1%).
Berdasarkan usia ibu, angka kejadian terbanyak dari neonatus dengan BBLR pada ibu
dengan kelompok usia 20- 35 tahun diikuti oleh kelompok usia >35 tahun dan <20 tahun.
Berdasarkan jumlah anak (paritas), angka kejadian BBLR terbanyak pada ibu yang baru
mempunyai 1 orang anak sedangkan angka kejadian yang paling sedikit ialah ibu yang
mempunyai 5 orang anak. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Sulistyorini dan Siswoyo 2013 yang mendapatkan angka kejadian terbanyak ialah ibu yang
melahirkan 2 kali atau mempunyai 3 orang anak (95,6%) dan angka kejadian yang paling
sedikit pada ibu yang melahirkan lebih dari 4 kali (4,4%). (Susilowati, 2016).
Berdasarkan kebiasaan merokok, ibu yang merokok lebih sedikit daripada ibu yang tidak
merokok. Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Mahdalena et al (2014),
yang mendapatkan ibu yang tidak merokok cenderung lebih lebih banyak dibandingkan
dengan ibu yang merokok aktif tetapi ibu yang berpeluang melahirkan bayi dengan BBLR
ialah ibu yang terpapar dengan asap rokok dari suami, keluarga, atau lingkungan
sekitar (perokok pasif). (Susilowati, 2016).
Berdasarkan mengonsumsi alkohol, ibu yang tidak mengonsumsi alkohol lebih banyak
daripada ibu yang mengonsumsi alkohol. Hal ini didukung dengan penelitian yang
dilakukan oleh Adi dalam Mahayana, dkk (2015) yang mendapatkan ibu yang tidak
mengonsumsi alkohol lebih banyak. (Susilowati, 2016)
Berdasarkan infeksi pada ibu, infeksi yang paling tersering terjadi ialah keputihan. Ibu
yang tidak mengalami infeksi lebih banyak dibandingkan ibu yang mengalami infeksi.
Hal ini didukung dengan penelitian oleh Adi dalam Mahayana, dkk (2015) dengan hasil
ibu yang tidak memiliki infeksi lebih banyak. (Susilowati, 2016).
Berdasarkan hamil ganda, ibu yang tidak memiliki kehamilan ganda lebih banyak
dibandingkan yang memiliki kehamilan ganda. Hal ini didukung dengan penelitian oleh
Tjekyan (2010), yang mendapat- kan kehamilan ganda merupakan faktor tersering pada
BBLR karena pasokan darah untuk kehamilan ganda terbagi dua atau lebih untuk masing-
masing janin sehingga pasokan nutrisi terbagi. (Susilowati, 2016).
Berdasarkan riwayat BBLR sebelumnya, ibu yang tidak memiliki riwayat BBLR lebih
banyak. Hal ini didukung dengan penelitian oleh Adi dalam Mahayana, dkk (2015)
yang mendapatkan ibu yang tidak memiliki riyawat BBLR sebelumnya lebih banyak
dibanding yang memiliki riwayat sebelumnya. (Susilowati, 2016).
Berdasarkan komplikasi, ibu yang tidak memiliki komplikasi pada kehamilan lebih
banyak. Hal ini didukung dengan penelitian oleh Puspita et al dadalam (Zendrato, dkk,
2015),dengan hasil yang serupa.
Berdasarkan kelahiran prematur, neonatus yang lahir dengan kelahiran prematur atau
dismatur hampir sama jumlahnya. Hal ini didukung dengan penelitian oleh Adi dalam
Mahayana, dkk (2015) , yang melaporkan jumlah kasus BBLR yang diakibatkan kelahiran
prematur atau dismatur hampr sama banyak tetapi menurut Nelson menyebutkan bahwa
kejadian berat badan lahir rendah di negara berkembang, termasuk Indonesia, lebih banyak
untuk kejadian dismatur dibandingkan prematur.
Berdasarkan kelainan bawaan, hal ini didukung dengan penelitian oleh Adi dalam
Mahayana, dkk (2015) yang mendapatkan kelainan kongenital tidak mempunyai
hubungan bermakna secara statistik dengan BBLR. (Susilowati, 2015)
Kusumawati. DD, Septiyaningsih. R, dan Kania. 2014. Faktor-Faktor Ibu Yang Mempengaruhi
Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR). STIKES Al-Irsyad Al-Islamiyyah Cilacap. Jurnal
Kesehatan Al-Irsyad (JKA), Vol. X, No. 2, September 2016
Latar Belakang
Penyebab utama tingginya AKB adalah Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR). Bayi yang
terlahir dengan BBLR berisiko kematian 35 kali lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang
berat badan lahirnya diatas 2500 gram. BBLR dapat berakibat jangka panjang terhadap
tumbuh kembang anak dan memiliki risiko penyakit jantung dan diabetes di masa yang
akan datang (Trihardiani 2011 dalam Kumuwati, dkk, 2014).
BBLR adalah bayi baru lahir yang berat badannya pada saat kelahiran kurang dari 2500
gram (Pantiawati, 2010) dan (IDAI, 2008) menegaskan bahwa BBLR merupakan bayi
yang dilahirkan dengan berat lahir < 2500 gram tanpa memandang usia gestasi.Klasifikasi
BBLR menurut (Proverawatidan Ismawati, 2010) yaitu: menurut harapan hidupnya
(BBLR, BBLSR, BBLER), menurut masa gestasinya (premature, dismature). Adapun faktor
yang menyebabkan terjadinya kejadian BBLR (Proverawati dan Ismawati, 2010) adalah
sebagai berikut : Faktor Ibu (usia, paritas dan riwayat penyakit), Faktor Janin (kelainan
kromosom, infeksi janin kronik, radiasi, disautonomis familial). (Kusumawati, Dkk, 2014).
Hasil
Analisis Bivariat
Analisis bivariat mencakup analisis hubungan usia, paritas dan komplikasi
kehamilan dengan kejadian BBLR. Analisis dalam penelitian ini menggunakan chi
square, data diolah dengan menggunakan software SPSS. Analisis bivariat ini merupakan
gambaran kasar karena variabel perancunya tidak dikontrol.
Hubungan usia dengan kejadian BBLR

Hasil uji chi square menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara faktor usia
ibu dengan kejadian BBLR di RSUD Cilacap Tahun 2014 ( p = 0,177 <  = 0,05).
Berdasarkan nilai OR = 1,58 dapat dinyatakan bahwa usia ibu merupakan faktor risiko
terjadinya BBLR. Ibu hamil pada kelompok usia berisiko 1,58 kali lebih besar mengalami
BBLR dibandingkan dengan ibu hamil pada kelompok tidak berisiko. (Kusumawati, 2014).
Hubungan paritas dengan kejadian BBLR
Hasil uji chi square menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara faktor
paritas ibu dengan kejadian BBLR di RSUD Cilacap Tahun 2014 ( p = 0,550 <  = 0,05).
Berdasarkan nilai OR = 1,43 dapat dinyatakan bahwa paritas ibu merupakan faktor risiko
terjadinya BBLR. Ibu hamil pada kelompok paritas berisiko 1,43 kali lebih besar mengalami
BBLR dibandingkan dengan ibu hamil pada kelompok tidak berisiko.
Hubungan Komplikasi kehamilan dengan kejadian BBLR
Hasil uji chi square menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara faktor komplikasi
kehamilan ibu dengan kejadian BBLR di RSUD Cilacap Tahun 2014 ( p = 0,012 <  =
0,05). Berdasarkan nilai OR = 2,54 dapat dinyatakan bahwa komplikasi kehamilan
merupakan faktor risiko terjadinya BBLR. Ibu hamil yang mengalami komplikasi
kehamilan berisiko 2,54 kali lebih besar mengalami BBLR dibandingkan dengan ibu
hamil yang tidak mengalami komplikasi kehamilan.
Analisis Multivariat
Berdasarkan hasil analisis bivariat, variabel yang memiliki nilai p ≤ 0,25 adalah faktor usia
(p = 0,177), dan faktor komplikasi kehamilan (p = 0,012).
menunjukkan bahwa secara statistik variabel komplikasi kehamilan (p = 0,014; OR = 0,393)
merupakan faktor determinan yang mempengaruhi kejadian BBLR di RSUD Cilacap Tahun
2014.
Pembahasan
Hubungan faktor usia dengan kejadian BBLR di RSUD Cilacap Tahun 2014. Hasil uji chi
square menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara faktor usia ibu dengan
kejadian BBLR di RSUD Cilacap Tahun 2014 ( p = 0,177 <  = 0,05). Berdasarkan nilai OR
= 1,58 dapat dinyatakan bahwa usia ibu merupakan faktor risiko terjadinya BBLR. Ibu
hamil pada kelompok usia berisiko 1,58 kali lebih besar mengalami BBLR dibandingkan
dengan ibu hamil pada kelompok tidak beresiko.
Kehamilan pada usia muda merupakan faktor risiko hal ini disebabkan belum
matangnya organ reproduksi untuk hamil, sehingga dapat merugikan kesehatan ibu maupun
perkembangan dan pertumbuhan janin yang memudahkan terjadinya BBLR
(Manuaba,1998), sedangkan menurut Wikipedia (2010) pada umur diatas 35 tahun
meskipun mereka telah berpengalaman, tetapi kondisi badannya serta kesehatannya
sudah mulai menurun sehingga dapat mempengaruhi janin intra uterin dan dapat
menyebabkan kelahiran BBLR, dimana angka kejadian tertinggi BBLR adalah pada
wanita yang berusia dibawah 20 tahun dan lebih dari 35 tahun, angka kejadian
terendah pada usia 20-35 tahun.
Hubungan faktor paritas dengan kejadian BBLR di RSUD Cilacap Tahun 2014.
Hasil uji chi square menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara faktor
paritas ibu dengan kejadian BBLR di RSUD Cilacap Tahun 2014 ( p = 0,550 <  = 0,05).
Berdasarkan nilai OR = 1,43 dapat dinyatakan bahwa paritas ibu merupakan faktor risiko
terjadinya BBLR. Ibu hamil pada kelompok paritas berisiko 1,43 kali lebih besar mengalami
BBLR dibandingkan dengan ibu hamil pada kelompok tidak berisiko.
Hasil Penelitian ini tidak sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pada primipara terkait
dengan belum siapnya fungsi organ dalam menjaga kehamilan dan menerima kehadiran
janin, keterampilan ibu untuk melaksanakan perawatan diri dan baynya serta faktor
psikologis ibu yang masih belum stabil (Rochyati, 2003), Sedangkan menurut Wiknjosastro
(2002), ibu yang pernah melahirkan anak empat kali atau lebih karena paritas yang
terlalu tinggi akan mengakibatkan terganggunya uterus terutama dalam hal fungsi
pembuluh darah. Kehamilan yang berulang-ulang akan menyebabkan kerusakan pada
dinding pembuluh darah uterus, hal ini akan mempengaruhi nutrisi ke janin pada kehamilan
selanjutnya sehingga dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan yang selanjutnya akan
melahirkan bayi dengan BBLR.
Hubungan faktor komplikasi kehamilan dengan kejadian BBLR di RSUD Cilacap Tahun
2014.

Hasil uji chi square menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara faktor komplikasi
kehamilan ibu dengan kejadian BBLR di RSUD Cilacap Tahun 2014 ( p = 0,012 <  = 0,05).
Berdasarkan nilai OR = 2,54 dapat dinyatakan bahwa komplikasi kehamilan merupakan
faktor risiko terjadinya BBLR. Ibu hamil yang mengalami komplikasi kehamilan berisiko
2,54 kali lebih besar mengalami BBLR dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak mengalami
komplikasi kehamilan
Faktor determinan yang berhubungan dengan kejadian BBLR di RSUD Cilacap
Tahun 2014.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara statistik variabel komplikasi kehamilan (p =
0,014; OR = 0,393) merupakan faktor determinan yang mempengaruhi kejadian BBLR
di RSUD Cilacap Tahun 2014. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian di RSU
Margono tentang BBLR didapatkan bahwa adanya riwayat kehamilan yang berisiko
(gangguan/komplikasi selama hamil) mempunyai resiko 16,4 kali lebih besar untuk
terjadi BBLR dibandingkan dengan riwayat kehamilan yang tidak beresiko
(OR=16,4;95% CI=4,6- 59,1).Adanya penyakit selama hamil mempunyai risiko 6kali
lebih besar untuk terjadinya BBLR dibandingkan dengan tidak ada penyakit selama
hamil (OR=6; 95% CI=1,9-19,0).

Reza, dkk., Determinan Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah. di kecamatan Sumberasih Kabupaten
Probolinggo. 2013. Surabaya. Departemen Biostatistika dan Kependudukan FKM UNAIR Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Airlangga. Jurnal Biometrika dan Kependudukan, Vol. 3, No. 2 Desember 2014: 96–106

Latar belakang
Menurut Saraswati (2006) risiko kematian pada umur < 1 tahun pada bayi dengan BBLR sebesar 17
kali lipat dibandingkan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). BBLR bersifat
multifaktor sehingga BBLR sulit dicegah. Faktor yang dapat menyebabkan BBLR adalah
faktor ibu (usia, paritas, jarak kehamilan, riwayat penyakit, sosial ekonomi, perilaku), faktor
janin, faktor plasenta, dan faktor lingkungan. Beberapa penelitian lain menjelaskan faktor yang
mempengaruhi BBLR antara lain adalah kebiasaan ibu sebagai contoh merokok atau terpapar asap
rokok, konsumsi kafein, riwayat penyakit ibu selama mengandung seperti pre ekslamsia, ekslamsia,
hipertensi, anemia, dan malaria. Faktor lain yang berperan pula dalam kaitannya dengan BBLR
adalah jarak kehamilan, tingkat pendidikan, sosial ekonomi, status gizi ibu, dan. kualitas serta
kuantitas pemeriksaan antenatal (Proverawati & Isnawati, 2010; Pantiawati, 2010; Ohlsson &
Shah, 2008).
Determinan BBLR dan bayi prematur menurut Ohlsson & Shah (2008) antara lain umur ibu,
paritas ibu, jarak kelahiran, perencanaan kehamilan, antropometri ibu, keterpaparan asap
rokok, dan antenatal care. Umur ibu terlalu muda (< 20 tahun) ataupun terlalu tua (> 35 tahun)
merupakan salah satu faktor risiko penyebab BBLR. Adapun umur ideal bagi ibu untuk melahirkan
adalah umur 20–35 tahun (Rohan & Siyoto, 2013). Umur ibu terlalu muda mempunyai organ
reproduksi yang belum matang sehingga suplai aliran darah ke servik dan uterus berkurang. Hal
tersebut dapat mengakibatkan kurangnya asupan bagi janin yang sedang berkembang (Ohlsson &
Shah, 2008). Pada ibu dengan umur > 35 tahun organ kandungan yang dimiliki telah mengalami
penuaan, kakunya jalan lahir, dan perubahan pada jaringan organ reproduksi (Rochjati, 2011).
Ditinjau dari sudut pandang kematian maternal, paritas 1 dan paritas 3 (paritas tinggi) berisiko
meningkatkan kematian pada ibu, sedangkan paritas 4 dapat meningkatkan risiko kematian pada ibu
dan bayi. Parits paling aman adalah paritas 2-3. Selain paritas, jarak kehamilan kurang dari 2 tahun
atau lebih dari 3 tahun ( jarak kelahiran tinggi) dapat meningkatkan risiko kematian pada ibu yang
sering hamil. Jarak kehamilan yang pendek menyebabkan ibu terlalu payah akibat hamil, risiko
perdarahan, anemia pada ibu, kecacatan bayi, serta bayi berat badan lahir rendah (Prawiroharjo,
2010). Sekitar sepertiga dari kelahiran hidup dan setengah dari seluruh kehamilan merupakan
kehamilan yang tidak diinginkan. Kehamilan yang tidak diinginkan (unwanted pregnancy)
merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya stres pada ibu hamil. Kehamilan yang tidak
diinginkan bersamaan dengan stres tersebut seringkali mempunyai dampak terhadap hasil
kehamilan ibu seperti BBLR (Ohlsson & Shah, 2008).
Pertumbuhan janin yang sedang dikandung dapat dipengaruhi oleh status gizi ibu pada waktu
pembuahan. Salah satu cara untuk menentukan status gizi adalah dengan cara mengukur
antropometri. Antropometri yang diukur untuk menentukan status gizi ibu hamil adalah dengan
mengukur lingkar lengan atas (LILA) dan kenaikan berat badan ibu hamil. Ambang batas LILA
pada wanita usia subur yang tidak berisiko Kekurangan Energi Kronis (KEK) di Indonesia adalah
23,5 cm, apabila LILA < 23,5 cm atau dibagian merah pita LILA maka wanita tersebut
mempunyai risiko KEK (Supariasa, 2002; Pudjiadi, 2003).
Paparan asap rokok merupakan semua bahan kimia yang berasal dari pembakaran rokok
yang terhirup oleh perokok maupun bukan perokok. Beberapa bahan kimia yang dapat
menganggu kehamilan adalah nikotin dan karbon monoksida. Nikotin dikonversi dalam darah ibu
menjadi kointin yang kemudian teralirkan keplasenta. Faktor lain yang berakitan dengan BBLR
adalah Antenatal care (ANC). ANC dapat mengidentifikasi beberapa risiko masalah kehamilan
dan menyediakan konseling dan penanganan lebih lanjut. Meskipun secara biologis ANC belum
diketahui keterikatannya dengan kehamilan, tapi secara tidak langsung dapat mendeteksi awal
masalah kehamilan (Ohlsson & Shah, 2008). Jumlah kunjungan ANC Kebijakan program yang
diterapkan pada pelayanan antenatal adalah menetapkan kunjungan yang dilakukan adalah
minimal sebanyak 4 kali selama kehamilan, dengan rincian: minimal 1 kali pada trimester
pertama (K1), minimal 1 kali pada trimester kedua (K2), dan minimal 2 kali pada trimester ketiga
(K3 dan K4) (Dirjen BKM & Dirjen KIA, 2010). Standar pelayanan minimal (SPM) pelayanan
ANC menurut Kemenkes RI (2013) antara lain timbang badan dan ukur tinggi badan, ukur
tekanan darah, skrining imunisasi tetanus (serta pemberian Tetanus Toksoid), ukur LILA, ukur
denyut jantung janin (DJJ), ukur tinggi fundus uteri, pemberian tablet Fe (besi), dan temu wicara.
Tujuan pada penelitian ini adalah menganalisis determinan bayi dengan BBLR di Kecamatan
Sumberasih Tahun 2013. Determinan yang dianalisis berupa faktor demografi (umur, paritas, jarak
kehamilan, dan perencanaan kehamilan), antropometri ibu, keterpaparan asap rokok, dan antenatal
care.
Variabel dependen pada penelitian ini adalah kejadian bayi dengan BBLR. Determinan yang
diteliti pada penelitian ini adalah umur ibu, paritas, jarak kehamilan, perencanaan kehamilan,
antropometri ibu, keterpaparan asap rokok, dan antenatal care. Bayi dengan BBLR adalah berat
badan bayi baru lahir yang ditimbang yang kurang dari 2500 gram, BBLR berkaitan dengan
kesakitan serta kematian baik janin maupun bayi, gangguan perkembangan kognitif, dan berisiko
terkena penyakit kronis pada hidupnya (Ohlsson
& Shah, 2008).
Umur ibu merupakan umur ibu ketika melahirkan. Umur ibu berisiko yaitu umur ibu yang <
20 tahun atau > 35 tahun. Paritas ibu adalah jumlah anak lahir hidup yang telah dilahirkan
seorang wanita. Paritas berisiko yaitu ibu yang pertama kali melahirkan atau melahirkan > 3
anak. Jarak kehamilan adalah rentang waktu kehamilan terakhir dengan kehamilan
sebelumnya. Jarak kehamilan berisiko yaitu ibu yang hamil < 2 tahun setelah kehamilan
sebelumnya/anak pertama atau ibu yang hamil > 3 tahun setelah kehamilan sebelumnya.
Perencanaan Kehamilan merupakan kehamilan yang dialami berdasar pada keinginan pasangan suami
istri (sudah terencana). Variabel atropometri ibu berupa ukuran Lingkar Lengan
Atas (LILA) ibu. LILA ibu yang berisiko yaitu
< 23,5 cm. Variabel keterpaparan asap rokok yang dimaksud adalah dalam lingkungan responden
terdapat anggota keluarga yang merokok di sekitar/dekat dengan ibu hamil selama masa
kehamilan. Variabel antenatal care (ANC) pada penelitian ini dinilai dari segi kuantitas maupun
kualitas pelayanan ANC. Penilaian kuantitas berdasarkan jumlah kunjungan ibu selama
kehamilan. Penilaian kualitas berdasarkan kelengkapan pemeriksaan yang didapat ibu selama masa
kehamilan. Kategori pada variabel ANC yaitu buruk jika kuantitas atau kualitas tidak sesuai dengan
Standar Pelayanan Minimal (SPM), dan baik jika kuantitas dan kualitas sesuai dengan SPM.

Hasil
Hubungan antara Determinan BBLR dengan kejadian BBLR
Kejadian BBLR pada tahun 2013 di Kecamatan Sumberasih sebanyak 62 kasus dari total
kelahiran hidup yaitu 1009 kelahiran hidup, atau sebanyak 6,14% dari kelahiran hidup. Jumlah kasus
BBLR terbanyak berada di Sumur Mati yaitu berjumlah 12,9% kasus di susul oleh Muneng Kidul
yaitu sebanyak 11,3% kasus. Adapun pada Desa Mentor tidak ada kasus BBLR pada tahun 2013.
BBLR yang disebabkan prematur di Kecamatan Sumberasih sebesar 41,94% dari total bayi
dengan BBLR. BBLR yang disebabkan prematur tertinggi di Sumur Mati sebesar
19,2%. Pada desa Sumber Bendo 100% kasus bayi dengan BBLR merupakan bayi yang lahir
prematur.
Kematian akibat BBLR di Kecamatan Sumberasih sebesar 5 bayi atau sebesar 8,06% dari
total bayi yang BBLR. Sebesar 40% kematian bayi akibat BBLR terjadi di Desa Posangit Leres.
Kematian bayi dengan BBLR di Desa Posangit Leres 33,3% dari total bayi dengan BBLR pada desa
tersebut. Masing-masing sebesar 20% kematian bayi dengan BBLR di Kecamatan Sumberasih
terjadi di Desa Pesisir, Sumur Mati, dan Jangur.
Tabel 2 menjelaskan distribusi variabel penelitian berdasarkan kelompok kasus dan
kelompok pembanding serta menggambarkan hasil hubungan antara variabel bebas yang berupa
umur ibu, jumlah anak (paritas), jarak kehamilan, perencanaan kehamilan, antropome triibu (LILA
ibu), keterpaparan asap rokok, Antenatal Care (ANC) dengan variabel terikat yang berupa
kejadian bayi dengan BBLR. Pada variabel umur ibu ketika hamil, bayi dengan BBLR cenderung
dilahirkan oleh ibu dengan umur berisiko. Bayi dengan BBLN cenderung dilahirkan oleh ibu
dengan umur tidak berisiko. Terdapat hubungan antara umur ibu saat hamil dengan kejadian BBLR
di Kecamatan Sumberasih Tahun 2013. Pada variabel paritas ibu, bayi dengan BBLR cenderung
dilahirkan oleh ibu dengan paritas berisiko. Bayi dengan BBLN cenderung dilahirkan oleh ibu
dengan paritas tidak berisiko. Tidak terdapat hubungan antara paritas ibu saat hamil dengan kejadian
BBLR di Kecamatan Sumberasih Tahun 2013.
Pada variabel jarak kehamilan, bayi dengan BBLR dan BBLN cenderung dilahirkan oleh ibu
yang memiliki jarak kehamilan berisiko yaitu anak pertama, < 2 tahun, atau > 3 tahun. Tidak
terdapat hubungan antara jarak kehamilan ibu dengan kejadian BBLR di Kecamatan Sumberasih
Tahun 2013.
Pada variabel perencanaan kehamilan, bayi dengan BBLR dan BBLN cenderung dilahirkan oleh
ibu yang merencanakan kehamilannya. Tidak terdapat hubungan antara perencanaan kehamilan
dengan kejadian BBLR di Kecamatan Sumberasih Tahun 2013.
Pada variabel antropometri ibu, bayi dengan BBLR dan BBLN cenderung dilahirkan oleh
ibu yang memiliki LILA tidak berisiko yaitu LILA ibu > 23,5 cm. Namun proporsi bayi dengan
BBLR yang dilahirkan oleh ibu dengan antropometri berisiko dua kali lebih besar daripada
proporsi bayi dengan BBLN yang dilahirkan oleh ibu dengan antropometri berisiko. Terdapat
hubungan antara antropometri ibu dengan kejadian BBLR di Kecamatan Sumberasih Tahun 2013.
Pada variabel keterpaparan asap rokok selama hamil, bayi dengan BBLR cenderung
dilahirkan oleh ibu yang terpapar asap rokok selama kehamilan. Bayi dengan BBLN cenderung
dilahirkan oleh ibu yang tidak terpapar asap rokok selama kehamilan. Terdapat hubungan antara
keterpaparan asap rokok terhadap ibu selama hamil dengan kejadian BBLR pada di Kecamatan
tahun 2013.
Pada variabel ANC, bayi dengan BBLR dan BBLN cenderung dilahirkan oleh ibu yang ANC-nya
baik yaitu kuantitas dan kualitas kunjungannya teratur dan sesuai SPM. Namun proporsi bayi
dengan BBLR yang dilahirkan oleh ibu dengan ANC buruk dua kali lebih besar daripada
proporsi bayi dengan BBLN yang dilahirkan oleh ibu dengan ANC buruk. Tidak terdapat
hubungan antara kunjungan ANC ibu selama hamil dengan kejadian BBLR di Kecamatan
Sumberasih Tahun 2013.

Determinan BBLR di K e c a m a t a n Sumberasih


Pada uji multivariat menggunakan regresi logistik perlu dilakukan screening variabel dengan
ketentuan nilai signifikansi pada uji hubungan < 0,25. Variabel yang disertakan pada uji regresi
selanjutnya yaitu umur, paritas, antropometri ibu, keterpaparan asap rokok selama kehamilan, dan
ANC. Variabel jarak kehamilan, dan perencanaan kehamilan tidak disertakan pada uji regresi
karena signifikansi pada variabel tersebut > 0,25 sehingga tidak dapat dianalisis oleh regresi
logistik.
Setelah dilakukan pengujian secara bersama- sama untuk melihat kemungkinan terjadinya
interaksi antar variabel diperoleh hasil yang terdapat pada Tabel 3 mengenai hasil akhir variabel
yang berpengaruh secara dominan dengan uji regresi logistik.
Berdasarkan besar risiko yang didapat setelah uji pengaruh maka LILA ibu yang
berisiko merupakan faktor risiko terbesar untuk melahirkan bayi dengan BBLR di Kecamatan
Sumberasih. Rincian nilai Odds Ratio (OR) di Kecamatan Sumberasih Tahun 2013 pada umur ibu
yang berisiko nilai OR sebesar 3,294, maka dapat diartikan risiko kejadian BBLR 3,294 kali lebih
besar pada ibu hamil yang mempunyai usia <20 atau >35 tahun daripada ibu yang berusia 21-35
tahun. Nilai OR pada LILA ibu berisiko sebesar 3,678 kali lebih besar pada antropometri ibu hamil
yang mempunyai LILA <23,5 dari pada ibu yang memiliki LILA >23,5. Nilai OR pada ibu yang
terpapar asap rokok selama kehamilan sebesae 2,910, maka dapat diartikan bahwa risiko kejadian
BBLR 2,910 kali lebih besar pada ibu hamil yang terpapar asap rokok selama kehamilan daripada ibu
yang tidak terpapar rokok selama masa kehamilan. Berdasarkan hasil uji pengaruh dengan
menggunakan regresi logistik untuk mendapatkan variabel yang berpengaruh secara dominan.
Hubungan antara Determinan BBLR dengan Kejadian BBLR
Kasus BBLR di Kecamatan Sumberasih pada Tahun 2013 berjumlah 62 kasus atau sebesar 6,14%
dari total kelahiran hidup. Determinan BBLR yang berpengaruh terhadap kejadian BBLR pada
penelitian ini adalah umur ibu, antropometri ibu, dan keterpaparan asap rokok selama kehamilan.
Variabel lainnya yang tidak berhubungan terhadap kejadian BBLR yaitu paritas, jarak kehamilan,
perencanaan kehamilan, dan antenatal care. Hasil analisis hubungan pada variabel umur didapat
hasil bahwa umur ibu berhubungan dengan kejadian BBLR. Ibu hamil dengan umur < 21
tahun berisiko untuk melahirkan bayi BBLR karena secara biologis organ reproduksi ibu belum
matang. Organ reproduksi yang belum matang dapat menyebabkan berkurangnya suplai aliran
darah ke serviks dan uterus yang dapat mengakibatkan kurangnya asupan nutrisi terhadap janin
yang sedang berkembang. Sementara pada ibu hamil dengan usia > 35 tahun organ reproduksi telah
mengalami perubahan. Organ reproduksi telah mengalami penuaan dan berpotensi untuk adanya
kekakuan pada jalan lahir. Ibu yang berumur >35 tahun lebih rentan terkena berbagai macam
penyakit sehingga dapat mengakibatkan beberapa risiko yang dapat merugikan bagi kandungan.
Risiko pada ibu hamil dengan umur > 35 tahun di antaranya adalah tekanan darah tinggi, ketuban
pecah dini, persalinan macet, perdarahan, serta berisiko melahirkan bayi dengan berat kurang dari
2500 gram (Rochjati, 2011). Hasil analisis hubungan pada variabel antropometri ibu didapat hasil
bahwa LILA ibu berhubungan dengan BBLR. Faktor penentu terjadinya BBLR tidak hanya saat
kehamilan saja, tetapi juga sebelum kehamilan. Maka dari itu status gizi ibu sebelum hamil
seharusnya dalam keadaan baik. Pada masa kehamilan kebutuhan akan zat-zat makanan bertambah,
sehingga ketika kehamilan asupan gizi harus adekuat agar tidak terjadi gangguan pertumbuhan
janin. Kekurangan Energi Kronis (KEK) merupakan cerminan dari ibu yang menderita kekurangan
makanan yang berlangsung lama atau kronis (beberapa bulan atau tahun). Hal tersebut dapat
dideteksi dini dengan mudah melalui cara mengukur LILA wanita usia subur. LILA yang berisiko
yaitu LILA yang ukurannya < 23,5 cm (Ohlsson & Shah, 2008). Hasil analisis hubungan pada
variabel paparan asap rokok didapat hasil bahwa paparan asap rokok selama kehamilan
berhubungan dengan BBLR. Beberapa bahan kimia yang dapat mengganggu kehamilan adalah nikotin
dan karbon monoksida. Nikotin dikonversi dalam darah ibu menjadi kointin yang kemudian teralirkan
ke plasenta. Perokok pasif dapat menyebabkan penurunan sekitar 25 gram pada bayi yang lahir. Hal
tersebut diperkuat oleh Misra & Nguyen (1999) yang membahas 11 studi tentang keterpapan asap rokok
dalam lingkungan, menemukan bahwa terjadi penurunan berat badan bayi bagi ibu yang terpapar asap
rokok sekitar
25–125 gram (Ohlsson & Shah, 2008).
Pada variabel paritas ibu dan jarak kehamilan didapat hasil bahwa tidak ada hubungan antara
variabel paritas dan jarak kehamilan terhadap kejadian BBLR. Sebagian besar primigravida
(kelahiran pertama) belum mampu beradaptasi terhadap hormon estrogen dan gonadotropin,
berbeda dengan muligravida yang lebih siap terhadap perubahan fisik dan mental ketika masa
kehamilan karena pengalaman kehamilan sebelumnya, ibu primigravida memerlukan adaptasi
yang lebih untuk kesiapan fisik dan mentalnya. Sedangkan pada jarak kehamilan kurang dari 2
tahun dan lebih dari 3 tahun (jarak kelahiran tinggi) dapat meningkatkan risiko kematian pada ibu
yang sering hamil. Jarak kehamilan yang pendek menyebabkan ibu terlalu payah akibat hamil, risiko
perdarahan, anemia pada ibu, kecacatan bayi, serta bayi berat badan lahir rendah (Manuaba, 2010;
Prawiroharjo,2010).
Pada penelitian ini variabel paritas dan jarak kehamilan tidak berhubungan dikarenakan
kunjungan ANC secara rutin yang dilakukan oleh ibu hamil merupakan salah satu upaya untuk
mencegah terjadinya BBLR. Kunjungan kehamilan yang teratur yang sesuai dengan prosedur
pemeriksaan merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan
terhadap kejadian BBLR. Sebesar 78,6% ibu hamil yang melakukan kunjungannya secara rutin dan
mendapat pelayanan sesuai SPM. Pada kegiatan pemeriksaan kehamilan akan dilakukan
pemeriksaan pada kesehatan ibu dan kandungan sehingga mampu mengurangi komplikasi
kehamilan yang berpontensi untuk melahirkan bayi BBLR dan gangguan kehamilan lainnya.
Pada variabel perencanaan kehamilan didapat hasil bahwa tidak ada hubungan antara perencanaan
kehamilan dengan kejadian BBLR. Sebagian besar ibu di Kecamatan Sumberasih pada Tahun 2013
merencanakan kehamilannya (75,7%), namun kejadian BBLR masih tinggi. Hal ini dapat disebabkan
oleh faktor internal ibu ataupun eksternal seperti ekonomi, sosial, dan budaya. Faktor internal ibu di
antaranya adalah gizi ibu yang dapat diukur dari LILA serta usia ibu. Kecukupan gizi ibu berperan
dalam pemenuhan asupan gizi janin. Apabila gizi ibu tidak mencukupi maka asupan nutrisi untuk
janin juga akan terhambat dan berpotensi untuk melahirkan bayi BBLR. Selain itu, perencanaan
kehamilan juga tidak didukung dengan usia ibu ketika hamil. Sebesar 31,4% ibu hamil berusia < 20
tahun. Usia ibu yang muda dengan organ reproduksi yang belum matang maka dapat menyebabkan
kelahiran bayi BBLR meskipun kehamilan tersebut telah direncanakan. Pada variabel ANC
didapat hasil bahwa tidak ada hubungan antara ANC dengan kejadian BBLR. Hasil tersebut
dikarenakan pelayanan ANC yang dilakukan oleh ibu hamil sudah baik. Hal tersebut tercermin dari
keberadaan Poskesdes pada setiap desa dan dilengkapi bidan desa pada setiap Poskesdes. Setiap bulan
terdapat kegiatan posyandu yang ditujukan pada bayi, balita, dan bumil. Sehingga pelayanan kesehatan
masyarakat khususnya ibu hamil terpenuhi dengan baik. Oleh karena itu pelayanan ANC yang baik
dapat menurunkan faktor risiko ibu melahirkan bayi dengan BBLR.]
ANC yang dilakukan sudah baik, tetapi kejadian BBLR masih tinggi. Hal tersebut dikarenakan
walaupun dalam pelayanan ANC terdapat pemeriksaan kesehatan ibu serta beberapa konseling
khususnya konseling gizi, namun follow up yang dilakukan oleh ibu belum memadai. Upaya
perbaikan gizi oleh ibu belum terlaksana secara maksimal. Hal ini disebabkan oleh faktor ekonomi,
pengetahuan ibu, dan kesadaran ibu terhadap kesehatan diri dan kandungan. Kondisi ekonomi yang
rendah menghambat upaya ibu dalam memenuhi kebutuhan gizi ibu dan kandungan selama
kehamilan. Pengetahuan serta kesadaran ibu juga berperan dalam pengambilan keputusan untuk
memprioritaskan kesehatan ibu dan kandungan.
D e t e r m i n a n B B L R d i K e c a m a t a n Sumberasih
BBLR disebabkan tidak hanya karena satu faktor saja, tetapi disebabkan oleh beberapa faktor,
hal tersebut menjadikan BBLR seringkali sulit untuk dicegah. Teori menyebutkan beberapa faktor
yang dapat mengakibatkan terjadinya BBLR antara lain faktor ibu (usia, paritas, jarak kehamilan,
riwayat penyakit, sosial ekonomi, perilaku), faktor janin, faktor plasenta, dan faktor lingkungan.
Beberapa penelitian lain menjelaskan faktor yang mempengaruhi BBLR antara lain adalah
kebiasaan ibu sebagai contoh merokok atau terpapar asap rokok, konsumsi kafein, riwayat
penyakit ibu selama mengandung seperti pre ekslamsia, ekslamsia, hipertensi, anemia, dan
malaria. Faktor lain yang berperan pula dalam kaitannya dengan BBLR adalah jarak kehamilan,
tingkat pendidikan, sosial ekonomi, status gizi ibu, dan. kualitas serta kuantitas pemeriksaan
antenatal (Proverawati, 2010). Beberapa faktor yang pada penelitian ini secara multivariat
berpengaruh yaitu umur ibu, LILA ibu, dan keterpaparan asap rokok. Umur ibu dan LILA ibu
merupakan faktor penyebab langsung, karena dua hal tersebut melekat pada diri ibu hamil.
Keterpaparan asap rokok merupakan faktor ekternal, sebab keterpaparan asap rokok merupakan
paparan yang terjadi bukan dari perilaku individu ibu, tetapi merupakan faktor lingkungan di luar
diri ibu. Umur ibu terlalu muda bisa menyebabkan BBLR karena secara biologis belum
matangnya organ reproduksi sehingga suplai aliran darah ke servik dan uterus berkurang yang mana
mengakibatkan kurangnya asupan nutrisi terhadap janin yang sedang berkembang. Organ
kandungan ibu yang hamil > 35 tahun sudah menua, kakunya jalan lahir dan perubahan pada
jaringan alat reproduksi kemudian pada umur yang >35 tahun rentan terkena berbagai macam
penyakit, hal tersebut dapat mengakibatkan bebrapa resiko yang dapat merugikan bagi
kandungan seperti tekanan darah tinggi, ketuban pecah dini, persalinan macet, perdarhan, serta
berisiko melahirkan bayi dengan verat kurang dari 2500 gram (Rochjati, 2011).
Faktor penyebab BBLR lainnya yaitu LILA ibu. Kekurangan Energi Kronis (KEK)
merupakan cerminan dari ibu yang menderita kekurangan makanan yang berlangsung lama atau
kronis (beberapa bulan atau tahun).
Hal tersebut dapat dideteksi dini dengan mudah melalui cara mengukur LILA wanita usia
subur. LILA yang berisiko yaitu LILA yang ukurannya < 23,5 cm. Faktor penentu terjadinya
BBLR tidak hanya saat kehamilan saja, tetapi juga sebelum kehamilan, maka dari itu status
gizi ibu hamil seharusnya dalam keadaan baik. Ketika kehamilan pun asupan gizi harus adekuat
agar tidak terjadi gangguan pertumbuhan janin. Beberapa faktor penyebab gangguan pertumbuhan
janin terkait mekanisme adalah asupan gizi ibu, pasokan gizi ke uterus dan plasenta, transpor nurtrisi
melalui plasenta, dan pengaturan nutrisi janin (Depkes RI, 1996; Ohlsson & Shah, 2008).
Keterpaparan asap rokok dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya BBLR. Beberapa
bahan kimia yang dapat mengganggu kehamilan adalah nikotin dan karbon monoksida. Nikotin
dikonversi dalam darah ibu menjadi kointin yang kemudian teralirkan ke plasenta. Perokok pasif
dapat menyebabkan penurunan sekitar 25 gram pada bayi yang lahir.
Hal tersebut diperkuat oleh Misra & Nguyen (1999) yang membahas 11 studi tentang
keterpapan asap rokok dalam lingkungan, menemukan bahwa terjadi penurunan berat badan
bayi bagi ibu yang terpapar asap rokok sekitar 25–125 gram (Ohlsson & Shah, 2008). Determinan
BBLR di Kecamatan Sumberasih Tahun 2013 antara lain yaitu umur ibu < 20 tahun atau > 35
tahun, LILA ibu < 23,5, dan keterpaparan asap rokok.
Semakin banyak risiko yang dimiliki seorang ibu hamil maka semakin besar pula
kemungkinan untuk melahirkan bayi dengan BBLR. Berdasarkan perhitungan menggunakan
rumus permodelan maka apabila seorang ibu hamil memiliki faktor risiko berupa umur berisiko,
LILA berisiko, dan terpapar asap rokok selama kehamilan maka ibu tersebut memiliki kemungkinan
untuk melahirkan bayi dengan BBLR sebesar 80%.
Husein Samir. 2014. Pengaruh Antenatal Care terhadap Kejadian Berat bayi lahir rendah (BBLR). Departemen
Biostatistika dan Kependudukan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga. Jurnal Biometrika dan
Kependudukan, Vol. 3, No. 2 Desember 2014: 160–167

Latar belakang
Salah satu penyebab kematian bayi dan neonatus adalah bayi dengan berat badan yang rendah
saat lahir atau yang biasa disebut Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR). Menurut World Health
Organization (WHO) BBLR didefinisikan sebagai kondisi di mana berat bayi saat lahir kurang dari
2.500 gram (5,5 pon) sebagai salah satu hasil dari kelahiran prematur (sebelum 37 minggu
kehamilan) atau sudah cukup bulan, namun kondisi fisik bayi saja yang terlalu lemah dan kecil.
BBLR sangat erat hubungannya dengan morbiditas dan mortalitas neonatus. BBLR
mempunyai risiko kematian 20 kali lebih tinggi daripada bayi dengan berat lahir normal. BBLR
juga meningkatkan morbiditas bayi seperti gangguan neurologis, keterlambatan pertumbuhan,
perkembangan kognitif, dan berisiko menderita penyakit-penyakit kronik seperti penyakit
kardiovaskular, hipertensi, dan penurunan kecerdasan (WHO, 2004). Menurut UNICEF, penyebab
kematian neonatal terbesar (34%) disebabkan oleh kondisi bayi yang kecil (berat badan lahir sangat
rendah hingga rendah. Secara global, diperkirakan 15% dari bayi, atau lebih dari 1 dari 7 bayi
mempunyai berat kurang dari 2.500 gram saat lahir. Lebih dari separuh dari seluruh kasus berat bayi
lahir rendah di seluruh dunia berada di Asia Selatan (termasuk Indonesia) di mana lebih dari 1 dari
4 bayi yang dilahirkan mengalami berat lahir rendah (UNICEF, 2012).
Salah satu upaya dalam safe motherhood adalah antenatal care yang memadai. Antenatal care
adalah pemeriksaan kehamilan untuk mengoptimalkan kesehatan mental dan fisik ibu hamil
sehingga mampu menghadapi persalinan, kala nifas, persiapan pemberian ASI dan kembalinya
kesehatan reproduksi secara wajar. (Kemenkes RI, 2013).
Kualitas antental care diukur dengan kriteria ibu hamil memeriksakan kehamilan di pelayanan
kesehatan medis (dokter, bidan, puskesmas atau perawat terlatih), pernah mendapatkan pelayanan
atau tindakan sesuai standar Kementrian Kesehatan RI (ukur berat badan, ukur tekanan darah,
ukur lingkar lengan atas, periksa perut, penapisan imunisasi TT, mendapat tablet Fe, tes golongan
darah dan Hb serta mendapatkan penyuluhan gizi dan komplikasi kehamilan) dan keturutsertaan
suami atau keluarga untuk mengantar saat periksa kehamilan minimal satu kali. Kualitas antenatal
care dikatakan baik jika memenuhi semua kriteria tersebut.
Hubungan Kuantitas Antenatal Care dan
Kejadian BBLR
Tabel 2 menunjukkan pada kelompok bayi BBLR, ibu dengan kuantitas antenatal care buruk
sebanyak 28 orang (70%) dan kuantitas antenatal baik sebanyak 12 orang (30%). Pada kelompok
bayi berat lahir normal, ibu dengan kuantitas antenatal buruk sebesar 5 orang (12,5%) dan kuantitas
antenatal baik sebesar 35 orang (87,5%). Hasil tersebut menunjukkan bahwa proporsi bayi BBLR
lebih banyak terjadi pada ibu dengan kuantitas antenatal care yang buruk (70%) dibandingkan
dengan kelompok bayi berat lahir normal yang hanya sebesar 5%.
Tabel 3 diketahui nilai p sebesar 0,000 dan Exp (B) sebesar 16,333. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa kuantitas antenatal care mempengaruhi kejadian BBLR pada α = 0,05. Ibu
yang memiliki kuantitas antenatal care yang buruk berisiko 16,333 kali melahirkan bayi BBLR
dibandingkan ibu dengan kuantitas antenatal care yang baik.

Hubungan Kualitas Antenatal Care dan


Kejadian BBLR
Pada tabel 4 menunjukkan sebagian besar (67,5%) responden memiliki kualitas antenatal care
yang buruk. Pada kelompok bayi BBLR ibu hamil dengan kualitas antenatal care buruk sebanyak
33 (82,5%) dan kualitas antenatal care baik sebanyak 7 orang (17,5%).
Pada kelompok bayi berat lahir normal ibu dengan kualitas antenatal care buruk adalah
sebanyak 52,5% dan kualitas antenatal care baik sebanyak 19 orang (47,5%). Hasil tersebut
menunjukkan bahwa gambaran proporsi kualitas antenatal care buruk lebih banyak pada kelompok
bayi BBLR (82,5%) dibandingkan dengan kelompok bayi berat lahir normal
(52,5%).
Tabel 5 menunjukkan bahwa sebagian besar (96,3%) responden telah memeriksakan
kehamilan pada pelayanan kesehatan medis (puskesmas, dokter, bidan atau perawat terlatih).
Aspek pelayanan yang diterima saat memeriksakan kehamilan yang paling banyak tidak
didapatkan oleh responden adalah KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) efektif tentang
tanda-tanda komplikasi saat hamil yaitu sebesar 57,5% dan pemeriksaan laboratorium rutin (cek Hb
dan golongan darah) yaitu sebesar
45%. Keikutsertaan suami/anggota keluarga dalam mengantar memeriksakan kehamilan
minimal satu kali yaitu sebesar 91,25% responden mengaku pernah di antara saat memeriksakan
kehamilan.
Tabel 6 diketahui nilai p sebesar 0,006 dan Exp (B) sebesar 4,265. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa kualitas antenatal care mempengaruhi kejadian BBLR pada α= 0,05. Ibu yang
memiliki kualitas antenatal care yang buruk berisiko 16,333 kali melahirkan bayi BBLR
dibandingkan ibu dengan kualitas antenatal care yang baik.
Hubungan Kuantitas Antenatal Care dan
Kejadian BBLR
Antenatal care adalah pemeriksaan kehamilan untuk mengoptimalkan kesehatan mental dan
fisik ibu hamil sehingga mampu menghadapi persalinan, kala nifas, persiapan pemberian ASI
dan kembalinya kesehatan reproduksi secara wajar (Manuaba, 2010). Antenatal care
bertujuan untuk mencegah adanya komplikasi obstetri bila mungkin dan memastikan bahwa
komplikasi dideteksi sedini mungkin serta ditangani secara memadai serta menjalani kehamilan
dengan sehat, bersalin dengan selamat, dan melahirkan bayi yang sehat (Kemenkes RI, 2010).
Kuantitas antenatal care adalah layanan pemeriksaan kesehatan ibu hamil ke fasilitas kesehatan
sesuai standar prosedur yang berlaku terkait kuantitas yaitu kunjungan minimal 1 (satu) kali di
Trimester I dan II dan kunjungan. minimal 2 (dua) kali di Trimester III (Kemenkes RI, 2010).
Pelaksanaan kegiatan pelayanan antenatal sering digambarkan secara kuantitas pelayanan melalui
jumlah atau frekuensi kunjungan ibu ke tempat pemeriksaan kesehatan selama masa kehamilannya.
Di Indonesia, kunjungan pemeriksaan menjadi indikator dalam menilai pelayanan antenatal.
Indikator tersebut adalah dengan melihat kunjungan pertama (K1) dan kunjungan ke-4 (K4). K1
adalah kontak pertama ibu hamil dengan tenaga kesehatan yang mempunyai kompetensi, untuk
mendapatkan pelayanan terpadu dan komprehensif sesuai standar. Kontak pertama harus
dilakukan sedini mungkin pada trimester pertama, sebaiknya sebelum minggu ke 8. Sedangkan K4
adalah ibu hamil dengan kontak 4 kali atau lebih dengan tenaga kesehatan yang mempunyai
kompetensi, untuk mendapatkan pelayanan terpadu dan komprehensif sesuai standar
(Kemenkes RI,
2010). Menurut Kemenkes RI (2013), frekuensi minimal pemeriksaan kehamilan adalah 4 kali
selama kehamilan yaitu satu kali pada usia kehamilan satu sampai tiga bulan atau sebelum minggu
ke-16 (trimester I), satu kali pada usia kehamilan empat sampai enam bulan atau antara minggu 24–
28 (trimester II) dan dua kali pada usia kehamilan tujuh sampai sembilan bulan, satu kali di antara
minggu 30–32 dan satu kali antara minggu 36–38 (trimester III).
Di Indonesia, kunjungan (frekuensi) pemeriksaan menjadi indikator dalam menilai
antenatal care. Indikator tersebut adalah dengan melihat kunjungan pertama (K1) dan kunjungan ke-
4 (K4). K1 adalah kontak pertama ibu hamil dengan tenaga kesehatan yang mempunyai
kompetensi, untuk mendapatkan pelayanan terpadu dan komprehensif sesuai standar. Kontak
pertama harus dilakukan sedini mungkin pada trimester pertama, sebaiknya sebelum minggu ke 8
dengan maksud untuk skrining risiko kehamilan dan pencegahan komplikasi. Sedangkan K4
adalah ibu hamil dengan kontak
4 kali atau lebih dengan tenaga kesehatan yang mempunyai kompetensi, untuk mendapatkan
pelayanan terpadu dan komprehensif sesuai standar (Kemenkes RI, 2010).
Hubungan Kuantitas Antenatal Care dan
Kejadian BBLR
Kualitas antenatal care yang diberikan akan mempengaruhi kesehatan ibu hamil dan janinnya, ibu
bersalin dan bayi baru lahir serta ibu nifas (Kemenkes R1, 2010). Menurut Kemenkes RI
(2010), dalam antenatal care hendaknya tenaga kesehatan harus dapat memastikan bahwa
kehamilan berlangsung normal, mampu mendeteksi dini masalah dan penyakit yang dialami ibu
hamil, melakukan intervensi secara adekuat sehingga ibu hamil siap untuk menjalani persalinan
normal. Antenatal care sesuai standar meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik (umum dan kebidanan),
pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi (Depkes RI, 2004).
Hasil penelitian ini terdapat pengaruh antara kualitas antenatal care terhadap kejadian BBLR. Hasil
tersebut dikarenakan sebagian besar (67,5%) dari seluruh responden memiliki catatan kualitas
antenatal care yang buruk terutama pada kelompok kasus yaitu sebesar 82,5%. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Simarmata (2010) bahwa ibu dengan
kualitas antenatal care buruk selama kehamilan berisiko
2,22 kali melahirkan bayi BBLR.

Anda mungkin juga menyukai