Wellcompletion
Wellcompletion
Wellcompletion
WELL COMPLETION
Gambar 5.1
Open Hole Completion
(Allen, 1982)
Metode ini hanya dipakai untuk formasi yang terkonsolidasi dengan baik,
sehingga tidak mudah gugur. Ciri formasinya adalah tebal dan tekanan formasinya
relatif rendah.
Dalam mengevaluasi well performance standart yang dipakai ialah PI dari
open hole yang menembus seluruh zona atau lapisan produktif dimana tidak ada
gangguan permeabilitas di sekitar lubang sumurnya.
Jenis komplesi sangat cocok diterapkan pada reservoar solution gas drive.
Pemakaian open hole completion pada suatu formasi mempunyai beberapa
keuntungan atau beberapa kelemahan.
Keuntungan metode ini :
1. Laju produksi dapat maksimum
2. Sumur mudah untuk dilakukan pemboran yang lebih dalam
3. Tidak memerlukan biaya perforasi
4. Penggantian sistem komplesi mudah dilakukan
5. Interpretasi log memberikan hasil yang cukup baik.
Kelemahan metode ini :
1. Produksi gas dan air sulit dikontrol
2. Lebih banyak workover atau clean-out
3. Sukar dilakukan stimulasi secara selektif.
Faktor yang perlu diperhatikan dalam perencanaan sistem komplesi ini
adalah kestabilan formasi, dimana hal ini sangat berkaitan dengan terjadinya
keruntuhan lubang bor.
Gambar 5.2
Perforated Casing Completion
(Allen, 1982)
Pada perforated casing completion, casing disemen sepanjang interval
produktif kemudian casing tersebut diperforasi. Adapun keuntungan dan kerugian
dari metode perforated completion adalah sebagai berikut :
Keuntungan perforated completion adalah :
1. Produksi gas dan air yang berlebihan dapat dikontrol
2. Lubang sumur mudah untuk diperdalam lagi
3. Stimulasi dapat dilakukan secara selektif
4. Aliran pasir dapat ditahan oleh casing
5. Daerah produktif dapat diseleksi dengan perforasi
6. Frekwensi workover lebih sedikit
7. Multiple completion dapat diterapkan dengan baik.
Kerugian perforated completion adalah :
1. Biaya untuk perforasi cukup mahal
2. Kemungkinan kerusakan formasi lebih besar
3. Hasil interpretasi log kurang teliti
4. Timbulnya gangguan dari hasil perforasi.
Interval formasi yang akan diperforasi dipilih berdasarkan reservoar
water drive dan karakteristik formasi produktif, yaitu :
1. Untuk reservoar dengan water drive tidak ada gas cap dan formasi
homogen, perforasi harus dibuat pada puncak zona minyak.
2. Jika water drive dan gas cap drive keduanya ada, casing harus diperforasi
lebih dekat ke water oil contact (WOC) daripada ke gas oil contact
(GOC), karena air biasanya lebih mudah diatasi daripada gas.
3. Jika tidak ada water drive dan minyak didorong ke sumur oleh
pengembangan gas drive, maka casing harus diperforasi serendah
mungkin, hal ini dimaksudkan agar pengembangan gas di dalam tudung
gas dapat mendorong minyak yang di bawahnya ke lubang perforasi.
4. Pada solution gas drive, perforasi dapat dilakukan pada semua lapisan
produktif. Selective perforation hanya dilakukan pada satu tempat saja
untuk tiap lapisan produktif, dimana teknik untuk mendapatkan laju
produksi yang terbatas.
Disamping faktor di atas, pengaruh ketidakseragaman batuan reservoar
dengan kondisi permeabilitas batuan yang tidak seragam perlu juga diperhatikan
di dalam penempatan interval komplesi. Dimana kesalahan dalam penempatan
interval perforasi pada kondisi tersebut dapat mengakibatkan terjadinya
“channeling”. Untuk mencegah hal ini maka penempatan interval perforasi adalah
jauh dari zona gas pada gas cap drive dan di zona air pada water drive reservoar.
Untuk menghindari terjadinya kondisi di atas, maka perlu mengetahui
distribusi keseragaman batuan reservoar yang dapat diperoleh dari analisa data-
data logging ataupun coring, test PBU dll. Untuk itu perlu perencanaan interval
perforasi dan posisinya sehingga laju produksi minyak dapat mencapai optimum.
5.2.1.3.Liner Completion
Merupakan metode yang digunakan untuk menyelesaikan sumur-sumur
yang mempunyai problem kepasiran dan formasi yang kurang kompak. Beberapa
metode tersebut adalah metode screen liner, gravel pack dan sand consolidation.
Gambar 5.3
Screen Liner Completion
(Nind, 1958)
Perforated Liner Completion
Casing dipasang sampai puncak formasi produktif dan disambung dengan
casing liner yang disemen dan diperforasi. Seperti halnya dengan screen liner,
perforated liner completion juga mempunyai beberapa keuntungan, yaitu :
Produksi air dan gas dapat dikontrol
Stimulasi dapat dilakukan dengan selektif.
Disamping itu juga mempunyai beberapa kelemahan diantaranya yaitu :
Fluida mengalir ke dalam sumur tidak dengan diameter penuh
Operasi penyemenan sulit dilakukan
Terdapat penambahan biaya untuk perforasi, penyemenan dan rig time
Interpolasi log kritis.
Gambar 5.4
Perforated Liner Completion
(Buzzarde, Jr., LE., 1972)
B. Gravel pack completion
Metode ini digunakan bila screen liner yang digunakan masih belum bisa
mengatasi masalah kepasiran, terutama untuk formasi unconsolidated sand.
Pemilihan ukuran screen diambil dari analisa ukuran butir sample core. Gravel
yang baik harus dapat menahan invasi partikel halus dari formasi dan berkwalitas
tinggi. Gravel pack completion dapat juga dilakukan secara open hole atau
perforated.
Pada Gambar 5.5. diperlihatkan pemasangan gravel pack yang meliputi :
1. Formasi produktif yang akan digravel diperforasi, kemudian lubang sumur
dibersihkan dari pasir formasi.
2. Rangkaian pipa diturunkan, kemudian gravel diinjeksikan dengan tekanan
tertentu.
3. Screen liner dengan packer diturunkan disertai dengan pipa pembersih
(wash pipe) untuk membersihkan pasir yang ada di dalam lubang sumur.
4. Setelah selesai penempatan screen liner pada kedalaman yang diinginkan,
maka wash pipe-nya diangkat.
Gambar 5.5
Skema Sistem Gravel Pack
(Buzzarde, Jr., LE., 1972)
C. Sand Consolidation
Masalah kepasiran juga terjadi di dalam formation completion yang secara
alamiah tidak terkonsolidated. Dalam hal ini para ahli mencoba untuk
meningkatkan pengontrolan pasir dengan menggunakan konsolidasi batuan. Cara
ini dikenal dengan sand consolidation.
Metode sand consolidation umumnya dilakukan pada lapisan tipis dengan
butiran yang relatif besar, permeabilitas seragam (uniform) dan clean sand.
Prinsip dari metode ini adalah menginjeksikan bahan kimia ke dalam lapisan pasir
dimana bahan kimia ini sewaktu mengeras akan memberikan daya ikat yang kuat
antara butiran pasir yang lepas-lepas tersebut, dan akhirnya akan memperbaiki
sementasi antara butiran pasir tersebut.
Ada dua sistem pengkonsolidasian pasir yang biasa digunakan, yaitu
sistem overflush dan sistem fase separation.
Sistem Overflush, penginjeksian larutan resin diikuti oleh fluida lain untuk
mendorong resin masuk ke dalam formasi dan mengurangi saturasi resin di dekat
lubang bor untuk mendapatkan permeabilitas yang memadai. Sistem ini dapat
diaktifkan sebelum atau sesudah penempatan di permukaan atau di dalam formasi.
Sistem Fase Separation, resin mengalami polimerisasi di dalam larutan dengan
cepat hingga mencapai permukaan lapisan pasir sebelum pengerasan berakhir.
Pada sistem ini aktivator dicampur dengan larutan resin sebelum penginjeksian
berlangsung.
5.2.2.1.Single Completion
Merupakan metode completion yang hanya menggunakan satu production
string dimana sumurnya hanya memiliki satu lapisan produktif. Jadi walaupun
sumur mempunyai beberapa zona produktif, tetapi bila hanya satu zona saja yang
diproduksikan secara bergantian melalui satu production string, maka metode
tersebut termasuk single completion.
Gambar 5.6 menunjukkan susunan umum dari casing, tubing dan packer untuk
sistem single completion.
Gambar 5.6
Single Completion
(Allen, 1982)
Single completion ini dapat diterapkan baik pada open hole maupun
perforated casing completion. Hal ini tergantung dari kondisi reservoar serta
lapisan produktifnya. Sistem open hole dilakukan bila dirasa batuan zona
produktif cukup kuat dan kompak, sedang perforated casing completion dilakukan
bila keadaan batuan formasi produktifnya kurang kompak, dan atau lapisan
diselingi oleh adanya lapisan gas dan atau air.
Sedangkan berdasarkan cara memproduksikan minyak ke permukaan, ada
bermacam-macam jenis single completion, yaitu :
Flowing Well-Casing Flow
Aliran ke atas melalui casing tanpa dibatasi oleh tubing ataupun packer. Jenis
komplesi ini hanya dilakukan untuk sumur yang mempunyai rate produksi
yang sangat tinggi, seperti ditunjukkan oleh Gambar 5.7.
Gambar 5.7
Flowing Well Casing Flow
(Buzzarde, Jr., LE., 1972)
Flowing Well-Casing dan Tubing Flow
Fluida reservoar diproduksikan melalui casing dan tubing, dan jenis ini
digunakan bila rate produksinya cukup tinggi. Adanya tubing string dapat
digunakan sebagai kill string dan media untuk injeksi bahan kimia, seperti
ditunjukkan pada Gambar 5.8.
Gambar 5.8
Flowing Well – Casing and Tubing Flow
(Buzzarde, Jr., LE., 1972)
Pumping Well
Jenis komplesi ini digunakan untuk sumur yang berproduksi dengan cara
artificial lift menggunakan sucker rod. Tempat kedudukan tubing dan pompa
dipasang pada suatu kedalaman di bawah working fluid level. Pompa dan rod
string dipasang di tengah-tengah di dalam tubing, seperti ditunjukkan oleh
Gambar 5.9.
Gambar 5.9
Pumping Well
(Buzzarde, Jr., LE., 1972)
Flowing Well-Tubing Flow
Untuk jenis komplesi ini, rangkaian tubing dan packer dipasang bersama,
sehingga aliran fluida produksi hanya lewat tubing saja, seperti terlihat pada
Gambar 5.10.
Gambar 5.13
Commingle Completion dengan Tubing Multiple Packer
(Allen, 1982)
5.2.2.3.Multiple Completion
Merupakan metode yang digunakan untuk sumur yang memiliki lebih dari
satu zone atau lapisan produktif, dimana tiap-tiap zone produktif diproduksikan
sendiri-sendiri secara terpisah sesuai dengan produktivitas serta jarak masing-
masing zone, sehingga dapat memaksimalkan perolehan minyak. Dengan cara
multiple completion ini pengontrolan produksi dari masing-masing zona dan juga
kerusakan alat dan formasi dapat dilakukan dengan mudah. Tetapi kerugiannya
terletak pada besarnya biaya yang dikeluarkan, karena tiap-tiap zona harus
memiliki peralatan sendiri, juga peralatan untuk menanggulangi masalah scale
atau korosi.
Gambar 5.14
Dual Well dengan Two Alternated Completion
(Allen, 1982)
B. Triple Completion
Dilakukan untuk tiga zona produktif, dengan tiga buah string dan packer,
namun komplesi dapat dilakukan dengan dua atau tubing yang telah ada.
Keuntungan dari metode ini adalah laju produksi yang dapat diperoleh cukup
besar, tetapi karena terdapat dua atau tiga tubing dan packer, maka
pemasangannya sulit dan modal yang digunakan cukup besar (Gambar 4.15).
Keuntungan dari metode multiple completion :
1. Kerusakan dari masing-masing lapisan mudah terdeteksi
2. Kelakuan dari masing-masing lapisan dapat diperkirakan
3. Masing-masing lapisan dapat diproduksikan sesuai dengan kapasitasnya
4. Diperoleh minyak yang maksimal dari tiap-tiap lapisan
5. Pemilihan dan perencanaan artificial lift dapat dilakukan dengan baik dan
teliti.
Gambar 5.15
Multiple – Packer Completion
(Allen, 1982)
Sedangkan kelemahan dari metode multiple completion ini adalah antara lain
sebagai berikut :
1. Biayanya cukup mahal bila dibandingkan dengan single completion
2. Kemungkinan penerapan artificial lift perlu biaya tinggi karena tiap lapisan
memerlukan peralatan sendiri
3. Untuk perbaikan pipa produksi cukup mahal.
5.2.2.4.Tubingless Completion
Dalam metode ini tidak digunakan production tubing tetapi digunakan casing
berukuran kecil. Biasanya digunakan casing berukuran 2 7/8 inchi. Konfigurasi
triple tubingless completion ini dapat dilihat pada Gambar 4.19.
Metode ini sesuai untuk sumur yang mempunyai umur produksi panjang,
adanya pekerjaan stimulasi antara lain : acidizing, fracturing, sand control, dan
masalah-masalah lain yang memerlukan stimulasi atau treatment. Sedangkan
untuk sumur-sumur yang memproduksikan fluida yang bersifat korosif, maka
pemilihan metode ini tidak cocok, karena casing produksi disemen secara
permanen.
Gambar 5.16
Triple Tubingless Completion
(Buzzarde, Jr., LE., 1972)
Beberapa keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan metode ini adalah
1. Mengurangi biaya, karena biaya komplesi awal dan workover di masa
mendatang lebih murah :
a. Penggunaan casing produksi yang besar dapat dihindarkan
b. Tidak memerlukan pemasangan packer, tubing dan peralatan produksi
lainnya.
2. Tidak ada ketergantungan dari masing-masing zona dan masing-masing zona
dapat diproduksikan tanpa mengganggu lapisan atau zona yang lain
3. Tidak ada kebocoran akibat tubing dan packer
4. Artificial lift, penutupan atau workover suatu zona tidak mengganggu zona
yang lain
5. Prosedur workover, squeeze cementing, stimulasi atau plug back lebih
sederhana dan memerlukan waktu yang lebih singkat.
Sedangkan kerugian akibat pemakaian metode ini antara lain :
1. Laju produksi terbatas
2. Pengontrolan korosi dan parafin lebih kritis
3. Stimulasi atau treatment dengan laju yang tinggi lebih sulit dilakukan
4. Pengontrolan zona pasir yang tebal lebih sulit dilakukan
5. Resiko yang tinggi akibat adanya fluida sumur.
Gambar 5.17
Rangkaian Peralatan wellhead Completion
(Buzzarde, Jr., LE., 1972)
Disamping itu juga memberikan hubungan annulus casing dan tubing
melalui outlet samping. Pemilihan tubing head untuk single completion maupun
untuk multiple completion didasarkan pada perencanaan mangkuk tubingnya.
Tabel IV-1
Seri tekanan kerja peralatan wellhead
(Nind, 1964)
Max cold working Hydrostatic test
Former corresponding
Pressure Pressure
Series designation
Psi Psi
960 1400 Series 400
2000 4000 Series 600
3000 6000 Series 900
5000 10000 Series 1500
10000 15000 Series 22900
10000* 15000
15000 22500
Adapun bagian-bagian dari peralatan tubing head adalah sebagai berikut:
1. Top flange, disini dilengkapi dengan lockscrew yang
berfungsi untuk menahan tubing hanger pada tempatnya dan memberikan
tekanan pada tubing hanger seal dan seal annulus
2. Tubing hanger, fungsinya untuk menggantung tubing dan
memberikan penyekat antara tubing dengan tubing head
3. Outlet, merupakan saluran keluar yang jumlahnya bisa
satu atau dua buah
4. Lower flange, merupakan tempat untuk memasang bit
guide dan secondary seal.
Tubing head pada umumnya digunakan pada tekanan kerja 960, 2000,
3000, 5000, dan 10000 psi. didalam pemilihan tubing head, faktor-faktor di bawah
ini yang harus dipertimbangkan untuk perawatan dan pengontrolan yang baik
pada sumur, yaitu:
Lower flange dari tubing head harus mempunyai ukuran dan tekanan kerja
yang sesuai dengan top flange dari casing head sebelumnya, atau cross-
over sebelumnya.
Memilih bit guide dan secondary seal yang sesuai ukurannya dengan
rangkaian casing yang digunakan untuk produksi fluida sumur.
Besarnya tekanan kerja dari tubing head harus sama atau lebih besar harga
tekanan permukaan pada saat sumur ditutup (shut-in pressure).
Ukuran flange bagian atas harus sesuai dengan ukuran tubing hanger yang
diperlukan, adaptor flange dan blow aut preventernya.
Tubing head harus mempunyai saluran keluar yang sesuai dengan ukuran
dan tekanan kerjanya.
Tubing head harus sesuai dengan semua kemungkinan keadaan produksi,
seperti pumping dan gas lift.
Untuk tubing head yang mempunyai ukuran 6 inchi, maka top flange
minimum harus mempunyai ukuran 6 5/ inchi, dimana akan memberikan
pembukaan penuh (fuul opening0 sampai 7 inchi, atau rangkaian peralatan
produksi yang mempunyai ukuran lebih kecil. Bila digunakan production string
dengan ukuran 7 5/ inchi, maka harus dilakukan pemilihan tubing head dengan
pembukaan penuh untuk ukuran bit 6 ¾ inchi.
Adapun ukuran lower flange berkisar antara 6 inchi sampai 20 inchi,
sedangkan ukuran top flange berkisar antara 6 inchi sampai 12 inchi
5.3.1.1.Kondisi Reservoir
Kondisi reservoir meliputi tekanan dan temperatur yang mempengaruhi
fluida formasi yang masuk ke dalam lubang bor, aliran fluida dan karakteristik
batuan formasi sendiri. Dalam perencanaan well completion secara keseluruhan,
perlu diperhatikan faktor-faktor di atas, agar di dapat hasil produksi yang optimal.
Kekompakan batuan dapat diperkirakan dari faktor sementasi yang diberikan oleh
persamaan Archie, yaitu :
F = �m............................................................................................... (5-1)
dimana :
F = faktor formasi, yaitu perbandingan antara Ro (resitivitas minyak pada
saturasi air 100 %) dan Rw (resitivitas air formasi).
� = porositas batuan
m = faktor sementasi
Dengan mengetahui besarnya m dari formasi produktif, dapat ditentukan
jenis dari formation completion. Tabel V-2 menunjukkan hubungan antara m dan
kekompakan batuan.
Tabel V-2
Litologi dan faktor sementasi (m)
(Craft, B.C., 1962)
2. MER Sumur
MER Sumur adalah laju produksi maksimum dari suatu sumur
yang diijinkan agar tidak terjadi kerusakan formasi reservoir dan
pemakaian energi yang tidak efisien.
Untuk pembatasan laju produksi sumur juga dilakukan agar
penggunaan energi didalam reservoir berlangsung dengan efisien. Adanya
bermacam jenis mekanisme pendorong reservoir yang ditimbulkan gas dan
air, maka ikut terproduksinya air dan gas akan mengurangi jumlah
perolehan minyak. Untuk dapat mencapai perolehan minyak secara
maksimum, maka usaha yang dilakukan adalah menentukan laju produksi
optimum pada tiap-tiap sumur.
5.3.1.4.Kestabilan Formasi
Faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap sifat kestabilan formasi adalah
sebagai berikut :
1. Sementasi batuan
2. Kandungan lempung
3. Kekuatan formasi.
1. Sementasi Batuan
Kekompakan batuan dapat diperkirakan dari faktor sementasi yang diberikan oleh
persamaan Archie Pers. (5-1).
Dengan mengetahui besarnya m dari formasi produktif, dapat ditentukan jenis
formation completion yang cocok. Bila harga m < 1.4 maka cocok menggunakan
perforated cased hole, bila > 1.4 maka dapat open hole.
2. Kandungan Lempung
Lempung atau disebut Clay, merupakan mineral yang biasanya terdapat
dalam batupasir, pada batuan sedimen lempung berfungsi sebagai semen.
Lempung mempunyai sifat mengikat air atau water wet (Montmorilonit
merupakan lempung yang paling reaktif terhadap air/ mudah menyerap air),
dimana apabila mineral lempung bertemu dengan air formasi maka mineral
lempung akan mengembang (swelling) sehingga butir batuan yang diikat lempung
akan mudah terlepas dan akan bergerak mengikuti aliran airnya. Kadar mineral
lempung yang terkandung dalam batuan formasi dapat dihitung besarnya dengan
analisa data logging.
3. Kekuatan Formasi
Kekuatan formasi merupakan kemampuan dari formasi untuk menahan
butiran pasir. Txier et.al menyatakan bahwa kekuatan formasi terhadap kepasiran
tergantung pada kekuatan dasar formasi atau “Intrinsic strength of formation” dan
kemampuan pasir formasi untuk membentuk lingkaran yang stabil disekitar
lubang perforasi. Kekuatan formasi batuan dapat ditentukan dengan persamaan
sebagai, yaitu :
s d
Vsh ........................................................................................ (5-2)
s
0,125V sh 0,27 ............................................................................ (5-3)
1,34 x 1010 1 2 b
G ................................................................... (5-3)
21 t
2
1 1,34 x 101 2 b
..................................................................... (5-4)
31 t
2
Cb
G
1,34 x 10 20
1 2 1 b 2
................................................. (5-5)
Cb 21 x 31 t 4
dimana :
Vsh = kadar shale, fraksi d = porositas dari density log, %
1/Cb = bulk modulus, psi s = porositas dari sonic log, %
G = shear modulus, psi b = bulk density, gr/cc
T = transite time, sec/feet δ = poison’s ratio, tanpa dimensi.
Dari perbandingan antara shear modulus dan bulk modulus (G/Cb) pada
Persamaan (5-10) maka besarnya kekuatan formasi dapat ditentukan.
Untuk menentukan apakah formasi bersifat labil atau stabil, menurut
Dempsey suatu lapangan bersifat kritis terhadap masalah kepasiran, misal
lapangan Gulf Coast G/cb kritisnya sebesar 0,8 x 1012 psi2. Ini berarti untuk
formasi dengan G/cb < 0,8 x 10 12 psi2, maka formasi tersebut akan memproduksi
pasir, sedang apabila formasi dengan G/cb > 0,8 x 1012 psi2, formasi tersebut tidak
memproduksi pasir.
Maksimum sand free flow rate atau laju produksi maksimum tanpa
menimbulkan kepasiran dapat ditentukan dengan menganggap bahwa gradient
tekanan maksimum dipermukaan kelengkungan pasir, yaitu pada laju produksi
maksimum tanpa kepasiran berbanding langsung dengan kekuatan formasi.
Dengan perkataan lain bahwa apabila produksi menyebabkan tekanan
kelengkungan pasir formasi akan mulai bergerak atau ikut terproduksi.
Untuk menentukan laju produksi kritis yang diperkenankan atau
maksimum sand free flow rate dari formasi batuan, Stein memberikan persamaan
untuk laju kritis sebagai berikut :
0,025 10 6 k z N z G z At
Qz .................................................... (5-6)
B z z Az
dimana :
Qz = laju produksi kritis, stb/hari
kz = permeabilitas formasi batuan, md
Nz = jumlah lubang perforasi
Gz = modulus geser,
At = luas kelengkungan butir pasir pada kondisi test
μz = viscositas fluida, cp
Az = luas kelengkungan butir pasir pada kondisi pengamatan, ft2
Bz = faktor volume formasi, bbl/stb.
Apabila pada sumur yang memiliki lebih dari satu lapisan produktif
dengan perbedaan tekanan formasi cukup besar, Psu (tekanan upper zone) lebih
besar dari Psl (tekanan lower zone) dilakukan single completion, maka perbedaan
tekanan tersebut berpengaruh terhadap kemampuan produksi dari lapisan yang
bertekanan lebih rendah karena adanya “interflow”. Fenomena ini ditujukan oleh
Gambar 5.19.
Terjadinya interflow akibat Psu lebih besar dari Psl dapat dijadikan sebagai
berikut :
Pwfl = Pwfu + Gf h ............................................................................... (5-7)
Drawdown Pressure untuk upper zone = Psu - Pwfu
Drawdown Pressure untuk lower zone = Psl - Pwfl
karena
(Psu – Pwfu) = (Psl – Pwfu – Gf h)
Maka perbedaan tekanan yang menyebabkan interflow adalah :
Plf = Psu – Psl + Gf h ......................................................................... (5-8)
dimana :
Plf = perbedaan tekanan yang menyebabkan interflow, psi
Psu = tekanan formasi upper zone, psig
Psl = tekanan formasi lower zone, psig
Pwfu = tekanan aliran dasar sumur upper zone, psig
Pwfl = tekanan dasar sumur lower zone, psig
Gf = gradien tekanan fluida produksi, psi/ft
h = perbedaan kedalaman antara upper zone dan lower zone, ft
Gambar 5.19.
Fenomena terjadinya interflow
akibat adanya perbedaan tekanan formasi antara dua lapisan Produktif
(Uren, L.C., 1956)
Fenomena interflow tidak akan terjadi jika cara komplesi yang digunakan
adalah multiple completion, sehingga setiap lapisan atau zone produktif dapat
diproduksikan sesuai dengan produktivitas formasinya.
Pengaruh laju produksi dan gas liquid ratio terhadap pressure loss adalah
bahwa pada laju produksi yang rendah dapat terjadi kehilangan tekanan yang
besar. Hal ini disebabkan pada kecepatan rendah gas yang ada dalam larutan
mendapat kesempatan untuk melepaskan diri dari larutan sehingga akan terjadi
slippage. Makin besar laju produksi maka kehilangan tekanan karena slippage
makin kecil dan akan mencapai minimum pada liquid hold up tertentu. Bila laju
produksi diperbesar maka kehilangan tekanan makin besar lagi karena gesekan
dengan tubing menjadi besar.
Pada laju produksi yang rendah misalnya kurang dari 50 bbl/day, maka
ukuran tubing yang paling kecil adalah yang paling effisien, karena kehilangan
tekanan yang terjadi akibat slippage akan lebih rendah pada ukuran tubing kecil
dibandingkan dengan ukuran tubing yang lebih besar. Apabila laju produksi besar
maka kehilangan tekanan akibat slippage berkurang sampai pada laju produksi
tertentu, namun apabila Laju produksi diperbesar melewati batas maka kehilangan
tekanan justru akan membesar. Hal ini disebabkan gesekan pada dinding tubing
bertambah besar.
A. Pengontrolan Produksi
Pengontrolan produksi dimaksudkan agar produksi berjalan dengan laju
optimum sehingga recovery minyak yang diperoleh juga maksimum.
B. Penganalisaan Data
Sumur yang diproduksi secara multiple completion, akan diperoleh data
produksi dari tiap-tiap zona produktif. Sehingga dapat diperkirakan problem zona
produktif yang bersangkutan dan penanggulangannya dilakukan tanpa
dipengaruhi zona lain.
Suatu saat tenaga dari zona produktif tidak akan mampu mengangkat
fluida ke permukaan secara sembur alam. Untuk itu dilakukan pengangkatan
dengan tenaga buatan yang dikenal dengan artificial lift.
A. Gas Lift
Gas lift adalah suatu metode pengangkatan fluida dari lubang sumur
dengan cara menginjeksikan gas yang relatif bertekanan tinggi ke dalam kolom
lift. Injeksi gas ke suatu titik dalam sumur dimaksudkan untuk menaikkan kolom
fluida di atas titik injeksi sehingga Pwf menjadi kecil dan draw down bertambah.
Sistem yang paling sesuai untuk instalasi gas lift pada sumur comingle
adalah comingle completion dengan single tubing single packer.
B. Pumping
Prinsip kerja dari pompa adalah mengurangi Pwf secara kontinyu sehingga
terjadi aliran fluida dari formasi ke dalam lubang sumur. Pertimbangan-
pertimbangan untuk penggunaan metode pumping antara lain :
dimana :
q : rate produksi, BPD
k : permeabilitas effektif minyak, md
h : ketebalan formasi produtif, ft
Pe : tekanan formasi pada jarak re dari sumur, psi
Pwf : tekanan dasar sumur, psi
o : viscositas minyak, cp
Bo : faktor volume formasi minyak, bbl/STB
rw : jari-jari sumur, ft
re : jari-jari pengurasan, ft.
Fully penetrating well umumnya diterapkan pada sumur dengan
mekanisme pendorong reservoir berupa depletion drive diman tidak ada
akumulasi air ataupun gas.
B. Perhitungan Rate Produksi Pada Partially
Penetrating
Partialy Penetrating well merupakan sumur dengan lubang bornya hanya
mencapai sebagian dari ketebalan formasi produktif, dapat dilihat pada Gambar
5.20.
Muskat menyatakan bahwa kepasiran produksi pada partially penetrating
well adalah berbanding langsung/lurus terhadap fraksi penembusan dari ketebalan
total formasi produktif. Gambar 5.21. menunjukkan untuk ketebalan formasi
sebesar 130 ft dengan fraksi penetrasi 0,2 (26 ft) dan 0,8 (110 ft) akan didapatkan
produktivity ratio (PR) masing-masing adalah 30 % sampai 90 %. Dengan kata
lain sumur dengan kedalaman penetrasi 110 ft akan mempunyai kapasitas
produksi tiga kali lebih besar bila dibandingkan dengan sumur yang mempunyai
kedalaman penetrasi 26 ft.
Untuk kondisi ini dimana aliran fluida tidak lagi bergerak radial penuh
tetapi ada juga terjadi aliran sperical sehingga rumus yang diterapkan pada fully
penetrating well tidak bisa digunakan. Untuk itu Craft dan Hawkins telah
melakukan penyelidikan dengan berdasarkan Electric Model dan menghasilkan
perumusan perhitungan laju produksi dengan persamaan sebagai berikut :
7,082 . k . h . f .(Pe - Pwf) r
q= 1 + 7 w Cos (f . 90 0 ) .......................... (5-
o . Bo . ln (re/rw) f h
10)
Sedangkan produktivity ratio dinyatakan sebagi berikut :
r
PR = f 1 + 7 w Cos (f . 90 0 ) .............................................................. (5-11)
fh
dimana :
f : fraksi penetrasi = D/h, tanpa satuan
D : Jarak kedalaman penetrasi/lubang bor, ft.
Gambar 5.20
Partially Penetrating Well Water Drive
(Buzarde.L.E.,1972)
Gambar 5.21
Produktivity Ratio Pada Partially Penetrating Well
(Buzarde.L.E.,1972)
Dari persamaan di atas terlihat bahwa harga q (laju produksi) akan
semakin kecil untuk f semakin kecil atau jarak kedalaman lubang bor yang
semakin kecil. Sebaliknya harga laju produksi akan semakin besar bila f semakin
besar. Bila harga f = 1 atau kedalaman lubang bor sama dengan ketebalan formasi
maka persamaan akan menjadi persamaan seperti fully penetrating well.
Penerapan partially penetrating well biasanya pada reservoir water drive
untuk menghindari produksi air yang tinggi. Pada partially penetrting ada
beberapa pengaruh diantaranya adalah :
1. Pengaruh Coning
Adanya pengaruh coning dalam hubungannya dengan partial penetrasi
akan mengganggu efisiensi pengurasan sumur.
. Tinggi dari cone akan bertambah dengan bertambahnya tekanan drow-down
sumur. Tekanan drow-down maksimum tanpa menyebabkan air masuk ke dalam
sumur dapat diperkirakan sebagai berikut :
Pmax 0,433 ( SGw SGo) h max ................................................................... (5-
12)
Bila selesih specific gravity dari fluida reservoir adalah 0.30 dan jarak
vertikal antara dasar sumur dengan batas air-minyak awal adalah 10 ft, maka P max
akan didapatkan sekitar 1,00 psi. dengan demikian untuk suatu sumur dengan
produktivity index 10 STB/hari/psi, aliran maksimal tanpa menyebabkan air
masuk ke dalam sumur adalah sekitar 13 BPD.
2. Pengaruh berkurangnya tekanan dasar sumur (Pwf)
Tekanan dasar sumur pada partially penetrating adalah lebih kecil daripada
kondisi totally penetrating. Hal ini disebabkan adanya skin demage (pseudo skin
damage).
h 2 pow K rw
Qow 3,073 x 10 3
(rde , fb, w) .................................... (5-13)
o g
h 2 pog K rw
Qog 3,073 x 10 3
(rde , fb, o) .................................... (5-14)
o o
dimana :
Qow = laju produksi maksimum minyak tanpa terjadi water coning, STB/hari
Qog = laju produksi maksimum minyak tanpa terjadi gas coning, STB/hari
dg = hcg/h
hcw = hcw/h
Dari persamaan di atas, suatu syarat untuk tidak berproduksinya air dan
gas bebas ke permukaan adalah :
Qo Qow atau Qo Qog
5 rDe 80
0 fb 0,75
0,07 (hcw/h) 0,9.
Langkah-langkah penentuan interval dan posisi perforasi dengan metode
ini adalah :
1. Hitung rDe.
2. Hitung og/ow.
3. Ambil beberapa kemungkinan harga (misalnya 0,1 ; 0,2 dan seterusnya).
4. Dengan memakai grafik plot antara vs (sesuai dengan harga rDe yang
telah dihitung) dan salah satu dari beberapa kemungkina harga , akan
didapat dan g optimum berdasr harga yang telah dihitung pada langkah
2. Bila aguifer dan gas cap, kondisi maksimum laju produksi kritis secara
teoritis memenuhi Qoptimum = Qog = Qow.
5. Hitung harga melalui Persamaan (4-13) atau (4-14) dengan menggunakan
harga-harga yang telah ditentukan pada langkah 4.
6. Dengan mengetahui kemampuan sumur pada berbagai interval perforasi
maka dari berbagai harga Qoptimum yang telah dihitung pada langkah 5, dapat
ditentukan harga Qoptimum yang sesuai atau laju produksi kritis yang sesuai
dengan sumur yang bersangkutan.
7. Perhitungan-perhitungan tersebut diulangi lagi untuk harga interval
perforasi yang lain sampai diperoleh harga Q optimum yang sama atau hampir
dama dengan Qactual.
B. Perhitungan Density Perforasi
Density perforasi adalah jumlah lubang perforasi per satuan panjang (ft).
Untuk mencegah terjadinya coning, faktor utama yang harus dibatasi adalah laju
produksi water awal dari sumur tersebut akan membandingkan laju produksi dari
sumur yang diperforasi (Qp) terhadap produktivitas sumur bila dikomplesi secara
terbuka (Qo).
Dalam hal ini, makin kecil diameter perforasi, semakin besar skin
perforasinya. Dan makin banyak lubang juga makin dalam perforasinya, maka
skin semakin kecil.
Untuk menentukan harga skin faktor akibat perforasi (Sp), K.C. Hong
telah membuat beberapa nomogram seperti pada Gambar 5.22 (untuk simple
pattern) dan Gambar 5.23 (untuk staggered patterns). Gambar 5.24 berfungsi
untuk koreksi bila diameter perforasi 0,25 dan 1 inch.
Langkah-langkah untuk menentukan (Sp) dengan menggunakan
nomogram-nomogram tersebut sebagai berikut :
1. Tentukan harga :
- Diameter sumur (dw) yaitu diameter outside casing (OD) ditambah dua kali
ketebalan semen.
- Ratio permeabilitas vertikal dengan horizontal, kv/kh.
- Pola perforasi (yaitu harga perforation phasing, 0 dan interval dalam
masing-masing perforasi, h).
- Depth of penetration (dihitung dari muka semen).
2. Gunakan Gambar 5.22. (untuk simple patterns) atau Gambar 5.23. (untuk
staggered patterns) untuk mendapatkan harga (Sp). Mulailah dari sisi kiri
nomogram dan dibuat garis penghubung dengan parameter-parameter yang
telah didapat dalam langkah pertama.
3. Dengan memakai Gambar 5.24. dilakukan koreksi harga Sp dari langkah 2
untuk diameter perforasi yang berbeda. Setelah harga Sp didapat, maka dapat
dihitung harga skin total (St) apabila skin damage (Sd) diketahui, sehingga
perhitungan produktivitas sumur bisa dilakukan dengan menggunakan
Persamaan (5-18). Untuk menentukan productivity rationya dapat
menggunakan persamaan :
Gambar 5.22
Nomogram untuk menentukan perforation skin faktor (Sp),
(simple patterns, ½ inch perforation)
(Bell, W.T, 1972)
Gambar 5.23
Nomogram untuk menentukan perforation skin faktor (Sp),
(staggered patterns, ½ inch perforation)
(Bell, W.T, 1972)
qp ln re / rw
production ratio ( PR) ................................... (4-18)
q S t ln re / rw
Gambar 5.24
Koreksi Sp untuk diameter perforasi 1 inch dan 1/4 inch.
(Bell, W.T, 1972)
Apabila St berharga negatif, berarti PR akan mempunyai harga lebih dari
satu. Jadi dapat disimpulkan bahwa laju produksi sumur yang diperforasi dapat
lebih besar dari laju produksi sumur pada kondisi open hole.
III. Perhitungan Pressure Drop Perforasi
Salah satu penyebab rendahnya productivitas sumur pada perforated
completion adalah karena program pelubangan selubung (perforasi) yang tidak
memadai. Apabila kondisi ini terjadi, akan berakibat timbulnya suatu hambatan
terhadap aliran atau bertambahnya penurunan tekanan (pressure drop) dalam
formasi. Oleh karena itulah, Carl Granger dan Kermit Brown telah menggunakan
analisa Nodal untuk mengevaluasi besarnya penurunan tekanan melalui lubang
perforasi, pada berbagai harga density perforasi.
atau,
1 1
o o ln re r
4 2
2,30 x 10 Bo o r p re
2
P p
q 3
q
Lp 7,08 x 10 L p K p
4 1 1
2,30 x 10 Bo o r p re
a
Lp
o o ln re
r p
b 3
7,08 x 10 L p K p
-1=
2,33 x 1010
β = turbulence factor, ft 1, 201
Kp
dimana :
Bo = faktor volume formasi, bbl/STB
ρo = densitas minyak, lb/cuft
Lp = perforation length, ft
Kp = permeabilitas compact zone, md (kp = 0.1 k formasi, jika overbalanced
dan kp = 0.4 k formasi, jika kondisi underbalanced)
rp = jari-jari lubang perforasi, ft
re = jari-jari compact zone, ft (re = rp + 0.5 inch)
μo = viscositas minyak, cp.
Prosen berat kumulatif pasir yang tertahan pada sagan (sieve) diplot
terhadap log dari pada ukuran masing-masing saringan pada kertas grafik. Plot
dapat juga dilakukan untuk prosen berat pasir pada masing-masing saringan
terhadap ukuran masing-masing saringan. Penentuan ukuran pelubangan pada
screen liner biasanya didasarkan pada diameter butiran (pasir) pada persen
kumulatipnya. Beberapa peneliti yang memberikan batasan mengenai ukuran
lubang pada screen liner sebagai berikut:
Wilson : W = d 10 .............................................................................(5-20)
Coberly : W = 2d10..............................................................................(5-21)
Gill : W = d 15 .............................................................................(5-22)
De Priester : 0,050 in. s W s d 20 ..............................................................(5-23)
Schulmberger : 0,5 diameter gravel terkecil…………………..……… ... .. (5-24)
dimana :
W = ukuran pelubangan screen liner, inch
d10 = diameter butir pasir pada titik 10 % berat kumulatif pada kurva distribusi, in
d15 = diameter butir pasir pada titik 15 % berat kumulatif pada kurva ditribusi, in
d20 = diameter butir pasir pada titik 20 % berat kumulatif pada kurva distribusi,in.
Selain ukuran lebar celah, faktor penting lainnya adalah perencanaan
diameter screen yang akan digunakan. Perencanana dimeter screen dimaksudkan
untuk memperoleh produktivitas yang tinggi dan kemudian pengoperasikan pada
sand control dengan gravel pack. Beberapa petunjuk yang digunakan untuk
merencanakan diameter screen pada sumur-sumur yang dipasang casing, antara
lain adalah :
1. Secara praktis, diameter luar (OD) screen paling tidak berukuran 2 inch
lebih kecil dibanding diameter dalam (ID casing)
2. Screen tidak membutuhkan diameter yang lebih besar dari diameter
production string.
Tabel (V-3) dibawah ini menunjukkan diameter screen yang dianjurkan
untuk setiap diameter casing tertentu.
Disamping hal tersebut di atas, berikut ini adalah beberapa petunjuk yang
digunakan untuk merencanakan diameter dari screen pada open hole completion,
yaitu :
1. Diameter luar screen paling tidak berukuran 4 inch lebih kecil dibanding
diameter lubang sumur.
2. Screen tidak selalu membutuhkan diameter yang lebih besar dari diameter
production string.
Tabel V-3
Diameter screen yang dianjurkan
Gatlin.C.,1960)
Casing Size Maksimum Screen Diameter
OD WT ID Pipe OD Wire OD
(in) (lbs) (in) (in) (in)
4 9,5 3,5 1 1,815
4 –1/2 11,6 4,0 1-1/4 2,160
5 18,0 4,2 1-1/2 2,400
5 –1/2 17,0 4,8 2-3/8 2,875
6 5/8 24,0 5,9 3-1/2 4,000
7 29,0 6,1 3-1/2 4,000
7 5/8 33,7 6,7 4 4,500
8 5/8 36,0 7,8 5 5,500
9 5/8 47,0 8,6 5-1/2 6,000
-1
1,47 x 10 7
b = turbulence factor, ft = 0 , 55 .
ko
dimana :
Pwf = tekanan aliran dasar sumur, psig
Pwfs = tekanan aliran dasar sumur pada permukaan pasir(sandface), psig
Q = laju aliran, bbl/day
Bo = faktor volume formasi, bbl/STB
ro = densitas minyak, lb/cuft
L = length of linear flow fat, ft
ko = permeabilitas dari gravel, md
rp = jari-jari lubang perforasi, ft
mo = viscositas minyak, cp.
Gambar 5.26.
Grafik dalam menentukan laju produksi untuk ukuran tubing tertentu dan
THP tertentu.
(Nind.T.E.W.,1964)
Beberapa hal yang harus diingat mengenai penggunaan dari metode ini adalah :
1. Korelasi ini dapat digunakan untuk pipa-pipa yang ukurannya sesuai dengan
ukuran pipa-pipa yang digunakan dalam studi ini, yaitu : 2’’, 2.5’’ dan 3’’.
Penggunaan metode ini untuk ukuran pipa yang lain, harus
mempertimbangkan mengenai hasil yang diperoleh.
3. Laju aliran total digunakan untuk menghitung density pada setiap titik dalam
pipa.
4. Pola aliran diabaikan.
5. Pengaruh viskositas diabaikan. Studi oleh Ross, Hagerdorn dan Brown
menunjukkan bahwa pengaruh viskositas di atas 6 cp (atau 10 cp), perlu
diperhitungkan
Gambar 5.27
Korelasi faktor gesekan Poettman dan Carpenter
(Nind.T.E.W.,1964)
6. Komponen percepatan dalam persamaan energi diabaikan. Hal ini benar untuk
kondisi tertentu, tetapi bila kecepatan aliran sangat tinggi, maka komponen
percepatan perlu diperhitungkan.
7. Faktor gesekan dianggap merupakan harga rata-rata untuk seluruh panjang
tubing, sedangkan sebenarnya faktor gesekan berubah dari dasar sumur
sampai kepermukaan.
Poettman dan Carpenter mengembangkan korelasinya berdasarkan
persamaan energi umum, yang kemudian diubah dalam bentuk total massa laju
aliran, seperti berikut :
P 1 fw 2
5 ........................................................ (5-29)
L 144 7.413 x 10 d
10
dimana :
4. Tentukan berat total dari fluida yang terproduksi setiap hari, yaitu
merupakan perkalian antara langkah 3 denga laju aliran minyak.
5. Dimulai dari tekanan aliran dipermukaan (flowing tubing pressure) anggap
beberapa titik tekanan pada tubing sesuai dengan pertambahan tekanan.
Pertambahan tekanan ini harus cukup kecil, supaya diperoleh grafik yang
baik.
6. Hitung volume campuran minyak, gas dan air pada tekanan yang sesuai
dengan langkah 5, per STB minyak/satuan cuft.
Volume total = volume (minyak + gas + air)
14.7 TZ
Vw 5.61 B0 5.61WOR volume gas bebas . (5-31)
P520
Beberapa hal yang harus diingat mengenai penggunaan dari metode ini adalah :
1. Korelasi ini dapat digunakan untuk pipa-pipa yang ukurannya sesuai dengan
ukuran pipa-pipa yang digunakan dalam studi ini, yaitu : 2’’, 2,5’’ dan 3’’.
Penggunaan metode ini untuk ukuran pipa yang lain, harus
mempertimbangkan mengenai hasil yang diperoleh.
8. Laju aliran total digunakan untuk menghitung density pada setiap titik dalam
pipa.
9. Pola aliran diabaikan.
10. Pengaruh viskositas diabaikan. Studi oleh Ross, Hagerdorn dan Brown
menunjukkan bahwa pengaruh viskositas di atas 6 cp (atau 10 cp), perlu
diperhitungkan.
11. Komponen percepatan dalam persamaan energi diabaikan. Hal ini benar untuk
kondisi tertentu, tetapi bila kecepatan aliran sangat tinggi, maka komponen
percepatan perlu diperhitungkan.
12. Faktor gesekan dianggap merupakan harga rata-rata untuk seluruh panjang
tubing, sedangkan sebenarnya faktor gesekan berubah dari dasar sumur
sampai kepermukaan.
Poettman dan Carpenter mengembangkan korelasinya berdasarkan
persamaan energi umum, yang kemudian diubah dalam bentuk total massa laju
aliran, seperti berikut :
P 1 fw 2
5 ........................................................ (5-33)
h 144 7,413 x 10 d
10
dimana :
5.5.3.2.Perencanaan Christmas-Tree
Perencanaan x-mas tree sangat dipengaruhi oleh kondisi tekanan sumur,
disamping pula oleh jumlah komplesi yang digunakan serta system produksi yang
digunakan.
Kondisi tekanan perlu diperhatikan karena x-mas tree dalam standart API
diklasifikasikan berdasarkan kesanggupan dalam menahan tekanan kerja. Setiap
x-mass tree mempunyai seri dan tekanan kerja masing-masing.
Di mana:
Pth = Tubing head pressure, psi
C = Konstanta yang besarnya diambil dari harga 600
S = Ukuran choke per 64”
R = Gas liguid ratio, MCF/bbl
Jika menggunakan data lapangan, Gilbert menurunkan persamaan sebagai berikut:
435 xR 0564 xq
Pwh ..………..…………………………………………. (5-
S 180
35)
Di mana:
q = Laju produksi cairan total, bbl/day
Dari persamaan di atas dapat dibuat nomogram untuk mencari ukuran choke,
terlihat pada Gambar 5.28. pembacaan nomogram tersebut dibawah ini adalah
dari titik potong laju produksi yang didinginkan dengan harga GLR ditarik garis
horisontal ke kanan sampai memotong garis ukuran choke 10/64 selanjutnya
ditarik garis vertikal sampai memotong garis ukuran choke yang didinginkan.
Kemudian dari titik terakhir di atas ditarik ke kiri horisontal sehingga diperoleh
harga THP. Jadi harga THP ini ukuran choke telah sesuai.
Penentuan ukuran choke dengan menggunakan Ros Formula prinsipnya
adalah sama dengan metode Gilbert, akan tetapi Ros menggunakan Formula untuk
mengembangkan aliran gas cairan kritis yang melalui suatu hambatan. Dalam
bentuk sederhana persamaan tersebut adalah:
Pwh 17.4q ( R 05 ) /( S 2 ) …………………………………………………. (5-
36)
Di mana:
Pwh = Tekanan kepala tubing, psi
Q = laju produksi minyak, STB/day
0.00504Tz ( Rp Rs
R
BoP