Wellcompletion

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 73

BAB IV

WELL COMPLETION

5.1. Pengertian Dan Tujuan Well Completion


Well Completion adalah pekerjaan tahap akhir atau pekerjaan
penyempurnaan untuk mempersiapkan suatu sumur pemboran menjadi sumur
produksi. Untuk mendapatkan hasil produksi yang optimum dan mengatasi efek
negatif dari setiap lapisan produktif maka harus dilakukan pemilihan metode well
completion yang tepat dan ukuran peralatan yang sesuai untuk setiap sumur. Jenis
well completion antara sumur satu dengan lainnya selalu bervariasi, tergantung
dari faktor yang dipertimbangkan.
Tujuan dari well completion adalah mengatur aliran fluida dari formasi
produktif dasar sumur ke permukaan sebaik mungkin.

5.2. Jenis-jenis Well Completion


Well completion berdasarkan fungsi dan tujuannya dapat dibagi menjadi
tiga bagian, yaitu formation completion, tubing completion dan wellhead
completion yang akan dibahas satu persatu di bawah ini.

5.2.1. Formation Completion


Merupakan jenis komplesi yang bertujuan untuk memaksimalkan aliran
fluida dari reservoar ke dalam lubang sumur. Berdasarkan pemasangan peralatan
dan fungsinya maka formation completion dapat dibagi menjadi beberapa metode,
yaitu : open hole completion, sand exclution completion, dan perforated casing
completion.

5.2.1.1.Open Hole Completion


Open hole completion merupakan metode yang paling sederhana dan
paling murah yaitu dengan membuka seluruh formasi produktifnya, casing
dipasang dan disemen di atas lapisan produktifnya sehingga formasi produktif
tidak tertutup secara mekanis, sehingga aliran fluida reservoar dapat langsung
masuk ke dalam lubang sumur tanpa penghalang. Gambar 5.1 menunjukkan
penampang metode open hole completion.

Gambar 5.1
Open Hole Completion
(Allen, 1982)
Metode ini hanya dipakai untuk formasi yang terkonsolidasi dengan baik,
sehingga tidak mudah gugur. Ciri formasinya adalah tebal dan tekanan formasinya
relatif rendah.
Dalam mengevaluasi well performance standart yang dipakai ialah PI dari
open hole yang menembus seluruh zona atau lapisan produktif dimana tidak ada
gangguan permeabilitas di sekitar lubang sumurnya.
Jenis komplesi sangat cocok diterapkan pada reservoar solution gas drive.
Pemakaian open hole completion pada suatu formasi mempunyai beberapa
keuntungan atau beberapa kelemahan.
Keuntungan metode ini :
1. Laju produksi dapat maksimum
2. Sumur mudah untuk dilakukan pemboran yang lebih dalam
3. Tidak memerlukan biaya perforasi
4. Penggantian sistem komplesi mudah dilakukan
5. Interpretasi log memberikan hasil yang cukup baik.
Kelemahan metode ini :
1. Produksi gas dan air sulit dikontrol
2. Lebih banyak workover atau clean-out
3. Sukar dilakukan stimulasi secara selektif.
Faktor yang perlu diperhatikan dalam perencanaan sistem komplesi ini
adalah kestabilan formasi, dimana hal ini sangat berkaitan dengan terjadinya
keruntuhan lubang bor.

5.2.1.2.Perforated Casing Completion


Metode ini sering dilakukan pada formasi yang kurang kompak. Perforasi
tersebut sekaligus sebagai penghubung antara formasi produktif terhadap lubang
sumur sehingga minyak dapat mengalir dan masuk ke dalam sumur. Gambar
penampang perforated casing completion ditunjukkan pada (Gambar 5.2).

Gambar 5.2
Perforated Casing Completion
(Allen, 1982)
Pada perforated casing completion, casing disemen sepanjang interval
produktif kemudian casing tersebut diperforasi. Adapun keuntungan dan kerugian
dari metode perforated completion adalah sebagai berikut :
Keuntungan perforated completion adalah :
1. Produksi gas dan air yang berlebihan dapat dikontrol
2. Lubang sumur mudah untuk diperdalam lagi
3. Stimulasi dapat dilakukan secara selektif
4. Aliran pasir dapat ditahan oleh casing
5. Daerah produktif dapat diseleksi dengan perforasi
6. Frekwensi workover lebih sedikit
7. Multiple completion dapat diterapkan dengan baik.
Kerugian perforated completion adalah :
1. Biaya untuk perforasi cukup mahal
2. Kemungkinan kerusakan formasi lebih besar
3. Hasil interpretasi log kurang teliti
4. Timbulnya gangguan dari hasil perforasi.
Interval formasi yang akan diperforasi dipilih berdasarkan reservoar
water drive dan karakteristik formasi produktif, yaitu :
1. Untuk reservoar dengan water drive tidak ada gas cap dan formasi
homogen, perforasi harus dibuat pada puncak zona minyak.
2. Jika water drive dan gas cap drive keduanya ada, casing harus diperforasi
lebih dekat ke water oil contact (WOC) daripada ke gas oil contact
(GOC), karena air biasanya lebih mudah diatasi daripada gas.
3. Jika tidak ada water drive dan minyak didorong ke sumur oleh
pengembangan gas drive, maka casing harus diperforasi serendah
mungkin, hal ini dimaksudkan agar pengembangan gas di dalam tudung
gas dapat mendorong minyak yang di bawahnya ke lubang perforasi.
4. Pada solution gas drive, perforasi dapat dilakukan pada semua lapisan
produktif. Selective perforation hanya dilakukan pada satu tempat saja
untuk tiap lapisan produktif, dimana teknik untuk mendapatkan laju
produksi yang terbatas.
Disamping faktor di atas, pengaruh ketidakseragaman batuan reservoar
dengan kondisi permeabilitas batuan yang tidak seragam perlu juga diperhatikan
di dalam penempatan interval komplesi. Dimana kesalahan dalam penempatan
interval perforasi pada kondisi tersebut dapat mengakibatkan terjadinya
“channeling”. Untuk mencegah hal ini maka penempatan interval perforasi adalah
jauh dari zona gas pada gas cap drive dan di zona air pada water drive reservoar.
Untuk menghindari terjadinya kondisi di atas, maka perlu mengetahui
distribusi keseragaman batuan reservoar yang dapat diperoleh dari analisa data-
data logging ataupun coring, test PBU dll. Untuk itu perlu perencanaan interval
perforasi dan posisinya sehingga laju produksi minyak dapat mencapai optimum.

5.2.1.3.Liner Completion
Merupakan metode yang digunakan untuk menyelesaikan sumur-sumur
yang mempunyai problem kepasiran dan formasi yang kurang kompak. Beberapa
metode tersebut adalah metode screen liner, gravel pack dan sand consolidation.

A. Metode Screen Liner


Pemasangan liner di depan interval zone perforasi merupakan metode
pemecahan problem kepasiran secara mekanis yang paling murah dan sederhana.
Pipa-pipa saringan tersebut dapat berupa pipa bercelah yaitu pipa saringan dengan
celah-celah yang horizontal maupun vertikal, pipa saringan anyaman kawat yaitu
pipa yang saringannya dibuat dari anyaman kawat, pre-pack screen yaitu pipa
saringan yang terdiri dari dua buah pipa konsentris dimana ruangan diantaranya
diisi gravel. Berdasarkan cara pemasangnnya, liner completion dibedakan menjadi
dua macam yaitu screen liner completion dan perforated liner completion.

 Screen Liner Completion


Metode ini dipakai dengan memasang screen liner di depan zone produktif
agar pasir yang ikut terproduksi dapat tertahan.
Keuntungan screen liner completion ini adalah :
 Tidak memerlukan biaya perforasi
 Log dapat dilakukan dengan baik
 Pembersihan lubang sumur dapat ditekan frekwensinya.
Adapun kelemahan dari metode screen liner completion adalah :
 Sukar untuk dilakukan pengontrolan air dan gas
 Fluida yang mengalir ke dalam lubang bor tidak dengan diameter penuh
 Sumur sulit untuk ditambah kedalamannya lagi
 Stimulasi dan treatment sulit dilakukan
 Rig time bertambah dengan menggunakan cable tool.

Gambar 5.3
Screen Liner Completion
(Nind, 1958)
 Perforated Liner Completion
Casing dipasang sampai puncak formasi produktif dan disambung dengan
casing liner yang disemen dan diperforasi. Seperti halnya dengan screen liner,
perforated liner completion juga mempunyai beberapa keuntungan, yaitu :
 Produksi air dan gas dapat dikontrol
 Stimulasi dapat dilakukan dengan selektif.
Disamping itu juga mempunyai beberapa kelemahan diantaranya yaitu :
 Fluida mengalir ke dalam sumur tidak dengan diameter penuh
 Operasi penyemenan sulit dilakukan
 Terdapat penambahan biaya untuk perforasi, penyemenan dan rig time
 Interpolasi log kritis.

Gambar 5.4
Perforated Liner Completion
(Buzzarde, Jr., LE., 1972)
B. Gravel pack completion
Metode ini digunakan bila screen liner yang digunakan masih belum bisa
mengatasi masalah kepasiran, terutama untuk formasi unconsolidated sand.
Pemilihan ukuran screen diambil dari analisa ukuran butir sample core. Gravel
yang baik harus dapat menahan invasi partikel halus dari formasi dan berkwalitas
tinggi. Gravel pack completion dapat juga dilakukan secara open hole atau
perforated.
Pada Gambar 5.5. diperlihatkan pemasangan gravel pack yang meliputi :
1. Formasi produktif yang akan digravel diperforasi, kemudian lubang sumur
dibersihkan dari pasir formasi.
2. Rangkaian pipa diturunkan, kemudian gravel diinjeksikan dengan tekanan
tertentu.
3. Screen liner dengan packer diturunkan disertai dengan pipa pembersih
(wash pipe) untuk membersihkan pasir yang ada di dalam lubang sumur.
4. Setelah selesai penempatan screen liner pada kedalaman yang diinginkan,
maka wash pipe-nya diangkat.

Gambar 5.5
Skema Sistem Gravel Pack
(Buzzarde, Jr., LE., 1972)
C. Sand Consolidation
Masalah kepasiran juga terjadi di dalam formation completion yang secara
alamiah tidak terkonsolidated. Dalam hal ini para ahli mencoba untuk
meningkatkan pengontrolan pasir dengan menggunakan konsolidasi batuan. Cara
ini dikenal dengan sand consolidation.
Metode sand consolidation umumnya dilakukan pada lapisan tipis dengan
butiran yang relatif besar, permeabilitas seragam (uniform) dan clean sand.
Prinsip dari metode ini adalah menginjeksikan bahan kimia ke dalam lapisan pasir
dimana bahan kimia ini sewaktu mengeras akan memberikan daya ikat yang kuat
antara butiran pasir yang lepas-lepas tersebut, dan akhirnya akan memperbaiki
sementasi antara butiran pasir tersebut.
Ada dua sistem pengkonsolidasian pasir yang biasa digunakan, yaitu
sistem overflush dan sistem fase separation.
Sistem Overflush, penginjeksian larutan resin diikuti oleh fluida lain untuk
mendorong resin masuk ke dalam formasi dan mengurangi saturasi resin di dekat
lubang bor untuk mendapatkan permeabilitas yang memadai. Sistem ini dapat
diaktifkan sebelum atau sesudah penempatan di permukaan atau di dalam formasi.
Sistem Fase Separation, resin mengalami polimerisasi di dalam larutan dengan
cepat hingga mencapai permukaan lapisan pasir sebelum pengerasan berakhir.
Pada sistem ini aktivator dicampur dengan larutan resin sebelum penginjeksian
berlangsung.

5.2.2. Tubing Completion


Tujuan tubing completion adalah mempersiapkan sumur supaya fluida
yang telah ada di dasar sumur dapat mengalir ke permukaan dengan rate yang
optimal.
Berdasarkan pada jumlah production string dan lapisan yang diproduksi pada saat
yang bersamaan, maka metode tubing completion dapat dibedakan menjadi tiga
jenis, yaitu : single completion, multiple completion dan comingle completion.
Selain ketiga tipe tersebut masih terdapat jenis lain yaitu : permanent completion
yang didasarkan pada cara pemasangan dari production string-nya.

5.2.2.1.Single Completion
Merupakan metode completion yang hanya menggunakan satu production
string dimana sumurnya hanya memiliki satu lapisan produktif. Jadi walaupun
sumur mempunyai beberapa zona produktif, tetapi bila hanya satu zona saja yang
diproduksikan secara bergantian melalui satu production string, maka metode
tersebut termasuk single completion.
Gambar 5.6 menunjukkan susunan umum dari casing, tubing dan packer untuk
sistem single completion.

Gambar 5.6
Single Completion
(Allen, 1982)
Single completion ini dapat diterapkan baik pada open hole maupun
perforated casing completion. Hal ini tergantung dari kondisi reservoar serta
lapisan produktifnya. Sistem open hole dilakukan bila dirasa batuan zona
produktif cukup kuat dan kompak, sedang perforated casing completion dilakukan
bila keadaan batuan formasi produktifnya kurang kompak, dan atau lapisan
diselingi oleh adanya lapisan gas dan atau air.
Sedangkan berdasarkan cara memproduksikan minyak ke permukaan, ada
bermacam-macam jenis single completion, yaitu :
 Flowing Well-Casing Flow
Aliran ke atas melalui casing tanpa dibatasi oleh tubing ataupun packer. Jenis
komplesi ini hanya dilakukan untuk sumur yang mempunyai rate produksi
yang sangat tinggi, seperti ditunjukkan oleh Gambar 5.7.

Gambar 5.7
Flowing Well Casing Flow
(Buzzarde, Jr., LE., 1972)
 Flowing Well-Casing dan Tubing Flow
Fluida reservoar diproduksikan melalui casing dan tubing, dan jenis ini
digunakan bila rate produksinya cukup tinggi. Adanya tubing string dapat
digunakan sebagai kill string dan media untuk injeksi bahan kimia, seperti
ditunjukkan pada Gambar 5.8.
Gambar 5.8
Flowing Well – Casing and Tubing Flow
(Buzzarde, Jr., LE., 1972)
 Pumping Well
Jenis komplesi ini digunakan untuk sumur yang berproduksi dengan cara
artificial lift menggunakan sucker rod. Tempat kedudukan tubing dan pompa
dipasang pada suatu kedalaman di bawah working fluid level. Pompa dan rod
string dipasang di tengah-tengah di dalam tubing, seperti ditunjukkan oleh
Gambar 5.9.
Gambar 5.9
Pumping Well
(Buzzarde, Jr., LE., 1972)
 Flowing Well-Tubing Flow
Untuk jenis komplesi ini, rangkaian tubing dan packer dipasang bersama,
sehingga aliran fluida produksi hanya lewat tubing saja, seperti terlihat pada
Gambar 5.10.

 Gas Lift Well


Gas masuk ke dalam tubing melalui valve yang dipasang di dalam mandrell
yang terletak dalam tubing string, seperti terlihat pada Gambar 5.11.
Gambar 5.10
Flowing Well – Tubing Flow
(Allen, 1982)
Gambar 5.11
Gas Lift Well
(Buzzarde, Jr., LE., 1972)
5.2.2.2.Commingle Completion
Metode ini dilakukan untuk sumur yang memiliki lebih dari satu lapisan
atau zone produktif dan diproduksikan melalui production string. Jenis-jenis
commingle completion antara lain :

A. Single Tubing with Single Packer


Merupakan cara produksi yang dipakai untuk sumur yang mempunyai dua
zone produktif. Kedua zone dibatasi dengan sebuah packer. Lapisan atau zone
bawah diproduksikan melalui tubing, sedangkan zone atas fluidanya
diproduksikan melalui annulus antar tubing dan casing seperti yang terlihat pada
Gambar 5.12.
Gambar 5.12
Commingle Completion dengan Single Tubing Single Packer
(Buzzarde, Jr., LE., 1972)
A. Single Tubing With Dual Packer
Digunakan apabila mempunyai dua zone produktif dan kedua fluida dari
atas dan bawah dialirkan ke permukaan melalui satu tubing dengan menggunakan
cross-over choke.
B. Single Tubing With Multiple Packer
Merupakan metode yang digunakan untuk memproduksikan fluida
reservoar dari tiga atau lebih zone produktif melalui satu tubing. Masing-masing
zone dipisahkan dengan packer. Fluida dari zone atas masuk ke dalam tubing
melalui coupling. Single tubing with multiple packer dapat dilihat pada Gambar
5.13.
Keuntungan dan kelemahan dalam menggunakan metode commingle
completion ini antara lain :
1. Masing-masing bagian dari alat produksi dapat dibuka dan ditutup dengan
wire-line
2. Pengontrolan aliran dari masing-masing zona sulit dilakukan
3. Untuk melakukan treatment atau perforasi ulang, sulit dilakukan tanpa
mematikan sumur dan mengangkat tubing.

Gambar 5.13
Commingle Completion dengan Tubing Multiple Packer
(Allen, 1982)
5.2.2.3.Multiple Completion
Merupakan metode yang digunakan untuk sumur yang memiliki lebih dari
satu zone atau lapisan produktif, dimana tiap-tiap zone produktif diproduksikan
sendiri-sendiri secara terpisah sesuai dengan produktivitas serta jarak masing-
masing zone, sehingga dapat memaksimalkan perolehan minyak. Dengan cara
multiple completion ini pengontrolan produksi dari masing-masing zona dan juga
kerusakan alat dan formasi dapat dilakukan dengan mudah. Tetapi kerugiannya
terletak pada besarnya biaya yang dikeluarkan, karena tiap-tiap zona harus
memiliki peralatan sendiri, juga peralatan untuk menanggulangi masalah scale
atau korosi.

A. Parallel Dual With Two Alternate Completion


Dalam metode ini komplesi didasari pada letak dari dua lapisan reservoar
yang akan dipilih untuk komplesi, maka dapat diproduksikan melalui rangkaian
tubing yang paling panjang atau pendek (Gambar 5.14) sesuai dengan jenis fluida
masing-masing reservoar.

Gambar 5.14
Dual Well dengan Two Alternated Completion
(Allen, 1982)

B. Triple Completion
Dilakukan untuk tiga zona produktif, dengan tiga buah string dan packer,
namun komplesi dapat dilakukan dengan dua atau tubing yang telah ada.
Keuntungan dari metode ini adalah laju produksi yang dapat diperoleh cukup
besar, tetapi karena terdapat dua atau tiga tubing dan packer, maka
pemasangannya sulit dan modal yang digunakan cukup besar (Gambar 4.15).
Keuntungan dari metode multiple completion :
1. Kerusakan dari masing-masing lapisan mudah terdeteksi
2. Kelakuan dari masing-masing lapisan dapat diperkirakan
3. Masing-masing lapisan dapat diproduksikan sesuai dengan kapasitasnya
4. Diperoleh minyak yang maksimal dari tiap-tiap lapisan
5. Pemilihan dan perencanaan artificial lift dapat dilakukan dengan baik dan
teliti.

Gambar 5.15
Multiple – Packer Completion
(Allen, 1982)

Sedangkan kelemahan dari metode multiple completion ini adalah antara lain
sebagai berikut :
1. Biayanya cukup mahal bila dibandingkan dengan single completion
2. Kemungkinan penerapan artificial lift perlu biaya tinggi karena tiap lapisan
memerlukan peralatan sendiri
3. Untuk perbaikan pipa produksi cukup mahal.
5.2.2.4.Tubingless Completion
Dalam metode ini tidak digunakan production tubing tetapi digunakan casing
berukuran kecil. Biasanya digunakan casing berukuran 2 7/8 inchi. Konfigurasi
triple tubingless completion ini dapat dilihat pada Gambar 4.19.
Metode ini sesuai untuk sumur yang mempunyai umur produksi panjang,
adanya pekerjaan stimulasi antara lain : acidizing, fracturing, sand control, dan
masalah-masalah lain yang memerlukan stimulasi atau treatment. Sedangkan
untuk sumur-sumur yang memproduksikan fluida yang bersifat korosif, maka
pemilihan metode ini tidak cocok, karena casing produksi disemen secara
permanen.

Gambar 5.16
Triple Tubingless Completion
(Buzzarde, Jr., LE., 1972)
Beberapa keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan metode ini adalah
1. Mengurangi biaya, karena biaya komplesi awal dan workover di masa
mendatang lebih murah :
a. Penggunaan casing produksi yang besar dapat dihindarkan
b. Tidak memerlukan pemasangan packer, tubing dan peralatan produksi
lainnya.
2. Tidak ada ketergantungan dari masing-masing zona dan masing-masing zona
dapat diproduksikan tanpa mengganggu lapisan atau zona yang lain
3. Tidak ada kebocoran akibat tubing dan packer
4. Artificial lift, penutupan atau workover suatu zona tidak mengganggu zona
yang lain
5. Prosedur workover, squeeze cementing, stimulasi atau plug back lebih
sederhana dan memerlukan waktu yang lebih singkat.
Sedangkan kerugian akibat pemakaian metode ini antara lain :
1. Laju produksi terbatas
2. Pengontrolan korosi dan parafin lebih kritis
3. Stimulasi atau treatment dengan laju yang tinggi lebih sulit dilakukan
4. Pengontrolan zona pasir yang tebal lebih sulit dilakukan
5. Resiko yang tinggi akibat adanya fluida sumur.

5.2.3. Wellhead Completion


Wellhead atau kepala sumur adalah istilah yang digunakan untuk
menguraikan peralatan yang terpaut pada bagian atas dari rangkaian pipa di dalam
suatu sumur untuk menahan dan menopang rangkaian pipa, menyekat daripada
masing-masing casing dan tubing serta untuk mengontrol produksi sumur.
Dalam menentukan jenis dan ukuran wellhead completion sebagai tindak
lanjut dari formation completion dan tubing completion, maka pada bagian ini
akan dibahas mengenai pemilihan peralatan wellhead (ukuran grade, desain,
dimensi dan kualitas) yang bertujuan untuk memberikan keselamatan kerja pada
saat penggantian atau pemasangan peralatan tersebut. Dalam hal ini pemilihan
peralatan dibatasi berdasarkan standart API.
Peralatan wellhead dalam standart API diklasifikasikan berdasarkan
kesanggupan dalam menahan tekanan kerja (working pressure) yang berkisar
antara 900 psi sampai 15000 psi. Untuk seri 600 berarti mempunyai tekanan kerja
2000 psi. Sedangkan tekanan test hidrostatik adalah tekanan yang diberikan di
pabrik untuk menguji apakah peralatan tersebut memenuhi standart kelayakan.
Dan pengoperasian peralatan wellhead tersebut adalah pada temperatur -50
sampai + 250 F.
5.2.3.1.Single Completion
Metode single completion jenis peralatanya dibagi menjadi dua:
I. Tubing Head Untuk Single Completion
Tubing head ditempatkan diatas casing head dan berfungsi untuk
menggantungkan tubing dan memberikan suatu pack off antara tubing string dan
production string.

Gambar 5.17
Rangkaian Peralatan wellhead Completion
(Buzzarde, Jr., LE., 1972)
Disamping itu juga memberikan hubungan annulus casing dan tubing
melalui outlet samping. Pemilihan tubing head untuk single completion maupun
untuk multiple completion didasarkan pada perencanaan mangkuk tubingnya.

Tabel IV-1
Seri tekanan kerja peralatan wellhead
(Nind, 1964)
Max cold working Hydrostatic test
Former corresponding
Pressure Pressure
Series designation
Psi Psi
960 1400 Series 400
2000 4000 Series 600
3000 6000 Series 900
5000 10000 Series 1500
10000 15000 Series 22900
10000* 15000
15000 22500
Adapun bagian-bagian dari peralatan tubing head adalah sebagai berikut:
1. Top flange, disini dilengkapi dengan lockscrew yang
berfungsi untuk menahan tubing hanger pada tempatnya dan memberikan
tekanan pada tubing hanger seal dan seal annulus
2. Tubing hanger, fungsinya untuk menggantung tubing dan
memberikan penyekat antara tubing dengan tubing head
3. Outlet, merupakan saluran keluar yang jumlahnya bisa
satu atau dua buah
4. Lower flange, merupakan tempat untuk memasang bit
guide dan secondary seal.
Tubing head pada umumnya digunakan pada tekanan kerja 960, 2000,
3000, 5000, dan 10000 psi. didalam pemilihan tubing head, faktor-faktor di bawah
ini yang harus dipertimbangkan untuk perawatan dan pengontrolan yang baik
pada sumur, yaitu:
 Lower flange dari tubing head harus mempunyai ukuran dan tekanan kerja
yang sesuai dengan top flange dari casing head sebelumnya, atau cross-
over sebelumnya.
 Memilih bit guide dan secondary seal yang sesuai ukurannya dengan
rangkaian casing yang digunakan untuk produksi fluida sumur.
 Besarnya tekanan kerja dari tubing head harus sama atau lebih besar harga
tekanan permukaan pada saat sumur ditutup (shut-in pressure).
 Ukuran flange bagian atas harus sesuai dengan ukuran tubing hanger yang
diperlukan, adaptor flange dan blow aut preventernya.
 Tubing head harus mempunyai saluran keluar yang sesuai dengan ukuran
dan tekanan kerjanya.
 Tubing head harus sesuai dengan semua kemungkinan keadaan produksi,
seperti pumping dan gas lift.
Untuk tubing head yang mempunyai ukuran 6 inchi, maka top flange
minimum harus mempunyai ukuran 6 5/ inchi, dimana akan memberikan
pembukaan penuh (fuul opening0 sampai 7 inchi, atau rangkaian peralatan
produksi yang mempunyai ukuran lebih kecil. Bila digunakan production string
dengan ukuran 7 5/ inchi, maka harus dilakukan pemilihan tubing head dengan
pembukaan penuh untuk ukuran bit 6 ¾ inchi.
Adapun ukuran lower flange berkisar antara 6 inchi sampai 20 inchi,
sedangkan ukuran top flange berkisar antara 6 inchi sampai 12 inchi

A. Chistmas-tree Untuk Single completion


Chistmas-tree merupakan suatu susunan dari katup-katup (valve) dan
fitting yang ditempatkan diatas tubing head untuk mengatur serta mengalirkan
fluida dari sumur. Berdasarkan jenis komplesi sumurnya, christmas-tree
dibedakan untuk single completion dan multiple completion. Untuk komplesi
sumur single completion, berdasarkan bentuk dan jumlah wing valve/single
string), christmas tree berlengan dua (dual wing/dual string).
Pada umunya single completion menggunakan satu wing valve. Sedangkan
peralatan christmas-tree terdiri dari:
 Tubing head adapter
 Master valve
 Tee atau cross
 Master valve
 Wing valve
 Choke
 Flow-line valve.

5.3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pemilihan Jenis Well


Completion
Pemilihan jenis komplesi akan sangat tepat jika diperhatikan faktor-
faktor yang mempengaruhinya. Dimana tiap-tiap faktor yang mempengaruhi
pemilihan jenis komplesi adalah pada formation completion, tubing completion,
well head completion

5.3.1. Formation Completion


Untuk merencanakan formation completion, maka faktor-faktor yang
mempengaruhinya terutama masalah kekompakan batuan dan problem kepasiran
yang ada pada lingkungan pengendapan delta ini harus diperhatikan, karena hal
ini akan berhubungan dengan pemilihan formation completion (komplesi
formasi). Dengan demikian, akan dapat dihasilkan fluida yang maksimum yang
dapat diangkat kepermukaan.

5.3.1.1.Kondisi Reservoir
Kondisi reservoir meliputi tekanan dan temperatur yang mempengaruhi
fluida formasi yang masuk ke dalam lubang bor, aliran fluida dan karakteristik
batuan formasi sendiri. Dalam perencanaan well completion secara keseluruhan,
perlu diperhatikan faktor-faktor di atas, agar di dapat hasil produksi yang optimal.

5.3.1.2.Kekompakan Batuan dan Problem Kepasiran


Kekompakan batuan dan problem kepasiran merupakan dasar pemilihan
cara komplesi formasi sehubungan dengan adanya keguguran dari formasi.

Kekompakan batuan dapat diperkirakan dari faktor sementasi yang diberikan oleh
persamaan Archie, yaitu :
F = �m............................................................................................... (5-1)
dimana :
F = faktor formasi, yaitu perbandingan antara Ro (resitivitas minyak pada
saturasi air 100 %) dan Rw (resitivitas air formasi).
� = porositas batuan
m = faktor sementasi
Dengan mengetahui besarnya m dari formasi produktif, dapat ditentukan
jenis dari formation completion. Tabel V-2 menunjukkan hubungan antara m dan
kekompakan batuan.

Tabel V-2
Litologi dan faktor sementasi (m)
(Craft, B.C., 1962)

Rock Description Cementation faktor, m


Unconsolidated rocks 1,3
(loose sand, colitic lime stone)

Very slightly cemented 1,4 – 1,5


(Gulf Coast type sand, except Wilcox)

Slightly cemented 1,6 – 1,7


(most sand with 20 % porosity or
more)

Moderately cemented 1,8 – 1,9


(highly consolidated sand of 15 %
porosity or less)

Highly cemented 2,0 – 2,2


(low porosity sand, quarzite,
limestone, dolomite of intergranular
porosity, chalk)

5.3.1.3.Produktivity Index dan MER


Untuk menilai kemampuan sumur dalam memproduksi, maka
didefinisikan PI yang merupakan perbandingan antara laju produksi terhadap
draw down pressuire, (Pws-Pwf). Dalam hal ini, standar yang digunakan adalah PI
dari open hole completion yang menembus seluruh zone produktif dimana tidak
ada gangguan permeabilitas disekitar lubang sumur. Untuk itu didefinisikan
produktivity ratio (PR) yaitu perbandingan PI suatu sumur pada setiap kondisi
terhadap PI standart.
Maksimum efisiensi rate (MER) didefinisikan sebagai laju produksi
tertinggi yang diijinkan dan dapat dipertahankan sepanjang waktu tanpa
menyebabkan kerusakan serta kehilangan energi yang sia-sia, sehingga dapat
dicapai Ultimate Recovery. Konsep MER pada dasarnya dibagi menjadi 2, yaitu :
- Pengaturan laju produksi reservoir (MER reservoir)
- Pengaturan laju produksi sumur (MER sumur).
1. MER Reservoir
MER Reservoir adalah pembatasan laju produksi total seluruh reservoir
agar tidak terjadi kerusakan formasi dan pembuangan energi reservoir
secara tidak efisien, sehingga besarnya MER reservoir ini dalam
penentuannya tergantung pada mekanisme pendorong setiap reservoir.
MER bukan merupakan karakteristik yang tetap dari suatu reservoir, akan
tetapi tergantung pada mekanisme pendorong serta keadaan fluida yang
terkandung didalam reservoir. Dalam praktek laju produksi optimum
ditentukan dengan menggunakan kriteria dengan faktor-faktor pembatas
yang berlainan untuk masing-masing MER, yaitu :
- Engineering MER, dengan faktor pembatasnya yaitu sifat-sifat dari
reservoirnya sendiri serta kemampuan teknis yang ada
- Economic MER, dengan faktor pembatasnya seperti keadaan
pemasaran, biaya operasional serta pertimbangan-pertimbangan
polotik ekonomi pemerintah.
Kedua macam MER dapat dilihat pada Gambar 5.18. berdasarkan
Gambar tersebut, terlihat bahwa bila MER kita ambil menurut
Engineering, maka MER-nya adalah laju produksi, yang dapat
memberikan recovery terbesar. Sedangkan bila ditetapkan menurut
Economic MER, maka harga MER disini adalah laju produksi yang dapat
mengahasilkan keuntungan bersih (net profit) terbesar.
Gambar 5.18
Jenis Maximum Efficiency Rate (MER)
(Craft,B. C., Hawkins, M.F, 1962)
Dengan demikian dalam menentukan laju produksi optimum pada
prakteknya haruslah mempertimbangkan factor ekonomis dan perawatan,
yang mana terletak diantara engineering MER dan economic MER.
Disamping kondisi diatas, juga harus diperhatikan segi ekonomisnya, yaitu
tiap-tiap sumur harus berproduksi diatas harga ongkos operasinya

2. MER Sumur
MER Sumur adalah laju produksi maksimum dari suatu sumur
yang diijinkan agar tidak terjadi kerusakan formasi reservoir dan
pemakaian energi yang tidak efisien.
Untuk pembatasan laju produksi sumur juga dilakukan agar
penggunaan energi didalam reservoir berlangsung dengan efisien. Adanya
bermacam jenis mekanisme pendorong reservoir yang ditimbulkan gas dan
air, maka ikut terproduksinya air dan gas akan mengurangi jumlah
perolehan minyak. Untuk dapat mencapai perolehan minyak secara
maksimum, maka usaha yang dilakukan adalah menentukan laju produksi
optimum pada tiap-tiap sumur.
5.3.1.4.Kestabilan Formasi
Faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap sifat kestabilan formasi adalah
sebagai berikut :

1. Sementasi batuan
2. Kandungan lempung
3. Kekuatan formasi.

1. Sementasi Batuan

Kekompakan batuan dan problem kepasiran merupakan dasar pemilihan


cara komplesi formasi sehubungan dengan adanya keguguran dari formasi.

Kekompakan batuan dapat diperkirakan dari faktor sementasi yang diberikan oleh
persamaan Archie Pers. (5-1).
Dengan mengetahui besarnya m dari formasi produktif, dapat ditentukan jenis
formation completion yang cocok. Bila harga m < 1.4 maka cocok menggunakan
perforated cased hole, bila > 1.4 maka dapat open hole.

2. Kandungan Lempung
Lempung atau disebut Clay, merupakan mineral yang biasanya terdapat
dalam batupasir, pada batuan sedimen lempung berfungsi sebagai semen.
Lempung mempunyai sifat mengikat air atau water wet (Montmorilonit
merupakan lempung yang paling reaktif terhadap air/ mudah menyerap air),
dimana apabila mineral lempung bertemu dengan air formasi maka mineral
lempung akan mengembang (swelling) sehingga butir batuan yang diikat lempung
akan mudah terlepas dan akan bergerak mengikuti aliran airnya. Kadar mineral
lempung yang terkandung dalam batuan formasi dapat dihitung besarnya dengan
analisa data logging.

3. Kekuatan Formasi
Kekuatan formasi merupakan kemampuan dari formasi untuk menahan
butiran pasir. Txier et.al menyatakan bahwa kekuatan formasi terhadap kepasiran
tergantung pada kekuatan dasar formasi atau “Intrinsic strength of formation” dan
kemampuan pasir formasi untuk membentuk lingkaran yang stabil disekitar
lubang perforasi. Kekuatan formasi batuan dapat ditentukan dengan persamaan
sebagai, yaitu :

 s   d 
Vsh  ........................................................................................ (5-2)
s
  0,125V sh  0,27 ............................................................................ (5-3)
1,34 x 1010 1  2   b
G  ................................................................... (5-3)
21    t 
2

1 1,34 x 101  2   b
 ..................................................................... (5-4)
31    t 
2
Cb

G
 1,34 x 10 20
1  2 1    b  2

................................................. (5-5)
Cb 21    x 31    t 4

dimana :
Vsh = kadar shale, fraksi d = porositas dari density log, %
1/Cb = bulk modulus, psi s = porositas dari sonic log, %
G = shear modulus, psi b = bulk density, gr/cc
T = transite time, sec/feet δ = poison’s ratio, tanpa dimensi.

Dari perbandingan antara shear modulus dan bulk modulus (G/Cb) pada
Persamaan (5-10) maka besarnya kekuatan formasi dapat ditentukan.
Untuk menentukan apakah formasi bersifat labil atau stabil, menurut
Dempsey suatu lapangan bersifat kritis terhadap masalah kepasiran, misal
lapangan Gulf Coast G/cb kritisnya sebesar 0,8 x 1012 psi2. Ini berarti untuk
formasi dengan G/cb < 0,8 x 10 12 psi2, maka formasi tersebut akan memproduksi
pasir, sedang apabila formasi dengan G/cb > 0,8 x 1012 psi2, formasi tersebut tidak
memproduksi pasir.

5.3.1.5.Sand Free Flow Rate


Sand free flow rate merupakan besarnya laju produksi kritis, dimana
apabila laju sumur tersebut akan diproduksi lebih besar dari laju produksi
kritisnya maka akan timbul masalah kepasiran.

Maksimum sand free flow rate atau laju produksi maksimum tanpa
menimbulkan kepasiran dapat ditentukan dengan menganggap bahwa gradient
tekanan maksimum dipermukaan kelengkungan pasir, yaitu pada laju produksi
maksimum tanpa kepasiran berbanding langsung dengan kekuatan formasi.
Dengan perkataan lain bahwa apabila produksi menyebabkan tekanan
kelengkungan pasir formasi akan mulai bergerak atau ikut terproduksi.
Untuk menentukan laju produksi kritis yang diperkenankan atau
maksimum sand free flow rate dari formasi batuan, Stein memberikan persamaan
untuk laju kritis sebagai berikut :

0,025 10 6 k z N z G z At
Qz  .................................................... (5-6)
B z  z Az
dimana :
Qz = laju produksi kritis, stb/hari
kz = permeabilitas formasi batuan, md
Nz = jumlah lubang perforasi
Gz = modulus geser,
At = luas kelengkungan butir pasir pada kondisi test
μz = viscositas fluida, cp
Az = luas kelengkungan butir pasir pada kondisi pengamatan, ft2
Bz = faktor volume formasi, bbl/stb.

5.3.2. Tubing Completion


Penentuan jenis tubing completion terutama didasarkan pada jumlah
tubing yang digunakan, sehingga hal ini berhubungan erat dengan jumlah zone
produktif serta produktivitasnya.

Agar diperoleh laju produksi yang optimum harus diperhatikan faktor


pressure loss yang erat kaitannya dengan hubungan ukuran tubing yang akan
digunakan. Disamping itu, untuk menentukan jenis tubing completion perlu
dipertimbangkan sifat fluida produksi yang mungkin menimbulkan masalah
produksi, sehingga nantinya akan memudahkan operasi treatment dan workover di
masa datang.

5.3.2.1.Jumlah Lapisan Produktif dan Produktivitas Formasi


Untuk sumur yang hanya mempunyai satu lapisan produktif, maka
produksi dilakukan melalui production string yang dikenal sebagai single
completion. Sedangkan yang mempunyai lebih dari satu lapisan produktif dapat
pula diproduksikan dengan satu tubing, yang biasa disebut sebagai comingle
completion. Cara ini dilakukan bila kondisi reservoir untuk masing-masing
lapisan produktif hampir sama dan jarak antara lapisan tersebut tidak terlalu jauh.
Namun bila kondisi reservoir dari setiap lapisan berbeda, maka masing-masing
lapisan produktif diproduksikan melalui tubing yang berbeda. Jenis ini dikenal
sebagai multiple completion.

Apabila pada sumur yang memiliki lebih dari satu lapisan produktif
dengan perbedaan tekanan formasi cukup besar, Psu (tekanan upper zone) lebih
besar dari Psl (tekanan lower zone) dilakukan single completion, maka perbedaan
tekanan tersebut berpengaruh terhadap kemampuan produksi dari lapisan yang
bertekanan lebih rendah karena adanya “interflow”. Fenomena ini ditujukan oleh
Gambar 5.19.
Terjadinya interflow akibat Psu lebih besar dari Psl dapat dijadikan sebagai
berikut :
Pwfl = Pwfu + Gf h ............................................................................... (5-7)
Drawdown Pressure untuk upper zone = Psu - Pwfu
Drawdown Pressure untuk lower zone = Psl - Pwfl
karena
(Psu – Pwfu) = (Psl – Pwfu – Gf h)
Maka perbedaan tekanan yang menyebabkan interflow adalah :
Plf = Psu – Psl + Gf h ......................................................................... (5-8)
dimana :
Plf = perbedaan tekanan yang menyebabkan interflow, psi
Psu = tekanan formasi upper zone, psig
Psl = tekanan formasi lower zone, psig
Pwfu = tekanan aliran dasar sumur upper zone, psig
Pwfl = tekanan dasar sumur lower zone, psig
Gf = gradien tekanan fluida produksi, psi/ft
h = perbedaan kedalaman antara upper zone dan lower zone, ft

Gambar 5.19.
Fenomena terjadinya interflow
akibat adanya perbedaan tekanan formasi antara dua lapisan Produktif
(Uren, L.C., 1956)

Fenomena interflow tidak akan terjadi jika cara komplesi yang digunakan
adalah multiple completion, sehingga setiap lapisan atau zone produktif dapat
diproduksikan sesuai dengan produktivitas formasinya.

5.3.2.2.Pemilihan Ukuran dan Jumlah Tubing


Perencanaan ukuran tubing antara lain dimaksudkan untuk mengatasi
terlalu besarnya tekanan yang hilang pada tubing.

Gilbert menggunakan metode empiris, yaitu berdasarkan pengukuran


kehilangan tekanan aliran di tubing, kemudian dibuat grafik yang dapat digunakan
untuk maksud ekstrapolasi. Dalam pendekatannya Gilbert memperhatikan
variabel-variabel tubing depth, Pwf, THP, gross liquid rate, GOR dan ukuran
diameter tubing. Pwf merupakan fungsi dari kelima variabel. Untuk suatu ukuran
tubing tertentu, bila THP konstan maka Pwf hanya fungsi dari kedalaman.

Grafik-grafik yang telah dibuat oleh Gilbert berdasarkan pada data


lapangan adalah ukuran 1,66 , 1,9 , 2 3/8, 2 7/8, 3 ½ inch dan laju produksi pada
50, 100, 200, 400 dan 600 BPD dari crude oil dengan API 25 sampai 40.

Grafik-grafik tersebut digunakan untuk :

1. Mengetahui tekanan setiap kedalaman tubing tanpa mengukur tekanan tubing


secara langsung. Untuk keperluan ini harus diketahui laju produksi q, GLR
dan ukuran tubing.
2. Menentukan Pwf dari THP. Caranya THP diekivalensikan dengan kedalaman
dan ditambah panjang tubing dan dikembalikan ke ekivalen tekanan sehingga
diperoleh Pwf.
Sedangkan faktor jumlah tubing yang akan digunakan biasanya berkaitan
dengan jumlah lapisan produktif. Apabila sumur hanya memiliki satu lapisan
produktif maka cukup menggunakan satu production string (tubing). Tetapi dapat
juga satu tubing digunakan pada satu sumur yang menembus lebih dari satu
lapisan produktif atau multi layer reservoir dengan menggunakan penyekat atau
packer. Cara demikian dikenal dengan Comingle completion. Namun bila dipakai
lebih dari satu tubing untuk sumur yang menembus lebih dari satu lapisan
produktif, maka disebut sebagai multiple completion.

5.3.2.3.Pressure Loss dalam Tubing


Selama pengaliran fluida-fluida dari dasar sumur ke permukaan terjadi
kehilangan tekanan (pressure loss). Kehilangan tekanan harus diusahakan sekecil
mungkin agar diperoleh laju produksi yang optimum dan menghemat tenaga
reservoir. Yang mempengaruhi kehilangan tekanan diantaranya adalah rate
produksi, perbandingan gas dan cairan (hold up) dan ukuran tubing.

Pengaruh laju produksi dan gas liquid ratio terhadap pressure loss adalah
bahwa pada laju produksi yang rendah dapat terjadi kehilangan tekanan yang
besar. Hal ini disebabkan pada kecepatan rendah gas yang ada dalam larutan
mendapat kesempatan untuk melepaskan diri dari larutan sehingga akan terjadi
slippage. Makin besar laju produksi maka kehilangan tekanan karena slippage
makin kecil dan akan mencapai minimum pada liquid hold up tertentu. Bila laju
produksi diperbesar maka kehilangan tekanan makin besar lagi karena gesekan
dengan tubing menjadi besar.

Pada laju produksi yang rendah misalnya kurang dari 50 bbl/day, maka
ukuran tubing yang paling kecil adalah yang paling effisien, karena kehilangan
tekanan yang terjadi akibat slippage akan lebih rendah pada ukuran tubing kecil
dibandingkan dengan ukuran tubing yang lebih besar. Apabila laju produksi besar
maka kehilangan tekanan akibat slippage berkurang sampai pada laju produksi
tertentu, namun apabila Laju produksi diperbesar melewati batas maka kehilangan
tekanan justru akan membesar. Hal ini disebabkan gesekan pada dinding tubing
bertambah besar.

Dengan demikian besarnya kehilangan pada aliran fluida produksi ke


permukaan perlu diperhitungkan dalam penggunaan tubing completion.

5.3.2.4.Sifat Fluida Produksi

Apabila fluida produksi mengandung bahan-bahan penyebab korosi, scale


dan paraffin maka perlu dilakukan tindakan pencegahan karena mengurangi
kapasitas produksi dan merusak alat-alat produksi. Setiap lapisan produktif
umumnya memiliki sifat fluida yang berbeda sehingga menimbulkan masalah
yang berbeda pula.
Untuk menanggulangi masalah di atas sulit pada sumur dengan beberapa
zona produktif dilakukan produksi secara single atau commingle completion,
karena bila dilakukan treatment maka harus semua zona sehingga memerlukan
biaya yang sangat besar. Oleh karena itu sumur diproduksikan secara multiple
completion maka treatment mencegah masalah fluida produksi dilakukan pada
lapisan yang mempunyai masalah saja, sehingga menghemat biaya.

Jika fluida produksi bersifat korosif, maka multiple tubingless completion


umumnya tidak dilakukan karena casing dipasang dan disemen secara permanen,
sehingga sulit dan memakan biaya besar bila dilakukan penggantian tubing. Bila
comingle completion dilakukan pada sumur dengan beberapa zona produktif,
biasanya dilakukan single packer dengan tubing yang bagian dalamnya dilapisi
bahan tahan korosi. Cara ini merupakan cara paling murah.

5.3.2.5.Pemeliharaan Kemampuan Produktivitas Formasi

Tujuan utama pemeliharaan kemampuan produksi suatu formasi adalah


untuk mendapatkan recovery minyak yang maksimal. Agar mendapatkan recovery
maksimal diperlukan pengontrolan produksi,penganalisaan data dan kemungkinan
terjadinya water coning dan gas coning.

A. Pengontrolan Produksi
Pengontrolan produksi dimaksudkan agar produksi berjalan dengan laju
optimum sehingga recovery minyak yang diperoleh juga maksimum.

Apabila produksi masing-masing zona dilakukan secara terpisah yaitu dengan


multiple completion maka pengontrolan produksi dengan mengatur choke dari
tubing tiap-tiap zona. Umumnya choke yang digunakan dipermukaan berbeda
untuk setiap zona, karena produktivitas dari masing-masing zona berbeda. Dengan
demikian diharapkan recovery minyak tiap-tiap zona maksimal.

Sumur yang mempunyai lebih dari satu zona produktif diproduksikan


secara single atau comingle completion, maka pengaturan laju produksi
mempunyai batas-batas tertentu. Apabila THP yang diatur melebihi THP
maksimum, maka Pwf mengakibatkan interflow pada zona produktif denga tekanan
reservoir (Ps) yang rendah.

B. Penganalisaan Data
Sumur yang diproduksi secara multiple completion, akan diperoleh data
produksi dari tiap-tiap zona produktif. Sehingga dapat diperkirakan problem zona
produktif yang bersangkutan dan penanggulangannya dilakukan tanpa
dipengaruhi zona lain.

Bila sumur diproduksi secara comingle completion maka data produksi


yang diperoleh data compositte dari zona-zona produksi, sehingga sulit untuk
memperkirakan problem yang dialami oleh suatu zona dan tentunya akan sulit
pula penanggulangannya.

Analisa dilakukan dari data produksi antara lain memperkirakan umur


produksi zona produktif. Dengan mengetahui data-data laju produksi yang
lengkap sejak permulaan produksi zona produktif yang diproduksi secara sembur
alam, maka dapat diGambarkan production decline curve. Sehingga dapat
diperkirakan kapan suatu zona tidak ekonomi lagi untuk diproduksikan secara
sembur alam.

C. Kemungkinan Terjadinya Water Coning dan Gas Coning


Dengan meningkatnya water oil ratio (WOR) atau gas oil ratio (GOR)
pada fluida produksi dari zona produktif pada tubing head pressure (THP) yang
tetap menunjukkan terjadinya coning pada zona tersebut. Hal ini dapat
menimbulkan masalah korosi atau scale karena bahan yang terkandung dalam
formasi. Selain itu dengan terproduksinya gas merupakan pemborosan energi
reservoir.

5.3.2.6.Kemungkinan Penggunaan Artificial Lift

Suatu saat tenaga dari zona produktif tidak akan mampu mengangkat
fluida ke permukaan secara sembur alam. Untuk itu dilakukan pengangkatan
dengan tenaga buatan yang dikenal dengan artificial lift.

A. Gas Lift
Gas lift adalah suatu metode pengangkatan fluida dari lubang sumur
dengan cara menginjeksikan gas yang relatif bertekanan tinggi ke dalam kolom
lift. Injeksi gas ke suatu titik dalam sumur dimaksudkan untuk menaikkan kolom
fluida di atas titik injeksi sehingga Pwf menjadi kecil dan draw down bertambah.

Sumur yang diproduksikan secara multiple completion tidak akan


menemui kesulitan. Masing-masing zona dapat diproduksikan sendiri-sendiri
secara terpisah.

Sumur yang diproduksi secara comingle, gas lift dilakukan secara


bersama-sama untuk semua zona produktif. Keuntungan dari sumur yang
diproduksi secara comingle apabila terdapat zona gas bertekanan tinggi diantara
atau di bawah zona minyak, gas dapat dimanfaatkan sebagai tenaga pendorong
minyak kepermukaan.

Sistem yang paling sesuai untuk instalasi gas lift pada sumur comingle
adalah comingle completion dengan single tubing single packer.

B. Pumping
Prinsip kerja dari pompa adalah mengurangi Pwf secara kontinyu sehingga
terjadi aliran fluida dari formasi ke dalam lubang sumur. Pertimbangan-
pertimbangan untuk penggunaan metode pumping antara lain :

 PI zona produktif lebih kecil dari 0,5 BPD/psi


 Tekanan statik dasar sumur (SBHP) rendah, yaitu apabila pengangkatan
fluida hanya 40% dari kedalaman zona yang diproduksikan
 kandungan pasir fluida produksi rendah.
Penggunaan pumping dalam operasi produksi untuk tiap-tiap zona
produktif dengan sifat fluida yang berlainan dapat dilakukan dengan multiple
completion. sedangkan untuk comingle completion, pumping cocok digunakan
bila perbedaan dari kedalaman tiap-tiap zona produksi tidak terlalu besar. Dan
untuk merencanakan pumping setting depth sebaiknya diperhitungkan

 PI yang terendah dari zona-zona produktif yang ada.


 Tekanan statik dasar sumur terendah dari zona-zona produktif yang ada.
Jenis comingle completion yang sering digunakan untuk metode pumping
adalah single tubing single packer.

5.3.2.8.Kemungkinan Operasi Treatment dan Workover

Laju produksi besarnya diatur dengan menggunakan choke. Apabila


besarnya laju produksi berkurang sedangkan ukuran choke yang dipakai tetap,
maka kemungkinan terjadinya kerusakan lapisan formasi produktif atau
peralatannya. Maka perlu dilakukan pemeriksaan terhadap penyebab terjadinya
penurunan laju produksi.

A. Treatment karena Rendahnya Laju Produksi


Sumur dengan metode multiple completion dapat segera diketahui
kenaikan maupun penurunan laju produksi untuk masing-masing lapisan.
Perbaikan atau treatment dapat dilakukan tanpa mengganggu lapisan produktif
yang lain. Sedangkan sumur yang menggunakan metode comingle completion
dengan cara melakukan tes produksi dipermukaan. Dasar tes ini dengan
mengubah THP dan mengawasi laju produksi dipermukaan. Pekerjaan ini akan
berhasil bila IPR masing-masing lapisan produktif diketahui.

Rendahnya laju produksi dapat disebabkan karena menurunnya


permeabilitas batuan disekitar lubang bor yang dapat disebabkan oleh :

1. Gas/water blocking, pengendapan material organik maupun material


anorganik
2. Kompaksi/penyumbatan akibat operasi perforasi
3. Invasi mud filtrat atau padatan lumpur.
Untuk treatment dapat dilakukan dengan :

1. Injeksi gas, air atau miscible fluid injection


2. Hidraulic fracturing, acidizing atau steam stimulation (injeksi uap air
panas ke dalam formasi).
Metode yang aman untuk mengatur distribusi tekanan maupun jumlah zat
untuk treatment dalam operasi acidizing atau hidraulic fracturing pada sumur
comingle adalah dengan menggunakan multiple injection packer.

B. Workover Akibat Kerusakan Alat


Kerusakan alat produksi di dalam sumur dapat mengakibatkan
menurunnya laju produksi. Sedangkan penyebab terjadinya kerusakan alat dapat
disebabkan oleh :

 Tersumbatnya peralatan oleh scale, parafin atau pasir yang terkandung


dalam fluida reservoir
 Adanya pasir dalam fluida reservoir yang terproduksi yang bersifat abrasif
dan fluida korosif menyebabkan peralatan menjadi aus.
Cara mengatasi masalah penurunan laju produksi akibat kerusakan alat
dengan memperbaiki atau mengganti peralatan tersebut bila perbaikan tidak
dilakukan. Perbaikan maupun penggantian alat dapat dilakukan dari permukaan
dengan menggunakan wire line melalui production string. Tetapi bila kerusakan
sudah parah maka perbaikan alat dilakukan dengan mengangkat seluruh rangkaian
peralatan dari dasar sumur (pulling of tubing).

Pada multiple completion kerusakan alat produksi dari zona dapat


diketahui. Operasi workover dapat dilakukan tanpa mengganggu produksi dari
zona produktif lain.

Sedangkan pada commingle completion untuk mengetahui kerusakan


peralatan produksi dilakukan dengan mengatur besarnya THP. Laju produksi
besarnya tetap, berarti ada kerusakan pada alat produksinya. Untuk memperbaiki
kerusakan peralatan ini dapat dilakukan dengan menggunakan wire line atau
pencabutan tubing bila kerusakannya cukup parah atau kerusakan packer.

Pada commingle completion, peralatan produksi di bawah permukaan


lebih kecil dan sederhana dibandingkan dengan peralatan produksi pada sumur
yang menggunakan metode multiple completion.
5.2.3. Well Head Completion
Pemilihan metode well head completion dilakukan berdasarkan laju
produksi fluida atau jumlah lapisan produktif, produktifitas formasi dan tekanan
reservoir. Adanya beberapa lapisan produktif yang diproduksikan melalui satu
sumur maka jumlah tubing yang digunakan lebih dari satu. Hal ini akan
mempengaruhi jenis well head yang digunakan.

5.2.3.1.Kondisi Tekanan Reservoir

Pemasangan well head untuk menopang rangkaian pipa dibawah


permukaan dan menahan tekanan dari reservoir. Kondisi reservoir dengan tekanan
berbeda akan berpengaruh selama produksi. tekanan tersebut akan meningkat
dipuncak tubing akibat pengaturan laju produksi dengan choke. X-mastree bagian
dari well head completion juga dipengaruhi oleh tekanan dari sumur dalam
pemilihannya.

5.2.3.2.Laju Produksi Sumur


Selain berfungsi sebagai penghubung tubing pipa produksi horisontal
dipermukaan (flow line), X-matree juga sebagai pengatur laju produksi sumur.

5.4. Perencanaan Well Completion

5.4.1. Formation Completion


Apabila jenis well completion telah dapat ditentukan atau dipilih
berdasarkan faktor yang mempengaruhinya, maka langkah selanjutnya
menentukan rate produksi optimum yang dapat dihasilkan oleh jenis komplesi
yang telah dipilih. Pada sub bab berikut akan dijelaskan terhadap perencanaan
open hole completion, perforated casing competion dan sand exclusion
completion.
5.4.1.1.Open Hole Completion
Perencanaan dan perhitungan yang ada pada komplesi ini didasarkan pada
penempatan komplesinya dalam formasi produktif, yaitu penembusan sebagian
dan total.
A. Perhitungan Laju Produksi Pada Fully Penetrating
Tingkat pemboran di dalam formasi sangat berpengaruh terhadap besarnya
laju produksi yang dihasilkan. Fully penetrating well merupakan sumur dimana
pemboran menembus seluruh ketebalan formasi produktif.
Untuk kondisi ini dimana aliran fluida membentuk aliran radial, maka
penentuan rate dengan menggunakan persamaan yang dikemukan oleh Darcy,
sebagai berikut :
7,082 . k . h . (Pe - Pwf)
q= .................................................... (5-9)
o . Bo . ln (re/rw)

dimana :
q : rate produksi, BPD
k : permeabilitas effektif minyak, md
h : ketebalan formasi produtif, ft
Pe : tekanan formasi pada jarak re dari sumur, psi
Pwf : tekanan dasar sumur, psi
o : viscositas minyak, cp
Bo : faktor volume formasi minyak, bbl/STB
rw : jari-jari sumur, ft
re : jari-jari pengurasan, ft.
Fully penetrating well umumnya diterapkan pada sumur dengan
mekanisme pendorong reservoir berupa depletion drive diman tidak ada
akumulasi air ataupun gas.
B. Perhitungan Rate Produksi Pada Partially
Penetrating
Partialy Penetrating well merupakan sumur dengan lubang bornya hanya
mencapai sebagian dari ketebalan formasi produktif, dapat dilihat pada Gambar
5.20.
Muskat menyatakan bahwa kepasiran produksi pada partially penetrating
well adalah berbanding langsung/lurus terhadap fraksi penembusan dari ketebalan
total formasi produktif. Gambar 5.21. menunjukkan untuk ketebalan formasi
sebesar 130 ft dengan fraksi penetrasi 0,2 (26 ft) dan 0,8 (110 ft) akan didapatkan
produktivity ratio (PR) masing-masing adalah 30 % sampai 90 %. Dengan kata
lain sumur dengan kedalaman penetrasi 110 ft akan mempunyai kapasitas
produksi tiga kali lebih besar bila dibandingkan dengan sumur yang mempunyai
kedalaman penetrasi 26 ft.
Untuk kondisi ini dimana aliran fluida tidak lagi bergerak radial penuh
tetapi ada juga terjadi aliran sperical sehingga rumus yang diterapkan pada fully
penetrating well tidak bisa digunakan. Untuk itu Craft dan Hawkins telah
melakukan penyelidikan dengan berdasarkan Electric Model dan menghasilkan
perumusan perhitungan laju produksi dengan persamaan sebagai berikut :
7,082 . k . h . f .(Pe - Pwf)  r 
q= 1 + 7 w Cos (f . 90 0 )  .......................... (5-
o . Bo . ln (re/rw)  f h 
10)
Sedangkan produktivity ratio dinyatakan sebagi berikut :
 r 
PR = f 1 + 7 w Cos (f . 90 0 )  .............................................................. (5-11)
 fh 
dimana :
f : fraksi penetrasi = D/h, tanpa satuan
D : Jarak kedalaman penetrasi/lubang bor, ft.
Gambar 5.20
Partially Penetrating Well Water Drive
(Buzarde.L.E.,1972)

Gambar 5.21
Produktivity Ratio Pada Partially Penetrating Well
(Buzarde.L.E.,1972)
Dari persamaan di atas terlihat bahwa harga q (laju produksi) akan
semakin kecil untuk f semakin kecil atau jarak kedalaman lubang bor yang
semakin kecil. Sebaliknya harga laju produksi akan semakin besar bila f semakin
besar. Bila harga f = 1 atau kedalaman lubang bor sama dengan ketebalan formasi
maka persamaan akan menjadi persamaan seperti fully penetrating well.
Penerapan partially penetrating well biasanya pada reservoir water drive
untuk menghindari produksi air yang tinggi. Pada partially penetrting ada
beberapa pengaruh diantaranya adalah :
1. Pengaruh Coning
Adanya pengaruh coning dalam hubungannya dengan partial penetrasi
akan mengganggu efisiensi pengurasan sumur.
. Tinggi dari cone akan bertambah dengan bertambahnya tekanan drow-down
sumur. Tekanan drow-down maksimum tanpa menyebabkan air masuk ke dalam
sumur dapat diperkirakan sebagai berikut :
Pmax  0,433 ( SGw  SGo) h max ................................................................... (5-
12)
Bila selesih specific gravity dari fluida reservoir adalah 0.30 dan jarak
vertikal antara dasar sumur dengan batas air-minyak awal adalah 10 ft, maka P max
akan didapatkan sekitar 1,00 psi. dengan demikian untuk suatu sumur dengan
produktivity index 10 STB/hari/psi, aliran maksimal tanpa menyebabkan air
masuk ke dalam sumur adalah sekitar 13 BPD.
2. Pengaruh berkurangnya tekanan dasar sumur (Pwf)
Tekanan dasar sumur pada partially penetrating adalah lebih kecil daripada
kondisi totally penetrating. Hal ini disebabkan adanya skin demage (pseudo skin
damage).

3. Pengaruh Skin Damage


Adanya perubahan aliran fluida secara radial menjadi spherical karena
pengaruh partial penetration ini, akan menyebabkan bertambahnya pressure drop
di sekitar lubang bor yang dinyatakan sebagai extra skin faktor.
5.4.1.2.Perforated Casing Completion

Dalam metoda ini casing produksi dipasang menembus formasi produktif


dan disemen yang selanjutnya diperforasi pada interval-interval yang diinginkan.
Dengan adanya casing formasi yang mudah gugur dapat ditahan.

Perforated casing completion umunya digunakan pada formasi-formasi


dengan faktor sementasi (m) sebesar 1.4.

Untuk mendapatkan laju aliran yang seefisien mungkin, maka dalam


melakukan perencanaan perforasi dilakukan perhitungan secara cermat. Hal ini
agar tidak terjadi hambatan dalam mengalirkan fluida formasi ke dasar sumur.
Penentuan dan perhitungan dalam perforasi, antara lain :

A. Perhitungan dan Penentuan Interval Perforasi


Penentuan interval perforasi dimaksudkan untuk mendapatkan suatu posisi
dan panjang rangkaian perforasi optimum yang memberikan laju produksi
maksimum tanpa ikut terproduksinya air dan gas. Ada beberapa metoda yang
dapat digunakan untuk menentukan interval dan posisi perforasi, diantaranya
dikemukakan oleh Chierici.

 Metode Chierici et. al.

Metoda ini menggunakan suatu model potentiometric yang didasarkan


pada teori water dan gas coning dari Muskat. Beberapa anggapan dari metoda ini
adalah sebagai berikut :

1. Reservoir homogen, ukuran aquifier terbatas sehingga tidak merupakan tenaga


pendorong.
2. Gas cap berkembang dengan kecepatan yang relatif kecil, sehingga gradien
potensial di gas cap dapat diabaikan.
3. Dibawah kondisi statis, permukaan kontak antara fluida adalah horisontal.
4. Fluida reservoir incompressible.
5. Pengaruh tekanan kapiler dapat diabaikan.
Dengan beberapa anggapan tersebut diatas, maka oil-water dan gas-oil
interface (t1 dan t2) akan stabil apabila laju produksi minyak melalui sumur
produksi tidak lebih besar dari harga yang memberikan pada persamaan berikut :

h 2  pow K rw
Qow  3,073 x 10 3
 (rde , fb, w) .................................... (5-13)
o  g

h 2  pog K rw
Qog  3,073 x 10 3
 (rde , fb, o) .................................... (5-14)
o o

dimana :

Qow = laju produksi maksimum minyak tanpa terjadi water coning, STB/hari

Qog = laju produksi maksimum minyak tanpa terjadi gas coning, STB/hari

h = ketebalan zona minyak, ft

kro = permeabilitas efektif minyak horizontal, md


rDe = re/h (kvo/kro) = parameter jari-jari pengurasan

e = b/h = parameter interval perforasi, ft

dg = hcg/h

hcg = jarak batas air-minyak ke puncak perforasi, ft

hcw = hcw/h

hcw = jarak batas air-minyak ke puncak perforasi, ft

kvo = permeabilitas efektif minyak vertikal, md

Ψ = fungsi tidak berdimensi

re = jari-jari pengurasan, feet.

Dari persamaan di atas, suatu syarat untuk tidak berproduksinya air dan
gas bebas ke permukaan adalah :
Qo  Qow atau Qo  Qog

5  rDe  80
0  fb  0,75
0,07  (hcw/h)  0,9.
Langkah-langkah penentuan interval dan posisi perforasi dengan metode
ini adalah :
1. Hitung rDe.
2. Hitung og/ow.
3. Ambil beberapa kemungkinan harga (misalnya 0,1 ; 0,2 dan seterusnya).
4. Dengan memakai grafik plot antara  vs  (sesuai dengan harga rDe yang
telah dihitung) dan salah satu dari beberapa kemungkina harga , akan
didapat  dan g optimum berdasr harga yang telah dihitung pada langkah
2. Bila aguifer dan gas cap, kondisi maksimum laju produksi kritis secara
teoritis memenuhi Qoptimum = Qog = Qow.
5. Hitung harga melalui Persamaan (4-13) atau (4-14) dengan menggunakan
harga-harga yang telah ditentukan pada langkah 4.
6. Dengan mengetahui kemampuan sumur pada berbagai interval perforasi
maka dari berbagai harga Qoptimum yang telah dihitung pada langkah 5, dapat
ditentukan harga Qoptimum yang sesuai atau laju produksi kritis yang sesuai
dengan sumur yang bersangkutan.
7. Perhitungan-perhitungan tersebut diulangi lagi untuk harga interval
perforasi yang lain sampai diperoleh harga Q optimum yang sama atau hampir
dama dengan Qactual.
B. Perhitungan Density Perforasi
Density perforasi adalah jumlah lubang perforasi per satuan panjang (ft).
Untuk mencegah terjadinya coning, faktor utama yang harus dibatasi adalah laju
produksi water awal dari sumur tersebut akan membandingkan laju produksi dari
sumur yang diperforasi (Qp) terhadap produktivitas sumur bila dikomplesi secara
terbuka (Qo).

Besarnya productivity ratio dinyatakan oleh Muskat sebagai berikut :


re
Qp ln
rw
 ......................................................................... (5-15)
Qo re
C  ln
rw
dimana :
Qp = laju produksi maksimal sumur perforasi
Qo = laju produksi sumur bila diselesaikan secara open hole
C = faktor skin perforasi dan formasi.
Dengan demikian terlihat bahwa, produktivitas awal dari suatu formasi
dipengaruhi oleh faktor-faktor :
- Skin karena lumpur bor dan semen
- Perforasi, yang meliputi pola, kedalaman penembusan dan diameter
perforasi.
Di dalam perforasi dikenal dua macam pola perforasi yaitu :
- Pola sederhana (simple)
- Pola tangga (staggred).
.
II. Perhitungan Faktor Skin Perforasi
Laju aliran dari formasi ke dalam sumur pada perforated casing
completion, dipengaruhi oleh kerusakan (damage) dan lubang perforasi. Dalam
hal ini keduanya dapat dikatakan sebagai skin yang sama secara kuantitatif dapat
berharga positif atau negatif. Untuk selanjutnya masing-masing dinyatakan
sebagai skin damage (Sd) dan skin perforasi (Sp). Sedangkan hasil dari analisa tes
tekanan memberikan harga skin total (St), dimana :
St = Sd + Sp ....................................................................................... (5-16)
dimana :
S = St untuk sumur berselubung (bercasing)
St = Sd atau Sp = 0 untuk open hole completion.
Teori analisa fluida menuju ke sumur menganggap geometri aliran radial dengan
batas-batas r = rw (dinding formasi) dan r = re (batas pengurasan). Apabila faktor
skin diperhitungkan sebagai kehilangan tekanan, maka persamaan menjadi :
7,08kh Pr  Pwt 
q
  ln re   1  S
................................................................. (5-17)
 rw  2

Dalam hal ini, makin kecil diameter perforasi, semakin besar skin
perforasinya. Dan makin banyak lubang juga makin dalam perforasinya, maka
skin semakin kecil.
Untuk menentukan harga skin faktor akibat perforasi (Sp), K.C. Hong
telah membuat beberapa nomogram seperti pada Gambar 5.22 (untuk simple
pattern) dan Gambar 5.23 (untuk staggered patterns). Gambar 5.24 berfungsi
untuk koreksi bila diameter perforasi 0,25 dan 1 inch.
Langkah-langkah untuk menentukan (Sp) dengan menggunakan
nomogram-nomogram tersebut sebagai berikut :
1. Tentukan harga :
- Diameter sumur (dw) yaitu diameter outside casing (OD) ditambah dua kali
ketebalan semen.
- Ratio permeabilitas vertikal dengan horizontal, kv/kh.
- Pola perforasi (yaitu harga perforation phasing, 0 dan interval dalam
masing-masing perforasi, h).
- Depth of penetration (dihitung dari muka semen).
2. Gunakan Gambar 5.22. (untuk simple patterns) atau Gambar 5.23. (untuk
staggered patterns) untuk mendapatkan harga (Sp). Mulailah dari sisi kiri
nomogram dan dibuat garis penghubung dengan parameter-parameter yang
telah didapat dalam langkah pertama.
3. Dengan memakai Gambar 5.24. dilakukan koreksi harga Sp dari langkah 2
untuk diameter perforasi yang berbeda. Setelah harga Sp didapat, maka dapat
dihitung harga skin total (St) apabila skin damage (Sd) diketahui, sehingga
perhitungan produktivitas sumur bisa dilakukan dengan menggunakan
Persamaan (5-18). Untuk menentukan productivity rationya dapat
menggunakan persamaan :
Gambar 5.22
Nomogram untuk menentukan perforation skin faktor (Sp),
(simple patterns, ½ inch perforation)
(Bell, W.T, 1972)
Gambar 5.23
Nomogram untuk menentukan perforation skin faktor (Sp),
(staggered patterns, ½ inch perforation)
(Bell, W.T, 1972)
qp ln re / rw
production ratio ( PR)   ................................... (4-18)
q S t  ln re / rw

Gambar 5.24
Koreksi Sp untuk diameter perforasi 1 inch dan 1/4 inch.
(Bell, W.T, 1972)
Apabila St berharga negatif, berarti PR akan mempunyai harga lebih dari
satu. Jadi dapat disimpulkan bahwa laju produksi sumur yang diperforasi dapat
lebih besar dari laju produksi sumur pada kondisi open hole.
III. Perhitungan Pressure Drop Perforasi
Salah satu penyebab rendahnya productivitas sumur pada perforated
completion adalah karena program pelubangan selubung (perforasi) yang tidak
memadai. Apabila kondisi ini terjadi, akan berakibat timbulnya suatu hambatan
terhadap aliran atau bertambahnya penurunan tekanan (pressure drop) dalam
formasi. Oleh karena itulah, Carl Granger dan Kermit Brown telah menggunakan
analisa Nodal untuk mengevaluasi besarnya penurunan tekanan melalui lubang
perforasi, pada berbagai harga density perforasi.

Analisa Nodal disini, diterapkan untuk Standart Perforated Well, dengan


menganggap perforated hole turn 90° dan tidak terjadi damage zone disekeliling
lubang bor. Anggapan-anggapan lain yang digunakan dalam mengevaluasi
pressure drop melalui lubang perforasi ini adalah :

1. Permeabilitas dari crushed zone atau compact zone adalah :


a. 10% dari permeabilitas formasi apabila diperforasi dengan tekanan
overbalanced (tekanan hidrostatis dalam lubang bor lebih besar daripada
tekanan formasi).
b. 40% dari permeabilitas formasi, apabila diperforasi dengan tekanan
underbalanced (tekanan hidrostatis dalam lubang bor lebih kecil
daripada tekanan formasi).
2. Ketebalan crushed zone adalah 1/2 inch.
3. Infinite reservoir adalah, sehingga Pwfs tetap pada sisi dari compact zone,
jadi pada closed outer boundary, konstanta – 3/4 pada persamaan Darcy
dihilangkan.
2. Untuk mengevaluasi presure drop melalui lubang perforasi digunakan
persamaan dari Jones, Blount dan Gazle.
Persaman dibawah ini hanya berlaku untuk sumur minyak pada umumnya,
yaitu sebagai berikut :
Pwfs – Pwf = aq2 + bq = P ............................................................................. (5-19)

atau,
  1 1   
 o  o  ln re r 
4 2
2,30 x 10 Bo  o  r p  re 
  2
P   p 
q  3
q
Lp 7,08 x 10 L p K p
 4  1 1 
2,30 x 10  Bo  o  r p  re 
  
a
Lp

 
 o  o  ln re 
 r p 
b 3
7,08 x 10 L p K p

-1=
2,33 x 1010
β = turbulence factor, ft 1, 201
Kp

dimana :
Bo = faktor volume formasi, bbl/STB
ρo = densitas minyak, lb/cuft
Lp = perforation length, ft
Kp = permeabilitas compact zone, md (kp = 0.1 k formasi, jika overbalanced
dan kp = 0.4 k formasi, jika kondisi underbalanced)
rp = jari-jari lubang perforasi, ft
re = jari-jari compact zone, ft (re = rp + 0.5 inch)
μo = viscositas minyak, cp.

Tekanan dasar sumur merupakan faktor yang dipertimbangkan dalam


perencanaan perforasi sumur, karena hal ini berpengaruh pada efek pembersihan
lubang perforasi.

5.5.1.3.Sand Exclusion Type Completion


Metode ini digunakan dengan maksud mencegah terproduksinya pasir dari
formasi produktif yang kurang kompak. Metode-metode yang umum digunakan
untuk menanggulangi masalah kepasiran adalah liner completion, gravel pack
completion yang biasa dikombinasikan dengan screen liner dan consolidation
completion.

A. Perhitungan Ukuran Lubang pada Screen


Untuk menganalisa besar butir dapat dilakukan dengan cara yaitu sample
yang diambil dari side wall coring ditumbuk agar butiran-butiran pasirnya
terpisah. Kemudian dimasukkan kedalam alat analisa butiran yang tersusun
dengan sieve opening yang berbeda dimana ukuran yang paling besar diletakkan
paling atas dan yang lebih kecil diletakkan dibawahnya.
Dengan adanya getaran dari vibrator maka diperoleh butiran-butiran pasir
pada tiap-tiap saringan tersebut selanjutnya butiran-butiran pasir dari masing-
masing saringan ditimbang.

Prosen berat kumulatif pasir yang tertahan pada sagan (sieve) diplot
terhadap log dari pada ukuran masing-masing saringan pada kertas grafik. Plot
dapat juga dilakukan untuk prosen berat pasir pada masing-masing saringan
terhadap ukuran masing-masing saringan. Penentuan ukuran pelubangan pada
screen liner biasanya didasarkan pada diameter butiran (pasir) pada persen
kumulatipnya. Beberapa peneliti yang memberikan batasan mengenai ukuran
lubang pada screen liner sebagai berikut:
Wilson : W = d 10 .............................................................................(5-20)
Coberly : W = 2d10..............................................................................(5-21)
Gill : W = d 15 .............................................................................(5-22)
De Priester : 0,050 in. s W s d 20 ..............................................................(5-23)
Schulmberger : 0,5 diameter gravel terkecil…………………..……… ... .. (5-24)
dimana :
W = ukuran pelubangan screen liner, inch
d10 = diameter butir pasir pada titik 10 % berat kumulatif pada kurva distribusi, in
d15 = diameter butir pasir pada titik 15 % berat kumulatif pada kurva ditribusi, in
d20 = diameter butir pasir pada titik 20 % berat kumulatif pada kurva distribusi,in.
Selain ukuran lebar celah, faktor penting lainnya adalah perencanaan
diameter screen yang akan digunakan. Perencanana dimeter screen dimaksudkan
untuk memperoleh produktivitas yang tinggi dan kemudian pengoperasikan pada
sand control dengan gravel pack. Beberapa petunjuk yang digunakan untuk
merencanakan diameter screen pada sumur-sumur yang dipasang casing, antara
lain adalah :
1. Secara praktis, diameter luar (OD) screen paling tidak berukuran 2 inch
lebih kecil dibanding diameter dalam (ID casing)
2. Screen tidak membutuhkan diameter yang lebih besar dari diameter
production string.
Tabel (V-3) dibawah ini menunjukkan diameter screen yang dianjurkan
untuk setiap diameter casing tertentu.

Disamping hal tersebut di atas, berikut ini adalah beberapa petunjuk yang
digunakan untuk merencanakan diameter dari screen pada open hole completion,
yaitu :
1. Diameter luar screen paling tidak berukuran 4 inch lebih kecil dibanding
diameter lubang sumur.
2. Screen tidak selalu membutuhkan diameter yang lebih besar dari diameter
production string.

Tabel V-3
Diameter screen yang dianjurkan
Gatlin.C.,1960)
Casing Size Maksimum Screen Diameter
OD WT ID Pipe OD Wire OD
(in) (lbs) (in) (in) (in)
4 9,5 3,5 1 1,815
4 –1/2 11,6 4,0 1-1/4 2,160
5 18,0 4,2 1-1/2 2,400
5 –1/2 17,0 4,8 2-3/8 2,875
6 5/8 24,0 5,9 3-1/2 4,000
7 29,0 6,1 3-1/2 4,000
7 5/8 33,7 6,7 4 4,500
8 5/8 36,0 7,8 5 5,500
9 5/8 47,0 8,6 5-1/2 6,000

B. Perhitungan Ukuran Gravel Pack


Untuk ukuran slot ada beberapa pendapat (rumus) yang dapat
dikemukakan di sini antara lain :
Coberley dan Wagner : D = 10 x d10 ............................................. (5-25)
Tausch dan Corley : 4 x d10 > D < 6 x d10................................. (5-26)
soucier : D = 5 s/d 6 x d50 ...................................... (5-27)

C. Pressure Drop pada Gravel Pack


Untuk mengevaluasi pressure drop pada gravel pack completion ini,
digunakan persamaan dari Joness, Blount dan Glazo seperti terlihat dibawah ini :

Pwfs  Pwf  aq 2  bq  P ................................................................. (5-28)


dimana,
9,08 x 10 13 b B o r o L
a
A
 o Bo L
b
1,127 x 10  3 k o

-1
1,47 x 10 7
b = turbulence factor, ft = 0 , 55 .
ko
dimana :
Pwf = tekanan aliran dasar sumur, psig
Pwfs = tekanan aliran dasar sumur pada permukaan pasir(sandface), psig
Q = laju aliran, bbl/day
Bo = faktor volume formasi, bbl/STB
ro = densitas minyak, lb/cuft
L = length of linear flow fat, ft
ko = permeabilitas dari gravel, md
rp = jari-jari lubang perforasi, ft
mo = viscositas minyak, cp.

5.5.2. Perhitungan Perencanaan Tubing Completion


Dasar dari perencanaan tubing completion adalah vertical flow
performance, karena menjadi dasar utama dalam penentuan ukuran tubing dan
analisa kehilangan tekanan pada tubing.
5.5.2.1.Perhitungan Ukuran Tubing Completion
Perencanaan ukuran tubing antara lain dimaksudkan untuk mengatasi
terlalu besarnya tekanan yang hilang pada tubing. Agar fluida dari dasar sumur
dapat mencapai permukaan maka selisih tekanan aliran dasar sumur dengan
kehilangan tekanan di dalam tubing harus lebih besar dari tubing head pressure
(THP).

Gilbert menggunakan metode empiris, yaitu berdasarkan pengukuran


kehilangan tekanan aliran di tubing, kemudian dibuat grafik yang dapat digunakan
untuk maksud ekstrapolasi. Dalam pendekatannya Gilbert memperhatikan
variabel-variabel tubing depth, Pwf, THP, gross liquid rate, GOR dan ukuran
diameter tubing. Pwf merupakan fungsi dari kelima variabel. Untuk suatu ukuran
tubing tertentu, bila THP konstan maka Pwf hanya fungsi dari kedalaman.

Grafik-grafik yang telah dibuat oleh Gilbert berdasarkan pada data


lapangan adalah ukuran 1,66 , 1,9, 2 3/8, 2 7/8, 3 ½ inch dan laju produksi pada
50, 100, 200, 400 dan 600 BPD dari crude oil dengan API 25 sampai 40.

Grafik-grafik tersebut digunakan untuk :

3. Mengetahui tekanan setiap kedalaman tubing tanpa mengukur tekanan tubing


secara langsung. Untuk keperluan ini harus diketahui laju produksi q, GLR
dan ukuran tubing.
4. Menentukan Pwf dari THP. Caranya THP diekivalensikan dengan kedalaman
dan ditambah panjang tubing dan dikembalikan ke ekivalen tekanan sehingga
diperoleh Pwf.
Gambar 5.25
Grafik pressure traverse untuk tubing 1,9995 inch.
(Brown,Kermit E., 1977)
5.5.2.2.Perhitungan Pressure Loss pada Tubing
Perhitungan kehilangan tekanan selama terjadi aliran melalui pipa vertikal
(tubing) telah dilakukan oleh beberapa peneliti, antara lain : Poettman dan
Carpenter, Gilbert, Hagerdon dan Brown serta Beggs dan Brill.

 Metode Poettman dan Carpenter


Poettman dan Carpenter mengembangkan metode semi empiris
berdasarkan persamaan keseimbangan energi serta data dari 34 sumur minyak
flowing dan 15 sumur minyak gas-lift yang menggunakan tubing 2’’, 2,5’’ dan
3’’. Minyak, air dan gas dianggap sebagai satu fasa dan tidak korelasi liquid hold
up. Selain daripada itu juga dianggap aliran minyak, air dan gas merupakan aliran
turbulen. Kehilangan energi yang terjadi sepanjang aliran tersebut, dikorelasikan
dengan pembilang daripada bilangan Reynold, seperti terlihat pada Gambar 5.26

Gambar 5.26.
Grafik dalam menentukan laju produksi untuk ukuran tubing tertentu dan
THP tertentu.
(Nind.T.E.W.,1964)
Beberapa hal yang harus diingat mengenai penggunaan dari metode ini adalah :

1. Korelasi ini dapat digunakan untuk pipa-pipa yang ukurannya sesuai dengan
ukuran pipa-pipa yang digunakan dalam studi ini, yaitu : 2’’, 2.5’’ dan 3’’.
Penggunaan metode ini untuk ukuran pipa yang lain, harus
mempertimbangkan mengenai hasil yang diperoleh.

3. Laju aliran total digunakan untuk menghitung density pada setiap titik dalam
pipa.
4. Pola aliran diabaikan.
5. Pengaruh viskositas diabaikan. Studi oleh Ross, Hagerdorn dan Brown
menunjukkan bahwa pengaruh viskositas di atas 6 cp (atau 10 cp), perlu
diperhitungkan
Gambar 5.27
Korelasi faktor gesekan Poettman dan Carpenter
(Nind.T.E.W.,1964)
6. Komponen percepatan dalam persamaan energi diabaikan. Hal ini benar untuk
kondisi tertentu, tetapi bila kecepatan aliran sangat tinggi, maka komponen
percepatan perlu diperhitungkan.
7. Faktor gesekan dianggap merupakan harga rata-rata untuk seluruh panjang
tubing, sedangkan sebenarnya faktor gesekan berubah dari dasar sumur
sampai kepermukaan.
Poettman dan Carpenter mengembangkan korelasinya berdasarkan
persamaan energi umum, yang kemudian diubah dalam bentuk total massa laju
aliran, seperti berikut :

P 1  fw 2 
  5  ........................................................ (5-29)
L 144  7.413 x 10 d 
10
dimana :

w = massa laju aliran total, lb/hari

ρ = density campuran, lb/cuft

δ = diameter dalam pipa, ft

f = faktor gesekan yang diperoleh dari Gambar (5.27)

Selanjutnya, prosedur perhitungan penurunan tekanan sepanjang pipa


vertikal dengan metode Poettman dan Carpenter, adalah sebagai berikut :

1. Data yang harus tersedia adalah :


a. Gas Liquid Ratio (GLR).
b. Specific Gravity Gas.
c. Faktor volume formasi berbagai tekanan
d. Kelarutan gas dalam minyak berbagai tekanan
e. API gravity minyak
f. Laju aliran minyak dalam air
g. Specific Gravity air
h. Tekanan aliran dipermukaan
i. Temperatur dipermukaan dan gradien temperatur
j. Kedalaman tubing/sumur
k. Ukuran tubing
2. Pada kertas grafik milimeter, plot kedalaman pada sumbu vertikal, dengan
titik nol di atas dan plot harga tekanan aliran dipermukaan pada sumbu
horizontal atau tekanan aliran dasar sumur pada kedalaman total.
3. Berdasarkan 1 STB minyak, tentukan massa minyak, gas dan air per STB,
sebagai berikut :
m = berat minyak + berat gas + berat air

m  350  0   0.0764 g   R   350  w  WOR  ..................... (5-30)

4. Tentukan berat total dari fluida yang terproduksi setiap hari, yaitu
merupakan perkalian antara langkah 3 denga laju aliran minyak.
5. Dimulai dari tekanan aliran dipermukaan (flowing tubing pressure) anggap
beberapa titik tekanan pada tubing sesuai dengan pertambahan tekanan.
Pertambahan tekanan ini harus cukup kecil, supaya diperoleh grafik yang
baik.
6. Hitung volume campuran minyak, gas dan air pada tekanan yang sesuai
dengan langkah 5, per STB minyak/satuan cuft.
Volume total = volume (minyak + gas + air)

14.7 TZ
Vw  5.61 B0  5.61WOR   volume gas bebas  . (5-31)
P520

volume gas bebas = (Rs – GOR)

7. Menentukan densitas campuran pada tekanan yang bersangkutan :


ρ = (m/Vm)

8. Hitung pembilang daripada bilangan Reynold, yaitu :


1.4737 x 10 5  q 0  m 
dv  ................................................... (5-32)
d

9. Tentukan faktor gesekan (f) dengan menggunakan Gambar 5.27


10. Hitung gradien tekanan (δρ/δL), dengan menggunakan Persamaan (5-33).
11. Ulangi prosedur di atas, mulai dari langkah 5 untuk titik tekanan berikutnya
dan tentukan gradien tekanannya.
12. Rata-ratakan hasil perhitungan gradien tekanan tersebut dengan tekanan
rata-rata, maka akan dihasilkan jarak antara kedua titik tersebut.
13. Plot jarak tersebut ke dalam kertas grafik, sesuai dengan tekanannya.
14. Ulangi langkah tersebut di atas sampai kedalaman sumur tercapai.

A. Metode Poettman dan Carpenter


Poettman dan Carpenter mengembangkan metode semi empiris
berdasarkan persamaan keseimbangan energi serta data dari 34 sumur minyak
flowing dan 15 sumur minyak gas-lift yang menggunakan tubing 2’’, 2,5’’ dan
3’’. Minyak, air dan gas dianggap sebagai satu fasa dan tidak korelasi liquid hold
up. Selain daripada itu juga dianggap aliran minyak, air dan gas merupakan aliran
turbulen.

Beberapa hal yang harus diingat mengenai penggunaan dari metode ini adalah :

1. Korelasi ini dapat digunakan untuk pipa-pipa yang ukurannya sesuai dengan
ukuran pipa-pipa yang digunakan dalam studi ini, yaitu : 2’’, 2,5’’ dan 3’’.
Penggunaan metode ini untuk ukuran pipa yang lain, harus
mempertimbangkan mengenai hasil yang diperoleh.

8. Laju aliran total digunakan untuk menghitung density pada setiap titik dalam
pipa.
9. Pola aliran diabaikan.
10. Pengaruh viskositas diabaikan. Studi oleh Ross, Hagerdorn dan Brown
menunjukkan bahwa pengaruh viskositas di atas 6 cp (atau 10 cp), perlu
diperhitungkan.
11. Komponen percepatan dalam persamaan energi diabaikan. Hal ini benar untuk
kondisi tertentu, tetapi bila kecepatan aliran sangat tinggi, maka komponen
percepatan perlu diperhitungkan.
12. Faktor gesekan dianggap merupakan harga rata-rata untuk seluruh panjang
tubing, sedangkan sebenarnya faktor gesekan berubah dari dasar sumur
sampai kepermukaan.
Poettman dan Carpenter mengembangkan korelasinya berdasarkan
persamaan energi umum, yang kemudian diubah dalam bentuk total massa laju
aliran, seperti berikut :

P 1  fw 2 
  5  ........................................................ (5-33)
h 144  7,413 x 10 d 
10

dimana :

w = massa laju aliran total, lb/hari

ρ = density campuran, lb/cuft

δ = diameter dalam pipa, ft


f = faktor gesekan.

5.5.3. Perhitungan Perencanaan Well Head Completion


Titik potong dalam merencanakan well head completion adalah memilih
well head yang sesuai dengan rentang tekanan dan menentukan diameter choke
yang dibutuhkan di samping pula pemilihan x-mastree yang akan digunakan.

5.5.3.1.Perencanaan Well Head


Perencanaan ukuran well head dipilih per-bagian dimulai dari lower most
casing head yang dirancang bagian dalamnya dapat memberikan lubang masih
terbuka luas agar peralatan yang diturunkan ke bawah permukaan tidak merusak
tubing head. Dalam perencanaan ukuran atau kekuatan dari lower most casing
head yang akan dipergunakan adalah bergantung dari ukuran casing yang dipakai
dan harus mempunyai tekanan kerja minimal sama dengan tekanan formasinya.
Disamping itu dalam merencanakan lower most casing head harus dapat
menerima casing hanger tanpa menimbulkan kerusakan casing dan rangkaiannya,
serta ukuran flange yang digunakan harus tepat. Sebagai contoh ukuran dari
flange 12” adalah untuk tekanan herja 300 psig, bilaukuran casing yang digunakan
ukuran 11¾” atau 13 3/8” Sedangkan dalam perencanaan ukuran dan kekuatan
intermediate, casing head bergantung dari rangkaian casing yang digantungnya
dan harus mempunyai tekanan kerja minimal sama dengan tekanan permukaan
maksimumnya yang menyebabkan kerusakan formasi pada dasar rangkaian casing
intermediate dan tekanan kerja intermediate casing head mempunyai ukuran 6”
s/d 20”, yang digunakan untuk menopang ukuran casing dari 4 ½” s/d 13 3/8”.
Intermediate casing head digunakan pada tekanan kerja 960, 2000, 3000 dan
5000 psig.

Sebagai tanbahan dalam perencanaan intermediate casing head harus


memperhatikan beberapa faktor, antara lain bahwa bagian bawah flange dari
intermediate casing head, sementara bagian atas flange intermediate casing head
harus cocok ukuran dan tekanan kerjanya dengan alat-alat yang dipasang casing
spool tersebut. Lebih dari itu, ukuran dan tekanankeja serta jenisnya harus cocok
dengan ukuran lubang saluran keluar (outlet). Sedangkan casing hanger yang
berfungsi untuk menggantungkan rangkaian casing berikutnya, bergantung dari
penampang flange dan ukuran dari casing yang digantung.

Dalam perencanaan dan kekuatan tubing head bergantung dari ukuran


casing yang digunakan harus mempunyai tekanan kerja yang mampu menahan
tekanan aliran fluida formasi. harus diperhatikan pula beberapa hal, seperti ukuran
flange bagian bawah dari tubing head dan tekanan kerjanya harus sesuai dengan
flange bagian atas dari casing head atau cross over flange yang telah dipasang
sebelumnya. Tubing head yang dipilih harus dapat memberikan terusan yang luas,
sehingga rangkaian casing produksi dan pemasangan alat-alat artificial lift dapat
masuk jika diperlukan.

5.5.3.2.Perencanaan Christmas-Tree
Perencanaan x-mas tree sangat dipengaruhi oleh kondisi tekanan sumur,
disamping pula oleh jumlah komplesi yang digunakan serta system produksi yang
digunakan.

Kondisi tekanan perlu diperhatikan karena x-mas tree dalam standart API
diklasifikasikan berdasarkan kesanggupan dalam menahan tekanan kerja. Setiap
x-mass tree mempunyai seri dan tekanan kerja masing-masing.

• Seri 400 untuk tekanan kerja 960 psig.


• Seri 400 untuk tekanan kerja 2000 psig dan
seterusnya.
Bila perencanaan didasarkan atas jumlah komplesinya maka diperlukan
pemilihan Christmas tree yang sesuai dengan jumlah komplesinya, misalnya bila
jumlah komplesi sumur adalah dua maka digunaka Christmas tree double wing
dan seterusnya.
5.3.3. Perencanaan Ukuran Choke
Choke performance merupakan bagian analisa ulah kerja sumur sembur
alam pada kepala sumur yang meliputi kehilangan tekanan akibat penyempitan
diameter pipa pada bagian tertentu (surface choke). Selain dipasang pada
peralatan kepala sumur, biasanya dipasang pula tubing pada tubing di dasar sumur
(subsurface choke). Hal terpenting dalam perencanaan choke adalah perencanaan
ukuran dan perhitungan pressure drop yang terjai pada choke.
Tujuan utama pemasangan choke adalah untuk mengatur laju produksi
yang sesuai perencanaan. Pemilihan choke di lapangan minyak dilakukan
sedemikian rupa hingga bagian tekanan down stream di dalam flow line tidak
berdampak jelek terhadap tekanan kepala sumur dan kelakuan produksi sumur.
Tekanan kepala sumur sedikitnya dua kali lebih besar dari tekanan flow line.
Untuk pemilihan ukuran choke yang sesuai denan laju produksi yang
direncanakan, dapat ditentukan dengan dua metode.
Analisa Menurut Gilbert
Teoritis, Gilbert menurunkan suatu persamaan untuk menentukan diameter
choke, yaitu:
CxR 05 xq
Pwh  ……………..………………………………………. (5-34)
S2

Di mana:
Pth = Tubing head pressure, psi
C = Konstanta yang besarnya diambil dari harga 600
S = Ukuran choke per 64”
R = Gas liguid ratio, MCF/bbl
Jika menggunakan data lapangan, Gilbert menurunkan persamaan sebagai berikut:
435 xR 0564 xq
Pwh  ..………..…………………………………………. (5-
S 180
35)
Di mana:
q = Laju produksi cairan total, bbl/day
Dari persamaan di atas dapat dibuat nomogram untuk mencari ukuran choke,
terlihat pada Gambar 5.28. pembacaan nomogram tersebut dibawah ini adalah
dari titik potong laju produksi yang didinginkan dengan harga GLR ditarik garis
horisontal ke kanan sampai memotong garis ukuran choke 10/64 selanjutnya
ditarik garis vertikal sampai memotong garis ukuran choke yang didinginkan.
Kemudian dari titik terakhir di atas ditarik ke kiri horisontal sehingga diperoleh
harga THP. Jadi harga THP ini ukuran choke telah sesuai.
Penentuan ukuran choke dengan menggunakan Ros Formula prinsipnya
adalah sama dengan metode Gilbert, akan tetapi Ros menggunakan Formula untuk
mengembangkan aliran gas cairan kritis yang melalui suatu hambatan. Dalam
bentuk sederhana persamaan tersebut adalah:
Pwh  17.4q ( R 05 ) /( S 2 ) …………………………………………………. (5-
36)
Di mana:
Pwh = Tekanan kepala tubing, psi
Q = laju produksi minyak, STB/day
0.00504Tz ( Rp  Rs
R
BoP

Rp = Gas oil ratio, SCF/STB


Rs = Kelarutan gas dalam minyak pada tekanan tubing dan temp ( 85o F)
Bo = FVF minyak pada tekanan tubing dan temperatur 85o F
P = P1/4636.8
P1 = Tekanan tubing, lb/ft2
S = Ukuran choke, 1/64 inchi
Disamping perencanaan ukuran choke yang digunakan, maka masalah
penting lainnya dalam choke performance adalah adanya masalah penurunan
tekanan atau pressure drop yang terjadi di choke. Hal ini perlu diperhatikan
karena menyangkut masalah aliran fluida yang akan menuju ke separator. Untuk
menentukan besarnya penurunan tekanan melalui choke (surface choke),
dilakukan dengan analisa modal, dimana surface choke ini merupakan nodee
(titik) solusinya.
Prosedur solusinya adalah sebagai berikut:
1. Asumsikan beberapa laju produksi
seperti: 200, 400, 600, 800 dan seterusnya.
2. Tentukan tekanan besarnya kepala
sumur yang diperlukan untuk menggerakkan fluida keseparator dengan
menggunakan korelasi aliran multifasa horisontal terhadap laju produksi
yang diasumsikan. Ini merupakan harga Pwh up-stream.
3. Tentukan pula tekanan besarnya
kepala sumur untuk aliran vertikal, dengan menggunakan korelasi aliran
multifasa vertikal terhadap laju produksi yang diasumsikan. Ini merupakan
harga Pwh down-stream.
4. Kemudian plot antara Pwh up-
stream versus laju produksi. tentukan P yang terjadi untuk berbagai laju
produksi, seperti tertera pada gambar dibawah ini.
5. lakukan plot ulang terhadap
besarnya P yang diperoleh dari langkah (4) versus laju produksi, hal ini
merupakan gambaran kelakuan sistem secara keseluruhan terhadap surface
choke.
6. Untuk ukuran choke yang berbeda
dan dengan asumsi laju produksi, maka tentukan Pwh dengan persamaan.
CR 05 q
Pwh  ……………………………………………………...…. (5-37)
S2
7. Selanjutnya dilakukan plot antara
langkah 5 dan 6. besarnya penurunan tekanan (pressure drop) akan semakin
rendah apabila ukuran dari surface choke diperbesar.
Gambar 5.28
Nomorgram dari Gilbert untuk menentukan ukuran choke tertentu yang
sesuai
(Nind.T.E.W.,1964)

Anda mungkin juga menyukai