Pembelajaran Aspek Afektif
Pembelajaran Aspek Afektif
Pembelajaran Aspek Afektif
A. Pembelajaran Afektif
1. Pengertian Pembelajaran Afektif
Pembelajaran afektif terdiri dari dua kata, yakni pembelajaran, dan
afektif. kedua kata tersebut tidak dapat berdiri sendiri melainkan
mempunyai hubungan yang erat antara satu dengan yang lainnya.
Sehingga keduanya mempunyai pengertian yang integral yaitu
pengertian pembelajaran afektif atau pembelajaran yang bersifat
afektif.
Kata “pembelajaran” merupakan terjemahan dari kata
“instruction”1. Istilah ini banyak dipengaruhi oleh aliran psikologi
kognitif holistik, yang menempatkan siswa sebagai sumber dari
kegiatan. Selain itu, istilah ini juga dipengaruhi oleh perkembangan
teknologi yang diasumsikan dapat mempermudah siswa mempelajari
segala sesuatu lewat berbagai media, seperti bahan-bahan cetak,
progam televisi, gambar, audio dan lain sebagainya. Sehingga semua
itu mendorong terjadinya perubahan peranan guru dalam mengelola
proses belajar mengajar, dari guru sebagai sumber belajar menjadi
guru sebagai fasilitator dalam belajar mengajar. Sebagaimana
ungkapan Gagne yang dikutip oleh Wina Sanjaya2 dalam bukunya
Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan, bahwa
pembelajaran adalah “Instruction is a set of event that effect learners in
such a way that learning is facilitated”, yang artinya “Pembelajaran
adalah satu rangkaian peristiwa yang mempengaruhi pelajar
sedemikian rupa sehingga pelajaran dimudahkan.”
1
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan,
(Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 102
2
Ibid. hlm. 102
11
12
3
Ibid. hlm. 103
4
Endang Poerwanti dan Nur Widodo, Perkembangan Peserta Didik, (Malang:Univesrsitas
Muhammadiyah Malang Pers, 2002), hlm. 4.
5
Oemar Hamalik, Kurikulum & Pembelajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), hlm. 70.
13
6
David R. Krathwohl et. al, Taxonomy Of Educational Objective, The Classicafication
Of Educational Goal, Handbook II; Affective Domain, (London: Longman Group LTD, 1973),
cet.9, hlm. 7
7
Djalinus Syah dkk, Kamus Pelajar (Kata Serapan, B-I), (Jakarta: Rineka Cipta, 1993),
hlm. 4
8
David R. Krathwohl, Taxonomy Of Educational Objective, hlm. 7
14
9
Muhammad ‘Ali, Pengembangan Kurikulum Di Sekolah, (Bandung: Sinar Baru, 1989),
cet. 2, hlm. 71
10
Kartini Kartono dan Doligulo, Kamus Psikologi, (Bandung; Pionir Jaya, 1987), hlm. 11
11
Benjamin S. Bloom, dkk, Taxonomy Of Objective: Cognitive Domain, (New York:
David Mc. Kay, 1956 ), hlm.16
12
Departemen Pendidikana Nasional, Pelayanaan Professional Kurikulum 2004:
Penilaian Kelas, (Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas, 2003), hlm. 7
15
2. Kategorisasi Afektif
Kategori afektif adalah satu domain yang berkaitan dengan sikap,
nila-nilai, interes (minat), apresiasi (penghargaan) dan penyesuaian
perasaan sosial.15
Karena kategori klasifikasi milik Bloom hanya menganalisa
pengetahuan kognitif, para ahli psikologi pendidikan lain menciptakan
sebuah klasifikasi terpisah yang membahas tentang tujuan-tujuan yang
berorientasi pada perasaan atau klasifikasi afektif. Semua kategori
dalam klasifikasi ini mengidentifikasikan berbagai cara yang membuat
13
Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2009), hlm. 54
14
W.s. Winkel, Psikologi Pengajaran, (Jakarta: PT. Gramedia, 1989), hlm. 41
15
Hamzah B. Uno., Perencanaan Pembelajaran, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008), cet.
4, hlm. 35
16
16
Yusuf Anas, Manajemen Pembelajaran Dan Instruksi Pendidikan (Manajemen Mutu
Psikologi Pendidikan Para Pendidik), (Yogjakarta: IRCiSoD, 2008), cet. 3, hlm. 153
17
reaksi terhadapnya dengan salah satu cara. Jenjang ini setingkat lebih
tinggi dari pada jenjang receiving. Contoh hasil belajar kawasan afektif
jenjang responding adalah peserta didik tumbuh hasratnya untuk
mempelajari lebih jauh atau menggali lebih dalam lagi, ajaran-ajaran
Islam tentang kedisiplinan.
c. Valuing (menilai atau menghargai)
Menilai atau menghargai artinya memberikan nilai atau
memberikan penghargaan terhadap suatu kegiatan atau objek sehingga
apabila kegiatan itu tidak dikerjakan, maka dirasakan akan membawa
kerugian atau penyesalan. Valuing adalah tingkatan afektif yang lebih
tinggi dari receiving dan responding.
Dalam kaitanya dengan proses belajar mengajar, peserta didik di
sini tidak hanya mau menerima nilai yang diajarkan tetapi mereka
telah berkemampuan untuk menilai konsep atau fenomena yaitu baik
atau buruk. Bila suatu ajaran yang telah mampu untuk mengatakan “
itu dalah baik”, maka berarti peserta didik telah menjalankan proses
penilaian. Nilai itu telah mulai dicamkan (internalized) dalam dirinya.
Dengan demikian maka nilai tersebut telah stabil dalam diri peserta
didik. Contoh hasil belajar afektif jenjang valuing adalah tumbuhnya
kemauan yang kuat pada diri peserta didik untuk berlaku disiplin, baik
di sekolah, di rumah maupun di tengah-tengah masyarakat.
d. Organization (mengatur atau mengorganisasikan)
Organization artinya mempertemukan perbedaan nilai sehingga
terbentuk nilai baru yang lebih universal yang membawa kepada
perbaikan umum. Mengatur atau mengorganisasikan merupakan
pengembangan diri nilai ke dalam satu sistem organisasi termasuk di
dalamnya hubungan satu nilai dengan nilai yang lain, pemantapan dan
prioritas nilai yang telah dimilikinya. Mengatur atau mengornisasikan
merupakan jenjang yang lebih tinggi dari pada receiving, responding
dan valuing. Contoh hasil belajar afektif jenjang organization adalah
peserta didik mendukung penegakan disiplin nasional yang telah
18
17
Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, hlm. 54-56
19
5.2. Characterization
5.0. Character
5.1. Generalized Set.
3.3. Commitment
3.0. Valuing 3.2. Preference for a value
Adjustment
3.1 Acceptance of a value
Attitude
Value
2.3. Willingness to responded
Appreciation
2.0. Responding 2.2. Acquiescence in responding
2.1.Acquiscence in responding
1.1. Awareness
3. Aspek-Aspek Afektif
Menurut Krathwohl aspek-aspek yang terkandung dalam ranah
afektif terdiri dari minat (interes), sikap (attitude), nilai (value),
apresiasi (appreciation), dan penyesuaian (adjustment).18 Tahapan-
tahapan ranah afektif dapat terlihat melalui 5 aspek ini.
18
David R. Krathwohl, Taxonomy Of Educational Objective, hlm. 24
20
a. Minat (interes)
Minat adalah suatu rasa lebih suka dan rasa ketertarikan pada suatu
hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh. Minat pada dasarnya
adalah penerimaan akan suatu hubungan antara diri sendiri dengan
sesuatu di luar diri. Semakin kuat atau dekat hubungan tersebut
semakin besar pula minatnya.19 Ada juga yang mengartikan minat
adalah perasaan senang atau tidak senang terhadap suatu objek.
Misalnya minat siswa terhadap mata pelajaran pendidikan agama Islam
akan berpengaruh terhadap usaha belajarnya, dan pada gilirannya akan
dapat berpengaruh terhadap hasil belajarnya.20
Minat besar pengaruhnya terhadap belajar, karena apabila bahan
pelajaran yang dipelajari tidak sesuai dengan minat siswa atau tidak
diminati siswa, maka siswa yang bersangkutan tidak akan belajar
sebaik-baiknya, karena tidak ada daya tarik baginya. Sebaliknya bahan
pelajaran yang diminati siswa, akan lebih mudah dipahami dan
disimpan dalam memori kognitif siswa karena minat dapat menambah
kegiatan belajar.21
Ada beberapa persyaratan untuk menimbulkan minat siswa terhap
pelajaran di antaranya adalah; Pelajaran akan menjadi lebih menarik
bagi para murid jika terlihat adanya hubungan antara pelajaran dan
kehidupan nyata. Tak banyak manfaatnya berkata: “pelajari ini demi
masa depanmu!” guru harus memanfaatkan setiap kemungkinan yang
ada untuk menonjolkan adanya pertalian yang penting antara pelajaran
dan kehidupan si murid pada saat itu juga.22
Syarat lain untuk menimbulkan minat siswa adalah minat siswa
akan bertambah jika ia dapat melihat dan mengalami bahwa dengan
19
Slameto, Belajar Dan Faktor-Faktor Yang Mempangaruhinya, (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 1991), cet. 2, hlm. 180
20
Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Berbasis Integrasi Dan
Kompetensi), (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 131
21
Ibid
22
Bergaman Sitorus, Membina Hasrat Belajar Di Sekolah, (Bandung: Remaja Karya,
1987), hlm.92
21
23
Ibid, hlm. 93
24
Mar’at, Sikap Manusia Perubahan Serta Pengukuranya, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1984), hlm.11-12
25
M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996),
hlm. 141
22
26
Mar’at, Sikap Manusia Perubahan Serta Pengukuranya, hlm. 13
27
Saiffuddin Azwar, Sikap Manusia ; Teori Dan Pengukurannya, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2002), hlm.15
23
Dalam hal ini nilai yang dijadikan sebagai acuan pendidikan agama
Islam adalah nilai yang diajarkan al-Qur’an dan al-Hadits. Nilai yang
dikembangkan meliputi nilai universal dan nilai keIslaman yang
spesifik. Dalam hubungannya dengan proses belajar mengajar siswa
mampu menghayati fenomena sehingga dapat membedakan suatu yang
lebih penting dalam hidup, benar-salah dan baik-buruk.
Dilihat dari sumbernya, terdapat (1). Nilai Illahiyah (ubudiyah dan
muamalah), yaitu nilai yang bersumber dari agama (wahyu Allah).
(2). Nilai Insaniyah, yaitu nilai yang diciptakan oleh manusia atas
dasar kriteria yang buat oleh manusia pula. Dilihat dari ruang
28
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan,
(Jakarta: Prenada Media Grup, 2010), cet. ke 7, hlm. 278-279
29
M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakrta: Pustaka Pelajar,
1996), hlm. 60
30
Ibid, hlm. 61
25
lingkupnya nilai dapat dibagi menjadi (1). Nilai universal, (2). Nilai-
nilai local. (Noeng Muhadjir, 1988).31
Nilai terkait dengan pendidikan Islam adalah dalam hal tujuan
pendidikan Islam. Secara khusus dapat dirumuskan:
1) Untuk mengangkat ketakwaan kepada Tuhan yang maha Esa.
2) Untuk menginternalisasikan nilai-nilai ketuhanan sehingga
dapat menjiwai lahirnya niali-nilai etik insani.32
d. Apresiasi (Appreciation)
Menurut Chaplin sebagaimana dikutip oleh Muhibin Syah bahwa
apresiasi berarti suatu pertimbangan (judgment) mengenai arti penting
atau niali sesuatu.33 Dalam penerapannya apresiasi sering diartikan
sebagai penghargaan atau penilaian terhadap benda-benda baik abstrak
maupun konkrit yang memilki nilai luhur, dan umumnya
mempertimbangkan (judgment) arti penting atau nilai suatu obyek.
Tujuannya adalah agar siswa memperoleh dan mengembangkan
kecakapan ranah rasa (affective skills) yang dalam hal ini kemampuan
secara cepat terhadap nilai obyek tertentu.34 Siswa baru akan memiliki
apresiasi yang memadai terhadap obyek tertentu apabila sebelumnya ia
telah mempelajari materi yang berkaitan dengan obyek yang dianggap
mengandung nilai penting dan indah tersebut.
e. Penyesuaian (Adjustment)
Menurut Kartini Kartono penyesuaian diartikan dengan
penguasaan yaitu kemampuan membuat rencana dan mengatur respon
sedemikian rupa sehingga dapat mengusai atau atau menanggapi
segala macam konflik atau masalah dan frustasi-frustasi dengan cara
yang efisien.35 Penyesuaian merupakan aspek afektif yang mengontrol
perilaku siswa sesuai dengan prinsip-prinsip yang tertanam dalam
31
Ibid, hlm 64
32
Ibid, hlm. 73
33
Muhibin Syah, Psikologi Pendidikan Dalam Pendekatan Baru, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1999), edisi revisi, hlm 121
34
Ibid, hlm. 124
35
Kartini Kartono, Hygiene Mental, (Bandung: Mandar Maju, 1989), hlm. 261
26
4. Penilaian Afektif
Kompetensi ranah afektif meliputi peningkatan pemberian respons,
sikap, apresiasi, penilaian, minat, dan internalisasi. Penilaian afektif
terutama bertujuan untuk mengetahui karakter siswa dalam proses
pembelajaran dan hasil pembelajaran dapat dibagi menjadi 3 yaitu:
a. Penilaian afektif pada saat proses belajar
Penilaian afektif pada saat proses belajar adalah bagaimana sikap,
respons, dan minat siswa terhadap proses belajar. Indikator penilaian
afektif ini jumlahnya dapat bermacam-macam, namun minimal harus
memenuhi persyaratan indikator:
1) Sikap siswa terhadap dirinya sendiri selam proses belajar.
2) Sikap siswa dalam hubungan dengan guru selama proses belajar
3) Sikap siswa dalam hubungan dengan temen-temennya selama
belajar.
4) Sikap siswa dalam hubungan dengan lingkungannya selama proses
belajar.
5) Respons siswa terhadap materi pembelajaran.
b. Penilaian afektif di luar proses belajar
Penilaian afektif di luar proses belajar adalah penilaian terhadap
sikap dan perilaku siswa dipandang dari sikap internal dan
hubungannya dengan lingkungan sekolah yang lain. Sikap ini secara
umum dibagi menjadi dua, yaitu: perilaku baik dan perilaku buruk.
Kumpulan nilai perilaku ini dibukukan menjadi buku tertentu,
misalnya dengan nama buku akhlak, buku pandai, buku kebaikan, atau
buku perilaku.
c. Penilaian afektif di rumah
27
36
Munif Chatib, Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis Multiple Intelligences Di
Indonesia, (Bandung: Mizan Media Utama, 2009), hlm.174-175
37
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, hlm.
279
28
1) Keselarasan interpersonal
Pada tahap ini ditandai dengan setiap perilaku yang
ditampilkan individu didorong oleh keinginan untuk memenuhi
harapan orang lain.
2) Sistem sosial dan kata hati
Pada tahap ini perilaku individu bukan didasarkan pada
dorongan untuk memenuhi harapan orang lain yang
dihormatinya, akan tetapai didasarkan pada tuntutan dan
harapan masyarakat.
c. Tingkat Postkonvensional
Pada tingkat ini perilaku bukan hanya didasarkan pada
kepatuhan terhadap norma-norma masyarakat yang berlaku, akan
tetapi didasari oleh adanya kesadaran sesuai dengan nilai-nilai
yang dimilikinya secara individu. Seperti tingkat sebelumnya
tingkat ini juga terdiri dari dua tahap yaitu:
1) Tahap kontra social
Pada tahap ini perilaku individu didasarkan pada
kebenaran-kebenaran yang diakui oleh masyarakat. Kesadaran
individu untuk berperilaku tumbuh karena kesadaran untuk
menerpakan prinsip-prinsip sosial. Dengan demikian,
kewajiban moral dipandang sebagai kontra sosial yang harus
dipatuhi, bukan sekadar pemenuhan system nilai.
2) Tahap prinsip etis yang universal
Pada tahap terakhir, perilaku manusia didasarkan pada
prinsip universal. Segala macam tindakan bukan hanya
didasarkan sebagai kontrak sosial yang harus dipatuhi, akan
tetapi didasarkan pada suatu kewajiban sebagai manusia.
Sesuai dengan prinsip bahwa moral terjadi secara bertahap,
maka strategi pembelajaran model Kohlberg diarahkan untuk
membantu agar setiap individu meningkat dalam
perkembangan moralnya.
31
38
Sunarto dan Ny. B. Agung Hartono, Perkembangan Peserta Didik, (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2002), cet. 2, hlm. 174
39
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, hlm.
279
32
40
Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, hlm. 62
34
41
Mueller, Daniel J, Measuring Social Attitudes : A Handbooks For Researchers And
Prattioners, (New York : Teachers College Press, 1989), hlm. 2
42
Mustaqim, Psikologi Pendidikan, (Yogjakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisonga
Semarang bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 2001), cet. 2, hlm 173
35
43
Ngalim Purwanto, Prinsip-Prinsip Dan Teknik Evaluasi Pengajaran, (Bandung : PT
Remaja Rosdakarya, 2009), cet. ke 15, hlm.149
36
44
Ibid, hlm 154
37
Catatan:
- Tiap aspek dinilai dengan angka 1-10
- Jumlah nilai merupakan skor mentah dari tiap siswa
Semarang,,……….
Guru/penilai
(………………….)
Hasil penilaian dengan menggunakan instrument tersebut di atas
sifatnya adalah individual. Setelah selesai, nilai-nilai individual itu
dimasukkan ke dalam daftar nilai yang sifatnya kolektif, seperti contoh
berikut ini:
38
Skor/nilai tiap-tiap
No Nama siswa kegiatan/aspek jumlah Rata-rata
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 ……………… … … … … … … … … … … …… ………
2 ……………… … … … … … … … … … … …… ………
3 ……………… … … … … … … … … … … …… ………
4 ……………… … … … … … … … … … … …… ………
5 ……………… … … … … … … … … … … …… ………
6 ……………… … … … … … … … … … … …… ………
7 ……………… … … … … … … … … … … …… ………
8 ……………… … … … … … … … … … … …… ……....
Dan seterusnya.
2. Kuisioner
Wawancara dan kuesioner memilki keterkaitan yang sangat erat.
Keterkaitan tersebut dapat ditunjukkan sebagai berikut. Untuk dapat
melakukan wawancara dengan baik, seorang guru atau evaluator
memerlukan alat, yaitu kuesioner. Dalam evaluasi pendidikan, kuesioner
direncanakan untuk memperoleh informasi dari para siswa. Pada umunya,
kuesioner tidak direncanakan untuk memperoleh skor atau nilai. Alat ini
sangat membantu para guru dalam mendapatkan informasi pribadi tentang
siswa. Informasi tersebut kemudian disimpan dalam bentuk map di kantor
pusat informasi.45
Kuesioner dapat diberikan langsung kepada peserta didik, dapat
pula diberikan kepada para orang tua mereka. Pada umumnya tujuan
penggunaan kuesioner dalam proses pembelajaran terutama adalah untuk
memperoleh data mengenai latar belakang peserta didik sebagai salah satu
bahan dalam menganalisis tingah laku dan proses belajar mereka. Di
45
Sukardi, Evaluasi Pendidikan Prinsip Dan Operasionalnya, (Jakarta: Bumi Aksara,
2008), hlm189
39
3. Wawancara
Wawancara adalah suatu cara yang digunakan untuk mendapatkan
jawaban dari responden dengan jalan Tanya jawab sepihak. Wawancara
46
Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, hlm. 85
40
47
Mustaqim, Psikologi Pendidikan, hlm. 172
48
Sukardi, Evaluasi Pendidikan Prinsip Dan Operasionalnya, hlm.187
49
Ibid
41
50
Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, hlm. 83
42
51
S. Eko Putro Widoyoko, Evaluasi Program Pembelajaran (Panduan Praktis Bagi
Pendidik Dan Calon Pendidik), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm115-117
52
Abudin Nata, Metodologi Study Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000), cet. 4,
hlm. 290
53
Himpunan Perundang-Undangan RI, Tentang SISDIKNAS Undang-Undang RI No. 20
Tahun 2003 Beserta Penjelasannya, (Bandung: Nuansa Aulia, 2008), hlm. 10
54
Mustofa Al-Ghulayani, Idhatun Nasiin, (Beirut; Al-Maktabah Al Ahliyah, 1913), hlm.
185
44
55
Zuhairini, Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Surabaya; Usaha Nasional, 1983),
hlm. 27
56
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), cet. ke. 5, hlm. 32
45
57
Direktorat Madrasah Dan Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah Umum, Pedoman
Pendidikan Agama Islam Di Sekolah Umum, (t.t., Departemen Agama, 2004), hlm. 2-3
46
58
Zuhairini, Metodik Khusus Pendidikan Agama, hlm. 45
59
Fadal AR Bafadal, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Penerbit Jumanatul-Ali-
Art, 2005.
60
Bahrun Abubakar, lc. Terjemah Tafsir Jalalain Berikut Asbabul Nuzul, (Bandung : C.V. Sinar
Baru, 1990), Cet. pertama, hlm. 2281
47
61
Direktorat Madrasah Dan Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah Umum, Pedoman
Pendidikan Agama Islam Di Sekolah Umum, hlm. 4-5