Makalah Interaksi Obat Kasus Khusus Pada Pasien Gagal
Makalah Interaksi Obat Kasus Khusus Pada Pasien Gagal
Makalah Interaksi Obat Kasus Khusus Pada Pasien Gagal
Dosen Pembimbing :
Dra. Refdanita, MSi, Apt
Disusun oleh :
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Interaksi Obat yang berjudul “Interaksi
obat kasus khusus pada pasien gagal jantung dengan gangguan fungsi ginjal” ini.
Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Interaksi Obat
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu sangat
diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi seluruh mahasiswa Farmasi bahkan
masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Akhirnya besar harapan kami kiranya makalah ini dapat membantu teman-teman.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
3
BAB III PEMBAHASAN ........................................................................................22
3.1 Interaksi Obat Kasus Khusus – Gagal Jantung dengan gangguan fungsi
hati.........................................................................................................22
3.2 Beberapa Contoh Interaksi Obat Pada Gagal jantung dengan gangguan
fungsi hati..............................................................................................22
BAB IV KESIMPULAN .........................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................27
Lampiran Jurnal .........................................................................................................
4
BAB I
PENDAHULUAN
Pada umumnya pasien sudah mengalami penurunan fungsi organ dan sudah
mengalami komplikasi sehingga membutuhkan beberapa obat yang dipakai secara
bersamaan. Hal tersebut dapat memacu kemungkinan terjadinya interaksi obat (Huon,
dkk., 2002). Sebanyak 52 % kategori obat yang terlibat dalam interaksi obat adalah
obat-obat kardiovaskular (Rama, dkk., 2012). Kasus gagal jantung pada tahun 2005
menduduki peringkat keenam pada daftar sepuluh besar penyakit di RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta. Kejadian gagal jantung di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada tahun 2013
tercatat sebanyak 738 kasus, sedangkat gagal jantung yang disertai dengan
gangguan fungsi ginjal sebanyak 48 kasus.
Penelitian mengenai gagal jantung yang disertai gangguan fungsi ginjal belum
banyak dilakukan sehingga informasi masih terbatas. Masih tingginya angka kejadian
interaksi obat pada pasien gagal jantung merupakan suatu masalah yang mendorong
adanya suatu pemecahan bersama, guna mengurangi terjadinya DRPs (Drug Related
5
Problems). Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian mengenai manajemen
interaksi obat pada pasien gagal jantung dengan gangguan fungsi ginjal di Instalasi
Rawat Inap RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta perlu dilakukan.
Sudah kita maklumi bersama bahwa biasanya penderita menerima resep dari
dokter yang memuat lebih dari dua macam obat. Belum lagi kebiasaan penderita yang
pergi berobat ke beberapa dokter untuk penyakit yang Sama dan mendapat resep obat
yang baru. Kemungkinan lain terjadinya interaksi obat adalah akibat kebiasaan beberapa
penderita untuk mengobati diri sendiri dengan obat-obatan yang dapat dibeli di toko-toko
obat secara bebas.
Interaksi obat yang tidak diinginkan dapat dicegah bila kita mempunyaii
pengetahuan farmakologi tentang obat-obat yang dikombinasikan. Tetapi haruslah diakui
bahwa pencegahan itu tidaklah semudah yang kita sangka, mengingat jumlah interaksi
yang mungkin terjadi pada orang penderita yang menerima pengobatan polypharmacy
cukup banyak.
1.2 Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan mahasiswa
tentantang interaksi obat terhadap kasus khusus pada gagal jantung dengan gangguan
fungsi ginjal dan cara penangananya.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Terapi bagi penderita gagal jantung berupa terapi non-farmakologis dan terapi
farmakologis. Tujuan dari adanya terapi yakni untuk meredakan gejala, memperlambat
perburukan penyakit, dan memperbaiki harapan hidup (Mycek et al., 2011). Terapi non-
farmakologi pada penderita gagal jantung berbentuk manajemen perawatan mandiri
(Perki, 2015). Perki (2015) mendefinisikan manajemen perawatan mandiri sebagai
“tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku
7
yang dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal jantung”.
Manajemen perawatan diri berupa ketaatan berobat, pemantauan berat badan, pembatasan
asupan cairan, pengurangan berat badan (Stadium C), pemantauan asupan nutrisi, dan
latihan fisik (Perki, 2015).
Katzung et al. (2009) menyebutkan bahwa tujuan dari terapi farmakologis yakni
untuk mengurangi gejala, memperlambat perburukan kondisi jantung, dan mengatasi
terjadinya kejadian akut akibat respon kompensasi jantung. Adapun biasanya pengobatan
baik untuk gagal jantung diastolik maupun sistolik adalah sama. Golongan obat-obatan
yang digunakan adalah diuretik, antagonis aldosteron, ACE-inhibitor (Angiotensin-
Converting Enzyme inhibitor), ARB (Angiotensin Receptor Blocker), beta blocker,
glikosida jantung, vasodilator, agonis beta, bypiridine, dan natriuretic peptide (Katzung et
al., 2009).
Urutan terapi pada pasien gagal jantung biasanya diawali dengan diuretik untuk
meredakan gejala kelebihan volume. Kemudian, ditambahkan ACE-inhibitor atau ARB
jika ACE-inhibitor tidak ditoleransi. Namun, penambahan ARB dilakukan hanya setelah
terapi diuretik diberikan secara optimal. Dosis diatur secara bertahap hingga dihasilkan
curah jantung optimal. Beta blocker diberikan setelah pasien stabil dengan pemberian
ACE-inhibitor. Sedangkan glikosida jantung (digoxin) diberikan jika pasien masih
mengalami gagal jantung meskipun telah diberikan terapi kombinasi (Mycek et al.,
2011).
8
2.2.1 Diuretik
Obat-obatan golongan diuretik diberikan pada pasien gagal jantung dengan tanda
kongesti (biasanya kelas I atau stadium B) (Perki, 2015). Pemberian diuretik tidak
berpengaruh langsung pada kontraksi jantung. Efek utama dari pemberian diuretik yakni
mengurangi tekanan darah dan preload ventrikel. Selain itu, pada pasien gagal jantung
kiri, pemberian diuretik akan membantu mengurangi pembengkakan jantung sehingga
pemompaan lebih efisien (Katzung et al., 2009). Pasien yang tidak mengalami retensi
cairan tidak perlu diberikan obat-obatan diuretik (Dipiro et al., 2006). Obat diuretik
terdiri dari golongan tiazid dan diuretik loop.
Tiazid bekerja dengan memblok reabsorpsi natrium dan klorida. Sedangkan diuretik loop
bekerja dengan menghambat transporter Na-K-Cl di lengkung henle sehingga reabsoprsi
mineral-mineral tersebut berkurang. Obat- obatan diuretik loop sangat mudah berikatan
dengan protein plasma sehingga obat-obatan tersebut kurang difiltrasi di glomerulus
(Katzung et al., 2009).
Hal-hal yang harus diperhatikan pada pemberian diuretik untuk pasien gagal jantung
yakni: (Perki, 2015)
1. Pasien terlebih dahulu diperiksa fungsi ginjal dan kadar serum elektrolit.
3.Sebagian besar pasien diberikan terapi diuretik loop dibanding tiazid. Diuretik dapat
diberikan secara kombinasi (diuretik loop dan tiazid) pada keadaan edema yang resisten.
9
Tabel 2.2.1 Dosis diuretik untuk pengobatan gagal jantung
Diuretik Dosis awal (mg) Dosis harian (mg)
Diuretik loop
Furosemide 20 - 40 40 – 240
Bumetanide 0,5 - 1,0 1–5
Torasemide 5 - 10 10 – 20
Tiazid
Hidrochlortiazide 25 12,5 – 100
Metolazone 2,5 2,5 – 10
Indapamide 2,5 2,5 – 5
Diuretik hemat kalium
(+ ACEI/ARB) 12,5 - 25 (+ ACEI/ARB) 50
Spironolakton
(- ACEI/ARB) 50 (- ACEI/ARB) 100 – 200
(Sumber: ESC, 2012 dalam Perki, 2015)
ACE-inhibitor merupakan terapi lini pertama bagi pasien gagal jantung. Obat
golongan ini harus diberikan pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40% (Perki,
2015). Mekanisme kerja dari ACE-inhibitor yakni dengan menghambat perubahan
angiotensin I menjadi angiotensin II yang diperantarai oleh ACE (Angiotensin
Converting Enzyme). Dengan begitu, jumlah angiotensin II akan menurun diikuti dengan
jumlah aldosteron. Berkurangnya hormon-hormon tersebut akan mencegah terjadinya
fibrosis miokard, apoptosis miosit, hipertropi jantung, pelepasan norepinefrin,
vasokontriksi, dan retensi cairan. Dengan begitu, ACE-inhibitor berperan penting dalam
mencegah perburukan kondisi jantung yang diperantarai oleh mekanisme RAAS (Renin-
Angiotensin-Aldosterone System) (Katzung et al., 2009).
10
Obat Dosis awal (mg) Dosis target (mg)
Captopril 6,25 (3x sehari) 50-100 (3x sehari)
Enalapril 2,5 (2x sehari) 10-20 (2x sehari)
Lisinopril 2,5-5 (1x sehari) 20-40 (1x sehari)
Ramipril 2,5 (1x sehari) 5 (2x sehari)
Perindopril 2 (1x sehari) 8 (1x sehari)
(Sumber: ESC, 2012 dalam Perki, 2015)
11
2.2.4 Beta Blocker
Metoprolol, carvedilol, dan biprolol adalah obat golongan beta blocker yang
terbukti dapat mengurangi mortilitas gagal jantung. Metoprolol dan bisoprolol bekerja
selektif memblok reseptor β1 sedangkan carvedilol memblok reseptor β1, β2, dan α1
(Dipiro et al., 2006). Obat-obat beta blocker tidak boleh diberikan pada pasien yang
memiliki asma dan dapat menyebabkan bradikardia (Perki, 2015).
Tabel 2.2.4 Dosis obat beta blocker untuk pengobatan gagal jantung
Antagonis aldosteron diindikasikan pada pasien dengan fraksi ejeksi inhibitor atau
ARB. Antagonis aldosteron tidak dianjurkan diberikan pada pasien dengan terapi diuretik
hemat kalium atau suplemen kalium dan kombinasi ACE- inhibitor dan ARB. Selain itu,
antagonis aldosteron dikontraindikasikan bagi pasien dengan konsentrasi serum kalium >
5,0 mmol/L dan kadar serum kreatinin> 2,5 mg/dL.
Tabel 2.2.5 Dosis obat antagonis aldosteron untuk pengobatan gagal jantung
12
2.2.6 Vasodilator
Obat vasodilator terbagi menjadi 3, yakni dilator selektif arteri, dilator vena, dan
vasodilator nonselektif. Pemilihan jenis-jenis vasodilator tergantung dari tanda klinis
pasien. Pasien-pasien dengan tekanan pompa yang tinggi disertai dyspnea biasanya diberi
dilator vena yang bekerja lama yakni golongan nitrat. Pasien dengan gejala kelelahan dan
output ventrikel rendah diberi dilator arteri yakni hydralazine. Namun, biasanya kedua
jenis obat tersebut dikombinasikan secara bersamaan (Dipiro et al., 2006). Dosis awal
pemberian kombinasi H-ISDN (Hydralazine-isosorbide dinitrate) yakni hydralazine 12,5
mg dan ISDN (isosorbide dinitrate) 10 mg sebanyak 2-3x sehari. Dosis dinaikkan secara
titrasi hingga mencapai dosis target (hydralazine 50 mg dan ISDN 20 mg, 3-4x sehari).
Namun, jika terjadi hipotensi, dosis tidak perlu dinaikkan (Perki, 2015).
Glikosida jantung atau biasa disebut dengan digitalis adalah senyawa Digitalis dapat
meningkatkan kontraktilitas otot jantung dengan mempengaruhi aliran ion natrium dan
kalsium dalam otot jantung. (Mycek et al., 2011). Glikosida jantung menghambat kanal
ion sehingga ion Na+, K+, dan ATPase tetap berada dalam sel. Dengan begitu, kadar-
kadar ion intraseluler menjadi tinggi dan otot cenderung berkontraksi (Katzung et al.,
2009). Jenis obat yang umum digunakan untuk terapi gagal jantung adalah digoksin
kongestif (Mycek et al., 2011).
13
ventrikuler (terutama pada pasien hipokalemia), mual, muntah, anoreksia, dan gangguan
melihat warna (Perki, 2015).
2.2.8 Bypiridine
Golongan agonis beta yang digunakan untuk pengobatan gagal jantung yakni
dobutamin dan dopamin. Pada prinsipnya, obat-obat agonis beta bekerja dengan
meningkatkan respon reseptor sehingga efek akibat ikatan senyawa- reseptor lebih besar.
Dobutamin bekerja dengan meningkatkan sintesis cAMP (cyclic adenosine-3',5'-
monophosphate) sehingga kontraktilitas jantung meningkat. Sedangkan dopamin bekerja
dengan meningkatkan efek reseptor dopamin. Dobutamin diberikan secara intravena
dengan dosis 5-7,5 mcg/kg/menit (Tariq dan Aronow, 2015). Penggunaan dopamin untuk
meningkatkan kontraksi jantung pada pasien gagal jantung yakni sebesar 5-25
mcg/kg/menit (Stevenson, 2003).
14
2.2.10 Natriuretic Peptide
Natriuretic peptide adalah sintesis dari Brain Natriuretic Peptide (BNP). Senyawa
natriuretic peptide yang digunakan untuk terapi gagal jantung yakni nesiritide. Nesiritide
bekerja dengan meningkatkan cGMP (cyclic guanosine monophosphate) di sel-sel otot.
Waktu paruh dari nestiride yakni 18 menit (Katzung et al., 2009). Nestiride diberikan
melalui injeksi intravena bolus dengan dosis 0,01 mcg/kg/menit. (Mohammed et al.,
2008).
Bilamana dua atau lebih obat yang diambil secara bersamaan, ada kemungkinan
akan ada sebuah interaksi di antara obat-obatan tersebut. Interaksi dapat meningkatkan
atau menurunkan efektivitas dan / atau efek samping dari obat. Hal ini juga dapat
mengakibatkan efek samping yang baru, yaitu efek samping yang tidak terlihat dengan
menggunakan salah satu obat itu sendiri. Kemungkinan interaksi obat meningkat sebagai
jumlah obat yang diambil oleh pasien meningkat. Oleh karena itu, orang-orang yang
mengambil beberapa jenis obat untuk pengobatan merupakan resiko besar untuk
interaksi. Interaksi obat berkontribusi pada biaya kesehatan yang disebabkan oleh biaya
perawatan medis yang diperlukan untuk merawat mereka. Interaksi juga dapat
mengakibatkan rasa sakit dan penderitaan yang dapat dihindarkan.
Interaksi obat dapat didefinisikan sebagai interaksi antara obat dan zat lainnya
yang mencegah obat bekerja/melakukan seperti yang diharapkan. Definisi ini berlaku
untuk interaksi obat-obatan dengan obat-obatan lainnya (obat – interaksi obat), serta obat-
obatan dengan makanan (interaksi obat - makanan) dan zat lainnya.
15
Misalnya, obat-obatan yang mengurangi tekanan darah oleh berbagai mekanisme yang
berbeda dapat digabungkan karena efek menurunkan tekanan darah dicapai oleh kedua
obat-obatan mungkin akan lebih baik dibandingkan dengan obat itu sendiri. Penyerapan
beberapa jenis obat meningkat oleh makanan. Oleh karena itu, obat ini diambil dengan
makanan dalam rangka untuk meningkatkan konsentrasi mereka didalam tubuh dan, pada
akhirnya, mereka berpengaruh. Sebaliknya, bila penyerapan obat-obatan berkurang oleh
makanan, maka obat diambil pada waktu perut kosong.
Interaksi obat yang paling banyak dikuatirkan adalah yang mengurangi dari efek
yang diinginkan atau meningkatkan efek merugikan dari obat itu sendiri. Obat yang
mengurangi penyerapan atau meningkatkan metabolisme atau penghapusan obat lainnya
cenderung mengurangi efek dari obat yang lain. Hal ini dapat mengakibatkan kegagalan
terapi atau memerlukan peningkatan dosis obat agar berpengaruh. Sebaliknya, obat-
obatan yang meningkatkan penyerapan atau mengurangi eliminasi atau metabolisme obat
lain yang meningkatkan konsentrasi obat-obatan lain di dalam tubuh dan menyebabkan
lebih banyak efek samping. Terkadang, obat berinteraksi karena mereka menghasilkan
efek samping yang serupa. Oleh karena itu, bila kedua obat yang menghasilkan efek
samping yang sama digabungkan, frekuensi dan kerasnya dari efek samping yang
meningkat.
Interaksi obat adalah kompleks dan terutama yang tidak terduga. interaksi yang
dikenal mungkin tidak terjadi di setiap individu. Hal ini dapat dijelaskan karena ada
beberapa faktor yang mempengaruhi kemungkinan bahwa terdapat interaksi yang
dikenal yang akan terjadi. Faktor-faktor tersebut termasuk perbedaan antara individu
dalam fisiologi, usia, gaya hidup (diet, latihan), yang berpenyakit, dosis obat, lamanya
terapi gabungan, dan waktu relatif dari administrasi dua zat. (Terkadang, interaksi dapat
dihindari jika dua obat yang diambil pada waktu yang berbeda.) Namun demikian,
interaksi obat yang signifikan sering terjadi dan mereka menambahkan jutaan dolar untuk
biaya kesehatan. Selain itu, banyak obat telah ditarik dari pasar karena potensi untuk
berinteraksi dengan obat lain dan menyebabkan masalah kesehatan serius.
16
2.6 Cara untuk menghindari terjadinya interaksi obat
1. Memberi penyedia layanan kesehatan daftar yang lengkap dari seluruh obat-obatan
yang anda gunakan atau telah digunakan dalam beberapa hari lalu. Ini harus mencakup
pengobatan over-the-counter, vitamin, makanan suplemen, dan herbal remedies.
2. Memberitahu penyedia layanan kesehatan bila ada obat tambahan atau yang
dihentikan.
4. Bertanya kepada penyedia layanan kesehatan anda tentang hal yang paling serius atau
seringnya interaksi obat dengan obat yang anda gunakan.
5. Sejak frekuensi interaksi obat meningkat dengan sejumlah obat, bekerja sama dengan
penyedia layanan kesehatan anda untuk menghilangkan obat yang tidak diperlukan.
6. Laporan singkat mengenai interaksi obat ini tidak menutup kemungkinan setiap
skenario. Pembaca tidak boleh takut untuk menggunakan obat karena potensi terjadinya
interaksi obat. Sebaliknya, mereka harus menggunakan informasi yang tersedia bagi
mereka untuk meminimalkan resiko interaksi seperti ini dan untuk meningkatkan
keberhasilan terapi mereka.
Obat dapat mengganggu penyerapan obat lain dalam usus, peredarannya dalam
darah atau penyerapannya oleh sel. Antagonisme (pertentangan) berarti bahwa satu obat
menghambat atau mengurangi dampak obat yang lain.
Bila dua obat bekerja sama terhadap satu sasaran untuk membuat tanggapan yang
lebih besar daripada dampaknya masing-masing, cara kerja dua obat semacam ini disebut
sinergi (1+1=lebih dari 2). Bila satu obat memperkuat dampak obat lain dengan cara
meningkatkan tingkat obat yang lain tersebut dalam darah, hal ini disebut potensiasi
(a+b=lebih banyak b daripada yang biasa). Ini adalah cara kerja ritonavir bila dicampur
17
dengan saquinavir atau indinavir. Obat juga dapat berinteraksi di dalam tubuh waktu
mereka diproses, atau dimetabolisme.
Ada beberapa mekanisme oleh obat yang berinteraksi dengan obat-obatan lain,
makanan, dan bahan lainnya. Interaksi dapat terjadi apabila ada peningkatan atau
penurunan dalam:
(3) perubahan yang dibuat pada obat oleh tubuh (metabolisme) ; dan
Sebagian besar hasil penting dari interaksi obat perubahan dari dalam penyerapan,
metabolisme, atau penghapusan dari obat. Interaksi obat juga dapat terjadi bila dua obat
yang sama (tambahan) efek atau berlawanan (membatalkan) efek bertindak bersama pada
tubuh. Sumber lain dari interaksi obat terjadi ketika obat mengubah satu konsentrasi dari
bahan yang biasanya hadir di dalam tubuh. Perubahan yang substansi ini mengurangi atau
meningkatkan efek obat lain yang sedang diambil. Interaksi obat antara warfarin
(Coumadin) dan vitamin K yang mengandung produk adalah contoh yang baik dari jenis
interaksi. Warfarin bertindak dengan mengurangi konsentrasi bentuk aktif vitamin K
didalam tubuh. Karena itu, bila vitamin K diambil, ia akan mengurangi efek warfarin.
Interaksi farmasetika/Inkompabilitas
Interaksi farmakokinetika
18
Interaksi farmakodinamik
19
2.9.2 Interaksi farmakokinetika
Interaksi ini adalah akibat perubahan-perubahan yang terjadi pada absorbsi,
metabolisme, distribusi dan ekskresi sesuatu obat oleh obat lain. Dalam kelompok ini
termasuk interaksi dalam hal mempengaruhi absorbsi pada gastrointestinal, mengganggu
ikatan dengan protein plasma, metabolisme dihambat atau dirangsang dan ekskresi
dihalangi atau dipercepat.
3. Biotransformasi
Biotransformasi obat terutama terjadi dimikrosoma sel hati. Mikrosoma ini sangat peka
terhadap aksi obat berarti produksi enzim-enzimnya dapat bertambah atau berkurang,
perangsangan mikrosoma mengakibatkan aktivitas obat menurun sedangkan
pengharnbatan menyebabkan aktivitas obat meningkat atau bertahan lama.
4. Perubahan ekskresi
Bila sesuatu obat mempengaruhi ekskresi obat lain melalui ginjaJ, dapat terjadi
perobahan aktivitas dan lama kerja sesuatu obat
20
2.9.3 lnteraksi farmakodinamik
Interaksi ini terjadi bila sesuatu obat secara langsung merubah aksi molekuler atau kerja
fisiologis obat lain. Kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi :
1. Obat-obat tersebut menghasilkan kerja yang sama padasatu organ(sinergisme).
2. Obat-obat tersebut kerjanya saling bertentangan (antagonisme).
3. Obat-obat tersebut bekerja independen pada dua tempat terpisah
21
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Interaksi Obat Kasus Khusus pada pasien Gagal Jantung Dengan Gangguan
Fungsi Ginjal
Jumlah kejadian interaksi obat berdasarkan hasil penelitian terdapat sebanyak 325
kejadian interaksi obat yang potensial dari total 70 pasien yang mengalami interaksi obat.
Hal ini dapat menjelaskan bahwa setiap pasien dapat mengalami lebih dari satu interaksi
karena perbedaan jenis dan jumlah terapi obat yang diperoleh.Mekanisme interaksi obat
dapat dibedakan menjadi 2,yaitu interaksi secara farmakokinetik dan interaksi secara
farmakodinamik. Penentuan pola interaksi berupa farmakokinetik atau farmakodinamik
dilihat berdasarkan mekanisme dan efek dari obat tersebut.
Interaksi farmakokinetik terjadi ketika suatu obat mempengaruhi kecepatan absorpsi,
distribusi, metabolisme atau ekskresi dari obat lain, sedangkan interaksi farmakodinamik
terjadi dengan cara mengubah efek suatu obat yang dikarenakan keberadaan obat lain
yang terjadi di tempat aksi.
22
spironolakton meningkat
untuk pemberian dosis
berikutnya
23
H2 keasaman lambung akan
meningkatkan
bioavailabilitas
amlodipin.
AINS Amlodipin menurun Farmakodinamik Agar tidak diberikan
Anti Inflamasi Non secara bersamaan karna
Steroid (AINS) bekerja berpotensi terjadinya
menghambat perdarahan
pembentukan
prostaglandin sehingga
menghambat
vasodilatasi (terjadi
vasokontriksi) dan
menghambat sekresi
natrium di ginjal
sehingga terjadi retensi
urine, kedua efek ini
menyebabkan tekanan
darah meningkat.
4 Bisoprolol AINS Bisoprolol menurun Farmakodinamik Agar tidak diberikan
fumarat Dimana Anti secara bersamaan karna
Inflamasi Non Steroid akan meningkatkan
(AINS) tekanan darah
bekerja menghambat
enzim cyclooksigenase
sehingga terjadi
pembentukan
prostaglandin.
Amlodipin Efek sinergis Farmakodinamik Agar tidak diberikan
Dimana bisoprolol bersamaan karna
bekerja dengan cara menyebabkan efek yang
memblok reseptor beta tidak diinginkan yaitu
adrenergik dengan efek hipotensi dan bradikardi
menurunkan kerja
jantung. Amlodipin
bekerja dengan cara
menduduki kanal
kalsium yang
menyebabkan
penurunan kontaktilitas
miokardium.
24
BAB IV
KESIMPULAN
Gagal jantung adalah salah satu penyebab utama kematian di dunia yang dapat
meningkat dengan adanya gangguan pada ginjal. Tujuan penelitian ini untuk
menggambarkan interaksi terapi pada pasien gagal jantung dengan gangguan fungsi
ginjal. Penelitian dilakukan pada pasien yang menjalani rawat inap di RS Dr.Sardjito
Yogyakarta. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan rancangan studi
crosssectional dan pengambilan data dilakukan secara restrospektif tahun 2009 –
2013. Hasil penelitian menunjukkan 70 pasien memenuhi kriteria inklusi dari total
subyek 119 pasien. Interaksi obat yang paling banyak terjadi adalah furosemid dan
ACEI sebanyak 35 pasien dengan level signifikansi 3, furosemid dan aspirin pada 35
pasien dengan level signifikansi 5, furosemid dan digoksin dengan level signifikansi 1
serta aspirin dan captopril dengan level signifikansi 4.
25
DAFTAR PUSTAKA
C.A.S. Wink; Report on the symposium Beta-blocker and the Central Nervous
System; Asian Medical Journal, Vol 19.hal 71, 1976.
Harkness, Richard, R.PH, Interaksi Obat, Bandung: Institut Teknologi Bandung, 1989.
Medscape
Kusuma P., 2007, Perbedaan Komorbid Gagal Jantung Kongestif pada Usia Lanjut
dengan Usia Dewasa di RS. Dr. Kariadi Periode Januari- Desember 2006, Skripsi,
Jurusan Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.
Mozaffarian D, Roger VL, Benjamin EJ, Berry JD, et al., 2013, Heart disease
and stroke statistics 2013 update : a report from the American Heart
Association. Circulation, pp.127:e6- e245.
26
Mosterd A., dan Hoes A. W., 2007 Clinical Epidemiologi of Heart Failure, Heart.,
93(9), pp.1137–1146
Prasetya N. P. R., Karsana, R., dan Swastini, D. A., 2008, Kajian Interaksi
Obat pada Pengobatan Pasien Gagal Ginjal Kronis Hipertensi di RSUP Sanglah
Denpasar Tahun 2007, Laporan Penelitian, Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana, Denpasar
27