Makalah Interaksi Obat Kasus Khusus Pada Pasien Gagal

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 27

INTERAKSI OBAT KASUS KHUSUS PADA PASIEN GAGAL JANTUNG

DENGAN GANGGUAN FUNGSI GINJAL

Dosen Pembimbing :
Dra. Refdanita, MSi, Apt

Disusun oleh :

Rendy Bagus 15334004

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL


PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
2018

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Interaksi Obat yang berjudul “Interaksi
obat kasus khusus pada pasien gagal jantung dengan gangguan fungsi ginjal” ini.
Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Interaksi Obat

Kami menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu sangat
diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi seluruh mahasiswa Farmasi bahkan
masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Akhirnya besar harapan kami kiranya makalah ini dapat membantu teman-teman.

Jakarta, 6 Oktober 2018

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................2


DAFTAR ISI ............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................5
1.1 Latar Belakang .............................................................................................5
1.2 Tujuan ...........................................................................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................7
2.1 Gagal Jantung................................................................................................7
2.2 Terapi Gagal Jantung ....................................................................................5
2.2.1 Diuretik .............................................................................................9
2.2.2 Ace Inhibitor (Angiotensin Converting EnzymInhibitor)................10
2.2.3 ARB (Angiotensin Reseptor Blocker) .............................................11
2.2.4 Beta Blocker.....................................................................................12
2.2.5 Antagonis Aldosteron ......................................................................12
2.2.6 Vasodilator .......................................................................................13
2.2.7 Glikosida Jantung.............................................................................13
2.2.8 Bypiridine ........................................................................................14
2.2.9 Agonis Beta ......................................................................................14
2.2.10 Natriuretic Peptide ...........................................................................15
2.3 Definisi Interaksi Obat .................................................................................15
2.4 Konsekuensi dari Interaksi Obat ..................................................................15
2.5 Faktor terjadinya interaksi obat ...................................................................16
2.6 Cara untuk menghindari terjadinya interaksi obat .......................................17
2.7 Tipe interaksi obat........................................................................................17
2.8 Mekanisme Interaksi Obat ...........................................................................18
2.9 Golongan Mekanisme Interaksi Obat ..........................................................18
2.9.1 Interaksi Farmasetik .........................................................................19
2.9.2 Interaksi Farmakokinetik .................................................................20
2.9.3 Interaksi Farmakodinamik ...............................................................21

3
BAB III PEMBAHASAN ........................................................................................22
3.1 Interaksi Obat Kasus Khusus – Gagal Jantung dengan gangguan fungsi
hati.........................................................................................................22
3.2 Beberapa Contoh Interaksi Obat Pada Gagal jantung dengan gangguan
fungsi hati..............................................................................................22
BAB IV KESIMPULAN .........................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................27
Lampiran Jurnal .........................................................................................................

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit jantung masih menjadi penyebab kematian terbesar di dunia, termasuk di


Indonesia. World Health Organization (WHO) memperkirakan 23,6 juta orang akan
meninggal pada tahun 2030. Jumlah tersebut hampir dua kali lipat jumlah orang yang
meninggal karena penyakit jantung pada tahun 2008 yang saat itu diperkirakan
berjumlah 17,3 juta orang. Salah satu jenis penyakit jantung yang merupakan
penyebab kematian utama di dunia adalah gagal jantung (Heart Failure) (Mozaffarian,
dkk., 2013). Angka kejadian gagal jantung di Indonesia belum diketahui tetapi
diperkirakan terus meningkat seiring dengan perubahan pola hidup dan peningkatan
kesejahteraan. Sekitar 70% penyebab kematian penderita gagal ginjal yakni akibat
penyakit jantung. Insiden dan prevalensi dari penyakit ginjal kronik semakin
meningkat dan diperkirakan mencapai 26 juta di Amerika Serikat. Prevalensi gagal
jantung meningkat seiring dengan parahnya kerusakan ginjal (Mosterd dan Hoes, 2007).

Pada umumnya pasien sudah mengalami penurunan fungsi organ dan sudah
mengalami komplikasi sehingga membutuhkan beberapa obat yang dipakai secara
bersamaan. Hal tersebut dapat memacu kemungkinan terjadinya interaksi obat (Huon,
dkk., 2002). Sebanyak 52 % kategori obat yang terlibat dalam interaksi obat adalah
obat-obat kardiovaskular (Rama, dkk., 2012). Kasus gagal jantung pada tahun 2005
menduduki peringkat keenam pada daftar sepuluh besar penyakit di RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta. Kejadian gagal jantung di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta pada tahun 2013
tercatat sebanyak 738 kasus, sedangkat gagal jantung yang disertai dengan
gangguan fungsi ginjal sebanyak 48 kasus.

Penelitian mengenai gagal jantung yang disertai gangguan fungsi ginjal belum
banyak dilakukan sehingga informasi masih terbatas. Masih tingginya angka kejadian
interaksi obat pada pasien gagal jantung merupakan suatu masalah yang mendorong
adanya suatu pemecahan bersama, guna mengurangi terjadinya DRPs (Drug Related

5
Problems). Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian mengenai manajemen
interaksi obat pada pasien gagal jantung dengan gangguan fungsi ginjal di Instalasi
Rawat Inap RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta perlu dilakukan.

Peristiwa interaksi obat terjadi sebagai akibat penggunaan bersama-sama dua


macam obat atau lebih. Interaksi ini dapat menghasilkan efek yang menguntungkan tetapi
sebaliknya juga dapat menimbulkan efek yang merugikan atau membahayakan.
Meningkatnya kejadian interaksi obat dengan efek yang tidak diinginkan adalah akibat
makin banyaknya dan makin seringnya penggunaan apa yang dinamakan
“Polypharmacy" atau “Multiple Drug Therapy”.

Sudah kita maklumi bersama bahwa biasanya penderita menerima resep dari
dokter yang memuat lebih dari dua macam obat. Belum lagi kebiasaan penderita yang
pergi berobat ke beberapa dokter untuk penyakit yang Sama dan mendapat resep obat
yang baru. Kemungkinan lain terjadinya interaksi obat adalah akibat kebiasaan beberapa
penderita untuk mengobati diri sendiri dengan obat-obatan yang dapat dibeli di toko-toko
obat secara bebas.

Interaksi obat yang tidak diinginkan dapat dicegah bila kita mempunyaii
pengetahuan farmakologi tentang obat-obat yang dikombinasikan. Tetapi haruslah diakui
bahwa pencegahan itu tidaklah semudah yang kita sangka, mengingat jumlah interaksi
yang mungkin terjadi pada orang penderita yang menerima pengobatan polypharmacy
cukup banyak.

1.2 Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan mahasiswa
tentantang interaksi obat terhadap kasus khusus pada gagal jantung dengan gangguan
fungsi ginjal dan cara penangananya.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gagal Jantung (Heart Failure)

Gagal jantung adalah sindrom klinis yang disebabkan ketidakmampuan jantung


memompa darah yang cukup untuk kebutuhan metabolisme tubuh. Sedangkan di dalam
European Journal of Heart Failure (2012) disebutkan pengertian gagal jantung adalah
kondisi abnormal baik secara fungsional maupun struktural pada jantung, sehingga
oksigen tidak dapat terpompa secara merata untuk kebutuhan metabolism jaringan.
Adanya kelainan pada jantung akan menyebabkan berkurangnya pengisian ventrikel
(disfungsi diastolik) dan kontraksi miokard (disfungsi sistolik) (Dipiro et al., 2006).

National Heart Foundation of Australia (NHF) (2011) membagi kelainan gagal


jantung menjadi dua, yakni gagal jantung sistolik (Systolic Heart Failure) dan gagal
jantung diastolik (Heart Failure with Preserved Systolic Function). Gagal jantung sistolik
mengarah pada kondisi ketidakmampuan jantung berkontraksi. Sebagian besar terjadi
akibat Coronary Heart Disease (CHD). Sedangkan gagal jantung diastolik berkaitan
dengan kegagalan diastolik dalam pemompaan ventrikel kiri dikarenakan relaksasi yang
terlalu dini. Pada gagal jantung diastolik dapat juga terjadi kekakuan miokard sehingga
terjadi tekanan yang tinggi. Penyebab pasti terjadinya gagal jantung diastolik masih sukar
ditentukan karena prevalensi data yang kurang akurat, namun biasanya iskemik,
hipertropi, dan fibrosis adalah kelainan awal yang ditemukan pada kasus gagal jantung
diastolik.

2.2 Terapi Gagal Jantung

Terapi bagi penderita gagal jantung berupa terapi non-farmakologis dan terapi
farmakologis. Tujuan dari adanya terapi yakni untuk meredakan gejala, memperlambat
perburukan penyakit, dan memperbaiki harapan hidup (Mycek et al., 2011). Terapi non-
farmakologi pada penderita gagal jantung berbentuk manajemen perawatan mandiri
(Perki, 2015). Perki (2015) mendefinisikan manajemen perawatan mandiri sebagai
“tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku

7
yang dapat memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal jantung”.
Manajemen perawatan diri berupa ketaatan berobat, pemantauan berat badan, pembatasan
asupan cairan, pengurangan berat badan (Stadium C), pemantauan asupan nutrisi, dan
latihan fisik (Perki, 2015).

Sedangkan terapi farmakologis ditujukan untuk mengatasi gejala akibat gagal


jantung contohnya, kongesti dan mengurangi respon kompensasi. Salah satu mekanisme
respon kompensasi digambarkan dengan model neurohormonal (Dipiro, et al., 2008).
Adanya aktivasi neurohormonal akibat norepinefrin, angiotensin II, aldosteron,
vasopressin, serta beberapa jenis sitokin menimbulkan respon kompensasi yang
memperburuk kondisi gagal jantung (Dipiro, et al., 2008).. Oleh sebab itu, pengobatan
pada pasien gagal jantung biasanya memiliki mekanisme kerja yang berkaitan dengan
aktivitas neurohormonal.

Katzung et al. (2009) menyebutkan bahwa tujuan dari terapi farmakologis yakni
untuk mengurangi gejala, memperlambat perburukan kondisi jantung, dan mengatasi
terjadinya kejadian akut akibat respon kompensasi jantung. Adapun biasanya pengobatan
baik untuk gagal jantung diastolik maupun sistolik adalah sama. Golongan obat-obatan
yang digunakan adalah diuretik, antagonis aldosteron, ACE-inhibitor (Angiotensin-
Converting Enzyme inhibitor), ARB (Angiotensin Receptor Blocker), beta blocker,
glikosida jantung, vasodilator, agonis beta, bypiridine, dan natriuretic peptide (Katzung et
al., 2009).

Urutan terapi pada pasien gagal jantung biasanya diawali dengan diuretik untuk
meredakan gejala kelebihan volume. Kemudian, ditambahkan ACE-inhibitor atau ARB
jika ACE-inhibitor tidak ditoleransi. Namun, penambahan ARB dilakukan hanya setelah
terapi diuretik diberikan secara optimal. Dosis diatur secara bertahap hingga dihasilkan
curah jantung optimal. Beta blocker diberikan setelah pasien stabil dengan pemberian
ACE-inhibitor. Sedangkan glikosida jantung (digoxin) diberikan jika pasien masih
mengalami gagal jantung meskipun telah diberikan terapi kombinasi (Mycek et al.,
2011).

8
2.2.1 Diuretik

Obat-obatan golongan diuretik diberikan pada pasien gagal jantung dengan tanda
kongesti (biasanya kelas I atau stadium B) (Perki, 2015). Pemberian diuretik tidak
berpengaruh langsung pada kontraksi jantung. Efek utama dari pemberian diuretik yakni
mengurangi tekanan darah dan preload ventrikel. Selain itu, pada pasien gagal jantung
kiri, pemberian diuretik akan membantu mengurangi pembengkakan jantung sehingga
pemompaan lebih efisien (Katzung et al., 2009). Pasien yang tidak mengalami retensi
cairan tidak perlu diberikan obat-obatan diuretik (Dipiro et al., 2006). Obat diuretik
terdiri dari golongan tiazid dan diuretik loop.

Tiazid bekerja dengan memblok reabsorpsi natrium dan klorida. Sedangkan diuretik loop
bekerja dengan menghambat transporter Na-K-Cl di lengkung henle sehingga reabsoprsi
mineral-mineral tersebut berkurang. Obat- obatan diuretik loop sangat mudah berikatan
dengan protein plasma sehingga obat-obatan tersebut kurang difiltrasi di glomerulus
(Katzung et al., 2009).

Hal-hal yang harus diperhatikan pada pemberian diuretik untuk pasien gagal jantung
yakni: (Perki, 2015)

1. Pasien terlebih dahulu diperiksa fungsi ginjal dan kadar serum elektrolit.

2. Pemberian diuretik dianjurkan pada saat perut kosong.

3.Sebagian besar pasien diberikan terapi diuretik loop dibanding tiazid. Diuretik dapat
diberikan secara kombinasi (diuretik loop dan tiazid) pada keadaan edema yang resisten.

9
Tabel 2.2.1 Dosis diuretik untuk pengobatan gagal jantung
Diuretik Dosis awal (mg) Dosis harian (mg)
Diuretik loop
Furosemide 20 - 40 40 – 240
Bumetanide 0,5 - 1,0 1–5
Torasemide 5 - 10 10 – 20
Tiazid
Hidrochlortiazide 25 12,5 – 100
Metolazone 2,5 2,5 – 10
Indapamide 2,5 2,5 – 5
Diuretik hemat kalium
(+ ACEI/ARB) 12,5 - 25 (+ ACEI/ARB) 50
Spironolakton
(- ACEI/ARB) 50 (- ACEI/ARB) 100 – 200
(Sumber: ESC, 2012 dalam Perki, 2015)

2.2.2 ACE-inhibitor (Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor)

ACE-inhibitor merupakan terapi lini pertama bagi pasien gagal jantung. Obat
golongan ini harus diberikan pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40% (Perki,
2015). Mekanisme kerja dari ACE-inhibitor yakni dengan menghambat perubahan
angiotensin I menjadi angiotensin II yang diperantarai oleh ACE (Angiotensin
Converting Enzyme). Dengan begitu, jumlah angiotensin II akan menurun diikuti dengan
jumlah aldosteron. Berkurangnya hormon-hormon tersebut akan mencegah terjadinya
fibrosis miokard, apoptosis miosit, hipertropi jantung, pelepasan norepinefrin,
vasokontriksi, dan retensi cairan. Dengan begitu, ACE-inhibitor berperan penting dalam
mencegah perburukan kondisi jantung yang diperantarai oleh mekanisme RAAS (Renin-
Angiotensin-Aldosterone System) (Katzung et al., 2009).

Meskipun begitu, pemberian ACE-inhibitor terkadang menyebabkan perburukan


fungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk dan angioedema (jarang). Maka
dari itu, ACE-inhibitor hanya boleh diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal yang baik
dan memiliki kadar kalium normal. ACE-inhibitor dikontraindikasikan pada pasien
dengan riwayat angioedema, stenosis renal bilateral, kadar kalium serum > 5,0 mmol/L,
kadar serum kreatinin >2,5 mg/dL, dan memiliki stenosis aorta berat (Perki, 2015).

Tabel 2.2.2 Dosis obat ACE-inhibitor untuk pengobatan gagal jantung

10
Obat Dosis awal (mg) Dosis target (mg)
Captopril 6,25 (3x sehari) 50-100 (3x sehari)
Enalapril 2,5 (2x sehari) 10-20 (2x sehari)
Lisinopril 2,5-5 (1x sehari) 20-40 (1x sehari)
Ramipril 2,5 (1x sehari) 5 (2x sehari)
Perindopril 2 (1x sehari) 8 (1x sehari)
(Sumber: ESC, 2012 dalam Perki, 2015)

2.2.3 ARB (Angiotensin Receptor Blocker)

Obat-obat ARB bekerja dengan memblok reseptor angiotensin II subtipe 1 (AT1).


Sehingga, efek dari angiotensin II terhambat. Dampak dari terbloknnya reseptor AT1
yakni vasodilatasi dan terhambatnya perburukan ventrikel. Karena obat ARB tidak
menghambat ACE, sehingga tidak mempengaruhi aktivitas bradikinin. Bradikinin
merupakan mediator inflamasi yang dapat menyebabkan batuk. (Katzung et al., 2009).
Oleh sebab itu, ARB biasanya diberikan pada pasien yang tidak toleran terhadap
pemberian ACE-inhibitor, khususnya batuk (Dipiro et al., 2006).

Sama halnya dengan ACE-inhibitor, obat-obat ARB dapat menyebabkan


perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan hipotensi simtomatik. Hanya saja ARB tidak
menyebabkan batuk. Obat-obat ARB dikontraindikasikan bagi pasien dengan stenosis
renal bilateral, kadar kalium serum > 5,0 mmol/L, kadar serum kreatinin >2,5 mg/dL,
dan memiliki stenosis aorta berat. Selain itu, ARB juga tidak boleh diberikan pada
pasien yang diterapi ACE-inhibitor dan antagonis

Tabel 2.2.3 Dosis obat ARB untuk pengobatan gagal jantung

Obat Dosis awal (mg) Dosis target (mg)


Candesartan 4/8 (1x sehari) 32 (1x sehari)
Valsartan 40 (2x sehari) 160 (2x sehari)
(Sumber: ESC, 2012 dalam Perki, 2015)

11
2.2.4 Beta Blocker

Metoprolol, carvedilol, dan biprolol adalah obat golongan beta blocker yang
terbukti dapat mengurangi mortilitas gagal jantung. Metoprolol dan bisoprolol bekerja
selektif memblok reseptor β1 sedangkan carvedilol memblok reseptor β1, β2, dan α1
(Dipiro et al., 2006). Obat-obat beta blocker tidak boleh diberikan pada pasien yang
memiliki asma dan dapat menyebabkan bradikardia (Perki, 2015).

Tabel 2.2.4 Dosis obat beta blocker untuk pengobatan gagal jantung

Obat Dosis awal (mg) Dosis target (mg)


Bisoprolol 1,25 (1x sehari) 10 (1x sehari)
Carvedilol 3,125 (2x sehari) 25 - 50 (2x sehari)
Metoprolol 12,5/25 (1x sehari) 200 (1x sehari)
(Sumber: ESC, 2012 dalam Perki, 2015)

2.2.5 Antagonis Aldosteron

Spironolakton dan eplerenone merupakan obat-obat golongan antagonis


aldosteron yang bekerja dengan memblok reseptor mineralkortokoid. Di ginjal, antagonis
aldosteron menghambat reabsorpsi natrium dan ekskresi potasium. Sehingga antagonis
aldosteron juga memiliki efek diuretik. Di jantung, antagonis aldosteron menghambat
terbentuknya deposit kolagen dan matriks. Deposit kolagen dan matriks merupakan salah
satu pemicu terjadinya fibrosis jantung dan remodelling ventrikel (Dipiro et al., 2006).

Antagonis aldosteron diindikasikan pada pasien dengan fraksi ejeksi inhibitor atau
ARB. Antagonis aldosteron tidak dianjurkan diberikan pada pasien dengan terapi diuretik
hemat kalium atau suplemen kalium dan kombinasi ACE- inhibitor dan ARB. Selain itu,
antagonis aldosteron dikontraindikasikan bagi pasien dengan konsentrasi serum kalium >
5,0 mmol/L dan kadar serum kreatinin> 2,5 mg/dL.

Tabel 2.2.5 Dosis obat antagonis aldosteron untuk pengobatan gagal jantung

Obat Dosis awal (mg) Dosis target (mg)


Eplerenon 25 (1x sehari) 50 (1x sehari)
Spironolakton 25 (1x sehari) 25 - 50 (1x sehari)
(Sumber: ESC, 2012 dalam Perki, 2015)

12
2.2.6 Vasodilator

Obat vasodilator terbagi menjadi 3, yakni dilator selektif arteri, dilator vena, dan
vasodilator nonselektif. Pemilihan jenis-jenis vasodilator tergantung dari tanda klinis
pasien. Pasien-pasien dengan tekanan pompa yang tinggi disertai dyspnea biasanya diberi
dilator vena yang bekerja lama yakni golongan nitrat. Pasien dengan gejala kelelahan dan
output ventrikel rendah diberi dilator arteri yakni hydralazine. Namun, biasanya kedua
jenis obat tersebut dikombinasikan secara bersamaan (Dipiro et al., 2006). Dosis awal
pemberian kombinasi H-ISDN (Hydralazine-isosorbide dinitrate) yakni hydralazine 12,5
mg dan ISDN (isosorbide dinitrate) 10 mg sebanyak 2-3x sehari. Dosis dinaikkan secara
titrasi hingga mencapai dosis target (hydralazine 50 mg dan ISDN 20 mg, 3-4x sehari).
Namun, jika terjadi hipotensi, dosis tidak perlu dinaikkan (Perki, 2015).

2.2.7 Glikosida Jantung

Glikosida jantung atau biasa disebut dengan digitalis adalah senyawa Digitalis dapat
meningkatkan kontraktilitas otot jantung dengan mempengaruhi aliran ion natrium dan
kalsium dalam otot jantung. (Mycek et al., 2011). Glikosida jantung menghambat kanal
ion sehingga ion Na+, K+, dan ATPase tetap berada dalam sel. Dengan begitu, kadar-
kadar ion intraseluler menjadi tinggi dan otot cenderung berkontraksi (Katzung et al.,
2009). Jenis obat yang umum digunakan untuk terapi gagal jantung adalah digoksin
kongestif (Mycek et al., 2011).

Digoksin digunakan untuk memperlambat lajur ventrikel pada pasien gagal


jantung dengan fibrilasi atrial. Dosis awal pemberian digoksin yakni 0,25 mg 1 x sehari
pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Pasien geriatri dan pasien dengan gangguan
fungsi ginjal diberi dosis yang lebih rendah yakni 0,125 atau 0,0625 mg 1 x sehari. Kadar
digoksin dalam darah harus berkisar antara 0,6 - 1,2 ng/mL karena indeks terapinya yang
sempit. Oleh sebab itu, penggunaan obat- obatan yang dapat meningkatkan kadar
digoksin dalam darah seperti amiodarone, diltiazem, verapamil, dan kuinidin harus
dihindari. Efek samping dari pemberian digoksin di antaranya aritmia atrial dan

13
ventrikuler (terutama pada pasien hipokalemia), mual, muntah, anoreksia, dan gangguan
melihat warna (Perki, 2015).

2.2.8 Bypiridine

Senyawa bypiridine meningkatkan kontraktilitas miokard dengan mekanisme


kerja meningkatkan fluks kalsium. Selain itu, obat bypiridine juga memberi efek
vasodilatasi. Obat-obat bypiridine yang digunakan untuk milrinone diberikan secara
parenteral (intravena). Kedua obat tersebut memiliki mekanisme kerja menghambat
phosphodiesterase isozyme 3 (PDE-3). Waktu paruh inamrinone dan milrinone berkisar
antara 306 jam dan 10-40% obat diekskresi melalui urin. Pemberian inamrinone yang
terlalu tinggi dapat menyebabkan mual, muntah, aritmia jantung, trombositopenia, dan
perubahan enzim-enzim liver (Katzung et al., 2009). Dosis awal inamrinone yakni 0,75
mg/kg, diberikan selama 2-3 menit kemudian dapat ditingkatkan menjadi 5-10
mcg/kg/menit secara intravena. Dosis maksimum inamrinone yakni 10 mg/kg. Sedangkan
milrinone diberikan pada dosis awal sebesar 50 mcg/kg selama 10 menit lalu dapat
ditingkatkan menjadi 0,375 - 0,75 mcg/kg secara intravena (Putri, 2010).

2.2.9 Agonis beta

Golongan agonis beta yang digunakan untuk pengobatan gagal jantung yakni
dobutamin dan dopamin. Pada prinsipnya, obat-obat agonis beta bekerja dengan
meningkatkan respon reseptor sehingga efek akibat ikatan senyawa- reseptor lebih besar.
Dobutamin bekerja dengan meningkatkan sintesis cAMP (cyclic adenosine-3',5'-
monophosphate) sehingga kontraktilitas jantung meningkat. Sedangkan dopamin bekerja
dengan meningkatkan efek reseptor dopamin. Dobutamin diberikan secara intravena
dengan dosis 5-7,5 mcg/kg/menit (Tariq dan Aronow, 2015). Penggunaan dopamin untuk
meningkatkan kontraksi jantung pada pasien gagal jantung yakni sebesar 5-25
mcg/kg/menit (Stevenson, 2003).

14
2.2.10 Natriuretic Peptide

Natriuretic peptide adalah sintesis dari Brain Natriuretic Peptide (BNP). Senyawa
natriuretic peptide yang digunakan untuk terapi gagal jantung yakni nesiritide. Nesiritide
bekerja dengan meningkatkan cGMP (cyclic guanosine monophosphate) di sel-sel otot.
Waktu paruh dari nestiride yakni 18 menit (Katzung et al., 2009). Nestiride diberikan
melalui injeksi intravena bolus dengan dosis 0,01 mcg/kg/menit. (Mohammed et al.,
2008).

2.3 Definisi Interaksi obat

Bilamana dua atau lebih obat yang diambil secara bersamaan, ada kemungkinan
akan ada sebuah interaksi di antara obat-obatan tersebut. Interaksi dapat meningkatkan
atau menurunkan efektivitas dan / atau efek samping dari obat. Hal ini juga dapat
mengakibatkan efek samping yang baru, yaitu efek samping yang tidak terlihat dengan
menggunakan salah satu obat itu sendiri. Kemungkinan interaksi obat meningkat sebagai
jumlah obat yang diambil oleh pasien meningkat. Oleh karena itu, orang-orang yang
mengambil beberapa jenis obat untuk pengobatan merupakan resiko besar untuk
interaksi. Interaksi obat berkontribusi pada biaya kesehatan yang disebabkan oleh biaya
perawatan medis yang diperlukan untuk merawat mereka. Interaksi juga dapat
mengakibatkan rasa sakit dan penderitaan yang dapat dihindarkan.

Interaksi obat dapat didefinisikan sebagai interaksi antara obat dan zat lainnya
yang mencegah obat bekerja/melakukan seperti yang diharapkan. Definisi ini berlaku
untuk interaksi obat-obatan dengan obat-obatan lainnya (obat – interaksi obat), serta obat-
obatan dengan makanan (interaksi obat - makanan) dan zat lainnya.

2.4 Konsekuensi dari interaksi obat

Interaksi obat dapat mengakibatkan peningkatan atau penurunan yang bermanfaat


atau efek merugikan yang diberikan obat-obatan. Bila interaksi obat meningkatkan
manfaat dari administratif obat tanpa meningkatkan efek samping, kedua obat dapat
digabungkan untuk meningkatkan kontrol terhadap kondisi yang sedang dirawat.

15
Misalnya, obat-obatan yang mengurangi tekanan darah oleh berbagai mekanisme yang
berbeda dapat digabungkan karena efek menurunkan tekanan darah dicapai oleh kedua
obat-obatan mungkin akan lebih baik dibandingkan dengan obat itu sendiri. Penyerapan
beberapa jenis obat meningkat oleh makanan. Oleh karena itu, obat ini diambil dengan
makanan dalam rangka untuk meningkatkan konsentrasi mereka didalam tubuh dan, pada
akhirnya, mereka berpengaruh. Sebaliknya, bila penyerapan obat-obatan berkurang oleh
makanan, maka obat diambil pada waktu perut kosong.

Interaksi obat yang paling banyak dikuatirkan adalah yang mengurangi dari efek
yang diinginkan atau meningkatkan efek merugikan dari obat itu sendiri. Obat yang
mengurangi penyerapan atau meningkatkan metabolisme atau penghapusan obat lainnya
cenderung mengurangi efek dari obat yang lain. Hal ini dapat mengakibatkan kegagalan
terapi atau memerlukan peningkatan dosis obat agar berpengaruh. Sebaliknya, obat-
obatan yang meningkatkan penyerapan atau mengurangi eliminasi atau metabolisme obat
lain yang meningkatkan konsentrasi obat-obatan lain di dalam tubuh dan menyebabkan
lebih banyak efek samping. Terkadang, obat berinteraksi karena mereka menghasilkan
efek samping yang serupa. Oleh karena itu, bila kedua obat yang menghasilkan efek
samping yang sama digabungkan, frekuensi dan kerasnya dari efek samping yang
meningkat.

2.5 Faktor terjadinya interaksi obat

Interaksi obat adalah kompleks dan terutama yang tidak terduga. interaksi yang
dikenal mungkin tidak terjadi di setiap individu. Hal ini dapat dijelaskan karena ada
beberapa faktor yang mempengaruhi kemungkinan bahwa terdapat interaksi yang
dikenal yang akan terjadi. Faktor-faktor tersebut termasuk perbedaan antara individu
dalam fisiologi, usia, gaya hidup (diet, latihan), yang berpenyakit, dosis obat, lamanya
terapi gabungan, dan waktu relatif dari administrasi dua zat. (Terkadang, interaksi dapat
dihindari jika dua obat yang diambil pada waktu yang berbeda.) Namun demikian,
interaksi obat yang signifikan sering terjadi dan mereka menambahkan jutaan dolar untuk
biaya kesehatan. Selain itu, banyak obat telah ditarik dari pasar karena potensi untuk
berinteraksi dengan obat lain dan menyebabkan masalah kesehatan serius.

16
2.6 Cara untuk menghindari terjadinya interaksi obat

1. Memberi penyedia layanan kesehatan daftar yang lengkap dari seluruh obat-obatan
yang anda gunakan atau telah digunakan dalam beberapa hari lalu. Ini harus mencakup
pengobatan over-the-counter, vitamin, makanan suplemen, dan herbal remedies.

2. Memberitahu penyedia layanan kesehatan bila ada obat tambahan atau yang
dihentikan.

3. Memberitahu penyedia layanan kesehatan tentang perubahan gaya hidup.

4. Bertanya kepada penyedia layanan kesehatan anda tentang hal yang paling serius atau
seringnya interaksi obat dengan obat yang anda gunakan.

5. Sejak frekuensi interaksi obat meningkat dengan sejumlah obat, bekerja sama dengan
penyedia layanan kesehatan anda untuk menghilangkan obat yang tidak diperlukan.

6. Laporan singkat mengenai interaksi obat ini tidak menutup kemungkinan setiap
skenario. Pembaca tidak boleh takut untuk menggunakan obat karena potensi terjadinya
interaksi obat. Sebaliknya, mereka harus menggunakan informasi yang tersedia bagi
mereka untuk meminimalkan resiko interaksi seperti ini dan untuk meningkatkan
keberhasilan terapi mereka.

2.7 Tipe interaksi obat

Obat dapat mengganggu penyerapan obat lain dalam usus, peredarannya dalam
darah atau penyerapannya oleh sel. Antagonisme (pertentangan) berarti bahwa satu obat
menghambat atau mengurangi dampak obat yang lain.

Bila dua obat bekerja sama terhadap satu sasaran untuk membuat tanggapan yang
lebih besar daripada dampaknya masing-masing, cara kerja dua obat semacam ini disebut
sinergi (1+1=lebih dari 2). Bila satu obat memperkuat dampak obat lain dengan cara
meningkatkan tingkat obat yang lain tersebut dalam darah, hal ini disebut potensiasi
(a+b=lebih banyak b daripada yang biasa). Ini adalah cara kerja ritonavir bila dicampur

17
dengan saquinavir atau indinavir. Obat juga dapat berinteraksi di dalam tubuh waktu
mereka diproses, atau dimetabolisme.

2.8 Mekanisme interaksi obat

Ada beberapa mekanisme oleh obat yang berinteraksi dengan obat-obatan lain,
makanan, dan bahan lainnya. Interaksi dapat terjadi apabila ada peningkatan atau
penurunan dalam:

(1) penyerapan obat yang masuk ke dalam tubuh;

(2) distribusi obat dalam tubuh;

(3) perubahan yang dibuat pada obat oleh tubuh (metabolisme) ; dan

(4) penghapusan obat dari badan.

Sebagian besar hasil penting dari interaksi obat perubahan dari dalam penyerapan,
metabolisme, atau penghapusan dari obat. Interaksi obat juga dapat terjadi bila dua obat
yang sama (tambahan) efek atau berlawanan (membatalkan) efek bertindak bersama pada
tubuh. Sumber lain dari interaksi obat terjadi ketika obat mengubah satu konsentrasi dari
bahan yang biasanya hadir di dalam tubuh. Perubahan yang substansi ini mengurangi atau
meningkatkan efek obat lain yang sedang diambil. Interaksi obat antara warfarin
(Coumadin) dan vitamin K yang mengandung produk adalah contoh yang baik dari jenis
interaksi. Warfarin bertindak dengan mengurangi konsentrasi bentuk aktif vitamin K
didalam tubuh. Karena itu, bila vitamin K diambil, ia akan mengurangi efek warfarin.

2.9 Golongan Mekanisme Interaksi Obat

Mekanisme interaksi obat bermacam-macam dan kompleks. Pada dasarnya dapat


digolongkan sebagai berikut:

 Interaksi farmasetika/Inkompabilitas
 Interaksi farmakokinetika

18
 Interaksi farmakodinamik

2.9.1 Interaksi farmasetika


Interaksi ini merupakan interaksi fisiko-kimiawi di mana terjadi reaksi fisiko-
kimiawi antara obat-obat sehingga mengubah (menghilangkan) aktifitas farmakologik
obat. Yang sering terjadi misalnya reaksi antara obat-obat yang dicampur dalam cairan
secara bersamaan, misalya dalam infus atau suntikan . Campuran penisilin (atau
antibiotika beta-laktam yang lain) dengan aminoglikosida dalam satu larutan tidak
dianjurkan. Walaupun obat-obat ini pemakaian kliniknya sering bersamaan, jangan
dicampur dalam satu suntikan. Beberapa tindakan hati-hati (precaution) untuk
menghindari interaksi farmasetik ini mencakup:
 Jangan memberikan suntikan campuran obat kecuali kalau yakin betul bahwa
tidak ada interaksi antar masing-masing obat.
 Dianjurkan sedapat mungkin juga menghindari pemberian obat bersama-sama
lewat infus.
 Selalu perhatikan petunjuk pemberian obat dari pembuatnya (manufacturer
leaflet), untuk melihat peringatan-peringatan pada pencampuran dan cara
pemberian obat (terutama untuk obat-obat parenteral misalnya injeksiinfus dan
lain-lain)
 Sebelum memakai larutan untuk pemberian infus, intravenosa atau yang lain,
perhatikan bahwa tidak ada perubahan warna, kekeruhan, presipitasi dan lain-lain
dari larutan.
 Siapkan larutan hanya kalau diperlukan saja. Jangan menimbun terlalu lama
larutan yang sudah dicampur kecuali untuk obat-obat yang memang sudah
tersedia dalam bentuk larutan seperti metronidazol , lidakoin dan lain-lain.
 Botol ifus harus selalu diberi label tentang jenis larutannya, obat-obat yang sudah
dimasukkan, termasuk dosis dan dan waktunya.
 Jika harus memberi per infus dua macam obat, berikan lewat 2 jalur infus, kecuali
kalau yakin tidak ada interaksi. Jangan ragu-ragu konsul apoteker rumah sakit.

19
2.9.2 Interaksi farmakokinetika
Interaksi ini adalah akibat perubahan-perubahan yang terjadi pada absorbsi,
metabolisme, distribusi dan ekskresi sesuatu obat oleh obat lain. Dalam kelompok ini
termasuk interaksi dalam hal mempengaruhi absorbsi pada gastrointestinal, mengganggu
ikatan dengan protein plasma, metabolisme dihambat atau dirangsang dan ekskresi
dihalangi atau dipercepat.

1. Perobahan absorbsi pada gastrointestinal


Perobahan absorbsi sesuatu obat oleh obat lain dapat terjadi akibat :
a. Perubahan pH.
b. Gangguan pada sistem transport.
c. Pembentukan suatu kompleks
d. Perubahan aliran darah.

2. Penggeseran ikatannya dengan protein plasma


Suatu interaksi terjadi bila suatu obat menggeser obat lain dari tempat ikatannya dengan
protein plasma sehingga kadar obat yang bebas didalam darah meningkat, akibatnya efek
obat tersebut bertambah.

3. Biotransformasi
Biotransformasi obat terutama terjadi dimikrosoma sel hati. Mikrosoma ini sangat peka
terhadap aksi obat berarti produksi enzim-enzimnya dapat bertambah atau berkurang,
perangsangan mikrosoma mengakibatkan aktivitas obat menurun sedangkan
pengharnbatan menyebabkan aktivitas obat meningkat atau bertahan lama.

4. Perubahan ekskresi
Bila sesuatu obat mempengaruhi ekskresi obat lain melalui ginjaJ, dapat terjadi
perobahan aktivitas dan lama kerja sesuatu obat

20
2.9.3 lnteraksi farmakodinamik
Interaksi ini terjadi bila sesuatu obat secara langsung merubah aksi molekuler atau kerja
fisiologis obat lain. Kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi :
1. Obat-obat tersebut menghasilkan kerja yang sama padasatu organ(sinergisme).
2. Obat-obat tersebut kerjanya saling bertentangan (antagonisme).
3. Obat-obat tersebut bekerja independen pada dua tempat terpisah

21
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Interaksi Obat Kasus Khusus pada pasien Gagal Jantung Dengan Gangguan
Fungsi Ginjal
Jumlah kejadian interaksi obat berdasarkan hasil penelitian terdapat sebanyak 325
kejadian interaksi obat yang potensial dari total 70 pasien yang mengalami interaksi obat.
Hal ini dapat menjelaskan bahwa setiap pasien dapat mengalami lebih dari satu interaksi
karena perbedaan jenis dan jumlah terapi obat yang diperoleh.Mekanisme interaksi obat
dapat dibedakan menjadi 2,yaitu interaksi secara farmakokinetik dan interaksi secara
farmakodinamik. Penentuan pola interaksi berupa farmakokinetik atau farmakodinamik
dilihat berdasarkan mekanisme dan efek dari obat tersebut.
Interaksi farmakokinetik terjadi ketika suatu obat mempengaruhi kecepatan absorpsi,
distribusi, metabolisme atau ekskresi dari obat lain, sedangkan interaksi farmakodinamik
terjadi dengan cara mengubah efek suatu obat yang dikarenakan keberadaan obat lain
yang terjadi di tempat aksi.

3.2 Beberapa Contoh Interaksi Obat pada Gagal Jantung

No. Obat A Obat B Efek Mekanisme Pemecahan Masalah


1 Spironolakton Digoksin Digoksin menurun Farmakokinetik Agar tidak diberikan
Interaksi terjadi pada secara bersamaan
proses Absorpsi,
Peningkatan
kemampuan dari
spironolakton untuk
berikatan pada
glikoprotein P ini
menyebabkan
glokoprotein
yang dapat berikatan
dengan digoksin
menurun, sehingga
digoksin yang
absorpsi berkurang.

Aspirin Aspirin meningkat Farmakokinetik Agar tidak memberikan


Aspirin juga dosis yang tinggi
menghambat sekresi
aktif canrenone
(metabolit aktif
spironolakton), sehingga
efek metabolit

22
spironolakton meningkat
untuk pemberian dosis
berikutnya

Amlodipin Digoksin meningkat Farmakokinetik Dapat diberikan secara


Amlodipin menghambat bersamaan karna
transporter membran Amlodipine tidak
P-glikoprotein (P-gp), mempunyai efek terhadap
sehingga ikatan protein dari obat-
penghambatan ini
menyebabkan obat digoxin
digoksin yang di
ekskresi berkurang.
Penurunan ekskresi
digoksin menyebabkan
kadar digoksin di dalam
darah meningkat.
2 Digoksin PPI Digoksin meningkat Farmakokinetik Agar tidak diberikan
Dimana amlodipin secara bersamaan karna
menghambat transporter menyebabkan digoksin yang
membran P- di ekskresi berkurang
glikoprotein,
penghambatan ini
menyebabkan digoksin
yang di ekskresi
berkurang, dan terjadi
peningkatan kadar
digoksin dalam darah
Rifampisin Digoksin menurun Farmakokinetik Agar tidak diberikan
Interaksi terjadi pada secara bersamaan karna
proses metabolisme, digoksin banyak yang
rifampisin merupakan dimetabolisme dan
penginduksi enzim menghasilkan
Cyp
1A dan 3A, metabolisme yang tidak
menyebabkan aktif
digoksin banyak yang
di metabolisme
menghasilkan
metabolit yang tidak
aktif, sehingga efek
dari digoksin menurun
Sukralfat Digoksin menurun Farmakokinetik Agar tidak diberikan
Pemberian bersama bersamaan karna
sukralfat dengan menyebabkan penurunan
digoksin menyebabkan absorpsi dari digoksin
penurunan absorpsi
dari digoksin
3 Amlodipin Antagonis Amlodipin meningkat Farmakokinetik Agar tidak diberikan
dimana penurunan bersamaan

23
H2 keasaman lambung akan
meningkatkan
bioavailabilitas
amlodipin.
AINS Amlodipin menurun Farmakodinamik Agar tidak diberikan
Anti Inflamasi Non secara bersamaan karna
Steroid (AINS) bekerja berpotensi terjadinya
menghambat perdarahan
pembentukan
prostaglandin sehingga
menghambat
vasodilatasi (terjadi
vasokontriksi) dan
menghambat sekresi
natrium di ginjal
sehingga terjadi retensi
urine, kedua efek ini
menyebabkan tekanan
darah meningkat.
4 Bisoprolol AINS Bisoprolol menurun Farmakodinamik Agar tidak diberikan
fumarat Dimana Anti secara bersamaan karna
Inflamasi Non Steroid akan meningkatkan
(AINS) tekanan darah
bekerja menghambat
enzim cyclooksigenase
sehingga terjadi
pembentukan
prostaglandin.
Amlodipin Efek sinergis Farmakodinamik Agar tidak diberikan
Dimana bisoprolol bersamaan karna
bekerja dengan cara menyebabkan efek yang
memblok reseptor beta tidak diinginkan yaitu
adrenergik dengan efek hipotensi dan bradikardi
menurunkan kerja
jantung. Amlodipin
bekerja dengan cara
menduduki kanal
kalsium yang
menyebabkan
penurunan kontaktilitas
miokardium.

24
BAB IV
KESIMPULAN

Gagal jantung adalah salah satu penyebab utama kematian di dunia yang dapat
meningkat dengan adanya gangguan pada ginjal. Tujuan penelitian ini untuk
menggambarkan interaksi terapi pada pasien gagal jantung dengan gangguan fungsi
ginjal. Penelitian dilakukan pada pasien yang menjalani rawat inap di RS Dr.Sardjito
Yogyakarta. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan rancangan studi
crosssectional dan pengambilan data dilakukan secara restrospektif tahun 2009 –
2013. Hasil penelitian menunjukkan 70 pasien memenuhi kriteria inklusi dari total
subyek 119 pasien. Interaksi obat yang paling banyak terjadi adalah furosemid dan
ACEI sebanyak 35 pasien dengan level signifikansi 3, furosemid dan aspirin pada 35
pasien dengan level signifikansi 5, furosemid dan digoksin dengan level signifikansi 1
serta aspirin dan captopril dengan level signifikansi 4.

25
DAFTAR PUSTAKA

C.A.S. Wink; Report on the symposium Beta-blocker and the Central Nervous
System; Asian Medical Journal, Vol 19.hal 71, 1976.

C.de B. Whita, PhD.; Peripheral ganggren complicating Beta-blockade; The Lancet,


Vol. II, Hal.664, 1977.

Frederick H. Meyers,M.D.; Ernest Jawetz,PhD,M.D., Alan Goldfien, M.D; Review of


Medical Pharmacology, Edisi 5, 1976.

Ganiswara, G. Sulis, Farmakologi dan Terapi, Jakarta: Departemen Farmakologi dan


Terapeutik Fakultas Kedokteraan UI, 1995, Edisi IV

Harkness, Richard, R.PH, Interaksi Obat, Bandung: Institut Teknologi Bandung, 1989.

Hasil makalah dr.Soetiona Gafar, FK – USU pada perkuliahan Farmakologi

Ivan Stockley, B. Pharm,PhD,MPS.; Drug Interactions and their mechanisms; First


Published in the Phannaceutical Journal, 1974.

Medscape

Kusuma P., 2007, Perbedaan Komorbid Gagal Jantung Kongestif pada Usia Lanjut
dengan Usia Dewasa di RS. Dr. Kariadi Periode Januari- Desember 2006, Skripsi,
Jurusan Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

Mozaffarian D, Roger VL, Benjamin EJ, Berry JD, et al., 2013, Heart disease
and stroke statistics 2013 update : a report from the American Heart
Association. Circulation, pp.127:e6- e245.

26
Mosterd A., dan Hoes A. W., 2007 Clinical Epidemiologi of Heart Failure, Heart.,
93(9), pp.1137–1146

Prasetya N. P. R., Karsana, R., dan Swastini, D. A., 2008, Kajian Interaksi
Obat pada Pengobatan Pasien Gagal Ginjal Kronis Hipertensi di RSUP Sanglah
Denpasar Tahun 2007, Laporan Penelitian, Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Udayana, Denpasar

Rama M, Viswanathan G , Leelavathi D Acharya,* R. P. Attur, P. N.


Reddy, S. V. Raghavan, 2012,

Assessment od Drug-Drug Interactions among Renal Failure Patients of Nephrology


Ward in a South Indian Tertiary Care Hospital. Indian J Pharm Sci., 74(1) pp.63–68

27

Anda mungkin juga menyukai