Rizki Triwulanda - 153210216 - E - ProposalPenelitian

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 22

PROPOSAL PENELITIAN

ANALISIS KEEKONOMIAN PERBANDINGAN KONTRAK PSC DAN


KONTRAK GROSS SPLIT PADA PEKERJAAN HYDRAULIC
FRACTURING DI LAPANGAN X

Oleh:
RIZKI TRIWULANDA
153210216

PROGRAM STUDI TEKNIK PERMINYAKAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
PEKANBARU
2018
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kepada Allah Subhanallahu wa ta’ala yang telah
memberikan limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan proposal penelitian ini. Shalawat dan salam penulis ucapkan kepada Nabi Muhammad
Shallallahu‘alaihi wa sallam, semoga kita mendapat syafa’at di akhirat kelak. Proposal penelitian
ini disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah Tata Tulis Karya Ilmiah, Program Studi Teknik
Perminyakan, Universitas Islam Riau.
Penulis menyadari bahwa banyak pihak yang telah memberikan kontribusi semangat dan
dorongan untuk menyelesaikan proposal penelitian ini. Oleh karena itu Penulis ingin mengucapkan
terimakasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penulisan proposal penelitian ini.

Pekanbaru, 10 Desember 2018


Penulis,

Rizki Triwulanda
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... 2

DAFTAR ISI ................................................................................................................................... 3

PENDAHULUAN ........................................................................................................................... 4

I. Latar Belakang...................................................................................................................... 4

II. Rumusan Masalah ............................................................................................................. 5

III. Batasan Masalah ............................................................................................................... 5

IV. Maksud dan Tujuan Penelitian ......................................................................................... 5

V. Metodologi Penelitian ....................................................................................................... 5

VI. Penutup ............................................................................................................................. 6

FLOW CHART PENGERJAAN TUGAS AKHIR ........................................................................ 7

TEORI DASAR ............................................................................................................................... 8

2.1 Hydraulic fracturing ..................................................................................................... 8

2.2 Perbedaan antara kontrak PSC dan Gross Split ............................................................ 9

2.3 Kontrak Bagi Hasil Gross Split ..................................................................................... 9

2.4 Perbedaan Skema Kontrak Bagi Hasil ( PSC ) dan Kontrak Bagi Hasil Gross Split.. 11

2.5 Keekonomian Migas ................................................................................................... 12

2.6 Indikator Keekonomian ............................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA .................................................................... Error! Bookmark not defined.


JUDUL: “ ANALISIS KEEKONOMIAN PERBANDINGAN KONTRAK PSC DAN
KONTRAK GROSS SPLIT PADA PEKERJAAN HYDRAULIC
FRACTURING DI LAPANGAN X “

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Dewasa ini, pemasukan dalam negeri dalam hasil minyak dan gas bumi mulai
menurun. Dimana pemerintah terus membayar cost recovery setiap tahunnya sampai tahun
berikutnya sampai kembali untung dari produksi dari migas tersebut. Maka dari itu
pemerintah mulai membuat konsep baru dalam sistem kontrak bagi hasil antara pemerintah
dan kontraktor, dimana system yang diterapkan yaitu sistem kontrak bagi hasil gross
split.(Kurniawan,Temmy Surya.2017)
Permasalahan yang umumnya dihadapi oleh perusahaan dalam memproduksi
minyak bumi adalah penurunan laju produksi. Hal ini terjadi karena produksi fluida dari
reservoir menyebabkan tekanan reservoir menurun sehingga perbedaan tekanan antara
reservoir dan sumur semakin kecil. Berbagai upaya yang telah dilakukan untuk
mempertahankan peningkatan laju produksi, salah satunya yaitu melakukan pekerjaan
hydraulic fracturing. Pekerjaan hydraulic fracturing pada lapangan X Area A dilakukan
pada sumur PM01, PM02,dan PM03 yang mengalami penurunan produksi pada sumur
PM01 17 BOPD, PM02 13 BOPD, dan PM03 1 BOPD. Faktor lainnya yang mempengaruhi
dilakukannya pekerjaan hydraulic fracturing salah satunya permeabilitasnya rendah
sebesar 10mD, maka dilakukan hydraulic fracturing agar dapat meningkatkan produksi
minyak.
Analisis yang dilakukan dengan membandingkan keekonomian dari pekerjaan
hydraulic fracturing pada sumur PM01, PM02,dan PM03 menggunakan metode Kontrak
PSC dan Kontrak Gross Split. Oleh sebab itu penulis akan membandingkan mana yang
lebih menguntungkan apabila menggunakan metode Kontrak PSC atau Kontrak gross split
dalam pekerjaan hydraulic fracturing pada lapangan X area A tersebut.
II. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis ingin mengetahui


perbandingan dua metode kontrak bagi hasil dari indikator keekonomian pada pekerjaan
hydraulic fracturing. Sehingga dapat menentukan sistem kontrak bagi hasil yang lebih
menguntungkan.

III. Batasan Masalah


Dalam penulisan laporan tugas akhir ini saya sebagai penulis hanya fokus
membahas mengenai analisis indikator keekonomian pada pekerjaan hydraulic fracturing
di Lapangan X area A menggunakan sistem kontrak PSC dan kontrak Gross Split saja untuk
mengetahui IRR, NPV, DPIR, dan POT tanpa memperhitungkan perubahan rate produksi
dari pekerjaan hydraulic fracturing.

IV. Maksud dan Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian dari Tugas Akhir ini adalah:


1. Menghitung dan menganalisis perbandingan dua metode kontrak bagi hasil dari indikator
keekonomian pada pekerjaan hydraulic fracturing yang dilakukan untuk mengetahui IRR,
NPV, DPIR, dan POT.
2. Menganalisis sensitivitas indikator keekonomian terhadap pekerjaan hydraulic fracturing
untuk mengetahui parameter yang paling berpengaruh terhadap indikator keuntungan
pada kontrak bagi hasil PSC atau kontrak bagi hasil gross split di lapangan X area A.
3. Menentukan system kontrak bagi hasil PSC atau kontrak bagi Hasil gross split ini yang
lebih menguntungkan jika diterapkan di lapangan X area A.

V. Metodologi Penelitian
Adapun metodologi dalam penelitian Tugas Akhir ini sebagai berikut :
1. Lokasi : Lapangan X, Riau
2. Metode penelitiann : Field Research
3. Teknik penggumpulan data : Data sekunder, yaitu menggunakan data produksi
sumur dari tahun 2011, data well history, buku pegangan pelajaran teknik perminyakan,
paper dan diskusi dengan dosen pembimbing.

VI. Penutup
Demikianlah Proposal Penelitian ini saya buat, dan diajukan untuk menjadi bahan
pertimbangan penyusunan Tugas Akhir saya. Atas perhatian Bapak/Ibu saya ucapkan
terima kasih.
FLOW CHART PENGERJAAN TUGAS AKHIR

Mulai

Pengumpulan Data

1. Data Produksi ( BOPD )


a. Produksi awal sumur ( BOPD )
b. Decline Factor ( % )
2. Investasi
Non Capital ( Intangible ) ( US$)

Tahap Pengerjaan
1. Peramalan Produksi
2. Indikator keekonomian
kontrak PSC dan kontrak
Gross Split

Hasil dan Pembahasan Penelitian

Kesimpulan dan Saran

Selesai
TEORI DASAR

Pekerjaan workover ( kerja ulang ) adalah hal yang umum digunakan selama rentang waktu
hidup suatu sumur hidrokarbon. Tujuan utama workover adalah menjaga kelangsungan produksi
dari sumur tersebut. Pada Lapangan X Area A ada 3 sumur terjadi pengerjaan hydraulic fracturing
.
2.1 Hydraulic fracturing
Hydraulic fracturing adalah suatu teknik stimulasi yang dilakukan untuk meningkatkan
permeabilitas formasi dengan cara membuat rekahan pada batuan formasi. Rekahan dilakukan
dengan menginjeksikan fluida perekah pada tekanan injeksi di atas tekanan rekah formasi dan laju
alir injeksi yang tinggi. Setelah terjadi rekahan pada batuan, selanjutnya akan ditempatkan
proppant (material penganjal) kedalam rekahan agar tidak menutup kembali. (Bambang Tjondro
Msc, 2005)
1. Tujuan dari hydraulic fracturing adalah untuk memperbaiki permeabilitas formasi atau
meningkatkan nilai indeks produktivitas.
2. Kecilnya laju alir fluida yang disebabkan karena permeabilitas formasi yang memang kecil
atau karena adanya kerusakan formasi (faktor skin) atau juga karena formasi yang ketat
(consolidated).
3. Kelayakan sumur untuk dilakukan hydraulic fracturing yaitu cadangan yang tersisa masih
cukup banyak. Sehingga diharapkan keuntungan dari hasil penjualan minyak mentah yang
diperoleh setelah dilakukan hydraulic fracturing jauh lebih besar daripada biaya pekerjaan
itu sendiri, sehingga perusahaan mendapatkan keuntungan yang signifikan.

Untuk menghindari tertutupnya kembali rekahan tersebut, sebagai tahap terakhir pada
cairan perekah yang diinjeksikan ditambahkan material pengganjal atau biasa disebut proppant (
propping agent ). Propping agent ini akan terbawa masuk kedalam rekahan dan akan mengisi
seluruh bagian rekahan. Bila semua proppant telah dipompakan kedalam sumur, maka pemompaan
dihentikan.
Meskipun pemompaan dihentikan, proppant akan tetap berada pada rekahan. Dengan
demikian didalam rekahan batuan terisi proppant yang permeabilitasnya lebih baik dari
permeabilitas batuan formasi. Sebagai pemilihan sumur untuk di lakukan hydraulic fracturing ialah
sumur dengan karakteristik “ Damage Ratio” yang kecil.
2.2 Perbedaan antara kontrak PSC dan Gross Split
Kurniawan,Temmy Surya dan Jemmy Jainudin (2017) Berbeda dengan PSC cost recovery,
split antara Pemerintah dengan kontraktor pada PSC gross split ditetapkan diawal. Dari gross
revenue langsung di-split antara Pemerintah dengan kontraktor dengan split dasar atau base split
yaitu 57% : 43% untuk minyak bumi, dan 52% : 48% untuk gas bumi. Split tersebut dengan catatan
bahwa biaya operasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab kontraktor. Sehingga, tidak ada lagi cost
recovery. Split tersebut belum mempertimbangkan adanya tambahan pajak untuk Pemerintah.

2.3 Kontrak Bagi Hasil Gross Split


(Permen ESDM Nomor 08 Tahun 2017), Kontrak bagi hasil Gross Split adalah suatu
kontrak bagi hasil dalam kegiatan usaha hulu migas berdasarkan prinsip pembagian gross produksi
tanpa mekanisme pengembalian biaya operasi.
PSC gross split berlaku untuk Wilayah Kerja baru dan Wilayah Kerja yang berakhir jangka
waktu kontraknya namun tidak diperpanjang. Untuk Wilayah Kerja Migas yang diperpanjang
kontraknya dapat memilih apakah tetap menggunakan kontrak sebelumnya (PSC cost recovery)
atau menggunakan PSC gross split.
Menurut Permen ESDM No 08 Tahun 2017, Pasal 2 Ayat 1 menyatakan bahwasannya
Menteri menetapkan bentuk dan ketentuan – ketentuan pokok Kontrak Bagi Hasil Gross Split.
Pasal 2 Ayat 2 menyatakan bahwasaannya Kontrak Bagi Hasil Gross Split sebagaimana dimaksud
ayat (1) paling sedikit memuat persyaratan :
a. Kepemilikan sumber daya alam tetaap di tangan Pemerintah sampai pada titik
penyerahan
b. Pengendalian manajemen operasi berada pada SKK Migas
c. Modal dan resiko seluruhnya ditanggung Kontraktor.

Pasal 3, menyatakan bahwasanya Kontrak Bagi Hasil Gross Split wajib memuat paling sedikit
ketentuan – ketentuan :
a. Penerimaan Negara
b. Wilayah Kerja dan pengembaliannya
c. Kewajiban pengeluaran dana
d. Perpindahan kepemilikan hasil produksi atas minyak dan Gas Bumi
e. Jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak
Penyelesaian perselisihan
f. Kewajiban pemasokan minyak bumi dan/atau gas bumi untuk kebutuhan untuk
kebutuhan dalam negeri
g. Berakhirnya kontrak
h. Kewajiban pasca operasi pertambangan
i. Keselamatan dan kesehatan kerja
j. Pengelolaan lingkungan hidup
k. Pengalihan hak dan kewajiban
l. Pelaporan yang diperlukan
m. Rencana pengembangan lapangan
n. Pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia
o. Pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri,dan
p. Pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak – hak masyarakat adat.

Pasal 4 menyatakan bahwasanya, Kontrak Bagi Hasil Gross Split sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) menggunakan mekanisme bagi hasil awal (base split) yang dapat disesuaikan
berdasarkan komponen variable dan komponen progresif.
Menurut Permen ESDM No 08 Tahun 2017, Pasal 5 Ayat (1) bahwasanya dalam pelaksanaa
Kontrak Bagi Hasil Gross Split sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, ditetapkan besaran bagi hasil
awal ( base split ) yaitu :
a. Untuk Minyak Bumi sebesar 57% ( lima puluh tujuh persen ) bagian Negara dan 43 %
( empat puluh tiga persen ) bagian Kontraktor
b. Untuk Gas Bumi sebesar 52 % ( lima puluh dua persen ) bagian Negara dan 48 % (
empat puluh delapan persen ) bagian Kontraktor.
Ayat (2), Bagi hasil awal ( base split) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai
acuan dasar dalam penetapan bagi hasil pada saat persetujuan rencana pengembangan lapangan.
2.4 Perbedaan Skema Kontrak Bagi Hasil ( PSC ) dan Kontrak Bagi Hasil Gross Split

Hasil minyak bumi


siap dibagi

Biaya Operasi

Hasil minyak bumi


siap dibagi

Pemerintah Kontraktor

75 % 25 %

Pemerintah Kontraktor
85 % 15 %

Total Kontraktor

Gambar 2.2 Skema Kontrak Bagi Hasil PSC , (Ariana, 2017)

Hasil produksi
minyak bumi

Hasil minyak bumi


siap dibagi

Biaya
Operasi
Pemerintah Kontraktor
57 % 43 %
Gambar 2.3 Skema Kontrak Bagi Hasil Gross Split (Ariana, 2017)

Menurut Permen No.52 Tahun 2017 Pasal 6 Ayat 1, Pada saat persetujuan pengembangan
lapangan besaran bagi hasil ditetapkan berdasarkan bagi hasil awal (base split) yang disesuaikan
dengan komponen variable dan komponen progresif.
Menurut Permen No.52 Tahun 2017 Pasal 6 Ayat 2, Komponen Variable sebagaimana
dimaksud pada ayat ( 1 ) adalah :
a. Status Wilayah Kerja
b. Lokasi Lapangan
c. Kedalaman Reservoir
d. Ketersediaan Infrastruktur
e. Jenis Reservoir
f. Kandungan Karbon-dioksida ( CO2 )
g. Kandungan Hidrogen-sulfida ( H2S )
h. Berat Jenis ( Specific Gravity ) Minyak Bumi
i. Tingkat komponen dalam negeri pada masa pengembangan lapangan,dan
j. Tahapan Produksi

Komponen Progresif sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ) terdiri atas :


a. Harga Minyak Bumi
b. Harga Gas Bumi, dan
c. Jumlah Kumulatif Produksi Minyak dan Gas Bumi

2.5 Keekonomian Migas


Penanaman modal atau investasi didasarkan pada keuntungan yang diperoleh. Indikator
keuntungan diperlukan sebagai perameter untuk pengambilan keputusan. Untuk menilai
keekonomian suatu proyek atau prospek perlu dilihat semua aspek dari pengeluaran dan
pendapatan sepanjang umur proyek tersebut, sehingga penilaian suatu proyek akan didasarkan
kepada pendapatan selama siklus proyek itu masih berjalan sampai dengan pengeluaran dan
pendapatan sama atau mendekati sama. Untuk itu diperlukan perhitungan suatu aliran keuangan
(Cash Flow) agar membantu dalam pengambilan keputusan untuk melanjutkan atau menolak
proyek. Namun bagaimanapun juga Cash Flow saja tidak bisa dipakai sebagai acuan, kita perlu
parameter lain seperti NPV dan IRR sebagai pertimbangan untuk membuat keputusan (Benny
Lubiantara, 2012).
Peramalan dari suatu cash flow yang dihasilkan adalah sebagai dasar analisis keekonomian
hampir semua proyek terutama dalam industri perminyakan, cash flow digunakan sebagai dasar
untuk membuat keputusan investasi. Peramalan bisa sangat sederhana atau bisa sangat kompleks
dengan memasukkan rencana pengembangan untuk periode 10 atau 20 tahun dengan
memperhitungkan secara detail untuk masing-masing tahun (Benny Lubiantara, 2012).
Cash flow secara sederhana didefenisikan sebagai suatu aliran keuangan baik penerimaan
(Cash in) maupun pengeluaran (Cash Out) selama periode waktu yang ditentukan. Sedangkan Net
Cash Flow adalah semua pendapatan yang diterima dikurangi dengan semua pengeluaran (Benny
Lubiantara, 2012).
Didalam buku Benny Lubiantara (2012), “Ekonomi Migas” secara matematis Net Cash
Flow dapat dinyatakan dengan:
𝑁𝑒𝑡 𝐶𝑎𝑠ℎ 𝐹𝑙𝑜𝑤 = 𝐶𝑎𝑠ℎ 𝐼𝑛 − 𝐶𝑎𝑠ℎ 𝑂𝑢𝑡…………………………… (1)
Dalam Industri Migas penilaian proyek biasanya dalam periode tahunan kecuali lapangan
yang sudah atau sedang berproduksi bisa lebih singkat periodenya. Jadi peramalan dari cash flow
masa datang dari suatu investasi adalah sangat penting dilakukan jika ingin mengetahui perkiraan
situasi apakah investasi yang kita tanam berjalan baik dan ekonomis atau sebaliknya. Didalam
bukunya Benny Lubiantara (2012), mengatakan beberapa elemen-elemen utama dari Cash flow,
yaitu:

2.5.1 Investasi
Investasi adalah pembiayaan awal atas proyek bernilai ekonomis yang ditawarkan.
Investasi dalam pembangunan sumber daya energi di Indonesia meliputi biaya explorasi dalam
menemukan sumber cadangan baru dan pengembangan lapangan. Investasi dapat dikelompokkan
menjadi Investasi Capital (Tangible Investment) dan Investasi Non Capital (Intangible
Investment).
1. Investasi Capital
Investasi Capital (Capital Cost/Tangible Cost) yaitu biaya pengeluaran yang berkaitan
dengan benda–benda fisik, seperti bagunan, mesin - mesin listrik, peralatan pengeboran dan
produksi, fasilitas penyimpanan minyak (tanki), konstruksi dan alat transportasi yang
mengalami depresiasi nilai karena waktu pemakaian.
Pemulihan biaya Tangible Investment yang telah dikeluarkan dilakukan dengan
menggunakan sistem Depresiasi, dimana untuk depresiasi ini ada beberapa metode yang
digunakan (sesuai dengan perjanjian kontrak bagi hasil).
2. Investasi Non Capital
Investasi Non Capital (Non Capital Cost / Intangible Cost) adalah biaya pengeluaran yang
berkaitan dengan pengadaan atau penggunaan barang-barang yang tak terdepresiasi, misalnya
lumpur bor dalam operasi pemboran.
Berdasarkan kontrak bagi hasil seluruh biaya Intengible yang dikeluarkan untuk
pengembangan lapangan dapat dikembalikan langsung setelah produksi berjalan, sehingga
dapat mempercepat pengembalian investasi yang di lakukan oleh kontraktor.

2.5.2 Gross Revenue


Gross revenue (GR) atau pendapatan kotor / bruto merupakan hasil perkalian laju produksi
(bph) dengan harga minyak. Laju produksi minyak ditentukan berdasarkan prediksi profil produksi
yang sebelumnya sudah dihitung. Harga minyak mentah (crude oil) Indonesia tergantung dari
harga pasar minyak mentah dunia. Harga minyak yang digunakan adalah harga minyak Indonesia
Crude Price (ICP).
Menurut Benny Lubiantara (2012), dalam bukunya “Ekonomi Migas” secara sistematis
Gross Revenue dapat dinyatakan dengan:

𝐺𝑅 = 𝐿𝑎𝑗𝑢 𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 × 𝐻𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑀𝑖𝑛𝑦𝑎𝑘 ......................................................... (2)

2.5.3 First Tranche Petroleum


First Tranche Petroleum (FTP) adalah sistem penyisihan sejumlah persen (%) tertentu dari
Gross Revenue sebelum dikurangi pengembalian atau pemulihan biaya (Cost Recovery). Besarnya
FTP akan disesuaikan dengan kesepakatan bagi hasil, begitu pula dengan besarnya masing –
masing bagian FTP pemerintah dan kontraktor.
Menurut Benny Lubiantara (2012), dalam bukunya “Ekonomi Migas” secara sistematis
FTP dapat dinyatakan dengan:

𝐹𝑇𝑃 = 𝐹𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝐹𝑇𝑃 × 𝐺𝑟𝑜𝑠𝑠 𝑅𝑒𝑣𝑒𝑛𝑢𝑒 ........................................................... (3)

Untuk Bagian Kontraktor :


𝐶𝑠
PSC : 𝐹𝑇𝑃𝐶 = ((1−𝑇𝑎𝑥 𝑅𝑎𝑡𝑒)) × 𝐹𝑇𝑃 ................................................................. (4)

2.5.4 Gross Revenue after FTP


Gross Revenue after FTP adalah pendapatan bruto setelah dikurangi FTP.

2.5.5 Escalation Factor


Dalam melakukan perhitungan Net Cash Flow sebaiknya juga diperhitungkan
kemungkinan terjadinya inflasi di masa yang akan datang. Adanya inflasi akan mempengaruhi
kenaikan investasi yang berupa kapital dan biaya operasi. Sebagai contoh, di masa yang akan
datang biaya untuk membangun (fasilitas Produksi) akan dipengaruhi kenaikan harga besi baja dan
biaya buruh yang akan membangun fasilitas tersebut. Besarnya inflasi dinyatakan dalam
Escalation Rate. Donald G. Newnan (1984), adapun mekanisme Escalation Factor yang akan di
lakukan dalam perhitungan Net cash Flow adalah sebagai berkut:
𝐸𝑠𝑐𝑎𝑙𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛 𝐹𝑎𝑐𝑡𝑜𝑟 = (1 + 𝐸𝑠𝑐𝑎𝑙𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛 𝑅𝑎𝑡𝑒)(𝑛−1) ......................................... (5)
Dimana: n = tahun

2.5.6 Cost Recovery


Cost Recovery merupakan total biaya operasi yang dikeluarkan oleh kontraktor yang akan
dikembalikan oleh Negara (Pemerintah) setelah produksi berjalan.

2.5.7 Depresiasi
Depresiasi berkaitan dengan biaya kapital, yang berarti pengurangan nilai dari barang
kapital sebagai akibat adanya faktor kerusakan atau penurunan nilai guna seiring dengan waktu
pemakaian. Lamanya waktu depresiasi tergantung pada perjanjian kontrak, dan metode depresiasi
yang digunakan dalam studi ini adalah metode Declining Balance. Pada metode ini, nilai suatu
barang akan berkurang dengan cepat terhadap waktu. Menurut Benny Lubiantara (2012) dan
Donald G. Newnan (1984), secara sistematis metode Declining Balance dapat dinyatakan dengan:
𝐷𝑒𝑝𝑛1 = 𝐹𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝐷𝑒𝑝 × 𝐼𝑛𝑣𝑒𝑠𝑡𝑎𝑠𝑖 𝐶𝑎𝑝𝑖𝑡𝑎𝑙 ................................................... (6)
𝐷𝑒𝑝𝑛2 = 𝐹𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝐷𝑒𝑝 × (𝐼𝑛𝑣𝑒𝑠𝑡𝑎𝑠𝑖 𝐶𝑎𝑝𝑖𝑡𝑎𝑙 − 𝐷𝑒𝑝𝑛1 ) ............................... (7)
𝐷𝑒𝑝𝑛10 = 𝐼𝑛𝑣𝑒𝑠𝑡𝑎𝑠𝑖 𝐶𝑎𝑝𝑖𝑡𝑎𝑙 − ∑ 𝐷𝑒𝑝𝑛1−9 .................................................... (8)
Dimana :
Dep = Depresiasi
n = Tahun
∑Depn1-9 = Jumlah Depresiasi tahun 1 sampai tahun 9

2.5.8 Non Capital Cost


Non Capital Cost terdiri dari biaya yang dikeluarkan pada tahun – tahun melakukan
eksplorasi dan pengembangan lapangan, biaya tersebut akan langsung di pulihkan pada tahun
pertama produksi tanpa mengalami depresiasi.

2.5.9 Operating Cost


Biaya Operasi (Operating Cost) merupakan biaya yang dikeluarkan baik sehubungan
dengan adanya operasi produksi (variable cost) maupun biaya yang pasti dikeluarkan oleh
perusahaan berupa administrasi umum yang tidak berpengaruh terhadap besar kecilnya produksi
(fixed cost).
Menurut Benny Lubiantara (2012), dalam bukunya “Ekonomi Migas” Secara mekanisme
Operating Cost dapat di nyatakan dengan:
𝑂𝑝𝑒𝑟𝑎𝑡𝑖𝑛𝑔 𝐶𝑜𝑠𝑡 = 𝐵𝑖𝑎𝑦𝑎 𝑂𝑝𝑒𝑟𝑎𝑠𝑖 × 𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 ........................................... (9)

2.5.10 Recovered Cost


Recovered merupakan biaya yang dapat diperoleh kembali oleh kontraktor.Menurut Benny
Lubiantara (2012), dalam bukunya “Ekonomi Migas” secara mekanisme Recovered dapat
dinyatakan dengan:
Untuk tahun ke-0:
𝑅𝑒𝑐 = 𝑗𝑖𝑘𝑎 (𝐶𝑅 < 𝐺𝑅𝐹𝑇𝑃 𝑚𝑎𝑘𝑎 𝑅𝑒𝑐 = 𝐶𝑅) 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑠𝑒𝑏𝑎𝑙𝑖𝑘𝑛𝑦𝑎 𝑚𝑎𝑘𝑎 (𝑅𝑒𝑐 = 𝐺𝑅𝐹𝑇𝑃 )
Tahun pertama:
𝑅𝑒𝑐 = 𝑗𝑖𝑘𝑎 (𝐶𝑅 + 𝑈𝑟0 < 𝐺𝑅𝐹𝑇𝑃 𝑚𝑎𝑘𝑎 𝑅𝑒𝑐 = 𝐶𝑅) 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑠𝑒𝑏𝑎𝑙𝑖𝑘𝑛𝑦𝑎 𝑚𝑎𝑘𝑎 (𝑅𝑒𝑐 = 𝐺𝑅𝐹𝑇𝑃 )
Tahun kedua dan seterusnya:
𝑅𝑒𝑐 = 𝑗𝑖𝑘𝑎(𝐶𝑅 + 𝑈𝑟1 < 𝐺𝑅𝐹𝑇𝑃 𝑚𝑎𝑘𝑎 𝑅𝑒𝑐 = 𝐶𝑅) 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑠𝑒𝑏𝑎𝑙𝑖𝑘𝑛𝑦𝑎 𝑅𝑒𝑐 = (𝐺𝑅𝐹𝑇𝑃 ) + 𝑈𝑅1

2.5.11 Unrecovered Cost


Unrecovered Cost merupakan sejumlah biaya yang tidak dapat diperoleh kembali oleh
kontraktor dikarenakan jumlah Gross Revenue lebih kecil dari total Cost Recovery.Unrecovered
Cost baru bisa diperhitungkan pada tahun selanjutnya setelah diketahui total Cost Recovery yang
bisa diperoleh kontraktor.Menurut Benny Lubiantara (2012), dalam bukunya “Ekonomi Migas”
secara mekanisme Unrecovered dapat dinyatakan dengan:
Untuk tahun ke-0:
𝑈𝑟0 = 𝑗𝑖𝑘𝑎(𝑅𝑒𝑐 ≥= 𝐶𝑅 𝑚𝑎𝑘𝑎 𝑈𝑟0 = 0) 𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑠𝑒𝑏𝑎𝑙𝑖𝑘𝑛𝑦𝑎 𝑚𝑎𝑘𝑎 (𝑈𝑟0 = (𝐶𝑅 − 𝑅𝑒𝑐)
Tahun pertama dan seterusnya kalau masih ada Unrecovered maka:
𝑈𝑟1 = 𝑗𝑖𝑘𝑎 (𝑅𝑒𝑐 ≥= 𝐶𝑅) 𝑚𝑎𝑘𝑎 𝑈𝑟1 = 0 + (𝑈𝑟0 − 𝑅𝑒𝑐 + 𝐶𝑅)𝑗𝑖𝑘𝑎 𝑠𝑒𝑏𝑎𝑙𝑖𝑘𝑛𝑦𝑎 𝑚𝑎𝑘𝑎 𝑈𝑟1
= 𝐶𝑅 − 𝑅𝑒𝑐 + (𝑈𝑟0 − 𝑅𝑒𝑐 + 𝐶𝑅)

2.5.12 Equity to be Split


Equity to be split (ETS) merupakan pendapatan bruto yang akan dibagi antara kontaktor
dengan pemerintah. Equity to be split diperoleh dari sisa Gross Revenue setelah mengalami
pengurangandari FTP dan Recovered. Menurut Benny Lubiantara (2012), dalam bukunya
“Ekonomi Migas” secara sistematis Equity to be Split dapat dinyatakan dengan:
𝐸𝑇𝑆 = 𝐺𝑅𝐹𝑇𝑃 − 𝑅𝑒𝑐 ..................................................................................... (10)

2.5.13 Domestic Market Obligation


Domestic Market Obligation (DMO) pada dasarnya adalah kewajiban kontraktor untuk
memenuhi kebutuhan migas (Domestik) dalam negri. Besarnya volume DMO paling banyak
sebesar 25%, dan harga minyak DMO(DMO fee) akan di diskon sesuai dengan yang tertera dalam
kontrak, 10%, 15% atau 25% dari harga pasar. Selisih harga minyak DMO dengan harga minyak
normal, disebut dengan (Net DMO).

𝐶𝑠
𝐷𝑀𝑂 = 𝐷𝑀𝑂𝑅𝑎𝑡𝑒 × ((1−𝑇𝑎𝑥 𝑅𝑎𝑡𝑒)) × 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 ................................... .. (11)

𝐷𝑀𝑂 𝑓𝑒𝑒 = 𝐷𝑀𝑂𝑃𝑟𝑖𝑐𝑒 × ℎ𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑚𝑖𝑛𝑦𝑎𝑘 × 𝐷𝑀𝑂 ......................................... (12)


𝑁𝑒𝑡 𝐷𝑀𝑂 = (𝐷𝑀𝑂 × ℎ𝑎𝑟𝑔𝑎 𝑚𝑖𝑛𝑦𝑎𝑘) − 𝐷𝑀𝑂 𝑓𝑒𝑒 ..................................... (13)

2.5.14 Taxable Income


Taxable Income merupakan penghasilan kena pajak.

2.5.15 Pajak
Pajak (Tax) adalah salah satu sumber pendapatan pemerintah. Pemerintah mengambil
bagiannya dari hasil produksi migas melalui pajak yang dikenakan terhadap penghasilan kontraktor
yang didapat dari usahanya tersebut. Sistem perpajakan yang dibuat oleh pemerintah dimaksudkan
untuk memaksimalkan pendapatan pemerintah. Pajak yang diberlakukan sekarang terhadap
kontraktor adalah sebesar 25%. Pajak ini dikenakan terhadap Taxable Income.

2.5.16 Contractor Share


Contractor Share (CS) merupakan total pendapatan yang bisa diterima kontaktor setelah di
split kan dengan base split.

2.5.17 Net Cash Flow


Net Cash Flow (NCF) atau merupakan pendapatan bersih kontaktor atau besarnya
pendapatan kontraktor yang sudah dikenai pajak.

2.5.18 Government Share


Government Share (GS) merupakan total pendapatan Negara (Pemerintah) setelah di split
kan dengan base sp

2.5.19 Government Take and Contractor Take


Government Take (GT) dan Contractor Take (CT) merupakan persentase total penerimaan
pemerintah dan kontraktor dari keuntungan proyek.

2.6 Indikator Keekonomian


Indikator Keekonomian merupakan faktor untuk mengetahui keuntungan dan kerugian
Kontrak. Indikator keekonomian yang sering digunakan adalah: NPV (Net Present Value), IRR
(Internal Rate of Return), dan POT (Pay Out Time). NPV dan IRR selalu berkaitan dengan nilai
waktu dari uang (Time Value of Money), sementara POT tidak. Time Value of Money adalah nilai
waktu dari uang yang merupakan metode untuk mengetahui nilai uang atau keuntungan dari suatu
Cash Flow di waktu yang akan datang. (Newnan Donald G, 1984).
Discounted profit to investment ratio (DPIR) sudah dibawa kenilai sekarang, jadi:
𝑁𝑃𝑉
DPIR = 𝐼𝑁𝑉𝐸𝑆𝑇𝐴𝑆𝐼.............................................................................................. (14)

2.6.1 Net Present Value (NPV)


Net Present Value (NPV) merupakan selisih uang yang diterima dan uang yang dikeluarkan
dengan memperhatikan Time Value of Money pada waktu sekarang. NPV menunjukkan nilai
keuntungan bersih yang diterima dari suatu usaha selama umur usaha tersebut pada tingkat
Discount Factor tertentu. Suatu proyek dikatakan layak dikerjakan jika NPV bernilai positif, jika
nilai NPV suatu proyek bernilai negatif maka dapat dikatakan proyek tersebut mengalami kerugian.
Nilai NPV suatu proyek bernilai nol maka besarnya pengeluaran sama dengan besarnya
penerimaan(Newnan Donald G, 1984), bentuk umum persamaan NPV adalah:
𝐶𝐹𝑛
𝑁𝑃𝑉 = ∑𝑛𝑡−𝑙 𝐶𝐹0 + (1+𝑖)𝑛
................................................................................ (15)

Dimana:
CFo = Cash flow pada awal investasi
CFn = Cash flow pada tahun ke-n
i = Discount rate
n = Tahun ke-n

2.6.2 Internal Rate of Return (IRR)


Internal Rate of Return (IRR) adalah suatu nilai petunjuk yang identik dengan seberapa
besar suku bunga yang dapat diberikan oleh investasi tersebut dibandingkan dengan suku bunga
bank yang berlaku atau Minimum Attractive Rate of Return (MARR). Pada suku bunga IRR akan di
peroleh NPV = 0, dengan kata lain bahwa IRR tersebut mengandung makna suku bunga yang dapat
diberikan investasi, yang akan memberikan nilai NPV = 0 (Newnan Donald G, 1984). Newnan
Donald G (1984), untuk mengetahui nilai IRRdapat menggunakan persamaan interpolasi berikut:
1 𝑁𝑃𝑉
𝐼𝑅𝑅 = 𝑖1 + ((𝑁𝑃𝑉 −𝑁𝑃𝑉 )
) × (𝑖2 − 𝑖1 ).............................................................. (16)
1 2

Dimana:
NPV1 = Net Present Velue (+)
NPV2 = Net Present Velue (-)
i1 = Discount rate yang menghasilkan NPV (+)
i2 = Discount rate yang menghasilkan NPV (-)

Biasanya setiap perusahaan mempunyai batasan nilai minimum dari IRR yang diinginkan
yang dinyatakan dalam MARR. Suatu proyek dianggap layak apabila IRR lebih besar dari MARR.

2.6.1 Pay Out Time (POT)


Pay Out Time (POT) atau Pay Back Period adalah suatu periode yang diperlukan untuk
dapat menutup kembali pengeluaran investasi. POT dapat diketahui dari hasil akumulasi Net Cash
Flow(Cummulated Net Cash Flow), mekanisme POT dapat dicari dengan menggunakan persamaan
interpolasi.
Beberapa kelemahan dari POT adalah mengabaikan nilai waktu dari uang (Time Value of
Money) dan tidak dapat menunjukkan besarnya keuntungan yang akan diperoleh atau dengan kata
lain POT bukan alat pengukur ”profitability” namun hanya alat ukur kecepatan kembalinya dana.
Suatu proyek dikatakan layak di lakukan jika POT kecil dibandingkan dengan umur proyek atau
lebih kecil dari waktu target minimal perusahaan dapat mengembalikan modal atau investasinya.
Gambar 2.3 berikut ini merupakan contoh Kurva Cumulated Net Cash Flow terhadap waktu dengan
memperlihatkan POT (Newnan Donald G, 1984).
0 𝐶𝐶𝐹
POT = 𝑇𝑎ℎ𝑢𝑛 0 + (𝐶𝐶𝐹 −𝐶𝐶𝐹 ) 𝑥 (𝑇𝑎ℎ𝑢𝑛1 − 𝑇𝑎ℎ𝑢𝑛0 ) ................................. (17)
0 1

125

100
Cummulative net cash position,

Pay Out Time


75
US$MM

50

25

Time
0

-25

-50 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Gambar 2.4 Kurva Cumulated Net Cash Flow terhadap Waktu


(Newnan, Donald G, 1984)
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, F. A. (2015). At an Investment Crossroads : Malaysia versus Indonesia. 1-8.

Ariana, S. S., & Annisa, D. R. (2016). 9 Fenomena Hulu Migas Indonesia, Peluang Mmemperbaiki Iklim
Investasi dengan Kontrak Migas "Gross split". 1-8.

Budhi Refa Anjani, & Imam Baihaqi. (2014). Comparative analysis of financial production sharing contract
cost recovery with psc gross split : case study in one of the contractor SKK Migas.

Gamal Abul elkhair, & Kuwait oil company. (2015). Oil & Gas Contracts Risk Negotiation in the climate
of economic recession. 1-9.

ganupale, s. (2015). impact of simulation net to gross ratio on hydraulic fracture deliverability in
unconventional resource. 1-15.

Harimurti, D. (2017). Indonesia Milestone in Production-Sharing Contract in Persoective of Government


Take, Contractor Take, Cost Recovery and Production Target. SPE-187008-MS, 1-18.

Indonesia's New Gross Split Production Sharing Contracts for the oil & Gas industry. (2017).

Jaenudin, T. S. (2017). Proposed Modification of Abandonment and Site Restoration Mechanism in Gross
split PSC For marginal field Indonesia.

Jeffrey, G., Niger Delta, U., Adetoum , A., & Azibator, O. (2016). Comparative Economic Analysis on
Offshore and Land-Based Liquefaction facilities in Nigeria. 1-14.

Josep C. Ehendu, & Emerald Energy Institute-International Petroleum. (2017). Replacing Petroleum Profit
Tax with a Dual Petroleum Tax Sytem. 1-14.

Latief, S. A. (2015). Policy and Institute of Offshore Platform Decommisioning in Indonesia Oil and Gas
Upstream Industry to Improve The Performance. 1-15.

Peter, H., Sander A., v., & J. Ricard Simons. (2016). Cost Reducision and Still Fit for Purpose : A sharing
Economy Approach to Standardized Oil & Gas Plants. 1-18.

S. irham, & P Julyus. (2015). The new energy management policy : Indonesia PSC Gross split applied on
steam flooding project.
Sheraz ahmed, Atta M. khakwaniu, Ijaz Ahmed, & Pakistan petroleum limited. (2017). enhancing recoveries
from a low permeable gas-condensate reservoir through hydraulic fracturing & eor technology. 1-
10.

vu huu huuy dan john sutherland. (2015). reservoir damage removal by zero-cost hydraaulic fracturing in a
water injection, offshore vietnam. 1-8.

Wisnu, J., Iswahyudi, S. P., & SKK Migas. (2017). Accelerated Depreciation Increase the Economical of
PSC Contractors Project in Indonesia. SPE-186228-MS, 1-9.

Anda mungkin juga menyukai