Preskas Psikiatri

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 31

CASE REPORT

SKIZOFRENIA PARANOID

Disusun oleh:
Meutia Sandia Meiviana
1102014154

Pembimbing:
dr. Yusri Hapsari Utami, Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA


RSUD KABUPATEN BEKASI
PERIODE 28 JANUARI 2019 – 3 MARET 2019
BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : Tn. Ali Usman
Jenis kelamin : Laki - Laki
Usia : 39 tahun
Tempat,Tanggal Lahir : Jakarta, 8 Oktober 1980
Alamat : Kp. Tanah Baru, Tanggul RT 02/06
Tarumajaya
Pekerjaan :-
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Pendidikan Terakhir : SMK
Tanggal datang ke poli : 7 Februari 2019
Tanggal Pemeriksaan : 7 Februari 2019

II. ANAMNESIS
Anamnesis menggunakan teknik auto dan alloanamnesis dengan adik
perempuan pasien Ny. Dalisa pada tanggal 7 Februari 2019 di Poli Psikiatri
RSUD Kabupaten Bekasi.

A. Anamnesis
Keluhan utama : Berbicara sendiri
Keluhan tambahan : Tertawa sendiri, gelisah, susah tidur, menyendiri
dan mendengar bisikan

B. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke Poli Psikiatri RSUD Kabupaten Bekasi pada tanggal
7 Februari 2019 sudah tidak ada keluhan, sebelumnya pasien rutin
kontrol sejak 2014 akhir. Pasien pertama datang ke poli karena sering

1
berbicara sendiri dan tertawa sendiri. Menurut pasien dulu ia sering
mendengar bisikan-bisikan ditelinganya. Bisikan itu menyuruh pasien
melakukan tindakan yang tidak semestinya. Seperti menyuruh pasien
menuangkan minyak tanah ke gelas dan pasien tidak sadar dengan hal
itu. Kemudian pasien juga sering terpengaruh oleh bisikannya untuk
tidak melakukan sesuatu hal seperti jika disuruh mengambil air, lalu
terdegar bisikan yang melarangnya maka pasien tidak jadi mengambil
air. Pasien mengatakan sudah lupa dengan suara seperti apa yang
sering didengarnya. Pasien lupa pernah melihat bayangan-bayangan
atau tidak.
Menurut adik pasien, perubahannya dimulai semenjak pasien sering
berdiam diri di pojok ruangan, suka menyendiri di tempat-tempat
gelap. Pasien juga susah tidur dan merasa gelisah saat malam.
Kemudian pasien sering berbicara sendiri dan tertawa sendiri. Pasien
juga sering tidak memakai pakaian dan jalan-jalan di dalam rumah.
Pasien juga sempat tidak mengenali anggota keluarganya pada saat itu.
Akhirnya keluarga memutuskan untuk meruqiyah tapi tidak ada
perbaikan. Kemudian keluarga membawa pasien ke pondok pesantren
di Patok Beusi dan dirawat sekitar 9 bulan namun keadaannya tidak
membaik. Pasien juga sering mengamuk. Pasien pernah memukul
orang saat mengamuk secara tiba-tiba dan merusak televisi dirumah
dengan cara dipukul dengan tangannya. Setelah itu keluarga akan
membawanya ke Rumah sakit jiwa di Grogol, tetapi atas pertimbangan
lagi pasien tidak jadi dirawat disana, kemudian dibawa ke poli psikiatri
RSUD Kab. Bekasi.
Riwayat Gangguan Sebelumnya
1. Riwayat Gangguan Psikiatri
Pasien tidak pernah mengalami gangguan seperti ini
sebelumnya.
2. Riwayat penyakit medis umum
 Kelainan bawaan : Tidak ada

2
 Infeksi : Tidak ada
 Trauma : Tidak ada
3. Riwayat penggunaan Zat Psikoaktif
Pasien tidak memiliki riwayat menggunakan obat-obatan dan
alkohol.

C. Riwayat Kehidupan Pribadi


1. Riwayat Prenatal dan Perinatal
Menurut pasien, pasien lahir spontan dan tidak ada cacat
bawaan, kelainan lain, dan lahir langsung menangis. Pasien
dirawat dan disusui oleh ibu kandung.
2. Riwayat Masa Kanak Awal (0-3 tahun)
Pasien tidak ingat masa kanak-kanak awal.
3. Riwayat Masa Kanak Pertengahan (3-7 tahun)
Pasien seperti anak-anak lainnya.
4. Riwayat Masa Kanak Akhir dan Remaja
Pasien merupakan sesorang yang pendiam.
5. Riwayat Masa Dewasa
a. Riwayat Pendidikan
Saat pasien bersekolah SD, pasien tidak pernah tinggal
kelas, pasien bersekolah SD selama 6 tahun. Pasien
kemudian melanjutkan ke SMP selama 3 tahun, tidak
pernah tinggal kelas, kemudian bersekolah di SMK.
b. Riwayat Pekerjaan
Pasien pernah bekerja sebagai pengambil barang bekas
bersama alm. Ayahnya
c. Riwayat Kehidupan Beragama
Pasien beragama Islam.

3
d. Riwayat Pelanggaran Hukum
Pasien pernah dipenjara oleh polisi karena tawuran saat
SMK. Adik pasien lupa berapa lama pasien ditahan dalam
penjara.
e. Riwayat Keluarga
Pasien merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Ayah
dan ibu pasien sudah bercerai sejak pasien SMK. pasien
dibawa oleh ayahnya dan tinggal berpisah dari ibunya.
Kemudian ayahnya meninggal beberapa bulan yang lalu.
6. Impian, Fantasi dan Cita-cita Pasien
Saat ini pasien ingin sembuh dari penyakitnya.

III. STATUS MENTAL


A. Deskripsi Umum
1. Penampilan
Seorang laki-laki berumur 39 tahun, berpenampilan rapi,
memakai topi, berkulit sawo matang, rambut berwarna hitam,
tampak terurus. Pasien tampak gelisah dan menggoyang-
goyangkan kaki kirinya secara terus menerus. Pasien kooperatif
dan menjawab dengan baik selama wawancara.
2. Perilaku dan Aktivitas Psikomotor
Pada saat wawancara pasien terlihat kurang tenang, tetapi tidak
agresif, merespon saat diwawancarai.
3. Sikap terhadap pemeriksa
Selama wawancara pasien menunjukkan sikap kooperatif,
sopan, ada kontak mata, menjawab pertanyaan dengan baik dan
perhatian tidak mudah teralihkan.
B. Pembicaraan
Cara Berbicara
1. Volume : Tinggi

4
2. Irama : Tidak Teratur
3. Kelancaran : Artikulasi kurang jelas
4. Kecepatan : Sedang

Gangguan Berbicara : Tidak terdapat gangguan berbicara

C. Suasana Perasaan
1. Mood : Hipotimia
2. Afek : Tumpul
3. Empati : Dapat diraba rasakan oleh pemeriksa

D. Gangguan Persepsi
a. Halusinasi
 Auditorik : Pasien mendengar suara seorang yang
menyuruh-nyuruh tanpa ada sumbernya.
 Visual : Tidak dapat dinilai karena pasien lupa
 Gustatatorik : Tidak dapat dinilai karena pasien lupa
 Olfaktorik : Tidak dapat dinilai karena pasien lupa
 Taktil : Tidak dapat dinilai karena pasien lupa
b. Ilusi : Tidak ada
c. Depersonalisasi : Tidak ada
d. Derealisasi : Tidak ada

E. Proses Berpikir
1. Arus Pikir

 Produktivitas : Cukup baik


 Kontinuitas : Pembicaraan Kurang Lancar
 Hendaya bahasa : Tidak ada

5
2. Isi Pikir
 Preokupasi : Tidak ada
 Waham : Tidak ada
 Obsesi kompulsi : Tidak didapatkan
 Fobia : Tidak didapatkan
 Ide bunuh diri : Tidak didapatkan
 Miskin ide : Tidak Didapatkan

F. Kesadaran dan Kognisi


1. Taraf kesadaran
 Kesadaran : Compos Mentis
2. Orientasi
 Waktu : Baik
 Tempat : Baik
 Orang : Baik
3. Daya Ingat
 Jangka panjang : Terganggu pasien lupa saat dia
bersekolah, kapan dan terbalik-balik ingatannya saat
ditanya.
 Jangka sedang : Tidak Terganggu (pasien mampu
mengingat aktivitasnya saat dirumah)
 Jangka pendek : Tidak Terganggu (pasien ingat
dengan transpotasi apa datang ke Rumah Sakit)
 Segera : Tidak terganggu (pasien mampu
mengingat nama pewawancara)

4. Konsentrasi dan Perhatian

Pasien cukup berkonsentrasi, ketika ditanyakan mengenai


kemampuan berhitung beberapa jawaban tepat. Pasien dapat
memusatkan perhatian saat diwawancara.

6
5. Kemampuan Membaca dan Menulis
Pasien dapat membaca dan menulis.
6. Kemampuan Visuospasial
Pasien dapat berjalan dengan baik tanpa menabrak benda-benda
yang ada disekelilingnya.
7. Pikiran Abstrak
Pasien dapat menyebutkan persamaan meja dan kursi.
8. Kemampuan Informasi dan Inteletegensi
Kesan cukup sesuai dengan usia dan tingkat pendidikannya

G. Pengendalian Impuls

Baik (pasien tidak menujukkan agresivitas motorik maupun verbal).

H. Daya Nilai dan Tilikan


1. Daya Nilai Sosial : Tidak terganggu
2. Uji Daya Nilai : Tidak terganggu
3. Penilaian Realita : Terganggu (Terdapat Halusinasi).
4. Tilikan : Tilikan 1
I. Taraf dapat Dipercaya

Pemeriksa memperoleh kesan bahwa keseluruhan jawaban pasien


kurang dapat dipercaya. Karena terdapat perbedaan antara pasien
dengan adik pasien.

IV. PEMERIKSAAN FISIK


A. Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80x /menit

7
Suhu : 36 ’C
Frekuensi Nafas : 20x /menit
Kepala : Normocephal
Mata : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Leher : Pembesaran KGB (-)
Sistem Kardiovaskular
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba
Perkusi : Batas jantung tidak melebar
Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler; gallop -/- ;
murmur -/-
Sistem Respiratori
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris
Palpasi : Fremitus taktil dan vokal simetris
Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
Asuskultasi : Vesikuler +/+, Ronkhi -/-, wheezing -/-
Sistem Gastrointestinal
Inspeksi : Cembung, lesi –
Palpasi : Tidak teraba massa, tidak ada nyeri tekan
Perkusi : Timpani pada keempat kuadran abdomen
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas : Edema -/-
Genitalia dan Anus : Tidak diperiksa
B. Pemeriksaan Neurologis

 Selaput Otak : tidak ditemukan


 Gejala Peningkatan TIK : tidak ditemukan
 Mata & Pemeriksaan oftalmoskopik : tidak dilakukan
 Motorik

 Tonus : normal
 Koordinasi : tidak terdapat gangguan koordinasi

8
 Turgor : baik
 Reflex  Fisiologis : (+) /(+)
 Patologis : (-)/(-)
 Kekuatan otot 5555 5555
5555 5555
 Sensibilitas : baik
 Fungsi-fungsi luhur: normal

V. IKHTISAR PENEMUAN BERMAKNA


 Pasien datang ke Poli Psikiatri RSUD Kabupaten Bekasi diantar oleh
adiknya untuk kontrol. Sebelumnya pasien sering berbicara sendiri,
tertawa sendiri, menyendiri di tempat gelap, gelisah saat tidur, pasien
pernah telanjang, dan mengamuk (Skizofrenia).
 Terdapat gangguan persepsi yaitu pasien mendengar suara-suara
seseorang yang menyuruh melakukan sesuatu (Halusinasi Auditorik).
 Pasien tinggal bersama Ayahnya karena orngtuanya bercerai
 Pasien pernah masuk penjara karena tawuran

VI. FORMULASI DIAGNOSTIK


1. Setelah wawancara, pada pasien ditemukan adanya sindroma atau
perilaku dan psikologi yang bermakna secara klinis dan menimbulkan
penderitaan (distress) dan ketidakmampuan atau hendaya
( Disability/impairment) dalam fungsi serta aktivitas sehari-hari. Oleh
karena itu dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami gangguan jiwa
yang sesuai dengan definisi yang tercantum dalam PPDGJ III
2. Pasien tidak termasuk gangguan mental organik karena pasien pada saat
diperiksa dalam keadaan sadar, tidak ada kelainan secara medis atau
fisik yang bermakna.
3. Pasien tidak termasuk dalam gangguan mental dan perilaku akibat
penggunaan zat psikotropika karena pasien tidak mengkonsumsi
alkohol dan zat psikotropika

9
4. Pasien ini termasuk gangguan skizofrenia karena adanya halusinasi
auditorik
5. Pasien tidak termasuk gangguan suasana perasaan.

VII. DIAGNOSIS MULTIAKSIAL

 Aksis I : F20.0 Skizofrenia Paranoid


Diagnosis ini berdasarkan dari anamnesis dan status mentalis
didapatkan adanya gangguan perilaku pada pasien yang ditandai
dengan adanya halusinasi auditorik berupa perintah dan
mempengaruhi.
 Aksis II : F60.3 Gangguan Kepribadian Emosi tidak Stabil
Pasien tiba-tiba memukul orang hanya karena tidak suka. Kemudian
pasien merusak tv dengan meninju tv karena acara tv tidak sesuai dan
membuatnya marah. Pasien pernah ikut tawuran dan memukul orang
hingga dipenjara.
 Aksis III : Tidak ada diagnosis aksis
 Aksis IV :
Terdapat masalah dengan interaksi dengan hukum/kriminal,pasien
pernah dipenjara karena tawuran.
Terdapat masalah dengan “Primary Support Group” karena
orangtuanya bercerai dan hanya tinggal bersama ayahnya
 Aksis V : GAF 40 – 31

VIII. DIAGNOSIS BANDING


F20.3 Skizofrenia tak terinci

IX. DAFTAR MASALAH


a. Organobiologik
Tidak Bermasalah

10
b. Psikologis
Mood : Hipotimia
Afek : Tumpul
Gangguan persepsi : Halusinasi Auditorik
Tilikan : Derajat 1

c. Lingkungan dan Sosioekonomi


Pasien pernah dipenjara karena tawuran
Orangtua pasien bercerai..

X. TERAPI
A. Farmakoterapi :
1. Terapi oral
 Stelazin tab 2 x 5 mg (PO)
 Trihexylpenidril 2 2 mg (PO)
 Clozapine tab 2x 25 mg (PO)

B. Psikoterapi
 Psikoterapi Persuasif : minum obat teratur dan kontrol
kedokter.
 Psikoterapi Sugestif : meyakinkan pasien dengan tegas
bahwa yang didengarnya tidak benar.
 Psikoterapi Bimbingan : memberi nasehat kepada pasien
bahwa beribadah itu penting karena dapat menenangkan
pikiran.
XI. PROGNOSIS
 Quo ad Vitam : Ad bonam
Karena pasien tidak memiliki kelianan fisik.
 Quo ad Functionam : Ad bonam

11
Karena pasien sudah dapat melakukan aktivitas sehari-hari dengan
baik.
 Quo ad Sanactionam : Ad bonam
Karena pada pasien ini mendapatkan dukungan dari keluarga.

IDENTIFIKASI KELUARGA PASIEN


Keluarga inti pasien terdiri dari orang tua pasien dan 4 anak.. Pasien merupakan
anak ketiga. Orangtua pasien bercerai saat pasien SMK. Ayahnya sudah meninggal
beberapa bulan yang lalu.

SOSIAL EKONOMI
Pasien tinggal sendiri dirumah, tetapi kakaknya tinggal disamping rumah pasien.
Sumber pendapatan pasien dari kakak dan adiknya.

SIKAP KELUARGA KEPADA ANGGOTA KELUARGANYA YANG


DIPERSEPSIKAN MENDERITA GANGGUAN JIWA
Keluarga pasien mendukung pasien untuk sembuh, rajin mengajak pasien untuk
kontrol, mengawasi pasien untuk meminum obat dan sering mengajak pasien
mengobrol.

12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
SKIZOFRENIA PARANOID

A. Pengertian

Skizofrenia adalah satu istilah untuk beberapa gangguan yang ditandai


dengan kekacauan kepribadian, distorsi terhadap realitas, ketidakmampuan
untuk berfungsi dalam kehidupan sehari-hari, perasaan dikendalikan oleh
kekuatan dari luar dirinya, waham/delusi, gangguan persepsi.
Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “schizen” yang berarti
“terpisah” atau “pecah”, dan “phren” yang artinya “jiwa”. Pada skizofrenia
terjadi pecahnya atau ketidakserasian antara afeksi, kognitif dan perilaku.
Skizofrenia merupakan suatu sindrom psikotik kronis yang ditandai oleh
gangguan pikiran dan persepsi, afek tumpul, anhedonia, deteriorasi, serta dapat
ditemukan uji kognitif yang buruk.1
Skizofrenia adalah istilah psikosis yang menggambarkan mispersepsi
pikiran dan persepsi yang timbul dari pikiran/imajinasi pasien sebagai
kenyataan, dan mencakup waham dan halusinasi.2 Emil Kraepelin membagi
skizofrenia dalam beberapa jenis, menurut gejala utama yang terdapat pada
pasien, salah satunya adalah skizofrenia paranoid.9 Skizofrenia paranoid
merupakan subtipe yang paling umum (sering ditemui) dan paling stabil, dimana
waham dan halusinasi auditorik jelas terlihat.1,2,7 Pada pasien skizofrenia
paranoid, pasien mungkin tidak tampak sakit jiwa sampai muncul gejala-gejala
paranoid.6
Gangguan skizoprenia ini terdapat pada semua kebudayaan dan
mengganggu di sepanjang sejarah, bahkan pada kebudayaan-kebudayaan yang
jauh dari tekanan modern sekalipun. Umumnya gangguan ini muncul pada usia
yang sangat muda, dan memuncak pada usia antara 15-25 tahun. Gangguan yang
muncul dapat terjadi secara lambat atau datang secara tiba-tiba pada penderita
yang cenderung suka menyendiri yang mengalami stress

13
B. Etiologi

Sampai saat ini, belum ditemukan etiologi pasti penyebab skizofrenia.1,7 Namun,
skizofrenia tidak hanya disebabkan oleh satu etiologi, melainkan gabungan
antara berbagai faktor yang dapat mendorong munculnya gejala mulai dari faktor
neurobiologis maupun faktor psikososial, diantaranya sebagai berikut:

1. Faktor Neurobiologis
a. Faktor Genetika

Sesuai dengan penelitian hubungan darah


(konsanguinitas), skizofrenia adalah gangguan bersifat
keluarga.7 Penelitian tentang adanya pengaruh genetika atau
keturunan terhadap terjadinya skizofrenia tersebut telah
membuktikan bahwa terjadinya peningkatan risiko terjadinya
skizofrenia bila terdapat anggota keluarga lainnya yang
menderita skizofrenia, terutama bila hubungan keluarga
tersebut dekat (semakin dekat hubungan kekerabatan, semakin
tinggi risikonya).7
Diperkirakan bahwa sejumlah gen yang mempengaruhi
perkembangan otak memperbesar kerentanan menderita
skizofrenia.2 Pada penelitian anak kembar, terjadi peningkatan
resiko seseorang menderita skizofrenia akan lebih tinggi pada
kembar identik atau monozigotik (mempunyai risiko 4-6 kali
lebih sering dibandingkan kembar dizigotik).7
Diperkirakan bahwa yang diturunkan adalah potensi untuk
mendapatkan skizofrenia (bukan penyakit itu sendiri) melalui
gen resesif.9 Potensi ini mungkin kuat, mungkin juga lemah,
tetapi selanjutnya tergantung pada lingkungan individu itu
apakah akan terjadi manifestasi skizofrenia atau tidak. Angka
presentasi terjadinya skizofrenia dapat dilihat dari tabel
dibawah ini.

14
b. Faktor Neuroanatomi Struktural
Sistem limbik, korteks frontalis, dan ganglia basalis
merupakan tiga daerah yang saling berhubungan, sehingga
disfungsi pada salah satu daerah mungkin melibatkan patologi
primer di daerah lainnya.4 Gangguan pada sistem limbik akan
mengakibatkan gangguan pengendalian emosi. Gangguan
pada ganglia basalis, akan mengakibatkan gangguan atau
keanehan pada pergerakan (motorik), termasuk gaya berjalan,
ekspresi wajah facial grimacing. Pada pasien skizofrenia dapat
ditemukan gangguan organik berupa pelebaran ventrikel tiga
dan lateral, atrofi bilateral lobus temporomedial dan girus
parahipokampus, hipokampus, dan amigdala.1,7

c. Faktor Neurokimia
Ketidakseimbangan yang terjadi pada neurotransmitter
juga diidentifikasi sebagai etiologi pada pasien skizofrenia.
Hipotesis yang paling banyak yaitu gejala psikotik pada pasien
skizofrenia timbul diperkirakan karena adanya gangguan
neurotransmitter sentral, yaitu terjadinya peningkatan aktivitas
dopaminergik atau dopamin sentral (hipotesis dopamin).1,4
Peningkatan ini merupakan akibat dari meningkatnya
pelepasan dopamin, terlalu banyak reseptor dopamin, atau
hipersensitivitas reseptor dopamin.

2. Faktor Psikososial
a. Faktor Keluarga dan Lingkungan

Kekacauan dan dinamika keluarga memegang peranan


penting dalam menimbulkan kekambuhan dan
mempertahankan remisi.7 Pasien skizofrenia sering tidak
“dibebaskan” oleh keluarganya. Beberapa peneliti

15
mengidentifikasi suatu cara komunikasi yang patologi dan
aneh pada keluarga-keluarga skizofrenia. Komunikasi sering
samar-samar atau tidak jelas dan sedikit tak logis.7 Penderita
skizofrenia pada keluarga dengan ekspresi emosi tinggi
(expressed emotion [EE], keluarga yang berkomentar kasar
dan mengkritik secara berlebihan) memiliki peluang yang
lebih besar untuk kambuh.2,7

b. Faktor Stressor

Skizofrenia juga berhubungan dengan penurunan sosio-


ekonomi dan kejadian hidup yang berlebihan pada tiga minggu
sebelum onset gejala akut.2
C. Epidemiologi

Skizofrenia ditemukan pada semua masyarakat dan area geografis dan


angka insidens serta prevalensinya secara kasar merata di seluruh dunia.
Menurut DSM-IV-TR, insidensi tahunan skizofrenia berkisar antara 0,5 sampai
5,0 per 10.000 dengan beberapa variasi geografik.3 Skizofrenia yang menyerang
kurang lebih 1 persen populasi, biasanya bermula di bawah usia 25 tahun,
berlangsung seumur hidup, dan mengenai orang dari semua kelas sosial.3,7
Skizofrenia terjadi pada 15 - 20/100.000 individu per tahun, dengan
risiko morbiditas selama hidup 0,85% (pria/wanita) dan kejadian puncak pada
akhir masa remaja atau awal dewasa.2 Awitan skizofrenia di bawah usia 10 tahun
atau di atas usia 60 tahun sangat jarang. Laki-laki memiliki onset skizofrenia
yang lebih awal daripada wanita. Usia puncak onset untuk laki-laki adalah 15
sampai 25 tahun, dan untuk wanita usia puncak onsetnya adalah 25 sampai 35
tahun.4,7
Sejumlah studi mengindikasikan bahwa pria lebih cenderung mengalami
hendaya akibat gejala negatif daripada wanita dan bahwa wanita lebih cenderung
memiliki kemampuan fungsi sosial yang lebih baik daripada pria sebelum awitan

16
penyakit. Secara umum, hasil akhir pasin skizofrenia wanita lebih baik
dibandingkan hasil akhir pasien skizofrenia pria.3

D. Patofisiologi

Teori yang muncul berkenaan dengan patofisiologi skizofrenia adalah


skizofrenia muncul akibat aktivitas dopamin yang yang tinggi di dalam otak.
Teori ini muncul melalui dua observasi. Pertama, efektivitas dan potensi dari
berbagai obat antipsikotik (dopamine receptor antagonists) berhubungan
dengan aktivitas antagonisnya terhadap reseptor dopamin tipe 2 (D2). Kedua,
obat yang meningkatkan aktivitas dopaminergik seperti kokain dan amfetamin,
bersifat psikotomimetik. Bagian otak yang terlibat dalam aktivitas ini adalah
jalur mesokortikal dan mesolimbik. Peningkatan aktivitas dopamin pada jalur
mesolimbi meningkatkan risiko timbulnya gejala positif dari skizofrenia.
Penurunan aktivitas dopamin pada jalur mesokortikal akan meningkatkan risiko
timbulnya gejala negatif dari skizofrenia.
Hasil di atas juga didukung oleh temuan-temuan pada penelitian
selanjutnya. Penderita dengan skizofrenia memiliki beberapa kelainan pada
otak, yaitu pembesaran ventrikel yang menyebabkan penurunan volume otak
dan substansia grisea korteks. Daerah seperti lobus frontal, amigdala, dan lobus
temporalis medialis, cingulate gyrus, dan superior temporal gyrus mengalami
penurunan volume. Kondisi ini akhirnya menyebabkan kelainan aktivitas pada
daerah tersebut yang menyebabkan timbulnya gejala-gejala dalam skizofrenia.
Melalui pemeriksaan positron emission tomography (PET), juga dapat diketahui
penurunan aliran darah pada daerah frontal, talamus, dan serebelum pada
kliendengan skizofrenia. Penurunan aktivitas pada daerah prefrontal
dihubungkan dengan penurunan aktivitas dopamin pada daerah tersebut.

E. Manifestasi klinis

Secara garis besar, manifestasi klinis dari skizofrenia terbagi dalam tiga bagian
besar, yaitu :

17
1. Gejala positif, terutama berupa delusi dan halusinasi. Gejala-gejala
positif yang dapat muncul. Delusi yang muncul dapat berupa delusion of
control, delusion of influence, delusion of passivity, dan delusion of
perception. Halusinasi dapat muncul pada berbagai indera, seperti taktil,
olfaktorik, gustatorik, atau visual, namun auditori adalah halusinasi yang
paling sering muncul.
2. Gangguan dalam berpikir atau disorganisasi yang bermanifestasi dalam
hal bicara dan tingkah laku. Dalam bicara, disorganisasi yang timbul
dapat berupa asosiasi longgar sampai bentuk paling parah berupa word
salad. Dalam tingkah laku, disorganisasi muncul sebagai
ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari seperti menyiapkan
makanan dan menjaga kebersihan diri, ataupun dapat berupa perilaku
seperti anak-anak dan agitasi yang tidak terduga.
3. Gejala negatif, berupa menarik diri, apatis, ketidakpedulian terhadap diri
sendiri, kemiskinan dalam bicara, dan lain-lain.
Kriteria diagnosis klinis skizofrenia yang dipakai di Indonesia umumnya
menggunakan pedoman dari Pedoman Penggolongan dan Diagnosis klinis
Gangguan Jiwa di Indonesia. Kriteria tersebut adalah sebagai berikut :
 Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya
dua gejala atau lebih bila gejala itu kurang tajam atau kurang jelas).
- Thought echo : isi pikiran dirinya sendiri yang bergema atau berulang
dalam kepalanya dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama namun
kualitasnya berbeda.
- Thought insertion : isi pikiran yang asing dari luar, masuk ke dalam
pikirannya atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya.
- Thought broadcasting : isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain
mengetahuinya.
- Delusion of control : waham tentang dirinya yang dikendalikan oleh
sesuatu dari luar dirinya.
- Delusion of influence: waham tentang dirinya yang dipengaruhi oleh suatu
kekuatan dari luar.

18
- Delusion of passivity: waham tentang dirinya yang pasrah dan tidak
berdaya terhadap suatu kekuatan dari luar.
- Delusional perception: pengalaman indrawi yang tidak wajar, yang
bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mujizat.
- Halusinasi auditorik
- Waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap
tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya berkaitan dengan masalah
agama atau politik tertentu atau kekuatan diatas kemampuan manusia biasa.

 Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara
jelas:
a. Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik
oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai dengan ide berlebihan yang
menetap.
b. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation), yang berakibat inkoherensia atau pembicaraan yang tidak
relevan atau neologisme.
c. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah, pklienisi tubuh tertentu
(pklienturing) atau fleksibilitas cerea, negativisme, stupor dan mutisme.
d. Gejala negatif : apatis, jarang bicara, respon emklienional yang tumpul
atau tidak wajar, menarik diri, tapi harus jelas bahwa hal tersebut tidak
disebabkan oleh depresi.
 Gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu
bulan atau lebih.
 Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi,
bermanifestasi pada hilangnya minat, hidup tak bertujuan dan penarikan diri
secara sklienial.

19
Gejala-gejala pencetus respon biologis :

 Kesehatan : nutrisi kurang, kurang tidur, ketidakseimbangan irama


sirkadian, kelelahan, infeksi, obat-obatan sistem saraf pusat, kurangnya
latihan dan hambatan untuk menjangkau layanan kesehatan.

 Lingkungan : lingkungan yang memusuhi, masalah rumah tangga,


kehilangan kebebasan hidup, perubahan kebiasaan hidup, pola aktivitas
sehari-hari, kesukaran berhubungan dengan orang lain, isolasi sklienial,
kurangnya dukungan sklienial, tekanan kerja, stigmatisasi, kemiskinan,
kurangnya alat transportasi dan ketidakmampuan mendapatkan pekerjaan.

 Sikap/perilaku : merasa tidak mampu, putus asa, merasa gagal, kehilangan


kendali diri (demoralisasi), merasa punya kekuatan berlebihan dengan
gejala tersebut, merasa malang, bertindak tidak seperti orang lain dari segi
usia maupun kebudayaan, rendahnya kemampuan sosialisasi, perilaku
agresif, perilaku kekerasan, ketidakadekuatan pengobatan dan
ketidakadekuatan penanganan gejala.

Pada skizofrenia tipe Paranoid waham dan halusinasi menonjol sedangkan afek
dan pembicaraan hamper tidak terpengaruh. Terdapat waham kejar, rujukan,
kebesaran, waham dikendalikan, dipengaruhi, dan cemburu serta halusinasi
akustik berupa ancaman, perintah atau menghina.

F. Kriteria Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosis skizofrenia, pasien harus memenuhi kriteria


DSM-IV-TR atau ICD-X. Berdasarkan DSM-IV, kriteria pasien skizofrenia,
yaitu:7
1. Berlangsung paling sedikit enam bulan
2. Penurunan fungsi yang cukup bermakna, yaitu dalam bidang pekerjaan,
hubungan interpersonal, dan fungsi kehidupan pribadi
3. Pernah mengalami psikotik aktif dalam bentuk yang khas selama periode
tersebut

20
4. Tidak ditemui gejala-gejala yang sesuai dengan skizoafektif, gangguan
mood mayor, autisme, atau gangguan organik.
Semua pasien skizofrenia mesti digolongkan ke dalam salah satu dari subtipe
yang telah disebutkan diatas. Subtipe ditegakkan berdasarkan atas manifestasi
perilaku yang paling menonjol.7 Berdasarkan PPDGJI-III, maka pedoman
diagnostik skizofrenia paranoid (F20.0), yaitu :5
 Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
 Sebagai tambahan :
 Halusinasi dan/atau waham harus menonjol
a) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi
perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi
pluit (whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa
(laughing);
b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual,
atau lain-lain perasaan tubuh; halusinasi visual mungkin ada tetapi
jarang menonjol;
c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham
dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (delusion of
influence), atau “passivity” (delusion of passivity), dan keyakinan
dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang paling khas
 Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala
katatonik secara relatif tidak nyata/tidak menonjol

G. Diagnosis Banding

Diagnosis banding pada pasien skizofrenia paranoid adalah gangguan psikotik


lain, dapat berupa gangguan skizofreniform dan gangguan skizoafektif. Pada
gangguan skizofreniform, gejalanya sama dengan skizofrenia, namun berlangsung
sekurang-kurangnya 1 bulan, tetapi kurang dari 6 bulan.3 Pada pasien dengan
skizofreniform, akan kembali ke fungsi normal ketika gangguan hilang. Bila suatu
sindrom manik atau depresif terjadi bersamaan dengan gejala utama skizofrenia,

21
maka hal itu adalah gangguan skizoafektif, yang mempunyai gambaran baik
skizofrenia maupun gangguan afektif (gangguan mood).3

H. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan harus dilakukan sesegera mungkin setelah didiagnosis,


sebagaimana terbukti bahwa waktu yang panjang antara onset gejala dan
penatalaksanaan yang efektif, dapat berdampak lebih buruk (kemunduran
mental).2,9 Pasien skizofrenia mungkin tidak sembuh sempurna, tetapi dengan
pengobatan dan bimbingan yang baik, penderita dapat ditolong untuk dapat
berfungsi terus, bekerja sederhana di rumah atau pun di luar rumah.9
Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien skizofrenia paranoid dapat
berupa penatalaksanaan non-farmakologis dan farmakologis.

- PENATALAKSANAAN NON-FARMAKOLOGIS
 Rawat Inap / Hospitalisasi
Pasien yang mengalami gejala-gejala skizofrenia akut harus dirawat di
rumah sakit.6 Perawatan di rumah sakit menurunkan stress pada pasien dan
membantu mereka menyusun aktivitas harian mereka. Lamanya perawatan
di rumah sakit tergantung pada keparahan penyakit pasien dan tersedianya
fasilitas pengobatan rawat jalan.4 Rawat inap diindikasikan terutama untuk
:1,3
1. Tujuan diagnostik
2. Stabilisasi pengobatan
3. Keamanan pasien karena adanya ide bunuh diri atau pembunuhan,
maupun mengancam lingkungan sekitar
4. Untuk perilaku yang sangat kacau atau tidak pada tempatnya,
termasuk, ketidakmampuan mengurus kebutuhan dasar, seperti
pangan, sandang dan papan
5. Tidak adanya dukungan dan motivasi sembuh dari keluarga maupun
lingkungan

22
6. Timbulnya efek samping obat yang membahayakan jiwa
Membangun hubungan yang efektif antara pasien dan sistem
pendukung komunitas merupakan tujuan utama rawat inap.3 Rawat
inap dan layanan rehabilitasi masyarakat juga bertujuan untuk
memaksimalkan kemandirian pasien (contohnya dengan melatih
keterampilan hidup sehari-hari), karena pada pasien dengan gejala sisa
(contohnya gejala negatif dan kognitif) mungkin tidak dapat hidup
mandiri.2 Setelah keluar dari rumah sakit, pasien tersebut perlu di
follow-up teratur oleh ahli psikiatri.6

 Terapi Psikologis (Psikoterapi) dan Dukungan Sosial (Sosioterapi)


Terapi yang dapat membantu penderita skizofrenia adalah psikoterapi
suportif individual atau kelompok, serta bimbingan yang praktis dengan
maksud mengembalikan penderita ke masyarakat.9 Terapi perilaku kognitif
(cognitive behavioural therapy, CBT) seringkali bermanfaat dalam
membantu pasien mengatasi waham dan halusinasi yang menetap. Tujuannya
adalah untuk mengurangi penderitaan dan ketidakmampuan, dan tidak secara
langsung menghilangkan gejala. Terapi keluarga dapat membantu mereka
megurangi ekspresi emosi yang berlebihan dan terbukti efektif mencegah
kekambuhan.2
Terapi kerja adalah baik sekali untuk mendorong penderita bergaul lagi
dengan orang lain, penderita lain, perawat dan dokter.9 Hal ini dimaksudkan
agar pasien tidak mengasingkan diri dan terapi ini sangat penting dalam
menjaga kepercayaan diri dan kualitas hidupnya.2 Penting sekali untuk
menjaga komunikasi yang baik dengan pasien dan keluarga.1

- PENATALAKSANAAN FARMAKOLOGIS

 Pemberian obat-obat anti-psikosis

23
Pemberian obat anti-psikosis pada pasien skizofrenia (sindrom psikosis
fungsional) merupakan penatalaksanaan yang utama. Pengobatan anti-
psikosis diperkenalkan awal tahun 1950-an.3 Pemilihan jenis obat anti-
psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan (fase akut atau
kronis) dan efek samping obat.8,9 Fase akut biasanya ditandai oleh gejala
psikotik (yang baru dialami atau yang kambuh) yang perlu segera diatasi.
Obat anti-psikosis tidak bersifat menyembuhkan, namun bersifat pengobatan
simtomatik.13 Obat anti-psikosis efektif mengobati “gejala positif” pada
episode akut (misalnya halusinasi, waham, fenomena passivity) dan
mencegah kekambuhan.2,9 Obat-obat ini hanya mengatasi gejala gangguan
dan tidak menyembuhkan skizofrenia.3 Pengobatan dapat diberikan secara
oral, intramuscular, atau dengan injeksi depot jangka panjang.2
Untuk pasien yang baru pertama kali mengalami episode skizofrenia,
pemberian obat harus diupayakan agar tidak terlalu memberikan efek
samping, karena pengalaman yang buruk dengan pengobatan akan
mengurangi ketaatanberobatan (compliance) atau kesetiaberobatan
(adherence). Dianjurkan untuk menggunakan antipsikosis atipikal atau
antipsikosis tipikal, tetapi dengan dosis yang rendah.9
Mekanisme kerja obat anti-psikosis berkaitan dengan aktivitas
neurotransmitter dopamine yang meningkat (Hiperaktivitas sistem dopaminergik
sentral).8 Pada umumnya, pemberian obat anti-psikosis sebaiknya dipertahankan
selama 3 bulan sampai 1 tahun, setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali.
Efek obat anti-psikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa hari
setelah dosis terakhir masih mempunyai efek klinis.8 Obat anti-psikosis dibagi
dalam dua kelompok, berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu:3,4,7

1. Dopamine Receptor Antagonist (DRA) atau anti-psikosis generasi I (APG-I)

Obat APG-I disebut juga obat anti-psikosis konvensional atau tipikal.


Kebanyakan antipsikosis golongan tipikal mempunyai afinitas tinggi dalam mem-
blokade atau menghambat pengikatan dopamin pada reseptor pasca-sinaptik
neuron di otak, khususnya di sistem limbik dan sistem ekstrapiramidal (Dopamine

24
D2 receptor antagonist), hal inilah yang diperkirakan menyebabkan reaksi
ekstrapiramidal yang kuat.13 Oleh karena kinerja obat APG-I, maka obat ini lebih
efektif untuk gejala positif, contohnya gangguan asosiasi pikiran (inkoherensi), isi
pikir yang tidak wajar (waham), gangguan persepsi (halusinasi) dibandingkan
untuk terapi gejala negatif.1,8,10 Obat antipsikosis tipikal (APG-I) memiliki dua
kekurangan utama, yaitu :
a. Hanya sejumlah kecil pasien (kemungkinan 25 persen) yang cukup
tertolong untuk mendapatkan kembali jumlah fungsi mental yang cukup normal
b. Antagonis reseptor dopamine disertai dengan efek merugikan yang
mengganggu dan serius. Efek menganggu yang paling utama adalah akatisia dan
gejala mirip parkinsonisme berupa rigiditas dan tremor.
Sebagian besar antagonis reseptor dopamin dapat diberikan dalam satu dosis
oral harian ketika orang tersebut berada dalam kondisi yang stabil dan telah
menyesuaikan dengan efek samping apa pun.10 Prototip kelompok obat APG-I
adalah klorpromazin (CPZ), hal ini dikarenakan obat ini sampai sekarang masih
tetap digunakan sebagai antipsikosis, karena ketersediannya dan harganya
murah.13

Tabel 2. Sediaan Obat Anti-psikosis Generasi I dan Dosis Anjuran (yang beredar
di Indonesia menurut MIMS Vol. 7, 2006).8
Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis Anjurkan
Chlorpromazine Chlorpromazine Tab. 25 - 100 mg 150 - 600 mg/hari
Promactil Tab. 100 mg
Meprosetil Tab. 100 mg
Cepezet Tab. 100 mg
Perphenazine Perphenazine Tab. 4 mg
Trilafon Tab 2 - 4 - 8 mg

25
Trifluoperazine Stelazine Tab. 1 - 5 mg 10 - 15 mg/hari
Fluphenazine Anatensol Tab. 2,5 - 5 mg 10 - 15 mg/hari
Thioridazine Melleril Tab. 50 - 100 mg 150 - 300 mg/hari
Haloperidol Haloperidol Tab. 0,5 - 1,5 mg 5 - 15 mg/hari
Dores Tab. 1,5 mg
Serenace Tab. 0,5 - 1,5 mg
Haldol Tab. 2 - 5 mg
Govotil Tab. 2 - 5 mg
Lodomer Tab 2 - 5 mg
Pimozide Orap Forte Tab. 4 mg 2 - 4 mg/hari
Sumber : 8Obat Anti-psikosis. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik (Psychotropic
Medication). Edisi 3. Hal 14.

Obat CPZ merupakan golongan derivate phenothiazine yang mempengaruhi


ganglia basal, sehingga menimbulkan gejala parkinsonisme (efek esktrapiramidal
/ EPS).13 Semua obat APG-I dapat menimbulkan efek samping EPS
(ekstrapiramidal), seperti distonia akut, akathisia, sindrom Parkinson (tremor,
bradikinesia, rigiditas).8 EFek samping ini dibagi menjadi efek akut, yaitu efek
yang terjadi pada hari-hari atau minggu-minggu awal pertama pemberian obat,
sedangkan efek kronik yaitu efek yang terjadi setelah berbulan-bulan atau
bertahun-tahun menggunakan obat.7 Oleh karena itu, setiap pemberian obat APG-
I, maka harus disertakan obat trihexyphenidyl 2 mg selama 2 minggu sebagai obat
antidotum.

2. Serotonin-dopamine Antagonist (SDA) atau anti-psikosis generasi II (APG-II)


Pada tahun 1990, ditemukan klozapin yang dikenal sebagai generasi pertama
antipsikotik golongan atipikal. Disebut atipikal karena golongan obat ini sedikit
menyebabkan reaksi ekstrapiramidal (EPS = extrapyramidal symptom).13 Obat
APG-II disebut juga obat anti-psikosis baru atau atipikal. Standar emas terbaru
untuk pemberian obat anti-psikosis bagi pasien skizofrenia adalah APG-II. Obat
APG-II memiliki efek samping neurologis yang lebih sedikit dibandingkan

26
dengan antagonis reseptor dopamin dan efektif terhadap kisaran gejala psikotik
yang lebih luas.10
Mekanisme kerja obat anti-psikosis atipikal adalah berafinitas terhadap
“Dopamine D2 Receptors” (sama seperti APG-I) dan juga berafinitas terhadap
“Serotonin 5 HT2 Receptors” (Serotonin-dopamine antagonist), sehingga efektif
terhadap gejala positif (waham, halusinasi, inkoherensi) maupun gejala negatif
(afek tumpul, proses pikir lambat, apatis, menarik diri).1,8

Tabel 3. Sediaan Obat Anti-psikosis Generasi II dan Dosis Anjuran (yang


beredar di Indonesia menurut MIMS Vol. 7, 2006).8

Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis Anjurkan


Sulpride Dogmatil Forte Tab. 200 mg 300 - 600 mg/hari
Clozapine Clorazil Tab. 25 - 100 mg 25 - 100 mg/hari
Sizoril Tab. 25 - 100 mg
Olanzapine Zyprexa Tab. 5 - 10 mg 10 - 20 mg/hari
Quetiapine Seroquel Tab. 25 - 100 mg 50 - 400 mg/hari
Zotepine Lodopin Tab. 25 - 50 mg 75 - 100 mg/hari
Risperidone Risperidone Tab 1 - 2 - 3 mg 2 - 6 mg/hari
Risperidal Tab. 1 - 2 - 3 mg
Neripros Tab. 1 - 2 - 3 mg
Persidal Tab. 1 - 2 - 3 mg
Rizodal Tab. 1 - 2 - 3 mg
Zofredal Tab. 1 - 2 - 3 mg
Aripiprazole Abilify Tab. 10 - 15 mg 10 - 15 mg/hari
8
Sumber : Obat Anti-psikosis. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik
(Psychotropic Medication). Edisi 3. Hal 14-15.

Apabila pada pasien skizofrenia, gejala negatif (afek tumpul, penarikan


diri, isi pikir miskin) lebih menonjol dari gejala positif (waham, halusinasi,
bicara kacau), maka obat anti-psikosis atipikal perlu dipertimbangkan.8

27
I. Prognosis
Dahulu, bila diagnosis skizofrenia telah dibuat, maka ini berarti
bahwa sudah tidak ada harapan lagi bagi orang yang bersangkutan, bahwa
kepribadiannya selalu akan menuju ke kemunduran mental (deteriorasi
mental).9 Sekarang dengan pengobatan modern, ternyata bila penderita itu
datang berobat dalam tahun pertama setelah serangan pertama, maka kira-
kira sepertiga dari mereka akan sembuh sama sekali (full remission atau
recovery). Sepertiga yang lain dapat dikembalikan ke masyarakat walaupun
masih didapati cacat sedikit yang mereka masih harus sering diperiksa dan
diobati selanjutnya (social recovery).9
Skizofrenia bersifat kronis dan membutuhkan waktu yang lama
untuk menghilangkan gejala.1,7 Sekitar 90% dengan episode psikotik
pertama, sehat dalam waktu satu tahun, 80% mengalami episode
selanjutnya dalam lima tahun, dan 10% meninggal karena bunuh diri.2 Kira-
kira 50 persen dari semua pasien dengan skizofrenia mencoba bunuh diri
sekurang satu kali selama hidupnya, dan 10 sampai 15 persen pasien
skizofrenik meninggal karena bunuh diri selama periode follow-up 20
tahun.4 Pasien skizofrenik laki-laki dan wanita sama-sama mungkin untuk
melakukan bunuh diri.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Psikiatri : Skizofrenia (F2). Editor : Chris Tanto, Frans Liwang, dkk. Kapita
Selekta Kedokteran. Edisi 4. Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius. 2014:910-
3.
2. Gangguan Jiwa : Skizofrenia - Fenomena, Etiologi, Penangan dan
Prognosis. Editor : Rina Astikawati. At A Glance Psikiatri - Cornelius
Katona, Claudia Cooper, dan Mary Robertson. Edisi 4. Jakarta : Erlangga.
2012:18-21.
3. Skizofrenia. Editor : Husny Muttaqin dan Tiara Mahatmi Nisa. Kaplan &
Sadock - Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi 2. Jakarta : Buku Kedokteran
EGC. 2014:147-68.
4. Skizofrenia. Editor : I. Made Wiguna S. Kaplan - Sadock, Sinopsis Psikiatri
- Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid 1. Tanggerang : Binarupa
Aksara Publisher. 2010:699-744.

5. Skizofrenia, Gangguan Skizotipal dan Gangguan Waham : Skizofrenia


(F20). Editor : Rusdi Maslim. Diagnosis Gangguan Jiwa : Rujukan Ringkas
dari PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-
Unika Atmajaya. 2013:46-8.
6. Skizofrenia dan Gangguan Waham (Paranoid). Editor : Husny Muttaqin dan
Frans Dany. Buku Ajar Psikiatri. Edisi 2. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
2013:147-50.
7. Skizofrenia. Editor : Sylvia D. Elvira dan Gitayanti Hadisukanto. Buku Ajar
Psikiatri. Edisi 2. Jakarta : Badan Penerbit FK UI. 2017:184-227.
8. Obat Anti-psikosis. Editor : Rusdi Maslim. Penggunaan Klinis Obat
Psikotropik (Psychotropic Medication). Edisi 3. Jakarta : Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa FK-Unika Atma Jaya (PT. Nuh Jaya). 2007:14-22.
9. Skizofrenia. Editor : Willy F. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2.
Surabaya : Airlangga University Press. 2009:259-81.

29
10. Terapi Biologis - Antagonis Reseptor Dopamin : Antipsikotik Tipikal.
Editor : Husny Muttaqin dan Tiara Mahatmi Nisa. Kaplan & Sadock - Buku
Ajar Psikiatri Klinis. Edisi 2. Jakarta : Buku Kedokteran EGC. 2014:498-
502.

30

Anda mungkin juga menyukai