TUBERKULOSIS

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 14

TUGAS KEPEMIMPINAN DAN

BERPIKIR SISTEM KESEHATAN MASYARAKAT


“TUBERKULOSIS DI INDONESIA”

ACHMAD NUGRAHA NURDIN


K11116542
KESMAS C

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS HASANUDDIN
KOTA MAKASSAR

2018
PENYAKIT TUBERKULOSIS DI INDONESIA

Penyakit Tuberkulosis paru (TB paru) merupakan penyakit infeksi kronik


menular masyarakat yang masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat di
dunia termasuk Indonesia. Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi menular yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Hasil Survei Kesehatan Rumah
Tangga (SKRT) tahun 1995, TB paru menjadi penyebab kematian ketiga setelah
penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan pada semua kelompok
umur serta penyebab kematian nomor satu dari golongan penyakit infeksi pernapasan
(Departemen Kesehatan, 2007). World Health Organization (WHO) memperkirakan
pada saat ini Indonesia merupakan negara urutan ke-4 dengan kasus TB paru
terbanyak pada tahun 2010 setelah India, Cina, dan Afrika Selatan.
Sumber penularan TB pada anak adalah pasien dewasa TB BTA positif. Pada
waktu batuk, bersin dan berbicara, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Umumnya penularan terjadi dalam ruangan
dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi
jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman.
Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.
Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan
dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin
menular pasien tersebut (Kemenkes RI, 2011). Hal tersebut sesuai dengan penelitian
yang dilakukan di BP4 Purwokerto oleh Yulistyaningrum dan Rejeki (2010),
menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara riwayat kontak TB dengan
kejadian TB paru anak. Pencegahan penularan TB menurut Crofton, et. al (2007)
adalah dengan cara menutup mulut pada waktu batuk atau bersin dengan
menggunakan tissue yang kemudian dibungkus kantung plastik dan dibakar atau
menggunakan sapu tangan yang dicuci setiap hari, sehingga percikan dahak tidak
akan menyebar. Pencegahan lainnya adalah dengan pengobatan, mengobati serta
menyelesaikan pengobatan sangat efektif untuk memutuskan rantai penularan dari
penderita ke orang lain yang berada di lingkungannya (Crofton, et. al, 2007).
Ventilasi rumah yang baik juga dapat mengurangi risiko penularan karena dapat
mengurangi jumlah percikan, serta sinar matahari langsung dapat membantu
membunuh kuman (Kemenkes RI, 2011).
Prevalensi kasus TB paru di Indonesia sebesar 244 per 100.000 dan insidensi
untuk semua tipe TB paru adalah 228 per 100.000. Insidensi kasus TB paru-BTA
positif sebesar 102 per 100.000 dan angka kematian mencapai 39 kasus per 100.000
atau sekitar 250 orang per hari. Fakta tersebut didukung oleh kondisi lingkungan
perumahan, dan sosial ekonomi masyarakat (WHO, 2009). Tuberkulosis paru (TB
paru) adalah penyebab kematian ke-2 di Indonesia setelah penyakit jantung dan
pembuluh darah lainnya. Setiap tahun terdapat 583.000 kasus baru TB paru di
Indonesia. Ditemukan cakupan semua kasus TB paru di daerah Jawa Tengah
mencapai 39.238 penderita (Dinas Kesehatan Jawa tengah, 2011). Penemuan
penderita TB paru di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta mencapai
3.697 kasus pada tahun 2012 (Data BBKPM Surakarta, 2012).
Bronkiektasis merupakan kelainan bronkus dimana terjadi pelebaran atau
dilatasi bronkus lokal dan permanen karena kerusakan struktur dinding bronkus.
Kelainan bronkus tersebut disebabkan oleh perubahan dalam dinding bronkus berupa
destruksi elemen-elemen elastik, otot polos bronkus,tulang rawan, dan pembuluh
darah. Bronkiektasis sering kali tidak berdiri sendiri, akan tetapi dapat merupakan
bagian dari suatu sindrom atau akibat dari infeksi kronis dan kelainan paru yang lain,
termasuk TB paru. Insiden ini juga dipengaruhi oleh kebiasaan merokok, polusi
udara, dan kelainan kongenital (Alsagaff & Mukty, 2002). Kekerapan bronkiektasis
di negera barat diperkirakan sebanyak 1,3% di antara populasi. Kekerapan sebesar itu
ternyata mengalami penurunan yang berarti dengan adanya pengobatan memakai
antibiotik. Data pasien bronkiektasis di Indonesia yang diperoleh dari RSUD Dr.
Soetomo sebanyak 221 penderita dari 11.018 (1.01%) pasien rawat inap. Penyakit ini
cukup sering ditemukan di klinik-klinik serta Rumah sakit umum dan diderita oleh
laki-laki maupun perempuan (Alsagaff & Mukty, 2002). Dalam penelitian
retrospektif, menganalisis temuan gambar radiologi toraks Computed Tomography
Scaning (CT scan). Dari Januari sampai Desember 2008 program skrining dari pusat
promosi kesehatan di sebuah rumah sakit universitas menjalani CT scan toraks
terdapat 1.409 pasien (umur 23-86 tahun), yang diskrining untuk penyakit
pernapasan menggunakan CT scan toraks terdapat 129 pasien (9.1%) didiagnosis
sebagai penderita bronkiektasis.
Prevalensi bronkiektasis lebih tinggi pada wanita (11.5%) dibandingkan pada
pria (7.9%) dan meningkat pada umur 60-70 tahun sebesar 20.4%. Gejala pernapasan
dilaporkan pada 53.7% dari 129 pasien dan riwayat TB paru sebelumnya secara
signifikan dapat meningkatkan kejadian bronkiektasis sebesar 15.8% (Kwak et al,
2010). Tuberkulosis paru yang menginfeksi paru akan berlanjut menjadi infeksi
kronis apabila tidak mendapatkan pengobatan yang adekuat sehingga menyebabkan
terjadinya bronkiektasis (Alsagaff & Mukty, 2002). Setelah penderita sembuh dari
TB paru, terdapat banyak traction bronkiektasis yang menyebar luas di sekitar
jaringan bekas luka atau obstruksi bronkus. Dengan demikian bronkiektasis
merupakan manifestasi ireversibel dari tuberkulosis paru pada pasien yang telah
sembuh. Disisi lain bronkiektasis yang menyebabkan dilatasi bronkus dapat
menyebabkan tuberkulosis paru. Hal ini terjadi karena mucus pada bronkus dapat
menjadi media infeksi yang baik sehingga mudah terinfeksi oleh bakteri M.
tuberculosis. Dengan kata lain brokiektasis dapat menyebabkan tuberkulosis paru
(Jeong Min et al, 2013).
Tuberkulosis masih merupakan penyakit penting sebagai penyebab
morbiditas dan mortalitas, dan tingginya biaya kesehatan Setiap tahun diperkirakan 9
juta kasus TB baru dan 2 juta di antaranya meninggal. Dari 9 juta kasus baru TB di
seluruh dunia, 1 juta adalah anak usia <15 tahun. Dari seluruh kasus anak dengan
TB, 75% didapatkan di duapuluh dua negara dengan beban TB tinggi (high burden
countries). Dilaporkan dari berbagai negara presentase semua kasus TB pada anak
berkisar antara 3% sampai >25%. Mayoritas anak tertular TB dari pasien TB dewasa,
sehingga dalam penanggulangan TB anak, penting untuk mengerti gambaran
epidemiologi TB pada dewasa. Infeksi TB pada anak dan pasien TB anak terjadi
akibat kontak dengan orang dewasa sakit TB aktif. Diagnosis TB pada dewasa
mudah ditegakkan dari pemeriksaan sputum yang positif. Sulitnya konfirmasi
diagnosis TB pada anak mengakibatkan penanganan TB anak terabaikan, sehingga
sampai beberapa tahun TB anak tidak termasuk prioritas kesehatan masyarakat di
banyak negara, termasuk Indonesia.
Akan tetapi beberapa tahun terakhir dengan penelitian yang dilakukan di
negara berkembang, penanggulangan TB anak mendapat cukup perhatian. Dari
beberapa negara Afrika dilaporkan hasil isolasi Mycobacterium tuberculosis (MTB)
7%-8% pada anak yang dirawat dengan pneumonia berat akut dengan dan tanpa
infeksi human immunodeficiency virus (HIV), dan TB merupakan penyebab
kematian pada kelompok anak tersebut.Dilaporkan juga dari Afrika Selatan bahwa
pada anak anak yang sakit TB didapatkan prevalensi HIV 40 %-50%.
Masalah yang dihadapi saat ini adalah meningkatnya kasus TB dengan pesat
selain karena peningkatan kasus penyakit HIV/AIDS juga meningkatnya kasus
multidrug resistence-TB (MDR-TB), hasil penelitian di Jakarta mendapatkan >4%
dari kasus baru. Masalah lain adalah peran vaksinasi BCG dalam pencegahan
infeksi dan penyakit TB yang masih kontroversial. Berbagai penelitian melaporkan
proteksi dari vaksinasi BCG untuk pencegahan penyakit TB berkisar antara 0%-80%,
secara umum diperkirakan daya proteksi BCG hanya 50%, dan vaksinasi BCG hanya
mencegah terjadinya TB berat, seperti milier dan meningitis TB. Daya proteksi BCG
terhadap meningitis TB 64%, dan miler TB 78% pada anak yang mendapat
vaksinasi.8 Salah satu metode untuk estimasi insidensi TB dan evaluasi TB di
komunitas atau di suatu negara dilakukan dengan menilai ARTI (annual risk of
tubeculosis infections) di populasi umum. Nilai ARTI menggambarkan proporsi
individu di komunitas yang berpeluang terinfeksi atau terinfeksi ulang dalam kurun
waktu satu tahun, diperkirakan dari hasil survei uji tuberkulin di populasi umum.8
Dilain pihak, ARTI merupakan indikator transmisi di komunitas yang bergantung
pada prevalensi kasus TB yang infeksius dan efikasi dari aktivitas pengendalian TB
seperti penemuan kasus (case finding) dan pengobatan.9 Untuk menilai faktor risiko
harus dibedakan antara infeksi TB dan sakit TB. Risiko infeksi TB tergantung pada
lamanya terpajan, kedekatan dengan kasus TB, dan beban kuman pada kasus sumber.
Risiko tinggi untuk sakit TB antara lain umur kurang dari 5 tahun (balita),
malnutritisi, infeksi TB baru, dan imunosupresi terutama karena HIV.

MORBIDITAS DAN MORTALITAS


Menurut WHO sepertiga penduduk dunia telah tertular TB, tahun 2000 lebih
dari 8 juta penduduk dunia menderita TB aktif. Penyakit TB bertanggung jawab
terhadap kematian hampir 2 juta penduduk setiap tahun, sebagian besar terjadi di
negara berkembang. World Health Organization memperkirakan bahwa TB
merupakan penyakit infeksi yang paling banyak menyebabkan kematian pada anak
dan orang dewasa. Kematian akibat TB lebih banyak daripada kematian akibat
malaria dan AIDS. Pada wanita kematian akibat TB lebih banyak dari pada kematian
karena kehamilan, persalinan, dan nifas. Menurut perkiraan antara tahun 2000–2020
kematian karena TB meningkat sampai 35 juta orang. Setiap hari ditemukan 23.000
kasus TB aktif dan TB menyebabkan hampir 5000 kematian. Total insidens TB
selama 10 tahun, dari tahun 19901999 diperkirakan 88,2 juta dan 8 juta di antaranya
berhubungan dengan infeksi HIV. Pada tahun 2000 terdapat 1,8 juta kematian akibat
TB 226.000 di antaranya berhubungan dengan HIV. Setiap tahun didapatkan 250.000
kasus TB baru di Indonesia dan kira-kira 100.000 kematian karena TB.
Tuberkulosis merupakan penyebab kematian nomor satu diantara penyakit
infeksi dan menduduki tempat ketiga sebagai penyebab kematian pada semua umur
setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit infeksi saluran napas akut. Pasien TB
di Indonesia terutama berusia antara 15-5 tahun, merupakan kelompok usia
produktif. Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, jumlah kasus TB baru di
Indonesia 583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian sekitar 140.000
orang per tahun. Tahun 1989, WHO memperkirakan jumlah kasus baru TB 1,3 juta
kasus dan 450.000 kematian karena TB pada anak usia <15 tahun di dunia. Tahun
1994 diperkirakan insidensi global TB pada anak usia 0–14 tahun akan mencapai 1
juta kasus di tahun 2000, setengah dari jumlah kasus tersebut berada di Afrika.
Berarti ada peningkatan 36% dari perkiraan tahun 1990. Pada tahun 1990, jumlah
kematian karena TB di dunia diperkirakan hampir 3 juta dan hampir 90% kematian
tersebut terjadi di negara berkembang. Pada tahun 2000 jumlah kematian
diperkirakan 3,5 juta, kasus baru meningkat setiap tahun. Pada tahun 1990
dilaporkan 7,5 juta kasus (143 kasus per 100.000 penduduk) menjadi 8,8 juta kasus
(152 kasus per 100.000 penduduk) pada tahun 1995, 10,2 juta kasus (163 kasus per
100.000 penduduk) pada tahun 2000, dan mencapai 11,9 juta kasus pada tahun 2005.
Di negara berkembang, TB pada anak berusia <15 tahun adalah 15% dari
seluruh kasus TB, sedangkan di negara maju, lebih rendah yaitu 5%-7%. Pada survei
nasional di Inggris dan Wales yang berlangsung selama setahun pada tahun 1983,
didapatkan bahwa 452 anak berusia <15 tahun menderita TB. Laporan mengenai TB
anak di Indonesia jarang didapatkan, diperkirakan jumlah kasus TB anak adalah 5%-
6% dari total kasus TB. Berdasarkan laporan tahun 1985, dari 1261 kasus TB anak
berusia <15 tahun, 63% di antaranya berusia <5 tahun. Hasil penelitian di dua
kecamatan di Kotamadya Bandung tahun 1999–2001, didapatkan 4,3% (63/1482)
anak usia 6–59 bulan, menderita TB.15 Data seluruh kasus TB anak dari tujuh
rumah sakit Pusat Pendidikan Indonesia selama 5 tahun (1998-2002) dijumpai 1086
kasus TB dengan angka kematian bervariasi dari 0%-14,1%. Kelompok usia
terbanyak 12-60 bulan (42,9%), sedangkan bayi <12 bulan didapatkan 16,5%.16
Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, didapatkan prevalensi
12 bulan TB paru klinis di Indonesia 1% dengan kisaran 0,3% (Lampung) sampai
2,5% (Papua). Berdasarkan kelompok umur dijumpai prevalensi TB, kurang dari 1
tahun 0,47%, 1–4 tahun 0,76% dan antara 5–14 tahun 0,53%.16 Selama tahun 1985-
1992, peningkatan TB paling banyak terjadi pada usia 25-44 tahun (54,5%), diikuti
oleh usia 0-4 tahun (36,1%), dan 5-12 tahun (38,1%). Pada tahun 2005, diperkirakan
kasus TB naik 58% dari tahun 1990, 90% di antaranya terjadi di negara berkembang.
Di Amerika Serikat dan Kanada, peningkatan TB pada anak berusia 0-4 tahun 19%,
sedangkan pada usia 5-15 tahun 40%.
Di Asia Tenggara selama 10 tahun, diperkirakan jumlah kasus baru 35,1 juta,
8% di antaranya (2,8 juta) disertai infeksi HIV. Menurut WHO (1994), Indonesia
menduduki peringkat ketiga dalam jumlah kasus baru TB (0,4 juta kasus baru),
setelah India (2,1 juta kasus) dan Cina (1,1 juta kasus), 10% dari seluruh kasus
terjadi pada anak berusia <15 tahun.18,19 Peningkatan jumlah kasus TB di berbagai
tempat pada saat ini, diduga disebabkan oleh berbagai hal, yaitu (1) diagnosis tidak
tepat, (2) pengobatan tidak adekuat, (3) program penanggulangan tidak dilaksanakan
dengan tepat, (4) infeksi endemik HIV, (5) migrasi penduduk, (6) mengobati sendiri
(self treatment), (7) meningkatnya kemiskinan, dan (8) pelayanan kesehatan yang
kurang memadai. Tuberkulosis anak merupakan faktor penting di negara berkembang
karena jumlah anak berusia <15 tahun adalah 40%-50% dari jumlah seluruh
populasi. Sulitnya menegakkan diagnosis TB pada anak, maka data TB anak sangat
terbatas termasuk di Indonesia. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, WHO sedang
melakukan upaya dengan cara membuat konsensus diagnosis di berbagai negara.
Dengan adanya konsensus TB, diharapkan diagnosis TB anak dapat ditegakkan,
sehingga kemungkinan overdiagnosis atau underdiagnosis dapat diperkecil dan
angka prevalens pasti dapat diketahui.

PREVALENSI TUBERKULIN POSITIF


Uji tuberkulin adalah uji yang dilakukan untuk mendeteksi infeksi M.
tuberkulosis, dapat juga dipergunakan untuk mengukur prevalens infeksi. Dari
prevalens infeksi dapat diketahui annual risk of tuberculosis infections (ARTI)
dengan metode konversi, dan merupakan salah satu parameter epidemiologi untuk
menentukan beban penyakit (burden of tuberculosis). Parameter epidemiologi
lainnya adalah perkiraan insidens BTA positif pada proses TB paru, kasus yang
dilaporkan dan laju yang dilaporkan (case notificationsnotification rates), perkiraan
cakupan yang mendapat layanan kesehatan di populasi, serta perkiraan case fatality
rate untuk pasien dengan BTA positif dan TB yang lain. Nilai ARTI adalah
probabilitas seseorang yang tidak terinfeksi menjadi terinfeksi atau re-infeksi oleh M.
tuberkulosis, dalam kurun waktu satu tahun; dapat diperkirakan bila dilakukan survei
tuberkullin berulang di suatu populasi pada waktu yang berbeda. Survei tersebut
dilaksanakan dengan teknik yang sama, pada sekelompok subjek yang belum
mendapat vaksinasi BCG dengan usia yang sama, sehinggga dilaksanakan pada anak
tanpa skar BCG saja.

FAKTOR RISIKO
Perkembangan TB pada manusia melalui dua proses, yaitu pertama seseorang
yang rentan bila terpajan oleh kasus TB yang infeksius akan menjadi tertular TB
(infectious TB), dan setelah beberapa lama kemudian baru menjadi sakit. Oleh
karena itu faktor risiko untuk infeksi berbeda dengan faktor risiko menjadi sakit TB.
Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun
timbulnya penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi faktor risiko
infeksi dan faktor risiko progresifitas infeksi menjadi penyakit (risiko penyakit).

RISIKO INFEKSI TUBERKULOSIS


Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan
dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis,
kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (higiene dan sanitasi tidak baik), dan
tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara, atau panti perawatan lain), yang
banyak terdapat pasien TB dewasa aktif. Sumber infeksi TB pada anak yang
terpenting adalah pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius, terutama dengan
BTA positif. Berarti bayi dari seorang ibu dengan BTA sputum positif memiliki risiko
tinggi terinfeksi TB. Semakin erat bayi tersebut dengan ibunya, semakin besar pula
kemungkinan bayi tersebut terpajan percik renik (droplet nuclei) yang infeksius.
Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih tinggi jika
pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum positif, infiltrat luas atau kavitas
pada lobus atas, produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat, serta
terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat terutama sirkulasi udara yang tidak
baik. Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang dewasa di
sekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB sangat jarang ditemukan di dalam sekret
endobronkial pasien anak.
Beberapa hal yang dapat menjelaskan hal tersebut, antara lain:
 Pertama, jumlah kuman pada TB anak pada umumnya sedikit (paucibacillary),
tetapi karena imunitas anak masih lemah, jumlah yang sedikit tersebut sudah
mampu menyebabkan sakit.
 Kedua, lokasi infeksi primer yang kemudian berkembang menjadi sakit TB
primer biasanya terjadi di daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga
tidak terjadi produksi sputum.
 Ketiga, tidak ada/sedikitnya produksi sputum dan tidak terdapatnya reseptor
batuk di daerah parenkim menyebabkan jarangnya terdapat gejala batuk pada TB
anak.
Penelitian mengenai faktor risiko untuk terjadinya infeksi TB di Gambia
mendapatkan bahwa prevalensi uji tuberkulin positif pada anak laki laki dan
perempuan tidak berbeda sampai adolesen, setelah itu itu lebih tinggi pada anak laki
laki. Hal ini diduga akibat dari peran sosial dan aktivitas sehingga lebih terpajan
pada lingkungan, atau karena secara bawaan lebih rentan, atau adanya faktor
predisposisi terhadap respon hipersensitivitas tipe lambat. Selanjutnya kontak
dengan pasien TB merupakan faktor risiko utama, dan makin erat kontak makin
besar risikonya. Oleh karenanya kontak di rumah (household contact) dengan
anggota keluarga yang sakit TB sangat berperan untuk terjadinya infeksi TB di
keluarga, terutama keluarga terdekat. Faktor lain adalah jumlah orang serumah
(kepadatan hunian), lamanya tinggal serumah dengan pasien, pernah sakit TB, dan
satu kamar dengan penderita TB di malam hari, terutama bila satu tempat tidur.

RISIKO SAKIT TUBERKULOSIS


Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB. Berikut
ini adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB
menjadi sakit TB. Faktor risiko yang pertama adalah usia. Anak berusia <5 tahun
mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit TB karena
imunitas selularnya belum berkembang sempurna (imatur). Risiko sakit TB akan
berkurang secara bertahap seiring dengan pertambahan usia. Pada bayi yang
terinfeksi TB, 43% diantaranya akan menjadi sakit TB, pada usia 1-5 tahun menjadi
sakit 24%, usia remaja 15%, dan dewasa 5-10%. Anak berusia <5 tahun memiliki
risiko lebih tinggi mengalami TB diseminata (seperti TB milier dan meningitis TB),
dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Risiko tertinggi terjadinya
progresivitas dari infeksi menjadi sakit TB selama satu tahun pertama setelah infeksi,
terutama selama 6 bulan pertama. Pada bayi, rentang waktu antara terjadi infeksi dan
timbul sakit TB singkat (kurang dari 1 tahun) dan timbul gejala akut. Faktor risiko
berikutnya adalah infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberkulin
(dari negatif menjadi positif) dalam satu tahun terakhir.
Faktor risiko lainnya adalah malnutrisi, keadaan imunokompromais
(misalnya pada infeksi HIV, keganasan, transplantasi organ, dan pengobatan
imunosupresi), diabetes melitus, dan gagal ginjal kronik. Faktor yang tidak kalah
penting pada epidemiologi TB adalah status sosioekonomi yang rendah, penghasilan
yang kurang, kepadatan hunian, pengangguran, pendidikan yang rendah, dan
kurangnya dana untuk pelayanan masyarakat. Di negara maju, migrasi penduduk
termasuk menjadi faktor risiko, sedangkan di Indonesia hal ini belum menjadi
masalah yang berarti. Faktor lain yang mempunyai risiko terjadinya penyakit TB
adalah virulensi dari M. tuberkulosis dan dosis infeksi, namun secara klinis hal
tersebut sulit untuk dibuktikan. Seperti telah disebutkan sebelumnya, keadaan
imunokompromais merupakan salah satu faktor risiko penyakit TB. Pada infeksi
HIV, terjadi kerusakan sistem imun sehingga kuman TB yang Borman mengalami
aktivasi. Pandemi infeksi HIV dan AIDS menyebabkan peningkatan pelaporan TB
secara bermakna di beberapa negara. Diperkirakan risiko terjadinya sakit TB pada
pasien HIV dengan tuberkulin positif 7%-10% per tahun, dibandingkan dengan
pasien non-HIV yang risiko terjadinya sakit TB 5%-10% selama hidupnya. Pada
tahun 1990, 4,6% kematian akibat TB disebabkan oleh infeksi HIV dan diperkirakan
akan meningkat menjadi lebih dari 14% pada tahun 2000. Angka kejadian TB yang
telah menurun pada awal abad ke-20 kembali meningkat pada akhir tahun 1980. Hal
tersebut terjadi bersamaan dengan meningkatnya epidemi HIV dan resistensi
multiobat (multi drugresistance=MDR), bahkan sekarang sudah terjadi resistensi obat
yang ekstrim (extreme drug resistance=XDR)

SITUASI TUBERKULOSIS DI INDONESIA


1. Epidemiologi
Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara dengan beban TB
tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660,000
(WHO, 2010) dan estimasi insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun.
Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61,000 kematian per tahunnya.
Indonesia merupakan negara dengan percepatan peningkatan epidemi HIV yang
tertinggi di antara negara-negara di Asia. HIV dinyatakan sebagai epidemik
terkonsentrasi (a concentrated epidemic), dengan perkecualian di provinsi Papua
yang prevalensi HIVnya sudah mencapai 2,5% (generalized epidemic). Secara
nasional, angka estimasi prevalensi HIV pada populasi dewasa adalah 0,2%.
Sejumlah 12 provinsi telah dinyatakan sebagai daerah prioritas untuk intervensi
HIV dan estimasi jumlah orang dengan HIV/AIDS di Indonesia sekitar 190.000-
400.000. Estimasi nasional prevalensi HIV pada pasien TB baru adalah 2.8%.
Angka MDR-TB diperkirakan sebesar 2% dari seluruh kasus TB baru (lebih
rendah dari estimasi di tingkat regional sebesar 4%) dan 20% dari kasus TB
dengan pengobatan ulang.
Diperkirakan terdapat sekitar 6.300 kasus MDR TB setiap tahunnya.
Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia merupakan negara
pertama diantara High Burden Country (HBC) di wilayah WHO South-East
Asian yang mampu mencapai target global TB untuk deteksi kasus dan
keberhasilan pengobatan pada tahun 2006. Pada tahun 2009, tercatat sejumlah
sejumlah 294.732 kasus TB telah ditemukan dan diobati (data awal Mei 2010)
dan lebih dari 169.213 diantaranya terdeteksi BTA+. Dengan demikian, Case
Notification Rate untuk TB BTA+ adalah 73 per 100.000 (Case Detection Rate
73%). Rerata pencapaian angka keberhasilan pengobatan selama 4 tahun terakhir
adalah sekitar 90% dan pada kohort tahun 2008 mencapai 91%. Pencapaian
target global tersebut merupakan tonggak pencapaian program pengendalian TB
nasional yang utama.
Probabilitas terjadinya resistensi obat TB lebih tinggi di rumah sakit dan
sektor swasta yang belum terlibat dalam program pengendalian TB nasional
sebagai akibat dari tingginya ketidakpatuhan dan tingkat drop out pengobatan
karena tidak diterapkannya strategi DOTS yang tinggi. Data dari penyedia
pelayanan swasta belum termasuk dalam data di program pengendalian TB
nasional. Sedangkan untuk rumah sakit, data yang tersedia baru berasal dari
sekitar 30% rumah sakit yang telah melaksanakan strategi DOTS. Proporsi kasus
TB dengan BTA negatif sedikit meningkat dari 56% pada tahun 2008 menjadi
59% pada tahun 2009. Peningkatan jumlah kasus TB BTA negatif yang terjadi
selama beberapa tahun terakhir sangat mungkin disebabkan oleh karena
meningkatnya pelaporan kasus TB dari rumah sakit yang telah terlibat dalam
program TB nasional. Jumlah kasus TB anak pada tahun 2009 mencapai 30.806
termasuk 1,865 kasus BTA positif. Proposi kasus TB anak dari semua kasus TB
mencapai 10.45%. Angka-angka ini merupakan gambaran parsial dari
keseluruhan kasus TB anak yang sesungguhnya mengingat tingginya kasus
overdiagnosis di fasilitas pelayanan kesehatan yang diiringi dengan rendahnya
pelaporan dari fasilitas pelayanan kesehatan.
2. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku
Hasil survei prevalensi TB (2004) mengenai pengetahuan, sikap dan perilaku
menunjukkan bahwa 96% keluarga merawat anggota keluarga yang menderita
TB dan hanya 13% yang menyembunyikan keberadaan mereka. Meskipun 76%
keluarga pernah mendengar tentang TB dan 85% mengetahui bahwa TB dapat
disembuhkan, akan tetapi hanya 26% yang dapat menyebutkan dua tanda dan
gejala utama TB. Cara penularan TB dipahami oleh 51% keluarga dan hanya
19% yang mengetahui bahwa tersedia obat TB gratis.
Mitos yang terkait dengan penularan TB masih dijumpai di masyarakat.
Sebagai contoh, studi mengenai perjalanan pasien TB dalam mencari pelayanan
di Yogyakarta telah mengidentifikasi berbagai penyebab TB yang tidak
infeksius, misalnya merokok, alkohol, stres, kelelahan, makanan gorengan, tidur
di lantai, dan tidur larut malam. Stigma TB di masyarakat terutama dapat
dikurangi dengan meningkatkan pengetahuan dan persepsi masyarakat mengenai
TB, mengurangi mitos-mitos TB melalui kampanye pada kelompok tertentu dan
membuat materi penyuluhan yang sesuai dengan budaya setempat.

REFERENSI
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Strategi Nasional Pengendalian
TB di Indonesia.

Eni Noviyani, Sari Fatimah, Ikeu Nurhidayah, & Fanny Adistie. 2015. Upaya
Pencegahan Penularan TB dari Dewasa terhadap Anak. Volume 3 Nomor 5.

Wahyudi, R. N. 2014. Angka Kejadian Penemuan Tuberkulosis Paru Pada Pasien


Bronkiektasis Di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Surakarta Tahun 2012
Sampai 2013. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta

Cissy B. Kartasasmita. 2009. Epidemiologi Tuberkulosis. Sari Pediatri. Vol. 11, No.
2.
http://www.depkes.go.id/resources/download/info.terkini/materi%20pra
%20rakerkesnas%202018/Pakar%20TBC.pdf

Anda mungkin juga menyukai