Retinopati Diabetik

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 15

RETINOPATI DIABETIK

A. Anatomi Retina
Retina adalah lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis dan semitransparan yang melapisi
bagian dalam dua pertiga posterior dinding bola mata. Retina membentang ke anterior hampir sejauh
corpus ciliare dan berakhir pada ora serrata dengan tepi yang tidak rata. (Gregory L, et al., 2011).

Gambar 2 ; Lapisan Retina (Sumber: Gregory L, et al., 2011).

1
Gambar 3; Gambaran Funduskopi Retina Normal, menunjukkan makula dan struktur
sekelilingnya. (Sumber : Gregory L, et al., 2011)

Di tengah-tengah retina posterior terdapat makula berdiameter 5,5 - 6 mm, yang secara klinis
dinyatakan sebagai daerah yang dibatasi oleh cabang-cabang pembuluh darah retina temporal. Daerah
ini ditetapkan oleh ahli anatomi sebagai area centralis, yang secara histologis merupakan bagian
retina yang ketebalan lapisan sel ganglionnya lebih dari 1 lapis (Khurana AK, 2007).

B. Definisi Retinopati Diabetik


Retinopati diabetik merupakan mikroangiopati progresif yang
ditandai dengan adanya oklusi dan kerusakan pembuluh-pembuluh darah
halus di retina (Gregory L. Skuta, 2011). Retinopati diabetik juga merupakan
penyebab tersering kebutaan pada dewasa yang berumur 20 - 74 tahun. Di Inggris, Retinopati diabetik
merupakan penyebab utama kebutaan pada usia kerja (Working age) (Evans J, 1996). Setelah 2 dekade
pertama, hampir seluruh penderita diabetes melitus tipe I dan lebih dari 60% penderita diabetes
melitus tipe II mengalami retinopati diabetik ( Klein R et al., 1984).

C. Epidemiologi Retinopati Diabetik


Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan nomor satu pada usia kerja di UK. Setelah 20
tahun sejak onset diabetes melitus, lebih dari 90% pasien dengan DM tipe I dan lebih dari 60% pasien
dengan DM tipe II akan mengalami retinopati diabetik. UK National Screening Committee
mempertimbangkan retinopati diabetik sebagai salah satu prioritas nasional (Murgatroyd H., et al, 2004).
Di Amerika, Wong TY dkk meneliti populasi yang terdiri dari 778 pasien usia 45-
85 tahun yang menderita diabetes. Hasilnya memperoleh sebanyak 33,2 % populasi
dideteksi mengalami retinopati diabetik dan macular edema sebanyak 9.0% (Wong TY
et al., 2006). Hasil studi di berbagai belahan dunia lain menunjukkan hasil yang kurang
lebih sama terhadap prevalensi retinopati diabetik pada pasien yang didiagnosis DM
maupun tidak, bervariasi dari 17.6% di India (Rema M., et al, 2005) dan 18,6 % di China (Liu C, Yang
JK., 2012).
Peningkatan retinopati diabetik di masa depan akan sangat mengejutkan, diperkirakan terjadi
pertambahan sekitar 42% pada negara-negara maju dan 150% pada negara-negara berkembang, dengan
peningkatan terbanyak diramalkan terjadi di negara2 Asia, utamanya India, dimana 20 tahun yang lalu

2
retinopati diabetik merupakan penyebab no 17 dari kebutaan, saat ini menjadi posisi ke 6 dan pada 2030
diprediksi menjadi penyebab kebutaan no 1. Pasien dengan diabetes memiliki resiko 25X menjadi buta
daripada populasi biasa. Vision 2020 memasukkan retinopati diabetik sebagai salah satu prioritas
mereka, demikian juga pemerintah India (ICO, 2014).
Data pasti mengenai prevalensi retinopati diabetik di Indonesia hingga saat ini belumlah ada.
Wisconsin Epidemiologic Study of Diabetic Retinopathy (WESDR) menemukan bahwa
pasien DM tipe 1 memiliki prevalensi 71 % (Retinopati), 23% (Retinopati proliferatif),
dan 11% (Macular edema), sementara pasien DM tipe 2 memiliki prevalensi 47 %
(Retinopati), 6% (Retinopati proliferatif), dan 8% (Macular edema). Data ini
menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi dibandingkan data prevalensi dari studi
lainnya (Kempen JH, 2004).

D. Faktor Risiko Retinopati Diabetik


a. Durasi diabetes merupakan faktor risiko yang paling penting. Sebagian penulis mengemukakan
insidens retinopati diabetik setelah 20 tahun mengidap DM sudah mencapai 90%. (Kanski JJ,
2011; Klein R et al., 1984)
b. Kontrol metabolik akut relevan dengan perkembangan dan progresi
dari retinopati diabetik. United Kingdom Prospective Diabetes Study
(UKPDS) menemukan bahwa setiap 1% penurunan dari HbA1c dapat
mereduksi 24% risiko berkembangnya retinopati diabetik (Bin-Bin He, 2012; Day C, Bailey
CJ, 2009).
c. Hipertensi, yang sangat umum terjadi pada diabetes melitus tipe II,
harus dikontrol secara ketat (< 140/80mmHg). Kontrol tekanan darah
yang baik sangat bermanfaat khusunya untuk pasien diabetes melitus
tipe II dengan makulopati (Kanski JJ, 2011).
d. Nefropati, jika berat berhubungan dengan memburuknya retinopati
diabetik. (Kanski JJ, 2011).
e. Anemia merupakan salah satu faktor risiko retinopati diabetik di
China. Anemia menginduksi retinal hypoxia. pasien retinopati diabetik dengan kadar Hb yang
rendah berisiko 5 kali lebih besar untuk mengalami retinopati yang berat (Bin-Bin He, 2012).

D. Patogenesa

3
Penyebab pasti penyakit mikrovaskuler diabetik masih belum jelas. Keadaan
hiperglikemik dalam jangka waktu yang lama dipercayai dapat menyebabkan berbagai
perubahan biokimia dan fisiologi yang mengakibatkan kerusakan endotel. perubahan
kapiler retina spesifik termasuk hilangnya perisit dan menebalnya membrane basement
yang menjadi penyebab oklusi kapiler dan kondisi retina nonperfusi, begitu juga kondisi
dekompensasi endotel dari fungsi bariernya menyebabkan kebocoran serum dan
terjadilah edema retina.
Sejumlah abnormalitas hematologi dan biokimia yang berhubungan dengan
prevalensi dan beratnya retina adalah :
 peningkatan daya adhesi trombosit
 peningkatan agregasi eritrosit
 kondisi serum lipid yang abnormal
 terhambatnya fibrinolisis
 kondisi level growth hormone yang abnormal
 meningkatnya produksi vascular endothelial growth factor (VEGF)
 abnormalitas serum dan viskositas darah
Peranan pasti kondisi abnormalitas diatas dalam patogenesa retinopati, baik
secara individu maupun kombinasi masih belum jelas. (AAO S. 12, 2011)

Gambar 3.
skema
patogenesa
diabetik
retinopati
(Khurana,
2007)

4
Kondisi yang berhubungan dengan potensi kebutaan akbat Retinopati Diabetik
adalah :
 Edema Makula (kebocoran kapiler)
 Makula Iskemik (oklusi kapiler)
 Sequel dari ischemia-induced neovaskularization (AAO S.12, 2008)
Penelitian dari Diabetes Control and Complications Trial (DCCT) dan United
Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) menunjukkan adanya hubungan yang
kuat antara hiperglikemia yang berlangsung kronik dengan perkembangan dan progresi
retinopati diabetik, namun mekanisme yang mendasari terbentuknya kerusakan
mikrovaskuler sebagai hasil dari kondisi hiperglikemia kronik masih belum jelas.
Sejumlah jalur biokimia yang saling berhubungan telah diajukan untuk menjadi
penghubung yang potensial antara kondisi hiperglikemia dan retinopati diabetik.

Jalur tersebut meliputi : meningkatnya polyol pathway flux, aktivasi


diacylglyserol- (DAG) jalur PKC , meningkatnya ekspresi faktor-faktor
pertumbuhan seperti Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dan Insulin-like
growth factor (IGF-1), perubahan hemodinamik, meningkatnya pembentukan
advanced glycation endproducts (AGEs), oxidative stress, aktivasi rennin-
angiotensin-aldosteron system (RAAS) serta inflamasi dan leukositosis subklinik.

E. Manifestasi Klinis Retinopati Diabetik


Saat tahap awal retinopati diabetik, umumnya pasien
asimptomatik. Gejala mulai dirasakan pasien pada saat advanced stage yang meliputi floaters,
pandangan kabur, distortion, dan penurunan tajam penglihatan secara progresif . Stadium dari diabetik
retinopati menggunakan kriteria ETDRS (Early Treatment Diabetic Retinopathy Study ). (Kanski JJ,
2011).
Tanda pada retinopati diabetik di antaranya adalah sebagai berikut
(Kanski JJ, 2011) :
1. Red dots
Bintik kecil berwarna merah dengan diameter 15-60 mikron pada bagian posterior dan
merupakan tanda mikroaneurisma.

5
Gambar 4 ; Mikroaneurisme (Kanski JJ, 2011; AAO, 2014)
2. Dot and Flame Haemorrhages
Merupakan perdarahan retina, pada lapisan saraf dan intra retina.

Gambar 5; Perdarahan retina;


A. Histologi yang menunjukkan lapisan
darah difus di nerve layer dan sel
ganglion. B. Perdarahan pada lapisan
serabut saraf retina. C. Blot and dot
hemorhages yang dalam. D.
3. Edema retina Perdarahan yang dalam dan berwarna
gelap. (Kanski JJ, 2011)
Pada funduskopi nampak penebalan retina, akibat kebocoran cairan dari pembuluh darah retina.

Gambar 6; Gambaran ilustrasi dari edema


retina akibat gangguan permeabilitas
pembuluh darah dari blood retinal barrier
(Gregory L. Skuta, 2011)

4. Hard exudates
Lesi berwarna kuning dan waxy di segmen posterior yang biasanya mengelilingi
mikroaneurisme yang bocor, terdiri dari lipoprotein atau makrofag berisi lipid.

6
Gambar 7 ; Hard exudates (Kanski JJ, 2011)
5. Dilatasi Vena
Pada funduskopi nampak dilatasi vena, dapat berbentuk "looping", 'beading" atau
"sausage-like" segmentation. Gambaran vena ini berkorelasi kuat dengan perkembangan diabetik
retinopati proloferatif.

Gambar 8; Dilatasi Vena; A.


Looping, B. Beading dan C.
Severe "sausage-like"
segmentation.
6. Cotton wool spot (Kanski JJ, 2011)
Daerah retina dengan gambaran bercak berwarna putih pucat di mana debris
neuronal terakumulasi didalam nerve fibre layer.

Gambar 9; Gambaran klinis


dari Cotton wool spot. (Kanski
JJ, 2011)

7. Intraretinal Microvascular Abnormalities (IRMA)


IRMA merupakan arteriolar-venous shunt yang berjalan dari arteriolar ke venous. Sering
nampak sebagai daerah hipoperfusi.

Gambar 10 ; Gambaran
Klinik Intraretinal
Microvascular
Abnormalities (IRMA)
(Kanski JJ, 2011)

7
8. Neovaskularisasi
Terbentuknya pembuluh darah baru, dapat di diskus atau di mana saja.

Gambar 11:
Pembuluh darah
baru di diskus
optik dan didaerah
retina perifer.
(Kanski JJ, 2011)

Mikroaneurisma merupakan tanda awal retinopati diabetik dan terjadi akibat sekunder dari
outpouching dinding kapiler karena hilangnya perisit. Mikroaneurisma muncul sebagai red dots di
lapisan superfisial retina dan terdapat akumulasi fibrin serta sel darah merah dalam lumen
mikroaneurisma (Gregory L. Skuta, 2011, Kanski JJ, 2011).
Cotton-wool spots merupakan infark dari lapisan serabut saraf
retina yang terjadi akibat oklusi dari arteriol pre kapiler. Dengan
menggunakan fluorescein angiography, tampak tidak terdapat perfusi
kapiler. Cotton-wool spots sering dibatasi oleh mikroaneurisma (Kanski JJ, 2011).
Venous loops dan venous beading seringkali ditemukan dekat
dengan area non perfusi yang mencerminkan peningkatan iskemia retina.
Munculnya tanda ini merupakan prediktor yang paling signifikan terhadap
terjadinya progresi menjadi retinopati diabetik proliferatif (Kanski JJ, 2011).

F. Klasifikasi dan metode penilaian Retinopati Diabetik


Gold standard untuk mengklasifikasikan derajat retinopati diabetik adalah dengan menggunakan
pemeriksaan indirek funduskopi oleh seorang ophthalmologist berpengalaman maupun dengan
menggunakan fundus imaging (stereoscopic fundus photography) dengan dilatasi pupil (Huthchinson et
al., 2000).
Klasifikasi retinopati diabetik menurut ETDRS (Early Treatment Diabetic Retinopathy Study
Levels of Diabetic Retinopathy) adalah sebagai berikut:

8
a. Non Proliferative Diabetic Retinopathy (NPDR)
1. NPDR ringan / minimal (Mild non-proliferative diabetic retinopathy)
Terdapat ≥ 1 tanda berupa mikroaneurisma, perdarahan intraretina yang kecil atau
hard exudates.

Gambar 12; Mild non-


proliferative diabetic
retinopathy dengan
microaneurysms (ICO
2014)

2. NPDR sedang (Moderate non-proliferative diabetic retinopathy)


Terdapat ≥ 1 tanda berupa dilatasi vena derajat ringan pada 1 kuadran,
perdarahan, hard exudates, cotton wool spot, atau IRMA.

Gambar 13 ; Moderate
non-proliferative
diabetic retinopathy
dengan hemorrhages,
hard exudates dan
micro aneurysms (ICO
2014)

3. NPDR berat (Severe non proliferative diabetic retinopathy)


Terdapat ≥ 1 tanda berupa perdarahan intraretina
pada 4 kuadran retina atau dilatasi vena pada 2 kuadran atau
IRMA pada 1 kuadran.

Gambar 14 ; Severe non


proliferative diabetic
retinopathy dengan severe
diabetic macular edema
(ICO 2014)

9
Gambar 15 ; Severe non-proliferative diabetic retinopathy with venous loop and Severe non-
proliferative diabetic retinopathy with intra–retinal microvascular abnormality (IRMA)

4. NPDR sangat berat


Ditemukan ≥ 2 tanda pada retinopati NPDR berat berupa perdarahan intraretina pada 4
kuadran retina atau dilatasi vena pada 2 kuadran atau IRMA pada 1 kuadran.

b. Proliferative Diabetic Retinopathy (PDR)


1. Early PDR
- Ditemukan adanya neovaskular pada diskus (New Vessels on the Disc/ NVD) atau pada
tempat lain (New Vessels Elsewhere / NVE) namun tidak memenuhi kriteria high risk PDR.
2. High Risk PDR, apabila ditemukan:
- New Vessels on the Disc/ NVD) > 1/3 Disc area
- New Vessels on the Disc/ NVD) dengan perdarahan vitreus atau perdarahan pre retina
- New Vessels Elsewhere / NVE > 1/2 disc area dengan perdarahan vitreus atau perdarahan pre
retina

High Risk PDR juga dapat ditegakkan apabila ditemukan 3 atau 4 dari faktor risiko
sebagai berikut (Gregory L, et al., 2011) :
- Terdapat perdarahan vitreus atau pre-retinal hemorrhage
- Terdapat pembuluh darah baru di mana saja di retina
- Ditemukan pembuluh darah baru pada atau dekat diskus
optikus.
- Perkembangan / perluasan yang moderate / berat dari pembuluh darah baru.

10
3. Advance PDR
Advance PDR ditandai dengan adanya tractional retinal detachment, significant
persistent vitreous hemorrhages, dan neovacular glaucoma. Advance PDR juga dihubungkan
dengan peningkatan resiko penyakit cardiovaskular, stroke, diabetic retinopathy, amputasi dan
kematian.

Gambar 16 ; Proliferative diabetic


retinopathy with venous beading,
new vessels elsewhere (NVE) dan
severe diabetic macular edema
(ICO 2014)

Gambar 17 ; High risk


proliferative diabetic
retinopathy with new vessels at
the disc. (ICO 2014)

Gambar 18; High risk


proliferative diabetic
retinopathy. Pre-retinal
hemorrhage before with
new vessels on the disc.
(ICO 2014)

11
c. Edema makula yang bermakna secara klinis (terdapat 1 kriteria dari
beberapa kriteria berikut)
- Penebalan retina yang terletak kurang lebih 500 μm dari pusat
makula.
- Hard exudates yang terletak kurang lebih 500 μm dari pusat makula dengan penebalan
retina terdekat
- Daerah penebalan retina dengan area lebih dari 1 disc area jika terlokasi dalam radius 2 disc
diameter dari makula sentral. (Gregory L, et al., 2011)

Gambar 19 ; Ilustrasi CSME (Clinically Significant Macular Edema) berdasarkan kriteria EDTRS.
(Gregory L, et al., 2011)

12
Gambar 20 ; Moderate macular edema (ICO 2014)

G. Penatalaksanaan Retinopati Diabetik


Prinsip terapi dalam management retinopati diabetik adalah untuk memperlambat dan prevensi
dari komplikasi. Hal ini dapat dicapai dengan implementasi penanganan sistemik maupun lokal yang
dapat mempengaruhi onset dari NPDR dan progresi ke PDR. Seringkali, perubahan pola hidup dapat jauh
lebih efektif dibandingkan terapi lainnya. (Gregory L, et al., 2011)
Langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk mencapai prinsip terapi di atas adalah dengan
mencapai target glikemik kontrol (kadar HbA1c < 7%) untuk mengurangi risiko perkembangan dan
progresi retinopati diabetik, tekanan darah sistolik < 130 mmHg, kontrol profil lipid darah. (Australian
Diabetes Society, 2008)

Tabel 1; Ringkasan Rekomendasi Manajemen Retinopati Diabetik


(Australian Diabetes Society, 2008)

* Kadang-kadang (Usually): Terapi diberikan untuk pasien DM Tipe II, follow up yang buruk, kepatuhan
pasien, rencana operasi katarak, penyakit ginjal, kehamilan dan penyakit berat lainnya pada mata yang
satu.

13
Terapi pada CSME (Clinically Significant Macular Edema) meliputi: Focal/Grid laser, YAG laser,
Micropulse diode laser, intravitreal anti-VEGF agents, intravitreal triamcinolone, pars plana vitrectomy
dan lipid lowering drugs. Pada Advanced Diabetic eye diseases terapi berupa pars plana vitrektomi.

H. Komplikasi
Pada retinopati diabetik proliferatif, jaringan neovaskular yang timbul dapat mengalami
perubahan fibrosa menyebabkan traksi vitreoretina. Jika
traksi ini timbul dengan progresif atau apabila terjadi robekan retina maka
akan terjadi ablatio retina. Selain itu, penyakit mata diabetik lanjut dapat
pula disertai dengan komplikasi neovaskularisasi iris (rubeosis iridis) dan
glaukoma neovaskular. (Gregory L, et al., 2011)

I. Prognosis
Prognosis retinopati diabetik bergantung pada stadium penyakit
dan ketersediaan dari terapi yang dapat diberikan. Semakin cepat diagnosis dilakukan, terapi dapat
semakin cepat diberikan dan memperbaiki prognosis visual dari pasien. Pemeriksaan mata hendaknya
dilakukan segera saat ditegakkan diagnosis diabetes melitus tipe II.
Untuk memperoleh hasil terbaik, terapi yang optimal harus diberikan pada stadium awal dari
retinopati diabetik, dimana belum ada gejala yang dirasakan pasien, dan pasien dengan kategori ini
hanya dapat dideteksi dengan metode skrining yang sistematik.

J. Masalah Retinopati Diabetik di Indonesia


Di Indonesia, jumlah penderita diabetes melitus (DM) pada populasi penduduk
usia ≥ 15 tahun adalah sebesar 6,9 persen (RISKESDAS 2013) namun data pasti
mengenai prevalensi diabetik retinopati di Indonesia saat ini belumlah ada. Merujuk
data dari Wisconsin Epidemiologic Study of Diabetic Retinopathy (WESDR)
menemukan bahwa pasien DM tipe 1 memiliki prevalensi komplikasi: 71 % (Retinopati),
23% (Retinopati proliferatif), dan 11% (Macular edema), sementara pasien DM tipe 2
memiliki prevalensi komplikasi:47 % (Retinopati), 6% (Retinopati proliferatif), dan 8%
(Macular edema) (Kempen JH, 2004).

14
Data diatas jika dikombinasikan dengan jumlah populasi penderita diabetes
melitus yang sangat besar yang ada di Indonesia, akan menunjukkan potensi kebutaan
yang sangat tinggi akibat retinopati diabetik di Indonesia dan sebagian besar
diantaranya sangat sulit dipulihkan kebutaannya. Sebagai negara dengan kepadatan
penduduk keempat di dunia dan negara kepulauan terbesar di dunia, proses pendataan
dan skrining merupakan suatu hal yang menantang untuk dilakukan.

15

Anda mungkin juga menyukai