Dokumen - Tips - Serat Anglingdarma 1 PDF
Dokumen - Tips - Serat Anglingdarma 1 PDF
Dokumen - Tips - Serat Anglingdarma 1 PDF
Serat
ANGLINGDARMA
1
Alih Bahasa
SUJADI PRATOMO
Jakarta, 1981
Proyek Penerbitan Buku Sastra
Indonesia dan Daerah
PNRI
31. Mijil 171, 424
32. Durma 177, 432
33. Pangkur 182, 439
34. Dandanggula 185, 442
35. Durma 190, 449
36. Asmarandana 193, 454
37. Pangkur 197, 460
38. Kinanti 200, 463
PNRI
KATA PENDAHULUAN
PNRI
PNRI
1. ASMARANDANA
PNRI
7. Adapun nama julukan Sri Baginda ialah Maharaja Anglingdar-
ma, berwajah bagus tiada bercela dan memiliki kesaktian yang
luar biasa, Beliau memegang tampuk kekuasaan penuh wibawa,
mendapat restu dari kedua ayah-bunda serta neneknda yang
telah melakukan darma sebagai pertapa.
10. Semuanya karena jasa dan hasil peijuangan Patih Batik Ma-
drim. Yang memperoleh tambahan daerah jajahan dengan jalan
perang. Semua raja-raja takluk kepada Sang Baginda. Mereka
menyerahkan puteri-puterinya sebagai isteri yang dipertuan.
10
PNRI
14. Guru yang mendidik Sang Baginda bertempat tinggal di Rasa-
mala. Sebuah daerah pegunungan termashur. Dahulunya beliau
juga seorang raja yang setelah berusia lanjut bertapa dan ber-
gelar Begawan Maniksutraku. Kesaktiannya tidak ada ubahnya
dengan dewa.
16. Kerling matanya tajam dan sangat memikat hati menjadi buah
percakapan orang. Apabila kecantikannya digambarkan dengan
kata-kata, maka orang akan kesulitan menperoleh kata-kata
yang tepat. Ibarat kecantikan Dewi Ratih di Kahyangan tak
mampu mengimbangi kecantikan Sang Puteri.
20. Diceritakan bahwa Sang Puteri memiliki tabiat yang sulit di-
tebak. Karena selama menjadi permaisuri Baginda belum per-
nah duduk bercakap-cakap seperti biasa. Bahkan ia melarang
semua isteri dan simpanan wanita mendekati Sang Raja.
11
PNRI
masa haid. Sudah tiga bulan lamanya peristiwa itu berlangsung
hingga menyebabkan Sang Raja sangat berduka. Pagi hari Ba-
ginda duduk di balai penghadapan.
24. Tidak kecuali semua mantri, para demang, rangga dan ngabei,
berderet duduk di antara para keluarga dekat Baginda. Paling
depan duduk Arya Wijanarka di samping Raden Dayaningrat.
Keluarga Raja duduk berjajar dengan sesama keluarga.
12
PNRI
28. Yang telah dikenal oleh banyak orang di Pulau Jawa, bahwa
saya Raja yang berwibawa seperti bathara. Namun ada kurang-
nya ialah ditampik cintanya oleh wanita. Celaka sungguh nasib
saya karena selama saya mempunyai permaisuri belum pernah
tidur bersama dia.
29. Kehendak hati ingin marah dan mengajar yang benar, tetapi
hatiku tak sampai, mengingat dia sangat saya sayang. Ia anak
Sang Pendeta dan masih keluarga dekat saya, ialah puteri Be-
gawan Maniksutra sendiri." Sang Patih berdatang sembah.
Seyogyanya Paduka suka bersabar.
30. Karena telah sama-sama kita ketahui, bahwa wanita mempu-
nyai tabiat angkuh. Kita harus pandai melayani kehendaknya
sampai terkena hatinya. Pasti dia akan menuruti kehendak
Baginda. Apabila Baginda sampai hati memurkai permaisuri
sendiri, maka tidak patut tindakan itu bagi seorang Raja."
32. Gajah telah siaga, dengan alas beludru merah di atas punggung-
nya, bertepi kain suter kuning dengan umbai-umbai manis
di ekornya. Pada leher gajah itu tergantung untaian kalung
berhias emas berseling intan berlian, sinar intan itu sangat ce-
merlang.
34. Naik sudah Sang Baginda di atas gajah kerajaan. Raja Angling-
darma tampak seperti bukan manusia biasa, tetapi mirib de-
ngan dewa di suralaya yang bernama Bathara Cakra. Yang
13
PNRI
turun ke bumi untuk memerangj kejahatan yang dilakukan
oleh Raja Raksasa bernama Kawaca, seorang raja raksasa
di negeri Manikmantaka.
35. Semua bala tentara bertolak dari pusat negara dengan serentak
beijalan beriringan. Rapi dan bagus kelihatannya. Bermacam-
macam barisan melengkapi upacara. Barisan yang membawa
senjata berseragam merah tua. Bergerak-gerak dalam barisan
seperti bunga-bunga di dalam taman.
40. Tak terhitung jumlah binatang yang tewas, kerbau dan rusa
terkena oleh tombak. Malah-malah tangkai tombak Ki Arya
Wijanarka patah akibat serangan keras seekor babi hutan, De-
ngan tangan kosong dipukulnya hancur kepada binatang itu.
14
PNRI
41. Sangat senang Baginda menyaksikan keterampilan para pung-
gawa. Mereka berani-berani dan mahir menggunakan senjata.
Begitu juga peijurit yang menyaksikan tampak gembira, mere-
ka bersorak-sorak gemuruh tanda kegirangan.
15
PNRI
2. SINOM
16
PNRI
oleh sinar matahari, gemerlapan bagaikan kilat. Sementara itu
dari kejauhan tampak sudah gerbang masuk ke dalam kota.
10. Nagapratala adalah sahabat baik dan sangat erat dengan Sri Na-
ta; ia telah menjadi saudara seperguruan tidak beda dengan
saudara sekandung. Melihat kejadian itu sangat marahlah hati-
nya. Wahai Nagagini, kata di hati Sri Nata, bukan sepatutnya
kau berbuat serong dengan jenis ular tampar yang kecil.
17
PNRI
Sedang si ular kecil pun tidak tahu diri merasa bahwa sama-
sama dirinya besar. Baiklah kalian pasti celaka. Baginda me-
ngambil busur dengan anak-panahnya. Dipentangnya dan ter-
lepaslah anak-panah dari busur.
12. Kenalah ular tampar itu, tepat mengenai lehernya dan putus
kepalanya. Sedang Sang Nagagini terkena pucuk ekornya.
Ia terperanjat dan melihat ke arah datangnya panah. Tahulah
ia bahwa Raja Anglingdarma yang telah berbuat melepaskan
anak panah kepadanya. Cepat-cepat ia lari menembus barisan.
17. Hanya para keluarga dekat dan Patih Raja yang diperkenankan
turut serta masuk ke dalam taman. Melihat berbagai bunga-bu-
18
PNRI
nga Baginda sangat senang. Dipetiknya sekuntum untuk sun-
ting telinga. Kemudian beliau melihat wajah beliau di permu-
kaan air. Aku Raja muda lagi tampan, katanya dalam hati, ti-
dak sepatutnya ditolak oleh seorang perempuan.
18. Jika demikian halnya aku lebih baik mati, begitu cipta di
dalam hati Baginda. Maka dihiburnya hati yang gundah dengan
bercengkerama melihat bunga-bunga indah, seperti: Argula,
Nagasari, Tanjung, Sumarsana dan Bunga Tutur. Angin bertiup
melanda bunga hingga beijatuhan, menyebarkan bau harum.
Ada yang jatuh ke air tampak seperti buih yang terapung.
19
PNRI
3. DANDANGGULA
5. Dada Kutilang betina tadi terkena oleh anak panah dan mati-
lah ia seketika. Yang jantan terbang menjauh. Maka terdengar-
20
PNRI
lah oleh Sang Baginda suara seperti berikut, "Sungguh kejam
kau Baginda, membunuh orang sedang bercumbu. Kini istriku
mati karena panahmu. Kelak kau akan mendapat balasan se-
perti saya ialah ditinggal mati oleh permaisurimu."
21
PNRI
11. Ia adalah keturunan dari Maharaja Kalasrenggi, yang mati
terbunuh oleh Sang Dananjaya. Diceritakan bahwa Kalawerda-
ti bermaksud hendak membalas hukum terhadap anak ketu-
runan Dananjaya. Ia bertiwikrama mengubah dirinya menjadi
seorang puteri yang cantik jelita. Lengkap dengan pengawalnya
sebanyak empat puluh orang. Bertolaklah mereka ke negeri
Malawa. Didapatinya bahwa Baginda sedang bercengkerama.
Hal yang diharapkan.
12. Raja raksasa telah tahu di mana Baginda berada dan iapun me-
nuju ke taman untuk membunuh Baginda secara diam-diam.
Dipilihnya waktu tengah malam, Batik Madrim, Patih Seri Ba-
ginda Anglingdarma merasa gelisah di dalam hati. Bertanya ia
kepada diri sendiri mengapa sepanjang sore hari hatinya merasa
tidak enak dan rusuh. Ia turun ke halaman taman.
22
PNRI
mulut ke mulut, bahwa Raja Anglingdarma tidak lain adalah
keturunan Aijuna.
23
PNRI
21. Akhirnya Sang Kalawerdati ganti diserang oleh Madrim, Di-
pukul remuk mukanya pecah mengeluarkan darah merah.
Matilah raja raksasa itu. Pengawalnya sebanyak empat puluh
maju bersama hendak mengeroyok Sang Patih. Mereka me-
ngepung Madrim dari segala jurusan hingga membuat Sang
Patih terkejut. Berkatalah Madrim kepada empat puluh raksasa
yang dengan gigih mengerubutinya,
24
PNRI
26. Tidak seorang pun punggawa yang pulang ke rumah sementara
itu Baginda telah sampai di Balai tempat mengadakan pertemu-
an. Beliau turun dari gajah kenaikannya. Diceritakan bahwa
permaisuri raja yang bernama Dewi Setia tengah duduk di da-
lam ruang dalam yang khusus untuk permaisuri raja.
Sang putri dikelilingi oleh banyak dayang-dayang. Ketuanya
bernama Niken Inya Mandhala. Ia selalu duduk menghadap
di dekat Sang Puteri. Berkatalah Sang Puteri,
28. Saya menyadari sudah bahwa Baginda adalah suami saya. Men-
dengar itu Inya Mandhala sangat gembira, ia menyembah me-
nyampaikan berita tentang kedatangan Baginda yang baru saja
turun dari gajah. Seyogyanya Sang Puteri menjemput Baginda
di pintu gerbang masuk. Sang Puteri menerima saran permo-
honan Niken Inya. Dalam pada itu Baginda telah tiba di depan
pintu gerbang dielu-elukan oleh hamba sahaya yang memenuhi
halaman di luar istana. Permaisuri siap menjemputnya di depan
pintu.
25
PNRI
Hati Baginda sangat senang, permaisuri dicium berulang-ulang
sambil mengatakan kata-kata yang manis. Tak lama kemudian
Sang Puteri dibawanya menuju ke tempat peraduan. Dan bu-
barlah semua dayang-dayang mundur dari pesebaan ke tempat
masing-masing.
26
PNRI
4. DURMA
27
PNRI
6. Jika begitu halnya kakanda lebih berat cintanya kepada Ang-
lingdarma. Apa gunanya mempunyai isteri? Sang Nagapratala
mendengar jelas kata-kata isterinya. Ia tersentak dan terasa sa-
kit di hati, mengingat selama ini isterinya belum pernah ber-
buat tidak baik.
28
PNRI
dengan orang-orang beijaga. Memang para peijurit telah men-
jalankan perintah Patih Batik Madrim.
13. Para peijurit dan para nayaka semuanya beijaga-jaga, siap de-
ngan peralatan perang. Demikian perintah Sang Patih, "Wahai
para penggawa, kalian semua harus siap siaga dan berhati-hati.
Jangan sampai ada seorang pun yang lalai. Ketahuilah olehmu
bahwa Nagapratala itu sangat sakti."
29
PNRI
19. Tersebutlah Baginda sedang memadu kasih dan berada di
dalam tempat peraduan bersama-sama dengan Dewi Setia. Ke-
duanya duduk-duduk membicarakan sesuatu. Berdatanglah
sembah Sang Puteri dengan lemah-lembut.
20. Paduka Sri Baginda, sesungguhnya rasa hati hamba selalu ce-
mas. K arena sedatang Paduka dari cengkerama seolah'-olah ter-
belenggu oleh rasa duka. Hamba takut kalau-kalau telah ber-
buat khilaf. Melampaui batas-batas yang boleh dilakukan oleh
seorang wanita.
21. Hamba berasal dari gunung, banyak yang hamba ketahui de-
ngan baik sehingga membuat hati hamba selalu was-was jangan-
jangan hambamu telah berbuat salah. Mohon paduka sudi
memberi petunjuk bagaimana seharusnya hamba harus keija-
kan, mengingat hamba dilahirkan di daerah pegunungan.
23. Saya bermaksud mandi di dalam Taman, jika malam telah da-
tang. Tiba-tiba para peijurit gaduh melihat sesuatu yang aneh.
Seekor ular naga besar telah memadu kasih di dalam taman
bunga. Besar naga itu bukan kepalang, membuat terheran-
heran semua yang menyaksikan.
24. Yang jantan adalah jenis Ular Tampar, hanya satu ranting be-
samya. Meskipun mendapat ejekan dan disoraki oleh para per-
jurit, bahkan ada yang melempar dia supaya pergi, namun ke-
duanya tak menghiraukan, enak memadu kasih. Perjuritku
ketakutan. setelah aku melihat, ternyata Nagagini yang ber-
buat.
30
PNRI
jang saja apa yang ada di dekatnya tidak memperdulikan se-
suatu dan tak mau mendengarkan seruanku agar kembali.."
26. Sang Puteri nyela kata, "Paduka telah keliru bertindak, meng-
halang-halangi orang yang tengah berpadu kasih." Dijawab oleh
Sang Raja, "Memang benar kata-katamu itu sayang. Tetapi
hendaknya kau ketahui, bahwa Si naga betina, tidak lain ada-
lah Nagagini.
27. Isteri dari naga besar Nagapratala. Dia telah menjadi sahabat
karibku, kuangkat menjadi saudaraku tua. Tidak lagi membe-
dakan pangkat dan kedudukan, seperti saudara sendiri. Bagai-
mana bila kuberdiam diri menyaksikan isterinya berbuat se-
rong dengan ular kecil?
28. Dan jika aku tak berani menghukum kepada si ular Tampar,
apa kata orang terhadap diriku? Belum terhadap ular besar,
sedang terhadap ular kecil saja aku tidak berani bertindak.
Apalagi terhadap ular lain yang berkehendak serong terhadap
isteri sahabatku.
31
PNRI
5. MIJIL
32
PNRI
7. Wahai adinda Raja, demikian seru Nagapratala. Harap adinda
keluar sebentar barang sejenak saja. Suara berulang-ulang di-
ucapkan oleh ular besar itu sehingga membuat Sang Raja ter-
kejut. Tak salah itulah suara Nagapratala.
10. Dia tentu tak akan memeriksa benar tidaknya, sebab tidak
sembarang orang memiliki nalar dan lebih dulu mengadakan
pemeriksaan." Sang Raja menjawab, "Janganlah adinda berpi-
. kir demikian. Oleh karena Nagapratala adalah sahabatku sen-
diri.
33
PNRI
14. Tangan permaisuri dikesampingkan dan cepat menghindar
pergi. Di luar gedung bertemu Baginda dengan sahabatnya.
Ular naga itu merapatkan tubuhnya seolah-olah memangku
Sang Raja. Tampak keduanya saling menyayangi, Nagaraja
berkata,
34
PNRI
kepada sanak keluarga yang lain, itulah pesanku sungguh-
sungguh. Sebab jika adinda sampai mengajarkannya kepada
orang lain. Akibatnya tidak baik, aku akan menemui ajalku."
24. Sang Raja tak menolak ajakan Sang Naga, segera tubuhnya
mendekat dan dinaikkan ke atas punggung Sang Ular Besar.
Nagapratala menuju ke luar istana. Cepat jalannya bagaikan
bintang beralih.
25. Hanya sebentar mereka telah tiba di tengah hutan. Maka ber-
katalah Sang Naga kepada Baginda, "Marilah adinda turun
dari punggung, kita telah sampai di tengah hutan. Jauh dari
Utara dan Selatan, tiada makhluk lain yang tahu.
35
PNRI
6. ASMARANDANA
36
PNRI
sendiri. Ia berada di dalam istana dan mengira bahwa Nagapra-
tala telah membunuh diriku. Di dalam hutan. Kupinta kepada
Dewa Agung, semoga permaisuriku tidak membunuh dirinya
sendiri dengan keris.
37
PNRI
13. Baiklah Inya Mandala, saut Puteri. sekarang telah pukul bera-
pa? Dijawab, bahwa hari telah rembang petang. Maka diajak
lah Sang Puteri menghibur hati, menuju ke Pintu Selatan.
Mungkin Baginda sebentar lagi tiba, semua telah siap untuk
menyongsongnya.
14. Dengan perasaan semakin duka Sang Puteri beserta para da-
yang-dayang pergi menuju ke Pintu Selatan. Jalannya bergon-
tai, tidak bergairah, karena rasa hati yang sangat gundah. Tak
henti para dayang-dayang menjaga jangan sampai Sang Puteri
terjatuh hampir semuanya tidak dapat menahan jatuhnya air
mata.
17. Semua yang berada di dalam puri tergerak rasa sedih yang
mendalam mendengar kata-kata Sang Puteri. Mereka bergu-
mam satu sama lain membicarakan yang sedang di rundung
duka. Tiba-tiba Sang Baginda muncul berjalan ke arah pintu
sambil memegang ujung kainnya, bagaikan Hyang Asmara.
18. Dewa Asmara yang tengah mencari Dewi Ratih. Begitu ke-
adaan Maharaja Anglingdarma, tampak parasnya bercahaya
seperti bulan yang sedang purnama. Tampan dan menarik.
Baginda sangat terkejut melihat permaisuri berada di pintu
dikerumuni oleh semua isi puri.
38
PNRI
Raja sendiri yang datang. Pandangan keduanya bertemu, saling
berdebar-debar ibarat piling jatuh ke atas batu, pecah ber-
keping-keping.
20. Gemetar lunglai rasa tubuh keduanya, tak kuat untuk berdiri
maka larilah cepat-cepat Sang Puteri seraya membuang sen-
jata. Menunduk dan mencium kaki Sang Baginda sambil men-
cucurkan air mata. Ratapnya mengundang belas kasih, "Wahai
Tuan Sembahan hamba.
22. Sekiranya Baginda tidak kembali pada hari ini, maka semua
penghuni keputrian telah siap membela Paduka. Tidak kecuali
semua babu dan inya. Tak seorang pun yang ingin ditinggal
hidup sendiri.
39
PNRI
dengar kata-kata semut Baginda tersenyum sendiri tak meng-
hiraukan pandangan Sang Puteri. Bertanya Puteri kepada Ba-
ginda mengapa tersenyum tanpa sebab, adakah sesuatu yang
luar biasa? Maka menjawablah Sang Raja Anglingdarma,
27. Aku tersenyum sayang, demikian kata Sang Raja, teringat pe-
ristiwa yang terjadi di dalam hutan. Aku dengan Nagapratala
berkeliling di dalam hutan. Melihat berbagai macam pohon-
pohonan. Kami tidak tahu kegunaan pohon-pohon itu barang
sedikit saja.
29. Hidangan pun disajikan untuk dahar Sang Raja bersama per-
maisuri. Semuanya merasa gembira, demikian juga isteri-isteri
Baginda yang lain. Melimpah banyaknya hidangan tanda rasa
senang karena Sang Raja telah kembali selamat. Tidak seorang
pun merasa susah.
30. Sementara itu terdengar suara gamelan yang merdu, yang di-
pukul para penabuh di ruang pendapa. Mengiringi dua barisan
bedaya penari istana. Sampai selesai menghibur Sang Baginda.
Maka permaisuri dibawa Sang Raja ke peraduan.
31. Nyi Inya menutup kain tirai dan membiarkan Sang Raja ber-
dua memadu cinta. Terdengar rayuan Sang Raja terhadap Sang
Puteri, ibarat kumbang mencium bunga guna memperoleh ma-
dunya. Banyak dayang-dayang yang tergiur hatinya mende-
ngarkan, yang tidak tahan segera keluar meninggalkan ruangan.
40
PNRI
7. MIJIL
6. Diceritakan pada waktu itu terdapat dua ekor cicak yang ber-
ada di langit-langit. Putih warna kulitnya. Yang jantan ber-
nama Ki Srepana, yang betina bernama Ni Srepani. Keduanya
berada di dalam ruangan peraduan Sri Baginda.
41
PNRI
7. Berkatalah Ki Srepana kepada betinanya, "Marilah isteriku,
kita memadukasih sebentar. Aku ingin sekali menirukan ulah
Baginda." Betinanya menolak tidak mau menuruti kehendak
hati sang jantan. datum keadaan hamil tua.
42
PNRI
hatinya marah. Dikiranya pasti Sang Raja tidak puas oleh la-
yanan yang telah diberikan.
14. Segera Sang Puteri bangun dan duduk dengan wajah cemberut.
Ia berdatang sembah katanya, "Mengapa Baginda tersenyum
di kulum sehabis mencumbu diri saya? Apakah tidak sela-
yaknya Baginda telah tidur bersama dengan hamba?
15. Hamba akui bahwa hamba adalah anak kelahiran gunung yang
diperisteri oleh Baginda. Jadinya membuat repot orang saja ti-
dak patut untuk menjadi isteri seorang raja. Sekiranya hamba
tidak layak untuk menjadi abdi raja, sebaiknya Tuan pulang-
kan kembali ke gurfung.
16. Bukankah banyak jumlahnya isteri Paduka Raja, yang ter-
diri dari puteri-puteri pilihan. Sedang hamba sendiri perem-
puan dari keturunan rendah." Berkatalah Sang Baginda dengan
manis, "Wahai adik intan juwitaku. Ketahuilah.
17. Biarpun banyak jumlah wanita yang berparas cantik, puteri-
puteri raja di sekitar. Tidak seorang pun yang menyamai
adinda sayang. Kuibaratkan sekuntum bunga untuk sumping
di telinga kakanda. Pantas dan kuhormati selalu.
18. Aku akan senantiasa setia terhadapmu, sampai akhir hayatku.
Menjelmalah sampai tujuh keturunan, penjelmaanku selalu
akan mempersuntingmu. Aku tak takut membelinya dengan
nyawa, demi untuk tetap berada di sampingmu.
43
PNRI
21. Sekiranya adinda kurang percaya terhadap cerita kakanda,
mari kutunjukkan ekor yang putus itu, ia bergerak-gerak di
dekat bantal saya. Melihat sepotong ekor yang bergerak-
gerak di samping bantal sang suami, Sang Puteri pun turut
tersenyum. Dengan rendah hati ia berkata sendiri,
23. Yang menurunkan ilmu Satwa itu kepada kakanda, tidak lain
adalah kakak Nagapratala. Ialah guru kakanda." Maka Sang
Putri berkata lebih lanjut, "Hanyalah kepada Baginda seorang
tempat patik berlindung dan mengabdikan diri patik, sampai
kelak hambamu meninggalkan dunia ini.
24. Tak ada pilihan lain sesungguhnya hanya Baginda yang akan
memiliki hamba untuk selama-lamanya. Akan tetapi perkenan-
kanlah hamba juga mengetahui aji Baginda yang mampu me-
ngetahui bahasa-bahasa segala yang hidup di dunia ini."
44
PNRI
28. Yaitu ilmu Janurwenda, yang sangat besar manfaatnya. Karena
meniru dan mengambil ilmu dari Sang Dyah Srikandi yang
terkenal mahir memanah dan menggunakan bedil. Puteri dari
Cempala tersebut sangat mahir memanah. Itulah guna ilmu
Janurwenda yang akan kuberikan kepadamu.
30. Tak ada keinginanku untuk bermain senjata. Aku tidak men-
jadi peijurit, apa gunanya menerima ilmu Janurwenda. Jangan
disamakan dengan isteri Sarageni hambamu ini. Adapun yang
aku inginkan adalah ilmu yang Baginda miliki itu.
32. Kini ternyata tidak benar dan tidak secara tulus memberikan
segala kasih sayangnya." Berkatalah Sang Baginda," Duhai
juitaku. Apakan buktinya bahwa kakanda tidak mencintaimu
setulus hati?" Maka berkatalah Sang Puteri,
45
PNRI
35. Besar guna dan manfaat aji yang akan kuberikan kepadamu.
Jika kau ingin bepergian jauh, kau dapat menjelma menjadi
apa yang kauinginkan, baik besar maupun kecil. Itulah se-
baiknya kau miliki aji yang utama. Marilah adinda sayang
kuturunkan aji itu kepadamu."
36. Dewi Setiawati menolak keras dan tidak mau menerima aji
utama yang akan diturunkan oleh Baginda. Ia hanya minta
aji Suleman untuk diturunkan kepadanya. Demikianlah di-
ceritakan Sang Puteri senantiasa minta kepada Baginda selama
tujuh hari, namun Baginda tetap memegang janjinya.
46
PNRI
8. SINOM
47
PNRI
Baginda memanggil datang Patih Baginda. Untuk Baginda
perintahkan agar membuat gunung api di tengah alun-alun,
Telah menjadi tabiat Raja Sakti, tak mengingkari kata yang
terucapkan, telah diperhitungkan segala sesuatunya dengan
cermat."
6. Percakapan itu didengar oleh Nyi Inya Mandala, apa yang di-
titahkan Sri Baginda, maka semuanya menangis meraung-
raung, meratapi diri Sang Raja. Demikian juga para dayang-
dayang, turut menangis keras setelah mendengar peristiwa-
nya. Tak menentu rasa di hati, semua penghuni istana tak
terkendali tangisnya bagaikan suara guruh sambung-menyam-
bung.
48
PNRI
Patih keheran-heranan, "Paduka sudilah menjelaskan perin-
tah Paduka, hamba belum dapat menangkap. Paduka meng-
hendaki adanya perapian besar lengkap dengan panggung.
Siapa yang akan masuk ke dalam api itu?" Bersabdalah Raja
Anglingdarma,
13. Banyak lagi saran dan permintaan Sang Patih Batik Madrim
kepada Puteri Raja untuk menangguhkan kehendaknya.
Namun Sang Kesuma menjawab dengan lantang, "Diamlah
kau Patih janganlah banyak bicara. Bila tidak kaukeijakan
perintah Baginda. Aku lebih baik mati dengan jalan yang lain.
49
PNRI
16. Hamba bukan pewaris mahkota, akibatnya mengundang baha-
ya besar jika hambamu diangkat sebagai Raja. "Baginda me-
nyambung, "Bukankah kau keluargaku sendiri? Lagi pula se-
perguruan dengan diriku. Kukira kau kuat melaksanakan
dan dijauhi bahaya. Maka terimalah tugas ini dengan baik."
Semakin keraslah tangis Sang Patih didesak oleh perasaan
duka.
50
PNRI
mantri, "Permaisuri bersikeras untuk dibuatkan gunung api.
Baginda tidak mampu mencegah dan aku pun dibentaknya,"
22. Marilah kita sampaikan hal itu kepada Raja untuk mencegah-
teijadinya maut yang sia-sia. Banyak wanita yang lain yang
lebih cantik dan pandai, puteri raja yang pantas untuk dijadi-
kan penggantinya. Kita lamar puteri itu untuk Sri Baginda.
Dan kita perangi mereka jika berani menolak lamaran Raja,
kita hancurkan negaranya.
51
PNRI
9. DANDANGGULA
1. Bila Baginda tak mau mendengarkan saran yang baik, kita re-
but saja bersama-sama. Baik para peijurit, maupun para ke-
luarga Raja sendiri harus ikut serta merebut Sang Baginda.
Mencegah teijadinya rencana membakar diri. Khusus Sang
Raja saja yang kita rebut." Ki Patih Madrim membenarkan sa-
ran-saran tersebut, tetapi tidak berani berbuat lebih lanjut.
3. Para Bupati tidak mampu pula menahan deras air mata yang
bercucuran, tidak terkecuali para keluarga yang mendengar
penegasan itu. Batik Madrin melanjutkan perintahnya, "Mari
janganlah kalian terus-terusan menangis, tidak patut dilihat.
Jangan lagi membicarakan soal ini. Kita serahkan kepada ke-
hendak Dewata. Bekerjalah dengan cepat-cepat agar panggung
segera terwujud.
52
PNRI
awali upacara membakar diri. Tak lupa mengenakan pakaian
kebesaran Raja lengkap dengan wangi-wangiannya. Beran-
ting-anting dan berjamang terbuat dari emas. Bertutup lem-
baran emas di atas perut, berkilau-kilau cahayanya. Celananya
putih bersalut benang keemasan. Ikat pinggangnya berupa
kain gringsing, tampak sangat anggun dan bersinar-sinar.
53
PNRI
10. Panggung telah disiapkan dengan baik, bertangga naik tiga
tingkat. Sang Raja pun naik ke atas panggung melalui tangga
bersama-sama Sang Permaisuri. Panggung itu dikelilingi oleh
pagar yang terjadi dari daun-daun kelapa muda, berwarna ku-
ning. Sang Puteri berkata, "Apakah yang kita tunggu lagi?
Mengapa gunung api tidak segera disulut?"
54
PNRI
demikian juga Kawah Candradimuka bergumpal-gumpal me-
ngeluarkan suara keras, bayu-bajra menyerang bertubi-tubi
kuatnya, sehingga menyebabkan pohon-pohon besar tumbang
atau patah cabangnya maupun terbelah batangnya. Sedang
Kayu Dewandaru tak kecuali, patah terpenggal batangnya
oleh tiupan angin. Banyak Dewa berlari-larian karena bumi
Suralaya berguncang oleh gempa.
55
PNRI
20. Begitulah perintah Sang Bathara Guru kepada Narada dan In-
dra. Keduanya mohon diri bersama-sama pergi turun ke bumi.
Kembali diceritakan Raja Anglingdarma dan permaisurinya.
Permaisuri mendesak kepada Sang Raja agar supaya segera ma-
suk ke dalam perapian. Apa lagi yang masih kita tunggu?
begitu desak Sang Permaisuri.
22. Cepat-cepat Sang Dyah ingin teijun ke bawah dan masuk api
yang berkobar-kobar. Namun Sang Raja tidak melepaskannya.
semakin erat permaisuri dipeluk pinggangnya. Seraya berkata,
"Tunggulah sebentar sayang. Sebaiknya kau ingat-ingat pesan
ayahanda Wiku bagaimana seorang yang akan meninggal
dunia harus berbuat. Jangan sampai keliru yang diucapkan
Itulah maka saya terhenti, bukan karena takut mati.
56
PNRI
tiga menuju panggung. Mengapa orang-orang yang hadir
menahan tangis, berlinang-linang airmatanya?" Menjawablah
kambing jantan, "Ketahuilah, bahwa permaisuri Sang Raja
ingin bunuh diri masuk ke dalam gunung api itu." "Mengapa
ia berbuat begitu?" sela kambing betina.
28. "Aku telah tahu kebiasaan semua betina, kurang tepat menge-
tahui yang benar dan yang saiah. Yang bukan-bukan selalu di-
mintanya. Bagaimana kau kehendaki janur itu? Itu milik Sang
Raja lagi pula untuk keperluan upacara. Aku tidak berani
mengambilnya. Silakan makan makanan yang lain, jangan kau
perturut bisikan setan. Jangan berbicara yang tidak-tidak,
lebih baik jika kita makan rumput dan daun-daunan."
57
PNRI
30. Mengikuti dan menurut saja apa permintaan perempuan bukan
tabiatku. Tidak seperti Raja Anglingdarma, raja besar tetapi
nista, menurut saja kehendak isterinya. Akibatnya diri sendiri
yang mendapat bahaya." Kambing betina berkata, "Jika begitu
tinggal selamat kau, aku akan masuk ke dalam api." Dijawab
oleh si jantan, "Ya silakan masuk dengan segera.
31. Biar tubuhmu meletus dimakan api peduli apa dengan kau. Se-
olah-olah aku tidak diterima oleh betina yang lain," Maka
kambing betina itu pun masuk ke dalam api. Dilihat oleh jan-
tannya dengan rasa senang, terlontar ucapan si jantan, Nah
kau rasakan akibatnya, tubuhmu hancur dimakan api
Semua percakapan dan akhir peristiwa kedua kambing itu di-
ketahui oleh Raja Anglingdarma dari atas panggung.
58
PNRI
10. MIJIL
59
PNRI
akan merasa bahagia bila menemui ajal dalam menjalankan
perintah Sang Raja. Meskipun harus hancur hamba dan ber-
campur tanah, hamba tak akan mengelak perintah Baginda."
10. Lagi pula semua bupati dan keluarga dekat yang mencintai
diri saya, agar bersama-sama menjaga diri saya di sekeliling
panggung. Selama empat puluh hari lamanya. Aku tidak akan
pulang ke istana.
12. Abu dan jenazah Sang Retna dibawa ke Candi yang telah
selesai dibuat. Kembali kita menceritakan keadaan Sang
Raja, yang masih berada di panggung tujuh hari lamanya.
Baginda lupa minum, bersantap maupun beradu. Hatinya ter-
ingat selalu.
13. Tak ada yang dikenang di hati selain Sang Permaisuri, deras
mengalir air matanya jika memikirkan Dewi Ambara. Baginda
kerap kali mengesah dan merintih sedih, "Aduh Pujaanku
seorang, mengapa aku kautinggalkan sendiri.
14. Aku sama sekali tak mempunyai keinginan kawin lagi. Kecuali
dengan yang telah meninggal. Ingin aku menghamba seterus-
nya. Tak mencintai yang lain kecuali dikau saja. Biar aku ka-
win sepuluh ribu kali, kau sendiri yang paling unggul."
60
PNRI
15. Kita tinggalkan yang sedang dirundung rindu Sang Raja
Anglingdarma di atas panggung. Lupa diri tak henti-henti
mohon petunjuk kepada Dewa. Diceritakan keadaan di kahya-
ngan Suranadi, tempat yang dilindungi rahasianya oleh Dewa
yang Agung.
16. Bidadari bernama Dewi Uma dan Dewi Ratih sedang duduk
berdua. Dihadap oleh semua dayang-dayang Suranadi. Berkata-
lah Dewi Uma, "Adikku Ratih. Aku mendengar berita dari
madyapada tentang seorang raja di Malawapati.
20. Aku ingin mencoba keteguhan hati raja yang paksa luhur, dan
yang sangat cinta terhadap isterinya. Aku akan berbuat se-
perti mendiang isterinya itu." Ratih menyetujui kehendak
Dewi Uma, dan menawarkan diri untuk menggoda lebih da-
hulu.
21. Tetapi Dewi Uma menjawab manis, "sebaiknya saya saja dahu-
lu jika aku mendapat kesulitan kau pasti kuajak untuk menyer-
tainya." Demikianlah Sang Ratih tidak keberatan atas kehen-
dak Dewi Uma dan mempersilakannya m e l a k s a n a k a n
kehendaknya menuju ke tempat Raja Anglingdarma.
61
PNRI
22. Sekejap saja Dewi Uma terbang ke bumi dan tibalah ia di
tempat Sang Raja. Baginda masih bertahan tidak makan dan
tidak tidur. Melihat itu Dewi Uma tersenyum, diperhatikannya
sikap duduk Sri Nata yang tenang dan merunduk sepenuh
hati.
23. Tak tahu Baginda akan kedatangan Sang Dewi karena tengge-
lam dalam ketenangan dan kebulatan ciptanya. Berkatalah
Dewi Uma perlahan-lahan, "Wahai Sri Bupati sembahanku.
Dayang-dayangmu menghadap, sapalah dia dengan kata-kata.
29. Sang Hyang Uma kembali minta belas kasih kepada Baginda.
62
PNRI
Ia berkata seraya tersenyum-senyum dan penuh sopan-santun
merendahkan dirinya, "Wahai Sang Aji jangan Baginda ber-
kata demikian kepada hambamu. Hamba sungguh-sungguh
mohon sedikit belas kasih Paduka.
33. "Besok di kemudian hari aku baru bersedia kawin jika kute-
mukan titisannya." Dewi Uma pun menyela, "Jika demikian
halnya hamba mohon pamit kembali ke Suranadi." Maka ter-
banglah Dewi Uma meninggalkan panggung.
63
PNRI
37. Dewi Ratih tak kuasa menahan senyum, katanya, "betulkah
cerita kakanda itu? Apakah dia benar-benar sangat bagus?"
Yang ditanya menjawab segera," Sungguh bagusnya luar biasa,
di seluruh Tanah Jawa dialah paling atas."
38. Maka dyah Ratih pun mengutarakan rencananya, "Oleh
karena Sang Raja hanya mengharap kedatangan kembali per-
maisuri, maka adinda akan mengubah warna adinda seperti
wajah Setiawati." Dewi Uma sangat setuju, ujarnya,
39. "Baik sekali adinda, kau tiru wajah Setiawati yang mirib de-
ngan pakaiannya sekali. Dan jangan sampai ketahuan cara
mu menggoda dia. Saya akan kembali ke sana menyerta
adinda dengan menyamar sebagai seorang nenek-nenek."
64
PNRI
11. KINANTI
65
PNRI
7. "Baiklah nek segeralah nenek panggil dan bawa kemari dan
akan kutunggu kedatangannya." Bidadari yang mengubah diri
menjadi nenek tua keluar untuk mendapatkan Dewi Ratih.
"Cepat-cepat Ratih," katanya, "Masuklah ke dalam panggung.
66
PNRI
lah bidadari itu keras-keras, "Wahai Sang Raja. Lihatlah diriku
baik-baik. Tidaklah tampak oleh Baginda siapakah saya. Me-
ngapa ingin memeluk diriku? Sebaiknya Sang Raja cuci muka
yang bersih iebih dahulu.
15. Kata Baginda tadi tidak akan kawin lagi. Itu tidak betul, ter-
kutuk oleh Dewa Agung, akibatnya celaka menimpa Baginda
Raja. Sebelumnya telah dicoba lebih dulu sampai seberapa
jauh keteguhan hati Raja. Sesungguhnya tidak ada orang yang
mati bisa kembali lagi."
67
PNRI
21. Sedang istananya yang bagus tiada tampak lagi. Tertutup oleh
pemandangan yang lain, ialah semak belukar. Ingatlah Baginda
bahwa Dewa telah mencoba keteguhan hatinya. Maka berkata-
lah di dalam hati, "Kiranya telah dikehendaki oleh Dewa
Agung, bahwa negaraku berubah menjadi hutan sepeninggal
bidadari.
68
PNRI
12. PANGKUR
69
PNRI
6. Digamitnya Si Nenek oleh Baginda hingga terkejut, berkatalah
ia, "Siapa yang menggamit tangan saya ini? Tak mungkin ada
orang yang datang kemari. Apakah dia itu jin atau setan pen-
jaga hutan? Di sini tidak ada lagi menusia yang hidup, semua-
nya telah mati."
11. Ia merasa diberi hidup oleh Sri Baginda, karena kini dapat
melihat kembali dan mampu mendengarkan orang-orang ber-
bicara. Tak terhingga rasa terima kasihnya kepada Sang Raja.
Apakah gerangan yang harus hamba perbuat untuk membalas
Baginda Raja? Permohonan hamba hanyalah satu saja.
70
PNRI
12. Semoga Dewa mengabulkan permohonan hamba. Baginda te-
tap menjadi Raja Besar yang memerintah seluruh Tanah Jawa
ini. Lestari hendaknya sampai kepada anak cucu dan cicit
keturunan Baginda di kemudian hari. Tidak ada orang lain
yang menggantikannya. Maka berkatalah Sang Baginda,
13. "Baik nenek pujimu terhadap Dewa Agung saya terima, Dewa-
lah yang mengatur segalanya. Kini aku hendak bertanya ke-
padamu negara mana kota ini? Mengapa keadaannya sunyi
senyap tiada penghuninya seorang pun?" Maka nenek me-
nyembah dengan khidmatnya, katanya,
71
PNRI
18.Ketiga puteri Raja tersebut berparas cantik." Sambil terse-
nyum Baginda berkata, "Saya ingin melihat mereka nenek.
Menyaksikan kecantikan Puteri ketiganya." Mendengar itu
Nenek tua menyembah, "Baginda jangan sekali-kali masuk ke
dalam kedaton, kalau-kalau Tuan mendapat bahaya.
23. Benar juga apa yang diceritakan oleh nenek Tua. Sangat baik
dan bagus pengaturan pura ini. Sementara itu matahari hampir
silam di langit sebelah barat, cahyanya dipantulkan oleh mega
di atas daun-daunan. Baginda sangat senang melihat peman-
dangan yang indah, bunga-bungaan yang teratur baik dan
daun-daunannya yang lebat.
72
PNRI
13. SINOM
73
PNRI
manis di atas pipi yang berbedak tipis. Berkatalah Baginda da-
lam hati, "Benar-benar cantik puteri Si Raja Raksasa ini.
Sayang makanannya daging manusia." Sekonyong-konyong
berhembuslah angin dari halaman meniup ke dalam pura.
74
PNRI
Tuan pertama kali. Kemana gerangan tujuan Tuan, serta siapa-
kah nama Tuan. Dari manakah asal negara tempat tinggal
Tuan?"
15. Ingin saya tonjok hatinya, pasti tidak akan luput. Kerisku
yang kunamai Lalijiwa tidak biasa membuat orang yang ter-
kena mati, namun bisanya sangat mujarab, dapat membeng-
kakkan perut besar. Aku sebaliknya ingin mengetahui nama-
mu anak manis, demikian juga nama adik-adikmu yang tinggal
di sini."
75
PNRI
16. Tersenyum lagi Ken Retna, wajahnya kelihatan manis, alisnya
tertarik ke atas, katanya, "Adik saya yang kedua bernama
Wiyati, ada pun yang bungsu bernama Witarsih. Masing-
masing memiliki ruang tinggal dan mengatur rumahnya sendiri.
Bolehkah saya mengajukan pertanyaan kepada Baginda? Ke-
manakah sesungguhnya tujuan perjalanan Sang Nata sekarang?
21. Suara itu terdengar oleh kakaknya. Tahu dia bahwa adiknya
berada di halaman rumah. Ia harus ditemui di luar, sementara
76
PNRI
tamunya masih tidur di dalam rumah. Keluarlah ia segera men-
dapatkan adiknya kemudian diajaknya si adik duduk-duduk
di tengah pendapat, ruang menerima tamu.
24. Apa pun dalih saya pasti ketahuan, begitu pikirnya. Sebaiknya
ia kuberitahu saja, katanya, "Hai, adinda, janganlah kau bicara
keras-keras. Sebetulnya telah tiba di tempat kakak kemarin
petang seorang laki-laki bagus dan masih muda. Ia menjawab
pertanyaanku, konon bernama Raja Anglingdarma dari negeri
Malawa.
77
PNRI
27. Sayang, dia bagus dan kuat. Segala ulahnya membuat diriku
tergila-gila." Kembali Ken Wiyati tersenyum mendengar kata-
kata kakaknya. Lincah dan pandai bermain asmara. Semakin
tertarik Ken Wiyati, katanya sambil tersenyum, "Ah seperti
pengantin baru di malam pertama saja. Bolehkah aku melihat
Raja Malawati itu," kata adiknya. Dan Si kakak tidak ada alas-
an untuk menolaknya.
78
PNRI
14. KINANTI
79
PNRI
7. Sang Raja duduk dan sangat terkejut. Karena dilihatnya ada
dua perempuan berada di sana. Rupanya mirib satu sama lain.
Bilamana katanya terucapkan, apakah dua orang ini wanita
kembar?
80
PNRI
Selama dua hari aku tidak melihat keduanya." Ditinggalkan-
nya ruang tempat tinggalnya dan setibanya di halaman ia
memanggil keras-keras.
23. Tampak olehnya paras laki-laki yang tampan, Tak dapat Ken
Witarsih mengucapkan sesuatu kata. Apa yang dilihatnya
sungguh-sungguh luar biasa. Pikirannya telah melayang lebih
jauh, mengendorkan pucuk kain. Cepat-cepat ia mendapat-
kan kakaknya.
82
PNRI
reka bersama-sama berjalan menuju ke tempat tinggal Witar-
sih, langsung masuk ke peraduan.
83
PNRI
dap puteri yang sulung, "Ken Wiyata isteriku, kaulah besok
memperoleh giliran untuk menerima kunjunganku.
37. Lamanya satu hari satu malam aku akan berada di tempat
tinggalmu." ICetiga puteri itu menunduk tanda setuju. Tidak
ada yang memajukan keberatan atas kehendak Sang Raja."
Jika demikian, "kata Baginda," kini tinggalkan saya sendiri.
Aku ingin beristirahat."
43. Dulu Baginda pernah menerima aji itu ketika berguru kepada
Bagawan Maniksutra, yang kemudian menjadi mentuanya.
Maka berubahlah Baginda menjadi seekor burung Gagak.
Terbang Si Nila ke arah asap yang mengepul di tengah-tengah
hutan.
84
PNRI
44. Tak lama ia sampai ke tempat asap berasal. Dilihatnya banyak
burung gagak yang beterbangan di sana, memperebutkan
makanan. Di tengah-tengah tergeletak sosok mayat manusia
teraniaya.
85
PNRI
15 . ASMARANDANA
86
PNRI
di sana ia minta daging seperti semula. Maka dilemparlah
ia dengan sekerat jantung manusia. Cepat-cepat jantung itu
diterimanya.
PNRI
13. Benar juga apa yang dikatakan oleh Nenek Tua. Aku sendiri
yang sengaja tidak mempercayai petuahnya." Demikianlah
pikir Maha Raja Anglingdarma di tempat peraduan. Hatinya
sangat menderita, namun ia berbuat seolah-olah sedang tidur
nyenyak.
15. Sebaiknya kita jangan terlalu lama berada di sini, aku takut
kalau-kalau Baginda telah bangun." Retna Wiyati menyetujui
saran kakaknya untuk segera pulang kembali ke rumah. "
Marilah kita kembali dengan segera," katanya. Dan ketiga-
nya pun pulang bersama-sama, melalui jalan yang ditempuh
sebelumnya.
16. Ketika ketiga puteri raksasa tiba di puri mereka Sang Raja
masih tidur. Maka senanglah ketiga puteri itu. Mereka segera
mandi dan ingin memakai wangi-wangian. Alangkah terkejut
hatinya ketika mereka mengambil kotak hias serta membuka
cupu tempat wangi-wangian.
18. Tidak salah lagi bahwa aku .telah memberikan hati mentah
ini ketika di pasetran kepada gagak putih." Maka tahulah
puteri mengapa hati itu sekarang sampai di sana. Ia kemu-
dian pergi ke tempat adiknya, Ken Wiyati. Didapatinya adik-
nya sedang mengambil kotak hias, ingin memakai wangi-
wangian.
88
PNRI
burung ketika ia berada di dalam Setramandala. Tahulah
bahwa rahasia mereka telah diketahui oleh orang lain. Hati-
nya merasa sangat terharu dan menyesal atas perbuatan-
nya.
21. Aku ingat pasti bahwa hati itu sebelumnya telah kulempar-
kan kepada burung gagak putih." Retna Wiyati menyela,
"Aku pun mengalami peristiwa yang sama seperti kakanda.
Aku temukan jantung manusia di tempat kotak hias bersama
dengan wangi-wangian.
24. Ia masih ingat benar bahwa limpa itu adalah yang dilemparkan
dan dicocok oleh burung gagak di hutan. Tiba-tiba datanglah
kedua kakaknya ke tempat itu. Keduanya mengambil tempat
duduk masing-masing, berkatalah Ken Wiyata perlahan-
lahan,
89
PNRI
26. Ken Witarsih mengutarakan kemudian bahwa minyak wangi-
nya bercampur dengan limpa manusia. Ketiga puteri itu tahu
sudah bahwa rahasianya telah diketahui orang. Maka ber-
katalah Ken Wiyata, "Wahai adik-adikku. Kita tahu sudah
sesungguhnya Maharaja Anglingdarma yang telah mengetahui
rahasia kita.
29. Kita semua merasa dibuat malu besar dan menyakitkan hati.
Bagaimana kehendakmu sekarang?" Kedua adik itu menjawab
hampir bersamaan. "Mari kita bunuh saja Anglingdarma itu."
Dijawab oleh kakaknya, "Bukan maksud saya membunuh
Anglingdarma.
30. Dia bukan berhutang pati kepada kita. Dia membuat kita
malu dan cemar, sebab itu harus kita bayar dengan membuat-
nya malu dan cemar pula. Kita tidak akan membuat dia mati,
hanya sekedar pembayar utangnya. Mari kita usir dia jangan
lama-lama kita dibuatnya malu."
32. Dalam helai daun itu dibuatnya gambar manusia yang terbalik,
kemudian digantungkannya daun itu di tengah pintu masuk,
yang menuju ruangan tempat tidur Maharaja Anglingdarma.
90
PNRI
Berdiri tegak Retna Wiyati di dekat Raja yang tengah tidur.
35. "Tolong cabutlah adinda, apa yang melilit pada rambut ke-
palaku ini." Dijawab'oleh puteri dengan suara kasar, "Aku
tidak kenal kamu sama sekali, mengapa kau panggil aku adik.
Pergilah kau segera meninggalkan tempat ini. Kalau tidkak ku-
cukil mata kakimu.
36. Sekarang ini juga kau pergi, dan jangan sekali-kali menjejak-
kan kaki di negeriku. Aku sama sekali tak senang dan tidak
rela negeriku kau datangi." Begitulah ketiga puteri itu ber-
sama-sama mengusir Sang Raja. Berkatalah Sang Raja,
38. Kau merupakan diri sebagai gagak putih dan mengganggu ka-
mi bertiga yang tengah makan bukan? Itu namanya tindakan
yang salah. Sebab itu kau mendapat celaka. Seorang Raja yang
berbuat jahat, namun pura-pura menanyakan dosa dan ber-
lagak seperti kau sendiri yang berparas bagus."
91
PNRI
15. DURMA
3. Tidak ada yang ingin memiliki suami yang bertabiat jahat ter-
hadap isteri sendiri.'' Mendengar kata-kata itu insaflah Angling-
darma, bahwa ulahnya menjelma menjadi binatang di-
ketahui oleh ketiga puteri itu.
92
PNRI
7. Dalam hati ia sangat heran dan tak terperi rasa malu yang di-
deritanya. Katanya di dalam hati, "Aku adalah seorang Raja
yang tersohor sebagai batara. Disembah oleh sesama raja. Aku
tinggalkan kemuliaan dan negaraku. Kini aku malahan ber-
ubah menjadi belibis.
93
PNRI
17. MASKUMAMBANG
94
PNRI
8. Banyak sekali kulihat telur belibis di sini. Jumlahnya ratus-
an. Sekiranya ada orang yang mengetahui, pasti diambil man-
faatnya."
9. Belibis Putih berada di tengah rawa itu selama satu hari satu
malam. Membuat terkejut semua belibis yang menghuni pulau
itu. Baru pertama melihat hadirnya belibis berbulu putih.
95
PNRI
17. Melihat-lihat pemandangan yang menarik hati." Sehabis bi-
cara demikian Belibis Putih segera terbang kembali ke angkasa,
melintasi sawah-sawah yang datar.
19. Luas sawah itu tidak kurang dari satu jung *), berdekatan de-
ngan desa tempat Bapak Tani. Bernama Dukuh Wanasari, yang
terjadi dari tujuh buah rumah kepala keluarga.
23. Isteri-isteri mereka berjualan daun jati, demikian juga isteri De-
mang Kelungsur sendiri. Berjualan daun jati juga dibantu oleh
kemanakannya laki-laki bernama Jaka Gedug.
96
PNRI
26. Si Belibis bersikap tenang, hatinya tidak merasa takut melihat
kedatangan Jaka Gedug. Seolah-olah ia berkata, "Janganlah
berbuat yang bukan-bukan.
28. Seperti anak yang kembar, baik rupa maupun ulah perbuat-
annya dengan pelayan di Istana Malawapati. Itulah sebabnya
mengapa Belibis suka kepada Joko Gedug.
29. Maka dengan sengaja jaring itu diterjang oleh Si Belibis. Ka-
kinya yang kiri dimasukkan, sementara Ki Joko Gedug me-
ngeluarkan suara keras untuk menghalau agar si burung ter-
bang.
97
PNRI
18. DANDANGGULA
98
PNRI
5."Hendak kusampaikan sesuatu kepadamu Kiyai. Janganlah
Kiai menjaring burung-burung lagi. Dengan jalan itu hasil-
nya tak akan cukup bagimu." Demang Kelungsur menyela,
"Lalu apa yang harus kukeijakan untuk dapat makan?"
Berkata Si Belibis, "Sebaiknya kita lebih baik bersawah saja
yang tekun. Lagi pula isteri demang jangan lagi beijualan daun
jati, sebaiknya jualan telur.
99
PNRI
10. Tidak terhingga senang hati Nyi Demang. Menghitung hasil
penjualan telurnya. Jumlahnya mencapai dua puluh lima re-
yal. Ia membeh kain seketika, penutup dada beserta ikat ping-
gang. Tidak lupa suaminya pun dibelikan kain serta alat per-
tanian berupa sabit dan cangkul. Dibelinya beras agak banyak,
minyak kelapa serta ragi. Ia ingin mengadakan selamatan
"bersih desa"
100
PNRI
15. Selama ia tidak bekerja di negara, kehidupannya tidak me-
nentu. Kini apa yang dikehendaki terbeli. Ia dapat makan
ketupat kegemarannya, beserta cabuk dan krupuk. Mereka
tidur dengan rasa puas. Sang Belibis tidak bisa tidur. Ia minta
petunjuk kepada dewa, lama-lama ia merasa mengantuk.
19. Terbangun Sang Belibis dan telah memahami isi suara yang
didengarnya dalam tidur. Ia sangat bersyukur seraya berkata,
"Maaflah Dewa Agung akan segala kekhilafan hamba. Semoga
hamba selalu diingatkan sebelumnya." Demikianlah hari te-
lah menjelang pagi. Kedua laki-isteri Demang telah bangun.
Sang Belibis berada di halaman rumah.
101
PNRI
Sebaiknya kau tidur bersama kami nanti malam. Aku takut
di sini banyak sekali musang berkeliaran."
102
PNRI
26. Maka menyambunglah Joko Gedug dalam pembicaraan, "Pa-
man, bagaimana mungkin kakakku berkata bohong. Marilah
kita gali segera. Berapa sukarnya pekeijaan itu, saya sendiri
yang akan menggali." Ki Demang tertawa mendengar ucapan
Joko Gedug, katanya, "Bila nanti kugali dan kosong, sebaik-
nya kaupukul saja kemaluan si belibis dengan linggis."
29. Dua guci penuh dengan emas kencana. Rasa hati Nyi Demang
seperti mimpi. Tak keruan rasa di dalam hati. Emas itu segera
dijamahnya, kemudian diangkut ke dalam rumah. Katanya,
"Kini kau percaya tidak terhadap bicara Belibis. Memang
benar kata Joko, bahwa segala kata-kata Belibis Putih tidak
ada yang tidak benar."
103
PNRI
31. Berkata Ki Demang selanjutnya kepada isterinya, "Sekali-kali
jangan kau berani kepada Belibis Putih. Kita bersama-sama
menyanjungnya, memelihara sesuai dengan kemauannya. Dan
kau Joko Gedug kawallah dia, jangan berpikir yang bukan-
bukan. Biarpun dia berupa seekor belibis, namun ia mempu-
nyai kelebihan, maka sepatutnya bila kita bakti kepadanya."
104
PNRI
36. Berkata Ki Byantara agak mer.yindir; di dalam hati ia meng-
hina kemampuan beLi Ki Demang, katanya seraya tersenyum,
"Harga rumahku seribu reyal, termasuk rumah di muka dan di
belakang. Namun yang satu jika kau yang akan membeli
aku berikan harga dua ratus reyal. Kau tidak melihat diri,
seperti pekerti orang mabuk. Kainmu saja sudah robek-ro-
bek, bagaimana mungkin mendapat uang sebanyak dua ratus
reyal.
105
PNRI
menjadi pusat pengungsian orang banyak. Suami-isteri berhati
lapang, tak terbilang penghuni yang mendirikan rumah di ta-
nah milik Ki Demang.
44. Kelak aku akan kawin lagi dengan seorang puteri di Bojanega-
ra. Namanya Srengganawati. Tetapi keadaan diriku seperti
ini bagaimana untuk melaksanakannya? Diriku berupa satwa
burung. Permohonanku kepada Dewa Agung, sekiranya aku
tidak berhasil mengawini puteri Bojanegara tersebut, aku lebih
baik mati saja."
106
PNRI
cahaya terang di bawah pohon kemuning yang tumbuh di
halaman? Beri tahulah saya.
47. Ia tahu apa arti percakapan kedua burung itu. Kemudian ter-
banglah ia ke balai-balai di depan rumah. Dipanggilnya agar
Ki Demang datang dan duduk di dekatnya. Maka keluarlah
Ki Demang dari dalam rumah, diikuti oleh Joko Gedug. Apa-
kah gerangan maksud ananda, memanggil saya menghadap?
Belibis berkata, " Harap Ki Demang mengambil alat penggali.
107
PNRI
51. Kedua suami-isteri bukan kepalang gembiranya. Kini mereka
benar-benar menjadi kaya-raya, tak terbilang hartanya. Terka-
bul segala kehendaknya. Ia mampu bersaing dengan pedagang-
pedagang kaya dari Bugis, Makasar, Bali, Ambon maupun dari
Buton. Kini pintu pagarnya diberi penjagaan khusus, berting-
kat tiga dilengkapi dengan cendela yang tinggi. Seperti kediam-
an bupati.
108
PNRI
19. ASMARANDANA.
4. Kemana pun kita mencari wanita seperti dia, tidak akan ber-
sua. Tingginya cukup lurus menarik, dikenal oleh hampir
seluruh jagat. Karena kecantikan Puteri Bojanegara benar-
benar tiada yang menyamainya.
109
PNRI
7. Waktu itu harinya Anggara (Selasa), bulan bersinar penuh di
langit. Retna Srenggawati dihadap oleh para dayang-dayang
berada di halaman istana. Mereka bercanda sampai jauh ma-
lam. Emban dan inya duduk di tempat paling depan.
9. Ketahuilah bahwa nyala api ini tidak lain adalah nyala api pu-
teri yang meninggal masuk ke dalam perapian. Puteri dari
negeri Malawa bernama Ambarawati. Bersamaan dengan itu
nyala api tadi hilang masuk kemudian ke dalam hidung Sang
Puteri.
13. "Adapun yang kami bicarakan semua tidak lain keadaan Sang
Puteri. Sangat berlainan dengan sebelumnnya. Kini wajah
Sang Puteri seperti bunga layu, cahaya seperti bulan. Menam-
bah kecantikan yang membangkitkan rasa rindu." Sang Puteri
tersenyum mendengarnya,
110
PNRI
14. "Itulah hasilnya orang yang tidur semalam suntuk. Tidak men-
dapat bagian cahaya. Aku bangun sendirian, duduk sambil
memejamkan mata sekejap. Tiba-tiba segumpal cahaya masuk
ke dalam diriku." Sementara itu hari telah pagi, maka bersiap-
lah Sang Kesuma menghadap ayahanda.
19. Wahai Sebetan kau undangkan segera kepada seisi istana, bah-
wa ananda puteri sekarang bernama Dewi Ambarawati. Sam-
paikan berita ini kepada Sang Patih, agar diumumkan pula ke-
pada semua penduduk di negara ini."
111
PNRI
21. Namanya kini menjadi Dewi Ambara. Berita itu segera tersebar
ke seluruh negara, termasuk para pegawai tinggi di Bojanegara
sendiri. Diceritakan, ketika itu bertempat seorang pendatang
dari seberang bernama Bremana dan Bremani, yang tinggal
di Giringwana.
23. Aku ingin sekali makan lebah yang muda serta madunya, kata
isteri Bramana. Hendak kubuat pecal lebah. Seraya mencium
kening isterinya Bramana minta kepada isterinya untuk men-
jaga rumah. Ia sendiri akan pergi mencari madu.
112
PNRI
kepadamu. Marilah kita tidur. Dan dipeluknya Bramani
dibawa ke dalam tempat tidur."
32. "Baru saja kau mengajak aku tidur dan belum kering aku
mencuci tangan." Maka membentaklah si laki-laki," Betulkah
kata-katamu? Biar aku mati, tak akan kukatakan yang tidak
benar, jawab isteri Bremana sungguh-sungguh.
33. "Inilah buktinya masih utuh. Lebah dan madu yang kaubawa
tadi," sambungnya seraya terbata-bata. Sementara airmatanya
mengalir deras seperti keluar dari perian, akibat hatinya yang
gundah. Bremana sangat marah mendengar kata-kata isterinya.
113
PNRI
36. Biarlah dia dapat leluasa bertemu dengan aku bertanding
satu lawan satu. Tak akan aku mundur sekali pun dia mem-
punyai kesaktian, sebab ia telah berbuat jahat. Ikut makan ke-
punyaanku. Pasti akhirnya akan mendapat balasan apa sesung-
guhnya yang diandalkan.
37. Baiklah kau tinggal di rumah seperti biasa, aku akan bersem-
bunyi." Ki Bramana keluar sambil membawa pedang terhunus.
Begitulah setelah dilihat oleh gandarwa, bahwa Ki Bramana
meninggalkan rumah ia segera turun dari pohon besar.
114
PNRI
20. DURMA
4. Bramana palsu tak kurang garangnya, "Kau itu orang dari ma-
na. Masuk ke rumah orang sambil menghunus pedang. Pantas-
nya kau ditelanjangi orang macam kau tak tahu sopan-santun."
115
PNRI
7. Keduanya ingin saling inerobohkan lawannya, tusuk-menusuk
dan pedang-memedang. Tak seorang pun yang terluka. Bergan-
ti mereka saling menggunakan lembing namun tak seorang pun
yang kalah. Keduanya memang perwira. Maka bergelutlah
mereka tanpa senjata.
116
PNRI
14. Bukankah Raja itu pengganti dari Dewa. Beliaulah yang mam-
pu bertindak secara adil. Kalian berdua bertengkar karena
memperebutkan diriku. Sekiranya kalian berdua sama-sama
meninggal dalam perkelahian, maka orang lain yang mengambil
keuntungan.
16. Demikian juga Bramana setan berkata keras, "Aku pun tidak
takut membawa kau ke perdata, karena dia sungguh benar
isteriku. Keduanya dan Bramani segera pergi menuju ke kota.
Tak henti-henti mereka selalu bertengkar sepanjang perjalanan.
117
PNRI
21. DANDANGGULA
118
PNRI
5. Mereka sepakat untuk membawa peristiwa tersebut ke hadap-
an Sang Baginda. Mengingat Sang Baginda terkenal berpan-
dangan jauh. Di hari Senin mendatang semua diharapkan
menghadap di bawah pohon beringin kembar. Patih Purwa-
negara menyetujui usul tersebut. Maka pertemuan hari itu
dibubarkan, menunggu tibanya hari Senin.
119
PNRI
10. Ia memperisteri seorang perempuan bernama Bramani, namun
diaku isteri oleh orang lain yang rupanya serupa dengan dia.
Tiada penggawa yang mampu memberikan keputusan siapa se-
benarnya suaminya yang asli, karena tak ada perbedaan rupa
biarpun hanya sedikit. Itulah sebabnya para nayaka mohon
ampun dan maaf atas kekurangmampuannya memutuskan
perkara."
120
PNRI
15. Bramana asli berdatang sembah, "Mohon maaf Baginda, bahwa
isteri hamba bawaan dari seberang. Dan kini di Tanah Jawa
diakui oleh orang lain. Hamba mohon keadilan Paduka."
Bramana setan menyambung berdatang sembah, "Hambamu
Sri Paduka.
17. Sri Baginda tidak segera dapat memecahkan masalah itu, terla-
lu pelit. Tiba-tiba bersabda ia keras-keras, "Patih Purwanegara.
Kau bawa mundur ketiga orang ini. Jagalah mereka sebaik-
baiknya." Kemudian Baginda meninggalkan pasewakan, kem-
bali ke istana. Maka bubar semua yang menghadap. Setiba
Sang Raja di istana, beliau langsung menuju ke ruang pame-
lengan, tempat menyepi.
20. "Tentu saja keadaan negeri itu tampak suram dan gelap. Kare-
na rajanya sedang berduka hati. Ada Bramana bertengkar
121
PNRI
dua orang memperebutkan isteri. Serupa dan sama suaranya.
Sampai perkara itu ke hadapan Sang Raja, namun Baginda
Darmawasesa sendiri sangat kesulitan untuk memecahkan
perkaranya, melerai pertengkaran kedua Bramana.
22. Apa yang dikatakan kepada betina memang segera dapat me-
nyelesaikan persoalan. Semuanya itu didengar oleh belibis,
sebelum kedua gagak terbang lagi meninggalkan tempatnya.
Tak ada kata-kata Dandang yang terlupa, segalanya dihimpun
oleh Belibis Putih. Maka pulanglah kembali ia ke desa Wana-
sari. Kedatangannya dilihat oleh Nyi Demang.
122
PNRI
isteri. Semua nayaka dan jaksa tak seorang pun yang mampu
memberi keputusan nasib Bramana itu. Menghadaplah paman
segera kepada Baginda, masuklah ke kota.
12?
PNRI
22. PANGKUR.
124
PNRI
6. Enak hati Baginda mendengar sembah Ki Demang, seperti
mendapat air penyejuk, sabdanya, "Kau laksanakan rencana-
rau." Maka Ki Demang mohon disediakan sebuah kendi tanah
serta laka penutup. Barang yang diminta telah disiapkan di
pasewakan.
12. Itulah dia maling hutan, jelek dan keji tidak bisa masuk kendi."
Bramana asli tidak mampu menjawab kecuali menundukkan
kepalanya, sambil mencucurkan airmatanya amat deras. Se-
125
PNRI
mentara itu Bramana setan segera masuk ke dalam kendi dan
Ki Demang menutupnya.
126
PNRI
19. "Janganlah Bibi Demang was-was dalam hati, karena Ki De-
mang kini telah diangkat menjadi priyayi. Kukira paman di-
angkap menjadi Patih. Sekiranya paman tetap memegang
jabatannya, kuingatkan Nyi Demang jangan melupakan nasib
si miskin, sayangi mereka.
127
PNRI
25. Joko Gedug menyongsongnya dengan gembira. Keduanya
bermain-main hingga malam datang. Bertanya Belibis kepada
adiknya, "Apakah adinda tahu wanita yang cantiknya luar
biasa?" "Tahu, aku ketika masih kanak-kanak pernah diajak
bibi masuk ke dalam istana raja.
26. Di sana, di dalam istana, aku dapat melihat puteri Sri Baginda
yang bernama Srengganawati. Kini namanya diubah menjadi
Ambarawati. Kecantikannya luar biasa, seperti Dewi Ratih
yang menjelma ke kota Bojanegoro." Maka bertanya Sang
Belibis,
28. Esok harinya ketika telah rembang tengah hari Belibis terbang
ke angkasa dan menuju ke arah timur. Berputar-putar sebentar
di atas istana kemudian menuju ke taman Bandarandap. Ia
hinggap pada cabang pohon Cempaka dan tertarik hatinya
oleh keindahan tata taman dengan tanaman bunga-bunga.
128
PNRI
23. KINANTI.
129
PNRI
9. Dijatuhkan bunga cempaka itu di depan Sang Puteri. Dan di-
pungutlah bunga itu segera. '"Biang, aku memperoleh bunga
jatuh di depanku," kata Sang Puteri.
15. Beijingkat Sang Puteri karena terkejut, tidak tahu asal jatuh-
nya bunga itu. Merayaplah semut merah di dadanya, cepat
dibuangnya kain penutup, ia berlari ke sana ke mari tak
menghiraukan gelungnya yang terlepas.
130
PNRI
18. Menyaksikan ulah Sang Puteri Belibis berpikir di dalam hati,
Sungguh cantiknya luar biasa, tetapi umpatnya tak terbilang,
namun malah membuat orang tertarik, membahagiakan yang
punya."
24. "Biarlah mukamu saja yang mati kena senjata." Tampil ke-
mudian seorang pelayan dan diperintahkan untuk memanjat
pohon. Ketakutan ia naik pohon menangkap Si Belibis Putih.
25. Rasanya payudara seperti diparut bergeser ia dari atas dan ja-
tuh di tanah. Sang Puteri senantiasa melihat ke atas, memper-
hatikan burung belibis yang tiba-tiba terbang ke air. Maka
berserulah dia,
26. "Itu dia burung belibis terbang ke air kolam. Tangkaplah ber-
sama-sama di tengah kolam. Usahakan agar dia tertangkap,
jangan seorang pun takut basah.
131
PNRI
27. Jika sampai terlepas dia, kalian kupenggal leher masing-
masing." Semuanya beramai-ramai terjun ke kolam, ingin me-
nangkap belibis, yang tidak dapat berenang terminum air.
33. Sementara itu Belibis mengira bahwa ajinya asmara tidak me-
ngenai sasaran, tandanya Sang Puteri sendiri tidak ikut serta
terjun ke kolam, bukti cintanya tidak terbalas.
34. Lebih baik aku kembali pulang, demikian pikir Sang Belibis.
Maka terbanglah ia ke angkasa, pulang ke dukuh Wanasari.
Tertegun para dayang menyaksikan, ucapan mereka bercampur
tangis.
132
PNRI
mungkin kita tangkap. Manusia melawan belibis, kita tak
punya sayap.
36. Kalau kita punya sayap maka bisa kita kejar. Sementara itu
Puteri Srengganawati dengan putus asa melihat Belibis Putih
terbang ke langit. Ia tak bisa berbuat apa-apa.
38. Dia penjelmaan orang halus, setan atau gandarwa yang men-
jelma menjadi burung." Puteri tidak menanggapi kata-kata
itu. Ia jatuh pingsan, tak lain yang terpateri di hati hanyalah
Si Putih.
133
PNRI
24. MIJIL
134
PNRI
8. Ki Patih mengadap dengan rasa takut. Ia tunduk dan menanti-
kan perintah Baginda sambil duduk tegap. Seolah-olah muka-
nya menyentuh tanah. Sabda Baginda kemudian,
135
PNRI
petang. Burung Belibis terdapat di taman bunga, tetapi tidak
berhasil ditangkap oleh dayang-dayang. Bahkan terbang pergi,
maka menangislah Sang Puteri.
23. "Saya pergi mencari angin," jawab Belibis. "Ke taman dan
dilihat oleh pemiliknya. Sang Puteri tengah berangkat mandi
di kolam. Benar-benar cantik puteri Sang Baginda.
136
PNRI
25.Kemarin diriku dikejar-kejar oleh para dayang-dayang. Di-
kerahkan banyak pelayan hingga aku masuk ke air kolam.
Hampir saja aku tertangkap. Terbanglah aku terus kembali
pulang."
30. Lagi pula belibis itu mampu bicara seperti manusia. Itu adalah
kehendak puterinya. Ia sangat jatuh cinta kepada Si Burung
yang dilihatnya ketika tempo hari puteri berada di tamansari.
31. Burung itu ditangkapnya tetapi tidak berhasil. Sebab itu aku
diperintah Baginda untuk mencarinya sampai ketemu dan ti-
dak diperkenankan kembali tanpa membawanya pulang.
Bagaimana kehendakmu?
137
PNRI
33. Sekiranya ananda tidak mampu mencari permintan Baginda.
Marilah kita sama-sama pergi dari sini. Karena pasti saya dihu-
kum mati jika tidak dapat berhasil.
35. Mari kita pikir bersama, jangan cepat-cepat ingin angkat kaki
dari sini. Sebab yang kemarin berada di tamansari adalah
saya. Dan Sang Puteri melihatnya, begitulah seterusnya.
138
PNRI
25. DANDANGGULA
139
PNRI
nya dapat berkenan di hati. Dan apabila tidak berkenan hamba
akan mencarikan yang lain."
140
PNRI
Bojanegoro, karena mencari beliau, yang telah meninggalkan
negara secara diam-diam. Belum ketemu hingga sekarang."
12. Masih juga Baginda bertanya lebih lanjut, "Apa sebabnya maka
Raja Anglingdarma meninggalkan negara dengan diam-diam?
Beliau raja yang besar, sakti tak terkalahkan dan berpasukan
raja-raja." Belibis pun berkata, "Paduka, ananda Raja Angling-
darma secara diam-diam meninggalkan negara akibat terputus
cintanya.
16. Beliau sampai-sampai lupa makan dan lupa tidur, hanya mere-
nung kepada Sang Burung. Apa pun yang dikerjakan untuk
melupakannya tidak berhasil. Ketika itu Puteri tengah berada
di atas kursi keemasan, di hadapannya lengkap menghadap
para dayang dan para inya. Asyik membicarakan masalah se-
141
PNRI
hari-hari. Tiba-tiba datanglah utusan Baginda ke ruang kepute-
rian.
19. Cobalah kau cocokkan Belibis itu, yang sedang berada di ta-
man samping. Betulkah ia yang ananda lihat tempo hari?"
Puteri tak terkira gembira hatinya setelah memperhatikan
Sang Belibis Putih. "Betul itulah burung yang hamba cari"'
sembahnya. Setelah itu puteri menuju ke tempat burung yang
tengah beijalan di taman. Didekatinya dan dicubitnya paha si
burung.
20. Puteri berkata agak keras, "Nah akhirnya kau tertangkap juga
dan ketemu dengan aku di sini. Ketika kau kukejar kauterbang
tinggi di langit dan tak menghiraukan kepada ku. Aku telah
kawatir kalau-kalau kau terus pergi ke hutan. Sekarang ku-
temukan dikau di dalam istana, pasti kulipat lehermu."
142
PNRI
22. "Mengapa demikian Belibis? Apa sebabnya kau tidak bersedia
diabdikan kepada puteriku?" "Hamba benar-benar mohon ma-
af, karena pada umumnya pembesar wanita kurang tanggap
dalam memberikan ampunan kepada sesama. Banyak sekali
mengucapkan kata-kata kasar. Hamba tak merasakan kenik-
matan sedikit pun. Tak urung hamba pasti pergi dari istana,
akibatnya paduka menjadi murka."
143
PNRI
26. KINANTI
6. Segala gerak dan ulah Belibis itu sangat berkesan di hati para
dayang-dayang. Mungkin dia seorang pertapa sakti yang me-
nitis menjadi binatang, pikir mereka. Tiba-tiba Belibis berkata
kepada mereka,
144
PNRI
prang, "Baiklah. Apakah imbalannya belibis. Kau merasa diri
pandai binatang melawan manusia.
11. Adapun pohon kecil yang berbuah besar itulah pohom semang-
ka. Semangka pohonnya kecil namun buah-buahnya besar-
besar. Itulah jawabanku mengenai teka-teki yang Nyai kata-
kan."
145
PNRI
16. Belibis berganti memberikan tebakan, "Mari kau beri jawaban-
nya tebakanku ini. Ada tangis yang mengharapkan sa'kit, keti-
ka malam tiba. Jika sakitnya telah datang maka berhentilah
tangisnya.
19. Biarpun aku berupa seekor burung. Aku tak pernah mencari
makan di rawa, sebab aku bukan burung liar. Sekiranya
aku alah beradu pandang dengan wanita. Apa faedahnya ber-
ada di dalam istana.
22. Sang Belibis berteriak kecil, "Aduh putus buluku Nyai, karena
kau putar ke bawah." Sang Puteri pun menyela, "Baru aku ta-
hu sekarang Nyi manusia dikalahkan oleh burung. Aku sendiri
yang akan menjawab teka-teki si Belibis Putih.
23. Wahai Belibis Putih. Kini aku yang akan menjawab teka-teki-
mu. Jika kau kalah nanti, apa yang kaujadikan barang serahan?
Maka menjawab Sang Belibis, "Hanya diri hamba Gusti.
146
PNRI
Puteri mengutarakan jawabannya: Adapun makanan yang ber-
asal dubur.
26. Jika anak ayam belum memiliki bulu-bulu, ia tiap malam tak
berhenti menangis. Ia tidak menangis lagi setelah bulunya
tumbuh. Maka berkatalah Sang Belibis, "Tepat sekali jawaban
tuan Puteri."
30. Maka hamba ikut serta duduk di kursi keemasan dihadap oleh
segenap penggawa raja. Maka hmba kini mohon kepada tuan
puteri memperlakukan hamba seperti yang sudah-sudah.
32. Meskipun hamba berupa belibis, namun hamba tidak suka ma-
kan ikan sungai." Sang Puteri pun menyela, "Sedikit-sedikit
147
PNRI
minta langsung pamit. Jangan terlalu manja meninggikan harga
pribadi.
33. Apa yang kauminta pasti akan kupenuhi. Oleh karenanya ja-
nganlah kau berdusta, dan tetaplah mengabdi kepadaku."
Belibis menyanggupi, bahwa ia akan senantiasa patuh mengab-
di kepada Puteri.
35. Dan pandai membaca berbagai macam sastra. Mahir pula me-
ngucapkan kalimat-kalimat gending, kidung, kekawi dan per-
lambang. Suaranya merdu bulat dan manis terdengar. Banyak
orang terserang kerinduan jika Beginda membaca."
38. Puteri yang berasal dari Mantilidiija, ananda Raja Janaka. La-
gunya Maduretna, diucapkan jelas dan terang. Apalagi jika
Baginda menyuarakan Gandakusuma, banyak perempuan yang
tergiur.
148
PNRI
40. "Baiklah jika demikian," Dan Belibis Putih segera mengalun-
kan suara membawakan irama tembang pamijil. Suaranya ma-
nis bagaikan madu, masuk menyentuh hati Sang Puteri cantik.
41. Rasanya diri seperti mati terduduk, menikmati irama lagu yang
membuat seluruh sendinya lunglai. Keringat keluar sangat de-
ras dari tubuh membayangkan wajah dan kemudaan Sang Ang-
lingdarma.
149
PNRI
27. SINOM
150
PNRI
6. Sangatlah mustahil kalau diriku dapat menjadi obat pelerai
rindu. Bagaimanakah wajah puteri yang masuk ke dalam api
itu?" "Oh, seperti Kresna dengan Wisnu, gusti hamba Ken De-
wi Setia wajahnya sama dengan wajah Puteri dari Kota Bojo-
negoro." Berkata Sang Puteri,
12. Burung itu bagus dan pandai bersiul-siul. Sedang seperti wanita
maksudnya yang lincah dan halus budinya. Adapun seperti
keris, maksudnya yang bagus bentuknya (dapur) yang tang-
guhnya mantap. Sedangkan seperti ratna maksudnya yang
berpikiran tenang dan berbudi sentosa."
151
PNRI
13. Tak terkira senang hati puteri mendengarkan petuah Belibis.
Seperti kata-kata pujangga, mampu menyentuh rasa. Melanjut-
kan ceritanya behbis berkata, "Keempat perkara itu Tuanku
terdapat dalam diri Baginda Anglingdarma.
14. Baginda seorang raja yang bagus tetapi tenang. Gesit dan gerak-
geriknya memikat. Pandai mengutarakan maksud yang mem-
buat orang lain merasa terlindungi. Jauh berpandangan ke de-
pan dan cepat menangkap kehendak orang, Berani berulah
perang dengan perhitungan matang. Keturunan pertapa dan
bersaudara kesatria.
16. Masih juga behbis berkata, "Aduhai Puteri bunga istana. Kelak
jika Sang Kusuma kawin janganlah memilih orang yang kecil
dan pendek. Umumnya bertabiat kikir. Dan jangan memilih
orang yang bertengkuk lebih (punuk) ia suka menurutkan
kehendak sendiri. Kata-katanya kasar dan keji seperti tampak
pada tengkuknya."
152
PNRI
irama kidung. Tak mengira bahwa burung seperti manusia ma-
hir merangkai kata. Diteruskan dengan cerita-cerita menarik,
yang menambah rasa hati Sang Puteri semakin gundah tak
terkira.
21. Puteri telah tidur dengan pulas, akibat kantuk yang tak terta-
han. Lama beliau lupa makan dan minum serta tidur. Hatinya
terserang rasa rindu asmara. Ia sangat lelah tak tahu diri, hing-
ga penutup dadanya terkuak dan tampaklah payudaranya se-
paro, seperti buah maja kekuning-kuningan.
22. Sang Belibis melihatnya, rasa hatinya tak keruan bagaikan mati
tanpa menderita luka. Bagaimana harus kuperbuat? Katanya
dalam hati. Jika terlalu lama kulihat, bisa hatiku menjadi
membara. Lebih baik kuberitahukan, agar aku sendiri bisa
lekas istirahat. Maka penutup dada itupun dicocoknya.
153
PNRI
dapat marah. Marilah sayang kau kembali tidur di dekat ujung
kakiku.
154
PNRI
28. MIJIL.
155
PNRI
8. Jika tidak ada maaf bagi hamba, maka izinkanlah hamba mo-
hon pamit mencari Sang Raja Anglingdarma. Entah kemana?"
Tersenyum Sang Puteri, hatiku sakit, sedikit-sedikit patah
semangat, katanya.
10. Berkata Behbis Putih dengan nada manis, "Aduh Gustiku yang
muda. Hamba kantuk bukan karena kurang tidur, tetapi ba-
danku terasa dingin." Sang Puteri tersenyum, tahu akan mak-
sud Si Behbis.
13. Burung pun diselimuti dengan kain dodot. Kain itu dicocor-
nya sebentar saja sobek compang-camping, akibat cocoran
yang keras. Mehhat itu Puteri mengucap keras,
156
PNRI
Sang Puteri, "Katakanlah Belibis, kampuh yang mana yang
kau kehendaki?" akan kuberikan padamu." Menjawab Sang
Burung,
18. "Kuberi selimut kau dengan kain pelangkin ku. Bukankah kau
kekasihku sendiri? Sambil berkata demikian Sang Dyah me-
ngambil pelangkin berwarna jingga yang tersampir." Kata Be-
libis,
20. Kutahu pasti kain itu tak membuat kau gatal, karena belum
pernah dipakai." Sang Belibis halus sembahnya, "Kain yang
baru biasa membuat gatal. Dulu yang sudah-sudah hamba gu-
nakan selimut lain.
21. Tidak lain penutup dada gadis remaja, yang masih dipakai.
Meskipun tidak lebar tetapi terasa kehangatannya. Terasa di
seluruh tubuh sampai ke dalam hati. Hamba mohon maaf,
terlalu berani."
23. Katanya menarik kasih, "Aduhai Sang Ayu yang manis, hamba
mohon maaf karena kerap kali berisik dalam tidur, lupa me-
ngais-ngais." "Tak apalah kekasihku," sela Puteri.
24. "Biarpun kau berisik sebentar aku tak terganggu. Asal saja
jangan mencocor, marilah kau tidur di sampingku. Kuselimuti
157
PNRI
dengan pelangkinku. Apa bedanya, kain, kampuh atau pun
pelangkin?"
33. Sementara itu Sang Kusuma telah jatuh tidur, seperti terkena
158
PNRI
oleh jampi-jampi. Gelungnya terurai harum baunya. Melihat
itu Sang Belibis hatinya semakin hancur.
36. Si Belibis tiada lagi dapat menahan hatinya yang gundah gula-
na, tak sabar ditinggalkannya tempat beralih ke tengah-tengah
payudara puteri dan mendekam di sana.
159
PNRI
29. DANDANGGULA
1. Begitu pulas tidur Sang Puteri, hingga tak ingat segala sesuatu.
Bibirnya dicocor oleh belibis berkali-kali. Dan merata dicocor-
nya seluruh badan Sang Ayu. Semua bagian tak ada yang ter-
lupa. Bahkan subang Sang Kusuma sampai terjatuh. lepas dari
daun telinganya. Belibis kemudian mencocor hidung dan ter-
kejut sang puteri hingga terbangun dan terus duduk. Marahnya
tiada terkira.
160
PNRI
Tuan baru, lagi pula wanita. Mudah tersinggung hatinya, tiada
mau memberi maaf dan selalu marah-marah. Hampir-hampir
diriku mati tertusuk kens patrem yang bukan main tajamnya.
161
PNRI
11. Esok hari patih mohon pamit dan mohon dimaafkan segala
kesalahan hamba. Patik akan pergi mencari Baginda Angling-
darma entah ke mana? Mati atau hidup hamba kan mengikuti
Baginda." Sang Puteri sangat takut kehiiangan Si Belibis. "Dan
aku pasti tidak akan membiarkan dikau pergi," katanya sambil
memeluk tubuh burung itu.
13. Maka dibawalah Sang Belibis naik ke atas tempat tidur. Berka-
ta Sang Puteri setengah berbisik, "Tidurlah dikau di atas
kasur. Kutaruh guling di kanan-kirimu. Kulengapi dengan ban-
tal bersusun berbau harum." Si Belibis berkata, "Dulu ketika
masih di negara Malawapati patik mempunyai kebiasaan tak
seorang pun membangunkan hamba selagi enak tidur.
162
PNRI
17. Berpikkr Sang Puteri di dalam hati, "Bagaimana aku harus
membangunkan burung ini? Jika tubuhnya kugoyang pasti
ia terkejut dan patah hati. Apabila kupeluk dia, tabiatnya
suka nakal, Jika dia kubiarkan saja, aku takut dia merintih
lagi dan akhirnya jatuh sakit. Akulah yang kehilangan."
18. Seperti orang yang dimabuk cinta, begitulah Puteri seialu me-
mandang muka Si Belibis Putih. Terlompatlah kata-katanya,
Bila kuperhatikan rupa Si Belibis, mukanya bercahaya terang.
Apalagi Gustinya, raja di Malawa, tentu bagus dan tampan.
Wahai Belibis bangunlah, hari telah pagi. Antaran makananmu
telah tersedia, segera kau makan."
163
PNRI
23. Dalam pada itu Sang Puteri tiba-tiba berdiri, pura-pura terge-
lincir dari tempat tidur, membuat terkejut Si Belibis Putih,
ia bertanya, "Apa sebabnya Tuan jatuh." Dijawab oleh Sang
Puteri, "Pandanganku kunang-kunang dadaku terasa sempit.
Aku ingin membetulkan kainku, dan terpijaklah bagian ujung-
nya."
24. "Aduh, syukurlah jika Tuanku tidak mendapat luka. Jika sam-
pai terjatuh dan patah tulang, pasti ayahanda akan murka ke-
pada patik. Mungkin malahan hamba dibunuh, karena lalai
menjaga Tuan. Berkata Sang Puteri lebih lanjut, "Saya ingin
pergi mandi ke kolam di dalam taman. Engkau kubawa untuk
kumandikan dan kubersihkan kepalamu.
164
PNRI
30. KINANTI
165
PNRI
7. Parasnya seperti Hyang Kamajaya yang turun ke bumi, tampak
sangat memikat hati. Kesatria dari mana ia, batin Sang Kusu-
ma, tiba-tiba saja duduk di depan saya. Tak tahu aku dari ma-
na ia masuk dan berada di sini?
166
PNRI
15. Tiada tujuan tertentu dalam hati. Yang mau memanggil na-
maku ialah Maharaja Anglingdarma. Karena dahulunya pernah
menjadi raja. Tetapi kini sangat kasihan nasibnya, karena ber-
ubah rupa menjadi seekor burung belibis.
20. "Sekiranya Tuanku setuju atas saran hamba. Marilah kita ber-
dua menghadap kepada ayahanda dan bunda. Pasti beliau sa-
ngat berkenan hatinya mendapat menantu Tuan. Beliau tidak
akan murka."
167
PNRI
23. Maka tunduklah Sang puteri tidak segera memberikan ja-
waban. Ia bingung karena berbagai pertimbangan yang rumit.
Raja tak sabar. Maka diembannya Sang Kesuma. Dirayunya
dengan kasih mesra dan diciumnya berulang-ulang. Diucapkan
kalimat dari syair-syair yang indah.
168
PNRI
30. Tak henti-henti Sang Puteri dicium dengan perasaan sayang.
Baginda mampu menahan nafsunya. Keduanya mandi dan ber-
ganti kainlah Sang Puteri yang telah dibawakan oleh dayang-
dayang dari istana sebelumnya.
32. Aku telah bosan melihat burung behbis beijambul. Lebih ba-
gus tetap menjadi manusia saja. Mari kita menghadap paduka
ayahanda. Hamba selanjutnya yang bertanggung jawab sekira-
nya ayahanda murka kepada Baginda." Maka menyela Sang
Anglingdarma,
169
PNRI
atau yang kecil." Sang Belibis menjawab, agar Puteri jangan
mengulang-ulang lagi permintaan tersebut.
170
PNRI
31. MIJIL
171
PNRI
8. Tempat tidur terapung telah selesai. Sang Puteri berkata,
"Sekarang hanya burung belibis saja yang menemani saya tidur
di atas balai terapung." Sang Belibis pun menjawab bahwa
telah siap siaga.
9. Kemudian berjalanlah Ken Srengganawati ke arah kolam di
dalam taman mengemban burung belibis. Para dayang-dayang
mengikuti dari belakang sampai di pintu masuk. Mereka kem-
bali ke istana sementara Sang Puteri mengunci pintu dari da-
lam.
10. Puteri kini tinggal berdua dengan burung belibis. Berkatalah
Sang Puteri, "Ah bosan aku melihat jambul belibis." "Ini,
jambul bukan sembarang jambul, tetapi jambul menunggu
umur," jawab Belibis.
11. Sang Puteri menyembah sambil menahan tawa, "Maaflah aku
kakanda, memberanikan diri memegang jambul." Sambil di-
ambilnya tenung yang melekat. Maka berubahlah rupa bina-
tang itu, menjelma kembali berupa manusia bagus seperti
Hyang Asmara yang turun ke bumi.
172
PNRI
16. Puteri pun undur membuat hati panas. Dibaringkanlah Sang
Kusuma. Ia tengah merindukan kasih. Gadis remaja belum
kenal laki-laki, keringatnya keluar deras. Kini bertemu dengan
seorang duda tampan. Ulahnya seperti kupu-kupu yang me-
madu kasih.
17. Sang Kusuma tak mampu mengelak rayuan yang tak kunjung
henti. Badannya menjadi lelah dan terbaring lunglai di atas
kasur bunga. Hatinya takut-takut menghadapi desakan tubuh
Baginda.
22. Akibat terlalu lelah Sang Puteri tidak menjawab sepatah kata.
Pikirannya melayang-layang, bagaikan bunga yang jatuh ter-
tiup angin ia segera diangkat oleh Baginda dari tempat tidur,
kemudian dipangkunya.
173
PNRI
24. Begitulah Sang Kusuma tidur lelap di pangkuan dan disenan-
dung oleh irama kidung. Kemudian dipindahkan dari pang-
kuan ke atas balai, diapit oleh guling di kanan-kirinya.
25. Sampai hari pagi keduanya bangun tidur dan menuju ke ru-
ang mandi untuk berganti pakaian. Selesai mandi Baginda
membawa Sang Kusuma kembah ke tempatnya.
29. Lama sudah kedua insan itu saling memadu kasih di atas balai
terapung, menyebabkan rusaknya pemandangan akibat ba-
nyaknya bunga layu di dalam kandaga. Demikian pula keadaan
Sang Puteri.
174
PNRI
32. Para manggung dan para ketanggung semuanya tidak ada
yang ketinggalan. Bersabda Sang Raja kepada permaisuri,
Adinda Ibu Suri apakah gerangan sebabnya, puterimu telah la-
ma tidak datang menghadap. Mungkin teijadi sesuatu.
38. Telah lama hamba mengurangi makan dan minum, karena ba-
dan terasa berat." Namun Permaisuri tahu di dalam hati, bah-
wa Puterinya telah mengandung. Lemahlah rasa di dalam hati
Sang Ibu.
175
PNRI
elak. Namun terpegang sudah bagian pinggul yang mengem-
bang. Terperanjat Sang Ibu berteriak, "Aduh Nini Puteri,
tidak salah dugaanku.
41. Sejak tadi aku telah menduga. Jika ini diketahui oleh Sang Ra-
ja, pasti beliau sangat marah." Puteri pun sangat malu dan
menangis seraya meratap, "Bunuhlah patik ini."
176
PNRI
32. DURMA
177
PNRI
7. Mereka belum tentu berbuat salah, apalagi jika sampai mene-
mui ajalnya. Akulah sendiri yang menanggung salah karena
terlalu mempercayakan puteriku kepada mereka. Baginda ke-
mudian memerintahkan supaya Patih Jaksanegara datang
menghadap.
13. Semua peristiwa itu diketahui oleh Sang Puteri dan Raja Ang-
lingdarma. Bertanya Sang Puteri, "Bagaimana kehendak pa-
duka menghadapi penjagaan ketat oleh para mantri dan ba-
risan tentara.
178
PNRI
Mereka menjalankan perintah Ayahanda untuk menangkap
pencuri yang berani memasuki istana." Maka menjawablah
Sang Anglingdarma, "Saya akan menemui mereka semuanya.
Yang ingin menangkap diriku."
18. Dengan kapur sirih, kunir maupun abu arang, muka peijurit
banyak yang coreng-moreng. Ada pula yang giginya menjadi
hitam dan ada yang dicukur habis bulu mata, alis maupun
rambut di kepala. Ada yang hanya dicukur separo saja.
20. Satu sama lain saling menuduh, namun sebagian tertawa se-
nang menyaksikan teman-temannya kehilangan rambut dan
tampak kepalanya yang gundul. Sungguh-sungguh si pencuri
memiliki kesaktian yang tinggi. Semuanya menjadi ketakut-
an.
179
PNRI
21. Mereka berjumlah empat puluh orang, namun tak seorang yang
masih memiliki keris di pinggang. Maka diperoleh kata sepakat
untuk melaporkan semuanya kepada Ki Patih ke istana. Si
Pencuri yang masuk ke dalam istana sungguh bertenaga luar
biasa.
22. Para kajineman keluar dari pura dan langsung menghadap ke-
pada Ki Patih. Menyerahkan mati dan hidup karena tak ber-
hasil menangkap pencuri. Patih marah-marah, "Kalian semua-
nya anjing yang tidak berguna. Gerak-geriknya saja menakut-
kan orang.
25. Selama tujuh hari tujuh malam pura dijaga luar dan dalam.
Namun demikian masih juga teijadi bermacam peristiwa yang
tidak bisa dimengerti. Banyak teijadi perkelaian antara kawan
sendiri, atau malahan sampai meninggal dipukul oleh pencu-
ri yang sakti.
180
PNRI
28. Akibat perbuatannya negeriku menjadi tercemar, menonjol-
kan kepandaian dan kesaktiannya. Oleh karena itu wahai Pa-
tih, kuperintahkan kepadamu untuk mencari upaya ke luar
Bojonegoro. Siapa pun yang mampu menangkap si pencuri.
Kuberi hadiah negara beserta puteri.
30. Kepada semua pertapa, ajar serta jejanggan, ataupun para wasi,
mohonlah kesediaannya untuk menangkap si pencuri. Bawa-
lah mereka cepat-cepat ke negara Bojanegoro." Patih menyem-
bah dan mohon diri.
33. Mantri pertama itu tidak takut menerobos jalan-jalan yang su-
lit dilalui, meski kadang-kadang terpaksa naik gunung atau
pun merambah hutan yang penuh bahaya. Akhirnya ia ting-
galkan daerah kerajaan Bojonegoro.
181
PNRI
33. PANGKUR
5. Kini telah agak lama berlalu, kami kira Baginda tidak lagi
merenungkan permaisuri pertama. Batik Madrim tidak men-
jawab ia setuju dalam hatinya akan permohonan semua pung-
gawa tinggi. Maka naiklah ia ke atas panggung hendak meng-
hadap Sri Baginda.
182
PNRI
6. Turut serta bersama dia Raden Handayaningrat. Keduanya
tidak menemukan Sang Raja di atas. Dan kiranya Sang Raja
telah meninggalkan panggung itu agak lama. Ki Patih segera
turun kembali. Di bawah panggung ia duduk termenung
beberapa lamanya, ia menangis di dalam hatinya.
183
PNRI
12. Ternyata pohon itu tercabut disertai oleh sorak sorai segenap
yang melihat. Dilemparkan pohon tal itu ke atas sampai tidak
terlihat dan jatuhlah di tengah alun-alun. Kira-kira sepanjang
sepuluh asta terunjam di dalam tanah. Rombongan orang-
orang dan Patih Madrim pergi mendekati pohon tersebut.
13. "Sekali lagi kubuat pasang giri mengenai pohon tal ini. Kalian
semua menyaksikan. Jika setelah aku pergi mencari raja pohon
tal ini mati, itu tandanya bahwa aku kembali pulang tidak
bersama-sama dengan Sri Baginda. Tetapi jika ia tetap hidup,
tandanya aku akan kembali mengiringkan Sri Baginda."
184
PNRI
34. DANDANGGULA
185
PNRI
5. Maka temuilah dan terimalah apa yang dikatakan oleh seorang
Patih bernama Jaksanegara dari Negara Bojonegoro. Itulah
jalan yang harus kaulaksanakan agar kau bertemu dengan gusti-
mu. Maka beijalan kau ke arah Barat Daya. Keijakanlah
dengan patuh." Bangunlah Batik Madrim, ia segera melanjut-
kan perjalanan ke arah Barat Daya,
186
PNRI
11. "Aku sangat bersyukur bertemu dengan anak pendeta. Jangan-
lah bekerja setengah-setengah pergi ke kota, untung jika ber-
hasil ananda membantu kami. Kami mohon bantuannya un-
tuk menangkap pencuri sakti di dalam pura. Ia terlalu tinggi
ilmunya, rnampu mengalahkan para menteri tanpa melalui
pintu masuk.
12. Meskipun telah dijaga dengan ketat namun tak seorang melihat
kedatangannya. Raja Bojonegoro sangat besar duka nestapa-
nya. Itulah sebabnya aku mohon bantuan." Batik Madrim
terdiam, memikirkan si pencuri sakti. Siapa gerangan dia?
Ingin ia mengadu kesaktiannya dengan pencuri yang berani
masuk ke pura itu.
13. Jika aku nanti kalah bertanding dengan pencuri, biarlah aku
mati. Atau aku bisa bertemu dengan Sri Baginda. Akhirnya
ia menjawab, "Baiklah aku menyanggupi akan membantu
Sang Raja. Untuk bertanding dan menangkap si pencuri, bagai-
manapun saktinya pencuri itu." Segera dipeluknya Ki Madrin
oleh Ki Patih karena girangnya, "Aduhai anakanda.
15. Ketika itu Sang Raja Bojonegoro tengah berada di balai pa-
sewakan dihadap lengkap semua punggawa. Sang Baginda ber-
sabda kepada Patih Purwanegara, "Bagaimana kabar beritanya
Patih Jaksanegara? Ia telah kuperintahkan untuk mencari
bantuan ke mana pun yang sekiranya bisa mengatasi kekacau-
an yang teijadi di istana dewasa ini. Bukankah telah agak lama
ia meninggalkan pura?"
187
PNRI
negara telah datang diiringkan oleh seorang laki-laki muda.
Seluruh punggawa dan mantri menjadi gaduh, ingin menyak-
sikan Patih Jaksanegara yang baru datang.
19. Patik telah menjalankan tapa brata agak lama. Jika tidak mam-
pu menangkap pencuri, sayang berkumis lebat, lebih baik Ba-
tik Madrim menemui ajalnya. Patik biasa mengalahkan tetua
raksasa. Kini patik mohon kepada Baginda untuk membubar-
kan barisan yang menjaga istana, karena si pencuri dapat me-
nyelinap di antara orang banyak.
188
PNRI
22. Kalau-kalau si pencuri ulung menjelma dalam tubuh binatang
serta unggas, biar dikumpulkan di depan Sri Narpati." Baginda
pun segera memerintahkan untuk memindahkan binatang pia-
raan dari dalam istana. Maka dilaksanakan perintah Baginda
tersebut sehingga sebentar saja di hadapan Sang Raja telah
dipenuhi oleh ayam, itik dan burung-burung.
189
PNRI
35. DURMA
190
PNRI
8. Hanya permohonan patik jangan seorang pun di antara para
penjaga yang tidur." Baiklah jika begitu kehendakmu Ma-
drim." Cepat kautangkap." Madrim pun meninggalkan tempat
sambil memegang sebuah sisir. Sisir itu disipkan di rambut
mencari bau pencuri.
9. Bau pencuri itu datang dari kanan dan kiri, membuat Bathik
Madrim kebingungan. Ia diam mngheningkan ciptanya, mente-
rapkan aji pemberian Sang Yogi guna menyatukan bau dari
berbagai arah.
191
PNRI
16. Semua saja yang dimiliki oleh Puteri paduka, jika nanti hamba
kehendaki mohon diberikan, meskipun Puteri tidak setuju.
Di sanalah pencuri itu bersembunyi." Maka Baginda pun me-
merintahkan kepada Sebetan untuk memanggil Tuan Puteri.
192
PNRI
36. ASMARANDANA
193
PNRI
7. Setelah itu Baginda memerintah kepada Madrim, "Nah seka-
rang tangkaplah pencuri itu Madrim." Menyembah Bathik
Madrim, "Sebenarnya Patik takut melaksanakan, karena dia
tidak mau berpisah sebentar pun dengan Tuan Puteri.
194
PNRI
karena digunakan bersembunyi oleh pencuri." Sang Puteri
berkata keras, "Benar-benar Madrim kurang ajar. Berkata asal
membuka mulut. Bunga tanjung dikatakan tempat pencuri.
Tidak tahu aturan."
17. Tak salah hamba minta kancing gelung Sang Kusuma seka-
rang." Sekali lagi bengis kata Sang Puteri," Sungguh Madrim
mabuk dan gila, ulahnya tidak wajar.
18. Ini bukan pemberian ramanda. Aku tidak boleh jika kaumin-
ta. Ki Madrim menjawab agak keras," Biar boleh atau tidak
boleh hamba minta benda itu gusti." Baginda pun memben-
tak, "berikan benda itu cepat-cepat."
19. Sang ganti rupa berbisik, "Adinda berikanlah segera, aku ingin
beralih tempat ke subangmu." Maka dilepaslah kancing gelung
Sang Retna dan disampaikan kepada ramanda.
22. Yang berada di jari manis. Dalam pada itu Baginda bersabda,
195
PNRI
"Jika dapat kutangkap ditangkap di tanganku pasti kuhancur-
kan tubuhnya. Kiranya ia dewa yang mampu menjadi halus
maupun menjadi cair membuat kesulitan hati orang lain."
25. Akan hamba bakar cincin itu, karena di sanalah pencuri ber-
sembunyi". Sang Puteri tajam dan keras jawabnya," Ini bukan
pemberian Baginda. Aku telah menemukan sendiri. Biar di
beli dua ribu tidak akan kuberikan.
26. Lebih baik kepalamu Madrim, dibakar dengan api agar supaya
meletus." Maka Sang Puteri pun menangis meratap mengiba-
iba," Bunuhlah saya, jangan memperpanjang rasa malu di
depan orang.
28. Mana pencurinya Madrim? Jika kau tidak berkata benar, pasti
kupenggal lehermu. "Bathik Madrim menyembah," Tinggal
sekali lagi Baginda. Pencurinya telah terpojok, Jika hamba
gagal terserah kehendak paduka.
196
PNRI
37. PANGKUR
2. Sang Puteri pun melepas cincin yang berada di jari manis di-
campakkannya keras-keras di batu yang berada di tepi kolam.
Sambil berkata bengis, "Inilah yang kaukatakan pencuri,
tangkaplah dia."
197
PNRI
7. Bersorak gemuruh semua menteri dan bupati. Anglingdarma
merasa malu, ia mengheningkan cipta membuat kabut tebal
sehingga keadaan di istana menjadi gelap gulita. Semua orang
geger mengira teijadi gerhana, pergi ke sana kemari. Segera
Bathik Madrim menciptakan angin besar.
198
PNRI
13. Maka Sang Maharaja Anglingdarma menantang Bathik Madrim
untuk mengajarnya masuk ke dalam api, "Wahai wasi muda
susullah saya pencuri yang akan kautangkap, Kehendakku
direstui oleh para sakti tak sembarang orang mampu melawan
kesaktianku.
199
PNRI
38. KINANTI
4. Saya turuni jurang yang terjal dan saya daki gunung yang ting-
gi. Kuterobos segala hutan hanya untuk mencari paduka raja.
Dari desa ke desa kuamati satu persatu, tanpa takut sakit
dan maut yang mengancam.
200
PNRI
8. Tiada lagi merasa diri bertanding kesaktian dan api pun kem-
bali pulang ke Kahyangan Suralaya. Sang Raja Anglingdarma
turun dan. berdiri di bawah pohon angsana. Madrim melihat-
nya.
16. Sebagai jalan untuk minta Sang Puteri sebagai isteri. Sekiranya
Sang Raja menolak patiklah yang akan menggempur negara ini,
201
PNRI
biarpun hamba menemui ajal. "Aku malu," sabda Baginda
sambil tersenyum.
20. Setelah menyembah Bathik Madrim minta diri dan terus meng-
hadap Baginda Raja Bojonegoro. Ditanya Madrim, "apa ke-
hendaknya sekarang. Mengapa datang seorang diri saja.
21. Di mana pencuri ulung itu?" Maka Batik Madrim pun mela-
porkan kepada Baginda tentang perkembangan terakhir dalam
usahanya menangkap pencuri ulung.
23. Hamba telah khilaf karena bingung dan kepayahan, hingga ti-
dak lagi mengenal, bahwa gusti hamba yang menjadi pencuri
sakti dan menjelma belibis putih. Itulah ananda Raja bumi
Malawapati."
24. Sejenak Baginda tidak mengucap sepatah pun. Heran dan gem-
bira bercampur mendengarkan laporan Bathik Madrim. Akhir-
nya Baginda bertanya, "Di mana beliau sekarang?"
202
PNRI
25. "Beliau berdiri di bawah pohon angsana," sembah Madrim.
Baginda memanggil Patih Jaksanegara dan Patih Purwanegara.
Keduanya diperintahkan untuk menjemput Raja Anglingdar-
ma.
33. Kami rasakan seperti jatuhnya "daru" dan gunung emas dari
203
PNRI
langit. Tergenang oleh lautan madu. Ayahanda merasa hati
gembira tiada terkira, i'barat kedatangan dewa Suralaya."
204
PNRI
mati kehidupan istana, maka saatnya telah tiba untuk menjadi
pertapa. Namun Anglingdarma menolak saran Baginda ter-
sebut.
43. Selama jangka waktu dua belas tahun hamba tidak dibenarkan
menjadi raja, akibat kutukan Dewi Uma dan Dewi Ratih.
Oleh karena itu pula sekarang hamba mohon diperkenankan
meninggalkan negara Bojonegoro ini.
205
PNRI
PNRI
Serat
ANGLINGDARMA
1
PNRI
PNRI
1. ASMARADANA
209
PNRI
5. Negarinira Narpati,
in gar an Malawapatya,
pasir mawukir prajane,
angungkuraken aldaka,
ngajengaken muwara,
tulus kang sarwa tinandur,
eca manahing kawula.
6. Negari Malawapati,
kalangkung gemah raharja,
kacarita punggawane,
dhomas cacahing nagara,
sami prawireng yuda,
manggala para gul-agul,
tate angelar jajahan.
7. Bisikanira Narpati,
Maharaja Anglingdarma,
tan kuciwa ing baguse,
dibya sekti mandraguna,
prawira kinawasa,
rama-ibu raja-ratu,
pan aeyang binagavvan.
210
PNRI
10. Inggih Patih Bathik Madrim,
ingkang angelar jajahan,
pinrep ing yuda antuke,
dadya anungkul sedaya,
kang para raja-raja,
sumuyud turputrinipun,
sedaya sampun kagarwa,
11. Dhomas cacahe pra putri,
kang katur ing Srinarendra,
citrane sami yu anom,
Ki Patih wus tinariman,
sentananing narendra,
kaprenah misan lan prabu,
ayu endah warnanira.
12. Wasta Dewi Ranggawati,
adarbe ari sajuga,
jalu abagus warnane,
sampun kinula-wisudha,
jumenengken punggawa,
rong-ewu lelungguhipun,
aran Arya Wijanarka.
13. Cinarita Bathik Madrim,
tunggil paguron lan nata,
mila kelangkung sektine,
citrane mirip Sang Nata,
bagus prawira truna,
nanging awon swaranipun,
radi celat yen ngandika.
211
PNRI
15. Adarbe putra sasiki,
sira sang maha-pandhita,
Dewi Setya panengrane,
jejuluk Ambarawatya,
ayu datanpa sama,
sami estri lengleng mangu,
umiyat ing sang kusuma.
212
PNRI
20. Risang kusumaning puri,
ketarda cembruwanira,
selamine pepenganten,
dereng kenging sapocapan,
para putri sadaya,
tan kena celak sang prabu,
miwah selir pepingitan.
21. Kang kena marek sang aji,
para babu inya tuwa,
ingkang sampun luwas geteh,
ing mangke wus tigang candra,
denya panggih sang nata,
langkung sungkawa Sang Prabu,
enjing miyos siniwaka.
213
PNRI
25. Tumenggung Amongprajeki,
jajar lan Demang Ngurawan,
Adipati Metaune,
pepak punggawa Melawa,
geng alit asewaka,
mantri tan kena ingetung,
kadi trunaning udaya.
26. Kyai Patih Bathik Madrim,
ngandika mring sitibentar,
prapteng ngarsa tur sembahe,
ngandika Srinaradipa,
den kepareng ing ngarsa,
nembah sandika turipun,
Sang Nata malih ngandika.
214
PNRI
30. Sampun jamaking pawestri,
dewaji ambeg wisuna,
kedah ingemong solahe,
manawi sampun kajiwa,
yekti sumanggeng karsa,
nistha panjenengan ratu,
yen dukaa marang garwa.
31. Lipur tyasira narpati,
myarsa ature apatya,
dadya ris pangandikane,
kakang sun arsa cangkrama,
marang taman Bagendha,
saosna dipangganingsun,
sandika aturing patya.
32. Swandana sampun sumaji,
pepayon baludru rekta,
apalisir sutra jene,
apus buntut kuswaraga,
kekalung mas rinengga,
pinatik inten jumerut,
murub jwalaning retna.
33. Dipangga dinulu asri,
kang tulale ingulesan,
sutra rekta lawan ijo,
yen angadeg kadi teja,
malang kadi lengkawa,
malengkung kadi kekuwung,
moiah lir calorot warsa.
215
PNRI
35. Sumrek kang bala lumaris,
budhale sangking nagara,
sri tinon upacarane,
jajaran awarna-warna,
wadya sikep gegaman,
binusanan abra murub,
lir pendah sekar sataman.
36. Sarageni sikep bedhil,
wong nyutra sikep warastra,
datan kaliru prenahe,
waos-binang reruwitan,
cemeng kumbala badhag,
dwaja lawan umbul-umbul,
daludak lelayu abra.
216
PNRI
40. Akathah samya ngemasi,
maesa danu andaka,
Ki Arya Wijanarkane,
malah putung watangira,
andaka sru nerajang,
pejah tinampiling mawur,
mukanira ting palesat.
41. Kalangkung suka sang aji,
umiyat ing pra punggawa,
prawira sura tandange,
miwah kang wadya sedaya,
sami suka tumingal,
gumuruh suraking wadu,
gambira wong kasinoman.
217
PNRI
2. SINOM
218
PNRI
bandera gula kalapa,
ing ngarsa wong sarageni,
punggawa ingkang keri,
gegamanira neng ngayun,
tengranira neng wuntat,
sakathahing para mantri,
samya ngapit kanan-keringe dipangga.
5. Wong agandhek mantri mudha,
angampil upacara Ji,
asawang prawata sekar,
gegamanira Sang Aji,
busananing prajurit,
dinulu pating palancur,
kasongan ing raditya,
ujwalane kadi thathit,
sampun kongas gapurane kang udyana.
219
PNRI
8. Gya wangsul marek Sang Nata,
makidhupuh mangenjali,
Dewaji atur kawula,
milane kadheg kang baris,
jroning udyana gusti,
wonten sarpa naga agung,
kirda lan ula tampar,
sigra tumedhak Sang Aji,
angandika singgahna wadya pengarsa.
9. Ingsun akersa uninga,
polahe sarpa kang lagi,
akirda lan ula tampar,
piyak sakathahing baris,
lajeng Srinarapati,
sapraptane prenahipun,
kang kirda katingalan,
de Sang Nata Nagagini,
somahira kang raka Nagapratala.
220
PNRI
12. Ula tampar kawatgata,
tenggakira tigas panting,
Sang Nagagini mangkana,
kasarempet ponang pethit,
kagyat agya anolih,
Sang Nagagini andulu,
yen raja Anglingdarma,
ingkang angagem jemparing,
Nagagini lumayu nrajang laleyan.
13. Sakelangkung wirangira,
tiptanira Nagagini,
Anglingdarma kaniaya,
mateni wong padha asih,
tan lila awak mami,
nora wurung sun wewadul,
mring Kang Nagapratala,
sun anjaluk ukum pati,
Prabu Anglingdarma angungun tumingal.
14. Ing solahira Sang Naga,
aniba-niba kepati,
asru denira ngandika,
abaliya Nagagini,
age sun usadani,
buntutira ingkang tatu,
malumpat pager bata,
Sang Naga datan anolih,
tan sumaur inguwuh-uwuh sang nata.
221
PNRI
16. Laju lampahe sang nata,
esmu sungkawa ing galih,
miyat langening puspita,
dadya anamur wingit,
mider ing tamansari,
akersa siram sang prabu,
sakehing wadyabala,
sadaya amagersari,
baris kubeng mider sajeron ing taman.
17. Amung kang para santana,
tumut mring jro lan apatih,
Sang Nata langkung kacaryan,
tumingal langening sari,
Sang Nata asesumping,
angilo marang ing ranu,
ngandika ing wardaya,
sun Ratu anom apekik,
tan aguna tinampik marang wanodya.
222
PNRI
3. DHANDHANGGULA
224
PNRI
saking ngarsaning Narendra,
asuwara mring wadya heh pra dipati,
kabeh padha saosa.
8. Dipun sami prayitna ing westhi,
aja pisah sagegainanira,
heh weruha sira kabeh,
gustinira sang prabu,
angalangi Sang Nagagini,
denya ulah miruda,
ing wetaranipun,
lara atine Sang Sarpa,
bedhangipun mati keni ing jemparing,
ira Srinaranata.
9. Datan wandewadul mring kang laki,
yekti ginugu satuturira,
mring priya tan wruh purwane,
krodha ing temahipun,
Sang Pratala mring Sribupati,
sagung para nayaka,
den prayitneng kewuh,
Nagapratala kawasa,
anung dibya bisa ngambah agal rempit,
asekti mandraguna.
10. Sami sandika ature mantri,
para nayaka sami sawega,
miwah para prawirane,
enengena Sang Prabu,
wonten ingkang winarna malih,
Nata Sura denawa,
asekti pinunjul,
kang kedhaton Nagri Baka,
ajejuluk Maraja Kalawerdati,
mengkana cinarita.
11. Tedhakira Mraja Kalasrenggi,
kang pejah dening Sang Dananjaya,
Sang Kalawerdati mangke,
karsa amales ukum,
225
PNRI
mring tedhake Arjunapati,
atiwikrama warna,
wanodya yu luhung,
sabature kawandasa,
sapraptane Melawa kepasang yogi,
Sang Nata apepara.
12. Aneng udyana sampun udani,
Kalawerdati jujug ing taman,
anyidra Nata sedyane,
ing way ah tengah dalu,
Patih Bathik Madrim Winarni,
datan eca ing driya,
ngartika ing kalbu,
apa wahanane baya,
rasaning tyas sasore asenak-senik,
Ki Patih gya tumedhak.
13. Kang akemit sedaya wus guling,
sami kena ing pangaribawa,
sanget mandi sesirepe,
Apatih alon muwus,
lah ta apa wadine iki,
dene kaya tinuba,
wong kabeh aturu,
apa si Nagapratala,
masang sirep arsa nyidra Sribupati,
iya bilai sira.
14. Lah ing ngendi genira pinanggih,
lawan Naga sun mangsa wediya,
medal Apatih yitnage,
anyangking larasipun,
datan ana wadya udani,
prapteng jawining taman,
teka rangu-rangu,
yata ingkang kawarnaa,
sira Prabu Kalawerdati gya prapti,
maksih warna wanodya.
226
PNRI
15. Wangwang cundhuk ing rekyana patih,
alon atanya sira wong apa,
dalu-dalu prapteng kena,
kang tinanya sumaur,
ingsun iki Endhang ing wukir,
mila mudhun mring praja,
nenggih sedyaningsun,
arsa ngunggahi Maraja,
Anglingdarma kacarita sangking wukir,
yen tedhaking Arjuna.
16. Patih Madrim angandika aris,
iya ingsun Raja Anglingdarma,
tuhu trailing Aijunane,
yen sira tuhu-tuhu,
angunggahi ing jeneng mami,
lah sira manembaha,
nukemana suku,
kang mindha estri alatah,
sampun mulih warnane raseksa angrik,
sawadya kawandasa.
227
PNRI
yekti mengko ingsun,
anagih marang ing sira,
ulungena pati uripira aglis,
kagyat apatih mojar.
19. Mara sira tekakna raseksi,
budinira ngayoni maringwang,
iya sun kembari dhewe,
apa ta gegamanmu,
tamakena ing awak mami,
reksesandra bramantya,
asru denya nubruk,
anggero sarwi angerah,
penyaute kang den angkah gulu iring,
Bathik Madrim alatah.
20. Uculena guluningsun anjing,
keri timen ingsun nora sotah,
ilerira ting dalewer,
balik kanta katgamu,
lah tariken tamakna mami,
siyungmu tan tumama,
marang awak ingsun,
Kalawerdati bramantya,
sigra narik bedhama merang anitir,
Bathik Madrim tan pasah.
21. Dyan winales Sang Kalawerdati,
tinampiling mukanira bencah,
mawur abrit ludirane,
sang denawendra lampus,
wadyanira kawandasa glis,
nerajang mring Apatya,
Madrim ginarumung,
kinembulan ing denawa,
kawandasa sareng anerajang wani,
kagyat apatih mojar
22. Tadhahana jemparingsun iki,
linepasan sakehing denawa,
228
PNRI
kawandasa tumpes kabeh,
rekyana patih wangsul,
mring udyana wus bangun enjing,
wadya tangi sedaya,
tan ana kang weruh,
yen Apatih Mangun yuda,
Hyang Haruna wus mijil sakehing mantri,
saos ing ngarsa nata.
23. Kang dipangga wus den pelanani,
yitnaning wadya bilih sang nata,
karsa kondur mring purane,
kawarnaa sang prabu,
lagya wungu genira guling,
ngraos kangen ing garwa,
ngandika Sang Prabu,
kakang Madrim saosena,
gajahingsun sandika ature patih,
sumaos kang swandana.
24. Sigra tengara umyang kang dasih,
budhal asukan-sukan samarga,
punggawa pra mantri akeh,
anggarebeg ing prabu,
neng srengganing esthi pan asri,
lampahira narendra,
tan adangu rawuh,
ing praja sigra Ki Patya,
aparentah ing sagung para Dipati,
aja n a sare wisma.
25. Padha saosa ing dalem puri,
den prayitna si Nagapratala,
sekti manjing ajur-ajer,
yen ana rupa senuk.
bantheng kidang kelawan kancil,
miwah yen rupa sarpa,
terajangan iku,
pasthi si Nagapratala,
pan sinekti barang saciptane dadi,
sami matur sandika.
229
PNRI
26. Para nayaka tan wonten mulih,
srinarendra prapteng penangkilan,
tedhak sangking wahanane,
kawarnaa Sang Ayu,
Dewi Setya garwanireki,
putri sangking aldaka,
lenggah panti arum,
ingayap dening pawongan,
Niken Inya mandhala datana tebih,
angandika sang retna.
27. Biyang Inya Sang Nata aneng di,
matur anembah kesah pepara,
anggerit sangsam lan bantheng,
dhateng ing wana agung,
angandika Sang lir apsari,
ingsun den timbalana,
milu ing sang prabu,
sapungkure gustinira,
rasaning tyas oneng kaya gaya prapti,
kapengin sapocapan.
28. Ingsun angrasa yen laki gusti,
Inyamandhala suka tur sembah,
yen rawuh sang nata mangke,
paduka yogya methuk,
neng wiwara pareng Sang Dewi,
saha ture ni inya,
kasaru Sang Prabu,
rawuh kang wadya gumerah,
aneng jaba ngedhaton Srinarapati,
garwa mapag ing lawang.
29. Paregolan mandheg nikel warti,
Sang Dayinta angaras pada Sang,
Srinata kapiteng tyase,
garwa lajeng sinambut,
astanira kinanthi-kanthi,
binekteng kenyapura,
pinarek neng babut,
230
PNRI
atarap para biyada,
sami marak Sang Nata myang para bibi,
andher aneng byantara.
30. Upami lintang sakehing putri,
kusumeng arga upama wulan,
anelahi ujwalane,
tansah ing pangkon Prabu,
sakemantyan suka Sang Aji,
Sang Dyah tansah kinuswa,
rinoban pangungrum,
sinambut binekteng tilam,
para inya sigra denya tangkep samir,
mundur para biyada.
231
PNRI
4. DURMA
232
PNRI
5. Maring Raja Anglingdarma ing Malawa,
lah uwis ingsun amit,
alebu tumangan,
awirang marang dewa,
tan dreman ingsun aurip,
den kaniaya,
ing wong tan anulungi.
6. Yen mangkono abot marang Anglingdarma,
pedah apa pawestri,
Sang Nagapratala,
Myarsa sambating garwa,
kalangkung angresing galih,
pan durung ana,
cidrane Nagagini,
233
PNRI
10. Duk umedal sira Sang Nagapratala,
ngambang mider ing tasik,
ilat ngalat-alat,
ing ngling swara angakak,
mider saambaning pasir,
sigra umedal,
marang Melawapati.
234
PNRI
15. Yen arsaa Nagapratala sikara,
maring punggawa mantri,
pasthi tetumpesan,
nanging Nagapratala,
datan arsa memateni,
wong tanpa dosa,
jrih dukaning Dewadi.
16. Yata mundur sang naga atiwikrama,
ngadeg ing wringin rakit,
sajembaring jagad,
kuwasa ngiderana,
wus awor lan Dewaresi,
manjing jro pura,
datan wonten udani,
17. Langkung sekti sira Nagapratala,
datan amawi margi,
denya manjing pura,
datan amawi swara,
neng bangsal wangunan asri,
sampun waspada,
ing prenahe Sang Aji.
18. Teka rangu-rangu Sang Nagapratala,
karasa jrone ati,
denya amemitra,
lawan Srinaranata,
rikalanira alinggih,
aneng paheman,
jangji kadang sayekti.
19. Kawarnaa kang lagya among asmara,
pratistheng tilam-sari,
Raja Anglingdarma,
kelawan Dewi Setya,
sampunira pulangresmi,
lenggah kaliyan,
sang dyah matur wotsari.
235
PNRI
20. Dhuh dewaji tan eca raosing driya,
sarawuh Paduka Ji,
sangking acangkrama,
kadi wong dukacipta,
abdine kelangkung ajrih,
dereng uninga,
sesikune pawestri.
21. Kathah tuna-dungkape tetiyang arga,
tan wruh dugi-prayogi,
sru maras kawula,
menawi kalepatan,
ing tindak-tanduking estri,
den uningakna,
rehning itikan wukir.
22. Angandika sang nata amengkul madya,
dhuh atma jiwa mami,
aja salah tampa,
sungkawaning tyasingwang,
duk ingsun cangkrama yayi,
banjur mring taman,
Bagendha sedya mami.
236
PNRI
25. Tan derana sun yayi amenthang langkap,
ula Tampar sun ungkih,
pedhot gulunira,
nging Nagagini kena,
pethite kampat lumaris,
nrajang laleyan,
sun uwuh tan anolih.
26. Sang dyah matur jeng paduka salah karya,
dadya ngalang-alangi,
ing wong padha karsa,
sang nata ris ngandika,
bener ujarira yayi,
weruhanira,
iya si Nagagini.
27. Ingkang duwe somah si Nagapratala,
iku wus manjing dadi,
kadangingsun tuwa,
tan na rasa-rumangsa,
sumitra sudarawedi,
somahe lambang
sari lan ula cilik.
237
PNRI
30. Anglengkara yen atutura culika,
yekti mung ala mami,
kang tinuturika,
yen kuranga pariksa,
kang naga mring awak mami,
pasthi sun pejah,
sumarma ngong prihatin.
31. Sang Dyah asru angungun ing manahira,
myarsa pangandika Ji,
kumembeng kang waspa,
sarya nungkemi pada,
Sang Nata awlas ningali,
dene sang retna,
waspanira dres mijil.
238
PNRI
5. MIJIL
239
PNRI
wong dalem samya jrih,
myarsa swaranipun.
240
PNRI
sangking kayangan ika jujuge,
nadyan ingsun amanggiha pati,
tan arsa gumingsir,
pracayeng Dewa gung.
12. Wruhanira si Kakang asekti,
tan kewran pakewoh,
agal-alit manjing ajur-ajer,
umpetana jroning gedhong wesi,
pasthi sun kapanggih,
sikakang yen bendu.
13. Sang Dyah bondheti kuncaning laki,
waspa dres umiyos,
Sang Pratala asru pamuwuse,
yayi prabu mijila den aglis,
kadangira prapti,
yata Sang Aprabu.
14. Sigra ambenggang astaning rabi,
melajar tan alon,
prateng jawi panggih lan mitrane,
pinangku wau Srinarapati,
sedhengnya samya sih,
Sarpendra amuwus.
241
PNRI
17. Sang naga ngling aja sira pikir,
geng tarimaningong,
mring sira tan duwe kadang maneh,
ing dunya ing delahan ri Aji,
kadangingsun yekti,
Anglingdarma prabu.
18. Tan awiwang sinembah ing dasih,
bagus citranya nom,
sekti mandraguna wruh ing agel,
setya ing ujar legaweng pati,
sih mring mitraneki,
nora bisa ingsun.
19. Amales marang sihira yayi,
ana ajiningong,
aji Suleman ageng sawabe,
wikan basane salir kumelip,
baya wus pinasthi,
kersane Dewa gung.
20. Lamun sira ingkang anduweni,
yayi ajiningong,
tan kena ngrungu jalma liyane,
payo lunga marang don sepi,
menyang ing wanadri,
lawan wekasingsun.
21. Aja amuruk marang ing rabi,
poma wekasingong,
miwah putra kawula-wargane,
lamun sira muruka yayi,
pasthi ngong ngemasi,
tan sae tinemu.
22. Amituhu Sang Anglingdarma Ji,
wasana ngalap sor,
kalinggamurda ing pasihane,
kacancang munggeng pucuking weni,
dadyaa paripih,
sihing kang dhumawuh.
242
PNRI
23. Sang Nagapratala muwus malih,
yayi ariningong,
lamun uwis terang ing karsane,
nedha marang alas kang asepi,
ngong lilani yayi,
nitih gigiringsun.
24. Lenggana Sang Anglingdarma aji,
gya sinambut alon,
tinitihaken aneng gigire,
Nagapratala anulya mijil,
sangking dalem puri,
lampahe lir daru.
25. Sakedhap prapta madyeng wanadri,
sang naga ngling alon,
Yayi Prabu tumuruna age,
lki wus prapta madyeng wanadri,
lor-kidul atebih,
tan ana kang weruh.
243
PNRI
6. ASMARADANA
244
PNRI
5. Ingkang kacipteng Narpati,
amung kusumeng aldaka,
mila sineru lampahe,
pangunaandikanira,
yen ingsun tan praptaa,
saari iki kedhatun,
ingsun wetara ing nala.
6. Garwaningsun tuweg ragi,
kang keri sajroning pura,
anyengguh kalamun ingong,
pinaten ing kakang Naga,
pratala aneng wana,
sun tedha marang dewa gung,
aja kongsi tuweg raga.
7. Anaa kang mituturi,
rabiningsun Dewi Setya,
byatitanen Sang Akatong,
kang umentar marang pura,
ganti ingkang winarna,
garwanira Sang Aprabu,
kusumadi ing aldaka.
245
PNRI
10. Pinaten aneng wanadri,
Sang Prabu marang si Naga,
yen estu seda Sang Katong,
biyang manira abela,
apan atuweg raga,
tan dreman ingsun tumuwuh,
sang dyah kumembeng kang waspa.
11. Inya umatur wotsari,
ratumas atur kawula,
nadyan silih gegebale,
yen gusti bela ing Nata,
abdi mangsa kantuna,
sedaya bela tumuntur,
tan saged angabdi liya.
246
PNRI
15. Angres ing manah myat gusti,
ing dwara kidul wus prapta,
jumeneng aneng tirahe,
sang dyah sanget ngarsa-arsa,
ing raka Srinarendra,
wong dalem aglar neng ngayun,
tan adoh emban lan inya.
247
PNRI
20. Swuh rempu sarira kalih,
gupuh lumajeng sang retna,
sarwi ambuwang patreme,
sigra anungkemi pada,
sarya maca udrasa,
sesambatira mlas-ayun,
Pangeran Gusti kawula.
248
PNRI
25. Kagyat Sang Srinarapati,
miyarsa semut rerasan,
mekaten ing pangucape,
batur kanca suminggaha,
menawa ta kaidak,
marang ing wong puranipun,
abdine Raja Nglingdarma.
26. Tuna wruh ing bener sami,
Sang Nata mesem ngandika,
Sang Dyah atampi manahe,
umatur marang Kang Raka,
dhuh Dewa paran marma,
mesem tanpa keraneku,
Raja Nglingdarma ngandika.
249
PNRI
30. Gamelan munya ngrerangin,
mungguh ing panti pandhapa,
kalih lajur bedhayane,
wus linorod kang begsan,
wangwang Srinaranata,
anambut ing garwanipun,
binekta mring pekasutan.
31. Ni Inya wus tangkep samir,
Maharaja Anglingdarma,
angungrum marang garwane,
lir bremara nguswa sekar,
mrih maduning puspita,
kathah pawongan kayungyun,
saweneh medal ing jaba.
250
PNRI
7. MIJIL
251
PNRI
sru amiwal kapti,
ngeses sambat lampus.
6. Yata kocapa wisuna kalih,
lanang lawan wadon,
Ki Srepana kang lanang wastane,
ingkang wadon wasta ni Srepani,
wonten ing lelangit,
putih warnanipun.
7. Ki Srepana angucap ing rabi,
lah payo wong wadon,
padha karesmen sadhela bae,
ingsun kapengin tinuru sang aji,
canggeh ingkang estri,
anayuti kayun.
8. Ni Srepani linge melas-asih,
dhuh lenggana ing wong,
weteng ingsun lagyana endhoge,
kaya priye yen apulangresmi,
alimana mami,
wetengku anjendhul.
9. Ki Srepana ameksa ing rabi,
lah payo wong wadon,
aja maras sun irih-irihe,
pasthi sira nora angemasi,
ingsun kekerihi,
dimene glis metu.
10. Wisunestri sugal amangsuli,
bok aja anguthoh,
apan ingsun lenggana karsane,
lagi meteng maras ingkang ati,
pecah endhog mami,
neng jero yen lampus.
11. Yata pineksa wau kang estri,
ingajak peturon,
ni Srepani asru lengganane,
252
PNRI
sigra lumajar dipun tututi,
sinaut kang estri,
tugel buntutipun.
253
PNRI
17. Nadyan akeh wanodya kang adi,
atmajane katong,
nora siring lan andika angger,
ingsun pindha pindha puspita di,
kinarya sesumping,
ap antes sun suhun.
18. Setyanana kawula mas gusti,
den tumekeng layon,
anjalmaa kongsi ping saptane,
pan dadiya dasihmu mas gusti,
tan jrih nuku pati,
sumiweng sang ayu.
19. Aja sira salah tampa yayi,
dene guyuningong,
aningali wisuna yektine,
Ki Srepana lanange kang estri,
awasta Srepani,
den ajak ing kakung.
20. Kapengin solahira lan mami,
lenggana kang wadon,
ingkang lanang asru pameksane,
kadrawasan sinaut kang estri,
tiba ing geguling,
tugel buntutipun.
21. Yen sira tan piyandel ing mami,
dulunen mas ingong,
iku wisuna wadon buntute,
muget-muget tiba ing geguling,
mesem raden Dewi,
tumingal ing buntut.
22. Matur sang retna saha wotsari,
dhuh dewa sang katong,
dingaren dene wikan basane,
Sang Nata ngling sun winejang yayi,
ing aji dipati,
sumarmane putus.
254
PNRI
23. Kakang Nagapratala kang misik,
iku guruningong,
Dewi Setyawati Ion ature,
amung paduka Srinarapati,
gen kawula nyethi,
den tumekeng lampus.
24. Dahat tan arsa mengeng ing gusti,
ngamungna jeng katong,
kang darbeya dasih selamine,
nanging kawula aminta Aji,
kang weruh basaning,
saliring tumuwuh.
25. Esmu ngungun Sang Srinarapati,
andikane alon,
dhuh mas mirah jiwaningsun angger,
kabeh pundhutan sakehing aji,
sumangga maskwari,
nanging aja iku.
255
PNRI
yen manah patitis,
sawabe puniku.
29. Aji Janurwenda sangking laki,
Sang Aijuna kaot,
sun wetara mirah swarnane,
kaya sira kang aran Srikandhi,
Sang Dyah esmu runtik,
kawula tan ayun.
256
PNRI
yen muruka marang sira angger,
cidreng guru tan manggih basuki,
lamun sira apti,
ana ajiningsun.
35. Lawan akeh sawabe kang aji,
yen lumaku adoh,
tan kangelan manjing ajur-ajer,
iku prayoga aji linuv/ih,
lah mara maskwari,
sira ingsun wuruk.
36. Dewi Setya asru dahat apti,
winuksa ing katong,
lamun dede Suleman ajine,
cinarita wus angsal sapta ri,
denira angudi,
srinata akukuh.
257
PNRI
8. SINOM
258
PNRI
Sang Nata angusap jaja,
adhuh mirahingsun gusti,
welinge Sang Ayogi,
sun kinen among sireku,
nadyan sira lebuwa,
tumangan ingsun belani,
datan arsa pun kakang madayang ujar.
5. Lebura awor dahana,
aja pisah ngong kekalih,
Sang Retna matur ing raka,
animbalana pun Patih,
Paduka ken akardi,
gunung agni ngalun-alun,
wateke Nata dibya,
tan cidra wuwus kawijil,
wus s u m u r u p ing h a r u n a r a tetiga
259
PNRI
8. Pinasthi karsane dewa,
ingsun mati ambelani,
Gustimu lebu tumangan,
lah biyang Inya den aglis,
timbalana Si Patih,
kang kinen wus nembah metu,
prapta ing pagelaran,
tundhuk kelawan ki patih,
dhinawuhan Ki Bathik Madrim ngandikan.
9. Ing Nata manjing ing pura,
sandika aturira glis,
kerit ing Inya apatya,
ingawe marang Sang Aji,
majeng saha wotsari,
prapta ing ngarsa rinangkul,
ing Nata binisikan,
kakang akaryaa wukir,
dahana lan panggungan ing pagelaran.
260
PNRI
12. Sampun wiyah ing wanita,
akarya beka ing laki,
nanging tan dhateng ing prana,
yen tineguhan kang ati,
•dhuh Gusti Sang lir Ratih,
sampun anuruti nepsu,
tan yogi kang pinanggya,
pepindhane estri adi,
yekti anut punapa karsaning priya.
13. Akathah-kathah turira,
Ki Apatih Bathik Madrim,
dhateng kusumeng aldaka,
Dewi Setya asru angling,
lah menenga ta patih,
aja kakehan celathu,
lamun ora tinekan,
goningsun anjaluk aji,
raganingsun suka tumekeng antaka.
261
PNRI
16. Lan dede wans kawula,
sayekti aglis kasarik,
kawula madega raja,
Sang Nata ngandika malih,
pan sira sanak mami,
kapindhone tunggal guru,
mangsa silih antuka,
cintraka sira dadya Ji,
Bathik Madrim anangis dahat sungkawa.
262
PNRI
20. Angreh punggawa Melawa,
pangandikane Sang Aji,
mulane ingsun karuna,
kalangkung putek kang ati,
sagung punggawa mantri,
gegetunira kapiluh,
samya matur kukila,
punapa kang dados galih,
Srinarendra arsa alebu tumangan.
263
PNRI
9. DHANDANGGULA
264
PNRI
4. Yen kadukan ing Jeng Sribupati,
para mantri gya sami tumandang,
tan pegat ngusapi luhe,
tan adangu kang panggung,
dadi lawan prawata agni,
wus samekta sedaya,
kyapatih tumanduk,
mring pura atur uninga,
yen kang gunung dahana panggung wus dadi,
ngarsaning pagelaran.
5. Sigra kujamas Srinarapati,
lan kang garwa sampun ageganda,
miwah salin busanane,
kaprabon wus rinasuk,
jamang emas lan anting-anting,
bebadhong kebomenggah,
ujwalanya murub,
akampuh seta pinarmas,
lan paningset gringsing sanguhanta kadi,
kenghis nayaka muncar.
265
PNRI
marang ing pagelaran,
Ni Inya wotsantun,
kerig wong sadalem pura,
sami ngiring ing Sang Dyah sinambut aglis,
dening Srinaranata.
8. Sagung pepingitan para manis,
nyandhang seta sami aneng ngarsa,
angampil upacarane,
kabeh tan ana kantun,
sedya tumut alebu geni,
bote tisna Sang Nata,
suka sareng lebur,
gumer tangise wong pura.
Patih emban sumungsung ing Sribupati,
aneng wijil kapisan.
9. Raja Anglingdarma ngandika ris,
kakang Madrim poma estokena,
ywa nganggo malang tumoleh,
ing sawawekas ingsun,
yen mungguh ing panggungan mami,
kakang sira linggiha,
sangisoring panggung,
kang kinen matur sandika,
sarwi angusapi waspa lampahnya Ji,
wus prapteng pagelaran.
266
PNRI
11. Angandika aris sribupati,
den arereh mirah karsanira,
aja ngugung nepsu bae,
Sang Dyah alon umatur,
tan adarbe cipta kekalih,
muhung ujar sapisan,
kang raka lingnya rum,
ingsun iya datan arsa,
aduweya ujar loro dyan Sang Aji,
angandika mring Patya.
12. Kakang Madrim payo den agelis,
konen anyuled kanang dahana,
kang kinen atur sembahe,
lurah gandhek tinuduh,
lumampah glis anyuled agni,
lir sundhul ing akasa,
ngajrihi kang urub,
muntap-muntap lir samudra,
Sang Dyah matur mring Rakendra lah suwawi,
sareng rnalbeng dahana.
267
PNRI
paran kersanipun,
gegeiing ing Suralaya,
gara-gara akathah ingkang dhatengi,
lesus gang pancawara.
268
PNRI
kang karya prabawa kiye,
ratawarsa nganyut tuwuh,
lan garwane sedheng lagya sih,
bisikan Anglindarma,
Narendra dibya nung,
kekasihe Sang Hiang Tunggal,
kang jumeneng nata ing Melawapati,
ing rat tanpa sisihan.
19. Yeku terahing kusuma luwih,
wus tinutur ing purwa wasana,
Nerada sru pangungune,
Hyang Pramesthi amuwun,
kakang sira muduna aglis,
akanthiya si Endra,
heh wruhanireku,
yen lenaa Anglingdarma,
yekti cupet kang nedhakken para Aji,
kang mengku Nungswa Jawa.
20. Wus wineling Sang Hyang Surapati,
Hyang Nerada wangwang sareng mentar,
datan kawarna lampahe,
yata ingkang winuwus,
ingkang arsa anganyut urip,
Maharaja Nglingdarma,
lawan garwanipun,
Dewi Setya aturira,
dhuh Dewaji suwawi tumameng agni,
kang den antos punapa.
21. Yen tan arsa Paduka Dewaji,
kawula amalebet priyangga,
kariya mukti sarine,
amonga para arum,
mengku praja ing Mlawapati,
kramaa putri endah,
kang samining ratu,
karya punapa wong arga,
269
PNRI
digsura tur parunji tan wruh ing niti,
cendhala beg angkara.
22. Sang Dyah arsa tumedhak tumuli,
mring dahana Sang Nata tan suka,
angapithing panyikepe,
angandika Sang Prabu,
mengko mirah dipun aririh,
yen ana kang wewekas,
rama Sang Awiku,
ing reh kamuksaning pejah,
ywa kaliru'milaningsun kendel yayi,
taha ajrih ing lena.
23. Angestokken wulange Sang Yogi,
aywa korup ing reh kamuksan,
ing pati ewuh margane,
akeh wong kadalurung,
yen tan awas mring tingal jati,
Dewi Setya turira,
duk aneng kedhatun,
sampun kaesthi sedaya,
sawuruke Kangjeng Rama Sang Ayogi,
kamuksan ing antaka.
24. Yata sang nata kagyat umaksi,
wonten menda apethak sasomah,
datanpa sangkan praptane,
neng jawi gawar janur,
kuning ingkang kambing samya ngling,
Srinarendra uninga,
sawicaranipun,
wedhus wadon atetanya,
marang ingkang lanang sun atanya yekti,
iki dahana apa.
270
PNRI
jalma ingkang samya jajari,
sumaur mend a priya,
wruhanira iku,
Prameswarine Narendra,
ingkang arsa tumameng agni puniki,
kambing estri Ion ngucap.
26. Apa karane Sang Prameswari,
dene arsa alebu tumangan,
kang lanang alon saure,
Sang Putri anjejaluk,
aji maring Srinarapati,
nanging nora tinekan,
iku marmanipun,
dadi runtike sang retna,
marma arsa lebu tumangan ing mangkin,
Sang Nata arsa bela.
27. Raja Anglingdarma ratu luwih,
sudibya nung paramarteng wadya,
marma sami gung trisnane,
kambing estri amuwus,
heh wong lanang sun arsa uning,
manira iki nyidham,
rong sasi kelangkung,
kapengin mulat ing gawar,
janur kuning sira jupukna den aglis,
ingkang lanang angucap.
28. Baya wus jamakipun pawestri,
datan wruh ing bener andaluya,
kang ora-ora den ame,
anjaluk janur iku,
kagungane Sang Narapati,
tur kinarya serana,
nora wani ingsun,
mangsa kuranga pangan,
suket miwah godhongan aywa daleming,
nuruti ati setan.
271
PNRI
29. Kambing estri sugal denya angling,
lamun sira tan wani ngambilna,
gegawar janur kuninge,
sayekti ingsun lampus,
kambing jalu bengis denya ngling,
modar oraa sira,
pedah apa ingsun,
lah den age lumebuwa,
mring dahana sira mati ingsun rabi,
lan ingsun ora arsa.
30. Anuruti ujaring pawestri,
nora kaya Raja Anglingdarma,
ratu kaliwat nisthane,
anut ing estrinipun,
nora wurung manggih bilai,
kambing estri lingira,
keriya rahayu,
manira lebu tumangan,
kambing lanang ika sru denira ngling,
mara ge tumomaa.
272
PNRI
tanpa sila ingsun,
sinembah samaning Raja,
dadya kendho pangrangkulira Sang Aji,
dhumateng ingkang garwa.
33. Datan antara Sang Prameswari,
anjlog sangking panggung kadya kilat,
manibeng dahana gedhe,
wandanira wus lebur,
pinangan ing prabata agni,
yitmanira kinuncang,
dening jawata gung,
Maharaja Anglingdarma,
kadya wong kandhuhan manahira rujit,
tan wruh wijiling waspa.
273
PNRI
1. Kang aneng soring panggung Kya Patih,
waspanya dres miyos,
Bathik Madrim lan Dayaningrate,
Arya Wijanarka tan atebih,
punggawa tri sami,
awas deny a dulu.
2. Ingkang anjog ing prabata agni,
yen amung sawiyos,
Patih Madrim eca ing driyane,
anarka Sri wus tumameng agni,
agupuh Kya Patih,
minggah maring panggung.
3. Prapteng panggung gustine kapanggih,
anjetung Sang Katong,
tanpa ngucap mawas dahanane,
lenggah pitekur waspa dres mijil,
gupuh Kyana Patih,
Gustine rinangkul.
4. Sarya sesambat asru anangis,
dhuh Gusti Sang Katong,
sokur meksih rahaija jenenge,
ingkang abdi kelangkung rudatin,
ngandika Sang Aji,
Dewa sih maringsun.
5. Yen aja na dewa ingkang asih,
sida mati ingong,
ambelani mring Ari nak angger,
sang inujaran waspa dres mijil,
matur ngasih-asih,
dhuh gusti Sang Prabu.
274
PNRI
6. Sampun kadriya ingkang wus lalis,
balikan Sang Katong,
amundhuta dhateng gegebale,
putri pundi paduka karsani,
k'alamun tinampik,
kawula kang sanggup.
7. Ngrurah praja pinukul ing jurit,
suka raganingong,
pejah anglampahana karyane,
nadyan lebura awor pratiwi,
tan arsa gumingsir,
ing karsa Sang Prabu.
8. Tan kumedhap tingale pun Patih,
ngandika Sang Katong,
sun tarima kakang prasetyane,
agampang wong ngulari pawestri,
heh kakang Apatih,
mene karsaningsun.
9. Tetilase rinira kang lalis,
kukupana gupoh,
para punggawa sapanekare,
para mantri undhangan kardi,
candhi kang prayogi,
poma den agupuh.
10. Lawan sakehingpara bupati,
kang asih maringong,
padha mekajangana kabeh,
atungguwa mring sun datan mulih,
patangpuluh ari,
sun ana ing panggung.
11. Arsa angeningaken tyas mami,
neges karseng Manon,
ingkang kinen gya tumurun age,
sangking panggung sigra andhawuhi,
mring para bupati,
satimbalan Prabu.
275
PNRI
12. Layoning Dyah anulya cinandhi,
tan antara dados,
Srinarendra kang winarna maleh,
aneng panggung wus antuk sapta ri,
supe tadhah guling,
tansah kapirangu.
13. Mung garwane kacipta ing galih,
dres umijil kang loh,
amung Dewi Ambara neng tyase,
ngesah asambat Srinarapati,
dhuh Gusti Maskwari,
tan atolih mring sun.
14. Tan anyipta kawula akrami,
kalawan Sang Sinom,
sedya andasih ing satuwuke,
tan angesthi ing dyah malih-malih,
kramaa sakethi,
sira kang panunggul.
PNRI
24. Pijer angangen-angen kang lalis,
kapita tyas katong,
dyan anolih prapta wong dulune,
lamun ana pawestri alinggih,
ngandika Sang Aji,
katambetan ingsun.
25. Dhateng kusuma kang lagya prapti,
tan wikan sayektos,
lah ing pundi kusuma prajane,
sin ten ingkang pinudya ing krami,
myang sinedyeng pundi,
sang tinanya matur.
26. Yen Sang Nata tan wikan ing mami,
surenggana ingong,
kang kahyangan ing pawidadaren,
Sri Anglingdarma ngandika aris,
lah punapa kardi,
rina marang panggung.
27. Ni Dewi Uma umatur aris,
amawongan ingong,
amarekan ing nata yen kangge,
gaijita tyasira Narapati,
anggandes wong iki,
nora pati ayu.
28. Sun sanggane ing krama wong iki,
Sang Nata lingnya Ion,
dhuh kusuma kawula ing mangke,
dereng mantra yen arsa akrami,
amung kang wus lalis,
tansah aneng kalbu.
29. Sang Hyang Uma matur ngasih-asih,
arda angalap sor,
winor ing esem-esem wuwuse,
sampun uga mekaten Sang Aji,
kawula puniki,
sih marma satuhu.
278
PNRI
30. Dhateng paduka Srinarapati,
dene ratu kaot,
kateman ing wiyoga driyane,
adoh-adoh manira lampahi,
bok iya ngecani,
manah ing wulangun.
31. Sang Nata ngling sakalaning mangkin,
datan arsa ingong,
ingkang manah asanget rentenge,
tan arsa mulat ing dyah liyaning,
mung Ken Setyawati,
tuntunge pandulu.
32. Sang Dyah angling punapa sayekti,
ngandikane katong,
datan arsa myat ing dyah liyane,
rabi andika Ni Setyawati,
Sang Nata nauri,
tan lirwa ing wuwus.
33. Benjang krama yen ingsun apanggih,
titise kang layon,
Dewi Uma asendhu wuwuse,
lah kantuna kawula mit mulih,
marang Suranadi,
mesat lampahipun.
34. Prapta kayanganipun apanggih,
lan Ratih alunggoh,
lengleng mangu Sang Dewi driyane,
Warsasini lawan Prabasini,
samya nungsun warti,
ni Ratih amuwus.
35. Palihbaya apa angsal kardi,
dene aglis rawoh,
Dewi Uma aris ing wuwuse,
yayi Ratih katiwasan mami,
ngunggahi tinampik,
ingsun ora payu.
279
PNRI
36. Anglingdarma tan arsa arabi,
ujare kawiyos,
datan arsa mulat wruh liyane,
pan mung sundele ingkang wus lalis,
pinangan ing geni,
kang den amu-amu.
280
PNRI
kang amalih warni,
tumanduk anguwuh.
42. Anoleha sakedhap Sang Aji,
welas temen ingong,
aningali marang sarirane,
ratu agung tinilar ing rabi,
kapita Sang Aji,
nolih awas dulu.
281
PNRI
11. KINANTKI
282
PNRI
senadyan mundhuta praja,
yekti ingsun minangkani.
6. Sang malih warna lingipun,
gampang kapanggih ing wingking,
mangsa Sang Nata cidraa,
kawula mring Suranadi,
ngaturi garwa Paduka,
sukeng tyas Sang Nata angling.
7. Lah iya nini den gupuh,
sun anti nuliya prapti,
wisata Sang malih warna,
apanggih lan Dewi Ratih,
Ken Uma ris wuwusira,
heh Ratih mara den aglis.
8. Turunana Sang Aprabu,
Melawa kang peksa luwih,
den agandhes solahira,
Ken Ratih sampun wineling,
wisata kalih gya prapta,
ing pepenggungan apanggih.
283
PNRI
kawula nora akrami,
yen tan nora kapanggiha,
panukmanira Mas Ari.
12. Sang malih warna amuwus,
mesem alise cinincing,
baya wus jamaking priya,
sanggupe asih kepati,
dene lirwa ing wecana,
sanggupe asih kepati.
13. Arsa pinondhong Sang Ayu,
Ken Ratih gupuh nginggati,
cinandhak-candhak tan lcena,
mesem sarwi ngincang alis,
polahe memanas manah,
gumreget Srinarapati.
14. Tinubruk-tubruk Sang Ayu,
nginggati ngedohi liring,
Sang Dyah asru angandika,
apa sira tesmak dhingklik,
arsa ngrangkul ingsun sapa,
reraupa den abresih.
15. Ujarmu mau Sang Prabu,
tan arsa arabi malih,
oleh dedukaning dewa,
cilakanira nemahi,
de sira kena ing coba,
tan ana wong mati bah.
16. Ken Uma asru amuwus,
yayi Ratih payo mulih,
aja ngadhep Ratu dora,
menawa anerawasi,
bok uga sira kagiwang,
ing baguse Sribupati.
17. Hyang Uma angandika sru,
heh kita Anglingdarma Ji,
284
PNRI
kena ing papa-cintraka,
ing mengko sun upatani,
nora kena madeg Raja,
yen durung tekeng ing wangkit.
285
PNRI
12. PANGKUR
286
PNRI
5 Sang nata micareng nala,
lah ing ngendi goningsun amemarti,
wangwang miyarsa wong watuk,
ing wisma gya pinaran,
mring Sang Nata wong nini-nini kang watuk,
lagi mijil sangking longan,
tan wikan marang Narpati.
6. Jinawil dening Sang Nata,
nini tuwa kaged angucap aris,
sapa anjawil maringsun,
mokal yen ana jalma,
apa ejim prayangan anjawil mringsun,
apan nora ana jalma,
ingjaman kene wus en ting.
287
PNRI
10. Ing ngajeng pundi sinedya,
sarta sinten ingkang pinudyeng krami,
kang tinanyan ngandika rum,
sun Ratu ing Melawa,
Raja Anglingdarma nini wastanipun,
nini tuwa ngrangkul pada.
kelangkung nuwun kang esih.
288
PNRI
15. Tumpes wong Mlayakusuma,
aneng rana sareng lawan Sang Aji,
salalisira Sang Prabu,
kedhaton ing Melaya,
pan ingendhih denira Sang Raja diyu,
mangke wus dadya siluman,
dhangkane Sang Reksasa Ji.
16. Raja Nglingdarma ngandika,
lah ing mengko Raja Kalawerdati,
apa ana jro kedhatun,
ni tuwa matur sembah,
linggar sampun sacandra tan wonten rawuh,
lan wadyane kawandasa,
dhumateng Melawapati.
17. Sumedya nyidra Sang Nata,
ing Melawa anenggih utang pati,
kang keri tengga kedhatun,
putra estri tetiga,
ingkang sepuh Retna Wiyata ranipun,
Retna Wiyati pamadya,
pamekas Retna Wintarsih.
18. Katri sami endah wama,
yata mesem Sang Inujaran angling,
ingsun Nini arsa weruh,
ing warnane Sang Retna,
nini tuwa manembah alon umatur,
Gusti sampun manjing pura,
menawi manggih bilai.
289
PNRI
20. Sokur sun pinatenana,
ciptaningsun aywa wet kawlasasih,
lah wis keriya rahayu,
kang sinung ujar nembah,
sang nata gya lumaksana mring kedhatun,
dhandhang munya mawurahan,
barung lan bubut amuni.
21. Manyura ngungong aneng pang,
esthanira kadi ngaruh-aruhi,
dhumateng wau Sang Prabu,
pangidheping kukila,
lah wangsula Gusti sampun mring pura rum,
cangak munya hr amenggak,
cucur kadya anangisi.
22. Kadarba maweh katresnan,
ri kang wulung lumayang lir mayangi,
marang ingkang lagya rawuh,
yata Sri Anglingdarma,
laju lampahira prapteng sitiluhur,
wangwang tumameng jro pura,
mangu micareng jro ati.
23. Bener tuture Ni tuwa,
pura iki pasang rakite becik,
Sang Hyang Pratangga meh surup,
nitih udayeng cala,
srinarendra kacaryan deniran dulu,
rakite kang papethetan,
ronira sami angrawit.
290
PNRI
13. SINOM
291
PNRI
angadhep lancang kancana,
warnane amindha sasi,
asinjang cindhe wilis,
kasemekan jingga alus,
asengkang natabrangta,
paningset mandhala-giri,
wida kuning pepilise nanggal pisan.
292
PNRI
lamun niptaa duskarta,
nora amurya ring mami,
lan pasemone becik,
sabenere iya ingsun,
nyapaa mring kang prapta,
wit ingsun kang duwe panti,
Ken Wiyata arum Wijile wecana.
9. Suwawi paduka lenggah,
awon sirnane wong sigit,
paduka aneng jerambah,
tan wiyang kang sinung angling,
sampun tata alinggih,
Sang Retna mangu andulu,
ing citrane Sang prapta,
luluh tyasira Sang Dewi,
gelung lukar kekembene kaleweran.
10. Wus sinugateng pawohan,
gya mucang-warna dumeling,
matur Ken Retna Wiyata,
teja suleksana sigih,
tejane wong abecik,
sulaksana anyar dulu,
ngajeng pundi sinedya,
sin ten kang sinambating sih,
atenapi ing wingking pundi pinangka.
293
PNRI
mangsa Bapa Ji kalaha,
baya ta iki kang siwi, r ''
Sang Retna matur aris,
lah punapa karanipun,
atilar purantara,
Sang Nata ngandika aris,
raganingsun dhapur kapegatan tisna.
13. Mati tunu garwaningwang,
kekasih Ambarawati,
mulane sun tilar praja,
saking sru liwunging ati,
anglampus jiwa mami,
kesasar aneng prajamu,
lah ing pundi wastanya,
puniki ing negari,
aneng ngendi ramanira Srinarendra.
14. Mesem angucap Sang Retna,
ing Melaya rane nagri,
Bapa Ji sampun sacandra,
kesah mring Melawapati,
angandika Sang Aji,
ramanira uwis lampus,
aneng negaraningwang,
kakang Madrim kang mateni,
ing samengko sun males ukum mring sira.
15. Ingsun gocone kang prana,
mangsa wurunga ngenani,
kerisku si Lalijiwa,
nora watak amateni,
nanging upase mandi,
sok ngabuhaken wadhug,
lan maneh ngong tetanya,
sapa kekasih ta yayi,
lan arinta karo sapa ingkang nama.
16. Umatur ingkang tinanyan,
kirang kalih gatra,
294
PNRI
mesem sarwi ngincang alis,
pemadya ran Wiyati,
Witarsih ingkang waruju,
sami wisma priyangga,
balik kula nilakrami,
jeng paduka pundi ta ingkang sinedya.
17. Lamun sembada ing karsa,
kendela wonten ing ngriki,
kawula sedya ngawula,
amawongan ing Sang Pekik,
yen kangge andedasih,
aris ngandika Sang Prabu,
pun kakang tan lenggana,
ing karsa mindha sari,
lamun estu amundhut ing kawlasarsa.
295
PNRI
Wiyati nulya marani,
wismaning raka prapti,
ing latar alon amuwus,
Kakangbok sampun siyang,
wunguwa kawula prapti,
atetinjo menawi paduka gerah.
296
PNRI
heh yayi aja baribin,
ing wingi sore yayi,
ingsun anemu wong kakung,
bagus misih taruna,
sanggupe ingsun takoni,
Ratu ing Melawa Raja Anglingdarma.
297
PNRI
keksi citrane kang guling,
kadya hyang-hyanging tulis,
cahya amindha sitengsu,
sang dyah kakenan ing tyas,
miyat cahyane kang guling,
cipta lalu yen tan kinanthi ing tilam.
298
PNRI
14. KINANTHI
299
PNRI
lir Kusumeng Bauwarna,
citrane Retna Wiyati.
6. Gya tumameng jinemarum,
Retna Wiyata Wiyati,
kadi Ratih lan Supraba,
sapraptanira alinggih,
neng daganing pasareyan,
mangkana ingkang aguling.
7. Wus adangu denya wungu,
datan saraba tumuli,
mangkana anulya lenggah,
Sang Nata kagyad ningali,
yen angucapa ing driya,
dene lir kembar wong iki.
8. Datan asiwah sun dulu,
warnane lan sira yayi,
maturKen Retna Wiyata,
inggih punika kang warni,
kadang kawula pemadya,
awasta Retna Wiyati.
9. Mila marek ing Sang Prabu,
arsa tumut anyenyethi,
kalamun kinarsakena,
dadosa garwa sumendhi,
sang nata mesem ngandika,
sokur yayi lamun sudi.
10. Retna Wiyati umatur,
dhuh Gusti kula aturi,
pinarak ing panti kula,
Sang Nata ngandika aris,
lah iya sakarsanira,
pun kakang dhateng lumiring.
300
PNRI
kinanthi dening Narendra,
prapta ing wismanira glis,
binekta mring pasareyan,
pan wus tumangkep kang samir.
12. Sang Nata kelangkung baut,
pangrungrume remih-remih,
Sang Ayu langkung kacaryan,
saratri denya don resmi,
prapteng wijiling aruna,
warnanem Retna Witarsih.
13. Citranira Sang Retnayu,
kadi kumala ingukir,
aija sinjang cindhe sekar,
asampur Gadhung Malathi,
asekar Gambir Capaka,
asengkang bapang sinamir.
301
PNRI
17. Sikakang pantese angluh,
cahyane alum awilis,
kaya wong mentas sajiwa,
sapa rewange aresmi,
mesem denira tetanya,
Kangbok punapa sakit.
18. Kang raka alon amuwus,
bener panerkamu yayi,
sun iki aduwe lara,
keneng tuju bola-bali,
dene larane neneka,
dumunung aneng pok ati.
19. Sawengi tan oleh turn,
kang rayi mesem ing ati,
aris denira ngandika,
Kangbok ingsun mambet jalmi,
prenahe neng pesareyan,
kang raka aris nauri.
20. Apa nyalemong sireku,
angarani ana jalmi,
sapa kang wani angambah,
prajamu aparsa mati,
Niken Witarsih ngandika,
kawula arsa udani.
21. Niken Wiyati lingnya rum,
heh yayi ingsun tuturi,
Kangbok anemu wong lanang,
anom warnane apekik,
aran Raja Anglingdarma,
Ratu ing Welawapati.
22. Ing mengko lagi sinambut,
aneng kene mau bengi,
iku sira tingalana,
aneng pasareyan guling,
Ken Witarsih lumaksana,
amiyak mandhala-giri.
302
PNRI
23. Keksi warnane abagus,
Sang Dyah datan kena angling,
kamanisen ing paningal,
anyipta langening sari,
kendho wekasaning sinjang,
emut ing raka glis bali.
24. Sapraptanira alungguh,
ngandika Retna Wiyati,
apa sira wis tumingal,
mring Anglingdarma Narpati,
Retna Witarsih lingira,
kawula tumut anyethi.
25. Ngawu-awu ing Sang Bagus,
tumut amitung sukani,
dadosa garwa pamekas,
apa karsanira yayi,
payo manjing pasareyan,
Sang Nata apanggih linggih.
26. Sang Ayu marek ing ngayun,
Niken Witarsih ing wuri,
Sang Nata ris atetanya,
lah ta sapa iku yayi,
kang lungguh ing wurinira,
umatur Retna Wiyati.
27. Inggih punika ri ulun,
awasta Retna Witarsih,
punika ingkang pamekas,
mila marek ing Sang Aji,
kedah tumut amawongan,
menawi kangge anyethi.
28. Mesem angling Sang Aprabu,
lah iya luwih abecik,
katri dadi garwaningwang,
den padha legaweng ati,
Retna Witarsih tur sembah,
suwawi kula aturi.
303
PNRI
29. Pinarak ing wisma ulun,
tan wiyang Srinarapati,
lumampah kekanthen asta,
kelawan Retna Witarsih,
sapraptanira ing wisma,
lajeng manjing tilamsari.
PNRI
35. Tan adangu nulya rawuh,
kapanggih lenggah Sang Aji,
kaliyan Sang Dyah pamekas,
kang nama Retna Witarsih,
Wiyata Wiyati prapta,
Sang Nata angacarani.
305
PNRI
mentar mring setramandhala,
antara ing don wus prapti.
41. Kawarnaa Sang Prabu,
ingkang tinilar aguling,
wungu tedhak sangking tilam,
angandika jroning guling,
marang ngendi garwaningwang,
katiga pisan asepi.
42. Sang Nata micareng kalbu,
ingsun arsa angyekteni,
ujare si Nini tuwa,
Sang Nata amatek aji,
wasiyatira Sang Tapa,
kang rama Ken Setyawati.
43. Begawan Maniksutreku,
kang mejang dhateng Narpati,
wus arupa peksi Nila,
umesat napak wiyati,
mulat kukus aratugan,
aneng madyaning wanadri.
44. Wangwang pinaranan gupuh,
Sang malih warna ningali,
dhandhang akeh awurahan,
samberan arebut bukti,
Sang malih warna tumingal,
wangkening jalma akingkin,
306
PNRI
1. Sang malih warna miranti,
mencok aneng pang mandera,
karsa anginjen garwane,
apa nyata mangsa jalma,
tuture Nini tuwa,
Sang malih warna andulu,
mring garwanira tetiga.
2. Aneng pamasaran sami,
amberek wangke manungsa,
samya milih sasenenge,
binakar sigra tinadhah,
sira Sang malih warna,
amicareng jroning kalbu,
bener tuture Ni tuwa.
3. Sru pangunguning Narpati,
mulat solahe kang garwa,
mangkana osiking tyase,
eman temen sira mirah,
duwe tekad mangkana,
ngong godhane rabiningsun,
Sang malih warna gya mara.
4. Wiyata jinujug dhingin,
punika putri kang tuwa,
winedalan ngiringane,
den alup neng ngarsanira,
dhandhang yen angucapa,
eman temen mirahingsun,
bok aja amangsa jalma.
307
PNRI
5. Sang putri ngandika aris,
akeh dhandhang ing pasetran,
amung dhandhang siji kiye,
ambeler kaliwat-liwat,
angregoni wong mangan,
dipanjer-panjer endhasmu,
risaksana inguncalan.
6. Ati ghs denya nampani,
cinangkrem ing suku kanan,
sang dhandhang sigra angaler,
Ken Wiyati pinaranan,
ingalup aneng ngarsa,
wus inguncalan jejantung,
acukat denira tampa.
308
PNRI
10. Ingkang jejantung tumuli,
linebetken ing cupunya,
wangwang tinutupan age,
laju dhateng wismanira,
Sang kusuma Wiyata,
sapraptanira anambut,
bresihanira binuka.
11. Saksana atining jalmi,
linebetken ing cupunya,
bresihan tinutup maleh,
karsanira srinarendra,
mariya mangsa jalma
wusnya mangkana gya wangsul,
ing prenahira anendra.
309
PNRI
15. Aja kasuwen neng ngriki,
menawa wungu kang nendra,
Retna Wiyati ature,
inggih aleres paduka,
suwawi dena enggal,
Sang Dyah katri sareng mantuk,
datan kawarna ing marga.
16. Aglis prapta jroning puri,
Sang Nata meksih anendra,
Sang Dyah katri suka tyase,
wus siram arsa geganda
anambut baresihan,
nulya ngungkapi
cecupu
kapiteng driya tumingal
17. Atine jalma kapanggih,
ing cupu awor lan lenga,
Sang Dyah micareng driyane,
apa wadine kang lenga,
kaworan ati mentah,
ana rasaning tyasingsun,
ati iki iya uga.
18. Kang sun uncalaken maring,
dhandhang putih neng pasetran,
sampun kapanggih wadine,
mring wismane arinira,
Wiyati sasampunnya,
sesotya wangwang anambut,
bresihan arsa geganda.
310
PNRI
20. Kang raka anulya prapti,
pinapaken aneng latar,
Retna Wiyata delinge,
ingsun yayi katiwasan,
sawise ingsun siram,
ngungkabi bresihaningsun,
ana atine manungsa.
311
PNRI
25. Kang rayi den bebisiki,
yayi cecupu manira,
ing mengko ana isine,
atine manungsa mentah,
Ken Wiyati lingira,
dhuh yayi cecupuningsun,
isi jantung awor lenga.
26. Ken Witarsih Ion nauri,
lisah ingwang awor limpa,
katri keraos manahe,
angucap Retna Wiyata,
heh yayi wruhanira,
kawanguran solahingsun,
Maharaja Anglingdarma.
27. Yen aguling api-api,
yayi watara manira,
tan samar mring ngong katrine,
yayi yen anaking buta,
Anglingdarma kuwasa,
kang rayi kalih umatur,
pundi margane uninga.
312
PNRI
30. Pan ora utang ngemasi,
utang wirang nyaur wirang,
nagih sautange bae,
sun tan arsa mejahana,
mring Raja Anglingdarma,
lah yayi payo tinundhung,
aja andedawa wirang.
31. Retna Wiyata angambil,
roning tal kinarnya surat,
cinitra ing kuku bae,
aji kamayan tuhsnya,
dawane ron sakilan,
lan mahh Sang Dyah amundhut,
roning tal kinarya salang.
313
PNRI
35. Lah sira duduten yayi,
apa kang aneng mastaka,
Sang Dyah asugal wuwuse,
nora mambu wong sumelap,
basa yayi maringwang,
lah sira lungaa gupuh,
sun cukile tapakira.
36. Lungaa padha samangkin,
ingsun dahat nora sotah,
aja ngambah prajaningong,
ingsun nora suka-lila, •
prajengsun sira ambah,
Sang Dyah katri sareng nundhung,
aris ngandika Narendra.
314
PNRI
16. D U R M A
315
PNRI
5. Sarwing getak muga ta sira dadiya,
peksi Maliwis putih,
gumyur manahira,
Maharaja Nglingdarma,
ginetak marang Sang Putri,
nyundhul sesalang,
prapteng latar amalih.
6. Warnanira kang sarira kebak elar,
bau dadi suv/iwi,
angila Sang Nata,
aneng toya jembangan,
keksi sarirane dadi,
Maliwis seta,
tyasira lir angipi.
7. Sakelangkung pangungunira ing driya,
wirangira tan sipi,
amicareng nala,
sun Ratu binathara,
siniwi samengsun Aji,
atilar praja,
mengko dadi Maliwis.
8. Baya ta wus pinesthi karsaning dewa,
ing mengko awak mami,
dadi lelampahan,
Maharaja Nglingdarma,
anglampus sajroning ati,
leng palastraa,
yen tan waluya nuli.
9. Sang malih warna amadal pratala,
muluk marang wiyati,
Sang Putri tetiga,
marudasta sru mojar,
sandhangen we wales mami,
sira Nglingdarma,
lir mas timbul ing warih.
316
PNRI
17. M A S K U M A M B A N G
317
PNRI
8. Akeh temen endhog maliwis puniki,
atusan kawuryan,
yen anaa jalma uning,
sayektine ingalapan.
9. Sang amalih warna saari-saratri,
mandos neng rerawan,
kaget sakehing maliwis,
umiyat Cakarwa seta.
318
PNRI
16. Nora gelem ingsun sira karya Aji,
gawe susahira,
sun neng kene lagi mampir,
arsa nutugaken lampah.
17. Angulati saenake ati mami,
Sang amalih warna,
gya mumbul muluk wiyati,
pesabinan ingkang rata.
319
PNRI
24. Duk semana Ki Jaka angon mring sabin,
sarwi mawa kala,
sapraptanira ing sabin,
ningali Maliwis pethak.
25. Aneng galeng eca denira salisik,
trangginas Ki Jaka,
galeng samya den pasangi,
wusnya anggiring cakarwa.
26. Sang Maliwis eca mesem ing jro ngati,
mulat mring Ki Jaka,
yen angucapa Sang peksi,
bok aja kakehan akal.
320
PNRI
32. Dyan maluya Ki Jaka suka ing ati,
sun duga abungah,
paman ningali maliwis,
putih cahyaning gumilang.
33. Prapta wisma Ki Jaka asru den ya ngling,
heh paman kawula,
gih angsal Maliwis putih,
cahyanira anglir gula.
321
PNRI
18.DHANDHANGGULA
322
PNRI
4. Nyai Demang anjenger ningali,
sapandurat datan awecana,
yen angucapa ing tyase,
iki wetaraningsun,
iya dudu manuk sayekti,
baya ta wong tapa salah,
anitis ing manuk,
Nyai Demang suka ing tyas,
denya miyarsa wuwuse maliwis putih,
cakarwa malih mojar.
5. Ngong pitutur mring andika Kyai,
marenana amemasang kala,
mangsa cukupa pangane,
Demang Kalungsur muwus,
apa ingkang ginawe keskil,
mojar sang malih warna,
ing prayoganipun,
kita nemena sesawah,
lan Nyi Demang aja adol godhong jati,
angur adola tigan.
6. Daweg kawula ater angambil,
endhoging maliwis tur akathah,
lan Ki Jaka Gedug bae,
kawula Nyai weruh,
ing prenahe endhog maliwis,
duk ingsun aneng rawan,
wruh pakuwonipun,
tinurut Sang malih warna,
dyan umangkat Ki Jaka kelawan bibi,
gya prapta ing rerawan.
7. Wangwang tinuduhaken tumuli,
Nyai Demang mring Sang malih warna,
prenahing endhog kang akeh,
tumpuk angundhung-undhung,
Nyai Demang suka ningali,
anulya ingusungan,
pirang-pirang pikul,
323
PNRI
Ki Jaka bali ping lima,
Kyai Demang tumut amikul ping kalih,
endhog dadi sajogan,
8. Sira Demang angucap ing rabi,
menyanga pasar lawan anakira,
endhog sira dola kabeh,
yen ana payonipun,
atukuwa pacul lan arit,
ingsun arsa sesawah,
Maliwis sun gugu,
sun mareni masang kala,
nora becik drapone sinebut malih,
aran demang wisaya.
9. Nyai demang umentar tumuli,
lan Ki Jaka amikul antiga,
prapteng pasar glis payune,
Nyai Demang dyan wangsul,
mawa buruh sedasa malih,
sapraptanireng wisma,
antiga ingusung,
buruh sedasa kawratan,
sapraptaning ing pasar binorong dening,
para bakul akathah,
10. Nyai Demang sukane tan sipi,
endhoge payu selawe reyal,
nulya tuku sinjang age,
kemben kelawan sabuk,
atanapi nyampinging laki,
welinge Kyai Demang,
arit lawan pacul,
anempur midhe akathah,
tuku lenga kelapa kalawan ragi,
arsa baresih desa.
11. Nyai Demang dhasar bisa laki,
doyanane kang lanang tinumbas,
tan lali lenga lan teret,
324
PNRI
kupat cabuk lan krupuk,
tetukone dadi rong rinjing,
binuruhken mulihnya,
angirid bebakul,
Jaka tinilar ing pasar,
wus atumbas sap-tangan jingga tinepi,
lan sabuk bangun tulak.
12. Nyai Demang ing wisma wus prapti,
aris mojar Sang amalih warna,
Ki Jaka tinakokake,
kang tinanya amuwus,
kari pasar ing mau budi,
anjaluk kacu jingga,
Sang Maliwis muwus,
sun arsa mapag Ki Jaka,
agya miber Jaka kepapag ing margi,
sonder sap-tangan jingga.
13. Mencok ing pundhak Cakarwa putih,
alon tanya marang kyai Jaka,
yayi sira dene suwe,
apa kang sira tuku,
Jaka Gedhug alon nauri,
ingsun tuku sap-tangan,
jingga limang suku,
lawan sabuk bangun tulak,
mung sejampel lan jingga gunggunge dadi,
arega pitung seka.
14. Nyai Demang sampun asesaji,
oleh-olehira sangking pasar,
den sajeken ing lakine,
Ki Demang alon muwus,
payu pira dene agelis,
payu sela we reyal,
reyal wolulikur,
Ki Demang arseng kanang tyas,
dhasare wus lami pailan jalwestri,
andhatengaken karsa.
325
PNRI
15. Selamine nganggur sanget miskin,
mangke ing sakapti katutugan,
mangan kupat kadoyane,
lawuh cabuk lan krupuk,
wusnya dalu sami aguling,
ingkang amalih warna,
tan arsa aturu,
ananedha ingjawata,
denya datan asare Sangmalih warni,
lama kraos karipan.
16. Maring natar risang mahh warni,
dyan umabur mencok ing wuwungan,
salisik arsa asare,
ngles kasilir ing bayu,
my arsa swara saj roning guling,
heh Raja Anglingdarma,
yen sira nora wruh,
garwanira Dewi Setya,
kang atunu nitis mring Bojanegari,
aran Niken Srenggana.
17. Marma sira awarni Mahwis,
marga kena ing papa cintraka,
kaping pat kasisipane,
kasiku ing Dewa gung,
dhingin manah Sang Nagagini,
kapindhone Kuthilang,
kaping tiganipun,
sira anampik Ken Uma,
kaping catur sira nglarakaken ati,
ing putri denawendra.
18. Iya sira benjang wus pinesthi,
rabi putri ing Bojanegara,
nanging den yitna ing tembe,
poma ta wekas ingsun,
aja waniya utang pati,
marang sapadha-padha,
manungsa tumuwuh,
326
PNRI
aja kurang panarima,
tarimanen pasihane Hyang Pramesthi,
kinarya lelampahan.
19. Kagyat wungu sang amalih warni,
sampun kaesthi sabdaning swara,
asanget panarimane,
angartika ing kalbu,
apuranen sisiping dasih,
muga ingemutena,
ing saderengipun,
semana wus tatas rina,
Kyai Demang jalwestri wus sami tangi,
Sang Cakarwa neng natar.
20.Demang Kalungsur amuwus aris,
apa gawenira neng natar,
Sang malih warna wuwuse,
kula sedalu muput,
aneng natar ajagi maling,
mesem sira ki demang,
alon wuwusipun,
bilih pinangan ing sarpa,
mengko bengi sareya tunggallan mami,
samar akeh garangan.
21. Datatitanen sampun alami,
Kyai Demang wus akarya kandhang,
kebone katelu gudel,
saben dina meluku,
awecana Sang malih warni,
ingsun angon maesa,
ngiras tunggu tandur,
Ki Demang nauri sabda,
aja angon manawa ana priyayi,
sira tungguwa wisma.
22. Sang malih warna sampun alami,
aneng padhekahan Wanasekar,
kacatur lagi adhedhe,
327
PNRI
nulya na peksi rawuh,
Sesikatan jalu lan estri,
mencok aneng Soka,
kang lanang amuwus,
balilu kang duwe omah.
ana emas rong enceh datan udani,
den pilaur kangelan.
23. Sesikatan estri anauri,
yen jawane ataken ing priya,
heh kakang pundi enggene,
ingkang lanang sumaur,
pan kapendhem sajroning bumi,
ngisor saka ing kandhang,
kang wetan genipun,
mesem Sang amalih warna,
datan samar mring basane kang kumelip,
anulya manjing wisma.
24. Alon mojar Sang amalih warni,
heh kiyai sun asung nupiksa,
soring kandhang ana mase,
rong enceh kathahipun,
lah andika suwan tumuli,
soring saka kang wetan,
ujare kang tutur,
Ki Demang sugal lingira,
apa angrempelu sira Ki Maliwis,
bisa agawe warta.
25. Nyai Demang anauri aris,
bok ginugu sinuwan sakedhap,
menawa temen ujare,
Ki Demang asru muwus,
kaya lare atimur yayi,
tanbuh kang sira gita,
wicaraning manuk,
yekti sauni-uninya,
pae jalma yen muni kelawan arti,
prandene akeh cidra.
328
PNRI
26. Jaka Gedhug anambungi angling,
paman Si Kakang mangsa goroha,
lah daweg sinuwan age,
kadar pira puniku,
ulun dhewe kang andhudhuki,
inggih kangelan pira,
ki demang gumuyu,
yen ngong suwani tan ana,
konthol Wliwis ing mengko manira gitik,
ing linggis saurira.
27. Dika yekteni paman rumiyin,
dereng karuwan ulun yen dora,
dupeh manuk wicarane,
Ki Demang agya mundhut,
pacul suwan kelawan linggis,
lah mara tuduhena,
ngendi prenahipun,
Sang malih warna atedah,
gya pinacul Ki Jaka asru anglinggis,
mas mawur enceh pecah.
28. Kyai Demang anjenger tan angling,
denya tumingal emas akathah,
pacule sinelehake,
ambapang sukeng kalbu,
Jaka Gedhug niba anjungkir,
neng siti gegulungan,
bungahe kelangkung,
Nyai Demang sigra prapta,
sru anjetung dangu datan bisa angling,
mulat kehning kencana.
29. Kalih enceh kebak kencana di,
Nyai Demang kadi wong supena,
karagan-ragan manahe,
kancana dyan sinambut,
binekta mring wisma sarya ngling,
de tan pracayeng dika,
marang suteng ulun,
329
PNRI
bener ujare si Jaka,
sadulure Ki Emas Maliwis putih,
nora watak adora.
30. Wangwang sinambut kang malih warni,
sinunggi-sunggi dening Ki Demang,
Sang Cakarwa Ion muwuse,
mangke udhuna ingsun,
boten ilok teka den sunggi,
Ki Demang aris mojar,
angger kaul ingsun,
pantes kawula sunggiya,
trusing tingal kadi pandhita linuwih,
ulun akunen bapa.
31. Aris angucap dhateng ing rabi,
poma sira aja wani marang,
Ki Emas Maliwis putih,
payo padha den ugung,
sasolahe emongen yayi,
heh Jaka Gedhug poma,
emongen kakangmu,
aywa nyipta kumapalang,
dumeh Mliwis putih kelamun linuwih,
teka kabektenana.
32. Sang malih warna amuwus aris,
paman demang mawakas manira,
yogyandika estokake,
mungguh rehing tumuwuh,
ngeluriya kang aijeng budi,
miwah pundi Bi Demang,
den ambeg rahayu,
welasa mring wong melarat,
ingkang sinung warah mituhu nauri,
inggih angger sandika.
33. Datatitanen sampun alami,
Sang malih warna neng Wanasekar,
Ki Demang dahat sugihe,
330
PNRI
dadya tungguling dhukuh,
langkung gemah ing Wanasari,
warunge dadi bandar,
bakul akeh rawuh,
wong mancapat mancalima,
akeh kerut awisma ing Wanasari,
wong tigang atus ana.
34. Suyud padesan ing kanan-kering,
wus jejaro ing pawismanira,
kadya negara rakite,
dhukuh ing Wanasantun,
sira Demang sampun amukti,
kebo sapine aglar,
tan ana enggenipun,
mangkana Kiyai Demang,
salin wastra angangge pating saluwir,
nyangking reyal setapas.
35. Muhung wong siki ingkang umiring,
umesat mring wismane sudagar,
Ki Byantara kekasihe,
tundhuk tata alungguh,
Ki Byantara wuwusira ris,
Ki Demang paran karsa,
marang wismaningsun,
saurira kang liningan,
manirarsa tuku wismanta sawiji,
bilih lega ing driya.
36. Ki Byantara mojar esmu wengis,
sakelangkung angina Ki Demang,
sarya mesem pangucape,
regane wismaningsun,
sewu reyal ing ngarep-buri,
kang siji yen andika,
sun wehken rongatus,
nora amawang sarira,
baya mendem bebede pating saluwir,
ngendi olehmu reyal,
331
PNRI
37. Rabinira adol godhong jati,
keskilira amung masang kala,
Ki Demang gya ngesrahake,
reyale kalih-atus,
Ki Byantara wau ngingketi,
sun ora adol omah,
tan aweh tinuku,
Ki Demang asru angucap,
apa nganti ingsun matur ing Ki Patih,
ngong sereg ing parentah.
332
PNRI
padagange agung,
dadi pangungsene kathah,
jalu-estri Ki Demang mardaweng budi,
magersarine kathah.
41. Agung dene lir toya amili,
mila wuwuh-wuwuhing kawiryan,
wus dadi bandar pasare,
saya keh ingkang kerut,
wong awisma wus notog rawi,
yata Sang malih warna,
semana pinangku,
tan pegat sinuba krama,
paturone kanthil kancana kinardi,
ingangkah putranira.
42. Sang malih warna amuwus aris,
manira paman arsa kesah,
sangking Wanasari mangke,
Kyai Demang sumaur,
sampun kesah-kesah Mas Gusti,
balik amemundhuta,
kang sarya di luhung,
punapa kinarsakena,
lamun ana kasisipane wak mami,
gusti aksamanira.
43. Lamun angger arsa mawi krami,
kumacelu solahing manungsa,
pun bapa kang ngrabekake,
prawan kang ayu-ayu,
nadyan lima ingsun sanggupi,
sumangga karsanira,
gumujeng sumaur,
wau kang amalih warna,
paman uwis katedha sihira maring,
kula tan arsa krama.
333
PNRI
Srengganawati wastane,
nanging ta raganingsun,
lir ngrempelu tan mawang dhiri,
mokal yen kelakona,
dene ingsun manuk,
nanging sun tedha ing dewa,
lamun ingsun tan bisa arabi putri,
paman angur matiya.
335
PNRI
lawange mawi pejagan,
tundha tiga amawi candhela inggil,
kadi wisma Bupatya.
336
PNRI
19. ASMARADANA
337
PNRI
5. Akathah kang para mantri,
ing Jawi lan Tanah Sabrang,
samya ngebun-ebun sore,
Sang Retna tan arsa krama,
lagyarsa mong sarira,
dinama-dama ingugung,
ing rama putra sajuga.
6. Wasis sekaliring kardi,
putus sasmitaning sastra,
lir guladrawa swarane,
kalane Sang Dyah amaca,
padha estri kasmaran,
mangkana wau winuwus,
surupe Ywang Prabangkara,
338
PNRI
saksana wau kang urub,
sirna umanjing ing grana.
10. Kagyat Sang Retna atangi,
emut kalamun nyupena,
ngungun anggarjiteng tyase,
rumaos sihing jawata,
dhawuh gung anarima,
Sang Dyah agya nangi sagung,
pawongan emban lan inya.
11. Sadaya sampun atangi,
sawusira atetoya,
umarek mring Sang lir sinom,
sadaya micareng nala,
dene amandhanrawa,
amanglingi gustiningsun,
kadi layoning puspita.
12. Cahya wenes anelahi,
amindha wulan purnama,
sejen kelawan sabene,
bebisik lan rowangira,
Sang Retna ris ngandika,
apa kang padha korembug,
matur anembah Ni Inya.
339
PNRI
linggih merem-merem ayam,
sun katurunan cahya,
ing wanci sampuna esuk,
sigra kusumaning pura.
340
PNRI
19. Heh Sebetan den agelis,
wong jro pura undhangana,
yen putriningsun ing mangke,
jejuluk Dewi Ambara,
wati lan Ki Apatya,
Purwanegara den gupuh,
ngundhangana wong sapraja.
PNRI
24. Wisata Bramana sarwi,
anyangking bumbung mring wana,
wus cinekelan kudhine,
dereng dangu kesahira,
yata kawarnaa,
wonten gandarwa nenamur,
umedhun sangking mandera.
342
PNRI
29. Sawusira pulangresmi,
gya mijil kang mindha warna,
mulih marang kayu gedhe,
Ki Bremani sigra prapta,
sangking ing wana-wasa,
angsal tawon lawan madu,
wangwang umanjing ing wisma.
343
PNRI
34. Denira ngucap awengis,
lah iya wong ngendi baya,
wani nyidra rabiningong,
apa ora kulak warta,
wani nyidra Bramana,
teka ing sabrang kinaduk,
wani tur para sudukan.
344
PNRI
20. D U R M A
345
PNRI
5. Wus ingikal suduke Bramana-setan,
Sang Bramana-jalma glis,
ngikal pedhangira,
sami sudireng nala,
sumbar-sinumbaran kalih,
sareng bramantya,
sami wong kaduk wani.
346
PNRI
10. Ni Bramani kaku ing nala karuna,
sesambat amlasasih,
dhuh Dewa Bethara,
paran olah manira,
dene sun tan bisa milih,
mring priyaningwang,
marase ingkang ati.
347
PNRI
15. Lamun sira karo padha sih maringwang,
rebuten kraneng ririh,
turuten turingwang,
payo marang negara,
Bramana-manungsa angling,
mangsa wediya,
reh ingsun duwe rabi.
16. Asru mojar sira kang amindha warna,
nadyan ingsun tan ajrih,
mradata lan sira,
jer nyata rabiningwang,
sigra umangkat lumaris,
marang nagara,
samarga ting barekis.
348
PNRI
21. DHANDANGGULA
349
PNRI
4. Sanak-sanak andika leresi,
padune Patinggi Ngrandhulawang,
aku-ingaku rabine,
pundi ingkang satuhu,
ingkang dora sayekti mati,
sagung para nayaka,
kemengan tumungkul,
tenapi sakehing jeksa,
datan ana ingkang kaduga mancasi,
samya tur nuwun duka.
350
PNRI
Arya Jurudemung,
tedhak Sang Srinaranata,
sing menguntur dhumateng bangsal pangrawit,
Sang Nata magelaran.
351
PNRI
11. Angandika aris Sribupati,
timbalana katri ngarsaningwang,
den enggal sun wedakane,
Kyapatih sandika wus,
ken nimbali Bramana kalih,
lawan Bramani prapta,
ing byantara Prabu,
kaliyan nyepengi asta,
kanan-kering dadya sira Ni Bramani,
alinggih aneng tengah.
352
PNRI
duk inguni sampun,
ayuda sami pragalba,
marma ulun sapih denira ajurit,
pancasa ing pradata.
353
PNRI
18. Emenging tyas amuja semedi,
saptadina tanpa sinewaka,
ing driya darpa rentenge,
prabawa praja tedhuh,
surem senenira negari,
tikbra sagung nayaka,
gantya kang winuwus,
wau kang amalih warna,
Sang Maliwis putih miber mring wanadri,
tan warta mring Ki Demang
354
PNRI
Dhandhang estri muwus,
kepriye anggone mancas,
ing padune Bramana kembar kang warni,
Dhandhang lanang awarta.
355
PNRI
25. Ing samangke Kangjeng Narapati,
Bojanegara asru kemengan,
ing driya de prawitane,
wonten Bramana padu,
tunggil warna arebut rabi,
nayaka para jeksa,
tan ana kang sanggup,
mancas padune Bramana,
paman dipun enggal manjinga negari,
sumiwiyeng Narendra.
356
PNRI
sareng kalihipun,
yen kawula turutana,
lamun dalu ting kathuwil ting kalesik,
angajak wewingkingan.
357
PNRI
22. P A N G K U R
358
PNRI
5. Yen sira bangkit amancas,
ing padune Bramana rebut rabi,
agedhe ganjaraningsun,
tur sembah kang hningan,
awit Aji darmi kewala pukulun,
menawi saged amancas,
kelawan idi Narpati.
6. En tyarsa Srinaradipa,
hr siniram ing warih sreping gahh,
lah benerana gupuh,
padha mengko pancasa,
tur sandika Ki Demang anyuwun jabung,
kelawan kendhi pratala,
wus sinaosaken nuh.
359
PNRI
10. Rabine sinambat ing tyas.
baya ta wus karsane Dewa luwih,
Bramani pisah lan ingsun,
dadi semahing liyan,
Sang Bramana-setan asuka gumuyu,
nyatane wong ngamandaka,
culika angaku becik.
360
PNRI
15. Aneng jro kendhi karana,
setan nora mati mung kena sakit,
sirna tangis tan karungu,
mulih mring kayanganta,
Srinarendra suka ngalembaneng kalbu,
Ki Demang budine lepas,
gawok sagung kang ningali.
361
PNRI
23. K I N A N T H I
364
PNRI
yen angucap Sang peksi,
iki wong ayu utama,
sairip lir garwa mami.
365
PNRI
11. Nora angin nora jawuh,
kembang tiba ting talethik,
dingarene ana apa,
sarya tumenga denya ngling,
wajannya kengis gumebyar,
tan keksi Sang malih warni.
366
PNRI
dikerah dening karangrang,
baya setan cicir belis.
367
PNRI
22. Wasana ngandika arum,
biyang si Maliwis putih,
ingkang nibani karangrang,
lah wisayanen den keni,
yen nora kenaa biyang,
Mliwis putih ngong ngemasi.
368
PNRI
malah padha gulagepan,
kang nora bisa ngelangi.
369
PNRI
33. Angucap ing driyanipun,
sira Sang Maliwis putih,
nora mandi dhesthiningwang,
tandhane Sang Putri iki,
tan milu ambyur ing toy a,
cihnane yen nora asih.
370
PNRI
amung Sang Maliwis seta,
gumawang keksi ing galih.
371
PNRI
24. M I J I L
372
PNRI
lagi tumon kaya sira iki,
wus gedhe birai,
anangisi manuk.
373
PNRI
11. Karya rudatine Nini Putri,
anggujeg maringong,
malah dadi asru pamulare,
poma sira mentara tumuli,
Ki Patih wotsari,
sandika turipun.
374
PNRI
umiber tumuli,
Sang Dyah keri muwun.
375
PNRI
alungguh karongron,
Jaka Gedhug alon ing ature,
dika wingi kakangmas mring pundi,
adangu tan prapti,
meh anangis ulun.
376
PNRI
mring Sang malih warni,
agupuh sinambut.
377
PNRI
33. Lamun sira tan bisa ngulari,
pundhutaning Katong,
lah payo minggat sing jaman kene,
mangsa wurunga ingsun pinatin,
dening Sribupati,
yen nora katemu.
378
PNRI
25. DHANDHANGGULA
379
PNRI
4. Ki Apatih wisata anangkil,
lan rabine enggal lampahira,
kandheg ing sripengantine,
sigra awehng atur,
tinimbalan manjing jro puri,
prapteng byantara nata,
alenggah mabukuh,
Srinaranata ngandika,
kakang Patih kaya-kaya oleh kardi,
dene ta enggal prapta.
380
PNRI
ngarsane Sang Prabu,
sarwi angemban cakarwa,
srinarendra kacaryan denya ningali,
marang Sang malih warna.
381
PNRI
11. Sang Cakarwa matur ngasih-asih,
dhuh Dewaji kawula punika,
nguni ameng-amengane,
putra paduka Prabu,
Srinarendra ing Mlawapati
Maraja Anglingdarma,
marminipun ulun,
wonten ing Bojanegara,
angulari gusti kawula Sang Aji,
anis anilar praja.
382
PNRI
kalangkung trisnaningwang,
ngandika sang Prabu,
mring Patih sira muliha,
den pracaya cakarwa aneng jro puri,
kang liningan manembah.
383
PNRI
18. Sang Juwita mendhak awotsari,
asungkemi padanireng rama,
Sang Dyah kinusweng embune,
dhuh Nini putraningsun,
marma sira ingsun timbali,
manirarsa pepoyan,
yen samene manuk,
ingkang sira jaluk prapta,
si Maliwis putih ulese prakati,
tur bisa baseng jalma.
384
PNRI
Dewaji anuwun,
kawula atadhah duka,
datan saged angabdi priyagung estri,
Sang Nata angandika.
385
PNRI
26. K I N A N T H I
386
PNRI
parekan samya sumiwi,
sedaya suka tumingal,
dhateng Sang Maliwis putih,
6. Sapolahira acucut,
bok Inya micareng ati,
baya ta wong tapa salah,
anitis dadi maliwis,
mojar Sang amalih warna,
marang sagung para estri.
387
PNRI
11. Ingkang dhikih uwitipun,
wohe dhakah iku nyai,
manira batang Semangka,
dene witipun acilik,
agedhe-gedhe wohira,
punika pambedhe mami.
388
PNRI
yen wus prapta laranira,
tumuli mari anangis.
389
PNRI
22. Sang malih warna amuwus,
adhuh putung gulu mami,
binekuk marang bok inya,
angandika Sang lir Ratih,
biyang inya keri guna,
lagi tumon sira iki.
390
PNRI
sangking Negari Melawa,
ameng-amengan Narpati.
391
PNRI
33. Apa ingkang sira jaluk,
yekti ingsun minangkani,
nanging aja sira cidra,
angawula marang mami,
umatur Sang malih Warna,
inggih sandika Mas Gusti.
392
PNRI
yen nyekar Gandakusuma,
kathah estri memanisi.
393
PNRI
27. S I N O M
394
PNRI
tinilar ing garwanira,
jamake arabi malih,
kurang apa Narpati,
Maliwis putih umatur,
dhomas gunge pra kenya,
para pepingitan selir,
tur sedaya sami putri ayu endah.
395
PNRI
8. Umatur Cakarwa seta,
nadyan kathaha para Ji,
kang kongkulan ing akasa,
kang kasangga ing pratiwi,
mangsa wontena mirib,
gusti kawula Sang Prabu,
Maraja Anglingdarma,
dibya nung prawireng westhi,
wirotama mardawa beg santa-budya.
396
PNRI
12. Abagus saged micara,
punika liripun malih,
satriya kadi wanita,
kang luwes alus ing budi,
lire curiga gusti,
ingkang sae dhapuripun,
kang manggon tangguhira,
satriya kadi retnadi,
ingkang wening driyane budi santosa.
397
PNRI
16. Matur malih Sang Cakarwa,
dhuh gusti sekaring puri,
benjang yen Paduka krama,
ywa arsa wong andhap-alit,
watake sok basiwit,
lan sampun arsa wong punuk,
watake butarepan,
sogol sugal lamun angling,
budi kasap wus kacetha aneng pundhak.
398
PNRI
20. Sang putri Bojanegara,
aniba ing tilam-sari,
tanbuh rasaning tyasira,
yen angucap Sang Dewi,
mendah Srinarapati,
wignyane marang kekidung,
kekawi baya limpat,
kekasihe bae iki,
acarita teka bisa ngalap jiwa.
399
PNRI
24. Dhuh gusti boten anedya,
kawula wau salisik,
tan wruh nucuk kasemekan,
boten katemaha yekti,
ulun punika peksi,
minta aksama pukulun,
menawi boten angsal,
kawula anuwun pamit,
angulari Gusti Raja Anglingdarma.
400
PNRI
28. MIJIL
401
PNRI
ganggu anocori tapih,
saya mejanani,
solahe sun ugung.
402 .
PNRI
11. Iya ingsun dhewe ingkang lali,
mring kekasih ingong,
Sang Dyah tumedhak nyendhal Kampuhe,
bathik sawat jalengut sumampir,
gandane mrik wangi,
kinemulken sampun.
403
PNRI
kampuh apa kang sira karepi,
ya ingsun turuti,
Sang Maliwis matur.
404
PNRI
22. Angandika ris Amindha sari,
ya kekasih ingong,
marenea ingsun kemulane,
sira sun sawang kudu memirik,
Sang amalih warni,
mring ngarsa suminthul.
405
PNRI
Sang amalih warni,
saksana aturu.
406
PNRI
kadya ketaman ing sesirepe,
gelung lukar gandanira amrik,
Sang amalih warni,
tyasira suh rempu.
407
PNRI
29. DHANDHANGGULA
408
PNRI
korengkuh apanira.
409
PNRI
dahat asih mring pun Maliwis,
ing mangke kelampahan,
tinilar anglangut,
yen paduka sampun lena,
binektaa gusti pun Maliwis putih,
dewa banjuten ingwang.
410
PNRI
11. Benjang raina kawula mit,
saliring kalepatan kawula,
den aksamaa nah angger,
kularsa kesah nglangut,
nusul Gusti Srinarapati,
Anglingdarma Melawa,
pejah-gesang tumut,
Sang Putri maras ing driya,
ngandika Ion sarwi ngrangkul Sang Maliwis,
aku mangsa aweha.
411
PNRI
geregah awungu,
lamun kawula ginugah,
kaged lajeng agring malah arsa mati,
sanget apes kawula.
412
PNRI
18. Lir wong kunjana-papa Sang Dewi,
tansah angliring Cakarwa seta,
Sang Dyah aris wecanane,
Cakarwa yen sun dulu,
wedanane mancur nelahi,
mendah nateng Melawa,
baya binabagus,
Maliwis sira tangiya,
wus raina sesaosira prapti,
agung sira pangana.
413
PNRI
kaged banjur mutung,
apa kang ingsun tempuhna,
tambuh polahira Ken Srengganawati,
lir sata metaringan.
414
PNRI
25. Ingsun dhewe ingkang ngujamasi,
alon matur Sang Maliwis seta,
datan lenggana abdine,
nanging paminta ulun,
sampun wonten wong kang udani,
yen ngujamasi kula,
aneng don kang brukut,
Sang Dyah anggarjiteng nala,
wus binopong Maliwis binekta mijil,
sangking jro pasarean.
415
PNRI
30. KINANTHI
416
PNRI
jambule maliwis putih,
kinramasan sinurenan,
roning tal kang mawi tulis.
8. Kelawan kekasihipun,
kang aran Maliwis putih,
ilange tanpa karana,
tanbuh solahe Sang Putri,
arsa atetanya merang,
rumaos lamun pawestri.
417
PNRI
11. Madhema ping sapta durung,
timbang wewalesing dasih,
niaksih ugi kapotangan,
atur kawula maskwari,
selamining sun agesang,
tulusa ingsun angabdi.
418
PNRI
Sang Dyah amicareng nala,
tan linyok rasaning ati.
419
PNRI
22. Winaleran wolung taun,
tan kena ngambah negeri,
yen sira trisna maringwang,
yen sarta panudyeng kapti,
siyang ngong warni cakarwa,
yen dalu sun rupa jalmi,
420
PNRI
swanitanira dres mijil,
sariranira marlupa,
mari anggarut anjiwit.
421
PNRI
33. Yen arupa jalma ingsun,
nora awet andedasih,
marang andika kusuma,
yen ingsun rupa maliwis,
awet atengga andika,
tutuga ing pengabdi mami.
422
PNRI
cethi parekan atarap,
saos neng pipine kori,
423
PNRI
31.MI J I L
424
PNRI
mesem angandika Sang awotsari,
sun arsa semedi,
aja na wong melu.
425
PNRI
11. Mesem Sang ayu matur ngabekti,
alimana ingong,
kumawani anyandhak jambule,
tenung ingalap asalin warni,
wus amulya jalmi,
lir Asmara nurun.
426
PNRI
manggih dhudha pekik,
lir kupu atarung.
427
PNRI
dahat limut ing jiwa-ragane,
kadi layoning sekar upami,
dyan sinambut dening,
Sang kakung pinangku.
428
PNRI
28. Weneh para nyai abebisik,
ing panduluningong,
bibekane Sang Retna ing mangke,
sarira kendho ijo ngalentrih,
lawan awis mijil,
apa baya angluh.
429
PNRI
wadon Sebetan agya tinuding,
mring kaputren prapti,
tan panggih Sang Ayu.
430
PNRI
39. Dene Ni putri durung akrami,
adhuh putraningong,
mara ta lah ingsun gerayange,
Sang Dyah lenggana Sang Prameswari,
ameksa ing siwi,
ing netya arengu.
40. Tan derana anyandhak ing siwi,
gumingsir Sang Sinom,
kena cinandhak lambung lengise,
prameswari anjola sarya ngling,
adhuh nini putri,
tan linyok ujarku.
41. Mau mula wus anyana mami,
katura ing Katong,
mendahane silih dedukane,
Sang Dyah merang pelarasan nangis,
sesambat Dewadi,
banjuten ragengsun.
42. Prameswari mojar ngarih-arih,
nini putraningong,
aja nangis mung wartaa bae,
sapa rowangira lambangsari,
apa ta wong mantri,
bupati tumenggung.
43. Apa lelurahe wong kapilih,
apa satriya nom,
payo sira paweleha bae,
Sang Dyah saya sru denira nangis,
tan arsa nauri,
petanyaning ibu.
431
PNRI
32. DURMA
432
PNRI
5. Datan wonten priya kang saba ing pura,
kawula tan andugi,
solahe Sang Retna,
bilih jim perayangan,
kanthinipun lambangsari,
putra paduka,
remen muja semedi.
433
PNRI
10. Prapteng pagelaran warta mring punggawa,
karsane Sribupati,
gegetun sadaya,
sektine duratmaka,
wus dadya sayembara Ji,
dhawuh ing kathah,
sedaya sanggup wani.
434
PNRI
14. Timbalane ramendra kinen nyepenga,
maling kang sabeng puri,
Raja Anglingdarma,
ngandika mung kusuma,
aywa sumelang ing ati,
para punggawa,
sun temonane yayi.
435
PNRI
19. Para mantri wastranira binuwangan,
tan ana kang ngulisik,
mrih kawirangannya,
sampun tatas-raina,
sedaya kagyad atangi,
kari saruwal,
pedhang keris ngaranting.
436
PNRI
24. Kajineman sadaya konjem ing kisma,
tan abisa kumecip,
kipatih sawega,
dening pandung kawasa,
ing saben dalu pra mantri,
tugur ing pura,
ing jawi pra prajurit.
437
PNRI
29. Ingsun Patih amiyandel marang sira,
poma den oleh kardi,
asukuwa dhadha,
aja muliha patya,
yen sira tan oleh kardi,
sira banjura,
munggah Srenggana wukir.
438
PNRI
33. PANGKUR
439
PNRI
5. Ing mangke sampun alama,
kadi nir kayatnanira mring padni,
Bathik Madrim tan amuwus,
angartikeng wardaya,
angrojongi ature kang punggawa gung,
dyan minggah ing pepanggungan,
arsa marek ing Sang Aji,
440
PNRI
10. Bunek ing tyasira Patya,
amiyarsa tangis jro Kenyapuri,
asru denira amuwus,
kabeh padha kendela,
padha tingalana panengeraningsun,
wangwang Patih Madrim medal,
panggih lan sagung bupati.
441
PNRI
34. DHANDANGGULA
442
PNRI
4. Siyang-dalu denira lumaris,
tumurun jurang sumangkeng arga,
kalunta-lunta lampahe,
darpa emenging kalbu,
duk ararywan aneng sasoring,
wreksa mandira sarya,
angantuk tan dangu,
rumungu swara mangkana,
Bathik Madrim kelamun arsa kepanggih,
kelawan gustinira.
443
PNRI
manira arsa tanya,
pundi kang kapungkur,
lan ing pundi kang sinedya,
Bathik Madrim anglocita baya iki,
wahanane ing swara.
444
PNRI
11. Sokur sewu Ki Anak wewasi,
aywa tanggung laku pekenira,
beja lamun oleh gawe,
yen jengandika sanggup,
ingsun minta sraya Ki Wasi,
myekel maling aguna,
aneng jro pura rum,
dhustha digung kinawasa,
datan mawa babahan sakehning mantri,
pinilih kapetengan.
445
PNRI
gya sami lumaku,
datan kawarna ing marga,
enggal praptanira wus manjing nagari,
nahan gantya winarna.
446
PNRI
18. Ki Bathik Madrim sampun tinari,
datan amawi taha ing driya,
sumanggup kepara luber,
amesthi ingkang pandung,
kacepeng ing kawula benjing,
nadyan silih sageda,
awor lawan lesus,
kawula mangsa kilapa,
angur aja sinebut-sebut wewasi,
luput anyekel dhustha
447
PNRI
kang liningan m atur,
Dewaji panuwun amba,
sakathahe sato-kewan kang neng puri,
sadaya kawedalna.
448
PNRI
35. DURMA
449
PNRI
5. Tri manembah sang nata aris ngandika,
heh paran Bathik Madrim,
apa na ing pura,
maling kang kinawasa,
matur sembah estu Gusti,
pura Narendra,
kalebetan ing maling.
450
PNRI
10. Tinut wuri lumebet ing petamanan,
unggyanira Sang Putri,
Bathik Madrim kewran,
sigra mundur lon-lonan,
arsa matur mring Narpati,
wus byar raina,
mijil kulandaragni.
451
PNRI
15. Nadyan silih tumuntura neng ngarsendra,
kadi tan wonten uning,
myang kelamun nukma,
awor ing kelangenan,
kadi datan wonten kang wrin,
amung kawula,
datan kilap sayekti.
452
PNRI
20. Dhuh mas mirah kang sawang retna pekaja,
aywa maras ing ati,
senadyan wuwuha,
wasi ajar senam bang,
srayane ramanira Ji,
mangsa idhepa,
maring manira gusti.
453
PNRI
36. ASMARADANA
454
PNRI
5. Alingan wit Nagasari,
Sang Nata malih ngandika,
yen sira mati temahe,
nagri ing Bojanegara,
sapa ingkang duweya,
Ki Bathik Madrim andulu,
citranira Sang Kusuma.
455
PNRI
10. Angandika Sang Suputri,
dhuh lae tan aweh ingwang,
iya maliwisku dhewe,
ingaran maling aguna,
destun angayawara,
angkuhmu angundhung-undhung,
anjaluk kekasih ingwang.
456
PNRI
15. Sang nuksmeng sekar bebisik,
dhuh gusti sira atuma,
ingsun ing mangke angaleh,
aja maras atinira,
teka sira asungna,
sun anuksmeng kancing-gelung,
Sang Dyah ayu angandika.
457
PNRI
20. Surem cahyaning kang kancing,
Bathik Madrim atur sembah,
sampun kesah ngalih enggen,
aneng sengkange Sang Retna,
Sang Nata angandika,
nini wenehna den gupuh,
sengkangira mri ki wasya.
458
PNRI
25. Arsamba besmi wit dening,
punika unggyaning dhustha,
Sang Ayu sru andikane,
dudu paringe Ramendra,
oleh ngong amanggya,
den tukuwa kalihewu,
manira mangsa aweha.
459
PNRI
37. PANGKUR
460
PNRI
5. Lumayu tikus jinada,
karepotan dadya tripuru putih,
kucing tinubmk lumayu,
binuru karepotan,
Nateng Bojanagara gawok andulu,
solahe kang bandayuda,
dene kalangkung asekti.
461
PNRI
10. Arsa tetulung ing yuda,
ciptanira yen matiya samangkin,
ratu ing Malawa puput,
turune lakiningwang,
nora na ingkang nedhakaken ratu,
ing Nungsa J awa saksana,
dahana geng andhatengi.
462
PNRI
38. KINANTHI
1. Atas pamiyarsanipun.
Kyai Patih Bathik Madrim,
tan samar ing ciptanira,
kang sesumbar neng wiyati,
Maharaja Anglingdarma,
Ratu ing Melawapati.
463
PNRI
dahat tan wikan ing Gusti,
kalangkung kawelasarsa,
salami katilar Gusti.
464
PNRI
11. Mring Madrim sarwi angrangkul,
menenga ay wa anangis,
kang Madrim sira matura,
purwanta anis ing nagri,
apa ana parangmuka,
angrabaseng Mlawapati.
465
PNRI
Sang Nata mesem ngandika,
kang Madrim manira isin.
466
PNRI
22. Yen sestunipun kang pandung,
putra paduka Dewaji,
Raja Nglingdarma Malawa,
ingkang kawula ulari,
anjajah wana myang praja,
mangke kepanggih ing ngriki,
467
PNRI
apa ta HyangKamajaya,
linggar sangking Suranadi.
468
PNRI
33. Yayah katibanan daru,
tenapi prabata rukmi,
karoban samodra kilang,
esthinipun bapa Gusti,
sasat katurunan dewa,
tanbuh sukaning tyas mami.
469
PNRI
sinangsaya ing jawata,
kawula tilar nagari.
470
PNRI
44. Arsa nutugaken laku,
kirang sangang warsa dening,
putra paduka awawrat,
kantuna wonten ing ngriki,
Sang Prabu Darmawasesa,
sanget denya anggendholi.
471
PNRI
PNRI