Ergonomi Kel 4-3

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 8

Fenomena ini dikenal sebagai oxygen debt (lihat gambar 4.1).

tingginya kebutuhan
oksigen disaat kerja berakhir juga diperlukan untuk menyiapkan cadangan energy, karena
proses ini tidak dapat dilakukan saat beristirahat.

Gambar 4.1 kebutuhan oksigen pada saat kerja maupun sesudah kerja

(Kroemer et al, 2001) p.113

Selama kerja otot tidak berlebihan, kebutuhan energi umumnya akan relatif
rendah dan proses pertumbuhan ATP dapat berlangsung terus-menerus secara aerobik
(dengan bantuan oksigen). Apabila terdapat sisa metabolisme, oksigen yang tersedia (saat
beristirahat) dapat secara cepat membantu proses resintesis sisa metabolisme tersebut.
Dengan demikian, jelas bahwa kerja otot hanya dapat berlangsung secara terus-menerus
bila energi cukup tersedia melalui proses metabolisme yang efisien. Dalam hal ini,
ketersediaan oksigen dalam jumlah yang memadai menjadi faktor penting. Implikasinya
pekerjaan sebaiknya bersifat dinamis, dirancang dengan intensitas rendah dan dilakukan
dalam waktu yang lebih lama dibandingkan dengan kerja berintensitas tinggi walaupun
dilakukan dalam waktu yang cukup singkat.

Energi yang dibutuhkan terdiri atas metabolisme basal, metabolisme istirahat, dan
metabolisme kerja. Metabolisme basal ialah metabolisme minimal yang dibutuhkan agar
tubuh tetap berfungsi walaupun tidak melakukan aktivitas, diantaranya untuk gerak
denyut jantung alat pernafasan, alat pencernaan, alat urogenital, sekresi kelenjar-kelenjar,
biolistrik saran dan lain sejenisnya. Nilai metabolisme basal sangat bervariasi bergantung
usia, jenis kelamin, tinggi dan bobot badan. Walaupun variasi inter-individual kecil, nilai
relatif metabolisme basal yang dapat diterima adalah 1 kcal (4.2 kJ/kg/jam) atau 4.9
kJ/menit untuk seseorang yang berusia 70 tahun. Sementara, metabolisme istirahat adalah
metabolisme yang dibutuhkan saat badan dalam keadaan istirahat adalah metabolisme
yang dibutuhkan saat badan dalam kondisi istirahat atau saat sebelum beraktivitas.
Metabolisme istirahat lebih besar dari pada metabolisme basal dan lebih sering
digunakan. Metabolisme istirahat memiliki nilai 10% sampai 15% lebih tinggi dari pada
metabolisme basal serta metabolisme kerja. Metabolisme kerja menggambarkan energi
yang dibutuhkan saat bekerja, baik dalam satuan kJ/min atau kcal/min. proses
metabolisme sebelum, selama dan sesudah bekerja dapat dilihat pada gambar 4.1 di atas.

Aktivitas 4.1

Perhatikan seseorang yang sedang beraktivitas ringan (misalkan sedang joging).


Diskusikan dengan rekan anda bagaimana mekanisme tersedianya energi dan fungsi-
fungsi yang terkait dengan produksi energi untuk melakukan joging. Diskusikan juga
mengenai kebutuhan energi pada saaat bekerja (lihat gambar 4.1)

D. Kapasitas Kerja Fisik

Salah satu isi penting dalam fisiologi kerja adalah pemahaman mengenai kapasitas
fisik seseorang pada saat bekerja. Dengan pemahaman ini, para praktisi ergonomi dapat
mengevaluasi berat-ringannya beban fisik yang dialami seseorang saat bekerja, serta
menentukan langkah-langkah kerja, kapasitas kerja fisik dapat diartikan sebagai
kemampuan maksimal tubuh dalam menghasilkan energi dan merupakan fungsi dari
ketersediaan zat-zat gizi serta kemampuan tubuh dalam memperoleh oksigen. Besarnya
energi yang dibutuhkan pada saat kerja merupakan jumlah dari energi basal (basal
metabolic rate), energi yang diperlukan sekadar untuk hidup, dan energi yang dibutuhkan
ketika tengah melakukan pekerjaaan tersebut. Peran ergonomi adalah memastikan bahwa
energi (metabolic cost) yang dibutuhkan saat seseorang bekerja dalam kapasitas fisiologi
individu tersebut.

1. Kapasitas Aerobik Maksimal


Salah satu indikator penting untuk mengevaluasi kapasitas kerja fisik, diantaranya
adalah kapasitas aerobik maksimal. Kapasitas aerobik dikenal pula sebagai daya aerobik
maksimal, dengan daya itu sendiri berarti energi yang tersedia per unit waktu. Kapasitas
aerobik maksimal dapat ditentukan dengan cara mengukur volume oksigen maksimal
(VO2 maks) yang dapat dihirup oleh seseorang per satuan waktu. VO2 maks dari
seseorang individu umumnya diukur dari konsumsi oksigen saat berlari diatas treadmill
(atau mengayuh ergocycle) dengan kecepatan treadmill ditingkatkan secara bertahap
dalam waktu yang relatif singkat (Gambar 4.2a dan 2b). pengujian kapasitas aerob
dengan cara ini melibatkan kumpulan otot besar. Untuk mengukur konsumsi oksigen,
digunakan Douglas Bag, yaitu suatu wadah untuk mengumpulkan gas yabg dihembuskan
oleh individu yang sedang diukur tersebut. Analisis dilakukan dengan melihat gas yang
terkumpul dan konsetrasi oksigen dalam wadah tersebut. Kemudian berdasarkan isi
wadah dan lamanya wadah tersebut terisi, jumlah konsumsi oksigen dapat dihitung.
Secara bersamaan konsumsi oksigen individu tersebut diukur terus-menerus, sampai
suatu saat dimana penigkatan kecepatan treadmill tidak berdampak pada peningkatan
konsumsi oksigen. Pada saat inilah konsumsi oksigen seseorang dianggap paling tinggi
dan mencerminkan VO2 maks individu tersebut. VO2 maks ini terjadi pada saat denyut
jantung maksimal. Ketika telah dicapai VO2 maks, sangat mungkin apabila individu
masih dapat berlari lebih cepat (intensitas kerja lebih tinggi). Namun pada saat itu, energi
yang digunakan bersifat anaerobik dan tidak dapat berlangsung lama. Dari penjelasan ini,
dapat disimpulkan bahwa kapasitas kerja seseorang dapat ditentukan melalui VO2 maks
yang dimiliki individu tersebut walaupun caranya tak mudah.
Gambar 4.2 peralatan yang digunakan untuk mengukur VO2 maks sesorang
a. Dulu (Astrand 2003) b. sekarang (widyasmara 2007)

Kapasitas aerobik maksimum dapat ditentukan dengan 2 metode yaitu, metode


maximal test dan submaximal test (Astrand et al., 2003). Pada metode maksimal,
responden diminta untuk mengerahkan seluruh kemampuannya untuk mencapai kapasitas
aeerobik maksimum, seperti pengukuran VO2 maks dengan treadmill pada contoh diatas.
Metode ini akan menghasilkan gejala kelelahan dan tanda-tanda bahwa usaha pusat
kardio-respirasi telah mencapai batasnya, misalnya terjadi mual-mual sesak nafas yang
parah, bahkan sampai pingsan dan lainnya (Shepard seperti dikutip dalam Iriastadi,
1997). Pada metode submaksimal, responden tidak dipaksakan untuk kondisi
maksimumnya sehingga dampak kelelahan dan bahayanya lebih rendah, namum
keakuratannya pun lebih rendah dibandingkan metode maksimal. Responden harus
melakukan paling sedikit tiga beban kerja yang berbeda. Pada pelatihan treadmill, beban
kerja yang berbeda diperoleh dengan meningkatkan keminringan atau kecepatan
treadmill. Untuk responden dengan kapasitas aerobik yang realtif rendah, kecepatan
hingga 4 mph dan kemiringan pada nol persen dapat digunakan untuk pengujian. Pada
setiap beban kerja, denyut jantung dan konsumsi oksigen diukur. Pengukuran pada
responden dimulai dengan beban kerja yang paling ringan kemudian beban kerja
dinaikkan sampai tingkat paling berat. Metode submaksimal ini mengasumsikan bahwa
konsumsi oksigen merupakan funsi linear dari denyut jantung, sehingga terdapat
hubungan yang menyatakan bahwa denyut jantung maksimum menyebabkan volume
oksigen maksimum dan volume oksigen maksimum menghasilkan energi yang
maksimum pula.
Sejumlah penelitian yang mengukur VO2 maks telah dilakukan pada berbagai
populasi. Untuk pekerja di Amerika Serikat, NIOSH pada 1981 melaporkan data VO2
maks (untuk persentil 50) sebesar 63 kJ/menit atau sekitar 3,2 I/menit untuk pekerja pria
dan 44 kJ/menit atau sekitar 2,2 I/menit untuk pekerja wanita. Data untuk persentil5
adalah 52,3 kJ/menit (pria) dan 33,5 kJ/menit (wanita).

Di indonesia sendiri, penelitian serupa telah dilakukan untuk populasi mahasiswa,


anggota TNI, dan pekerja industri. Pada 2007, Widyasmara dan Rakhmaniar melaporkan
data VO2 maks sebesar 2,6 I/menit untuk mahasiswa dan 1,8 I/menit untuk mahasiswi.
Untuk anggota TNI, Yadi (2009) melaporkan data VO2 maks sebesar 4,5 I/menit untuk
pekerja industri, Yuliani (2010) melaporkan data VO2 maks sebesar 3,4 I/menit untuk
pekerja pria dan 2,3 I/menit untuk pekerja wanita. Pada penelitiannya, Yuliani
menggunakan responden pekerja pria dan wanita, dimana para pekerja tersebut
merupakan pekerja industri yang mempunyai pengalaman bekerja minimal satu tahun
pada bagian produksi (dimana pada bagian ini pekerja banyak melakukan aktivitas fisik),
memiliki riwayat kesehatan yang baik, tidak merokok dan meminum alkohol, pada
rentang usia 25 tahun sampai 45 tahun, dengan jumlah sampel masing-masing sebanyak
30 pekerja. Prosedur penelitian yang digunakan merupakan modifikasi prosedur yang
digunakan dalam penelitian Keytel et al. (2005) beberapa penelitian yang dilakukan
diindonesia terangkum pada tabel 4.1.

Tabel 4.1 Penelitian VO2 maks berbagai golongan populasi di indonesia

Peneliti Reponden Nilai Konsumsi Oksigen


Widyasmara 10 orang mahasiswa pria VO2 max = 2,64 liter/menit (SD = 0,51)
(2007) (usia 17-23 tahun) VO2’ max = 42,42 ml/menit/kg (SD =
7,25)
Rakhmaniar 10 orang mahasiswa wanita VO2 max = 1,89 liter/menit (SD = 0,27)
(2007) (usia 19-22 tahun) VO2’ max = 33,63 ml/menit/kg (SD =
3,30)
Satiawan 16 orang pekerja industri VO2 max = 3,7 liter/menit (SD = 0,55)
(2008) pria (usia 20-25 tahun) VO2’ max = 65,11 ml/menit/kg (SD =
9,447)
Soleman 15 orang pekerja industri VO2 max = 2,5 liter/menit (SD = 0,69)
(2009) wanita (usia 20-25 tahun) VO2’ max = 52,84 ml/menit/kg (SD =
7,25)
Yadi (2009) 30 orang TNI AU, AD dan VO2 max = 4,5 liter/menit (SD = 0,67)
Polisi (usia 19-25 tahun) VO2’ max = 71,4 ml/menit/kg (SD =
10,63)

Penelitian yuliani terdiri atas 2 tahap, tahap pertama dilakukan untuk mengukur

kapasitas aerobik maksimal (VO2 maks) dengan menggunakan metode maksimal test,

yaitu setiap responden harus berlalri diatas treadmill dengan mengerahkan seluruh

tenaganya sampai mencapai kelelahan, dengan kecepatan awal untuk responden pekerja

pria adalah 7 km/jam dan responden wanita adalah 6 km/jam. Penelitian tahap kedua

dilakukan untuk mengembangkan model persamaan prediksi konsumsi oksigen (VO2)

dan konsumsi oksigen relatif terhadap bobot badan (VO2) bagi pekerja industri

berdasarkan faktor fisiologis denyut jantung, usia bobot badan dan tinggi badan, dengan

menggunakan metode submaksimal test. Responden berlari diatas treadmill pada

kecepatan 25%, 50% dan 75% dari kecepatan maksimal yang dicapai pada penelitian

tahap pertama, masing-masing dilakukan selama lima menit tanpa istirahat. Kecepatan ini

diasumsikan merupakan pembebanan ringan, sedang dan berat. Untuk merekan,

menganalisis dan menampilkan hasil gas (O2 dan CO2), serta mendeteksi dan

menampilkan denyut jantung selama penelitian berlangsung (secara real time) digunakan

metabolianalyzer.
Sejumlah faktor dipercaya dapat memengaruhi nilai VO2 maks seseorang

individu, termasuk faktor demografi, usia, jenis kelamin, bobot badan, training, nutrisi

penggunaan rokok, serta faktor lingkungan lainnya. Puncak nilai VO2 maks berkisar

sekitar 18-20 tahun (Gambar 4.3), kemudian menurun sejalan dengan menurunnya usia

seseorang. Pada usia 60 tahun, VO2 maks berkisar sekitar 75% dibandingkan pada saat

usia 20 tahun (Bridger et al., 2003). Wanita pada umumnya memiliki VO2 maks yang

lebih rendah dibandingkan pria. Hal ini disebabkan oleh perbedaan bentuk tubuh, serta

proporsi lemak tubuh. Namun sebelum terjadi pubertas, gender tidak membedakan VO2

maks antarindividu.

Gambar 4.3 Kapasitas aerobik maksimum terjadi sebagai fungsi dari usia dan gender

(National Institute for Occupational Safety and Health, 1981)


Bobot badan juga dapat mempengaruhi nilai VO2 maks, namun ini lebih

disebabkan oleh proporsi lemak yang berlebihan. Latihan fisik secara benar dapat juga

meningkatkan VO2 maks. Job training bukan saja bermanfaat dalam meningkatkan

kapasitas kerja, namun dapat pula meningkatkan output kerja kekuatan otot, serta

mengurangi potensi cedera. Perokok pada umumnya memiliki VO2 yang lebih rendah

daripada yang bukan perokok. Karbon dioksida yang ada pada asap rokok mengikat

hemoglobin jauh lebih lebih kuat (200 kali) dibandingkan dengan oksigen. Dengan

demikian, untuk perokok, kemampuan darah untuk mengalirkan oksigen menjadi lebih

rendah dan berdampak pada VO2 maks yang lebih kecil. Faktor-faktor lain yang juga

dapat memengaruhi kapasitas kerja antara lain: kebisingan, iklim, kwringgian serta

penggunaan pakaian pelindungan diri. Secara lebih lengkap, Astrand et al. (2003)

menuliskan faktor-faktor yang memengaruhi kapasitas kerja fisik seseorang (Gambar

4.4).

Anda mungkin juga menyukai