Makalah Pernikahan Dini Hukum Islam
Makalah Pernikahan Dini Hukum Islam
Makalah Pernikahan Dini Hukum Islam
PERNIKAHAN DINI
Disusun oleh :
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKRTA
2020/2021
BAB 1
A. LATAR BELAKANG
C. TUJUAN
Mengacu pada rumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan sebagai
berikut :
1. Mengungkap faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat terutama para
remaja yang melakukan pernikahan dini
2. Mengungkap upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisir terjadinya
pernikahan dini
3. Mengetahui pemahaman pengetahunan remaja tentang pernikahan dini
BAB 2
PEMBAHASAN
1
https://www.scribd.com/document/324491162/Pengertian-Pernikahan-Dini
Hukum Islam sendiri memiliki beberapa prinsip yakni perlindungan pada
agama, harta, jiwa, keturunan dan akal. Menikah muda menurut Islam sendiri
tidak melarang adanya sebuah pernikahan asalkan sudah baligh dan sudah
sanggup memberikan nafkah jasmani serta rohani. Istilah pernikahan dini sendiri
merupakan istilah kontemporer yang dikaitkan dengan awal waktu tertentu. 2
2
https://dalamislam.com/hukum-islam/pernikahan/pernikahan-dini-dalam-islam
3. Bagaimana pernikahan dini dalam perspektif hukum islam ?
Hukum Islam secara umum meliputi lima prinsip yaitu perlindungan
terhadap agama, jiwa, keturunan, harta, dan akal. Dari kelima nilai universal Islam
ini, satu diantaranya adalah agama menjaga jalur keturunan (hifdzu al nasl). Oleh
sebab itu, Syekh Ibrahim menuturkan bahwa agar jalur nasab tetap terjaga,
hubungan seks yang mendapatkan legalitas agama harus melalui pernikahan.
Seandainya agama tidak mensyari’atkan pernikahan, niscaya geneologi (jalur
keturunan) akan semakin kabur.3
Agama dan negara terjadi perselisihan dalam memaknai pernikahan dini.
Pernikahan yang dilakukan melewati batas minimnal Undang-undang
Perkawinan, secara hukum kenegaraan tidak sah. Istilah pernikahan dini menurut
negara dibatasi dengan umur. Sementara dalam kaca mata agama, pernikahan dini
ialah pernikahan yang dilakukan oleh orang yang belum baligh.
Terlepas dari semua itu, masalah pernikahan dini adalah isu-isu kuno yang
sempat tertutup oleh tumpukan lembaran sejarah. Dan kini, isu tersebut kembali
muncul ke permukaan. Hal ini tampak dari betapa dahsyatnya benturan ide yang
terjadi antara para sarjana Islam klasik dalam merespons kasus tersebut. Agama
melarang pernikahan dini (pernikahan sebelum usia baligh). Menurutnya, nilai
esensial pernikahan adalah memenuhi kebutuhan biologis, dan melanggengkan
keturunan. Sementara dua hal ini tidak terdapat pada anak yang belum baligh. Ia
lebih menekankan pada tujuan pokok pernikahan.
Ibnu Syubromah mencoba melepaskan diri dari kungkungan teks.
Memahami masalah ini dari aspek historis, sosiologis, dan kultural yang ada.
Sehingga dalam menyikapi pernikahan Nabi Saw dengan Aisyah (yang saat itu
berusia usia 6 tahun),Ibnu Syubromah menganggap sebagai ketentuan khusus bagi
Nabi Saw yang tidak bisa ditiru umatnya
Sebaliknya, mayoritas pakar hukum Islam melegalkan pernikahan dini.
Pemahaman ini merupakan hasil interpretasi dari QS. al Thalaq: 4. Disamping itu,
sejarah telah mencatat bahwa Aisyah dinikahi Baginda Nabi dalam usia sangat
muda. Begitu pula pernikahan dini merupakan hal yang lumrah di kalangan
3
Ibrahim, al Bajuri , vol. 2, (Toha Putra, Semarang, 2006), h. 90
sahabat. Bahkan sebagian ulama menyatakan pembolehan nikah dibawah umur
sudah menjadi konsensus pakar hukum Islam. Wacana yang diluncurkan Ibnu
Syubromah dinilai lemah dari sisi kualitas dan kuantitas, sehingga gagasan ini
tidak dianggap. Konstruksi hukum yang di bangun Ibnu Syubromah sangat rapuh
dan mudah terpatahkan.4
Imam Jalaludin Suyuthi pernah menulis dua hadis yang cukup menarik
dalam kamus hadisnya. Hadis pertama adalah ”Ada tiga perkara yang tidak boleh
diakhirkan yaitu shalat ketika datang waktunya, ketika ada jenazah, dan wanita tak
bersuami ketika (diajak menikah) orang yang setara/kafaah”.5 Hadis Nabi kedua
berbunyi, ”Dalam kitab taurat tertulis bahwa orang yang mempunyai anak
perempuan berusia 12 tahun dan tidak segera dinikahkan, maka anak itu berdosa
dan dosa tersebut dibebankan atas orang tuanya”.6
Pada hakekatnya, penikahan dini juga mempunyai sisi positif. Kita tahu,
saat ini pacaran yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi acapkali tidak
mengindahkan norma-norma agama. Kebebasan yang sudah melampui batas,
akibat kebebasan itu kerap kita jumpai tindakantindakan asusila di masyarakat.
Fakta ini menunjukkan betapa moral bangsa ini sudah sampai pada taraf yang
memprihatinkan. Hemat penulis, pernikahan dini merupakan upaya untuk
meminimalisir tindakan-tindakan negatif tersebut. Daripada terjerumus dalam
pergaulan yang kian mengkhawatirkan, jika sudah ada yang siap untuk
bertanggungjawab dan hal itu legal dalam pandangan syara’ kenapa tidak ?
Substansi hukum Islam adalah menciptakan kemaslahatan sosial bagi
manusia pada masa kini dan masa depan. Hukum Islam bersifat humanis dan
selalu membawa rahmat bagi semesta alam. Apa yang pernah digaungkan Imam
Syatiby dalam magnum opusnya ini harus senantiasa kita perhatikan. Hal ini
bertujuan agar hukum Islam tetap selalu up to date, relevan dan mampu merespon
dinamika perkembangan zaman.7
4
Ibnu Hajar al ’Asqalani, Fathul Bari vol. Darul Kutub Ilmiah, Beirut. 9 h.237.
5
Jalaluddin Suyuthi, Jami’ al Shaghir , Darul Kutub Ilmiah, Beirut. h.210.
6
Ibid., h.501.
7
Imam Syatibi, al Muwafaqot , Darul Kutub Ilmiah, Beirut. h.220
Permasalahan berikutnya adalah baik kebijakan pemerintah maupun
hukum agama sama-sama mengandung unsur maslahat. Pemerintah melarang
pernikahan usia dini adalah dengan pelbagai pertimbangan di atas. Begitu pula
agama tidak membatasi usia pernikahan, ternyata juga mempunyai nilai positif.
Sebuah permasalahan yang cukup dilematis. Menyikapi masalah tersebut, penulis
teringat dengan gagasan Izzudin Ibn Abdussalam dalam bukunya Qowa’id al
Ahkam. Beliau mengatakan jika terjadi dua kemaslahatan, maka kita dituntut
untuk menakar mana maslahat yang lebih utama untuk dilaksanakan.8
Kaedah tersebut ketika dikaitkan dengan pernikahan dini tentunya bersifat
individualrelatif. Artinya ukuran kemaslahatan di kembalikan kepada pribadi
masing-masing. Jika dengan menikah usia muda mampu menyelamatkan diri dari
kubangan dosa dan lumpur kemaksiatan, maka menikah adalah alternatif terbaik.
Sebaliknya, jika dengan menunda pernikahan sampai pada usia ”matang”
mengandung nilai positif, maka hal itu adalah yang lebih utama.
8
Izzudin Ibn Abd. Salam, Qowa’id al Ahkam , vol.II Darul Kutub Ilmiah, Beirut. h.90
9
Beni Ahmad Saebani. (2008). Perkawinan dalam Hukum Islam dan Undang-Undang (Perspektif
Fiqh Munakahat dan UU No. 1/1974 tentang Poligami dan Problematikanya. Bandung: CV
Pustaka Setia, hal. 13
10
Bukido, R. (2016). Urgensi Perjanjian dalam Lalu Lintas Hubungan Hukum Perdata. Jurnal Ilmiah
Al-Syir'ah, 6(1).
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 mengatur tentang dasar perkawinan,
syarat-syarat perkawinan, pencegahan perkawinan, dan lain-lain. Salah satu dasar
perkawinan yang diatur dalam UU tersebut adalah tercantum dalam Pasal 2 ayat
(2) yakni tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan
yang berlaku.
Perkawinan di bawah umur yang dimaksud dalam tulisan ini adalah semua
bentuk perkawinan yang dilakukan di masyarakat yang tidak sesuai dengan
ketentuan yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) Undang Nomor 1 tahun 1974.
Rumusan Pasal tersebut adalah perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria
mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia
16 (enam belas) tahun.
Perkawinan di bawah umur yang terjadi di masyarakat sangat bertentangan
dengan Pasal 1 UU No. 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak. Perkawinan
yang dilaksanakan tersebut tergolong sebagai perkawinan anak sebab umur
mereka saat melangsungkan perkawinan belum mencapai 18 tahun. Perkawinan
yang dilaksanakan berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tersebut
bertentangan dengan UU Perlindungan Anak sebab syarat minimum yang
dijelaskan dalam Pasal 7 tersebut (perempuan 16 tahun laki-laki 19 tahun)
tergolong kategori anak bagi pihak perempuan.
Dampak Negative
Berbagai dampak positif pernikahan dini atau perkawinan dibawah umur
dapat dikemukakan sebagai berikut.:
a. Dampak biologis
Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju
kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan
jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. Jika dipaksakan justru
akan terjadi trauma, perobekan yang luas dan infeksi yang akan membahayakan
organ reproduksinya sampai membahayakan jiwa anak. Patut dipertanyakan
apakah hubungan seks yang demikian atas dasar kesetaraan dalam hak reproduksi
antara isteri dan suami atau adanya kekerasan seksual dan pemaksaan
(penggagahan) terhadap seorang anak.
b. Dampak psikologis
Secara psikis anak juga belum siap dan mengerti tentang hubungan seks,
sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam jiwa anak yang
sulit disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang berakhir
pada perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya. Selain
itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh
pendidikan (Wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya serta
hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.
c. Dampak sosial
Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat
patriarki, yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya
dianggap pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan
ajaran agama apapun termasuk agama Islam (Rahmatan lil Alamin) yang sangat
menghormati perempuan. Kondisi ini hanya akan melestarikan budaya patriarki
yang akan melahirkan kekerasan terhadap perempuan.
d. Dampak perilaku seksual menyimpang
Adanya prilaku seksual yang menyimpang yaitu prilaku yang gemar
berhubungan seks dengan anak-anak yang dikenal dengan istilah pedofilia.
Perbuatan ini jelas merupakan tindakan ilegal (menggunakan seks anak), namun
dikemas dengan perkawinan seakan-akan menjadi legal. Hal ini bertentangan
dengan UU.No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak khususnya pasal 81,
ancamannya pidana penjara maksimum 15 tahun, minimum 3 tahun dan pidana
denda maksimum 300 juta dan minimum 60 juta rupiah. Apabila tidak diambil
tindakan hukum terhadap orang yang menggunakan seksualitas anak secara ilegal
akan menyebabkan tidak ada efek jera dari pelaku bahkan akan menjadi contoh
bagi yang lain.
e. Dampak terhadap masing-masing keluarga
Dampak terhadap masing-masing keluarganya. Apabila perkawinan di antarta
anak-anak mereka lancar, sudah barang tentu akan menguntungkan orang tuanya
masing-masing. Namun apabila sebaliknya keadaan rumah tangga mereka tidak
bahagia dan akhirnya akan terjadi perceraian. Hal ini akan mengkibatkan
bertambahnya biaya hidup mereka dan yang palinng parah lagi akan memutuskan
tali kekeluargaan diantara kedua belah pihak.11
11
https://www.academia.edu/34297318/
3. Kampanye berupa penyebaran informasi dan edukasi mengenai pernikahan
anak, sekolah, hak-hak, dan kesehatan sexual dan reproduksi dengan
menggunakan berbagai media.
4. Mentoring dan pelatihan peer group yang ditujukan untuk
pemuda/pemudi, orang dewasa lainnya, guru, dll, agar menunjang
penyebaran informasi dan mendukung anak-anak perempuan yang
berisiko menikah dini.
5. “Safe spaces” atau forum, kelompok, dan pertemuan yang memungkinan
adanya proses tatap muka, berkumpul, terhubung, dan bersosialisasi
dengan lingkungan di luar rumah.
B. Mendidik dan menggerakkan orangtua dan anggota komunitas
Keterlibatan orangtua dan komunitas adalah strategi kedua yang paling banyak
digunakan dalam penelitian. Tujuan utama dari strategi ini ialah untuk
menciptakan suatu lingkungan yang baik, disebabkan karena ditangan keluarga
dan anggota masyarakat yang tua-lah keputusan pernikahan anak dilakukan atau
tidak.
Program yang melibatkan strategi ini diantaranya ialah:
1. Pertemuan tatap muka dengan orangtua, komunitas, dan pemuka agama
untuk memperoleh dukungan.
2. Edukasi terhadap kelompok dan komunitas mengenai konsekuensi dan
alternatif terhadap pernikahan anak.
3. Kampanye berupa penyebaran informasi dan edukasi mengenai pernikahan
anak, sekolah, hak-hak, dan kesehatan sexual dan reproduksi dengan
menggunakan berbagai media.
4. Kampanye yang dilakukan oleh pemimpin masyarakat yang berpengaruh,
kepala keluarga, dan anggota komunitas.
BAB 3
KESIMPULAN
12
Malhotra, A., Warner, A., McGonagle, A., (2011). Solutions to end child marriage: what the
evidence shows. Washington, DC: ICRW; 2011.
Selanjutnya yaitu karena motif ekonomi yang ingin mengurangi beban
orang tua, agar kebutuhan sehari-hari menajadi tanggung jawab suami. Maka
ketika sudah ada yang melamar mau-mau saja menikah dini, tapi pada
kenyataannya malah menambah beban orang tua karena belum memiliki
pekerjaan.
Selain itu juga ada pengaruh dari teman sebaya (peer group), kebanyakan
pernikahan dini yang terjadi juga karena pengaruh lingkungan yang melihat
teman-teman menikah sehingga juga punya keinginan untuk segera menikah.
Mereka hanya memikirkan senang kalau sudah menikah karena melihat
temantemannya yang sudah menikah dan takut juga kalau harus kehilangan
pasangannya jika tidak segera menikah.
Jadi kesimpulanya adalah pernikahan dini itu lebih banyak memberikan
efek negatif daripada efek positifnya dikarenakan kebanyakan dari pernikahan
dini itu pelakunya adalah para remaja yang pada dasarnya belum siap secara
ekonomi, fisik, mental dan sosial.
DAFTAR PUSTAKA
BAB V.pdf (unand.ac.id)
eprints.stainkudus.ac.id/1088/4/FILE 4 BAB I.pdf
http://ejournal.radenintan.ac.id/index.php/terampil/article/download/1323/1051
https://dalamislam.com/hukum-islam/pernikahan/pernikahan-dini-dalam-islam
https://media.neliti.com/media/publications/23616-ID-pernikahan-dini-dalam-
perspektif-hukum-islam.pdf
https://www.academia.edu/34297318/
https://www.scribd.com/document/324491162/Pengertian-Pernikahan-Dini
Jurnal Penelitian Keislaman Vol.14 No.2 (2018): 153-161
Jurnal Prudentie Vol 5 Nomor 2 Desember 2018
Malhotra, A., Warner, A., McGonagle, A., (2011). Solutions to end child
marriage: what the evidence shows. Washington, DC: ICRW; 2011.