PMK No. 67 TTG Penanggulangan Tuberkolosis PDF
PMK No. 67 TTG Penanggulangan Tuberkolosis PDF
PMK No. 67 TTG Penanggulangan Tuberkolosis PDF
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG
PENANGGULANGAN TUBERKULOSIS.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Tuberkulosis yang selanjutnya disingkat TB adalah
penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis, yang dapat menyerang
paru dan organ lainnya.
2. Penanggulangan Tuberkulosis yang selanjutnya
disebut Penanggulangan TB adalah segala upaya
kesehatan yang mengutamakan aspek promotif dan
preventif, tanpa mengabaikan aspek kuratif dan
rehabilitatif yang ditujukan untuk melindungi
kesehatan masyarakat, menurunkan angka kesakitan,
kecacatan atau kematian, memutuskan penularan,
-4-
Pasal 2
(1) Penanggulangan TB diselenggarakan secara terpadu,
komprehensif dan berkesinambungan.
(2) Penanggulangan TB sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) melibatkan semua pihak terkait baik pemerintah,
swasta maupun masyarakat.
BAB II
TARGET DAN STRATEGI
Pasal 3
(1) Target program Penanggulangan TB nasional yaitu
eliminasi pada tahun 2035 dan Indonesia bebas TB
tahun 2050.
-5-
BAB III
KEGIATAN PENANGGULANGAN TB
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 4
(1) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan
masyarakat bertanggung jawab menyelenggarakan
Penanggulangan TB.
(2) Penyelenggaraan Penanggulangan TB sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui upaya
kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan
perorangan.
-6-
Pasal 5
(1) Penanggulangan TB harus dilakukan secara
terintegrasi dengan penanggulangan program
kesehatan yang berkaitan.
(2) Program kesehatan yang berkaitan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi program HIV dan
AIDS, diabetes melitus, serta program kesehatan lain.
(3) Penanggulangan TB secara terintegrasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan
kolaborasi antara program yang bersangkutan.
Bagian Kedua
Kegiatan
Pasal 6
Penanggulangan TB diselenggarakan melalui kegiatan:
a. promosi kesehatan;
b. surveilans TB;
c. pengendalian faktor risiko;
d. penemuan dan penanganan kasus TB;
e. pemberian kekebalan; dan
f. pemberian obat pencegahan.
Paragraf 1
Promosi Kesehatan
Pasal 7
(1) Promosi Kesehatan dalam Penanggulangan TB
ditujukan untuk:
a. meningkatkan komitmen para pengambil
kebijakan;
b. meningkatkan keterpaduan pelaksanaan
program; dan
c. memberdayakan masyarakat.
-7-
Paragraf 2
Surveilans TB
Pasal 8
(1) Surveilans TB merupakan pemantauan dan analisis
sistematis terus menerus terhadap data dan informasi
tentang kejadian penyakit TB atau masalah kesehatan
dan kondisi yang mempengaruhinya untuk
mengarahkan tindakan penanggulangan yang efektif
dan efisien.
(2) Surveilans TB sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan dengan berbasis indikator dan
berbasis kejadian.
-8-
Pasal 9
(1) Dalam penyelenggaraan Surveilans TB dilakukan
pengumpulan data secara aktif dan pasif baik secara
manual maupun elektronik.
(2) Pengumpulan data secara aktif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan pengumpulan
data yang diperoleh langsung dari masyarakat atau
sumber data lainnya.
(3) Pengumpulan data secara pasif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan pengumpulan
data yang diperoleh dari Fasilitas Pelayanan
Kesehatan.
Paragraf 3
Pengendalian Faktor Risiko TB
Pasal 10
(1) Pengendalian faktor risiko TB ditujukan untuk
mencegah, mengurangi penularan dan kejadian
penyakit TB.
(2) Pengendalian faktor risiko TB dilakukan dengan
cara:
a. membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat;
b. membudayakan perilaku etika berbatuk;
c. melakukan pemeliharaan dan perbaikan kualitas
perumahan dan lingkungannya sesuai dengan
standar rumah sehat;
-9-
Paragraf 4
Penemuan dan Penanganan Kasus TB
Pasal 11
(1) Penemuan kasus TB dilakukan secara aktif dan pasif.
(2) Penemuan kasus TB secara aktif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. investigasi dan pemeriksaan kasus kontak;
b. skrining secara massal terutama pada kelompok
rentan dan kelompok berisiko; dan
c. skrining pada kondisi situasi khusus.
(3) Penemuan kasus TB secara pasif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui
pemeriksaan pasien yang datang ke Fasilitas
Pelayanan Kesehatan.
(4) Penemuan kasus TB ditentukan setelah dilakukan
penegakan diagnosis, penetapan klasifikasi dan tipe
pasien TB.
Pasal 12
(1) Penanganan kasus dalam Penanggulangan TB
dilakukan melalui kegiatan tata laksana kasus untuk
memutus mata rantai penularan dan/atau pengobatan
pasien.
(2) Tata laksana kasus sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri atas:
a. pengobatan dan penanganan efek samping di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
b. pengawasan kepatuhan menelan obat;
c. pemantauan kemajuan pengobatan dan hasil
pengobatan; dan/atau
-10-
Pasal 13
Setiap pasien TB berkewajiban mematuhi semua tahapan
dalam penanganan kasus TB yang dilakukan tenaga
kesehatan.
Paragraf 5
Pemberian Kekebalan
Pasal 14
(1) Pemberian kekebalan dalam rangka Penanggulangan
TB dilakukan melalui imunisasi BCG terhadap bayi.
(2) Penanggulangan TB melalui imunisasi BCG terhadap
bayi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dalam upaya mengurangi risiko tingkat keparahan TB.
(3) Tata cara pemberian imunisasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang undangan.
Paragraf 6
Pemberian Obat Pencegahan
Pasal 15
(1) Pemberian obat pencegahan TB ditujukan pada:
a. anak usia di bawah 5 (lima) tahun yang kontak
erat dengan pasien TB aktif;
b. orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) yang tidak
terdiagnosa TB; atau
c. populasi tertentu lainnya.
-11-
Bagian Ketiga
Pengaturan Lebih Lanjut
Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan Penanggulangan
TB diatur dalam Pedoman Penanggulangan TB
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
BAB IV
SUMBER DAYA
Bagian Kesatu
Sumber Daya Manusia
Pasal 17
(1) Setiap dinas kesehatan provinsi dan dinas kesehatan
kabupaten/kota harus menetapkan unit kerja yang
bertanggung jawab sebagai pengelola program
Penanggulangan TB.
(2) Unit kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit harus memiliki tenaga kesehatan dengan
kompetensi di bidang kesehatan masyarakat dan
tenaga non kesehatan dengan kompetensi tertentu.
(3) Puskesmas harus menetapkan dokter, perawat, dan
analis laboratorium terlatih yang bertanggung jawab
terhadap pelaksanaan program Penanggulangan TB.
-12-
Bagian Kedua
Ketersediaan Obat dan Perbekalan Kesehatan
Pasal 18
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
bertanggung jawab atas ketersediaan obat dan
perbekalan kesehatan dalam penyelenggaraan
Penanggulangan TB, yang meliputi:
a. obat Anti Tuberkulosis lini 1 dan lini 2;
b. vaksin untuk kekebalan;
c. obat untuk pencegahan Tuberkulosis;
d. alat kesehatan; dan
e. reagensia.
(2) Dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah melakukan koordinasi dalam
perencanaan, monitoring dan evaluasi.
Pasal 19
(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin
ketersediaan sarana dan prasarana laboratorium
kesehatan yang berfungsi untuk:
a. penegakan diagnosis;
b. pemantauan keberhasilan pengobatan;
c. pengujian sensitifitas dan resistensi; dan
d. pemantapan mutu laboratorium diagnosis.
-13-
Bagian Ketiga
Pendanaan
Pasal 20
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib menjamin
ketersediaan anggaran Penanggulangan TB.
Bagian Keempat
Teknologi
Pasal 21
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib menjamin
ketersediaan teknologi Penanggulangan TB untuk
mendukung:
a. pengembangan diagnostik;
b. pengembangan obat;
c. peningkatan dan pengembangan surveilans; dan
d. pengendalian faktor risiko.
BAB V
SISTEM INFORMASI
Pasal 22
(1) Dalam rangka mendukung penyelenggaraan program
Penanggulangan TB diperlukan data dan informasi
yang dikelola dalam sistem informasi.
(2) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diperoleh melalui kegiatan Surveilans TB dan hasil
pencatatan dan pelaporan.
(3) Sistem informasi program Penanggulangan TB
dilaksanakan secara terpadu dan terintegrasi.
-14-
Pasal 23
(1) Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib melakukan
pencatatan dan pelaporan terhadap setiap kejadian
penyakit TB.
(2) Pencatatan dan pelaporan pasien TB untuk klinik dan
dokter praktik perorangan disampaikan kepada
Puskesmas setempat.
(3) Puskesmas sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus melaporkan jumlah pasien TB di wilayah
kerjanya kepada dinas kesehatan kabupaten/kota
setempat.
(4) Pelaporan pasien TB dari Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan disampaikan
kepada dinas kesehatan kabupaten/kota setempat.
(5) Dinas kesehatan kabupaten/kota melakukan
kompilasi pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dan ayat (4), dan melakukan analisis untuk
pengambilan kebijakan dan tindak lanjut serta
melaporkannya ke dinas kesehatan provinsi.
(6) Dinas kesehatan provinsi melakukan kompilasi
pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan
melakukan analisis untuk pengambilan rencana
tindak lanjut serta melaporkannya kepada Menteri
dengan tembusan Direktur Jenderal yang memiliki
tugas dan fungsi di bidang pencegahan dan
pengendalian penyakit.
(7) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sampai dengan ayat (6) disampaikan setiap 3 (tiga)
bulan.
-15-
BAB VI
KOORDINASI, JEJARING KERJA DAN KEMITRAAN
Pasal 24
(1) Dalam rangka penyelenggaraan Penangggulangan TB
dibangun dan dikembangkan koordinasi, jejaring
kerja, serta kemitraan antara instansi pemerintah dan
pemangku kepentingan, baik di pusat, provinsi
maupun kabupaten/kota.
(2) Koordinasi dan jejaring kerja kemitraan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk:
a. advokasi;
b. penemuan kasus;
c. penanggulangan TB;
d. pengendalian faktor risiko;
e. meningkatkan kemampuan sumber daya
manusia, kajian, penelitian, serta kerjasama
antar wilayah, luar negeri, dan pihak ke tiga;
f. peningkatan KIE;
g. meningkatkan kemampuan kewaspadaan dini
dan kesiapsiagaan penanggulangan TB;
h. integrasi penanggulangan TB; dan/atau
i. sistem rujukan.
BAB VII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 25
(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam upaya
Penanggulangan Tuberkulosis dengan cara:
a. mempromosikan perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS);
b. mengupayakan tidak terjadinya stigma dan
diskriminasi terhadap kasus TB di masyarakat;
c. membentuk dan mengembangkan Warga Peduli
Tuberkulosis; dan
-16-
BAB VIII
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
Pasal 26
(1) Dalam rangka mendukung penyelenggaraan
Penanggulangan TB yang berbasis bukti dan
perbaikan dalam pelaksanaannya, dilakukan
penelitian dan riset operasional di bidang:
a. epidemiologi;
b. humaniora kesehatan;
c. pencegahan penyakit;
d. manajemen perawatan dan pengobatan;
e. obat dan obat tradisional;
f. biomedik;
g. dampak sosial ekonomi;
h. teknologi dasar dan teknologi terapan; dan
i. bidang lain yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah dan masyarakat.
-17-
BAB IX
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 27
(1) Menteri, gubernur, dan bupati/walikota melakukan
pembinaan dan pengawasan kegiatan Penanggulangan
TB sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan
masing-masing.
(2) Mekanisme pembinaan dan pengawasan
Penanggulangan TB dilakukan dengan kegiatan
supervisi, monitoring dan evaluasi.
(3) Dalam rangka melaksanakan pembinaan dan
pengawasan, Menteri, gubernur, dan bupati/walikota
dapat mengenakan sanksi sesuai dengan
kewenangannya masing-masing dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 28
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor 364/Menkes/SK/V/2009
tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis, dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 29
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
-18-
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 Desember 2016
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 Januari 2017
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
WIDODO EKATJAHJANA
LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 67 TAHUN 2016
TENTANG
PENANGGULANGAN TUBERKULOSIS
BAB I
PENDAHULUAN
pengobatan ulang.
Penyebab utama yang mempengaruhi meningkatnya beban TB
antara lain:
1. Belum optimalnya pelaksanaan program TB selama ini
diakibatkan karena masih kurangnya komitmen pelaksana
pelayanan, pengambil kebijakan, dan pendanaan untuk
operasional, bahan serta sarana prasarana.
2. Belum memadainya tata laksana TB terutama di fasyankes yang
belum menerapkan layanan TB sesuai dengan standar pedoman
nasional dan ISTC seperti penemuan kasus/diagnosis yang tidak
baku, paduan obat yang tidak baku, tidak dilakukan pemantauan
pengobatan, tidak dilakukan pencatatan dan pelaporan yang
baku.
3. Masih kurangnya keterlibatan lintas program dan lintas sektor
dalam penanggulangan TB baik kegiatan maupun pendanaan.
4. Belum semua masyarakat dapat mengakses layanan TB
khususnya di Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan
(DTPK), serta daerah risiko tinggi seperti daerah kumuh di
perkotaan, pelabuhan, industri, lokasi permukiman padat seperti
pondok pesantren, asrama, barak dan lapas/rutan.
5. Belum memadainya tatalaksana TB sesuai dengan standar baik
dalam penemuan kasus/diagnosis, paduan obat, pemantauan
pengobatan, pencatatan dan pelaporan.
6. Besarnya masalah kesehatan lain yang bisa berpengaruh
terhadap risiko terjadinya TB secara signifikan seperti HIV, gizi
buruk, diabetes mellitus, merokok, serta keadaan lain yang
menyebabkan penurunan daya tahan tubuh.
7. Meningkatnya jumlah kasus TB Resistant Obat (TB-RO) yang
akan meningkatkan pembiayaan program TB.
8. Faktor sosial seperti besarnya angka pengangguran, rendahnya
tingkat pendidikan dan pendapatan per kapita, kondisi sanitasi,
papan, sandang dan pangan yang tidak memadai yang berakibat
pada tingginya risiko masyarakat terjangkit TB.
Menurut laporan WHO tahun 2015, Indonesia sudah berhasil
menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB di tahun 2015
jika dibandingkan dengan tahun 1990. Angka prevalensi TB yang pada
tahun 1990 sebesar > 900 per 100.000 penduduk, pada tahun 2015
- 21 -
2. Penularan TB
a. Sumber Penularan TB
Sumber penularan adalah pasien TB terutama pasien
yang mengandung kuman TB dalam dahaknya. Pada waktu
batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei / percik renik).
Infeksi akan terjadi apabila seseorang menghirup udara yang
mengandung percikan dahak yang infeksius. Sekali batuk
dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak yang
mengandung kuman sebanyak 0-3500 M.tuberculosis.
Sedangkan kalau bersin dapat mengeluarkan sebanyak 4500
– 1.000.000 M.tuberculosis.
b. Perjalanan Alamiah TB Pada Manusia.
Terdapat 4 tahapan perjalanan alamiah
penyakit.Tahapan tersebut meliputi tahap paparan, infeksi,
menderita sakit dan meninggal dunia, sebagai berikut:
1) Paparan
Peluang peningkatan paparan terkait dengan:
• Jumlah kasus menular di masyarakat.
• Peluang kontak dengan kasus menular.
• Tingkat daya tular dahak sumber penularan.
• Intensitas batuk sumber penularan.
• Kedekatan kontak dengan sumber penularan.
• Lamanya waktu kontak dengan sumber penularan.
2) Infeksi
Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6–14
minggu setelah infeksi. Lesi umumnya sembuh total
namun dapat saja kuman tetap hidup dalam lesi tersebut
(dormant) dan suatu saat dapat aktif kembali tergantung
dari daya tahun tubuh manusia.
Penyebaran melalui aliran darah atau getah
bening dapat terjadi sebelum penyembuhan lesi.
3) Faktor Risiko
Faktor risiko untuk menjadi sakit TB adalah
tergantung dari:
• Konsentrasi/jumlah kuman yang terhirup
- 23 -
BAB II
TARGET, STRATEGI DAN KEBIJAKAN
BAB III
PROMOSI KESEHATAN
C. Pelaksanaan
Promosi kesehatan untuk Penanggulangan TB dilakukan disemua
tingkatan administrasi baik pusat, provinsi, kabupaten/kota sampai
dengan fasilitas pelayanan kesehatan.
Promosi TB selain dapat dilakukan oleh petugas khusus juga
dapat dilakukan oleh kader organisasi kemasyarakatan yang menjadi
mitra penanggulangan TB.
Dalam pelaksanaaannya promosi kesehatan harus
mempertimbangkan:
1. Metode komunikasi, dapat dilakukan berdasarkan:
a. Teknik komunikasi, terdiri atas:
1) metode penyuluhan langsung yaitu kunjungan rumah,
pertemuan umum, pertemuan diskusi terarah (FGD),
dan sebagainya; dan
2) metode penyuluhan tidak langsung dilakukan melalui
media seperti pemutaran iklan layanan masyarakat di
televisi, radio, youtube dan media sosial lainnya,
tayangan film, pementasan wayang, dll.
b. Jumlah sasaran dilakukan melalui pendekatan perorangan,
kelompok dan massal.
c. Indera Penerima
1) Metode melihat/memperhatikan.
Pesan akan diterima individu atau
masyarakatmelalui indera penglihatan seperti:
pemasangan spanduk, umbul-umbul, poster, billboard,
dan lain-lain.
2) Metode mendengarkan.
Pesan akan diterima individu atau masyarakat
melalui indera pendengaran seperti dialog interaktif
radio, radio spot, dll.
3) Metode kombinasi.
Merupakan kombinasi kedua metode di atas, dalam
hal ini termasuk demonstrasi/peragaan. Individu atau
masyarakat diberikan penjelasan dan peragaan terlebih
dahulu lalu diminta mempraktikkan, misal: cara
mengeluarkan dahak.
- 31 -
2. Media Komunikasi
Media komunikasi atau alat peraga yang digunakan untuk
promosi penanggulangan TB dapat berupa benda asli seperti obat
TB, pot sediaan dahak, masker, bisa juga merupakan tiruan
dengan ukuran dan bentuk hampir menyerupai yang asli
(dummy). Selain itu dapat juga dalam bentuk gambar/media
seperti poster, leaflet, lembar balik bergambar karikatur, lukisan,
animasi dan foto, slide, film dan lain-lain.
3. Sumber Daya
Sumber daya terdiri dari petugas sebagai sumber daya
manusia (SDM), yang bertanggung jawab untuk promosi, petugas
di puskesmas dan sumber daya lain berupa sarana dan
prasarana serta dana.
- 32 -
BAB IV
SURVEILANS DAN SISTEM INFORMASI TB
Surveilans
Penelitian
Pengelolaan Data
Non Rutin ilmiah (dasar)
(Survei: Periodik
dan Sentinel)
Penyajian
Data
A. Surveilans TB
Terdapat 2 jenis surveilans TB, yaitu: Surveilans berbasis
indikator (berdasarkan data pelaporan), dan Surveilans berbasis
kejadian (berupa survei: periodik dan sentinel).
1. Surveilans Berbasis Indikator.
Surveilans berbasis indikator dilaksanakan dengan
menggunakan data layanan rutin yang dilakukan pada pasien TB.
Sistem surveilans ini merupakan sistem yang mudah, murah dan
masih bisa dipercaya untuk memperoleh informasi tentang TB.
Hasil surveilans berdasarkan data rutin ini perlu divalidasi
dengan hasil dari surveilans periodik atau surveilans sentinel.
Data yang dikumpulkan harus memenuhi standar yang
meliputi:
a. Lengkap, tepat waktu dan akurat.
b. Data sesuai dengan indikator program.
c. Jenis, sifat, format, basis data yang dapat dengan mudah
diintegrasikan dengan sistim informasi kesehatan yang
generik.
Data untuk program Penanggulangan TB diperoleh dari
sistem pencatatan-pelaporan TB. Pencatatan menggunakan
formulir baku secara manual didukung dengan sistem informasi
secara elektronik, sedangkan pelaporan TB menggunakan sistem
informasi elektronik. Penerapan sistem informasi TB secara
elektronik disemua faskes dilaksanakan secara bertahap dengan
memperhatikan ketersediaan sumber daya di wilayah tersebut.
Sistem pencatatan-pelaporan TB secara elektronik
menggunakan Sistem Informasi TB yang berbasis web dan
diintegrasikan dengan sistem informasi kesehatan secara nasional
dan sistem informasi publik yang lain.Pencatatan dan pelaporan
TB diatur berdasarkan fungsi masing-masing tingkatan pelaksana,
sebagai berikut:
a. Pencatatan dan Pelaporan TB Sensitif Obat
1) Pencatatan di Fasilitas Kesehatan
FKTP dan FKRTL dalam melaksanakan pencatatan
menggunakan formulir baku:
a) Daftar atau buku register terduga TB (TB.06).
- 34 -
2. Indikator Program TB
Untuk mempermudah analisis data diperlukan indikator
sebagai alat ukur kinerja dan kemajuan program (marker of
progress). Dalam menilai kemajuan atau keberhasilan program
pengendalian TB digunakan beberapa indikator yaitu indikator
dampak, indikator utama dan indikator operasional.
a. Indikator Dampak
Merupakan indikator yang menggambarkan keseluruhan
dampak atau manfaat kegiatan penanggulangan TB. Indikator
ini akan diukur dan di analisis di tingkat pusat secara
berkala. Yang termasuk indikator dampak adalah:
1) Angka Prevalensi TB
2) Angka Insidensi TB
3) Angka Mortalitas TB
b. Indikator Utama
Indikator utama digunakan untuk menilai pencapaian
strategi nasional penanggulangan TB di tingkat
Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Pusat. Adapun indikatornya
adalah:
1) Cakupan pengobatan semua kasus TB (case detection
rate/CDR) yang diobati
2) Angka notifikasi semua kasus TB (case notification
rate/CNR) yang diobati per 100.000 penduduk
3) Angka keberhasilan pengobatan pasien TB semua kasus
4) Cakupan penemuan kasus resistan obat
5) Angka keberhasilan pengobatan pasien TB resistan obat
6) Persentase pasien TB yang mengetahui status HIV
Untuk tingkat provinsi dan pusat, selain memantau
indikator di atas, juga harus memantau indikator yang
dicapai oleh Kabupaten/Kota yaitu:
1) Persentase kabupaten/kota yang mencapai target CDR
2) Persentase kabupaten/kota yang mencapai target CNR
3) Persentase kabupaten/kota yang mencapai target angka
keberhasilan pengobatan pasien TB semua kasus
4) Persentase kabupaten/kota yang mencapai target
indikator cakupan penemuan kasus TB resistan obat
- 41 -
Pemanfaatan
Indikator
No Indikator Sumber Data Waktu
Kab/
Faskes Prov Pusat
Kota
1 2 3 4 5 6 7 8
untuk
membuat
perkiraan
kasus TB
resistan obat
Angka keberhasilan
Triwulan
5 pengobatan pasien TB.08 MDR √ √ √ √
Tahunan
TB resistan obat
Persentase pasien
TB yang Triwulan
6 TB.07 Blok 3 √ √ √ √
mengetahui status Tahunan
HIV
Indikator Operasional
Persentase kasus
pengobatan ulang
TB yang diperiksa
uji kepekaan obat Triwulan
1 TB.03, TB.06 √ √ √ √
dengan tes cepat Tahunan
molukuler atau
metode
konvensional
Persentase kasus
TB resistan obat
TB.07 MDR, Triwulan
2 yang memulai √ √ √ √
TB.06 Tahunan
pengobatan lini
kedua
Persentase pasien
TB-HIV yang
Triwulan
3 mendapatkan ARV TB.08 blok 2 √ √ √ √
Tahunan
selama pengobatan
TB
- 44 -
Pemanfaatan
Indikator
No Indikator Sumber Data Waktu
Kab/
Faskes Prov Pusat
Kota
1 2 3 4 5 6 7 8
Persentase
laboratorium TB.12
Triwulan
4 mikroskopik yang kabupaten/ - √ √ √
Tahunan
mengikuti uji kota
silang
Persentase
laboratorium
TB.12
mikroskopis yang
5 kabupaten/ Triwulan - √ √ √
mengikuti uji
kota
silang dengan hasil
baik
TB.07,Perkira
an jumlah
kasus TB
Cakupan
anak, Triwulan
6 penemuan kasus - √ √ √
Perkiraan Tahunan
TB anak
jumlah
semua kasus
TB (insiden)
Laporan
Jumlah kasus TB
triwulan TB Triwulan
7 yang ditemukan di √ √ √ √
di Tahunan
Lapas/Rutan
lapas/rutan
Rekapitulasi
data TB. 16
Cakupan anak < 5 (register
tahun yang kontak),
Triwulan
8 mendapat perkiraan - √ √ √
Tahunan
pengobatan jumlah anak
pencegahan INH < 5 tahun
yang
memenuhi
- 45 -
Pemanfaatan
Indikator
No Indikator Sumber Data Waktu
Kab/
Faskes Prov Pusat
Kota
1 2 3 4 5 6 7 8
syarat
diberikan
pengobatan
pencegahan
TB
Persentase kasus
TB yang ditemukan
dan dirujuk oleh Triwulan
9 TB.03 √ √ √ √
masyarakat atau Tahunan
organisasi
kemasyarakatan
3. Analisis Indikator
Indikator yang harus dianalisa secara rutin (triwulan dan
tahunan) adalah sebagai berikut;
a. Indikator Dampak
1) Angka kesakitan (insiden) karena TB
Insiden adalah jumlah kasus TB baru dan kambuh
yang muncul selama periode waktu tertentu. Angka ini
menggambarkan jumlah kasus TB di populasi, tidak
hanya kasus TB yang datang ke pelayanan kesehatan
dan dilaporkan ke program. Angka ini biasanya diperoleh
melalui penelitian cohort atau pemodelan (modelling)
yang dilakukan setiap tahun oleh WHO.
2) Angka kematian (mortalitas) karena TB
Mortalitas karena TB adalah jumlah kematian yang
disebabkan oleh TB pada orang dengan HIV negatif
sesuai dengan revisi terakhir dari ICD-10 (international
classification of diseases). Kematian TB di antara orang
dengan HIV positif diklasifikasikan sebagai kematian
HIV. Oleh karena itu, perkiraan kematian TB pada orang
dengan HIV positif ditampilkan terpisah dari orang
- 46 -
Rumus:
Jumlah semua kasus TB yang diobati dan
dilaporkan x 100.000
Jumlah penduduk yang ada di suatu wilayah
penduduk tertentu
Angka ini apabila dikumpulkan serial, akan
menggambarkan kecenderungan (trend) meningkat atau
menurunnya penemuan kasus dari tahun ke tahun di
suatu wilayah.
3) Angka keberhasilan pengobatan pasien TB semua kasus
Adalah jumlah semua kasus TB yang sembuh dan
pengobatan lengkap di antara semua kasus TB yang
diobati dan dilaporkan. Dengan demikian angka ini
merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan semua
kasus dan angka pengobatan lengkap semua kasus.
Angka ini menggambarkan kualitas pengobatan TB.
Rumus:
Jumlah semua kasus TB yang sembuh dan
pengobatan lengkap
x 100%
Jumlah semua kasus TB yang diobati dan
dilaporkan
Angka kesembuhan semua kasus yang harus
dicapai minimal 85% sedangkan angka keberhasilan
pengobatan semua kasus minimal 90%. Walaupun angka
kesembuhan telah mencapai 85%, hasil pengobatan
lainnya tetap perlu diperhatikan, meninggal, gagal, putus
berobat (lost to follow up), dan tidak dievaluasi.
a) Angka pasien putus berobat (lost to follow-up) tidak
boleh lebih dari 10%, karena akan menghasilkan
proporsi kasus retreatment yang tinggi di masa yang
akan datang yang disebabkan karena
ketidakefektifan dari pengendalian tuberkulosis
b) Menurunnya angka pasien putus berobat (lost to
follw-up) karena peningkatan kualitas pengendalian
TB akan menurunkan proporsi kasus pengobatan
ulang antara 10-20% dalam beberapa tahun.
- 48 -
Rumus:
Jumlah kasus TB pengobatan ulang yang diperiksa
dengan uji kepekaan terhadap OAT
x 100%
Jumlah pasien TB pengobatan ulang yang tercatat
selama periode pelaporan
Indikator ini digunakan untuk menghitung berapa
banyak kasus pengobatan ulang yang diperiksa dengan
uji kepekaan obat.
2) Persentase kasus TB resistan obat yang memulai
pengobatan lini kedua
Adalah jumlah kasus TB resistan obat (TB resistan
rifampisin dan atau TB-MDR) yang terdaftar dan yang
memulai pengobatan lini kedua di antara jumlah kasus
TB yang hasil pemeriksaan tes cepat molekuler maupun
konvensionalnya menunjukkan resistan terhadap
rifampisin (RR) dan atau TB-MDR.
Rumus:
Jumlah kasus TB resistan obat (TB resistan
rifampisin dan atau TB-MDR) yang terdaftar dan
yang memulai pengobatan lini kedua
Jumlah kasus TB yang hasil pemeriksaan tes x 100%
cepat molekuler maupun konvensionalnya
menunjukkan resistan terhadap rifampisin (RR)
dan atau TB-MDR
Indikator ini menggambarkan berapa banyak kasus
TB yang terkonfirmasi TB RR dan atau TB-MDR yang
memulai pengobatan.
3) Persentase pasien TB-HIV yang mendapatkan ARV
selama pengobatan TB
Adalah jumlah pasien TB-HIV baru dan kambuh
yang mendapatkan ARV selama periode pengobatan TB
baik yang melanjutkan
ARV sebelumnya atau baru memulai ARV di antara
seluruh pasien TB-HIV. Indikator ini akan optimal
apabila pasien TB mendapat ART ≤8 minggu terhitung
dari pasien memulai pengobatan TB. Data ini merupakan
- 51 -
Rumus:
Jumlah laboratorium mikroskopis yang mengikuti
uji silang 4 kali dalam 1 tahun dengan hasil baik
dengan hasil baik x 100%
Jumlah laboratorium mikroskopis yang mengikuti
uji silang 4 kali dalam 1 tahun
Indikator ini menggambarkan kualitas uji silang dari
laboratorium yang berpartisipasi untuk pemeriksaan uji
silang.
6) Cakupan penemuan kasus TB anak
Adalah jumlah seluruh kasus TB anak yang
ditemukan di antara perkiraan jumlah kasus TB anak
yang ada disuatu wilayah dalam periode tertentu.
Rumus:
Jumlah seluruh kasus TB anak yang
ditemukan x 100%
Perkiraan jumlah kasus TB anak
BAB V
PENGENDALIAN FAKTOR RISIKO
BAB VI
PENEMUAN KASUS
B. Diagnosis
Diagnosis TB ditetapkan berdasarkan keluhan, hasil anamnesis,
pemeriksaan klinis, pemeriksaan labotarorium dan pemeriksaan
penunjang lainnya.
1. Keluhan dan hasil anamnesis meliputi:
Keluhan yang disampaikan pasien, serta wawancara rinci
berdasar keluhan pasien.
Pemeriksaan klinis berdasarkan gejala dan tanda TB yang
meliputi:
a. Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama
2 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala
tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak
nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan
fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Pada pasien
dengan HIV positif, batuk sering kali bukan merupakan
gejala TB yang khas, sehingga gejala batuk tidak harus selalu
selama 2 minggu atau lebih.
b. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada
penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis
kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat
prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap
orang yang datang ke fasyankes dengan gejala tersebut
diatas, dianggap sebagai seorang terduga pasien TB, dan
perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis
langsung.
c. Selain gejala tersebut, perlu dipertimbangkan pemeriksaan
pada orang dengan faktor risiko, seperti : kontak erat dengan
pasien TB, tinggal di daerah padat penduduk, wilayah
kumuh, daerah pengungsian, dan orang yang bekerja dengan
bahan kimia yang berrisiko menimbulkan paparan infeksi
paru.
- 61 -
2. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan Bakteriologi
1) Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan dahak selain berfungsi untuk
menegakkan diagnosis, juga untuk menentukan potensi
penularan dan menilai keberhasilan pengobatan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis
dilakukan dengan mengumpulkan 2 contoh uji dahak
yang dikumpulkan berupa dahak Sewaktu-Pagi (SP):
a) S (Sewaktu): dahak ditampung di fasyankes.
b) P (Pagi): dahak ditampung pada pagi segera setelah
bangun tidur. Dapat dilakukan dirumah pasien atau
di bangsal rawat inap bilamana pasien menjalani
rawat inap.
2) Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) TB
Pemeriksaan tes cepat molekuler dengan metode
Xpert MTB/RIF. TCM merupakan sarana untuk
penegakan diagnosis, namun tidak dapat dimanfaatkan
untuk evaluasi hasil pengobatan.
3) Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan dapat dilakukan dengan media
padat (Lowenstein-Jensen) dan media cair (Mycobacteria
Growth Indicator Tube) untuk identifikasi Mycobacterium
tuberkulosis (M.tb).
Pemeriksaan tersebut diatas dilakukan disarana
laboratorium yang terpantau mutunya.
Dalam menjamin hasil pemeriksaan laboratorium,
diperlukan contoh uji dahak yang berkualitas. Pada faskes
yang tidak memiliki akses langsung terhadap pemeriksaan
TCM, biakan, dan uji kepekaan, diperlukan sistem
transportasi contoh uji. Hal ini bertujuan untuk menjangkau
pasien yang membutuhkan akses terhadap pemeriksaan
tersebut serta mengurangi risiko penularan jika pasien
bepergian langsung ke laboratorium.
- 62 -
Terduga TB
Pasien baru, tidak ada riwayat pengobatan TB, tidak ada riwayat kontak erat Pasien dengan riwayat pengobatan TB, pasien dengan riwayat
dengan pasien TB RO, pasien dengan HIV (-) atau tidak diketahui status HIV nya kontak erat dengan pasien TB RO, pasien dengan HIV (+)
Pemeriksaan Klinis dan Pemeriksaan bakteriologis dengan Mikroskop atau Tes Cepat Molekuler (TCM)
MTB Pos, Rif MTB Pos, Rif MTB Pos, Rif MTB Neg
(- -) (+ +) Sensitive Indeterminate Resistance
(+ -)
Tidak bisa
dirujuk
Ulangi
TB RR Foto Toraks
TB Terkonfirmasi pemeriksaan (Mengikuti alur
Bakteriologis TCM yang sama
Foto Terapi
dengan alur
Toraks Antibiotika
pada hasil
Non OAT
pemeriksaan
Pengobatan Mulai Pengobatan TB RO; Lakukan
mikrokopis BTA
pemeriksaan Biakan dan Uji Kepekaan
TB Lini 1 negatif (- -) )
OAT Lini 1 dan Lini 2
Gambaran Tidak Mendukung TB;
Mendukung Bukan TB; Cari
TB kemungkinan penyebab Ada Tidak Ada
penyakit lain Perbaikan Perbaikan TB RR; TB Pre TB XDR
Klinis Klinis, ada
TB MDR XDR
faktor risiko
TB TB, dan atas
Terkonfirmasi Bukan TB; Cari pertimbangan
Klinis Lanjutkan Pengobatan
kemungkinan dokter Pengobatan TB RO
TB RO
penyebab dengan Paduan Baru
penyakit lain TB
Terkonfirmasi
Klinis
Pengobatan
TB Lini 1
Pemeriksaan tambahan pada semua pasien TB yang terkonfirmasi baik secara bakteriologis maupun klinis adalah pemeriksaan
HIV dan gula darah. Pemeriksaan lain dilakukan sesuai indikasi misalnya fungsi hati, fungsi ginjal, dll)
- 64 -
Keterangan alur:
Prinsip penegakan diagnosis TB:
• Diagnosis TB Paru pada orang dewasa harus ditegakkan
terlebih dahulu dengan pemeriksaan bakteriologis.
Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah
pemeriksaan mikroskopis, tes cepat molekuler TB dan biakan.
• Pemeriksaan TCM digunakan untuk penegakan diagnosis TB,
sedangkan pemantauan kemajuan pengobatan tetap
dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis.
• Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan
pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu
memberikan gambaran yang spesifik pada TB paru, sehingga
dapat menyebabkan terjadi overdiagnosis ataupun
underdiagnosis.
• Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan
serologis.
a. Faskes yang mempunyai Alat Tes Cepat Molukuler (TCM) TB:
1) Faskes yang mempunyai akses pemeriksaan TCM,
penegakan diagnosis TB pada terduga TB dilakukan
dengan pemeriksaan TCM. Pada kondisi dimana
pemeriksaan TCM tidak memungkinkan (misalnya alat
TCM melampui kapasitas pemeriksaan, alat TCM
mengalami kerusakan, dll), penegakan diagnosis TB
dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis.
2) Jika terduga TB adalah kelompok terduga TB RO dan
terduga TB dengan HIV positif, harus tetap diupayakan
untuk dilakukan penegakan diagnosis TB dengan TCM
TB, dengan cara melakukan rujukan ke layanan tes
cepat molekuler terdekat, baik dengan cara rujukan
pasien atau rujukan contoh uji.
3) Jumlah contoh uji dahak yang diperlukan untuk
pemeriksaan TCM sebanyak 2 (dua) dengan kualitas
yang bagus. Satu contoh uji untuk diperiksa TCM, satu
contoh uji untuk disimpan sementara dan akan
diperiksa jika diperlukan (misalnya pada hasil
indeterminate, pada hasil Rif Resistan pada terduga TB
yang bukan kriteria terduga TB RO, pada hasil Rif
- 65 -
c. Diagnosis TB ekstraparu:
1) Gejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena,
misalnya kaku kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada
pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe
superfisialis pada limfadenitis TB serta deformitas tulang
belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.
2) Diagnosis pasti pada pasien TB ekstra paru ditegakkan
dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau
histopatologis dari contoh uji yang diambil dari organ
tubuh yang terkena.
3) Pemeriksaan mikroskopis dahak wajib dilakukan untuk
memastikan kemungkinan TB Paru.
4) Pemeriksaan TCM pada beberapa kasus curiga TB
ekstraparu dilakukan dengan contoh uji cairan
serebrospinal (Cerebro Spinal Fluid/CSF) pada
kecurigaan TB meningitis, contoh uji kelenjar getah
bening melalui pemeriksaan Biopsi Aspirasi Jarum
Halus/BAJAH (Fine Neddle Aspirate Biopsy/FNAB) pada
pasien dengan kecurigaan TB kelenjar, dan contoh uji
jaringan pada pasien dengan kecurigaan TB jaringan
lainnya.
d. Diagnosis TB Resistan Obat:
Seperti juga pada diagnosis TB maka diagnosis TB-RO
juga diawali dengan penemuan pasien terduga TB-RO
1) Terduga TB-RO
Terduga TB-RO adalah pasien yang memiliki risiko
tinggi resistan terhadap OAT, yaitu pasien yang
mempunyai gejala TB yang memiliki riwayat satu atau
lebih di bawah ini:
a) Pasien TB gagal pengobatan Kategori2.
b) Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak
konversi setelah 3 bulan pengobatan.
c) Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB
yang tidak standar serta menggunakan kuinolon
dan obat injeksi lini kedua paling sedikit selama 1
bulan.
d) Pasien TB gagal pengobatan kategori 1.
- 68 -
a) Batuk ≥ 2 minggu
b) Demam ≥ 2 minggu
c) BB turun atau tidak naik dalam 2 bulan
sebelumnya
d) Lesu atau malaise ≥ 2 minggu
Gejala-gejala tersebut menetap walau sudah
diberikan terapi yang adekuat.
Bagan 2. Alur Diagnosis TB pada anak :
Pemeriksaan
mikroskopis/tes cepat dahak
Sistem skoring
Keterangan:
*) Dapat dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan sputum
**) Kontak TB Paru Dewasa dan Kontak TB Paru Anak terkonfirmasi
bakteriologis
***) Evaluasi respon pengobatan. Jika tidak merespon baik dengan
pengobatan adekuat, evaluasi ulang diagnosis TB dan adanya
komorbiditas atau rujuk.
Tabel 2.Sistim Skoring TB Anak
Parameter 0 1 2 3 Skor
Kontak TB Tidak jelas - Laporan BTA(+)
keluarga,
BTA(-)/BTA
tidak
jelas/tidak tahu
Uji tuberculin Negatif - - Positif (≥10
(Mantoux) mm atau ≥5
mm pada
Imuno
kompromais)
Berat Badan/ - BB/TB<90% Klinis gizi -
Keadaan Gizi atau buruk atau
BB/U<80% BB/TB<70%
atau
BB/U<60%
Demam yang tidak - ≥2 minggu - -
diketahui
Penyebabnya
Batuk kronik - ≥3 minggu - -
Pembesaran kelenjar - ≥1 cm, lebih - -
limfekolli, aksila, dari 1
Inguinal KGB,tidak
nyeri
Pembengkakan - Ada - -
tulang/sendi panggul, pembengkakan
lutut, falang
- 71 -
BAB VII
PENANGANAN KASUS
1) Tahap Awal:
Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan
pengobatan pada tahap ini adalah dimaksudkan untuk
secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada
dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari
sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resistan
sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan.
Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus
diberikan selama 2 bulan. Pada umumnya dengan
pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit,
daya penularan sudah sangat menurun setelah
pengobatan selama 2 minggu pertama.
2) Tahap Lanjutan:
Pengobatan tahap lanjutan bertujuan membunuh
sisa sisa kuman yang masih ada dalam tubuh,
khususnya kuman persister sehingga pasien dapat
sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan
d. Jenis Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Tabel 3. OAT Lini Pertama
Jenis Sifat Efek samping
Neuropati perifer (Gangguan
Isoniazid saraf tepi), psikosis toksik,
Bakterisidal
(H) gangguan fungsi hati,
kejang.
Flu syndrome(gejala
influenza berat), gangguan
gastrointestinal, urine
Rifampisin (R) bakterisidal berwarna merah, gangguan
fungsi hati, trombositopeni,
demam, skin rash, sesak
nafas, anemia hemolitik.
Gangguan gastrointestinal,
Pirazinamid
Bakterisidal gangguan fungsi hati, gout
(Z)
arthritis.
- 80 -
2) Kategori -2
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif
yang pernah diobati sebelumnya (pengobatan ulang)
yaitu:
a) Pasien kambuh.
b) Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT
kategori 1 sebelumnya.
c) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat
(lost to follow-up).
a) Dosis harian {2(HRZE)S/(HRZE)/5(HRE)}
Tabel 9. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 2
{2(HRZE)S/(HRZE)/5(HRE)}
Tahap
Tahap Intensif Lanjutan
Setiap hari Setiap hari
Berat
RHZE (150/75/400/275) + S RHE
Badan
(150/75/275)
Selama selama 20
Selama 56 hari
28 hari minggu
30-37 kg 2 tab 4KDT 2 tab 2 tablet
+ 500 mg 4KDT
Streptomisin inj.
38-54 kg 3 tab 4KDT 3 tab 3 tablet
+ 750 mg 4KDT
Streptomisin inj.
55-70 kg 4 tab 4KDT 4 tab 4 tablet
+ 1000 mg 4KDT
Streptomisin inj.
≥71 kg 5 tab 4KDT 5 tab 5 tablet
+ 1000mg 4KDT
Streptomisin inj. ( > do
maks )
- 86 -
Keterangan :
(====) : Pengobatan tahap awal
(-------) : Pengobatan tahap lanjutan
X : Pemeriksaan dahak ulang pada minggu terakhir bulan pengobatan untuk memantau hasil
pengobatan
(X) : Pemeriksaan dahak ulang pada bulan ini dilakukan hanya apabila hasil pemeriksaan pada akhir tahap
awal hasilnya BTA(+)
• Jika pasien tidak konversi atau pasien gagal, lakukan pemeriksaan dengan tes cepat tes cepat molekuler
TB, apabila hasil nya Resisten Rifampisin rujuk ke RS rujukan MDR Pasien dan lakukan pemeriksaan
biakan dan uji kepekaan. Apabila hasil nya negative atau Sensitif Rifampisin lanjutkan pengobatan.
- 91 -
menunggu • Kategori 2 :
hasilnya Lakukan pemeriksaan TCM TB atau dirujuk
ke RS Rujukan TB MDR ***
Tindakan pada pasien yang putus berobat 2 bulan atau lebih (Loss to follow-up)
Keputusan pengobatan selanjutnya ditetapkan oleh dokter
• Lacak pasien tergantung pada kondisi klinis pasien, apabila:
• Diskusikan Apabila hasilnya BTA 1. sudah ada perbaikan nyata: hentikan pengobatan dan pasien tetap
dengan pasien negatif atau pada awal diobservasi. Apabila kemudian terjadi perburukan kondisi klinis,
untuk mencari pengobatan adalah pasien pasien diminta untuk periksa kembali
faktor penyebab TB ekstra paru atau
putus berobat 2. belum ada perbaikan nyata: lanjutkanpengobatan dosis yang
• Periksa dahak tersisa sampai seluruh dosis pengobatan terpenuhi *
dengan 2 sediaan Kategori 1
contoh uji dan Dosis pengobatan sebelumnya Berikan pengobatan Kat. 1 mulai
atau TCM TB Apabila salah satu atau <1 bln dari awal
• Hentikan lebih hasilnya BTA Dosis pengobatan sebelumnya Berikan pengobatan Kat. 2 mulai
pengobatan positifdan tidak ada bukti > 1 bln dari awal
sementara resistensi Kategori 2
menunggu Dosis pengobatan sebelumnya Berikan pengobatan Kat. 2 mulai
< 1 bln dari awal
- 93 -
Keterangan :
* Lanjutkan pengobatan dosis yang tersisa sampai seluruh dosis pengobatan terpenuhi dan dilakukan
pemeriksaan ulang dahak kembali setelah menyelesaikan dosis pengobatan pada bulan ke 5 dan AP
** Jika tersedia sarana TCM, tunggu hasil pemeriksaan dengan TCM sebelum diberikan OAT Kategori 2. Jika
sarana TCM tidak memungkinkan segera dilakukan, sementara menunggu hasil pemeriksaan TCM pasien dapat
diberikan pengobatan paduan OAT kategori 2.
***Sementara menunggu hasil pemeriksaan TCM pasien tidak diberikan pengobatan paduan OAT.
- 94 -
B. Penanganan Pasien TB - RO
Tuberkulosis Resistan Obat (TB-RO) adalah suatu keadaan di
mana kuman M. tuberculosis sudah tidak dapat dibunuh dengan obat
anti TB (OAT) lini pertama.
1. Prinsip Pengobatan TB-RO
Pada dasarnya strategi pengobatan pasien TB RR/TB RO
mengacu kepada strategi DOTS.
- 95 -
Mfx – Eto –Cs– PAS –Z– (E)– (H)/ Mfx – Eto – Cs – PAS–Z –
(E)– (H)
Keterangan :
Angka di depan obat menunjukkan jumlah bulan
Angka di belakang bawah obat menunjukkan hari pemberian
per minggu
Tanda slash (/) untuk membedakan tahap pengobatan
Tanda kurung () menunjukkan obat dapat diberikan atau
tidak sesuai ketentuan.
*Catatan: Angka bulan nantinya akan menyesuaikan dengan
bulan konversi biakan.
5. Pemantauan Kemajuan Pengobatan TB RO
Pemantauan yang dilakukan selama pengobatan meliputi
pemantauan secara klinis dan pemantauan laboratorium seperti
pada tabel 18 berikut.
Selama menjalani pengobatan, pasien harus dipantau secara
ketat untuk menilai respons pengobatan dan mengidentifikasi efek
samping sejak dini. Gejala TB berupa batuk, berdahak, demam
dan BB menurun, pada umumnya membaik dalam beberapa
bulan pertama pengobatan. Konversi dahak dan biakan
merupakan indikator respons pengobatan. Definisi konversi
biakan adalah pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan jarak
pemeriksaan 30 hari menunjukkan hasil negatif yang semula
biakan positif.
- 105 -
Kortikosteroid
Kortikosteroid diberikan pada kondisi :
• TB Meningitis,
• Sumbatan jalan napas akibat TB kelenjar (endobronkhial TB)
• Perikarditis TB
• TB milier dengan gangguan napas yang berat,
• Efusi pleura
• TB abdomen dengan asites.
Obat yang sering digunakan adalah prednison dengan dosis
2mg/kg/hari, sampai 4 mg/kg/hari pada kasus sakit berat, dengan
dosis maksimal 60mg/hari selama 4 minggu. Tapperingoff dilakukan
secara bertahap setelah 2 minggu pemberian kecuali pada TB meningitis
pemberian selama 4 minggu sebelum tapperingoff .
Kombinasi dosis tetap OAT KDT (FDC=Fixed Dose Combination)
Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan
keteraturan minum obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket
KDT/ FDC. Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa
pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi obat fase intensif, yaitu
rifampisin (R) 75mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta
obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu paket. Dosis
yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel berikut.
- 109 -
Keterangan:
R: Rifampisin; H: Isoniasid; Z: Pirazinamid
a) Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam
bentuk kombinasi dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS
b) Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan,
menyesuaikan berat badan saat itu
c) Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal
(sesuai umur). Tabel Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat di
lampiran
d) OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak
boleh digerus)
e) Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum
(chewable), atau dimasukkan air dalam sendok (dispersable).
f) Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam
setelah makan
g) Bila INH dikombinasi dengan Rifampisin, dosis INH tidak boleh
melebihi 10 mg/kgBB/hari
h) Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat
tidak boleh digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer
A. Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB anak
1. Tahap awal pasien TB anak kontrol tiap minggu, untuk melihat
kepatuhan, toleransi dan kemungkinan adanya efek samping obat
dan tahap lanjutan pasien kontrol tiap bulan.
2. Setelah diberi OAT selama 2 bulan, respon pengobatan pasien
harus dievaluasi.
- 110 -
BAB VIII
PEMBERIAN KEKEBALAN DAN PENGOBATAN PENCEGAHAN
per hari dengan dosis maksimal 600 mg per hari, ditambah Vitamin B6
25 mg per hari selama 6 bulan.
1. Pemberian Pengobatan Pencegahan dengan Isoniazid (PP INH)
pada anak
PP INH diberikan kepada anak umur dibawah lima tahun
(balita) yang mempunyai kontak dengan pasien TB tetapi tidak
terbukti sakit TB.
Tabel 22. Tata laksana pada kontak anak
BAB IX
MANAJEMEN LABORATORIUM TUBERKULOSIS
1) Peran:
a) Laboratorium rujukan nasional untuk pemeriksaan
mikroskopis TB
b) Laboratorium pembina mutu dan pengembangan
jejaring untuk pemeriksaan mikroskopis TB
2) Tanggung Jawab:
Memastikan semua kegiatan laboratorium
mikroskopis dalam jejaring laboratorium mikroskopis TB
berjalan sesuai peran dan tugas pokoknya.
3) Tugas:
a) Pemetaan distribusi, jumlah dan kinerja
laboratorium mikroskopis TB.
b) Memberdayakan fungsi jejaring laboratorium
mikroskopis TB.
c) Menentukan spesifikasi alat dan bahan habis pakai
untuk laboratorium mikroskopisTB.
2. Jejaring Laboratorium Tes Cepat Molekuler TB (TCM TB)
Tes Cepat Molekular TB akan dikembangkan secara bertahap.
Fasilitas layanan kesehatan yang dilengkapi dengan TCM TB
menggunakan alat ini untuk diagnosis TB SO (Sensitif Obat), TB
Resistan Obat dan TB pada ODHA.
a) Laboratorium Fasyankes dengan Tes Cepat Molekuler (TCM)
TB merupakan laboratorium fasyankes yang mampu
melakukan pemeriksaan tes cepat molekuler untuk diagnosis
TB SO dan TB RO ( TB RR).
b) Laboratorium Rujukan Kabupaten/kota Tes Cepat Molekuler
(TCM) TB merupakan laboratorium rujukan yang mampu
melakukan pemeriksaan tes cepat, melakukan fungsi
pembinaan teknis ke laboratorium fasyankes TCM di
wilayahnya. Laboratorium Rujukan Kabupaten/kota Tes
Cepat Molekuler (TCM) TB ditetapkan oleh Kepala Dinas
Kesehatan kabupaten/kota.
c) Laboratorium Rujukan Provinsi Tes Cepat Molekuler (TCM) TB
merupakan laboratorium rujukan yang mampu melakukan
pemeriksaan tes cepat, melakukan fungsi pembinaan teknis
ke laboratorium fasyankes TCM di wilayahnya. Laboratorium
- 121 -
BAB X
KOORDINASI, JEJARING KERJA DAN KEMITRAAN
Keterangan :
• Mandatory Notification adalah kewajiban melapor setiap Fasyankes di
luar Puskesmas (DPM, Klinik, RS), yang dalam teknis pelaporannya
dapat dilakukan melalui Puskesmas maupun langsung ke Dinas
Kesehatan.
• Koordinasi, jejaring kerja dan kemitraan perlu diperkuat agar berjalan
dengan baik,dengan menitik beratkan pada pembentukan Tim PPM di
tingkat kabupaten/kota dengan keanggotaan dan perannya sebagai
berikut:
- 131 -
1. Dinas Kesehatan
a) Penanggungjawab dan coordinator PPM.
b) Perlu diterbitkan SK pembentukan tim PPM oleh
Bupati/Walikota atau Kepala Dinkes Kab/Kota.
c) Memfasilitasi pembuatan MOU/Perjanjian Kerjasama
d) Menyusun SPO jejaring internal dan eksternal layanan pasien
TB, dan memastikan SPO berjalan baik.
e) Pembinaan, monitoring dan evaluasi kegiatan program TB di
fasyankes.
f) Memastikan sistem surveilans TB (pencatatan dan pelaporan)
di fasyankes berjalan dengan baik.
g) Memastikan keterlibatan UKBM dalam jejaring program TB di
wilayah operasional Puskesmas.
2. Institusi pemerintah terkait (TNI, POLRI, Disnaker,Dinas Sosial,
Lapas Rutan, dll):
a) Memastikan fasyankes di institusi terkait masuk dalam
jejaring PPM.
b) Memastikan adanya MOU/Perjanjian Kerjasama dengan
dinas kesehatan di kabupaten/kota.
c) Melakukan pembinaan dan pemantauan ke fasyankes
dibawah institusi terkait berkoordinasi dengan dinas
kesehatan kabupaten/kota setempat.
d) Memastikan fasyankes di dalam institusi terkait mengikuti
pertemuan monitoring dan evaluasi yang dikoordinasi oleh
dinas kesehatan kabupaten/kota.
3. Penyedia Layanan baik sektor pemerintah dan swasta (PERSI,
ARSADA, dll)
a) Memastikan RS telah lulus akreditasi tahun 2012.
b) Memastikan RS sudah masuk dalam jejaring PPM.
c) Memastikan sudah adanya MOU dengan Dinkes dalam
tatalaksana TB.
d) Melakukan pembinaan bersama dinkes.
e) Memastikan RS ikut serta dalam monitoring dan evaluasi
yang dikoordinasi oleh dinas kesehatan kabupaten/kota.
4. Organisasi Profesi (IDI, PDPI, PAPDI, IDAI, ILKI, IAI, PPNI, IBI, dll).
a) Membantu dalam pemetaan anggotanya, sesuai kriteria dan
peran masing-masing.
- 132 -
3. Tingkat kabupaten/kota
Penerapan strategi PPM kabupaten/kota melalui peningkatan
jejaring kerja antar pemangku kepentingan dan jejaring rujukan
antar fasyankes. Tahapan pelaksanaan dimulai dengan
pembentukan tim, menyusun rencana kerja berdasarkan hasil
pemetaan dan evaluasi kebutuhan. Tim PPM Kab/kota membantu
kepala dinas kesehatan kabupaten/kota dalam koordinasi, jejaring
kerja dan kemitraan. Tim PPM dibentuk dengan SK Kepala Dinas
kab/kota yang kegiatannya didanai oleh pemerintah setempat dan
sumber lain yang tidak mengikat.
D. Indikator PPM:
1. Nasional:
Jumlah Provinsi yang telah memasukkan PPM dalam renstra
penanggulangan TB.
2. Provinsi:
a. Proporsi kabupaten/kota yang telah memiliki tim PPM
dengan SK Kepala Dinas
b. Proporsi kabupaten/kota yang telah mempunyai anggaran
untuk kegiatan PPM.
c. Proporsi kabupaten/kota yang telah menerapkan PPM secara
paripurna (minimal 80% dari unsur yang terlibat dan
pencapaian indikator program TB).
3. Kabupaten/kota:
a. Prosentase fasyankes (RS, Klinik, DPM) yang telah
menerapkan layanan TB sesuai dengan standar.
b. Proporsi fasyankes (RS, Klinik, DPM) yang telah
melaksanakan notifikasi wajib.
c. Proporsi fasyankes (FKTP dan FKRTL) yang telah
terakreditasi dan tersertifikasi.
d. Jumlah organisasi profesi yang terlibat (IDI, PDPI, IDAI,
PAPDI, PPNI, IBI, IAI, ILKI, dll)
e. Jumlah organisasi Masyarakat yang terlibat dari organisasi
masyarakat yang ada.
- 135 -
BAB XI
SUMBER DAYA MANUSIA PROGRAM
2) Fasilitator/Pelatih
Evaluasi terhadap Fasilitator/pelatih ini
dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kepuasan
peserta terhadap kemampuan fasilitator dalam
menyampaikan pengetahuan dan atau ketrampilan
kepada peserta dengan baik, dapat dipahami dan diserap
peserta.
3) Penyelenggaraan
Evaluasi penyelenggaraan dilakukan oleh peserta
terhadap pelaksanaan pelatihan. Obyek evaluasi adalah
pelaksanaan administrasi dan akademis meliputi:
a) Tujuan pelatihan
b) Relevansi
c) Evaluasi terhadap semua segi penyelenggaraan
pelatihan, yaitu: interaksi sesama peserta latih,
pelatih, akomodasi dan konsumsi serta kesiapan
materi pelatihan.
b. Evaluasi Paska Pelatihan (EPP).
1) Tujuan Evaluasi:
a) Di fokuskan pada tingkat perubahan yang terjadi
pada mantanpeserta latih setelah menyelesaikan
suatu pelatihan.
b) Penerapan pengetahuan, sikap dan perilaku hasil
intervensi pelatihan oleh mantan peserta latih di
tempat kerja,
c) Perubahan kinerja individu, tim, organisasi dan
program,
d) Evaluasi luaran atau kinerja individu.
2) Sasaran evaluasi paska pelatihan ditujukan kepada
mantan peserta latih,
3) Pelaksana evaluasi oleh Tim Pelatihan dan pengelola
program TB di tingkat Pusat, Provinsi dan
Kabupaten/kota,
4) Waktu pelaksanaan evaluasi adalah setelah 6 bulan
pelatihan.
- 141 -
BAB XII
KETERSEDIAAN OBAT DAN PERBEKALAN KESEHATAN TB
Pusat
Dinas Kesehatan
Instalasi
Propinsi
Propinsi Farmasi
Dinas kesehatan
Instalasi
Kabupaten/Kota Farmasi
Kabupaten/Kota
Catatan :
Saat ini jejaring pengelolaan logistik TB Resisten Obat, OAT-lini 2
maupun Non OAT masih dikirim dari Ditjen P2P ke Dinkes Provinsi,
kemudian ke Rumah Sakit Rujukan TB RO, hal ini dilakukan apabila
fasilitas instalasi farmasi kabupaten/kota belum mampu menyimpan
sesuai persyaratan baku.
BAB XIII
PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PROGRAM
3. Dana Hibah
Disamping dana dari pemerintah kegiatan operasional
pengendalian TB terutama di pusat, provinsi dan kabupaten/kota
dibiayai oleh bantuan Hibah.
4. Asuransi kesehatan
Sistem pelayanan kesehatan terutama untuk
penatalaksanaan pasien TB memerlukan dukungan sistem
pendanaan dari Asuransi Kesehatan berupa Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial(BPJS).
5. Swasta
Dalam upaya keberlanjutan pembiayaan penanggulangan TB,
perlu meningkatkan dana tambahan dari sumber lain seperti
sektor swasta melalui dukungan dari dana pertanggung jawaban
sosial perusahaan.
BAB XIV
PERAN SERTA MASYARAKAT
A. Sasaran
Pemberdayaan masyarakat sesuai dengan sasarannya:
1. Pemberdayaan individu (pasien TB dan mantan pasien TB).
2. Pemberdayaan keluarga.
3. Pemberdayaan kelompok/masyarakat.
- 157 -
Peran Kegiatan
Dukungan sosial Berupa dukungan transport pasien TB, nutrisi
ekonomi dan suplemen pasien TB, peningkatan
ketrampilan pasien TB guna meningkatkan
penghasilan,memotivasi mantan pasien untuk
dapat mendampingi pasien TB lainnya selama
pengobatan.
Advokasi Membantu memberi masukan untuk
penyusunan bahan advokasi
Mengurangi stigma. Diseminasi informasi tentang TB, membentuk
kelompok pendidik sebaya, testimoni pasien
TB.
2. Memperluas (Expand)
a. Melibatkan dan Mengembangkan cakupan program organisasi
kemasyarakatan yang sudah terlibat dalam program
pengendalian TB untuk menjangkau populasi khusus
misalnya, pekerja pabrik, sekolah, asrama, Lapas/Rutan, dan
pekerja seksual.
b. Meningkatkan dan memperkuat pelibatan pasien dan mantan
pasien TB dalam program pengendalian TB berbasis
komunitas untuk membantu penemuan terduga TB dan TB
resistan obat serta pendampingan dalam pengobatannya.
3. Mempertegas (Emphasize)
Mempertegas fungsi Organisasi kemasyarakatan untuk
penemuan terduga TB dan TB resistan obat serta pendampingan
dalam pengobatannya. Pemetaan peran, potensi dan fungsi
masyarakat dan organisasi kemasyarakatan adalah penting agar
kegiatan yang dilakukan tidak tumpang tindih serta kontribusi
masing-masing organisasi kemasyarakatan dapat diidentifikasi.
4. Menghitung (Enumerate).
Menghitung kontribusi organisasi kemasyarakatan dalam
program pengendalian TB berbasis komunitas dengan melakukan
monitoring dan evaluasi melalui system pencatatan dan pelaporan
standar berdasarkan indikator-indikator yang telah ditetapkan.
- 160 -
BAB XV
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
BAB XVI
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
B. Pelaksanaan
1. Menteri Kesehatan melakukan pembinaan dan pengawasan
penyelenggaraan program penanggulangan TB ke provinsi.
2. Gubernur melakukan pembinaan dan pengawasan
penyelenggaraan program penanggulangan TB ke
Kabupaten/Kota.
3. Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan pengawasan
penyelenggaraan program penanggulangan TB ke fasyankes.
BAB XVII
PENUTUP
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd