Makalah PNF Zaa
Makalah PNF Zaa
Makalah PNF Zaa
DISUSUN OLEH :
KEMENKES RI
JURUSAN FISIOTERAPI
DIPLOMA IV
2019
i
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Saya ucapkan kepada Allah SWT karena atas berkatNya sehingga saya dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Banyak hal yang akan disampaikan kepada pembaca mengenai “Penatalaksaan Metode Pnf
Berdasarkan Teknik Hold Relax Pada Kasus Myofascial otot upper trapezius syndrome”. Dalam
hal ini, Saya ingin membahas mengenai bagaimana penatalaksaan metode PNF pada kasus
Myofascial otot upper trapezius syndrome.
Saya menyadari jika mungkin ada sesuatu yang salah dalam penulisan, seperti
menyampaikan informasi berbeda sehingga tidak sama dengan pengetahuan pembaca lain. Saya
mohon maaf yang sebesar-besarnya jika ada kalimat atau kata-kata yang salah. Tidak ada manusia
yang sempurna kecuali Allah SWT.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang……………………………………………………………………1
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan ………………………………………………………………………..16
B. Saran ………………………………………………………………………………16
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia dalam hidup pada hakekatnya harus beraktivitas. Selama ini, manusia sering
tidak menyadari dampak negatif dari aktivitas yang dilakukannya terutama dengan pola statis
yang salah pada saat beraktivitas, salah satunya adalah aktivitas di depan komputer selama lebih
dari 2 jam yang dapat menyebabkan nyeri pada daerah leher.
Sebuah studi musculosceletal disorder di Thailand menemukan bahwa sindrom
myofascial adalah diagnosis utama pada 36% dari 431 pasien dengan nyeri yang timbul dalam
waktu kurang dari seminggu (Fernandez et al, 2005). Dengan adanya nyeri, pasien cenderung
untuk membatasi gerakan yang akan berpotensi menghasilkan nyeri termasuk gerakan
mengulur sehingga pasien akan cenderung pada posisi statik. Hal ini justru akan berkontribusi
dalam peningkatan jaringan myofascial itu sendiri.
Masalah lain yang akan timbul adalah berupa penurunan aktifitas leher, yaitu kesulitan
dalam menggerakkan leher dan menekuk leher ke sisi yang lainnya, hal itu akan menyebabkan
adanya gangguan saat melakukan aktivitas sehari-hari.
Sindrom nyeri myofascial adalah kumpulan gejala dan tanda dari satu atau beberapa titik
picu (trigger points) dan dicirikan oleh nyeri otot kronis dengan peningkatan sensitivitas
terhadap tekanan (Werenski, 2011).
Myofascial pain syndrom adalah kondisi yang bercirikan adanya regio yang hipersensitif,
yang disebut sebagai Trigger Area pada otot atau jaringan ikat longgar yang bersama-sama
dengan adanya reaksi nyeri spesifik pada daerah yang berhubungan dengan titik itu pada saat
Trigger Point (Myofascial Trigger Point) dan Tender Point diberi suatu rangsangan. yang
ditandai dengan terdapatnya trigger points yang dijumpai pada taut band serabut otot yang
membentuk seperti jalinan tali dan lunak, ketika disentuh atau dipalpasi, menimbulkan respon
kejang lokal yang dikenal sebagai jump sign yang merupakan sebuah pemendekan pada serabut
otot yang mengalami fibrosis (Simon, 2002).
PNF atau “Proprioceptive Neuromuscular Facilitation” merupakan metode gerakan
kompleks. PNF berarti bahwa peningkatan dan fasilitasi neuromuscular dengan sendirinya,
1
sehingga memerlukan blocking yang berlawanan. Dalam proses ini, reaksi mekanisme
neuromuscular dimanfaatkan, difasilitasi, dan dipercepat melalui stimulasi reseptor-reseptor.
Penggunaan gerakan kompleks berdasarkan pada prinsip-prinsip stimulasi organ
neuromuscular dengan bantuan tambahan dari seluruh gerakan. Reseptor-reseptor dalam otot
dan sendi merupakan elemen penting dalam stimulasi sistem motorik.
Di antara teknik PNF, teknik hold relax sering digunakan di klinik untuk menghilangkan
rasa sakit, dan meningkatkan lingkup gerak sendi. Teknik reversal stabilizing digunakan untuk
meningkatkan kekuatan otot-otot postural dari tubuh bagian atas, gerakan bahu, dan sendi
panggul, menstabilkan otot dan meningkatkan stabilitas berbagai sendi yang terkait (Chow,
2010; Lim, 2011). Hold relax adalah suatu bentuk terapi latihan dimana otot atau grup otot
antagonis yang memendek dikontraksikan secara isometrik dengan kuat dan optimal dan
kemudian diikuti dengan rileksasi otot atau grup otot (prinsip reciproke inhibition) dengan
tujuannya adalah perbaikan rileksasi pola antagonis, perbaikan mobilisasi, dan penurunan nyeri
(Beckers, 2001).
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian serta patologi dari kasus Myofascial otot upper trapezius syndrome ?
2. Bagaimana problematic fisioterapi pada kasus Myofascial otot upper trapezius syndrome?
3. Apa metode PNF yang diterapkan pada kasus Myofascial otot upper trapezius syndrome?
4. Apa tujuan jangka pendek dan jangka panjang dari penatalaksaan PNF dengan khusus
pada kasus Myofascial otot upper trapezius syndrome?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa pengertian serta patologi dari kasus Myofascial otot upper trapezius
syndrome.
2. Untuk mengetahui bagaimana problematic fisioterapi pada kasus Myofascial otot upper
trapezius syndrome.
3. Untuk mengetahui apa metode PNF yang diterapkan pada kasus Myofascial otot upper
trapezius syndrome.
4. Untuk mengetahui apa tujuan jangka pendek dan jangka panjang dari penatalaksaan PNF
dengan khusus pada kasus Myofascial otot upper trapezius syndrome.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Gambar 2.1
Otot Upper trapezius (Porterfield and DeRosa, 2004)
Otot ini berkontraksi konsentrik bersama dengan otot levator scapula dalam melakukan
gerakan elevasi scapula. Gerakan lateral fleksi leher maka otot upper trapezius yang searah
juga ikut terlibat aktif. Otot upper trapezius bersama-sama dengan otot-otot ekstensor leher
bekerja juga sebagai penggerak utama gerakan ekstensi leher.
3
Otot upper trapezius mempunyai kerja yang khas yaitu sebagai fiksasi scapula pada saat
otot deltoid beraktivitas. Fiksasi ini menjaga agar tidak terjadi depresi scapula saat lengan
sedang mengangkat .
Fasia adalah tipe jaringan yang meliputi seluruh tubuh, dan berada dimana-mana. Fascia
tidak hanya memberikan bentuk bagi tubuh baik diluar ataupun di dalam tetapi juga
menyediakan bentuk untuk semua sistem tubuh seperti sirkulasi darah, saraf dan sistem
limfatik. Fascia adalah jenis jaringan ikat yang mengambil bentuk lain seperti tendon,
ligamen, aponeurosis dan jaringan parut (scar tissue).
Fascia juga memiliki nama yang berbeda pada tempat yang berbeda di sekitar otak dan
spinal cord, fascia disebut meningen, disekitar tulang disebut periosteum, disekitar jantung
disebut perikardium, dilapisan rongga perut disebut peritoneum, yang menutupi seluruh tubuh
dilapisan bawah kulit, yang melampirkan otot dan membagi otot disebut myofascia Fascia
adalah selembar jaringan ikat yang menjadi sampul atau bungkus dari otot dan fasikula, ini
terdiri dari kolagen, elastin dan substansi dasar. Substansi dasar adalah sebuah gel seperti gel
yang jijka dikombinasikan dengan elastin dan kolagen akan membentuk jaringan tubular.
Fascia menjalin, mendukung dan melindungi setiap sel di tubuh (Simon, 2002).
Substansi dasar yang disebut juga mukopolisakarida ini mempunyai fungsi sebagai
pelumas yang mengizinkan serabut untuk mudah bergeser satu sama lain dan sebagai perekat
yang menahan serabut dari jaringan supaya tetap dalam satu ikatan. Jaringan ikat colagen
terdiri atas sebagian besar colagen yang memungkinkan adanya daya rentang (tensile strength)
sedangkan jaringan ikat elastin terdiri atas sebagian besar elastin yang mengizinkan adanya
elastisitas.
Gambar 2.2
4
Struktur myofascia
Berdasarkan tempat dimana fascia ditemukan dalam otot, maka fascia dibedakan
menjadi:
1. Epymisium, merupakan jaringan fascia terluar yang mengikat seluruh fasikel.
2. Perymisium, merupakan jaringan fascia yang membungkus sekelompok serabut otot
ke dalam individual fasikuli.
3. Endomysium, merupakan jaringan fascia terdalam yang membungkus individual otot.
Jaringan myofascial terdapat suatu bahan yang disebut substansi dasar(ground
substance). Substansi dasar ini mempunyai beberapa fungsi yaitu sebagai alat transpor yang
memindahkan nutrisi dari bagian dimana makanan dipecahkan ke bagian dimana zat gizi ini
dibutuhkan, mengangkut zat-zat sisa metabolisme, merubah konsistensi gelatin bebas ke gel-
foam (busa gel) sehingga apabila terkena trauma baik biokimia maupun mekanis maka akan
terjadi pengerasan dan kehilangan elastisitas sehingga pada akhirnya myofascial akan
mengalami ketegangan, mempertahankan jarak antar serabut jaringan ikat sehingga terjaga
dari pembentukan perlengketan (microadhesion) serta menjaga jaringan ini tetap fleksibel
(Chantu and Grodin, 2001).
Fascia memiliki fungsi yaitu membentuk dan menunjang bagian tubuh dan menahan
agar tetap berada pada tempatnya, memberikan batas tegas yang akan meningkatkan kekuatan
otot, mengandung dan mengalirkan cairan tubuh yang akan membantu mencegah penyebaran
infeksi, menyediakan infrastruktur untuk sistem percabangan, pendukung peredaran darah dan
sistem limfatik, serta mana-mana percabangan dari sistem saraf, Fascia akan menimbulkan
jaringan ikat baru.
Fascia mengandung sel jaringan ikat (fibroblas) yang mengkhususkan diri jika
diperlukan untuk menebalkan jaringan ikat, membantu perbaikan tendon dan ligamen dan
membentuk jaringan parut.
Mekanisme kontraksi otot dimulai dengan adanya beda potensial pada motor end plate
akibat suatu stimulus sehingga tercetusnya suatu potensial aksi pada serat otot. Penyebaran
depolarisasi terjadi ke dalam tubulus T dan mengakibatkan pelepasan Ca2+ dari sisterna
terminal retikulum sarkoplasmik serta difusi Ca2+ ke filamen tebal dan filamen tipis.
Selanjutnya terjadi suatu pengikatan Ca2+ oleh troponin C, yang membuka tempat pengikatan
miosin dari aktin. Proses tadi menyebabkan terbentuknya ikatan silang (cross link) antara aktin
5
dan miosin dan terjadi pergeseran filamen tipis pada filemen tebal (pemendekan atau
kontraksi). Ada tahap relaksasi Ca2+ akan dipompakan kembali ke dalam retikulum
sarkoplasmik dan terjadi pelepasan Ca2+ dari troponin sehingga interaksi antara aktin dan
miosin berhenti (Sherwood, 2001).
6
Gambar 2.3
Penjalaran nyeri otot upper trapezius (Fernandez dkk, 2006)
Otot upper trapezius merupakan otot tipe I (slow twitch) yang berfungsi sebagai
fiksator scapula ketika lengan beraktivitas dan sebagai fiksator leher, termasuk
mempertahankan postur kepala yang cenderung jatuh ke depan karena kekuatan gravitasi
dan berat kepala itu sendiri. Kerja otot ini akan semakin meningkat jika otot mengalami
trauma, degenerasi otot dan faktor mekanik yang meliputi poor body mechanics,
penggunaan otot dalam kondisi statis lama, kompresi pada otot dan mekanisme kerja yang
buruk pada leher dan bahu. Akibatnya, otot tersebut sering mengalami gangguan berupa
spasme, pemendekan otot (tightness) dan disabilitas fungsi leher.
Kerja otot akan bertambah berat dengan adanya postur yang jelek, mikro dan makro
trauma. Trauma makro akibat kontraksi otot yang cepat dan kuat akan menimbulkan
kerobekan jaringan otot demikian pula trauma repelitip secara komulatif akan
menimbulkan kerobekan jaringan otot. Penyebab ini akan terjadi proses inflamasi dan
regenerasi sebagai berikut: cedera jaringan akan mengeluarkan zat kimia algogen seperti
serotonin, prostaglandin, istamin, bradikinin. Zat algogen akan menimbulkan reaksi
delatasi kapiler, sensitasi saraf nosi sensoris sehingga timbul sensasi nyeri lokal. Akibat
sensitasi tersebut akan dibawa ke ganglion spinalis dan merangsang produksi “ P “
substance yang kemudian di transport ke perifer dan menimbulkan delatasi kapiler yang
lebih luas, sementara di area ke medulla spinalis akan menimbulkan sensitasi dan ketraktus
spirotalaminikus untuk selanjutnya ke pusat nyeri di otak.
Proses inflamasi, diikuti proses regenerasi jaringan kolagen. Proses penyembuhan
jaringan terjadi mekanisme penumpukkan kolagen (jaringan fibrous) yang akan
menimbulkan perlengketan antara myofibril dan fasia. Ambang rangsang nosi sensoris
rendah akan menimbulkan tender point yaitu pada jaringan tersebut di provokasi akan
terjadi nyeri lokal. Bila ambang rangsang nosi sensorik menjadi nol akan terjadi trigger
point dan taut band.
Disabilitas umumnya pasien enggan menggerakan bagian tersebut, sehingga berada
pada posisi immobilisasi akibatnya otot akan menjadi kontraktur. Terbentuk taut band dan
trigger point. Serabut saraf terjadi peningkatan mekanisme refleks segmental dan supra
segmental seperti adanya spasme otot, hiperaktivitas vasomotor dan glandular, penurunan
7
ambang rangsang nyeri dan peningkatan kecepatan konduksi saraf serta terjebaknya
reseptor saraf tipe Aδ dan C akibat tekanan jaringan fibrous sehingga menimbulkan
tenderness lokal dan nyeri rujukan.
Jaringan miofasial dalam keadaan immobilisasi, maka terjadi perubahan substansi
dan serabut kolagen, protein dan karbohidrat kompleks dalam substansia dasar akan
mengikat air dan menjadikan banyak gel tak terbentuk yang dikenal sebagai
glikoaminoglikan. Immobilisasi viskositas matrix akan berkurang dan bagian terbesar dari
substansia dasar akan menurun. Akibatnya serabut kolagen saling berdempetan, ketika
jarak dari satu molekul kolagen ke molekul kolagen lain menurun hingga pada ambang
kritis, yang terjadi adalah molekul mulai membentuk ikatan menyilang (cross binding).
Jaringan ikat juga menjadi kurang elastis karena serabut kolagen dan lapisan fascia
kehilangan pelumas, menyebabkan molekul dari lembaran fascia ternyata terikat bersama-
sama. Keadaan immobilisasi dari jaringan miofasial ini banyak disebabkan oleh ergonomik
kerja yang jelek, dimana keadaan ini akan mencetuskan timbunan fibroblast dan banyak
kolagen membuat ikatan tali (cross link). Cross link kolagen secara fisiologis timbul
perlahan-lahan pula akan menyebabkan tekanan dalam jaringan, akibatnya menurunkan
jarak kritis pada area ini. Disamping itu aliran darah pada area akan menurun bahkan
hingga tingkat iskemia sehingga mencetuskan timbulnya distabilitas fungsi leher.
Patologi fungsional sebagai akibat adanya myofascial pain syndrom sehingga
menimbulkan disabilitas leher meliputi bodyfuntion/structure inpairment, activity
limitation dan participation retriction yang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.
Impairment pada level anatomik berupa inflamasi dan adhesi pada miofasial, spasme serta
taut band pada serabut otot. Impairment akan menimbulkan impairment secara fisiologis
atau kinesiologis berupa nyeri, keterbatasan gerak leher dan pundak, posture kepala yang
kedepan {Forward head posture) (WHO, 2011)
D. Metode PNF yang Diterapkan pada Kasus Myofascial otot upper trapezius
syndrome.
Hold relax adalah salah satu teknik PNF yang bertujuan untuk meningkatkan
lingkup gerak sendi (LGS) pasif dan juga untuk mengurangi nyeri. (Adler, 2008).
Proprioceptive neuromuscular fascilitation (PNF) adalah konsep dan filosofi dari sebuah
terapi. PNF adalah konsep terapi yang sangat dikenal oleh fisioterapi sejak tahun 1940an.
Dr. Herman Kabat seorang dokter saraf dan Margaret Knott seorang fisioterapis yang
mengawali pendekatan terapi ini yang selanjutnya berkembang setelah mereka pindah ke
Vallejo, Kalifornia pada tahun 1947. Selanjutnya Dorothy Voss seorang okupasi terapis
bergabung dalam tim pada tahun 1953. Margaret Knott dan Dorothy Voss adalah penulis
pertama tentang PNF yang dipublikasikan pada tahun 1956.
Pada awalnya konsep PNF ini banyak digunakan untuk kasus multiple sclerosis dan
poliomyelitis dan pada perkembangannya ternyata konsep PNF ini juga efektif untuk
penanganan banyak diagnosa. Saat ini PNF diaplikasikan untuk kasus neurologi, orthopedi
dan juga trauma serta banyak kasus lainnya.
Untuk mengaplikasikan PNF diperlukan pemahaman tentang tiga hal pokok yaitu ;
philosophy, basic principle dan techniques. Pada tesis ini dibahas tentang salah satu teknik
PNF yaitu Hold relax. Terdapat dua macam teknik hold relax yaitu : direct treatment hold
relax dan indirect treatment hold relax. Pada tesis ini penulis hanya membahas direct
treatment hold relax sebagai modalitas terapi latihan. Maka pada pembahasan selanjutnya
jika disebutkan hold relax pada tesis ini yang dimaksud adalah direct treatment hold relax.
Aplikasi hold relax adalah dengan memberikan tekananpada saat kontraksi
isometrik dari otot antagonis lalu dilanjutkan dengan relaksasi. Yang dimaksud otot
9
antagonis disini adalah otot yang menerima tahanan. Tekananyang diberikan adalah
tekanan submaksimal.
Indikasi dan Kontraindikasi
1. Indikasi
Indikasi hold relax adalah kondisi-konsi sebagai berikut
a. Keterbatasan LGS pasif
b. Nyeri
c. Kondisi dimana terapis tidak bisa mengontrol gerak isotonik pasien
2. Kontra indikasi
Kontra indikasi hold relax adalah pada kondisi pasien tidak dapat
melakukan gerakan isometrik
Prinsip Kerja
Pada prinsipnya intervensi hold relax adalah isometric exercise. Isometric
exercise adalah bentuk latihan statis di mana kontraksi otot dan menghasilkan gaya
(force) tanpa perubahan panjang otot yang berarti dalam tanpa gerakan sendi yang
terlihat (Levangie, 2005) Meskipun tidak ada kerja mekanik dilakukan (gaya x
jarak), tetap terdapat keteganggan dan juga gaya yang dapat diukur yang dihasilkan
oleh kerja otot. Sumber tekananuntuk isometric exercise termasuk dapat dilakukan
dengan cara pemberian tekanansecara manual, menahan beban dalam posisistatis,
atau mendorong atau menarik benda tak bergerak.
Selama tahun 1950 dan 1960an, isometric exercise menjadi populer sebagai
alternatif untuk latihan ketekanandinamis dan awalnya dianggap metode yang lebih
efektif dan efisien dari latihan penguatan otot. Kekuatan isometrik didapat 5%
perpekannya saat dilakukan isometric exercise dengan tekanan mendekati tekanan
maksimal yang dilakukan tiap hari selama enam pekan dalam satu periode. Namun,
penelitian ini banyak dipertanyakan, khususnya tentang peningkatan kekuatan yang
terlalu cepat.
Kekuatan otot statis dan ketekanan sangat dibutuhkan di hampir semua
aspek kontrol tubuh selama aktivitas fungsional. Hilangnya kekuatan otot statis
terjadi dengan cepat dengan imobilisasi dan saat otot tidak digunakan, dengan
perkiraan dari 8% per pekan. Pada aktivitas fungsional dibutuhkan kemampuan
melakukan gerakan melawan tekananberat pada waktu singkat dan juga
10
mempertahankan gerak dengan tekanan ringan pada waktu yang lama. Kedua
kemapuan tersebut sangat dipengaruhi oleh kemampuan gerak isometrik
dibandingkan kekuatan otot.
Daya tahan otot dan kerja isometrik lebih berperan dalam peran tubuh
mempertahankan stabilitas postural dari pada kekuatan otot, kondisi ini jug adapat
mencegah terjadinya cidera pada activity daily living (McArdlc dkk, 2009).
Contohnya tulang belakang (trunk) dan anggota gerak harus melakukan gerak
isometrik untuk mempertahankan tubuh pada posisi tegak melawan gravitasi
sehingga tubuhmdapat mepertahankan keseimbangan serat amelakukan gerak
fungsional pada posisi tegak. Stabilitas dinamis pada sendi didapat dari aktivasi dan
mempertahankan kontraksi otot pada level rendah (low level co-contraction), dan
hal tersebut adalah gerak berbarengan otot-otot sekitar sendi yang berkerja
berbarengan secara isometrik (Mc Gill, 2010).
Prosedur Penerapan Hold relax
Prosedur penerapan adalah :
1. Pasien tidur posisi terlentang tanpa bantal penyanggah kepala
2. Siapkan sphygmomanometer analog
3. Isi udara manset sampai manset mengembang maksimal
4. Taruh manset dibawah kepala pasien
5. Pegang analog dan mengarahkan ke pasien sehingga pasien dapat melihat
6. Arahkan pasien untuk relaks dan lihat jarum pada analog
7. Lihat anggka pada analog, angka tersebut adalah angka awal
8. Minta pasien untuk menekan manset sehingga jarum analog bergerak ke atas
dengan penambahan 20 atau 40 mmHg dari angka awal
9. Tahan selama 6 detik
10. Setelah 6 detik, minta pasien untuk relaks
11. Jarum analog kembali ke angka awal
12. Pasien dan terapis relaks secara bertahap
11
Gambar 2.4
Intervensi Hold relax
Gambar 2.5
12
Posisi saat melakukan hold relax pada otot-otot
ekstensor dan adduktor bahu (Adler, 2008)
Tujuan pemberian hold relax dan contract relax adalah perbaikan relaksasi pola
antagonis, perbaikan mobilisasi dan untuk menurunkan nyeri. Untuk latihan hold relax, dan
“tetap dorong tangan saya!” pada latihan contract relax), (3) diikuti relaksasi dari pola
antagonis tersebut, tunggu hingga benar-benar relaks, (4) gerakkan secara aktif atau pasif
ke arah pola agonis, (5) ulangi prosedur tersebut di atas, (6) penguatan pola gerak agonis
dengan cara menambah LGS-nya, (7) selama fase relaksasi, manual kontak tetap
dipertahankan untuk mendeteksi bahwa pasien mampu benar-benar relaks (Beckers &
Buck, 2001).
Untuk pemberian tahanan pada hold relax, terapis meminta kontraksi isometrik dari
otot yang memendek atau pola (antagonis) dengan penekanan pada rotasi,dimana kontraksi
harus dipertahankan setidaknya 5-8 detik. Pada pemberian tahanana saat melakukan
contract relax, terapis meminta pasien untuk kontraksi yang kuat pada otot yang memendek
atau pola (antagonis) dimana kontraksi harus diadakan setidaknya 5-8 detik (Adler, 2008)
Pelaksanaan hold relax dan contract relax pada kasus Myofascial otot upper trapezius syndrome
yaitu :
a. Pola gerak fleksi-abduksi-eksorotasi
Untuk menambah LGS abduksi dan eksorotasi Posisi awal pasien adalah terlentang
dengan bahu extensi, adduksi, dan endorotasi, siku lurus, lengan bawah pronasi dan
tangan palmar fleksi. Terapis berdiri di sisi yang kan diterapi, tepat pada bidang gerak,
dengan satu tungkai di depan dan kedua kedua lutut sedikit fleksi. Tangan terapis yang
sesisi memegang bagian distal lengan bawah pasien dan tangan satunya memegang
bagian ibu jari, metacarpal II dan metacarpal V. terapis memposisikan bahu elongated
kemudian terapis memberikan stretch pada pergelanagan tangan dan meminta pasien
untuk membuka tangan, putar keluar dan kemudian mendorong tangan terapis. Saat
berada di LGS, di mana nyeri mulai timbul, terapis memberikan tahanan meningkat
secara perlahan pada pola antagonisnya, pasien harus melawan tahanan tersebut tanpa
disertai adanya gerakan, lalu diberi aba-aba “pertahankan di sini !” untuk latihan hold
relax, dan “tetap dorong tangan saya!” pada latihan contract relax. Selanjutnya diikuti
13
relaksasi dari pola antagonis tersebut. Saat benar-benar relaks, terapis menggerakan
secara aktif maupun pasif ke arah pola agonis. Selama fase relaksasi manual kontak
tetap dipertahankan untuk mendeteksi bahwa pasien benar-benar relaks.
14
E. Tujuan Jangka Pendek dan Jangka Panjang Dari Penatalaksaan PNF dengan Teknik
Khusus pada Kasus Myofascial otot upper trapezius syndrome.
Tujuan jangka pendek yaitu:
1. Mengurangi nyeri pada upper trapezius
2. Meningkatkan kekuatan otot
3. Meningkatkan luas gerak sendi
4. Mengurangi spasme
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
- Myofascial syndrom adalah kumpulan gejala dan tanda dari satu atau beberapa titik
picu (trigger points) dan dicirikan oleh nyeri otot kronis dengan peningkatan
sensitivitas terhadap tekanan. Tipe rasa sakit berupa sensasi dalam dan tumpul pada
otot yang terkena dan sering menjalar ke daerah yang tidak spesifik disekitar otot
yang terkena. Sekolompok otot tegang dapat teraba dan masa yang dapat teraba ini
sering disebut sebagai “trigger points”. Taut band ini sangat sensitif terhadap
tekanan dan pasien merasa nyeri tajam ketika tekanan dilakukan tepat pada titiknya.
Keluhan Myofascial pain syndrom bukan dari artikuler, tetapi akan mengurangi
lingkup gerak sendi pada sendi yang terkait dengan otot tersebut (Werenski, 2011).
- Patologi fungsional sebagai akibat adanya myofascial pain syndrom sehingga
menimbulkan disabilitas leher meliputi bodyfuntion/structure inpairment, activity
limitation dan participation retriction yang dipengaruhi oleh faktor internal dan
eksternal. Impairment pada level anatomik berupa inflamasi dan adhesi pada
miofasial, spasme serta taut band pada serabut otot. Impairment akan menimbulkan
impairment secara fisiologis atau kinesiologis berupa nyeri, keterbatasan gerak
leher dan pundak, posture kepala yang kedepan {Forward head posture) (WHO,
2011)
- Hold relax adalah salah satu teknik PNF yang bertujuan untuk meningkatkan
lingkup gerak sendi (LGS) pasif dan juga untuk mengurangi nyeri. (Adler, 2008).
B. Saran
Pembaca disarankan membaca buku referensi lain guna untuk memperluas cakupan
pemahaman.
16
17