Peran Notaris Dalam Buat SKW

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 154

PERAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN SURAT KETERANGAN

WARIS TERKAIT PENGGOLONGAN PENDUDUK DI INDONESIA

TESIS

Oleh :
Nama Mhs. : JEAMES PASCHALIX TONGGIROH, S.H
NIM : 20921022

PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM MAGISTER


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2022

i
ii
iii
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO
“Segala perkara dapat kutanggung di dalam DIA yang memberi kekuatan
kepadaku”
Filipi 4:13

PERSEMBAHAN
Penelitian ini diperuntukkan kepada:
1. Drs. Alfres M. Tonggiroh, M.Si & Gethroida, S.Pd selaku orangtua, Chrisan
Stevano Tonggiroh, S.T., M.T., M.H., selaku kakak, Regitha Pramesti
Tonggiroh & Anastasya Gloria Tonggiroh selaku adik yang senantiasa
mendukung dengan memberikan motivasi dan dukungan doa, sehingga
selesainya karya ini.
2. Angeline Novitasari selaku orang paling terdekat yang selalu mensupport
dan senantiasa menemani suka maupun duka dan setia menunggu penulis
menyelesaikan study walaupun sangat cemburuan & sering buat kesal.
3. Reinhard Richard Arnindyo Wattimena, S.H & Jenifer Debsen Minahasa
selaku sahabat terdekat rasa keluarga dan tergokil yang selalu mensupport
dan menghibur dalam segala hal.
4. Rekan-rekan seangkatan MKN 13 di Program Magister Kenotariatan
Universitas Islam Indonesia, terima kasih atas pertemanan dan kebersamaan
yang selalu menghibur dengan tawa canda walaupun sering kebanyakan.

v
vi
vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i


HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................ v
SURAT PERNYATAAN .............................................................................. vi
KATA PENGANTAR ................................................................................... vii
DAFTAR ISI ................................................................................................. viii
ABSTRAK..................................................................................................... ix
ABSTRACT .................................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 8
D. Manfaat Penelitian............................................................................... 8
E. Orisinalitas Penelitian .......................................................................... 8
F. Tinjauan Pustaka ................................................................................. 16
G. Metode Penelitian ................................................................................ 23
1. Jenis Penelitian .............................................................................. 23
2. Pendekatan Penelitian .................................................................... 24
3. Fokus Penelitian ............................................................................ 25
4. Sumber Data Penelitian ................................................................ 26
5. Metode Pengumpulan bahan Hukum ............................................. 27
6. Analisis Data ................................................................................. 27
H. Sistematika Tesis ................................................................................. 28
BAB II SURAT KETERANGAN WARIS YANG DIBUAT
OLEH NOTARIS .......................................................................................... 31
A. Tinjauan Umum Surat Keterangan Waris ............................................ 31
1. Pengertian Surat Keterangan Waris................................................ 33
2. Kewenangan Pihak Yang Dapat Menerbitkan

viii
Surat Keterangan Waris ................................................................. 36

3. Kedudukan Surat Keterangan Waris .............................................. 45


B. Akta Otentik ........................................................................................ 47
C. Akta Di Bawah Tangan ....................................................................... 60
D. Wewenang, Fungsi dan Keberadaan Notaris ........................................ 63
BAB III PENGGOLONGAN PENDUDUK DITINJAU
DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 2006 DAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 40 TAHUN 2008 ............................................................................ 67
A. Penggolongan Penduduk Di Indonesia ................................................. 67
B. Sistem Hukum Waris Di Indonesia ..................................................... 72
1. Hukum Waris Adat ........................................................................ 75
2. Hukum Waris Barat ....................................................................... 81
3. Hukum Waris Islam ....................................................................... 87
BAB IV PERAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN SURAT
KETERANGAN WARIS TERKAIT PENGGOLONGAN PENDUDUK
DI INDONESIA ............................................................................................ 101
A. Peran Notaris Dalam Pembuatan SKW Terkait Penggolongan Penduduk
Di Indonesia ........................................................................................ 101
B. Peran Notaris dalam pembuatan Surat Keterangan Waris Terkait Masih
Adanya Penggolongan Penduduk di Indonesia..................................... 117
BAB V PENUTUP ........................................................................................ 139
A. Simpulan ............................................................................................. 139
B. Saran ................................................................................................... 140
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 142

ix
ABSTRAK

Pembuatan Surat Keterangan Waris berdasarkan penggolongan penduduk


bertentangan dengan semangat pembangunan negara Indonesia yang berjiwa
demokrasi, namun terdapat kasus dimana seorang ahli waris yang hendak dibuatkan
Surat Keterangan Waris ditolak oleh notaris karena orang tua dari pemohon berasal
dari dua golongan yang berbeda. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1)
apakah Notaris mempunyai peran dalam pembuatan surat keterangan waris yang
terkait dengan penggolongan penduduk di Indonesia?; (2) bagaimana peran Notaris
dalam pembuatan Surat Keterangan Waris terkait masih adanya penggolongan
penduduk di Indonesia?. Jenis penelitian ini menggunakan penelitian hukum
normatif, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan,
pendekatan konseptual dan pendekatan histori. Pengumpulan data dilakukan
melalui studi Pustaka dan studi dokumen yang kemudian dianalisis secara yuridis
normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Notaris mempunyai peran dalam
pembuatan surat keterangan waris yang terkait dengan penggolongan penduduk di
Indonesia yaitu sebagai satu-satunya pejabat yang memiliki kewenangan membuat
akta sebagai bukti otentik bagi ahli waris dalam bentuk Surat Keterangan Waris
tanpa membeda-bedakan golongan etnis, suku maupun agama. Hal ini didasarkan
pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi
Ras dan Etnis, Pasal 15 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan
Notaris, yang memberikan kewenangan bagi notaris untuk membuat akta otentik
termasuk akta keterangan waris/Akta Keterangan Hak Mewarisi serta Pasal 111
ayat (1) Permen ATR/KBPN RI Nomor 16 Tahun 2021 bahwa Akta Keterangan
Hak Mewaris yang dibuat oleh Notaris, tidak hanya berlaku bagi warga negara
Indonesia keturunan Tionghoa, melainkan untuk semua Warga Negara Indonesia.
(2) Peran Notaris dalam pembuatan Surat Keterangan Waris terkait masih adanya
penggolongan penduduk di Indonesia yaitu sebagai pejabat yang berwenang
membuat surat keterangan ahli waris bagi Warga Negara Indonesia keturunan
Tionghoa sesuai Pasal 111 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997, dikarenakan adanya pengaruh
politik hukum yang semata-mata untuk mengisi kekosongan hukum (rechtvacuum),
sehingga setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang
Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, maka penggolongan penduduk sudah
tidak ada lagi. Simpulan penelitian yaitu notaris memiliki peran penting dan mutlak
dalam pembuatan Surat Keterangan Waris bagi seluruh warga negara Indonesia
tanpa membedakan golongan.

Kata kunci: Notaris, Surat Keterangan Waris, Penggolongan Penduduk

ix
ABSTRACT

The making of a Certificate of Inheritance based on population


classification is contrary to the spirit of the development of the Indonesian state
which has a democratic spirit, but there are cases where an heir who wants to
make a Certificate of Inheritance is rejected by a notary because the parents of
the applicant are from two different groups. The formulation of the problem in
this study is (1) does a Notary have a role in making a certificate of inheritance
related to the classification of the population in Indonesia?; (2) what is the role
of a Notary in making a Certificate of Inheritance related to the existence of
population classifications in Indonesia?. This type of research uses normative
legal research, the approach used is the statutory approach, conceptual
approach and historical approach. Data was collected through library studies
and document studies which were then analyzed in a normative juridical
manner. The results show that (1) Notaries have a role in making certificates of
inheritance related to the classification of the population in Indonesia, namely
as the only official who has the authority to make authentic evidence for heirs
in the form of a Certificate of Inheritance without discriminating against ethnic
groups, ethnicities. as well as religion. This is based on Law Number 40 of 2008
concerning Racial and Ethnic Discrimination so that there is no longer any
distinction/classification of the population in relation to the making of a
Certificate of Inheritance as legal evidence. In addition, it is also based on
Article 15 of Law Number 2 of 2014 concerning Notary Positions, which
authorizes notaries to make authentic deeds including certificates of
inheritance/Deed of Inheritance Rights and Article 111 paragraph (1) of
Ministerial Regulation ATR/KBPN RI Number 16 In 2021, the Deed of
Inheritance Rights made by a Notary does not only apply to Indonesian citizens
of Chinese descent, but also to all Indonesian citizens. (2) The role of a Notary
in making a Certificate of Inheritance is related to the existence of population
classification in Indonesia, namely as an official authorized to make a
certificate of heir for Indonesian Citizens of Chinese descent in accordance with
Article 111 paragraph (1) Regulation of the State Minister of Agrarian
Affairs/Head of the National Land Office Number 3 of 1997, due to the influence
of legal politics solely to fill the legal vacuum (rechtvacuum), so that after the
issuance of Law Number 40 of 2008 concerning Racial and Ethnic
Discrimination, the classification of the population no longer exists. The
conclusion of the study is that notaries have an important and absolute role in
making a Certificate of Inheritance for all Indonesian citizens regardless of
class.

Keywords: Notary, Certificate of Beneficiary, Population Classification

x
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Notaris dalam menjalankan profesinya, harus bertindak secara

professional. Akta yang dibuat oleh notaris dapat menjadi alas hukum atau

status harta benda, hak dan kewajiban seseorang, kekeliruan atas akta

notaris dapat menyebabkan tercabutnya hak seseorang atau terbebaninya

seseorang atas suatu kewajiban. Notaris dan produk aktanya dapat dimaknai

sebagai upaya untuk menciptakan kepastian dan perlindungan hukum bagi

seluruh masyarakat.1

Harta benda yang ditinggalkan oleh pewaris, menurut hukum jatuh

kepada ahli waris, bahkan dalam sistem hukum barat bukan hanya harta

bendanya akan tetapi termasuk hutang dan beban-beban dari yang

meninggal dunia. 2 Permasalahan waris merupakan salah satu permasalahan

yang sampai saat ini sering menimbulkan sengketa antar keluarga yang

terjadi dalam masyarakat. Berbicara tentang warisan menyalurkan pikiran

dan perhatian orang ke arah suatu kejadian penting dalam suatu masyarakat

tertentu, yaitu ada seorang anggota dari masyarakat itu meninggal dunia. 3

1
Hartanti Sulihandri dan Nisya Rifiani, 2013, Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Notaris,
Dunia Cerdas, Jakarta, hlm.3
2
A. Kohar, Notaris Berkomunikasi, Penerbit Alumni, Bandung, 2000, hlm. 7.
3
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, cet. 9, (Bandung: Bale Bandung,
1988), hlm. 11.

1
2

Akibat hukum dari meninggalnya seseorang ialah timbul adanya

masalah mengenai bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan

kewajiban seseorang yang meninggal dunia. Oleh karena itu, dibutuhkan

suatu pengaturan hukum yang mengatur bagaimana cara pengurusan dan

kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia tersebut

dengan adanya Hukum Waris.

Aturan jabatan notaris di Indonesia semula didasarkan pada

Staatsblad 1860 Nomor 3. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah

mengundangkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan

Notaris (UUJN) yang merupakan pengganti dari Staatsblad 1860 Nomor 3.

Notaris sebagai pejabat umum yang memberikan jasa hukum kepada

masyarakat perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya

kepastian hukum. Beberapa ketentuan dalam UUJN sudah tidak sesuai

dengan perkembangan hukum, sehingga dilakukan perubahan pada tanggal

17 Januari 2014 menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang

perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan

Notaris selanjutnya disebut UUJN Perubahan (UUJN-P).

Akta otentik yang dibuat oleh notaris mempunyai kekuatan

pembuktian yang sempurna sesuai Pasal 1870 KUHPerdata yang

menyatakan bahwa suatu Akta otentik memberikan diantara para pihak

beserta para ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari

mereka, suatu bukti yang lengkap atau sempurna dan mengikat tentang apa

yang dimuat di dalamnya. Akta otentik memberikan kepastian hukum bagi


3

pihak terkait untuk dipergunakan sebagai alat bukti tertulis, terkuat dan

terpenuhi. Pembuatan akta otentik, notaris wajib mempunyai saksi

instrumenter. Saksi instrumenter yang dimaksud ialah pekerja kantor

notaris. Pembukaan kantor notaris wajib mempunyai minimal dua pegawai

yang bertindak sebagai saksi instrumenter yang secara langsung dikenal

oleh notaris.4 Ketentuan sebagai penegasan tentang kewenangan Notaris

dalam pembuatan akta otentik yang diatur di luar Undang-Undang Jabatan

Notaris sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1868 KUHPerdata tersebut

menyatakan bahwa, akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang

ditentukan oleh undang-undang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum

yang berwenang ditempat dimana akta dibuat.

Frase Notaris yang telah dikenal sejak lama di Indonesia berasal dari

kata nota literaria yang mempunyai arti sebagai tanda tulisan atau karakter

yang dipergunakan untuk menuliskan atau menggambarkan ungkapan

kalimat yang disampaikan oleh narasumber. Tanda atau karakter yang

dimaksud adalah tanda yang dipakai dalam penulisan cepat.5Jabatan Notaris

diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum, dengan

maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat

bukti yang otentik mengenai keadaan ataupun peristiwa atau perbuatan

hukum. Berdasarkan hal tersebut maka mereka yang dapat diangkat sebagai

Notaris harus mempunyai semangat untuk melayani masyarakat, sesuai

4
R. Soegondo Notodisoerjo, 1993, Hukum Notariat Di Indonesia, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, hlm.139
5
G. H. S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris (Notaris Reglement), Cetakan
Pertama (Jakarta: Erlangga, 1980), hlm. 41.
4

dengan tugas jabatannya, dengan itu masyarakat dapat memberikan

honorarium kepada Notaris. Hal tersebut mengindikasikan bahwa Notaris

tidak berarti apa-apa jika masyarakat tidak membutuhkannya. 6

Kedudukan seorang Notaris sebagai suatu fungsionaris (jabatan)

dalam masyarakat hingga sekarang masih disegani oleh masyarakat. Notaris

biasanya dianggap sebagai seorang pejabat tempat dimana masyarakat dapat

memperoleh nasihat yang dapat diandalkan. Segala sesuatu yang ditulis dan

ditetapkannya (konstatir) adalah benar, hal ini dikarenakan Notaris

merupakan pembuat dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum

sehingga diperlukan kecerdasan, kecermatan, dan kehati-hatian Notaris

dalam proses pembuatan akta otentik agar tidak terjadi kesalahan yang akan

berpotensi menimbulkan sengketa dikemudian hari.7

Pada suatu perkara pewarisan, harus ada unsur-unsur yang terpenuhi

agar pewarisan itu dapat terlaksana, yaitu adanya keberadaan ahli waris,

pewaris, dan harta kekayaan yang ditinggalkan. Ahli waris merupakan

seseorang atau lebih yang ditinggalkan, yang mempunyai hak dan

kewajiban sebagai ahli waris dan harus ada atau telah lahir pada saat

terjadinya warisan. Dalam praktik, untuk membuktikan kedudukan

seseorang sebagai ahli waris, diperlukan suatu dokumen yang

6
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia; Tafsir Tematik Terhadap Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Cetakan Pertama (Bandung: Refika Aditama,
2007), hlm. 4.
7
Tan Thong Kie, Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris (Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve, 2007), hlm. 444.
5

berkedudukan sebagai alat bukti yang dapat membuktikan kedudukan

tersebut.

Dokumen yang digunakan untuk membuktikan kedudukan

seseorang sebagai ahli waris bagi golongan Eropa, Cina atau Tionghoa,

Timur Asing (kecuali orang Arab yang beragama Islam), digunakan Surat

Keterangan Waris yang dibuat oleh Notaris, dalam bentuk Surat

Keterangan. Bagi Golongan Timur Asing (bukan Cina/Tionghoa), selama

ini pembuktian mereka sebagai ahli waris berdasarkan Surat Keterangan

Waris yang dibuat oleh Balai Harta Peninggalan (selanjutnya disebut BHP).

Sedangkan bagi Golongan Pribumi (Bumiputera), selama ini pembuktian

mereka sebagai ahli waris berdasarkan Surat Keterangan Waris yang dibuat

dibawah tangan, bermeterai, oleh para ahli waris sendiri dan diketahui atau

dibenarkan oleh Lurah dan Camat sesuai dengan tempat tinggal terakhir

pewaris.

Negara Indonesia, tidak dapat mempungkiri bahwa pasca

kemerdekaan masih belum dapat satu kodifikasi hukum waris yang berlaku

bagi warga negara Indonesia. Hal ini disebabkan masih berlakunya

ketentuan penggolongan penduduk yang diatur dalam Pasal 131 jo, 163

indische staatsregeling staatsblad 1917 nomor 129, staatsblad 1924 Nomor

557 tentang penundukan diri terhadap hukum eropa yang kesemuanya

dinyatakan tidak berlaku pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 62

Tahun 1958 tentang kewarganegaraan Republik Indonesia (Lembaran

Negara Nomor 113 Tahun 1958, Tambahan Lembar Negara Nomor 1647),
6

sehingga Burgerlijk Wetboek berlaku bagi orang-orang Eropa dan mereka

yang dipersamakan dengan orang eropa, orang Timur Asing Tionghoa,

orang Timur Asing lainnya dan orang-orang Indonesia yang menundukan

diri kepada hukum Eropa.

Pada pelaksanaan pembuatan Surat Keterengan Waris ditemukan

berbagai permasalahan, pembuatan Surat Keterangan Waris yang tidak

memberikan kepastian hukum kepada ahli waris, karena dasar

pembuatannya yang lemah, sehingga diragukan atas kekuatan

pembuktiannya menjadi alat bukti akta otentik. Di dalam teori hukum

berlaku beberapa asas yang berfungsi untuk menjaga ketaatan asas atau

konsistensi, menyelesaikan konflik yang terjadi di dalam sistem hukum dan

sebagai rekayasa sosial, yakni lex superior derogat legi inferiori, Lex

specialist derogat legi general, dan lex posteriori derogat legi priori. 8

Pembuatan Surat Keterangan Waris berdasarkan penggolongan

penduduk bertentangan dengan semangat pembangunan negara Indonesia

yang berjiwa demokrasi. Hal ini bertentangan dengan Undang-undang

Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dan

8Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi

Ras dan Etnis yang berupa tindakan pembedaan dan/atau pembatasan bagi

golongan-golongan tertentu untuk mendapatkan haknya atau kebebasan

dasar khususnya dalam hal mendapatkan alat bukti otentik yang

8
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004, hlm. 112.
7

menjelaskan bahwa dirinya sebagai pihak yang berhak atas harta warisan

yang ditinggalkan oleh pewarisnya.

Pada praktik dilapangan, pernah terjadi suatu kasus yaitu seorang

ahli waris yang hendak dibuatkan Surat Keterangan Waris ditolak oleh

Notaris karena orang tua dari pemohon berasal dari dua golongan yang

berbeda, artinya Notaris dalam hal ini dihadapkan pada pilihan yang sulit

sebab belum ada aturan yang mengatur mengenai institusi mana atau pejabat

mana yang berwenang untuk menerbitkan Surat Keterangan Waris dari

perkawinan warga negara Indonesia yang berbeda golongan atau etnis.

Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang oleh negara untuk membuat

akta otentik. Sedangkan tanggung jawabnya adalah memastikan bahwa akta

yang dibuat memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga akta

yang dibuat harus sesuai dengan unsur-unsur yang ditentukan dalam Pasal

1868 KUHPerdata. Oleh karena itu, penelitian ini dimaksud untuk

mengetahui apakah notaris memiliki peran dalam pembuatan Surat

Keterangan Waris terkait dengan adanya penggolongan penduduk di

Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, dirumuskan permasalahan

penelitian sebagai berikut:

1. Apakah Notaris mempunyai peran dalam pembuatan surat keterangan

waris yang terkait dengan penggolongan penduduk di Indonesia?


8

2. Bagaimana peran Notaris dalam pembuatan Surat Keterangan Waris

terkait masih adanya penggolongan penduduk di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan dari rumusan masalah diatas, maka tujuan dari

penelitian ini secara umum adalah untuk menemukan jawaban atas

permasalahan yang ada tersebut. Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui peran Notaris dalam pembuatan Surat Keterangan

Waris yang terkait dengan penggolongan penduduk di Indonesia.

2. Untuk menganalisis peran Notaris dalam pembuatan Surat Keterangan

Waris terkait masih adanya penggolongan penduduk di Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat ilmiah yaitu bahwa hasil penelitian ini dapat menjadi

sumbangan ilmu pengetahuan dalam pengembangan ilmu hukum

khususnya di bidang kenotariatan dalam menghadapi permasalahan

mengenai peran Notaris dalam pembuatan Surat Keterangan Waris yang

berkaitan dengan penggolongan penduduk di Indonesia.

2. Manfaat praktis yaitu hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

solusi yang tepat bagi para Notaris di Indonesia dalam menghadapi

masalah yang berkaitan dengan permintaan pembuatan surat keterangan

ahli waris di Indonesia.


9

E. Orisinalitas Penelitian

Berdasarkan dari hasil penelusuran yang di telusuri dari internet dan

kepustakaan berfokus pada peran Notaris sebagai pejabat publik dalam

pembuatan surat keterangan ahli waris di Indonesia. Bukan merupakan

penelitian yang pertama yang dilakukan namun penelitian ini akan berbeda

pada fokus penelitiannya dan peneliti akan mengkaji secara mendalam

terkait permasalahan tersebut baik yang berlandaskan pada teori ilmiah

maupun teori praktis. Oleh karena itu penegasan tentang orisinalitas studi

ini dimaksudkan untuk menghindari pengulangan atau duplikasi terhadap

sebuah tema dengan fokus kajian yang sama. Adapun Penelitian terdahulu

yang berkaitan dengan penulisan ini yang relevan sebagai kajian

perbandingan sebelumnya :

1. Wilyanto, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dengan judul

“Tanggung Jawab Notaris dalam Membuat Surat Keterangan

Waris”.9

Karya ilmiah ini merumuskan masalah mengenai bagaimanakah

tanggungjawab Notaris dalam pembuatan Surat Keterangan Waris

dan bentuk manakah yang lebih baik untuk digunakan sehubungan

dengan adanya dua bentuk dari Surat Keterangan Hak Mewaris (akta

otentik dan akta di bawah tangan). Hasil penelitian menunjukkan

bahwa Notaris memiliki tanggungjawab yang besar dalam membuat

9
Wilyanto, Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dengan judul
“Tanggung Jawab Notaris dalam Membuat Surat Keterangan Waris”, dalam
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-1/20269664-T37000-Wilyanto.pdf.
10

Surat Keterangan Hak Mewaris. Tanggungjawab tersebut

berdasarkan pada Undang-Undang Jabatan Notaris (termasuk kode

etik profesi Notaris), Hukum Pidana dan Hukum Perdata.

Tanggungjawab Notaris dalam membuat Surat Keterangan Hak

Mewaris juga ada batasannya. Kesalahan dalam Surat Keterangan

Hak Mewaris yang terjadi karena ulah dari penghadap atau ahli waris

yang beritikad buruk menjadi tanggung jawab dari penghadap atau

ahli waris tersebut. Kemudian, Surat Keterangan Hak Mewaris dalam

bentuk akta di bawahtangan lebih baik untuk diterapkan dalam

praktek Notariat karena dalam Surat Keterangan Hak Mewaris yang

dibuat dalam bentuk akta di bawahtangan dapat dicantumkan

keterangan Notaris, tentang siapa saja ahli waris, berapa bagian

warisan yang akan diperoleh dan pasal-pasal dalam Kitab Undang-

undang Hukum Perdata yang mendasarinya, dengan dan tidak

janggal.

Karya ilmiah ini merumuskan masalah mengenai bagaimanakah

tanggungjawab Notaris dalam pembuatan Surat Keterangan Waris

dan bentuk manakah yang lebih baik untuk digunakan sehubungan

dengan adanya dua bentuk dari Surat Keterangan Hak Mewaris (akta

otentik dan akta di bawah tangan). Hasil penelitian menunjukkan

bahwa Notaris memiliki tanggung jawab yang besar dalam membuat

Surat Keterangan Hak Mewaris. Tanggungjawab tersebut

berdasarkan pada Undang-Undang Jabatan Notaris (termasuk kode


11

etik profesi Notaris), Hukum Pidana dan Hukum Perdata. Tanggung

jawab Notaris dalam membuat Surat Keterangan Hak Mewaris juga

ada batasannya. Kesalahan dalam Surat Keterangan Hak Mewaris

yang terjadi karena ulah dari penghadap atau ahli waris yang beritikad

buruk menjadi tanggungjawab dari penghadap atau ahli waris

tersebut.

Surat Keterangan Hak Mewaris dalam bentuk akta di bawah

tangan lebih baik untuk diterapkan dalam praktek Notariat karena

dalam Surat Keterangan Hak Mewaris yang dibuat dalam bentuk akta

di bawah tangan dapat dicantumkan keterangan Notaris, tentang siapa

saja ahli waris, berapa bagian warisan yang akan diperoleh dan pasal-

pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang

mendasarinya, dengan dan tidak janggal. Pembuatan Surat

Keterangan Hak Mewaris dalam bentuk akta di bawah tangan juga

dengan sendirinya memisahkan taggungjawab antara Notaris dengan

penghadap atau ahli waris jika suatu saat timbul masalah yang

berkaitan dengan Surat Keterangan Hak Mewaris tersebut. Surat

Keterangan Hak Mewaris yang dibuat di bawahtangan juga kuat

karena didasarkan pada Akta Pernyataan yang dikuatkan 2 (dua)

orang saksi penguat dari keluarga dekat pewaris sehingga terjamin

kebenarannya, dipadu dengan keahlian Notaris berdasarkan studinya

dalam bidang hukum waris.


12

2. Irwan Budiyanto, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

Semarang, dengan judul “Dalam Membuat Surat Keterangan Waris

Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang

Jabatan Notaris (Studi Terhadap Notaris di Semarang). 10

Karya ilmiah ini merumuskan mengenai bagaimanakah

pengaturan mengenai wewenang Notaris dalam membuat Surat

Keterangan Waris berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2004 tentang Jabatan Notaris, bagaimanakah kekuatan pembuktian

Surat Keterangan Waris yang dibuat oleh beberapa orang Notaris

yang berbeda atas seorang pewaris terhadap para ahli waris dan pihak

ketiga, dan apakah sanksi terhadap Notaris dan tanggungjawab

Notaris apabila keliru dalam membuat Surat Keterangan Waris.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa KUHPerdata maupun

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris tidak

mengatur secara tegas mengenai kewenangan Notaris dalam membuat

Surat Keterangan Waris namun, berdasarkan kewenangan Notaris

yang diatur oleh Pasal 15 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004

tentang Jabatan Notaris yang begitu luas dalam membuat akta tentang

semua perbuatan, bisa dijadikan sebagai pedoman dasar bagi Notaris

untuk membuat Surat Keterangan Waris selain yang selama ini

didasarkan pada hukum kebiasaan.

10
Irwan Budiyanto, Universitas Diponegoro Semarang, dengan judul “Dalam Membuat
Surat Keterangan Waris Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris (Studi Terhadap Notaris di Semarang)”,
http://eprints.undip.ac.id/15659/1/Irwan_Budiyanto.pdf.
13

Pembuktian Surat Keterangan Waris yang dibuat oleh Notaris

yang berbeda terhadap seorang pewaris adalah tergantung pada

kebijaksanaan pengadilan untuk menentukan Surat Keterangan Waris

mana yang otentik terhadap seorang pewaris, dan yang terakhir

menyimpulkan bahwa saksi dan tanggungjawab Notaris apabila keliru

dalam membuat Surat Keputusan Waris adalah atas dasar Pasal 1365

KUHPerdata karena Undang-Undang Jabatan Notaris hanya

mengatur sanksi dan tanggungjawab Notaris apabila akta otentik yang

dibuat oleh Notaris hanya berlaku sebagai akta di bawah tangan dan

tidak mengatur sanksi dan tanggungjawab Notaris dalam membuat

akta di bawah tangan.

3. Hendri Dharma Suryadi, Fakultas Hukum Universitas Andalas,

dengan judul “Pembuatan Surat Keterangan Waris dalam Proses

Peralihan Hak Atas Tanah Karena Pewarisan di Kota Padang”. 11

Karya ilmiah ini merumuskan mengenai bagaimana pembuatan

surat keterangan waris di Kota Padang, bagaimana pembedaan

pembuatan surat keterangan waris pada peralihan hak atas tanah

karena pewarisan, dan bagaimana akibat hukum pembuatan surat

keterangan waris yang berbeda proses pembuatannya. Penelitan

tersebut menunjukkan bahwa pembuatan surat keterangan waris di

Kota Padang masih mengikuti ketentuan Pasal 111 ayat (1) huruf c

11
Hendri Dharma Suryadi, Universitas Andalas, dengan judul “Pembuatan
Surat Keterangan Waris dalam Proses Peralihan Hak Atas Tanah Karena Pewarisan di
Kota Padang”.
14

angka 4 sebagaimana dimaksud sehingga untuk golongan pribumi

disahkan oleh Lurah/Camat, golongan timur asing tionghoa disahkan

notaris, dan golongan timur asing lainnya disahkan oleh Balai Harta

Peninggalan.

Pembedaan dalam pembuatan surat keterangan waris di Kota

Padang dipengaruhi oleh pluralism hukum waris yaitu hukum waris

adat, hukum waris islam, hukum waris perdata, sehingga pembuatan

surat keterangan waris mengikuti hukum waris dari pewaris. Akibat

pembedaan dalam pembuatan surat keterangan waris di Kota Padang

mengakibatkan kepastian hukum akan berjalan dengan baik karena

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana

dimaksud tidak menginginkan adanya pembedaan atas dasar

golongan penduduk, sehingga pembedaan atas dasar golongan

penduduk dalam pembuatan surat keterangan waris tidak sah.

4. Jahja Santoso, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, dengan judul

“Tanggung gugat Notaris Dalam Pembuatan Keterangan Waris”. 12

Karya ilmiah ini merumuskan bagaimana tanggunggugat notaris

dalam pembuatan keterangan waris dan sehubungan dengan adanya

dualism bentuk keterangan waris, yaitu pembuatan secara notarial

akta dan secara brevet akta, apakah dengan adanya kedua bentuk

tersebut dapat memperkecil tanggunggugat notaris. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa tanggunggugat notaris dalam pembuatan

12
Jahja Santoso, Universitas Airlangga, dengan judul “Tanggunggugat Notaris
dalam Pembuatan Keterangan Waris”.
15

keterangan waris ditinjau dari aspek hukum perdata adalah kinerja

notaris dalam memberikan pelayanan jasa kepada klien, notaris harus

cermat dan berhati-hati serta memahami prinsip kebenaran terhadap

apa yang diinginkan klien, artinya jangan sampai karena nasihat atau

keterangan-keterangan notaris yang salah menyebabkan isi akta juga

salah, padahal notaris tidak bertanggung jawab atas isi akta yang

dibuat di hadapannya.

Notaris dalam praktik khususnya dalam pembuatan keterangan

waris memang terdapat dualism bentuk yaitu kalangan notaris yang

beraliran paham memakai bentuk secara notarial akta berjudul

keterangan waris dan kalangan notaris yang beraliran paham memakai

bentuk secara brevet akta dengan judul keterangan hak waris.

Kehadiran kedua bentuk keterangan waris tersebut belum dapat

memperkecil tanggung gugat notaris di Indonesia.

5. Adit Wiratama, Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara, dengan

judul Akta Pembagian Hak Bersama yang Dibuat Notaris berdasarkan

Surat Keterangan Waris Palsu atau Dipalsukan (Studi Kasus Putusan

Mahkamah Agung Nomor 688/K/Pid/2017).13

Penelitian ini merumuskan mengenai bagaimana akibat hukum

akta pembagian hak Bersama yang dibuat notaris berdasarkan surat

keterangan waris yang dipalsukan. Hasil penelitian menunjukkan

13
Adit Wiratama, Universitas Tarumanegara, dengan judul “Akta Pembagian
Hak Bersama yang Dibuat Notaris Berdasarkan Surat Keterangan Waris Palsu atau
Dipalsukan (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 688 K/Pid/2017)”.
16

bahwa akibat hukum dari surat keterangan waris yang dipalsukan

dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 688 K/Pid/2017 yaitu akta

pembagian hak Bersama menjadi batal demi hukum atau dapat

dibatalkan.

Berdasarkan penelitian atau tesis diatas terdapat persamaan tema yang

akan diteliti yakni pembuatan surat keterangan waris. Sedangkan

perbedaannya penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah menjelaskan

peran Notaris dalam pembuatan Surat Keterangan Waris terkait masih

adanya penggolongan penduduk di Indonesia dan menjelaskan kendala

yang dialami Notaris dalam pembuatan Surat Keterangan Waris di

Indonesia.

F. Tinjauan pustaka

Sebuah penelitian ilmiah memerlukan teori yang berguna sebagai

pisau analisis yang akan digunakan untuk membedah tema penelitian yang

akan diangkat. Penelitian ini akan dianalisis dengan beberapa teori yang

dikemukakan oleh para ahli dan tokoh, yaitu:

1. Teori Perlindungan Hukum

Teori perlindungan hukum akan relevan untuk membahas

penelitian ini. Notaris yang merupakan perpanjangan tangan dari

negara yang disahkan oleh undang-undang sebagai pelaksana

kepentingan negara dalam melayani masyarakat perihal pembuatan

akta otentik sudah semestinya mendapatkan perlindungan dari negara.

Notaris merupakan pejabat umum yang diangkat oleh Menteri atas


17

persetujuan presiden, diwajibkan untuk ikut serta dalam proses

penyelenggaraan negara dalam pelayanan hukum perdata, tetapi di sisi

yang lain notaris juga sebagai warga negara Indonesia yang

berdasarkan UUD 1945 berhak untuk memperoleh perlindungan

hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Oleh karena itu,

maka akan ditelaah mengenai bagaimana negara atau pemerintah

memberikan perlindungan hukum terhadap Notaris dalam

menjalankan tugas dan wewenangnya.

Terkait dengan teori perlindungan hukum, bahwa hukum

bertujuan mengintegerasikan dan mengkoordinasikan berbagai

kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas

kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan di lain pihak.

Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia,

sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk mententukan

kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi. Perlindungan

hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari

suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan

oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan

masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan perilaku antara

anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan

pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat.14

14
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000, hlm. 53.
18

Menurut Satjipto Rahardjo, Perlindungan hukum adalah

memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang

dirugikan oleh orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada

masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh

hukum. 15

Philipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi rakyat

sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan resprentif.

Perlindungan hukum preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya

sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati

dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi dan perlindungan

hukum yang resprensif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa,

termasuk penangannnya di lembaga peradilan. 16 Sedangkan menurut

Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra bahwa hukum dapat difungsikan untuk

mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan

fleksibel, melainkan predektif dan antipatif.

2. Teori Kewenangan

Kewenangan atau wewenang memiliki kedudukan penting

dalam kajian hukum tata Negara dan hukum administrasi.

Kewenangan atau wewenang adalah kekuasaan hukum, hak untuk

memerintah atau bertindak; hak atau kekuasaan pejabat public untuk

mematuhi aturan hukum dalam lingkup melaksanakan kewajiban

15
Ibid., hlm. 69
16
Ibid., hlm. 71
19

publik.17 Wewenang sebagai konsep hukum publik sekurang-

kurangnya terdiri dari tiga komponen, yaitu: pengaruh, dasar hukum

dan konformitas hukum.

a. Komponen pengaruh adalah bahwa penggunaan wewenang

dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subjek hukum.

b. Komponen dasar hukum adalah bahwa wewenang itu selalu dapat

ditunjukkan dasar hukumnya.

c. Komponen konformitas hukum adalah mengandung makna adanya

standar wewennag yakni standar umum (semua jenis wewenang)

dan standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu).

Sejalan dengan pilar utama Negara hukum yaitu asas legalitas,

atas dasar prinsip tersebut bawah wewenang pemerintahan berasal dari

peraturan perundang-undangan. Pada setiap perbuatan pemerintah

disyaratkan harus bertumpu pada kewenangan yang sah. Tanpa adanya

kewenangan yang sah, seorang pejabat atau badan tata usaha negara

tidak dapat melakukan suatu perbuatan pemerintah. Kewenangan yang

sah merupakan atribut bagi setiap pejabat atau bagi setiap badan.

Kewenangan yang sah bila ditinjau dari sumber darimana kewenangan

itu lahir atau diperoleh, maka terdapat tiga kategori kewenangan,

yakni:

a. Kewenangan Atribut

17
Nur Basuki Winanmo, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi,
laksbang mediatama, Yogyakarta, 2008, hlm. 65.
20

Kewenangan atribut biasanya digariskan atau berasal dari

adanya pembagian kekuasaan oleh peraturan perundang-undangan.

Dalam pelaksanaan kewenangan atributif ini pelaksanaanya dilakukan

sendiri oleh pejabat atau badan yang tertera dalam peraturan dasarnya.

Terhadap kewenangan atribut mengenai tanggung jawab dan tanggung

gugat berada pada pejabat atau badan sebagaimana tertera dalam

peraturan dasarnya.

b. Kewenangan Delegatif

Kewenangan delegatif bersumber dari pelimpahan suatu organ

pemerintahan kepada organ lain dengan dasar peraturan perundang-

undangan. Dalam hal kewenangan delegatif tanggung jawab dan

tanggung gugat beralih kepada yang diberi wewenang tersebut dan

beralih pada delegataris.

c. Kewenangan Mandat

Kewenangan mandate merupakan kewenangan yang

bersumber dari proses atau prosedur pelimpahan dari pejabat atau

badan yang lebih tinggi kepada pejabat atau badan yang lebih rendah.

Kewenangan mandate terdapat hubungan rutin atasan dan bawahan,

kecuali bila dilarang secara tegas.18

Seorang Notaris dalam menjalankan tugasnya, harus mengikuti

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengenai kewenangan

dan kewajiban Notaris diatur melalui Undang-undang Nomor 30

18
Ibid., hlm.70-75
21

Tahun 2004 yang telah diubah melalui Undang-undang Nomor 2

Tahun 2014. Berdasarkan aturan tersebut Notaris memiliki

kewenangan untuk membuat akta otentik tentang semua perbuatan,

perjanjian, dan penetapan yang diwajibkan oleh peraturan perundang-

undangan maupun yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta

tersebut. Selain itu, Notaris juga mempunyai keweangan untuk

menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta,

memberikan grosse, serta membuat salinan dan kutipan akta.

Berkaitan dengan pembahasan tema penelitian, teori kewenangan

digunakan untuk menganalisis kewenangan-kewenangan notaris

khususnya untuk mengetahui apakah notaris memiliki wewenang

dalam hal pembuatan surat keterangan waris.

3. Teori Kepastian Hukum

Kepastian hukum merupakan salah satu tujuan hukum yang

dapat juga disebut dengan bagian dari upaya mewujudkan suatu

keadilan. Bentuk riil dari kepastian hukum yaitu adanya pelaksanaan

atau penegakan hukum terhadap suatu perbuatan tanpa melihat siapa

yang melakukan perbuatan tersebut. Dengan adanya kepastian hukum

setiap orang dapat memperkirakan apa yang akan dialami jika

melakukan tindakan hukum tertentu. Kepastian akan mengarahkan

masyarakat kepada ketertiban. 19

19
Bodenheimer dalam Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung, PT Citra Aditya Bakti,
2006, Halaman277.
22

Kepastian adalah perihal keadaan yang pasti, ketentuan atau

ketetapan. Hukum secara hakiki harus pasti dan adil. Pasti sebagai

pedoman kelakuan dan adil karena pedoman kelakuan itu harus

menunjang suatu tatanan yang dinilai wajar. Hanya karena bersifat adil

dan dilaksanakan dengan pasti hukum dapat menjalankan fungsinya.

Kepastian hukum merupakan pernyataan yang hanya bisa dijawab

secara normatif, bukan sosiologi.

Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma

adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das

sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang

harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang

deliberative. Undang-undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat

umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam

bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesame individu maupun

dalam hubungan dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi

batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan

terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut

menimbulkan kepastian hukum. 20

Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan

dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara logis dan

jelas. Jelas dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma

lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma.

20
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum , Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 58
23

Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas,

tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat

dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif. Kepastian

dan keadilan bukanlah sekedar tuntutan formal, melainkan secara

factual mencirikan hukum. Suatu hukum yang tidak pasti dan tidak

mau adil bukan sekedar hukum yang buruk.21

Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua

pengertian, yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat

individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh

dilakukan, dan yang kedua, berupa keamanan hukum bagi individu

dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang

bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh

dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian

hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik yang didasarkan pada

aliran Positivisme di dunia hukum yang cenderung melihat hukum

sebagai sesuatu yang mandiri, karena bagi penganut aliran ini, tujuan

hukum tidak lain sekedar menjamin terwujudnya oleh hukum yang

bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan

bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkann keadilan atau

kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian. 22

G. Metode Penelitian

21
Ibid., hlm. 60.
22
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya, Bandung, 1999,
hlm.23.
24

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah

penelitian normatif dengan kata lain penelitian ini menggunakan

pendekatan ilmu perundang-undangan (statute approach), yaitu dengan

menelaah semua undang-undang dan regulasi yang berkaitan dengan isu

hukum yang sedang diteliti serta pendekatan konsep (conceptual

approach) yang merujuk pada doktrin-doktrin hukum yang ada. 23

Pendekatan yuridis normatif menggunakan konsep legis positivis yang

memandang hukum identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan

diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. Dalam hal ini

yang menjadi objek yuridis normatif yaitu menelaah, mengintepretasikan,

serta menganalisis kewenangan Notaris dalam hal pembuatan surat

keterangan waris berdasarkan penggolongan penduduk di Indonesia.

Penelitian ini termasuk kedalam penelitian yuridis normatif karena

penelitian ini hendak membahas dan mengetahui mengenai kewenangan

Notaris dalam hal pembuatan surat keterangan waris berdasarkan

penggolongan penduduk di Indonesia.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian dilakukan dengan:

a. Pendekatan undang-undang, yaitu pendekatan tersebut dilakukan

dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut

paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Pendekatan ini

23
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta,
1986, hlm. 43.
25

digunakan untuk mempelajari konsistensi dan kesesuaian antara suatu

peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya.24

Pendekatan perundang-undangan ini akan digunakan sebagai pisau

analisis dan menjawab permasalahan mengenai kewenangan notaris

dalam hal pembuatan surat keterangan waris berdasarkan

penggolongan penduduk di Indonesia.

b. Pendekatan konseptual, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara

melakukan penelusuran terhadap pandangan-pandangan dan doktrin-

doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. Saat mempelajari

pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di

bidang hukum, penulis akan menemukan ide-ide yang akan

melahirkan pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas

hukum yang relevan dengan isu yang sedang dihadapi berkaitan

dengan peran notaris dalam pembuatan surat keterangan waris terkait

penggolongan penduduk di Indonesia.

c. Pendekatan historis, merupakan pendekatan yang didasarkan pada

perspektif sejarah. Ada dua macam penafsiran terhadap aturan

perundang-undangan, yaitu pertama penafsiran menurut sejarah

hukum dan yang kedua penafsiran menurut sejarah penetapan

peraturan perundang-undangan. Pendekatan historis yang digunakan

dalam penelitian ini adalah menurut sejarah hukum (rechthistorical

interpretatie) yaitu memahami hukum pada masa sekarang dengan

24
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005, hlm. 35.
26

mempelajari sejarah hukumnya terlebih dahulu, guna menemukan

konsep ke depan dalam menentukan mengenai kewenangan notaris

dalam hal pembuatan surat keterangan waris.

3. Fokus Penelitian

Penelitian ini difokuskan untuk mengkaji:

a. Peran Notaris dalam pembuatan surat keterangan waris yang terkait

dengan penggolongan penduduk di Indonesia.

b. Peran Notaris dalam pembuatan Surat Keterangan Waris terkait masih

adanya penggolongan penduduk di Indonesia.

4. Sumber Data Penelitian

Data penelitian ini berdasarkan dari sumbernya terdiri dari data

sekunder yang diperoleh dari peneliti secara tidak langsung melalui studi

kepustakaan yang terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yaitu bahan yang mempunyai kekuatan

mengikat secara yuridis yang bersifat autoritatif yang artinya memiliki

otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri atas peraturan perundang-

undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan

peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan

hukum primer yang akan digunakan meliputi:

1) Undang-undang:
27

a. Staadblad Nomor 3 Tahun 1860 tentang Peraturan Jabatan

Notaris di Indonesia;

b. Undang-Undang Dasar 1945;

c. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

d. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan

Notaris

e. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan

atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan

Notaris.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan-

bahan hukum primer yang berupa buku-buku literature hukum, buku

hukum waris, buku kenotariatan dan tesis.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang diperoleh dari kamus

hukum yang memberi petunjuk atau penjelasan mengenai data primer

maupun data sekunder.

5. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini melalui studi

pustaka dan studi dokumen, yaitu pengumpulan bahan hukum dengan

mengkaji, menelaah dan mempelajari jurnal, hasil penelitian hukum dan

mengkaji berbagai dokumen resmi yaitu peraturan perundang-


28

undangan, risalah siding dan literature yang berhubungan dengan

permasalahan yang akan diteliti.

6. Analisis Data

Penelitian ini akan menguraikan masalah dengan menelaah secara

mendalam dan komprehensif terkait dengan aturan-aturan terkait. Bahan

hukum yang dikumpulkan kemudian disusun secara sistematis dan

diorganisasikan sesuai dengan permasalahan-permasalahan yang

diteliti. Data yang diperoleh dari studi dokumen pada dasarnya

merupakan data tataran disajikan dalam bentuk deskriptif kemudian

dianalisis secara yuridis normatif yaitu setelah data terkumpul kemudian

dituangkan dalam bentuk urairan logis dan sistematis, selanjutnya

dianalisis untuk memperoleh kejelasan penyelesaian masalah kemudian

ditarik simpulan secara deduktif yaitu dari hal yang bersifat umum

menuju hal yang bersifat khusus. 25 Data tersebut kemudian dianalisis

secara interpretatif menggunakan teori maupun hukum, asas-asas

hukum dan konsep hukum yang telah ditentukan oleh peneliti, melalui

analisis studi dapat ditarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan

yang ada.

H. Sistematika Tesis

Dalam penelitian berjudul “Peran Notaris Dalam Pembuatan Surat

Keterangan Waris Terkait Penggolongan Penduduk Di Indonesia” ini untuk

memberikan gambaran secara menyeluruh tentang tesis, maka secara garis

25
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan, 2013.
29

besar sistematikanya berisi sajian tentang sistematika pikir yang diterapkan

oleh peneliti dalam rangka menyusun dan merumuskan hasil penelitiannya

dalam bentuk tesis. Adapun sistematika penulisannya terdiri dari 4 (empat)

bab yaitu sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN berisi mengenai pendahuluan dimana

penulis menjelaskan dan menjabarkan pendahuluan dari tesis ini.

Pendahuluan terdiri dari beberapa sub bab antara lain yaitu Latar Belakang,

Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka

Pemikiran, Metode Penelitian, Orisinalitas Penelitian, Jadwal Penelitian,

dan Sistematika Penulisan.

BAB II SURAT KETERANGAN WARIS YANG DIBUAT

OLEH NOTARIS menjelaskan mengenai tinjauan pustaka dimana

tinjauan pustaka itu sendiri memuat uraian tentang kajian teoritik yang

menjadi dasar-dasar penelitian seperti teori hukum serta hal-hal yang

berkenaan dengan tema tesis ini yaitu mengenai peranan notaris dalam

pembuatan Surat Keterangan Waris berkaitan dengan penggolongan

penduduk di Indonesia melalui penelusuran bahan-bahan pustaka yang

relevan dengan permasalahan yang diteliti dan tujuan penelitian.

BAB III PENGGOLONGAN PENDUDUK DITINJAU DARI

UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 DAN UNDANG-

UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2008 berisi hasil penelitian mengenai

penggolongan penduduk berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun


30

2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dan Undang-undang

Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

BAB IV PERAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN SURAT

KETERANGAN WARIS TERKAIT PENGGOLONGAN

PENDUDUK DI INDONESIA berisi tentang hasil penelitian dan

pembahasan sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang

telah ditentukan yang meliputi:

1. Apakah Notaris mempunyai peran dalam pembuatan surat

keterangan waris yang terkait dengan penggolongan penduduk

di Indonesia?

2. Bagaimana peran Notaris dalam pembuatan Surat Keterangan

Waris terkait masih adanya penggolongan penduduk di

Indonesia?

BAB V PENUTUP merupakan bab terakhir dalam penyusunan tesis

yaitu bab penutup yang berisikan mengenai simpulan dari hasil penelitian

terhadap permasalahan yang telah diuraikan dan dijelaskan sedemikian

rupa, serta saran-saran yang diberikan oleh penulis kepada pihak-pihak yang

terkait dalam pembahasan tesis ini.


31
BAB II

SURAT KETERANGAN WARIS YANG DIBUAT OLEH NOTARIS

A. Tinjauan Umum Surat Keterangan Waris

Seorang ahli waris tidak dapat secara langsung memiliki kewenangan

untuk mengalihkan kepemilikan harta warisan yang diturunkan oleh Pewaris.

Ahli waris wajib bertindak sesuai ketentuan yang ada terhadap harta warisan

yang menjadi haknya itu dengan menerbitkan surat keterangan waris sebagai

syarat utama. Surat keterangan waris itu adalah sebagai tanda bukti bahwa ahli

waris merupakan orang yang benar-benar memiliki hak atas harta warisan

tersebut.

Surat Keterangan Waris adalah surat yang memuat keterangan yang benar

dan jelas tentang siapa saja yang memiliki hak atas harta yang telah ditinggal

oleh pewaris. Harta ini dapat berupa harta bergerak dan harta tidak bergerak,

baik berwujud ataupun tidak berwujud. Untuk mengalihkan hak yang

disebabkan oleh pewarisan, seperti balik nama dari pemegang sertifikat hak

orang yang sudah meninggal dunia kepada orang yang berhak, ahli waris dapat

membuat surat keterangan ahli waris yang prosedur pembuatannya dilakukan

dengan cara memohon untuk balik namanya di kantor pertanahan setempat

melaui tata cara perolehan sertipikat hak atas tanah yang syarat dan

ketentuannya harus dipenuhi yaitu:

1. Surat permohonan;

2. Sertipikat hak atas tanah;

31
32

3. Surat keterangan kematian dari yang berwenang;

4. Surat keterangan ahli waris dari yang berwenang;

5. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau identitas diri para ahli waris;

6. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau identitas diri penerima kuasa

yang disertai surat kuasa jika permohonanya dikuasakan;

7. Fotokopi SPPT-PBB tahun berjalan;

8. Bukti pelunasan BPHTB terutang.

Berpindah tangannya hak itu dapat terjadi sebagaimana yang disebutkan

dalam Pasal 20 ayat (2) UUPA yang menyebutkan bahwa hak milik atas tanah

dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Dalam hal ini penerima hak yang

baru wajib mendaftarkan peralihan hak milik atas tanah yang diterimanya

dalam rangka memberikan perlindungan hak kepada pemegang hak atas tanah

yang baru demi ketertiban tata usaha pendaftaran tanah. 26

Persyaratan itu ditujukan oleh pemohon kepada kantor pertanahan

setempat dengan persyaratan antara lain

1. Subyek hak balik nama sebab waris adalah segenap ahli waris ab-

intestato tanpa membedakan kewarganegaraan kecuali testamentair.

2. Objek hak balik nama waris adalah semua jenis hak atas tanah yang

dapat dipunyai oleh ahli waris.

3. Kewenangan membuat surat keteragan kematian ;

a. Keturunan Tionghoa dari kantor catatan sipil, dan;

26
Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan, Cetakan Kedua,
Bandung, Citra Aditya Bakti, 2013, Halaman 84.
33

b. Bukan keturunan Tionghoa dari Lurah/Kepala Desa, rumah sakit

atau instansi lainnya.

4. Kewenangan membuat surat keterangan ahli waris, yaitu untuk para

ahli waris ;

a. Keturunan Tionghoa dibuat di hadapan Notaris;

b. Keturunan Timur Asing lainnya di buat di hadapan Pejabat Balai

harta Peninggalan atau Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama;

c. Warga Negara Indonesia Asli dibuatoleh para ahli waris dengan

disaksikan oleh Lurah /Kepala Desa dan dikuatkan oleh Camat.

5. Setiap fotokopi persyaratan sudah dilegalisir oleh pejabat yang

berwenang.

1. Pengertian Surat Keterangan Waris

Surat keterangan ahli waris merupakan surat yang memuat keterangan

benar dan jelas tentang siapa saja yang memiliki hak atas harta yang

ditinggalkan pewaris. Harta warisan dapat berupa harta bergerak dan harta

tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud. Surat keterangan waris

adalah alat bukti yang diketahui dalam ranah hukum waris sebagai suatu

alat yang berfungsi sebagai bukti tertulis yang dipakai seseorang untuk

menunjukkan bahwa seseorang tersebut merupakan benar pihak yang

memiliki hak untuk bertindak sebagai ahli waris si pewaris. Surat

keterangan waris diterbitkan oleh pejabat yang memiliki wewenang dan

disusun oleh ahli waris sendiri, sehingga bentuk surat keterangan waris bisa

dalam bentuk akta otentik ataupun akta di bawah tangan.


34

Pasal 42 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah menyatakan bahwa pengalihan hak yang timbul karena

pewarisan untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan mengenai

bidang tanah hak yang sudah didaftar dan hak milik atas satuan rumah

susun sebagai yang diwajibkan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 36, wajib diserahkan oleh yang menerima hak atas tanah atau

hak milik atas satuan rumah susun yang bersang-kutan sebagai warisan

kepada Kantor Pertanahan, sertipikat hak yang bersangkutan, surat

kematian orang yang namanya dicatat sebagai pemegang haknya dan surat

tanda bukti sebagai ahli waris.

Surat keterangan ahli waris berisi antara lain

a. Nama lengkap dan alamat terakhir pewaris;

b. Nama lengkap dan tempat tinggal para ahli waris, jika ada ahli

waris yang belum dewasa sedapat mungkin di catat tanggal

kelahirannya;

c. Ada tidaknya pewaris meninggalkan surat wasiat;

d. Disebutkan hak bagian dari para ahli waris;

e. Nama lengkap dan alamat para wakil;

f. Penyebutan dasar hubungan pewaris dengan para ahli waris;

g. Semua pembatasan kewenangan yang diamanatkan oleh pewaris

dan mereka yang terkena pembatasan;

h. Suatu pernyataan dari pejabat yang membuat akta bahwa ia yakin

akan kebenaran semua yang termuat di dalamnya.


35

Landasan dibuatnya surat keterangan waris di Indonesia sampai

sekarang belum ada ketentuan yang secara jelas mengaturnya, sehingga

ketentuannya disamakan dengan ketentuan yang sudah berlaku. Contohnya

perihal pendaftaran tanah diatur dalam ketentuan Peraturan Menteri Negara

Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,

perihal pengalihan hak atas tanah yang membutuhkan dasar hak berupa

keterangan waris yang diterbitkan oleh pejabat/pihak-pihak yang memiliki

wewenang. Hal ini disebutkan dalam ketentuan Pasal 111 ayat (1) huruf c

angka 4 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997

yang menyatakan

1. Bagi warga negara Indonesia penduduk asli: surat keterangan ahli

waris yang dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh 2

(dua) orang saksi dan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan

Camat tempat tinggal pewaris pada waktu meninggal dunia;

2. Bagi warga negara Indonesia Keturunan Tionghoa: akta

keterangan hak mewaris dari Notaris

3. Bagi warga negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya: surat

keteragan waris dari Balai Harta Peninggalan.

Menurut ketentuan itu, surat keterangan waris diterbitkan dalam

bentuk yang tidak sama karena surat keterangan waris itu juga dibuat oleh

pihak atau pejabat yang memiliki wewenang berbeda. Pihak yang memiliki
36

wewenang untuk menerbitkan surat keterangan waris yaitu ahli waris,

Notaris dan Balai Harta peninggalan.

2. Kewenangan Pihak Yang Dapat Menerbitkan Surat Keterangan

Waris

Berkaitan dengan pengalihan hak atau pendaftaran hak yang timbul

karena pewarisan wajib disertai dengan dasar hak yang berupa surat

keterangan waris, yaitu suatu tanda bukti untuk membuktikan bahwa benar

ahli waris tersebut yang diterbitkan oleh pejabat/pihak-pihak yang

memiliki wewenang sebagaimana diatur dalam ketentuan Surat Edaran

Departemen Dalam Negeri Direktorat Jendral Agraria Tanggal 20

Desember 1969 Nomor: Dpt/12/63/12/69 tentang Surat Keterangan Ahli

Waris dan Pembuktian Kewarganegaraan juncto Peraturan Menteri Negara

Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Pasal

111 ayat (1) huruf c angka 4. Pihak yang berwenang dalam membuat surat

keterangan waris beradasarkan ketentuan tersebut ialah :

a. Ahli Waris Yang Dikuatkan Oleh Kepala Desa/Lurah dan Camat

Berdasarkan ketentuan Pasal 111 ayat (1) huruf c angka 4 Peraturan

Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang

Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah, surat keterangan ahli waris bagi warga

negara Indonesia Asli atau Pribumi dibuat oleh para ahli waris dengan

disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan kemudian dikuatkan oleh


37

Kepala Desa/Lurah dan Camat tempat pewaris meninggal dunia.

Merujuk pada ketentuan tersebut, Kepala Desa/Lurah dan Camat diberi

kewenangan untuk menguatkan surat keterangan ahli waris yang dibuat

sendiri oleh ahli waris. Jika ditinjau dari tugas dan kewenangannya,

Kepala Desa diatur pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang

Desa dan tugas serta wewenang Lurah dan Camat diatur pada Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Kewenangan Kepala Desa diatur pada Pasal 26 ayat (1) dan ayat

(2) Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa :

(1) Kepala desa bertugas menyelenggarakan Pemerintahan Desa,

melaksanakan Pembangunan Desa, pembinaan

kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa

(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), Kepala Desa berwenang :

a. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan Desa;

b. Mengangkat dan memberhentikan perangkat Desa;

c. Memegang kekuasaan pengelolaan keuangan dan Aset

Desa;

d. Menetapkan peraturan Desa;

e. Menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa;

f. Membina kehidupan masyarakat Desa;

g. Membina ketentraman dan Ketertiban masyarakat Desa;


38

h. Membina dan meningkatkan Perekonomian Desa serta

mengintegrasikannya agar mencapai perekonomian skala

produktif untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat

Desa;

i. Mengembangkan sumber pendapatan Desa;

j. Mengusulkan dan menerima pelimpahan sebagian

kekayaan negara guna meningkatkan kesejahteraan

masyarakat Desa;

k. Mengembangkan kehidupan sosial budaya masyarakat

Desa;

l. Memanfaatkan teknologi tepat guna;

m. Mengkoordinasikan pembangunan Desa secara partisipatif;

n. Mewakili desa di dalam dan di luar pengadilan atau

menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan

ketentuan peraturan peundang-undangan.

Kewenangan dan tugas Camat diatur dalam Pasal 225 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah:

(1) Camat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 ayat (1)

mempunyai tugas:

a. Menyelenggaraan urusan pemerintahan umum

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (6);

b. Mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat;


39

c. Mengoordinasikan upaya penyelenggaraan ketenteraman

dan ketertiban umum;

d. Mengoordinasikan penerapan dan penegakan Perda dan

Perkada;

e. Mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan sarana

pelayanan umum;

f. Mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan

pemerintahan yang dilakukan oleh Perangkat Daerah di

Kecamatan;

g. Membina dan mengawasi penyelenggaraan kegiatan Desa

dan/atau kelurahan;

h. Melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi

kewenangan Daerah kabupaten/kota yang tidak

dilaksanakan oleh unit kerja Perangkat Daerah

kabupaten/kota yang ada di Kecamatan; dan

i. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Kewenangan Lurah diatur pada ketentuan Pasal 229 ayat (4)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah :

(1) Lurah mempunyai tugas membantu camat dalam:

a. Melaksanakan kegiatan pemerintahan kelurahan;

b. Melakukan pemberdayaan masyarakat;

c. Melaksanakan pelayanan masyarakat;


40

d. Memelihara ketenteraman dan ketertiban umum;

e. Memelihara prasarana dan fasilitas pelayanan umum;

f. Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh camat; dan

g. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Berdasarkan peraturan-peraturan itu menunjukkan bahwa tidak ada

ketentuan yang menjelaskan atau menyebutkan secara langsung tentang

kewenangan Kepala Desa/Lurah dan Camat dalam hal pemberian

kekuatan surat keterangan ahli waris warga Indonesia Asli atau pribumi

sebagaimana dimaksud Pasal 111 ayat (1) huruf c angka 4 Peraturan

Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang

Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah. Hal ini menyebabkan dapat timbul adanya

multi tafsir yang dikarenakan oleh adanya perbedaan antara ketentuan-

ketentuan yang berkaitan dengan surat keterangan waris dan tugas serta

kewenagan Kepala Desa/Luran dan Camat tersebut.

b. Notaris

Notaris juga merupakan pihak yang berwenang untuk membuat

surat keterangan waris berdasarkan Pasal 42 ayat (1) Peraturan

Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Jo Pasal 111

ayat (1) huruf c angka 4 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN

No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan

Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yaitu :


41

a) Mengatur mengenai pendaftaran peralihan hak karena pewarisan

sebagaimana dimaksud pasal 42 (1) yang menerangkan mengenai

kebutuhan persyaratan berupa dokumen-dokumen yang salah

satunya ialah surat tanda bukti sebagai ahli waris, dan ;

b) Pasal 111 ayat (1) huruf c angka 4 Peraturan Menteri Negara

Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 yang menyebutkan

wewenang notaris membuat keterangan waris bagi warga negara

Indonesia Keturunan Tionghoa dengan akta keterangan hak mewaris

dari Notaris.

Notaris merupakan pejabat umum yang berwenang membuat akta

otentik dan mempunyai wewenang lain sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Jabatan Notaris. Akta otentik yang diterbitkan oleh

notaris adalah alat bukti tertulis sempurna, sehingga notaris memiliki

peran yang penting berkaitan dengan pembuktian di bidang hukum

perdata khususnya di dalam bidang hukum waris. Hal ini dapat

dibuktikan dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014

tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang

Jabatan Notaris ;

(1) Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua

perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh

peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh

yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik,

menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta,


42

memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu

sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau

dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan

oleh undang-undang.

(2) Selain wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris

juga memiliki wewenang:

a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal

surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

b. Membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam

buku khusus;

c. Membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan

yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan

dalam surat yang bersangkutan;

d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat

aslinya;

e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan

pembuatan akta;

f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau

g. Membuat akta risalah lelang.

(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat

(2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam

peraturan perundang-undangan.
43

Pasal 15 Undang-Undang Jabatan Notaris tersebut belum mengatur

tentang wewenang notaris ketika menyusun surat keterangan waris,

meskipun dalam ayat ketiga menyatakan bahwa bahwa notaris juga

mempunyai wewenang yang lain yang sebagaimana diatur dalam

peraturan perundang-undangan.

c. Balai Harta Peninggalan

Balai harta peninggalan ada di dalam lingkup Kantor Wilayah

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dibawah Divisi

Pelayanan Hukum dan HAM, yang mempuyai tanggung jawab

langsung kepada Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum

melalui Direktorat Perdata. Menurut ketentuan pada ayat 1 pasal 14 dari

Instruksi Voor de Gouvernements Landmeters dalam Stbl. 1916 No.

517, jo Surat Menteri Dalam Negeri Cq. Kepala Direktorat Pendaftaran

Tanah Direktorat Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri tanggal

20 Desember 1969 Nomor: DPT/12/63/12/69 jo. Peraturan Menteri

Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997

tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun

1997 tentang Pendaftaran Tanah Balai Harta Peninggalan adalah

instansi yang memiliki wewenang untuk membuat Surat Keterangan

Hak Mewaris khususnya untuk penduduk yang masuk dalam golongan

Timur Asing.

Balai Harta Peninggalan bertugas dan memiliki fungsi

sebagaimana berpatokan pada ketentuan yang ada dalam Pasal 2 dan 3


44

Surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor

M.01.PR.07.01-80 Tahun 1980 Tentang Organisasi dan Tata Kerja

Balai Harta Peninggalan. Pasal 2 dan 3 Surat Keputusan Menteri

Kehakiman menyatakan bahwa tugas utama dan fungsi dari Balai Harta

Peninggalan adalah:

Pasal 2 :

Tugas Balai Harta Peninggalan ialah mewakili dan mengurus

kepentingan orang-orang yang karena hukum atau keputusan

Hakim tidak dapat menjalankan sendiri kepentingannya

berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Pasal 3 :

Untuk menyelenggarakan tugas tersebut pada pasal 2, Balai Harta

Peninggalan mempunyai fungsi :

1. Melakukan penyelesaian masalah Perwalian, Pengampunan,

Ketidak Hadiran dan Harta Peninggalan yang tidak ada

kuasanya dan lain- lain masalah yang diatur dalam Peraturan

Perundang- undangan.

2. Melaksanakan Pembukuan dan Pendaftaran surat Wasiat sesuai

dengan Peraturan Perundang- undangan.

3. Melaksanakan penyelesaian masalah Kepailitan sesuai dengan

Peraturan Perundang-undangan.

3. Kedudukan Surat Keterangan Waris


45

Landasan pada saat membuat surat keterangan waris di Indonesia

hingga sekarang belum dimuat dalam ketentuan, sehingga ketentuannya

mengacu pada ketentuan yang sudah ada. Kepastian hukum mengenai surat

keterangan waris yang diterbitkan oleh pihak yang beda mengakibatkan

dampak bagi kedudukan pembuktiannya pun berbeda juga, yaitu:

1) Surat Keterangan Ahli Waris yang disusun sendiri oleh pihak ahli waris

dengan disaksikan 2 (dua) orang saksi dan dikuatkan oleh Kepala

Desa/Kelurahan dan Camat: maka kebenaran isinya merupakan

tanggungjawab para pihak yang membuat keterangan tersebut dan

aktanya merupakan akta dibawah tangan.

2) Secara khusus tidak dimuat ketentuan tentang hukum waris. Akta

keterangan waris yang diterbitkan oleh notaris terdapat pada Pasal 111

ayat (1) huruf c angka 4 PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997 adalah aturan

tentang pengalihan hak atas tanah yang timbul akibat pewarisan pada

saat itu yang sampai saat ini masih sah karena belum ada ketentuan

yang secara spesifik mengatur tentang hal itu, sehingga masih ada

penafsiran yang berbeda mengenai proses penyusunan bentuk surat

keterangan waris yang dibuat oleh Notaris. Terdapat berbagai macam

bentuk yang bisa dijadikan opsi oleh Notaris ketika membuat surat

keterangan waris, yaitu akta otentik yang mempunyai kekuatan

pembuktian yang sempurna antara lain

a. Keterangan waris yang dibuat oleh Notaris dalam bentuk Akta Pihak

(partij), yaitu akta yang dibuat di hadapan notaris, berisi uraian atau
46

keterangan, pernyataan para pihak yang disampaikan kepada notaris.

Dalam hal keterangan waris yang dibuat notaris dengan berdasarkan

kehendak dan pernyataan oleh para ahli waris mengenai siapa serta

saja ahli waris serta bagian hak-haknya, dan ;

b. Keterangan waris yang dibuat oleh Notaris dalam bentuk Akta

Relaas atau akta berita acara, yaitu akta yang dibuat oleh notaris

berisikan uraian notaris mengenai apa yang dilihat, disaksikan atau

dialami sendiri oleh notaris atas permintaan para pihak dan

dituangkan dalam akta.

Berkaitan dengan surat keterangan waris yang diungkapkan oleh Tan

Thong Kie proses penyusunan surat keterangan waris oleh notaris belum

memiliki aturan dasar. Surat keterangan waris hanya dijadikan sebagai

surat dibawah tangan yang disusun dan diterbitkan oleh notaris, artinya

kekuataannya sebagai pembuktian tidak sempurna dan mempunyai

persamaan kekuataan dengan surat-surat lainnya yang diterbitkan oleh

notaris seperti surat keterangan magang.

1) Surat keterangan waris yang dibuat oleh Balai Harta Peninggalan hanya

dijadikan sebagai surat dibawah tangan yang kekuataan pembuktiannya

tidak sempurna dan memiliki nilai yang sama terhadapt surat-surat lain

yang dikeluarkan oleh pihak pemerintah. Balai Harta Peninggalan

belum bisa disebut memberikan tambahan kekuatan terhadap

pembuktian surat keterangan waris ketika memenuhi kekuatan


47

pembuktian formil karena belum mencukupi persyaratan formal akta

otentik sama halnya Kepala Desa/Kelurahan dan Camat.

B. Akta Otentik

Alat bukti (bewijsmiddet) memiliki beberapa bentuk dan jenis. Alat

bukti dapat memberi keterangan dan penjelasan mengenai perkara-perkara

yang diajukan di Pengadilan. Alat bukti apa yang hendak diberikan oleh

para pihak untuk membuktikan gugatan atau melawan suatu gugatan.

Hukum positif yang berkaitan dengan pembuktian hingga sekarang masih

memegang beberapa macam alat bukti tertentu.27 Selain itu, tidak

diperkenankan untuk mengajukan alat bukti yang lain. Alat bukti yang

diberikan selain yang ditetapkan oleh undang-undang tidak sah untuk

dijadikan sebagai alat bukti, sehingga belum memiliki kekuatan yang cukup

sebagai alat pembuktian. Pihak-pihak yang memiliki sengketa dibatasi

untuk memberikan jenis atau bentuk yang dapat dijadikan alat bukti ketika

proses menyelesaikan sengketa. Ketentuan di dalam peraturan perundang-

undangan telah memberikan batasan mengenai apa saja yang dapat

digunakan dan yang memiliki nilai untuk dijadikan sebagai alat bukti. 28

Batasan-batasan mengenai kebebasan itu juga berlaku pada Hakim. Hakim

dibatasi dan tidak serta merta bebas menerima apa yang diberikan para pihak

sebagai alat bukti. Jika para pihak dalam persidangan menghadirkan bukti

27
Omear Moechtar, Perkembangan Hukum Waris Praktik Penyelesaian Sengketa Kewarisan,
Jakarta, Prenadamedia, 2019, Halama 10.
28
Ibid.
48

yang di luar penghitungan undang-undang, hakim harus menolaknya dan

mengesampingkannya. 29

Alat bukti yang ada ketika sengketa pidana memiliki perbedaan dengan

alat bukti yang ada pada sengketa perdata. Titik tumpu alat bukti tersebut

juga memiliki perbedaan. Sebagaimana ketentuan Pasal 184 Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana yang dapat dijadikan alat bukti terdiri dari:

a. Keterangan saksi;

b. Keterangan ahli;

c. Surat;

d. Petunjuk; dan

e. Keterangan terdakwa.

Hukum acara pidana menitikberatkan alat bukti sebagai bentuk

pembuktian untuk membuktikan penyimpangan yang dilaksanakan oleh

terdakwa. Pengarahan alat bukti seperti keterangan saksi sangat bergantung

pada orang yang merasakan, melihat, atau mendengar sendiri secara

langsung tindak pidana yang terjadi, sedangkan alat bukti dalam hukum

perdata mengakui sebagaimana Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata dan Pasal 164 Het Herziene Indonesisch Reglement alat bukti yang

sah antara lain:

a. Alat bukti tulisan;

b. Alat bukti saksi;

29
Zainuddin Ali, Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2010, Halaman
81.
49

c. Persangkaan;

d. Pengakuan, dan

e. Sumpah.

Alat bukti tulisan berada pada urutan yang utama karena sesuai dengan

fakta. Dalam perkara perdata, tulisan memiliki peran yang penting. Tidak

jarang orang secara sadar menyiapkan sesuatu yang bisa dijadikan sebagai

bukti ketika muncul suatu permasalahan. Bukti tersebut sengaja

dipersiapkan berupa tulisan. Pihak yang memberikan sejumlah uang atau

barang, dirinya akan merasa nyaman ketika mendapatkan surat tanda terima

sebagai pembuktian. Orang yang menyerahkan tanda terima itu wajib

mengetahui bahwa tulisan itu suatu saat nanti bisa dipakai untuk dirinya

sebagai bukti telah mendapatkan uang atau barang itu.

Tulisan (geschrift) menurut Asser-Anema cetakan ke-3 halaman 87

adalah: “pengemban tanda baca yang mengandung arti serta bermanfaat

untuk menggambarkan suatu pikiran.”

Alat bukti tulisan yang sangat berharga untuk pembuktian dinamakan

akte. “Akte ialah suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk

dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani.” Elemen penting

dari sebuah dokumen adalah keinginan untuk membuat bukti tertulis dan

tanda tangan dari dokumen tersebut. Perbedaan antara dokumen dan

sertifikat adalah bahwa dokumen tidak perlu ditandatangani, sedangkan

sertifikat melakukannya. Persyaratan tersebut bisa berpedoman pada Pasal

1874 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.


50

Dokumen yang ditandatangani secara rahasia adalah surat, daftar, surat

rumah dan dokumen lain yang dihasilkan tanpa campur tangan pegawai

negeri sipil. Notaris atau pejabat lain yang ditunjuk oleh undang-undang,

yang telah menandatangani tulisan tangan yang disamakan dengan cap

jempol itu, mengetahui atau mengenalkan orang yang memberikan cap

jempol itu kepadanya, dan isinya dijelaskan dalam akta tersebut. pernyataan

bertanggal yang menunjukkan bahwa mereka ada di sana. Karyawan ini

perlu mencatat dokumen. Pembatasan undang-undang lebih lanjut dapat

ditempatkan pada penagihan dan pembukuan untuk dokumen ini. 30

Bagian terpenting dari suatu akta adalah tanda tangan. Dengan

membubuhkan stempel tanda tangannya, seseorang dianggap memikul

kebenaran apa yang tertulis dalam akta atau bertanggung jawab atas apa

yang tertulis dalam akta tersebut. 31

Perusahaan menganggap bahwa membubuhkan tanda tangan atau sidik

jari merupakan tindakan yang penting. Seorang Muslim sebelum

menandatangani tanda tangannya sering mengucapkan "bismillah". Hal ini

membuktikan bahwa sebagian orang menganggap sidik jari tidak hanya

penting dan bermakna, tetapi mereka juga menganggap diri mereka terikat

dengan apa yang mereka tandatangani atau sidik jari.

CJ.J de Joncheere menerima gelar Doktor di de Rechtswetenschap di

Amsterdam pada tahun 1892 untuk makna hukum dari tanda tangan.

30
J. Satrio, Hukum Waris, Bandung, Penerbit Alumni, 1992, Halaman 2.
31
Ibid.
51

Disertasi itu antara lain menjelaskan tentang maksud dan tujuan (coretan)

tanda tangan. Arti kata "tanda tangan" (ondertekenen) secara etimologis dan

berarti menandatangani (zeichen) di bawah sesuatu. C.J.J. de Joncheere

berpendapat bahwa tanda tangan tidak berdiri sendiri. Pendapatnya

didasarkan pada kata Belanda ondertekenen. Terjemahan yang tepat dari

sebuah kata adalah "onder". "Menandatangani" harus "di bawah" sesuatu,

itu menulis sesuatu (terjemahan dari unsur "bawah" bukan bahasa

Indonesia). C. J. J. de Joncheere berpendapat bahwa arti hukum dari tanda

tangan adalah sebagai berikut:

Pernyataan niat penandatangan (penanda tangan) untuk menginginkan

agar font itu menjadi miliknya secara sah dengan menandatangani di bawah

font tersebut. Berdasarkan praktek Pembuktian dan Kedaluwarsa

(penerjemahan) 1986 oleh ahli hukum Pitllo dan keputusan Hoge Raad,

tanda tangan yang dibenarkan secara hukum antara lain:

a. Menuliskan nama penandatangan dengan atau tanpa menambah nama

kecil;

b. Tanda tangan dengan cara menuliskan nama kecil saja dianggap cukup;

c. Ditulis tangan oleh penandatangan, tidak dibenarkan dengan stempel

atau dengan mesin cetak;

d. Dibenarkan mencantumkan kopi tanda tangan si penandatangan, dengan

syarat mendapat kuasa dari pemilik tanda tangan;

e. Dapat juga mencantumkan tanda tangan dengan mempergunakan

karbon.
52

Saat ini, untuk efisiensi, ketika menandatangani surat atau sertifikat

yang terdiri dari beberapa lembar yang sama, hanya yang pertama

ditandatangani secara langsung. Pasang arang sambil menduplikasinya

sebagai potongan kedua. Metode ini sah. Surat atau dokumen yang berisi

pernyataan atau perjanjian yang jelas dan jelas tetapi tidak ditandatangani

tidak dapat digunakan sebagai alat bukti tertulis karena bukan merupakan

surat atau dokumen yang lengkap untuk kepentingan Undang-Undang

Pembuktian. Jika surat tersebut merupakan pernyataan sepihak, maka harus

ditandatangani oleh orang yang membuat pernyataan tersebut. Jika itu

adalah kesepakatan antara para pihak, kedua belah pihak harus

menandatanganinya. Surat yang dianggap sempurna berharga sebagai bukti

tertulis atau tertulis, termasuk tanggal tanda tangan di samping tanda tangan.

Surat yang tidak mencantumkan tanggal tidak kehilangan fungsinya sebagai

alat bukti dari segi hukum, tetapi karena tanpa tanggal sulit untuk

menentukan kepastian pembuatan dan tanda tangan, sehingga ada sebagai

alat bukti. cacat. Itu ditawarkan untuk memberi orang lain kesempatan yang

bagus untuk menyangkal kebenaran asal-usul mereka.

Ditinjau dari segi hukum pembuktian, tulisan atau akta mempunyai

beberapa fungsi:32

a. Berfungsi sebagai formalitas kausa.

Dalam hal ini surat atau akta tersebut berfungsi sebagai syarat atas

keabsahan.

32
Sjaifurachman dan Habib Adjie, Op. Cit, Halaman 52.
53

Tindakan hukum diambil jika tuntutan atau perbuatan itu tidak tertulis

atau tertulis, maka gugatan itu tidak sah karena tidak memenuhi bentuk

kausalitas (causa). Ada beberapa proses dan proses di mana surat dan

sertifikat menjadi syarat utama keabsahan. Surat-surat atau perbuatan-

perbuatan hukum digunakan sebagai dasar-dasar yang dapat

dipertanggungjawabkan keabsahannya. Contoh perbuatan menjadikan surat

dan akta menjadi bentuk dasar adalah kuasa advokat untuk membebankan

hak tanggungan. Pasal 15 (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang

Tanah dan Hak Tanggungan, dengan akta notaris atau persetujuan pencatat

tanah, sebagai pengesahan sahnya kuasa kuasa untuk membebankan

hipotek, telah diputuskan. Onderhanddocument, tidak valid, terutama dalam

bentuk verbal.

b. Berfungsi sebagai alat bukti.

Fungsi utama surat dan dokumen adalah alat bukti. Dalam suatu

transaksi jual beli, para pihak membawa ini dalam bentuk sertifikat dengan

maksud untuk memberikan bukti tertulis dari perjanjian tersebut. Dalam hal

terjadi perselisihan, dokumen tersedia sejak awal dan membuktikan

kebenaran transaksi. Dalam masyarakat saat ini, setiap aspek kehidupan

didokumentasikan. Tidak hanya kegiatan bisnis tetapi juga aspek kehidupan

keluarga dicatat dalam dokumen dan dokumen seperti akta nikah yang

dikeluarkan oleh kantor pendaftaran Sipil.

c. Fungsi probationis causa.


54

Surat atau dokumen yang dimaksud adalah satu-satunya alat bukti yang

secara sah dapat membuktikan suatu hal atau peristiwa. Tanpa sertifikat,

Anda tidak dapat membuktikan peristiwa atau hubungan hukum yang

terjadi. Lokasi dan fungsi sertifikat bersifat spesifik. Misalnya, keberadaan

perseroan terbatas berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40

Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas hanya dapat dibuktikan dengan akta

pendirian badan hukum berupa akta notaris. Tidak seperti kontrak penjualan

tertentu, bukti tidak hanya bergantung pada kontrak penjualan tertentu.

Kontrak penjualan dapat dibuktikan dengan kesaksian, kecurigaan,

pengakuan atau sumpah.

Akta dibagi menjadi dua golongan, yaitu:

a. Akta otentik, dan

b. Akta di bawah tangan.

Akta otentik diatur di dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata:

Suatu akta otentik ialah suatu akte yang di dalam bentuk yang

ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai

pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta

dibuatnya.

Dengan demikian ada 3 (tiga) syarat yang harus dipenuhi suatu akta

otentik, yaitu:

a. Akta tersebut harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan dalam undang

undang;
55

b. Akta tersebut harus dibuat oleh atau di hadapan seorang Pejabat Umum;

c. Pejabat Umum tersebut harus mempunyai wewenang di tempat di mana

akta tersebut dibuat.

Persyaratan pertama untuk dokumen bersertifikat adalah bahwa

dokumen tersebut diterbitkan dalam format yang ditentukan oleh undang-

undang. Kata "bentuk" di sini adalah terjemahan dari kata Belanda

"pusaran", bukan bentuk dalam arti lingkaran, elips, panjang, dll, tetapi

bentuk dalam arti produksinya sangat legal. mematuhi undang-undang

sertifikasi. Pasal 38 UU Kenotariatan menyebutkan bahwa format akta

notaris adalah sebagai berikut:

1. Setiap akta Notaris terdiri atas:

a. Awal akta atau kepala akta;

b. Badan akta; dan

c. Akhir atau penutup akta.

2. Awal akta atau kepala akta memuat:

a. Judul akta;

b. Nomor akta;

c. Jam, hari, tanggal, bulan dan tahun; dan

d. Nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris.

3. Badan akta memuat:

a. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan,

jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang

yang mereka wakili;


56

b. Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;

c. Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang

berkepentingan; dan

d. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan,

kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.

4. Akhir atau penutup akta memuat:

a. Uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal

16 ayat (1) huruf 1 atau Pasal 16 ayat (7);

b. Uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau

penerjemahan akta apabila ada;

c. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan,

kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta; dan

d. Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan

akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa

penambahan, pencoretan, atau penggantian.

5. Akta Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat

Sementara Notaris, selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud

pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), juga memuat nomor dan tanggal

penetapan pengangkatan, serta pejabat yang mengangkatnya.

Syarat kedua dari instrumen nyata adalah bahwa instrumen itu harus

dibuat di dalam atau dengan kehadiran sutradara (operibaar ombtenaar).

Pegawai negeri dalam pengertian syarat kedua antara lain notaris, hakim,

pejabat pengadilan, panitera, dan sebagainya. Kata "menghadiri"


57

menunjukkan bahwa tindakan itu "dilakukan" oleh seorang pejabat

sebagai akibat dari suatu kejadian, pemeriksaan, keputusan, dan lain-lain,

sedangkan tindakan itu dilakukan atas permintaan seseorang. Contoh

akta notaris yang diterbitkan dihadapan direktorat jenderal yang

bersangkutan adalah akad jual beli, sewa guna usaha, dan lain-lain.

Ketika penyaji datang ke notaris, menyatakan telah tercapai

kesepakatan, dan meminta notaris untuk membuat akta, maka akta

tersebut terlihat seperti ini: Sertifikat yang dibuat di depan notaris.

Notaris ini hanya mendengarkan keinginan dua orang yang muncul dan

melaksanakan kesepakatan dari orang yang muncul. Contoh surat

keterangan pejabat yang berwenang adalah risalah rapat pemegang

saham perseroan terbatas yang dibuat oleh notaris yang hadir dalam rapat

tersebut. Notaris mencatat apa yang didengar dan dilihatnya dalam rapat.

Syarat ketiga, petugas harus diperbolehkan bertindak di tempat dimana

instrumen itu dikeluarkan:

a. Jabatannya dan jenis akta yang dibuatnya;

b. Hari dan tanggal pembuatan akta;

c. Tempat akta dibuat.

Notaris diangkat oleh undang-undang Menteri Hukum dan Hak

Asasi Manusia. Notaris yang telah mengangkat sumpah tetapi belum

mengambil sumpah tidak diperkenankan menjalankan jabatannya untuk

membuat akta. Notaris juga sedang berlibur.


58

Jenis akta yang dapat diterbitkan oleh notaris. Notaris dapat

melakukan segala sesuatu dalam bidang jasa kenotariatan. Namun, sudah

menjadi tanggung jawab polisi untuk melarang notaris membuat catatan

pemeriksaan dan akta perbuatan baik. Tempat pembuatan sertifikat.

Notaris memiliki wilayah kerja dalam satu negara. Misalnya, notaris

yang memiliki wilayah kerja di Daerah Khusus Ibukota Jakarta dilarang

membuat akta di wilayah Bandung karena Bandung termasuk negara

bagian Jawa Barat. Merupakan larangan dalam Pasal 17a UU Notaris.

Notaris dilarang mendirikan jabatan di luar tanggung jawabnya.”

Akta otentik merupakan alat bukti yang definitif dan mengikat (Pasal

KUHP 1870). Mengikat dalam arti bahwa isi surat harus dipercaya oleh

hakim, yaitu harus dianggap benar sampai terbukti tidak benar. Siapa pun

yang tidak setuju dengan kebenaran dokumen harus membuktikan

keberatannya. Bukti tertulis asli adalah sempurna dalam arti tidak

diperlukan bukti tambahan.

Kekuatan bukti yang lengkap dan andal yang terkandung dalam

dokumen asli merupakan kombinasi dari beberapa kekuatan unik.

Akibatnya, dokumen asli tidak layak untuk dibuktikan secara utuh

(sempurna) dan mengikat (bihdende) jika salah satu kekuatannya tidak

memadai. Beberapa kekuatan bukti yang ditemukan dalam piagam nyata:

a. Kekuatan pembuktian keluar

Sertifikat yang diserahkan harus dianggap dan diperlakukan

sebagai sertifikat kecuali terbukti sebaliknya. Kecuali dapat


59

dibuktikan sebaliknya, dokumen tersebut memiliki kekuatan

pembuktian eksternal. Menurut asas nilai alat bukti eksternal, hakim

dan pihak yang berperkara wajib menganggap surat dinas sebagai

surat asli.

b. Kekuatan pembuktian formil

Kekuatan pembuktian formil yang menyertai akta tersebut

dijelaskan dalam Pasal 1871 KUHPerdata, dan semua keterangan yang

terkandung di dalamnya adalah benar dan disampaikan oleh

penandatangan kepada pejabat yang membuatnya.

Kebenaran yang terkandung di dalamnya tidak hanya mencakup

pernyataan atau pernyataan yang ditandatangani oleh penandatangan,

tetapi juga kebenaran formal yang dinyatakan oleh pejabat yang

membuat dokumen tersebut sehubungan dengan tanggal tersebut.

Tanggal yang diaktakan, yang merupakan kebenaran resmi tanggal

itu, tidak dapat dicabut lagi oleh para pihak dan hakim. Dikuatkan

dengan keputusan Mahkamah Agung nomor: 3917 K/Pdt/1986. Dari

sini dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya apa yang tercantum

dalam akta harus dianggap benar dan merupakan kehendak para

pihak. Jumlah denda yang ditunjukkan kepada notaris dalam bentuk

pengukuhan utang total dengan demikian terbukti.

c. Kekuatan pembuktian materiil

Kekuatan bukti penting dalam suatu dokumen asli berkaitan

dengan kebenaran informasi yang terkandung di dalamnya.


60

C. Akta di Bawah Tangan

Suatu akta di bawah tangan adalah Surat keterangan tidak dibuat oleh

pegawai negeri sipil atau melalui instansi pegawai negeri sipil. Misalnya,

perjanjian sewa yang Anda buat sendiri dan ditandatangani oleh kedua belah

pihak. Jika penandatangan menerima atau tidak menolak tanda tangan,

maka dokumen privat memiliki perkiraan yang sama dengan dokumen

publik dalam arti menerima apa yang tercantum dalam kontrak. Jika tanda

tangan ditolak, pihak yang menunjukkan sertifikat palsu harus

membuktikan bahwa tanda tangan itu benar-benar dilampirkan oleh yang

berbeda pendapat dengan cara lain. Notaris dan pejabat yang ditunjuk

berhak menandai akta jahat dan tanda tangannya atau cap jempolnya

menurut aturan Tjara untuk menandai surat (sertifikat) jahat (waarmerken

van onderhandscheaktenenz). Instruksi dari 17 Januari. 1916; Buletin

Negara 191646 o.43; iwg. 1 April 1916) Dikutip dari Djilid I, 1956, hal 757,

buku Perhimpunan Legislatif yang disunting oleh Departemen Penerangan

Republik Indonesia. Sesuai dengan situasi di Indonesia pada tahun 1956.

Pejabat yang diangkat adalah: PNS Eropa (saat ini PNS yang membawahi

Kewedanan atau Sekda);

1. Ketua Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan untuk bangsa Indonesia

di luar tanah Jawa dan Madura, yang sederajat dengan Pengadilan Negeri

(baca kini: semua Ketua Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia);

2. Walikota;
61

3. Bupati di tanah Gubernemen di Pulau Jawa dan Madura (baca kini:

semua Bupati Kepala Daerah di seluruh Indonesia). Kalau Bupati sedang

tak ada atau berhalangan, Patih yang diperbantukan kepadanya;

4. Kepala Distrik di tanah Gubernemen di pulau Jawa dan Madura (baca

kini: segala Kepala Kewedanan di seluruh Indonesia);

Bunyi keterangan yang dibubuhkan pada surat di bawah tangan oleh

Notaris atau pegawai lain tersebut adalah:

“Saya yang bertanda tangan di bawah ini... Notaris (Walikota, Wedana,

Sekretaris Keresidenan, Ketua Pengadilan Negeri, Bupati-Kepala

Daerah...) di... menerangkan, bahwa kepada penghadap... yang saya

kenal (yang diperkenalkan kepada saya oleh...), sudah saya jelaskan

bunyi surat akta ini dan segera sesudahnya penghadap... tersebut di atas

membubuhkan tanda tangannya (cap jempol) di hadapan saya.”

Akta-akta di bawah tangan yang tidak ada keterangan seperti tersebut

di atas, Apabila digunakan sebagai barang bukti kepada orang lain, dengan

menyisipkan kata "tanda" di bawah akta dan membubuhkannya dengan

tanggal, maka notaris atau salah satu staf yang ditunjuk untuk itu yang akan

menjadi akta tersebut. Penandaan diaktifkan. Jika sertifikat terdiri dari

beberapa halaman, setiap halaman harus diberi nomor dan diparaf oleh

notaris atau pegawai lain yang berwenang.

Notaris atau pejabat yang ditunjuk harus memasukkan akta tersebut

dalam daftar yang diberikannya untuk keperluan itu. Daftar tersebut sesuai

dengan daftar buku yang harus memiliki tanda dan inisialisasi di sudut atas
62

setiap halaman dan mencantumkan nomor yang tertulis pada sertifikat

daftar. Akuntansi dilakukan dengan keterlibatan sebagai berikut:

a. Nomor dan tanggal waktu masuk buku;

b. Nama penghadap yang menandatangani atau yang membubuhi cap

jempol pada akta tersebut;

c. Tanggal dan ringkasan isi (bunyi) akta tersebut.

Selain diatur dalam Staatsblad 1916-46 jo .43, kewenangan Notaris

untuk mengesahkan akta di bawah tangan dan tanda tangannya juga diatur

di dalam Pasal 15 ayat (2)a dan b Undang-Undang Jabatan Notaris:

Notaris berwenang pula:

a. Mengesahkan akta di bawah tangan dan menetapkan kepastian

b. Tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

c. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku

khusus.

D. Wewenang, Fungsi dan Keberadaan Notaris

Pasal 1868 B.W. yang dijadikan landasan hukum, ada dikatakan

bahwa "Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang

ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum

yang berwenang untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya." Jika pasal

tersebut diamati, maka sumber lahirnya akta otentik adalah bilamana akta

tersebut "dibuat oleh atau dihadapan Notaris", bukan karena undang-

undang.
63

Selanjutnya jika dihubungkan dengan Pasal 1 PJN yang merupakan

peraturan pelaksana dari pasal 1868 B.W. maka :

"Notaris adalah pejabat umum satu-satunya yang berwenang untuk

membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan

penetapan, yang diharuskan oleh sesuatu peraturan umum atau oleh

yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu

akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya

dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya

sepanjang pembuatan akta demikian oleh suatu peraturan umum

tidak ( juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang

lain."

"Akta otentik dibuat oleh atau dihadapan Notaris", menurut Wawan

Setiawan akan terjadi apabila

1. Ada permintaan dari klien yang berkepentingan, agar perbuatan hukum

yang dilakukannya dinyatakan ke dalam bentuk otentik, dan/ atau

2. Undang-undang mengharuskannya terhadap perbuatan hukum tertentu

dibuat dalam bentuk otentik, jika tidak demikian, maka perbuatan hukum

itu batal demi hukum, artinya dianggap tidak pemah ada.

Kesimpulan yang didapat, bahwa wewenang Notaris bersifat umum

(regel), sedangkan wewenang dari pejabat lainnya merupakan

pengecualian, artinya wewenangnya itu tidak meliputi lebih daripada

pembuatan akta otentik yang secara tegas ditugaskan kepada Notaris oleh

undang-undang. Dengan demikian apabila menyebut "akta otentik", maka


64

haruslah diartikan sebagai akta Notaris; kecuali oleh peraturan umum

diberikan kepada pejabat yang lain, contohnya

a Akta berita acara tentang penawaran pembayaran tunai dan konsinyasi

(Pasal 1405 dan Pasal 1406 B.W.);

b Akta catatan sipil (Pasal 4 B.W.);

c Akta pengakuan anak luar kawin (Pasal 281 B.W.);

d Akta protes wesel dan cek (Pasal 143 dan 218 K.U.H.D.);

Kriteria sebagai “notaris”, seorang notaris di sini, sebagai contoh di

sini, dalam tugasnya, otoritas umum atau kekuasaan kejaksaan (kekuasaan

tertinggi, yaitu bukan dari pemerintah atau eksekutif atau eksekutif negara,

tetapi negara. Harus memiliki (diperoleh dari) akta notaris "besar" yang

termuat di atas Irahira "untuk keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa", yaitu putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Kewenangan administratif sama dengan (kracht van gewijsde). Tugas

notaris adalah pegawai negeri sipil, karena kewenangan atau kekuasaan

umum pada hakekatnya adalah sifat dari seorang pegawai negeri sipil, tetapi

tugas notaris tunduk pada hukum perdata. Kata “fungsi” adalah jabatan

(dieksekusi). Profesi. Notaris adalah notaris, atau lembaga negara yang

diberi wewenang umum, yang diberi wewenang untuk menjalankan

sebagian kewenangan negara untuk menghasilkan bukti tertulis dan

terakreditasi di bidang hukum perdata. Istilah “bagian” dari kekuasaan

negara, karena tidak semua kewenangan negara dilimpahkan kepada

notaris, tetapi hanya dalam bidang hukum perdata.


65

Notaris Indonesia mempunyai ciri utama dalam kemampuannya untuk

benar-benar mengatur hubungan hukum pihak yang meminta jasa/klien

secara tertulis, sehingga fungsinya melayani masyarakat umum yang tidak

atau tidak termasuk dalam bidang hukum publik. Kehadiran notaris berada

di luar pihak yang menjadi kliennya, karena notaris berada pada kedudukan

yang adil dan mandiri dalam menjalankan tugasnya dan dengan jelas

dinyatakan bahwa notaris bukanlah pihak. Notaris tidak terlibat dalam

menjalankan kegiatan profesionalnya atau memberikan pelayanan kepada

masyarakat umum (khususnya pembuatan akta-akta kedinasan). Oleh

karena itu, notaris juga merupakan “sistem hukum” tetapi bukan “petugas

penegak hukum”.

Keberadaan dan peranan Notaris bersifat tidak memihak (netral) dan

dikehendaki oleh masyarakat umum sebagaimana undang-undang

menetapkannya; dan terutama berkewajiban serta bertanggung jawab atas :

a. Pembuatan akta otentik yang telah dipercayakan kepadanya;

b. Menyimpan minuta akta termasuk semua protokol notaris ;

c. Memberikan grosse, salinan maupun petikan;

Di samping hal tersebut, fungsi Notaris juga meliputi :

a. Melakukan pendaftaran atas akta-akta/ surat di bawah tangan ;

b. Membuat serta mensahkan salinan atau turunan berbagai dokumen;

c. Memberikan nasihat hukum dan penjelasan-penjelasan kepada para

pihak terutama dalam hukum perdata dan atau yang berkaitan dengan

akta-akta yang dibuat oleh atau dihadapannya.


66

Notaris diangkat oleh penguasa/negara atas dasar kekuatan

atribusinya terhadap ketentuan undang-undang, bukan untuk kepentingan

masyarakat, tetapi untuk kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, realisasi

atau lahirnya akta yang benar-benar asli, untuk memenuhi suatu perintah

hukum atau atas permintaan klien, bukanlah perbuatan hukum notaris,

melainkan wasiat dan bukti perbuatan hukum. Notaris tidak boleh membuat

akta yang disahkan dengan persetujuannya tanpa keinginan para pihak.

Notaris juga tidak dapat menyatakan pemusnahan akta yang dibuat

dihadapannya (artinya notaris tidak dapat melakukan tindakan yang sah).


BAB III

PENGGOLONGAN PENDUDUK DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG

NOMOR 12 TAHUN 2006 DAN UNDANG-UNDANG

NOMOR 40 TAHUN 2008

A. Penggolongan Penduduk di Indonesia

Pasal 131 dan 163 Indische Staatsregeling (IS) adalah kejadian yang

menjadi salah satu yang menyebabkan terjadinya pluralisme hukum di bidang

keperdataan. Pada ketentuan pasal 163 IS penduduk Hindia Belanda dibagi atas

3 (tiga) golongan yaitu golongan Eropa, golongan Bumiputera dan golongan

Timur Asing. Pembagian kelompok tersebut diikuti dengan pembagian kuasa

hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan tersebut berdasarkan Pasal

131 IS. Penggolongan penduduk berdasarkan Pasal 163 Indische

Staatsregeling (IS) adalah sebagai berikut: 33

1. Golongan Eropa meliputi semua orang Belanda, semua orang yang berasal

dari Eropa tetapi bukan dari Belanda, semua orang Jepang, semua orang

yang berasal dari tempat lain, tetapi tidak termasuk orang Belanda, yang di

negaranya tunduk kepada hukum keluarga dan asas-asasnya sama dengan

hukum Belanda. Kesejahteraan atau anak sah, dan selanjutnya keturunan

Eropa non-Belanda atau orang Eropa yang lahir di Hindia Belanda.

33
Zainuddin Ali, Op. Cit., Halaman 90.

67
68

2. Golongan Bumiputera meliputi seluruh masyarakat adat Hindia Belanda

yang tidak pernah meninggalkan hukum atau pindah ke Golongan Penduduk

3. Selain Golongan Bumiputera.

4. Kelompok Timur Asing meliputi penduduk yang tidak termasuk dalam

Kelompok Eropa dan Kelompok Bumiputera. Kelompok ini terbagi menjadi

bagian timur perantauan Cina dan bagian timur perantauan orang-orang

non-Cina seperti Arab dan India.

Di sisi lain, sebuah artikel di Negara Bagian dan Wilayah Persatuan India

(IS) menetapkan tiga kelompok hak yang berlaku untuk setiap kelompok

populasi seperti dijelaskan di atas, dan menegaskan bahwa:

1. KUHPerdata dan Dagang, KUHAP dan KUHAP dan KUHAP harus

dikodifikasi. Artinya, itu harus dimasukkan dalam kode. Untuk kelompok

negara-negara Eropa, hukum yang berlaku di Belanda harus dipatuhi

(prinsip konsensus).

2. Bagi golongan Pribumi Indonesia dan Asing, jika ternyata kebutuhan

masyarakatnya membutuhkan, maka peraturan bagi orang Eropa dapat

berlaku bagi mereka secara keseluruhan atau dengan modifikasi, tidak.

Yang berlaku akan berlaku. Hal ini untuk mematuhi aturan yang mungkin

menyimpang dari apa yang dibutuhkan untuk kepentingan umum atau

kepentingan sosial.

3. Penduduk Asli Indonesia dan Orang Timur Asing dapat mengikuti hukum

yang berlaku di Eropa, selama mereka tidak mengikuti aturan yang berlaku

umum bagi orang Eropa. Undang-undang yang berbeda berlaku untuk setiap
69

kelompok penduduk, tetapi ketika mereka berkembang, IS Pasal 131 dan

163 akan menjadi Presidium Kabinet Ampera 27 Desember 1966, Pasal 31

/ U / IN / 12 /. Itu dihapuskan pada tahun 1966 dan dimasukkan berlaku

pada 1 Januari. Pada tahun 1967 Kraft mencapai tujuannya untuk mencapai

pembangunan negara Indonesia yang bersatu dan homogen. Klasifikasi

Penduduk yang Berkembang Berbagai peraturan perundang-undangan di

Indonesia, kecuali yang dicabut dengan keputusan presiden, menegaskan

persamaan di depan hukum, termasuk yang ditegaskan dalam Pasal 26

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam

ayat (1) dan Pasal 27 (1), dinyatakan sebagai berikut. Pasal 26 Ayat 1

menyatakan bahwa yang menjadi warga negara adalah orang-orang bangsa

Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-

undang sebagai warga negara.

Pasal 27 ayat (1) :

Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan

pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu

dengan tidak ada kecualinya.

Warga negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006

tentang Kewarganegaraan. Undang-undang juga mengatur bahwa

kewarganegaraan juga dapat diperoleh melalui kewarganegaraan, prosedur

bagi orang asing untuk memperoleh kewarganegaraan Indonesia melalui

aplikasi. Permohonan kewarganegaraan dibuat sesuai dengan persyaratan

Undang-Undang Kewarganegaraan dan diajukan kepada Presiden dalam


70

bahasa Indonesia secara tertulis melalui Menteri di atas kertas bermaterai

cukup. Ketentuan kewarganegaraan Indonesia adalah asas kewarganegaraan

umum atau universal: asas ius sanguinis (menentukan kewarganegaraan

berdasarkan silsilah) dan asas ius soli (menetapkan kewarganegaraan

berdasarkan tempat lahir) diatur dengan mengandalkan. Hal ini juga didasarkan

pada prinsip-prinsip khusus, beberapa di antaranya adalah:

1. Asas persamaan dalam hukum dan pemerintahan adalah asas yang

menetapkan bahwa semua warga negara Indonesia memperoleh perlakuan

yang sama dalam hukum dan pemerintahan.

2. Asas diskriminasi adalah bahwa perlakuan terhadap segala hal yang

menyangkut warga negara tidak diskriminatif atas dasar suku, ras, agama,

jenis kelamin atau gender.

3. Asas pengakuan dan penghormatan hak asasi manusia adalah bahwa dalam

segala hal yang menyangkut warga negara, warga negara wajib menjamin,

melindungi, dan menghormati hak asasi manusia secara umum, khususnya

hak-haknya.

Undang-undang kewarganegaraan telah jelas mengatur dan menetapkan

siapa saja yang dapat tergolong warga negara terlepas dari unsur ras dan etnis,

selama memenuhi syaratsyarat yang diatur oleh undangundang. Namun

penggolongan penduduk masih diterapkan pada pembuatan surat tanda bukti

sebagai ahli waris yang berdasar pada ketentuan Pasal 111 ayat (1) Peraturan

Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan


71

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah. Penggolongan penduduk tersebut adalah:

Surat tanda bukti sebagai ahli waris dapat berupa :

1) Wasiat dari pewaris, atau

2) Putusan Pengadilan, atau

3) Penetapan hakim/ketua Pengadilan, atau

4) Bagi warga negara Indonesia penduduk asli: surat keterangan ahli waris

yang dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang

saksi dan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat tempat

tinggal pewaris pada waktu meninggal dunia;

Bagi warga negara Indonesia Keturunan Tionghoa: akta keterangan hak

mewaris dari Notaris. Bagi warga negara Indonesia keturunan Timur Asing

lainnya: surat keteragan waris dari Balai Harta Peninggalan. Ketentuan tersebut

merupakan ketentuan kewarisan di bidang pertanahan yang mengacu pada

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria pada Pasal 19 megenai Pendaftaran Tanah. Kelahiran UUPA dimaknai

sebagai revolusi hukum agraria baru yang nasional, dan dapat menghapus

dualisme sistem hukum pertanahan di Indonesia, diganti dengan 1 (satu)

macam hukum agraria yang berlau bagi semua golongan. UUPA mengemban

misi UUD 1945 untuk membangun masyarakat adil dan makmur yang di

dalamnya hukum pertanian nasional mewujudkan bangsa dan cita-citanya,

berdasarkan Pancasila, yang menganggap hak asasi manusia sebagai hak asasi

manusia.
72

B. Sistem Hukum Waris Di Indonesia

Hukum perdata di Indonesia sifatnya masih pluralistis meskipun dalam

berbagai bidang tertentu telah terdapat unifikasi akan tetapi belum seluruhnya.

Pengaruh pluralistis dalam praktek hukum perdata terdapat pada hukum waris

yang bermacam-macam. Contohnya terdapat hukum waris Islam yang berlaku

bagi orang Islam, hukum waris menurut KUHPerdata, dan Hukum Adat untuk

orang-orang yang taat pada hukum adat selaras dengan daerah masing-masing.

Ketetapan hukum waris yang terdapat dalam hukum waris adat meliputi

keseluruhan asas, norma dan ketentuan hukum yang berhubungan dengan

proses penerusah serta pengendalian harta benda (materiil) dan harta cita (non

materiil) dari generasi yang satu kepada generasi berikutnya yang kemudian

disebut ahli waris. Dalam hukum waris islam diterangkan sebagai perangkat

ketetapan hukum yang mengatur pembagian harta kekayaan yang dimiliki

seseorang pada saat ia meninggal dunia. Al-Qur’an dan Hadis merupakan

sumber utama hukum waris Islam yang diikuti dengan Qiyah dan Ijma’

(kesamaan pendapat). Sementara itu untuk hukum waris perdata yang

merupakan konsep yang dianut dari hukum Eropa dan dimuat dalam Burgerlijk

Wetboek, ialah merupakan bagian dari hukum harta kekayaan mengenai

pemindahan kekayaan karena wafatnya seseorang, dan hanyalah hak dan

kewajiban yang berwujud harta kekayaan yang merupakan warisan yang akan

diwariskan. Ketiga sistem hukum waris tersebut sampai saat ini masih berlaku

dan eksis dalam kehidupan masyarakat di Indonesia.


73

Objek penelitian dalam penulisan ini mengenai satu regulasi kewarisan

adalah masih berlakunya penggolongan penduduk yang terdapat dalam

ketentuan sistem hukum waris yang diatur pada KUH Perdata. Berlakunya

Pasal 131 Indische Staatsregeling (IS) dan Pasal 163 IS merupakan salah satu

penyebab terjadinya pluralisme hukum di bidang keperdataan. Pada ketentuan

pasal 163 IS penduduk Hindia-Belanda dibagi atas 3 (tiga) golongan yaitu

golongan Eropa, golongan Bumiputera dan golongan Timur Asing. Pembagian

kelompok tersebut diikuti dengan pembagian kuasa hukum yang berlaku bagi

masing-masing golongan tersebut berdasarkan Pasal 131 IS. Menurut

ketentuan tersebut Hukum waris yang berlaku dalam KUHPerdata berlaku pula

untuk orang-orang Eropa dan untuk orang-orang yang disamakan dengan

orang-orang Eropa. Hukum Waris yang tercantum dalam KUHPerdata. Hukum

waris perdata berlaku bagi golongan Timur Asing Tionghoa, yang berlaku

mulai Mei 1919 bagi golongan tionghoa untuk daerah-daerah tertentu berlaku

hukum perdata barat (BW) termasuk hukum waris. Pada perkembangan

selanjutnya berlaku untuk golongan Tionghoa di seluruh Indonesia.

Hukum perkawinan di Indonesia berberda dengan hukum waris. Hukum

perkawinan telah mengalami unifikasi secara menyeluruh dengan

dikelurkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Menyangkut hal waris, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan mengatur harta benda diatur dalam Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal

37, sebagai berikut :

Pasal 35 :
74

1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta benda

bersama

2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang

diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah

penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Pasal 36 :

1) Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan

kedua belah pihak.

2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak

sepenuhnya untuk melakukan pebuatan hukum mengenai harta bendanya.

Pasal 37:

“Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut

hukumnya masing-masing.”

Selain ketentuan tersebut, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan tidak mengatur lebih lanjut mengenai masalah harta perkawinan,

maka melalui pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, disebutkan sebagai berikut :

“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan

perkawinan berdasarkan atas undang-undang ini, maka dengan

berlakunya undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang di atur dala

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek),

Ordinasi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordonnantie

Christen Indonesier S. 1933 No.74), Peraturan Perkawinan Campuran


75

(Regeling op de gemengde Huwelijk S. 1898 No. 158), dan peraturan-

peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur

dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.”

Dari ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa KUHPerdata (BW)

masih berlaku bagi warga negara Indonesia Keturunan Tionghoa dan Eropa.

Hal ini diperjelas dalam Surat Edaran Mahkamah Agung kepada para

Ketua/Hakim Pengadilan Tinggi dan para Ketua/Hakim Pengadilan Negari

tertanggal 20 Agustus 1975 Nomor: M.A./Penb/0807/75, tentang petunjuk-

petunjuk pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Hal-

hal yang berkaitan dengan hukum waris sebagaimana tercantum dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, tentu saja hanya berlaku untuk

mereka yang tunduk atau menundukkan diri kepada KUHPerdata.

1. Hukum Waris Adat

Hukum waris adat merupakan seperangkat peraturan yang mengatur

penerusan dan pengoperan harta peninggalan atau harta warisan dari suatu

generasi ke generasi berikutnya, baik yang berkaitan dengan harta benda

maupun yang berkaitan dengan hak-hak kebendaan (materi dan non

materi). Beberapa ahli memberikan pendapatnya mengenai hukum waris

adat, yaitu:

1. Betran Ter Haar


76

Hukum waris adat yaitu proses penerusan dan peralihan kekayaan

materiil dan immateriil dari generasi ke generasi lain.

2. Soepomo

Hukum adat waris berisi peraturan-peraturan yang mengatur proses

meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-

barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu

generasi kepada generasi lainnya.

3. Soerojo Wignjodipoero

Hukum adat waris mencakup norma-norma hukum yang menetapkan

harta kekayaan baik yang bersifat materiil maupun yang immateriil dari

seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya.

Hukum waris adat memiliki corak dan sifat-sifat tersendiri yang khas

di Indonesia, perbedaan yang mendasar terlihat dari latar belakang alam

pikiran bangsa Indonesia yang berfalsafah Pancasila dengan masyarakat

yang Bhineka Tunggal Ika. Pada dasarnya latar belakang itu adalah

kehidupan bersama yang mencerminkan tolong menolong guna

mewujudkan kerukunan dan kedamaian di dalam hidup. Bangsa Indonesia

memiliki alam pikiran murni yang berasas kekeluargaan dimana

kepentingan hidup rukun dan damai lebih diutamakan dari sifat-sifat

kebendaan dan mementingkan diri sendiri. Sebab demikianlah yang

membedakan hukum waris adat dari hukum Islam maupun hukum Barat.

a. Sistem Waris Adat

1) Individual
77

Pewarisan dengan sistem individual atau perseorangan

merupakan sistem pewarisan dimana setiap ahli waris mendapatkan

pembagian untuk dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan

menurut bagiannya masing-masing. Setelah harta warisan itu

dibagikan maka masing-masing ahli waris berhak memiliki bagian

harta warisannya. Permberlakuan sistem individual ini biasanya

terdapat pada sistem kekerabatan parental. Salah satu faktor

diadakannya pewarisan secara individual ialah tidak terdapat hasrat

untuk memimpin penguasaan atau pemilikan harta warisan secara

bersama, disebabkan para ahli waris tidak lagi tinggal atau

berdomsili di lingkungan adat tempat tinggal pewaris sewaktu

masih hidup.

Hak waris diperuntukan kepada orang-orang yang termasuk

dalam golongan kerabatnya, sementara yang di luar garis

kekerabatan, misalnya status perempuan dalam masyarakat

patrilineal dan status laki-laki dalam masyarakat matrilineal, tidak

terlalu dipertimbangkan dalam pembagian waris. Dalam

perkembangan masyarakat, baik karena adanya penemuan-

penemuan baru maupun karena intensifikasi komunikasi, dan

akulturasi hukum waris adat tidak terpaku lagi pada faktor-faktor

genealogis yang membentuknya, terutama pada masyarakat

patrilineal dan matrilineal.

2) Mayorat
78

Pada sistem pewarisan mayorat dipilah antara mayorat laki-

laki seperti di Lampung dan mayorat perempuan seperti yang

berlaku pada kalangan masyarakat Semenda Bukit Barisan Sumatra

Selatan. Seluruh harta benda diwariskan kepada anak tertua

keluarga, yang diberikan beban dan tanggungjawab untuk

mengurusi adik-adiknya sampai mereka dapat bekeluarga dan

mampu mandiri. Harta warisan mayorat bentuknya bisa berupa

tanah milik bersama, rumah yang tidak terbagi-bagi, yang bukan

harta pencarian atau harta bawaan dalam ikatan perkawinan. Pada

dasarnya harta itu dipertahankan guna penghidupan ahli waris

sampai generasi berikutnya, dan tidak boleh untuk di bagi-bagi atau

diperjual-belikan, Akan tetapi dewasa ini hal tersebut berubah, telah

terjadi transaksi jual beli maupun pengalihan hak sementara

terhadap beberapa harta warisan mayorat atas persetujuan kerabat,

faktonya adalah terhimpit tuntutan ekonomi.

3) Kolektif

Sistem pewarisan kolektif umumnya berlaku pada harta benda

pusaka milik bersama para anggota kerabat, seperti tanah kerabat

yang disebut tano bangunan pada masyarakat Batak; tanah dati di

Ambon, tanah pusaka atau rumah gadang di Minangkabau. Tanah

atau rumah milik bersama tersebut berada di daerah pedesaan

(nagari atau marga) asal kampung halaman dan tidak ada di daerah

perantauan. Pada masyarakat Minangkabau, harta warisan adalah


79

harta pusaka milik suatu anggota keluarga dan tidak bisa dimiliki

secara individual oleh keluarga. Ada harta pusaka tinggi, yaitu harta

pusaka yang telah turun temurun dari beberapa generasi, bentuknya

berupa tanah, rumah, empang dan lain-lain. Harta tersebut dimiliki

oleh keluarga lebih besar (family) yang dipimpin oleh seorang

penghulu andiko atau mamak kepala waris. Disamping itu terdapat

harta pusaka rendah (harta generasi pertama), dimiliki oleh keluarga

yang lebih kecil (istri dan anak-anak), atau suami dengan saudara

kandungnya beserta keturunan saudara perempuan sekdandung.

Pada penguasaan harta pusaka tersebut memegang prinsip

dipertahankan secara turun menurun kepada ahli waris, tidak untuk

diperjual-belikan agar harta tersebut dapat dimanfaatkan untuk

penghidupan generasi anak cucu dan seterusnya ke bawah.

b. Subjek Hukum Waris Adat

Pada sistem hukum waris adat subjek merupakan pewaris dan ahli

waris. Pewaris ialah orang yang memiliki harta kekayaan yang akan

dibagikan kepada ahli waris. Pewaris menurut hukum adat harus diingat

tata susunan kekerabatan yang mendasarinya, yaitu susunan

kekerabatan menurut garis keturunan laki-laki (patrilineal), susunan

menurut garis keturunan perempuan (matrilineal) dan susunan menurut

garis orang tua laki-laki dan perempuan (parental/bilateral) serta bentuk

perkawinan yang dilakukan oleh pewaris. Pewaris ialah seseorang yang


80

meninggalkan harta warisan, sedangkan ahli waris ialah seseorang atau

beberapa orang yang merupakan penerima harta warisan.

Pada hukum waris adat yang berhak menjadi ahli waris adalah

angkatan yang lebih muda yang diturunkan oleh suatu angkatan. Hak

mewaris dipunyai oleh semua orang yang akan menerima penerusan

atau pembagian warisan, baik ia sebagai ahli waris yaitu orang yang

berhak mewarisi ataupun bukan ahli waris tetapi mendapat bagian

waris. Berhak tidaknya para waris tersebut dipengaruhi oleh sistem

kekerabatan yang bersangkutan dan bisa juga disebabkan karena

pengaruh agama, sehingga berbeda antara daerah yang satu dan daerah

yang lain.

c. Objek Hukum Waris Adat

Pada prinsipnya yang merupakan objek waris adalah harta keluarga

yang dapat berupa :

a. Harta suami ataupun isteri yang berupa hibah atau pemberian

kerabat yang masih terdapat hubungan keluarga;

b. Usaha suami atau isteri yang didapatkan sebelum maupun sesudah

perkawinan;

c. Harta yang berupa hadiah kepada suami isteri pada saat

perkawinan;

d. Harta yang berupa usaha suami isteri selama dalam perkawinan.

Harta warisan adat berupa harta yang tidak dapat dibagi

penguasaannya dan pemilikannya kepada para waris, harta belum


81

dibagi dan harta yang dapat dibagi. Harta yang tidak terbagi merupakan

harta bersama milik para waris yang tidak boleh dimiliki secara

perseorangan tetapi dapat dipakai dan dinikmati. Harta warisan adat

yang tidak terbagi ini dapat digadai apabila dala keadaan mendesak

dengan persetujuan para tetua adat dan anggota kerabat yang

bersangkutan.

Harta warisan yang tidak dapat dibagi misalnya harta pusaka, alat

perlengkapan adat, senjata, gelar, dan lain-lain yang harus dipegang

oleh para waris tertentu dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama.

Sedangkan harta waris yang dapat dibagi pada umumnya terbagi-bagi

pemilikannya pada warisnya, dan pemilikan tersebut tida berarti mutlak

pemilikan seseorang tanpa fungsi sosial, inilah sebabnya dala hukum

adat suatu kepemilikan atas harta warisan masih dapat dipengaruhi oleh

faktor-faktor kerukunan dan kebersamaan.

2. Hukum Waris Barat (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)

Hukum waris berdasarkan konsepsi hukum perdata Barat yang

bersumber pada Burgerlijk Wetboek adalah bagian dari hukum harta

kekayaan, oleh sebab itu hanyalah hak dan kewajiban yang wujudnya harta

kekayaan berupa warisan dan yang akan diwariskan. Hak dan kewajiban

dalam hukum publik, hak dan kewajiban yang muncul dari kesusilaan dan

kesopanan tidak akan diwariskan, begitupun dengan hak dan kewajiban

yang muncul dari hubungan hukum keluarga, ini juga tidak dapat

diwariskan. Adapun kekayaan yang dimaksudkan yaitu sejumlah harta


82

kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia berupa

kumpulan aktiva dan pasiva. Sebagaimana dimaksud Pasal 833 BW yaitu :

“sekalian ahli waris dengan sendirinya demi hukum memperoleh hak

atas segala barang, segala hak, dan segala piutang dari yang

meninggal”

Pada dasarnya proses beralihnya harta kekayaan seseorang kepada

ahli warisnya, yang didefinisikan pewarisan, baru akan terjadi apabila

memenuhi syarat sebagai berikut :

1. Terdapat seseorang yang meninggal dunia;

2. Terdapat seseorang yang masih hidup sebagai ahli warisnya yang

akan memperoleh warisan pada saat pewaris meninggal dunia;

3. Terdapat sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris.

Sedangkan yang definisikan sebagai warisan atau harta peninggalan

yaitu sejumlah harta benda kekayaan pewaris dalam keadaan bersih, artinya

setelah dikurangi dengan pembayaran hutang pewaris dan pembayaran lain

yang disebabkan oleh meniggalnya pewaris. Dalam sistem hukum perdata

warisan meliputi seluruh harta benda beserta hak-hak dan kewajiban-

kewajiban pewaris dalam lapangan hukum harta kekayaan yang bisa dinilai

dengan uang.

Ada dua unsur penting dalam hukum waris barat yaitu:

a) Unsur individual (berkaitan diri pribadi seseorang). Pada dasarnya

seseorang pemilik atas suatu benda mempunyai kebebasan yang


83

luas untuk berbuat apa saja atas benda yang menjadi miliknya

termasuk harta kekayaannya menurut kemauannya.

b) Unsur sosial (berkaitan kepentingan bersama). Perbuatan yang

dilakukan pemilik harta kekayaan sebagaimana dijelaskan dalam

unsur individual dapat mengakibatkan kerugian pada ahli waris

sehingga Undang-undang memberikan pembatasan-pembatasan

terhadap kebebasan pewaris demi kepentingan ahli waris.

Dalam kewarisan perdata pembatasan tersebut dikenal dengan istilah

Legitieme Portie yang berarti bagian tertentu/mutlak dari ahli waris

tertentu. Oleh karena bagian mutlak tersebut berkaitan erat dengan

pemberian/hibah yang diberikan pewaris, yaitu pembatasan atas kebebasan

pewaris dalam membuat wasiat, maka Legitieme Portie diatur di dalam

bagian yang mengatur mengenai wasiat atau testament.

Adapun prinsip pewarisan adalah :

1. Harta waris baru dapat diwariskan apabila terpadat suatu kematian.

2. Terdapat ikatan darah antara pewaris dengan ahli waris, kecuali

untuk suami atau istri pewaris dengan syarat mereka masih terikat

tali perkawinan ketika pewaris meninggal dunia. Artinya apabila

mereka telah meninggal dunia pada saat pewaris meninggal dunia

maka suami/istri tersebut bukan merupakan ahli waris.

a. Sifat Hukum Waris BW

Sifat hukum waris perdata barat (BW), yaitu menganut :


84

1. Sistem Pribadi; Ahli waris merupakan perseorangan, bukan

kelompok ahli waris.

2. Sistem Bilateral; Mewaris berasal dari pihak Ibu ataupun pihak

Bapak.

3. Sistem Penderajatan; Ahli waris yang mempunyai hubungan lebih

dekat dengan si perawaris menutup ahli waris yang lebih jauh

hubungannya.

b. Pewaris dan Dasar Hukum Mewaris

Pewaris ialah seseorang yang meninggal dunia, baik laki-laki

maupun perempuan yang menyisakan sejumlah harta kekayaan

maupun hak-hak yang didapatkan beserta kewajiban-kewajiban yang

harus dilaksanakan selama hidupnya, baik dengan surat wasiat maupun

dengan surat tanpa wasiat.

Menurut undang-undang terdapat 2 (dua) cara dalam mendapat

suatu warisan, yaitu:

1. Secara Ab Intestato (ahli waris menurut Undang-Undang, termuat

dalam Pasal 832 KUHPerdata). Menurut ketentuan Undang-

Undang ini, yang berhak menerima bagian warisan adalah para

keluarga sedarah, baik sah maupun di luar kawin dan suami istri

yang hidup terlama. Keluarga sedarah yang menjadi ahli waris

dibagi dalam empat golongan, yang masing-masing merupakan

Ahli Waris golongan pertama, kedua, ketiga dan golongan

keempat.
85

2. Secara Testamentair (ahli waris karna ditunjuk dalam surat

wasiat/testamen, berdasarkan Pasal 899). Dalam hal ini pemilik

kekayaan membuat wasiat utuk para ahli warisnya yang ditunjuk

dalam surat wasiat/testamen.

Selain menurut undang-undang atau ab intestato, mewarisi harta

yang ditinggalkan pewaris juga dapat dilakukan dengan cara ditunjuk

dalam surat wasiat. Surat wasiat atau Testamen merupakan suatu

pernayataan dari seseorang berkaitan mengenai apa yang menjadi

kehendak setelah ia meninggal dunia.

Sifat utama surat wasiat yaitu memiliki kekuatan berlaku sesudah

pembuat surat wasiat meninggal dunia dan tidak dapat ditarik kembali,

dicabut atau diubah oleh siapapun. Akan tetapi selama pembuat surat

wasiat masih hidup, surat wasiat masih dapat diubah atau dicabut

maupun ditarik kembali.

c. Ahli Waris

Ahli waris berdasarkan undang-undang yaitu istri/suami yang

ditinggalkan dan keluarga sah atau tidak sah dari pewaris. Berlandaskan

prinsip pewarisan tersebut diatas, antara pewaris dan ahli waris harus

memiliki hubungan darah kecuali suami/isteri pewaris dan mereka

masih memiliki ikatan perkawinan pada saat pewaris meninggal dunia.

Dengan demikian ada empat golongan yang berhak mewarisi, yaitu :

1. Golongan I: Suami/Isteri yang hidup terlama atau anak

keturunannya (pasal 852)


86

2. Golongan II: orang tua dan saudara kandung pewaris

3. Golongan III: keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak

dan ibu pewaris

4. Golongan IV: paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak

maupun pihak ibu, yaitu ;

- Keturunan paman dan bibi sampai derajat kenam dihitung

dari pewaris, atau

- Saudara kakek dan nenek beserta keturunannya sampai

derajat keenam dihitung dari pewaris.

d. Syarat Penerima Warisan

Seseorang yang akan menerima sejumlah harta warisan terlebih dahulu

harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. Harus ada orang yang meninggal dunia, berdasarkan Pasal 830 KUH

Perdata;

b. Ahli waris atau para ahli waris harus ada ketika pewaris meninggal

dunia. Ketentuan ini bukan berarti mengurangi makna ketentuan

Pasal 2 KUH Perdata, yaitu “anak yang ada dalam kandungan

seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bila mana

kepentingan si anak menghendakinya”. Apabila ia meninggal pada

saat ia dilahirkan, ia dianggap tidak pernah ada. Maka dari itu berarti

bayi yang masih dalam kandungan juga sudah diatur haknya oleh

hukum sebagai ahli waris dan telah dianggap pantas untuk menjadi

ahli waris.
87

c. Seorang ahli waris harus pantas serta berhak menjadi ahli waris,

maksudnya ia tidak dinyatakan oleh undang-undang sebagai

seseorang yang tidak layak sebagai ahli waris karena adanya

kematian seseorang, atau dianggap sebagai tidak layak untuk

menjadi ahli waris.

3. Hukum Waris Islam

Pada hukum kewarisan Islam dikenal beberapa istilah antara lain

adalah fiqh mawaris. Fiqh berdasarkan bahasa berarti mengetahui,

memahami, yakni mengetahui sesuatu atau memahami sesuatu sebagai

hasil usaha yang menggunakan pikiran dengan sungguh-sungguh.

Sedangkan mawaris merupakan bentuk jamak dari miiraats yang berarti

harta peninggalan yang diwarisi oleh ahli warisnya. Jadi fiqh mawaris

merupakan suatu disiplin ilmu yang mengkaji mengenai harta peninggalan,

berkaitan dengan bagaimana proses pemindahan, pihak yang berhak

menerima harta peninggalan tersebut lalu berapa bagiannya untuk masing-

masing ahli waris. Hukum waris islam merupakan aturan yang mengatur

pemindahan harta dari seseorang yang meninggal dunia kepada ahli

warisnya. Dengan demikian berarti menentukan pihak-pihak yang menjadi

ahli waris, porsi bagian masing-masing ahli waris, menentukan harta

peninggalan dan harta warisan bagi orang yang meninggal.

Dasar dan sumber utama dari hukum islam sebagai hukum agama

(Islam) adalah nash dan teks yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan Sunnah
88

Nabi. Ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang mengatur mengenai

Kewarisan, beberapa diantaranya ;

QS. An-Nisaa’ ayat 7

“bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak

dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada bagian (pula) dari harta

peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak

menurut bagian yang telah ditetapkan”

Ketentuaan tersebut ialah landasan utama yang memperlihatkan

bahwa dalam Islam baik laki-laki maupun perempuan sama-sama memiliki

hak waris, sekaligus merupakan pengakuan Islam bahwa perempuan

merupakan subjek hukum yang memilki hak dan kewajiban.41

QS. An-Nisaa’ ayat 11 :

“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)

anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian

dua orang anak perempuan (karena kewajiban laki-laki lebih berat dari

perempuan, seperti kewajiban membayar mas kawin dan memberi

nafkah); dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua (dua

atau lebih sesuai yang diamalkan Nabi) maka bagi mereka dua pertiga

dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja,

maka ia memperoleh separuh hart. Dan untuk dua orang ibu-bapak

bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika

yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak

mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja) maka


89

ibunya mendapat sepertiga. Jika yang meninggal itu mempunyai

beberapa saudaramaka ibunya mendapat seperenam. (pembagian-

pembagian tersebut diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau

(dan) sesudah dibayar utangnya. (tentang) orang tuamu dan anak-

anakmu, kau tidak mengetauhui siapa diantara mereka yang lebih

dekatb(banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah

Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”

QS. An-Nisaa’ ayat 12 :

“dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan

oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istri

mu itu mempunyai anak maka kamu mendapat seperempat dari harta

yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau

(dan) sudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta

yang ditinggalkan jika kamu tida mempunyai anak. Jika kamu

mempunyai anak maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta

yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau

(dan) sesudah dibayar utang-utangmu. Jika seseorang mati baik laki-

laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak

meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki

(seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja) maka bagi

masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi

jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka

bersekutu dalam sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat atau sesudah


90

dibayar utangnya dengan memberi mudharat (kepada ahli waris).

(Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-

benar dari Allah, dan Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.”

QS. An-Nisaa’ ayat 176 :

“mereka meninta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah:

Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika

seseorang meninggal dunia, dia tidak mempunyai anak dan

mempunyai saudara perempuan maka bagi saudaranya yang

perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudara

yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia

tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang,

maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh

yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri atas) saudara-

saudara laki-laki dan perempuan maka bagian seorang saudara laki-

laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah

menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan

Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

b. Syarat Waris

Berikut adalah syarat-syarat yang harus dimiliki agar seseorang

bisa mendapatkan warisan secara hukum:

1. Pihak yang mewariskan (muwarrits) sudah meninggal. Ulama

menggolongkan mati menjadi 3 (tiga) macam ;

a. Mati yang sifatnya haqiqi (mati yang sebenarnya);


91

b. Mati secara hukum, yaitu terhadap orang yang hilang yang oleh

pengadilan dianggap telah mati, dan;

c. Mati taqdiri (mati berdasarkan dugaan), yaitu suatu kematian

yang tidak haqiqi dan tidak hukum, tetapi hanya berlandaskan

dugaan keras.

2. Orang yang menerima warisan (ahli waris) masih hidup, pada saat

kematian muwarits.

3. Tidak ada hambatan untuk mendapatkan warisan.

4. Tidak terhijab atau tertutup secara penuh oleh ahli waris yang lebih

dekat.

c. Rukun Waris

1) Harta Warisan (mauruts atau tirkah)

Pengertian harta waris berdasarkan Kompilasi Hukum Islam

pada Pasal 171 angka 5 menyatakan bahwa harta waris adalah harta

bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk

keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya

pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian

untuk kerabat.

Harta warisan (mauruts) ialah harta benda yang ditinggalkan dari

pewaris untuk diterima oleh para ahli waris setelah digunakan untuk

biaya-biaya perawatan, melunasi utang-utang serta melaksanakan

wasiat si pewaris. Sedangkan yang dimaksud dengan tirkah yaitu apa

yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang dibenarkan


92

oleh syariat untuk dipusakai oleh para ahli waris. Dan apa yang

ditinggalkan oleh orang yang telah meninggal tersebut mencakup

antara lain :

1. Kebendaan dan sifat-sifat yang memiliki nilai kebendaan,

seperti benda bergerak, benda tidak bergerak, piutang si

pewaris, surat berharga, diyat, dan lain-lain miliknya.

2. Hak-hak kebendaan, yang dimaksud ialah hak monopoli untuk

memungut hasil dari jalan raya, sumber air minum, dan lain-

lain.

3. Benda-benda yang berada di tangan orang lain. Seeperti barang

gadaian, dan barang-barang yang sudah dibeli dari orang lain,

tetapi belum diserah terimakan kepada orang yang sudah

meninggal.

4. Hak-hak kebendaan yang bukan kebendaan. Diantaranya hak

syuf’ah yaitu hak beli yang diutamakan bagi tetangga/serikat,

dan memanfaatkan barang yang diwasiatkan atau diwakafkan.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa harta warisan

merupakan harta bersih, yaitu harta peninggalan si Pewaris yang telah

dipotong biaya keperluan pewaris hingga meninggal dan dimakamkan

dengan layak, termasuk di dalamnya segala pembayaran utang,

keperluan semasa hidup dan setelah meninggal, serta biaya perawatan

pewaris.

2) Pewaris (muwarrits)
93

Pewaris ialah orang yang pada saat meninggalnya beragama Islam,

meninggalkan harta warisan dan ahli waris yang masih hidup. Istilah

pewaris berkaitan dengan suatu proses pelimpahan hak atas harta

dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada keluarganya yang

masih hidup. Oleh sebab itu orang yang masih hidup dan

meninggalkan haknya kepada keluarganya tidak dapat disebut

pewaris, meskipun pengalihan itu dilakukan menjelang

kematiannya. Pewaris atau muwarrits adalah orang yang meninggal

dunia baik secara mati haqiqi, mati hukmy maupun mati taqdiri.

Menurut Kompilasi Hukum Islam, Pewaris adalah orang yang ketika

meninggal atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan

pengadilan beragama islam, meninggalkan ahli waris dan harta

peninggalan.

3) Ahli Waris

Ahli waris ialah orang yang memiliki hak menerima warisan

karena memiliki hubungan kekerabatan (nasab) atau hubungan

perkawinan (pernikahan) dengan si pewaris, beragama Islam dan

tidak terhambat karena hukum untuk menjadi ahli waris.

Berdasarkan uraian tersebut yang dapat digolongkan menjadi ahli

waris ialah :

1. Orang yang memiliki hubungan darah dengan pewaris, seperti

anak kandung, orang tua, saudara pewaris dan seterusnya;

2. Mempunyai hubungan perkawinan (suami/istri pewaris);


94

3. Memiliki hubungan satu agama dengan pewaris;

4. Tidak terhambat untuk mendapat warisan, (pembunuh pewaris).

Pewarisan hanya dapat dilakukan jika adanya kematian sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 830 BW, artinya ketika dilakukan pewarisan,

seorang pewaris harus telah dalam keadaan meninggal dunia. Di dalam

hukum perdata BW perlu adanya kejelsan tentang kapan seseorang tersebut

meninggal dunia karena dengan adanya kematian tersebut mengakibatkan

adanya pewarisan. Kematian dalam konteks ini merupakan kematian yang

wajar/natuurlijke dood dan tidak termasuk di dalamnya adalah kematian

perdata/burgerlijke dood yang memang tidak lagi dikenal dalam hukum

positif. 34

Masing-masing orang memiliki hak dan kewajiban memberikan

implikasi bahwa dengan adanya kematian, maka akan lahir suatu

permasalahan karena hak dan kewajiban tersebut tidak akan hilang

bersamaan dengan meninggalnya seseorang tersebut. Hak dan kewajiban

tiap orang memiliki hubungan dengan hak dan kewajiban orang lain,

sehingga pada saat itu perlu dijelaskan bahwa siapa yang memiliki hak

mewaris dan dari kapan hak dan kewajiban pewaris itu pindah tangan

kepada ahli warisnya.

Pada hukum positif sendiri belum memberikan Batasan tentang apa

yang dinamakan dengan boedel. Menurut Fockema Andrea, boedel ialah

34
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Waris Kodifikasi, Airlangga University Press, Surabaya,
2000, Halaman 4.
95

semua harta seorang yang berarti seluruh aktiva dan pasiva. 35 Dapat

disimpulkan bahwa boedel sama halnya dengan kekayaan/vermogen, yaitu

semua hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dimiliki oleh seseorang,

yang dapat dinilai dengan uang. 36Warisan adalah kekayaan yang

berkompleks aktiva dan pasiva pewaris yang berpindah tangan kepada ahli

warisnya, kompleks aktiva dan pasiva tersebut yang menjadi milik

Bersama beberapa orang ahli waris disebut dengan boedel.

Unsur-unsur pokok konsep harta kekayaan dalam artian hukum

menurut Abdulkadir Muhammad, yaitu 37

1. Benda;

2. Milik seseorang;

3. Dapat dinilai dengan uang atau memiliki nilai ekonomi;

4. Dilindungi dan diakui oleh hukum;

5. Dapat dipindahtangankan atau dapat dialihkan.

Pasal 874 menyatakan, pewarisan akan menjadi hak bagi ahli waris

sebagaimana mengacu pada aturan yang ada pada ketentuan pewarisan ab

intestato, kecuali jika pewaris menginginkan atau menentukan hal-hal lain

sesuai keinginannya di dalam suatu wasiat. Dari aturan itu dapat diartikan

bahwa keinginan pewaris didahulukan oleh hukum positif khususnya atas

ketentuan ab intestato. Hal ini dikarenakan terdapat kemungkinan bahwa

35
J. Satrio, Hukum Waris Tentang Pemisalah Boedel, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, Halaman
1.
36
J. Satrio, Op. Cit, Halaman 9.
37
Abdulkadir Muhammad, Hukum Harta Keyaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, Halaman 12.
96

ahli waris tertentu oleh pewaris tidak mendapatkan bagian sama sekali dari

pewarisan.

Menurut Pasal 913 B.W., hanya dimiliki oleh keluarga sedarah dalam

secara vertikal baik ke atas maupun ke bawah. Kemudian di dalam aturan

tersebut oleh para ahli diartikan hanya mencakup keluarga sedarah yang

berada dalam garis vertikal. Kemudian di dalam aturan Pasal 913, 916 a

dan 920 B.W., oleh para ahli diartikan bahwa Legitieme Portie (Lp) wajib

dituntut, artinya bahwa Lp akan dituntut ketika Legitie Portie melihat

tanda-tanda bahwa dirinya memperoleh bagian yang lebih sedikit

daripadanya Legitieme Portie. Tanda tersebut dapat terlihat baik karena

pewaris selama hidupnya sudah membuat keputusan pemilikan atas harta

tersebut dalam jumlah yang tidak sedikit yang dilakukan dapat lewat hibah

atau dikarenakan pewaris memang menuliskan keinginannya dalam surat

wasiat. Namun tidak selalu setiap adanya hibah atau wasiat selalu ada

penyimpangan. Hal tersebut harus dilihat dan ditinjau secara detail dengan

memperhatikan jumlah ahli waris, jumlah besar atau kecilnya warisan dan

jumlah bagian dari warisan atas mana pewaris mengambil tindakan melalui

hibah atau wasiat.

Pada suatu pewarisan terdapat 3 (tiga) unsur esensial yang harus ada,

yaitu :

a. Adanya orang yang meninggal dunia yang meninggalkan warisan.

Meninggal dunia diartikan dalam hal ini yaitu meninggal yang

terjadi karena hal alamiah. Dalam hukum positif tidak terdapat


97

penjelasan khusus mengenai mati perdata, yaitu kematian yang

melawan Pancasila yang secara jelas menyebutkan bahwa tidak ada satu

aturan mana pun yang menyebabkan kematian perdata atau kehilangan

segala hak kewarganegaraan.

b. Adanya baik seorang atau lebih yang ditinggalkan.

Seseorang atau lebih yang memiliki hak dan kewajiban bertindak

menjadi ahliwaris, artinya bahwa seseorang yang akan bertindak

sebagai ahli waris, dirinya adalah seseorang telah hidup/lahir dan masih

ada atau masih hidup ketika pewaris telah meninggal dunia. Waktu

terjadinyna kematian dan kelahiran seseorang menjadi hal yang esensial

karena ketika itu menjadi keputusan siapa-siapa saja yang memiliki hak

mendapatkan warisan dan dari kapan hak serta kewajiban orang yang

meninggal dunia itu beralih kepada orang yang ditinggalkannya atau

yang berhak mendapatkan warisan tersebut.

Mengenai ahli waris pada anak, ketentuan dasarnya walaupun si

anak dalam kondisi bayi atau baru lahir dianggap oleh aturan dirinya

cakap untuk mewaris. Tetapi oleh undang-undang dijelaskan bahwa hal

ini tidak layak (onwaardig). Pada ketentuan pasal 838 B.W terdapat

suatu asas yang menyatakan bahwa pihak yang memiliki hak waris

wajib orang yang tidak termasuk di dalamnya orang yang tidak layak.

c. Adanya harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris kepada ahli

waris.
98

Kekayaan yang dimaksud yaitu keseluruhan hak-hak dan

kewajiban yang dimiliki oleh orang tersebut, yang memiliki nilai

ekonomi dan dapat dinilai dengan uang. Menurut J. Satrio bahwa

keseluruhan hak dan kewajiban yang tidak memiliki nilai ekonomi,

contohnya suatu hak dan kewajiban yang timbul karena adanya

hubungan hukum diantara keluarga, maka hal tersebut tidak serta merta

dapat diturunkan atau diwariskan. Misalnya kewajiban curator atas

curandus tidak dapat diwariskan. Dalam konsep hukum positif, yang

dimaksud dengan kekayaan adalah harta yang meliputi benda bergerak

dan benda tidak bergerak.

Sebagai upaya preventif dari akibat keputusan yang tidak adil

mengenai biaya-biaya atau utang si pewaris, dapat dicegah dengan

upaya sebagaimana disebutkan dalam pasal 1023 B.W., yang

menyatakan bahwa ahli waris diberikan kesempatan untuk memilih

tindakan atas dibebaninya warisan dari pewaris pada ahli waris, antara

lain:

d. Menerima warisan secara murni atau dengan hak istimewa.

Berdasarkan asas, dengan diterimanya suatu warisan berakibat

harta warisan menjadi bersatu dengan harta pribadi ahli waris. Hal ini

mengakibatkan utang-utang yang ditinggalkan dalam warisan dapat

dilakukan pelunasan dengan harta ahli waris pribadi. Diterimanya suatu

pewarisan dapat terjadi dengan terang-terangan atau diam-diam, artinya

dilihat dari sikap dan perilaku ahli waris sebagaimana diatur dalam
99

Pasal 1048 B.W. Kemudian, penerimaan itu pada asasnya berlaku surut

terhitung ketika pewaris meninggal dunia. Penerimaan warisan berlaku

mutlak, yang artinya tidak bisa dibatalkan, ahliwaris yang telah

menerima warisan tidak bisa menolak, kecuali ada unsur penipuan dan

paksaan pada waktu penerimaan (Pasal 1053 B.W.).

e. Menerima warisan secara beneficiair.

Menerima warisan secara beneficiair merupakan diterimanya suatu

warisan dengan hak untuk membuat pencatatan boedel. Hal ini berakibat

pada ahli waris hanya berkehendak untuk menerima warisan jika adanya

sisa atau lebihnya aktiva dari pasiva. Hal ini diatur sebagaimana

ketentuan Pasal 1031 B.W.

f. Menolak warisan.

Untuk menolak warisan harus dilakukan secara tegas dan harus

diadakan melalui suatu pernyataan yang dibuat di Pengadilan Negeri

yang berada di area hukumnya dimana telah terjadi suatu pewarisan

tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1023 B.W., dirinya

menyatakan tidak menjadi sebagai ahli waris. Akibatnya dirinya tidak

akan mendapatkan suatu apapun dari pewarisan tersebut dan juga tidak

menanggung suatu beban apapun sesuai Pasal 1057 jo Pasal 1058 B.W.

Penolakan pewarisan seperti ini berlaku absolut atau mutlak, artinya

tidak dapat dicabut kembali sebagaimana ketentuan Pasal 1058 B.W.,


100

yang telah menolak suatu pewarisan, maka tidak akan dapat memperoleh

warisan itu kembali.

Menurut Subekti, B.W melihat selaku hakikat, bahwa yang diwaris

oleh para ahli waris itu tidak hanya hal-hal yang memberikan manfaat

bagi mereka, tetapi juga utang-utang dari peninggalan warisan dalam

artian bahwa kewajiban membayar utang-utang itu pada hakikatnya

beralih kepada ahli waris. Hal itu dapat terjadi jika ahli waris menerima

harta warisan dengan syarat, yaitu warisan itu diterima dengan perincian

serta wujud dari barang-barang warisan.


BAB IV

PERAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN SURAT KETERANGAN

WARIS TERKAIT PENGGOLONGAN PENDUDUK DI INDONESIA

A. Apakah Notaris mempunyai peran dalam Pembuatan Surat Keterangan

Waris Yang Terkait Dengan Penggolongan Penduduk di Indonesia.

Notaris sebelum menjalankan jabatannya, maka diharuskan untuk

mengangkat sumpah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 PJN (sedangkan

isi sumpah yang dimaksud tercantum secara tegas dalam Pasal 17 PJN). Kalau

isi sumpah tersebut diperhatikan, maka tersirat adanya 2 (dua) bagian, yaitu :

1. Disebut sebagai politik eed; dan

2. Dianggap sebagai beroeps eed (sumpah jabatan) yang merupakan janji-janji

notaris sehubungan dengan tugas jabatan yang dipikulnya.

Klien datang ke kantor Notaris adalah karena yang bersangkutan

membutuhkan jasa Notaris, maka pada prinsipnya dapat dikatakan bahwa

Notaris yang dianggap sebagai penjual jasa harus berusaha melayani klien

sebaik-baiknya. Jasa merupakan suatu proses aktivitas usaha, pada umumnya

didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak secara lisan (penyedia dan

penerima jasa) untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Hal tersebut

mengindikasikan bahwa Notaris tidak berarti apa-apa jika masyarakat tidak

membutuhkannya. 38

38
Habib Adjie, Op Cit, hlm. 4.

101
102

Hubungan Notaris dengan klien, dalam hal demilcian bisa dikatakan

sebagai telah terjadi persetujuan dan secara moral telah mengikat kedua belah

pihak, karena dengan terwujudnya akta yang telah sempurna ditandatangani

telah membawa konsekuensi, yaitu bahwa Notaris telah berjanji untuk

menjamin kepastian hukum terhadap akta yang dibuatnya tersebut (walaupun

hal tersebut tidak diungkapkan secara jelas) kepada klien.

Dikatakan telah terjadi persetujuan antara Notaris dengan klien, sebab

klien datang ke Notaris untuk menanyakan kepada Notaris bersedia atau tidak

membuat akta yang dikehendaki oleh klien. Bilamana Notaris "menolak",

maka sebagaimana diatur dalam pasal 7 PJN, Notaris yang bersangkutan harus

memberikan penjelasan secara tertulis tentang alasan penolakan tersebut; tetapi

jika Notaris "menerima" perrnintaan klien, maka dengan sendirinya telah

terjadi persetujuan dan mereka harus saling memenuhi apa yang telah

diperjanjikan secara lisan tersebut, dan dengan demikian telah menimbulkan

hak dan kewajiban, dimana klien mempunyai hak untuk meminta turunan akta

serta berhak menuntut bahwa akta tersebut (dijamin kepastian hukumnya);

namun di samping itu si klien berkewajiban untuk membayar biaya kepada

Notaris sesuai dengan nilai yang telah disepakati bersama.

Jabatan Notaris adalah jabatan kepercayaan dan justru itulah jasa Notaris

sangat dibutuhkan, baik dimasa sekarang maupun dimasa depan karena

merupakan sarana penting untuk mewujudkan kepentingan klien itu sendiri.

Apabila dikemudian hari ternyata klien telah melanggar janji atau bahkan

Notaris yang melanggar janji, maka dapat dikatakan sebagai wanprestasi


103

sebagaimana diatur dalam Pasal 1243 B.W. dengan konsekuensi harus

bertanggung gugat dan bertanggung jawab atas kesalahannya.

Hubungan Notaris dengan klien ini mutlak harus dijaga dengan saling

percaya dan harus sama-sama dapat dipercaya dalam upaya meningkatkan

kepentingan bisnis, termasuk dalam hal pelayanan dan pelaksanaan pembuatan

akta. Hal ini dikarenakan notaris merupakan pembuat dokumen yang kuat

dalam suatu proses hukum sehingga diperlukan kecerdasan, kecermatan, dan

kehati-hatian Notaris dalam proses pembuatan akta otentik agar tidak terjadi

kesalahan yang akan berpotensi menimbulkan sengketa dikemudian hari. 39

Walaupun Notaris tidak bertanggung jawab terhadap isi akta yang telah

dibuat oleh atau dihadapannya; namun kinerja Notaris dalam hal ini dituntut

untuk bekerja secara profesional, mandiri dan dalam posisi yang adil tidak

memihak, serta menguasai ilmu yang baik, terutama dalam bidang hukum

perdata yang sedang ditanganinya termasuk kualitas moral dan kepatuhan

terhadap etika profesi, sehingga dengan demikian dapat menyelenggarakan

fungsi dan peranannya secara baik.

Profesi Notaris mempunyai hubungan dengan kekuasaan kehakiman

terutama terhadap keberadaan akta otentik (sebagai alat bukti tertulis yang

sempurna) yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris. Pembuatan alat bukti

tersebut harus tunduk pada persyaratan yang telah ditentukan oleh undang-

undang, khususnya yang diatur dalam pasal 1 PJN juncto Pasal 1868 B.W.

Berpedoman pada alat bukti akta otentik dimaksud, maka hakim akan

39
Tan Thong Kie, Op Cit, hlm. 444.
104

mengadili dan memutuskan karena pembentuk undang-undang memberi

kebebasan kepada hakim untuk menilai alat bukti tersebut. Harus di ingat

bahwa kekuatan pembuktian akta otentik dapat dibedakan menjadi:

1. Kekuatan pembuktian lahiriah, artinya

Akta yang dimaksud mempunyai kemampuan untuk membuktikan

dirinya sendiri sebagai akta otentik (yaitu keberadaannya sesuai dengan

perintah Pasal 1868 B.W. dan bukan sebagai akta di bawah tangan yang

diatur dalam Pasal 1875 B.W.);

2. Kekuatan pembuktian formil, maksudnya adalah :

Bahwa hal-hal yang tercantum dalam akta otentik tersebut dapat

dibuktikan dan dijamin kebenarannya (dengan maksud dilihat, didengar

secara langsung serta dialami/ disaksikan sendiri oleh Notaris);

3. Kekuatan pembuktian materiil, yaitu :

Berdasarkan catatan atau isi akta tentang kenyataan yang telah

dikemukakan oleh para pihak sendiri. Dari konteks pemahaman di sini,

maka adalah tidak tepat dan tidak adil bilamana pengadilan membatalkan

akta Notaris (sebagai dalil isi akta) karena tidak ada satupun undang-undang

yang mengharuskan bahwa Notaris wajib menyelidiki kebenaran materiil

yang telah dikemukakan oleh klien. Jika diperhatikan ketentuan Pasal 1

sampai dengan Pasal 12 PJN yaitu hanya berdasarkan kebenaran formil

yang mengatur tentang pekerjaan Notaris, tidak berdasarkan kebenaran

materiil.
105

Namun Apabila Notaris diputus bersalah karena melakukan tindak

pidana (dengan dalil melakukan pemalsuan akta), maka tentunya haruslah

dibuktikan terlebih dahulu "unsur kesalahannya”; apakah kesalahan yang

dilakukan dikarenakan kelalaian atau karena kesengajaan. Jika yang telah

dilakukan adalah unsur kesengajaan, maka tentunya harus ada sanksi yang

tepat dan adil. Aparat penegak hukum harus dapat memahami, bahwa

kesengajaan tidak selalu mempunyai maksud yang jelek; dengan pengertian

bahwa hal sengaja tersebut dilakukan untuk suatu maksud baik atau

bertujuan baik sebagai motivasi tindakan Notaris itu sendiri.

Pada umumnya unsur kesengajaan tersebut di atas berkaitan dengan

pertanggungjawaban atas tindakannya, hal mana Notaris dalam

menjalankan tugasnya untuk menyelesaikan pekerjaannya selalu dilandasi

oleh tanggung jawab pribadi yaitu tindakannya sesuai dengan keyakinan

dan tuntutan hati nurani bahwa apa yang telah dilakukannya adalah baik dan

tidak bermaksud jahat dan harus dapat membuktikannya. Jadi terhadap

perbuatan Notaris yang menimbulkan kerugian klien, maka hams dilihat

dahulu unsur kesalahannya terletak dimana, tidak semua kesalahan

dibebankan kepada Notaris untuk bertanggung jawab, sebab ada kriteria

tertentu tentang pertanggungjawaban Notaris.

Tanggung gugat Notaris ditinjau dari aspek hukum perdata adalah

memberikan pelayanan jasa kepada klien, namun perlu diingat bahwa

Notaris tidak harus semata-mata hanya menuruti perintah klien, melainkan

harus memahami dan menguasai prinsip kebenaran terhadap apa yang


106

diinginkan klien (jangan sampai karena nasihat atau keterangan-keterangan

Notaris yang salah, menyebabkan isi akta juga salah; padahal Notaris tidak

bertanggung jawab atas isi akta yang dibuat dihadapannya, tetapi nasihat

yang telah diberikan tersebut telah mempengaruhi isi akta, dalam hal

demikian Notaris wajib bertanggung jawab). Jika menurut keyakinan

Notaris, bahwa keinginan klien tidak benar, maka hal tersebut tidak perlu

dituruti karena problema ini nantinya berkaitan dengan

pertanggungjawaban Notaris dan ujung-ujungnya apabila timbul suatu

kerugian dikemudian hari, maka hal itu akan menimbulkan tanggunggugat

kepada Notaris itu senciiri. Dalam hal ini Marthalena Pohan memberikan

penegasan bahwa :

Notaris memerlukan pengetahuan tentang fakta-fakta, apabila is


berkehendak memberikan bantuan yang diharapkan dengan tepat.
Oleh karena itu, Notaris hams cukup berusaha dan cukup
mempunyai kesabaran untuk memperoleh fakta-fakta yang
bersangkutan dari klien. Apabila dikemudian hart ternyata klien
menyembunyikan keterangan-keterangan, dengan sengaja atau
karena tidak cermat, mengakibatkan Notaris akhirnya bertindak
tidak tepat, maka baginya tidak akan terjadi tanggung gugat.

Selanjutnya dikatakan pula, bahwa Notaris mempunyai kewajiban

untuk memberikan nasihat dengan cara secermat mungkin dan bila

ternyata Notaris telah ceroboh dan merusak kewajibannya akan

menimbulkan wanprestasi. "... dengan sendirinya, bahwa semua kegiatan

Notariil didasarkan pada persetujuan, sehingga oleh karenanya di dalam

semua kasus diperkenankan menuntut, baik berdasarkan wanprestasi

maupun berdasarkan onrechtmatige daad. "Suatu kesalahan atau kelalaian

yang diperbuat dalam menjalankan jabatan/ profesi (contohnya adalah


107

Notaris) akan menimbulkan wanprestasi, dan sekaligus merupakan

onrechtmatige daad; tuntutan kesalahan selalu didasarkan pada kedua

alasan tersebut, wanprestasi (sebagaimana diatur dalam Pasal 1243 B.W.)

menduduki tingkatan yang primair sedangkan onrechtmatige daad

(sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 jo Pasal 1366 B.W.) menduduki

tingkatan subsidair/ tambahan.

Sanksi terhadap "unsur kesalahan" yang telah dilakukan oleh Notaris,

ada yang berupa

1. Pemecatan sementara, yang mana terdiri dan 9 (sembilan) pasal;

2. Denda, terdiri dan 22 (duapuluh dua) pasal;

3. Ancaman untuk membayar penggantian biaya, ganti rugi dan bunga;

terdiri dari 7 (tujuh) pasal.

Ada beberapa katagori "kesalahan-kesalahan", dimana Notaris telah

menimbulkan kerugian terhadap klien, sedangkan kesalahan-kesalahan

tersebut dapat dibuktikan, maka dengan demikian timbul gugatan ganti

rugi sebagai bentuk kompensasinya, yaitu :

1. "Kesalahan Teknik dalam Pembuatan Akta"; yaitu Notaris dianggap

kurang hati-hati, dengan demikian dianggap telah melanggar ketentuan

Pasal 32, 33 dan Pasal 35 PJN.

2. "Kesalahan Administrasi"; dimana Notaris tidak membuat laporan

bulanan, terutama tidak mendaftarkan akta wasiat yang dibuat

dihadapannya, atau juga tidak melaporkan adopsi sebagaimana diatur

oleh Pasal 36a, 37 dan Pasal 37a PJN.


108

3. "Tidak Tertib membuat Register-register" (seperti klaper, repertorium)

sehingga membawa dampak dikemudian hari, klien kesulitan

memperoleh turunan akta untuk dipakai sebagai bukti atau antara

minuta akta dan salinannya tidak sama, hal ini diatur dalam Pasal 46

PJN.

4. "Tidak Menjamin Kepastian Hukum dan Otentisitas Akta" yang dibuat

oleh atau dihadapannya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1866,

1867 dan Pasal 1868 B.W., misal salah menerapkan hukum yang

digunakan sebagai dasar pembuatan akta.

5. "Membuat Akta dimana dirinya sendiri atau keluarganya terlibat di

dalamnya"; secara tidak langsung ada kemungkinan memihak dan

menimbulkan kerugian di pihak lain, di sini dapat dikatakan telah

melanggar ketentuan Pasal 20 PJN.

6. "Melanggar Daerah Jabatan/ wilayah kerja"; sebagaimana diatur dalam

Pasal 12 PJN.

7. "Tidak Menguasai" ketentuan yang ada dalam PJN atau mungkin

dengan sengaja telah melakukan pelanggaran, sebagai contoh

melakukan malpraktik.

8. "Telah membocorkan Rahasia Isi Akta" yang telah dibuat oleh atau

dihadapannya; dengan dernikian Notaris telah melanggar ketentuan

Pasal 17 juncto Pasal 40 PJN mengenai sumpah jabatan Notaris dan

kerahasiaan isi akta.


109

9. "Informasi atau Nasihat yang diberikan" oleh Notaris kepada klien

ternyata keliru (hal ini bisa disebabkan kurangnya

menguasai/memaharni ilmu), sehingga akta yang dibuat oleh atau

dihadapannya menimbulkan kerugian terhadap klien atau pihak yang

berkepentingan.

Pada pembuatan keterangan waris, apabila Notaris melakukan

kesalahan dalam menyebutkan nama-nama ahli waris ataupun bagian

masing-masing ahli waris, sehingga menimbulkan kerugian kepada klien

(si ahli waris), maka Notaris bertanggunggugat atas kerugian yang ada.

Dalam pembuatan keterangan waris, Notaris dituntut untuk berhati-hati

dalam hal menuangkan kehendak ahli waris ke dalam suatu akta; karena

beban tanggung jawab masih terus berlangsung seumur hidup si Notaris,

ini berarti pekerjaan Notaris penuh resiko dan tidak ada jarninan bagi para

Notaris untuk bebas dari segala tanggung gugat, meskipun telah berstatus

emeritus.

Sebagai bukti di sini, bahwa dalam pembuatan keterangan waris, si

Notaris dapat diganggu gugat, yaitu berdasarkan Putusan Pengadilan

Negeri Surabaya bernomor 392/Pid/B/1999/PN.Sby, tertanggal 11

Agustus 1999, menyatakan bahwa terdakwa (Notaris Maria Martha

Lomanto atau untuk selanjutnya lebih baik disebut dengan initial M.M.L.)

tidak terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana dan

membebaskan terdakwa dari semua dakwaan sebagaimana dalam Surat

Dakwaan Jaksa Penuntut Umum bemomor Reg. Prk.: PDM-50/S


110

BAYA/1999, tertanggal 19 April 1999 (yaitu M.M.L. didakwa telah

melakukan/ membuat secara tidak benar atau memalsukan Surat

Keterangan Tentang Hak Waris, bernomor 2, tertanggal 21 Maret 1988).

Kemudian putusan tersebut diperkuat oleh Mahkamah Agung Republik

Indonesia, melalui putusan bernomor 1416 IC/Pid.1999, tertanggal 15

Februari 2000, yang menyatakan bahwa tidak dapat diterima permohonan

Kasasi dari pemohon Kasasi Jaksa Penuntut Umum. Secara garis besarnya,

penulis berusaha menjelaskan kasus tersebut sebagaimana di bawah ini :

Pada Februari 1988, seorang wanita yang bemama JANE AGUSTINA

BUDIONO (yang dahulu bemama Tan Giok Yam) adalah anak kandung

dari pasangan suami-istri almarhum Tuan TULUS BUDIONO (yang

dahulu bemama Tan Tjhing Kwie) dan Nyonya ELISABETH BUNGA

BUDIONO, datang untuk minta dibuatkan Keterangan Waris atas harta

peninggalan ayahnya kepada terdakwa Notaris M.M.L dengan membawa

surat-surat untuk keperluan tersebut, yaitu

1. Akta kematian ayahnya (almarhum Tuan TULUS BUDIONO);

2. Akta perkawinan almarhum ayahnya dengan ibunya (ELISABETH

BUNGA BUDIONO);

3. Akta kelahiran JANE AGUSTINA BUDIONO;

4. Surat keterangan ganti nama;

5. Akta kelahiran THERESIA LIANA BUDIONO dan PETRUS KABUL

BUDIONO.
111

Surat-surat tersebut telah diperiksa oleh M.M.L. Atas permintaan

tersebut, terdakwa M.M.L mengirim surat permohonan bantuan untuk

dapat diperoleh ada/ tidaknya wasiat alas nama almarhum TULUS

BUDIONO kepada D.P.W. di Jakarta bemomor 37/1988, tertanggal 3

Maret 1988. Bersama surat permohonan tersebut, dilampirkan dukumen-

dokumen pendukungnya antara lain yaitu Surat Pernyataan Ganti Nama

bernomor 12588/Gt.Nm/KOMAD/1967/L tertanggal 28 Nopember 1967,

dimana disebutkan

1. Tan Tjhing Kwie manjadi TULUS BUDIONO;

2. Lian Hwa menjadi THERESIA LIANA BUDIONO;

3. Tan Kiem Bok menjadi PETRUS KABUL BUDIONO;

4. Tan Giok Yam menjadi JANE AGUSTINA BUDIONO.

Pada tanggal 10 Maret 1988, D.P.W. menjawab melalui surat

bemomor C2.HT.05.02-332, yang isinya menerangkan bahwa tidak ada

wasiat atas nama almarhum Tuan TULUS BUDIONO.

Berdasarkan jawaban D.P.W. tersebut, maka M.M.L. meminta untuk

didatangkan 2 (dua) orang saksi yang dapat menceritakan secara singkat

riwayat hidup almarhum, adapun para saksi di sini adalah :

1. Nyonya Sukarlin Halim; dan

2. Tuan Yohanes Haryono.

Dalam kesempatan ini, terdakwa M.M.L. pernah menanyakan kepada

JANE AGUSTINA BUDIONO tentang saudara-saudara yang lain, dan

jawabannya adalah mereka adalah anak asuh. Pada tanggal 21 Maret 1988
112

oleh M.M.L. dibuatkan Keterangan tentang Hak Waris bernomor 2; yang

memuat

Nyonya ELISABETH BUNGA BUDIONO (janda) dan JANE

AGUSTINA BUDIONO, masing-masing dan berturut-turut mendapat

1/2 (setengah) bagian.

Konsekuensi dengan terbitnya Surat Keterangan tentang Hak Waris

tersebut, maka saudara-saudaranya (yaitu THERESIA LIANA BUDIONO

dan PETRUS KABUL BUDIONO) merasa dirugikan karena mereka

merasa haknya atas harta warisan (berupa sebuah rumah dan tanah di

Surabaya, jalan Sumatra nomor 85) terlanggar. Melalui Jaksa Penuntut

Umum (Kejaksaan Negeri Surabaya), persoalan ini diangkat ke meja hijau

(Pengadilan Negeri Surabaya) dengan dakwaan kepada M.M.L. telah

melakukan delik pidana (yaitu memalsukan Surat Keterangan tentang Hak

Waris bernomor 2 tertanggal 21 Maret 1988).

Terhadap problema tersebut di atas, perlu sekiranya disinggung

kembali, bahwa tidak ada satupun undang-undang yang mengharuskan/

mewajibkan Notaris untuk menyelidiki kebenaran materiil yang telah

dikemukakan oleh klien (JANE AGUSTINA BUDIONO); sehingga

terhadap kerugian yang diderita (THERESIA LIANA BUDIONO dan

PETRUS KABUL BUDIONO), semestinya adalah bukan tanggungjawab

Notaris M.M.L., namun anehnya Notaris M.M.L.

Tetap di meja hijaukan oleh jaksa penuntut umum dengan dakwaan

telah melakukan delik pidana.


113

Berdasarkan tinjauan kasus yang penulis pakai diatas, maka

seharusnya dibuktikan terlebih dahulu unsur kesalahan pada diri Notaris

baru kemudian bisa dikatakan bahwa Notaris bertanggunggugat atas

perkara tersebut. Harus diingat, bahwa hukum merupakan rangkaian

peraturan mengenai tingkah laku manusia sebagai komunitas masyarakat,

yang bertujuan mengadakan keselamatan, kebahagiaan dan tats tertib

dalam masyarakat. Walaupun secara jelas Notaris M.M.L. tidak terbukti

sama sekali melakukan tindak pidana yang dituduhkan kepadanya, namun

secara tidak langsung membawa dampak yang sangat merugikan, terutama

dan terkait dengan waktu, tenaga, biaya yang tidak sedikit, bahkan

pencemaran nama baik.

Di samping hal tersebut, maka diperlukan adanya sosialisasi bagi

masyarakat secara umum maupun aparat penegak hukum secara khusus

tentang (wewenang, fungsi dan keberadaan Notaris), baik sebagai

pengemban profesi Notaris maupun sebagai pejabat umum atau

pengemban profesi hukum; pengalaman ini seharusnya dapat dijadikan

intropeksi diri bagi kita semua, baik sebagai suatu pelajaran maupun

pemahaman tentang proses hukum (melalui penangkapan, penahanan

maupun pemeriksaan) terhadap sosok Notaris.

Terhadap pelanggaran profesi Notaris, maka seharusnya terlebih

dahulu diperiksa dan ditentukan unsur kesalahannya oleh suatu organisasi

profesi yang mengatur tentang segala praktek Notaris (seperti atau H.N.I.

dan lain-lain yang ada, sesuai wadah organisasi yang diikuti oleh Notaris
114

yang bersangkutan). Karena organisasi seperti itu tentunya dapat

menjatuhkan sanksi-sanksi moral dan etika bersifat disipliner (seperti

sanksi administratif) dengan demikian diharapkan dapat mengangkat citra

profesi Notaris dan menjamin perlindungan hukum di dalam

rnelaksanakanl menjalankan jabatannya sebagai pejabat umum. Baru

kemudian, apabila seorang Notaris telah dinyatakan melakukan kesalahan

dan kelalaian yang membawa dampak kerugian, maka hams diterapkan

aturan hukum yang mengatur tingkah laku tersebut; berdasarkan tinjauan

kasus tersebut di atas, maka adalah tidak tepat mendudukkan M.M.L.

dalam lingkup perkara pidana, seharusnya perkara tersebut masuk kategori

perkara perdata.

Karena kepalsuan suatu akta dapat dibagi diantara kepalsuan materiil


dan kepalsuan intelektual. Kepalsuan materiil terjadi apabila
tandatangan atau tulisan dalam akta itu dipalsu setelah akta itu dibuat
oleh pejabat umum. Sedangkan kepalsuan intelektual ternyata apabila
akta pejabat itu mencantumkan keterangan yang tidak benar dalam
akta itu. Prosedur menyelesaikan perkara kepalsuan suatu akta itu
diatur dalam pasal 148 dan seterusnya Kitab Hukum Acara Perdata
(Reglement op derechtsvordering).

Jadi bilamana ada klien yang dirugikan sehubungan keberadaan

produk hukum berupa Surat Keterangan Waris tersebut, maka yang

bersangkutan seharusnya mengajukan permohonan pembatalan pada

Pengadilan Negeri yang berkompeten. Namun terhadap hal ini, lebih baik

jangan sampai seorang Notaris dijatuhi sanksi perdata berupa pembatalan

aktanya, bahkan digugat untuk membayar ganti rugi karena secara tidak

langsung akan mengurangi kredibilitasnya. Hal-hal yang terjadi pada

notaris dalam kasus-kasus tersebut apabila ditinjau dari teori perlindungan


115

hukum maka sebagaimana menurut Satjipto Rahardjo, Perlindungan

hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia

(HAM) yang dirugikan oleh orang lain dan perlindungan itu diberikan

kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan

oleh hukum. 40

Menurut analisis peneliti bahwa notaris mempunyai peran dalam

pembuatan surat keterangan waris yang terkait dengan penggolongan

penduduk di Indonesia yaitu sebagai satu-satunya pejabat yang memiliki

kewenangan membuat akta sebagai bukti otentik bagi ahli waris dalam bentuk

Surat Keterangan Waris tanpa membeda-bedakan golongan etnis, suku maupun

agama. Akta yang dibuat oleh notaris dapat menjadi alas hukum atau status

harta benda, hak dan kewajiban seseorang, kekeliruan atas akta notaris dapat

menyebabkan tercabutnya hak seseorang atau terbebaninya seseorang atas

suatu kewajiban. Notaris dan produk aktanya dapat dimaknai sebagai upaya

untuk menciptakan kepastian dan perlindungan hukum bagi seluruh

masyarakat.41

Hal ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang

Diskriminasi Ras dan Etnik sehingga tidak ada lagi pembedaan/penggolongan

penduduk dalam kaitannya dengan pembuatan Surat Keterangan Waris sebagai

alat bukti yang sah. Selain itu didasarkan pula pada Pasal 15 Undang-undang

Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, yang memberikan kewenangan

40
Satjipto Rahardjo, Op Cit., hlm. 69
41
Hartanti Sulihandri dan Nisya Rifiani, 2013, Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Notaris,
Dunia Cerdas, Jakarta, hlm.3
116

bagi notaris untuk membuat akta otentik termasuk akta keterangan waris/Akta

Keterangan Hak Mewarisi serta Pasal 111 ayat (1) Permen ATR/KBPN RI

Nomor 16 Tahun 2021 bahwa Akta Keterangan Hak Mewaris yang dibuat oleh

Notaris, tidak hanya berlaku bagi warganegara Indonesia keturunan Tionghoa,

melainkan untuk semua Warga Negara Indonesia.

Perbuatan notaris sebagai satu-satunya pejabat yang berwenang dalam

pembuatan Surat Keterangan Waris telah sesuai dengan esensi bahwa akta

otentik yang dibuat oleh notaris mempunyai kekuatan pembuktian yang

sempurna. Akta otentik memberikan kepastian hukum bagi pihak terkait untuk

dipergunakan sebagai alat bukti tertulis, terkuat dan terpenuhi. 42 Melalui teori

kewenangan atribusi ini Notaris memperoleh sumber kewenangan dari Pasal

15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Peraturan Jabatan Notaris (UUJN).

Dasar hukum tersebut dapat dijadikan dasar pembuatan surat keterangan waris.

Sehingga atas dasar hukum tersebut Notaris dapat menciptakan bentuk surat

keterangan waris/akta keterangan hak mewaris yang diberlakukan bagi seluruh

bangsa Indonesia yang membutuhkannya tanpa lagi didasarkan pada dasar

hukum Belanda dengan prinsip pembedaan atau penggolongan penduduk.

Menurut simpulan analisis peneliti maka kekuatan hukum surat keterangan

waris untuk warga negara Indonesia yang dibuat oleh Notaris memiliki

kekuatan pembuktian yang sempurna. Berdasarkan teori kepastian hukum,

surat keterangan waris yang dibuat oleh Notaris merupakan akta otentik yang

42
R. Soegondo Notodisoerjo, 1993, Hukum Notariat Di Indonesia, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, hlm.139
117

berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata. Surat keterangan waris dalam bentuk

akta otentik memberikan suatu bukti yang sempurna tentang apa yang termuat

di dalamnya, sejauh masih dapat dipakai, dan kesepakatan yangterdapat

didalamnya belum berakhir. Maka sekalipun para pihak telah meninggal, para

ahli warisnya tetap harus dan wajib memenuhi segala ketentuan yang tertuang

di dalam akta tersebut, namun apabila kebenaran dalam surat keterangan waris

tersebut dibantah, maka pihak yang membantah harus membuktikan

ketidakbenaran dari surat keterangan waris tersebut.

B. Bagamaimana Peran Notaris dalam Pembuatan Surat Keterangan Waris

Terkait Masih Adanya Penggolongan Penduduk di Indonesia.

1. Peran Notaris dalam Pembuatan Surat Keterangan Waris terkait

Masih Adanya Penggolongan Penduduk di Indonesia.

Penerapan penggolongan penduduk masih ditemukan pada

pembuatan surat keterangan waris. Surat keterangan waris diperlukan

dalam proses pendaftaran tanah khususnya karena pewarisan,

sebagaimana dijelaskan pada Pasal 42 Ayat (1) yaitu:

“Peralihan hak karena pewarisan terjadi karena hukum pada saat

pemegang hak yang bersangkutan meninggal dunia. Dalam arti,

bahwa sejak itu para ahli waris menjadi pemegang haknya yang baru.

Mengenai siapa yang menjadi ahli waris diatur dalam Hukum Perdata

yang berlaku bagi pewaris. Pendaftaran peralihan hak karena

pewarisan juga diwajibkan, dalam rangka memberikan perlindungan

huum kepada para ahli waris dan demi ketertiban tata usaha
118

pendaftaran tanah, agar data yang tersimpan dan disajikan selalu

menunjukkan keadaan yang mutakhir. Surat tanda bukti sebagai ahli

waris dapat berupa Akta Keterangan Hak Mewaris, atau Surat

Penetapan Ahli Waris atau Surat Keterangan Ahli Waris”

Ketentuan pembuatan surat keterangan waris di Negara Indonesia

sampai saat ini masih didasarkan pada pembagian golongan penduduk,

sebagaimana dijelaskan Perubahan Peraturan Menteri Negara

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut sebagai Perkaban Nomor 3 Tahun

1997), yang berbunyi :surat tanda bukti sebagai ahli waris yang dapat

berupa:

(1) Wasiat dari pewaris, atau,

(2) Putusan Pengadilan, atau

(3) Penetapan hakim/Ketua Pengadilan, atau

(4) Bagi warga negara Indonesia penduduk asli: surat keterangan ahli

waris yang dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh 2 (dua)

orang saksi dan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat

tempat tinggal pewaris pada waktu meninggal dunia. a) bagi warga

negara Indonesia keturunan Tionghoa: akta keterangan hak mewaris

dari Notaris, b) bagi warga negara Indonesia keturunan Timur Asing

lainnya: surat keterangan waris dari Balai Harta Peninggalan: 1) surat

kuasa tertulis dari ahli waris apabila yang mengajukan permohonan


119

pendaftaran peralih-an hak bukan ahli waris yang bersangkutan; 2)

bukti identitas ahli waris.

Notaris memang sulit untuk mengetahui kejujuran dan kepribadian

klien karena kemampuannya sangat terbatas, sehingga hanya "kebenaran

formal" saja yang dapat ditangkapnya, sedangkan "kebenaran materiil"

tidak dapat dilihatnya; suatu contoh yang dapat dikemukakan di sini,

adalah bilamana si klien (khususnya ahliwaris) yang dinyatakan/ dianggap

tidak patut mewaris (onwardig) datang kepada Notaris untuk minta

dibuatkan keterangan waris, mengenai situasi seperti ini, maka Notaris

tidak akan mengecek/ menyelidiki akan kebenaran materiil. Mengingat

akan sifat manusia sangat bervariasi, tidak semua klien bertindak jujur,

maka itu terhadap si klienpun dituntut untuk memberikan keterangan atau

penjelasan yang benar karena hal itu akan mempengaruhi isi akta otentik.

Pengertian "kejujuran" adalah hal yang berhubungan dengan

kelurusan hati, ketulusan hati. Sedangkan menurut E. Sumaryono,

kejujuran adalah hal yang berhubungan dengan pengertian tentang

kebenaran. Sedangkan pengertian "Kebenaran" adalah keadaan (hal dsb)

yang benar (cocok) dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya). Nilai

kejujuran yang dikaitkan dengan hukum dan moral, akan menyinggung

nilai keadilan serta kebenaran terhadap perilaku manusia. "Keadilan"

menjadikan orang berperilaku adil untuk mewujudkan hal yang

diharapkan bersifat adil.


120

Nilai kejujuran klien merupakan nilai yang mendukung keberhasilan

kinerja Notaris dalam pembuatan produk berupa akta yang dipercayakan

kepadanya, sehingga produk akta yang dihasilkan akan sesuai dengan

kehendak para pihak yang berkepentingan (yaitu adanya suatu bukti

kepastian hukum). Jadi dari hubungan antara Notaris dengan klien yang

tercipta secara baik, maka merupakan hubungan hukum dan hubungan

kepercayaan (mengandung unsur kejujuran, keadilan dan kebenaran);

dengan demikian si klien harus mengungkapkan secara jujur dan dapat

dipercaya (dalam arti keterangannya benar adanya), demikian pula Notaris

harus dapat dipercaya/ menjaga kerahasiaan dan bertindak adil tidak

memihak kepada salah satu pihak/klien.

PJN bukan hanya mengatur tentang kinerja Notaris (tetapi juga

tentang ruang lingkup tugas pekerjaan, hak dan kewajiban, lengkap dengan

sanksi bila ada pelanggaran), oleh karena itu diharapkan Notaris dapat

menggunakan PIN sebagai filter/ dasar pegangan dalam melakukan teknik

pembuatan akta yang benar. Jika hal ini dikaitkan dengan tugas profesi

Notaris, maka Notaris harus mempunyai motivasi kerja yang baik untuk

mencapai hasil yang baik demi memberikan rasa puas kepada klien,

sehingga dengan demikian akan meningkatkan prestasi kerja Notaris dan

memperbesar kepercayaan masyarakat/ klien kepadanya.

Kebenaran menyangkut ilmu dan ada suatu anggapan bahwa

kebenaran itu bersifat relatif, sepanjang tidak ada yang mempersoalkan hal

tersebut salah; oleh karena itu sesuatu itu adalah benar sampai ada
121

seseorang dapat membuktikan bahwa sesuatu yang dianggap benar

tersebut ternyata salah/ keliru. Prinsipnya tidak ada yang dapat menjamin

bahwa ilmu hasil ciptaan manusia itu selamanya memiliki kebenaran

karena suatu saat nanti akan ditemukan hal barn yang dapat membuktikan

bahwa apa yang telah dikenal sebelumnya itu tidak benar; itulah sifat khas

ilmu.

Notaris tidak hanya ahli dibidang hukum (khususnya hukum perdata

termasuk perundang-undangan yang berlaku) tetapi juga harus pandai

memahami sifat-sifat manusia, sehingga dapat mengatur keinginan jalan

pikiran klien yang dihadapinya dan berani menjelaskan tentang akibat-

akibat yang mungkin timbul tanpa mengesampingkan posisi yang adil

tidak memihak. Juga sebagai Pejabat Umum yang diangkat oleh

pengusasa/ negara, maka kepada Notaris diperintahkan supaya membuat

protokol yang baik dan benar dari semua kontrak, surat wasiat dan akta-

akta lainnya yang dibuat oleh Notaris dan yang akan diterima olehnya

Notaris sebagai kaum profesional harus menyadari profesionalitasnya

dan sepatutnya mengevaluasi seluruh aktivitas keilmuan (dari

perkembangan pengetahuan serta keterampilan yang dimiliki) dalam

melayani klien secara bertanggung jawab. Setiap pemegang profesi

(termasuk Notaris) dituntut, 2 (dua) jenis "keharusan", yaitu: keharusan

untuk menjalankan profesinya secara bertanggung jawab; serta keharusan

untuk tidak melanggar hak-hak orang lain. Tuntutan dasar sikap


122

bertanggung jawab dalam menjalankan profesi, menurut E.Sumaryono

yaitu :

1. Kita diharapkan bertanggung jawab terhadap pekerjaan dan hasilnya,

artinya : dengan kerja, kita dituntut untuk menghasilkan sesuatu yang

bermutu.

2. Kita dituntut untuk bertanggung jawab terhadap dampak pekerjaan kita

pada kehidupan orang lain.

Jadi tanggung jawab merupakan moral dan prinsip etika profesi

Notaris yang paling penting, dengan pengertian: bahwa suatu tindakan

dilakukan dengan sadar dan mengerti akan akibat dari perbuatannya, maka

dengan demikian Notaris bisa dituntut untuk bertanggungjawab; selain itu,

apabila Notaris tidak tahu mengenai baik dan buruk secara moral, maka

dengan demikian Notaris tidak bertanggung jawab secara moral.

Kelahiran dan kematian seseorang bersifat menentukan tentang

berhak atau tidaknya mewaris dan sejak kapan hak dan kewajiban pewaris

herpindah kepada ahliwarisnya. Warisan sebelum diadakan pemisahan dan

pembagian merupakan milik bersama atas masing-masing ahliwaris. Tidak

seorangpun boleh ditinggalkan, betapa kecil bagiannya dalam milik

bersama tersebut.

Dalam hal seseorang menghendaki sesuatu bila ia meninggal dunia,

maka ia dapat membuat wasiat di hadapan Notaris. Di samping itu, jika

pihak yang merasa berhak atas warisan yang belum dibagi, maka ahli waris

dapat meminta jasa Notaris untuk membuatkan "Keterangan Waris", yang


123

berisikan/ menerangkan siapa-siapa saja yang menjadi ahli waris, dan

berapa bagian masing - masing.

Apabila Notaris melakukan kesalahan dalam menyebutkan nama-

nama waris ataupun bagian masing-masing waris, sehingga menimbulkan

kerugian kepada klien (ahli waris), maka Notaris bertanggung gugat atas

kerugian yang ada. Dalam pembuatan keterangan waris ini, Notaris

dituntut untuk berhati-hati dalam hal menuangkan kehendak klien ke

dalam suatu akta; karena beban tanggung jawab masih terus berlangsung

seumur hidup si Notaris, ini berarti pekerjaan Notaris penuh resiko dan

tidak ada jaminan bagi para Notaris itu sendiri untuk bebas dan segala

tanggung gugat, meskipun telah berstatus pensiun.

Apabila perundang-undangan di Indonesia ditelusuri, maka tidak akan

ditemui ketentuan umum yang mengatur tentang masalah "Keterangan

Waris", demikian pula di dalam PJN Stb1.1860 no.3 juga tidak

menyebutkan apalagi mengatur keterangan waris; padahal PJN di

Indonesia mengacu pada Undang-undang Jabatan Notaris di Belanda (Wet

Op Het Notaris-Ambt), temyata isinya tidak sepenuhnya sama kata demi

katanya.

Pada Pasal 38 ayat 2 Undang-undang Jabatan Notaris Belanda ada


disebut tentang "VerklaringvanErfrecht" (Verklaring diterjemahkan
sebagai pernyataan, surat keterangan 31), dan yang dikecualikan dari
pembuatan akta secara Notariil antara lain VerklatingvanErfrecht.32
Sedangkan di dalam pasal 35 ayat 2 PJN Indonesia tidak ada bahkan tidak
pernah disinggung mengenai hal itu. Perbedaan teks pada kedua pasal yang
telah disebutkan itu, dapat dilihat sebagaimana di bawah ini:
124

Teks asli Pasal 35 ayat 2 PJN Indonesia, adalah :


Van deze verpligting zijn uitgezonderd akten van
huwelijkstoestemming, van bekenheid, volmagten, verklaringen van
eigendom of van in leven ztjnde personen, kwitantien van sommen
beneden de f 300,- alle kwitantien van huur-en pachtpenningen,
loon, renten of pensioenen, protesten, aanbiedingen van betaling,
toestemming tot doorhaling of vermindering van hypothecaire akten
en andere eenvoudige akten waarvan de uitgifte in originali bij de
wetten is toegestaan.

Teks asli tersebut, oleh G.H.S. Lumban Tobing diartikan sebagai :

Dan kewajiban ini dikecualikan akta persetujuan kawin, kenal diri, kuasa,

keterangan pemilikan atau keterangan hidup seseorang, kwitansi mengenai

di bawah Rp.300,-, semua kwitansi uang sewa dan uang pah, upah, bunga

atau pensiun, protes, penawaran pembayaran, izin mencoret atau

pengurangan akta hipotek dan akta-akta sederhana lainnya, dari mana

pengeluaran dalam originali diperkenankan menurut undang-undang.

Sedangkan artikel 38-2 Wet op het Notaris-Ambt (Negeri Belanda),

isinya adalah:

Van deze verpligting zijn uitgezonderd akten van huwelijks-aangifte


en van huwelijks-toestemming, van bekendheid, van volmagt of
magtiging, van verklaring van eigendom of van het in leven zijn van
personen, van erfregt, van kwijting, van aanbod van betaling, van
protest, van toestemming tot doorhaling of vermindering van
hypothecaire inschrijvingen of scheepsverbanden met of zonder
afstand van het regt van hypotheek of verband, alsmede van
verbanden en aanteekeningen op de grootboeken der nationale schuld
en van overschrijving van processenverbaal van inbeslagneming van
onroerende goederen of schepen in de openbare eigendomsregisters,
verandering der bij eene hypothecaire inschrijving gekozen
woonplaats, van verhuring van huizen of landerijen wanneer de
huurprijs niet meer bedraagt dan f 50 in het jaar, benevens andere
akten, waarvan de uitgifte in originali bijzonders wetten is toegelaten.
125

Pasal tersebut di atas, oleh Djoko Soepadmo diterjemahkan sebagai :

Dari kewajiban ini dikecualikan akta pengumuman perkawinan (huwelijks

aankondiging) persetujuan untuk kawin, kenal diri, dari volmacht of

magtiging, (kuasa atau ijin), keterangan tentang pemilikan atau keterangan

tentang hidup seseorang, van erfrecht (keterangan hak mewaris),

penghapusan penawaran pembayaran hutang, dari protest, persetujuan

untuk penghapusan atau pengurangan ikatan-ikatan hipotik atau pemberatan

mengenai kapal juga penghapusan atau pengurangan hipotik atau

pemberatannya, juga pemberatan-pemberatan dan pendaftaran pada

grootboeken der nationale schuld dan mengenai batik nama mengenai

proses verbal tentang pembeslahan dari benda-benda tidak bergerak dan

kapal-kapal dalam register-register umum tentang hak-hak mengenai

eigendom, (openbare eigendoms register), perubahan tentang pemilihan

domicile dari pendaftaran hipotik, mengenai persewaan rumah dan tanah -

tanah apabila harga sewanya tidak lebih dari f 50 pertahun, dan akta-akta

lainnya yang pengeluarannya diperbolehkan dalam originali yang

ditetapkan oleh undang-undang khusus.

Selanjutnya Djoko Soepadmo, membandingkan antara Pasal 38 ayat

2 Undang-undang Notaris di Negeri Belanda dengan Pasal 35 ayat 2 PJN

di Indonesia, yaitu: ada beberapa perbuatan yang di Undang-undang

Belanda disebutkan tetapi dalam PJN di Indonesia tidak dicantumkan.

Yang tidak tercantum itu antara lain mengenai verklaring van erfrecht atau

keterangan hak mewaris.


126

Mengenai hal ini Oe Siang Djie, turut memberikan komentarnya

dalam Pasal 35 PJN ditetapkan adanya dua jenis akta-akta dan surat-surat

yang dapat dibuat Notaris.

Dalam ayat 1 dikatakan, bahwa akta-akta Notaris harus dibuat dalam

bentuk minuta untuk diakui sebagai akta otentik.

Di samping itu dalam ayat 2 selanjutnya disebut beberapa jenis akta/

surat yang dapat dibuat oleh/dihadapan Notaris tanpa bentuk minuta,

akan tetapi toh diakui sebagai akta otentik. Akan tetapi dalam Pasal

35 ayat 2 tidak disebut SKHW.

Diketahui bahwa PJN Indonesia 1860 disusun hampir seluruhnya

menurut text dari Wet op het Notarisambt di Negeri Belanda, seperti

yang asal mulanya dimuat Stbl. 1842 - 20. Hanya beberapa peraturan

disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia dalam masa

penjajahan.

Pada kenyataan dalam prakteknya, Notaris di Indonesia mengikuti

praktek Notaris di Negeri Belanda dalam membuat keterangan waris

karena Indonesia menganut prinsip konkordansi, maka notaris di Indonesia

yang semula berpendidikan di Negeri Belanda mengambil bentuk dan

cara-cara yang dilakukan oleh Notaris di negeri Belanda.

Keterangan waris dibuat oleh Notaris, tetapi bukan merupakan akta

otentik dan karenanya juga tidak mempunyai kekuatan pembuktian

sebagai akta otentik. Keterangan waris ini telah mendapat kepercayaan

penuh (baik dari masyarakat, instansi-instansi pemerintah, swasta maupun


127

para debitor/ khususnya Bank). Kenyataannya memang benar bahwa di

Belanda dan di Indonesia, mereka yang berkepentingan tersebut di atas,

tanpa ragu meminta keterangan waris melalui jasa kewenangan Notaris

dalam kedudukannya sebagai "pejabat umum" (dalam pengertian pasal I

PJN.); untuk maksud tujuan dipakai sebagai pegangan yang dapat

menjamin bahwa mereka berhak menyerahkan atau membayar (dalam arti

kata luas) kepada orang atau orang-orang yang benar-benar berhak

menerimanya.

Nampaknya para Notaris Indonesia dalam membuat keterangan waris

itu tanpa mempersoalkan dasar hukum yang berlaku untuk itu. Di samping

untuk maksud tujuan tersebut di atas, juga diperlukan oleh Notaris dan atau

Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disingkat dengan PPAT.); yang

hendak membuat akta pemindahan hak. Di dalam Surat Dirjen Agraria

no.Dpt./12/63/12/69 tertanggal 20 Desember 1969 dan dalam Buku

Tuntunan bagi PPAT., yang dikeluarkan oleh Departemen Dalam Negeri

Direktorat Jenderal Agraria dan dilampirkan dalam blangko PPAT (dulu

dibeli oleh para PPAT.) dari kantor pos; pada halaman 10 disebutkan,

bahwa untuk keperluan balik nama tanah yang terdaftar alas nama pewaris

ke atas nama ahliwaris, "... bagi warga yang tunduk pada hukum barat (B.

W.) hendaknya dimintakan dulu, keterangan (mengenai hak) waris yang

dibuat oleh seorang Notaris".

Notaris sebagai pengemban profesi hukum, harus dapat dipercaya

secara penuh dan bermartabat, profesional hukum tidak akan


128

menyalahgunakan situasi yang ada; perilaku dalam pengemban profesi

dapat membawa akibat terhadap klien. Notaris harus mengerahkan segala

kemampuan pengetahuan dan keahlian yang ada padanya dalam

memberikan pelayanan jasa kepada klien atau masyarakat sebab

merupakan tugas kemasyarakatan. Umumnya kemampuan masyarakat

hanya menilai dari segi moralitas saja atas tindakan Notaris berkaitan

dengan tugasnya sebagai pengemban profesi hukum; oleh karena itu

dibutuhkan pedoman obyektif (yaitu kode etik) bagi perilaku profesi.

Menteri Kehakiman Republik Indonesia dalam pengarahan/ ceramah

umum oleh, di Bandung pada tanggal 30 Juni 1992, dikatakan bahwa:

Apabila berbicara dan menyinggung akan kemampuan profesional para


Notaris, maka mau tidak mau juga harus berbicara masalah "mutu
pelayanan jasa hukum Notaris" kepada masyarakat. Semakin
meningkat kemampuan profesional para Notaris dalam melaksanakan
tugasnya sebagai Pejabat umum yang mempunyai fungsi mengatur
hubungan hukum di antara para pihak secara tertulis dan otentik, akan
semakin baik pula mutu pelayanan jasa hukum yang akan diterima oleh
masyarakat. Kemampuan profesional seseorang menunjuk pada
keahlian yang didukung oleh ilmu pengetahuan, pengalaman dan
ketrampilan yang tinggi. Walaupun seorang Notaris dalam menjalankan
jabatannya telah memiliki kemampuan profesional yang tinggi, namun
demikian apabila dalam melaksanakan jabatannya tidak dilandasi
integritas moral, keluhuran martabat dan etika profesi, maka oknum
Notaris tersebut bukan saja merugikan kepentingan masyarakat luas,
tetapi juga akan merusak nama balk organisasi profesi. Para Notaris
perlu memperhatikan apa yang saya sebut sebagai perilaku profesi atau
"professional behaviour"

Mengamati hasil ceramah tersebut di atas, maka kesimpulan yang

didapat adalah bahwa profesi hanyalah sekelompok masyarakat (atau

seorang anggota masyarakat) yang telah memperoleh pendidikan

akademik yang menjalankan tugas pekerjaan sesuai dengan bidang


129

ilmunya dan mempunyai kewajiban yang diemban atas dasar standar

profesi dan etika profesi.

Pengertian yang lainnya, sebuah "Profesi" adalah sebuah sebutan


atau jabatan dimana orang menyandangnya mempunyai
pengetahuan khusus yang diperoleh melalui training atau
pengalaman lain atau bahkan diperoleh melalui keduanya, sehingga
penyandang profesi dapat membimbing atau memberi nasihat/ saran
atau juga melayani orang lain dalam bidangnya sendiri.

Pengertian profesional adalah suatu yang berkaitan dengan profesi,

sesuatu yang memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya.

Kerja pada hakikatnya merupakan salah satu kewajiban dasar setiap

manusia, dengan bekerja maka manusia dapat memiliki segala sesuatu

yang diinginkan dan memperoleh apa yang menjadi haknya sendiri.

Notaris dalam menjalankan tugasnya hams selalu penuh dengan

perencanaan yang matang agar mencapai sasaran yang hendak dicapai,

memberikan pertimbangan-pertimbangan hukum yang berkaitan dengan

permasalahan yang dihadapi oleh klien, dengan mencarikan solusinya.

Atas tindakan ini, masyarakat akan menilai kualitas Notaris dari segi

keilmuannya, ketrampilan, dan keahlian dibidangnya yang khusus

ditugaskan kepadanya.

Di samping itu, profesi hukum sangat membutuhkan moral dan


hukum yang tak terpisahkan agar dapat menjalankan pekerjaannya
secara profesional tanpa cela dari masyarakat. Norma hukum dalam
profesi Notaris merupakan norma yang dituntut keberlakuannya
secara tegas oleh masyarakat karena dianggap perlu dan demi
keselamatan dan kesejahteraan klien yang meminta jasa Notaris,
agar akta yang dibuat dihadapan Notaris terjamin otentisitasnya,
adanya jaminan kepastian hukum, keadilan karena Notaris tidak
memihak dan bermanfaat bagi klien sebagai alat bukti tulisan.
130

Notaris selain mempunyai tanggung jawab moral, juga mempunyai

tanggungjawab hukum karena sebagai pengemban profesi hukum, maka

dapat dikatakan bahwa Notaris mempunyai hak dan kewajiban hukum.

Notaris dalam menjalankan jabatan/ profesinya harus mematuhi perintah

sesuai yang diatur dalam PJN, apabila dilanggar maka akan terkena sanksi

dan sanksi tersebut tergantung pada kesalahan yang dilakukan. Tanggung

jawab hukum ini dilakukan dalam rangka memberikan kepastian hukum.

Dengan adanya kepastian hukum setiap orang dapat memperkirakan apa

yang akan dialami jika melakukan tindakan hukum tertentu. Kepastian

akan mengarahkan masyarakat kepada ketertiban.43

"Tanggung jawab" di sini dapat dipikul sendiri sebagai pelaku atas

perbuatannya atau bisa juga yang dilakukan oleh orang lain yang berada

di bawah kekuasaannya (contohnya para pegawai Notaris). Jika diamati isi

pasal 1367 ayat I B.W., maka ditentukan: "setiap orang tidak saja

bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya

sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan

orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh barang-

barang yang berada di bawah kekuasaannya".

Bilamana Notaris dianggap melakukan kesalahan dalam pembuatan

akta otentik, maka hakim akan mengkoreksi (hakim bersikap pasif,

menunggu sampai ada perkara di pengadilan) karena tugas hakim adalah

menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara

43
Bodenheimer dalam Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung, PT Citra Aditya Bakti,
2006, Halaman277.
131

yang diajukan kepadanya sebagaimana sesuai dengan Pasal 2 ayat (1)

Undang-undang Pokok Kehakiman nomor 14 tahun 1970.

Berdasarkan analisis di atas, peneliti dapat membuat analisis bahwa

peran Notaris dalam pembuatan Surat Keterangan Waris terkait masih

adanya penggolongan penduduk di Indonesia yaitu sebagai pejabat yang

berwenang membuat surat keterangan ahli waris bagi Warga Negara

Indonesia keturunan Tionghoa sesuai Pasal 111 ayat (1) Peraturan Menteri

Negara Agraria/Kepala Kantor Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997

tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah. Penggolongan penduduk dalam pembuatan Surat

Keterangan Waris pada saat itu, dimana WNI turunan Timur Asing,

pembuatan Surat Keterangan Waris menjadi kewenangan Balai Harta

Peninggalan dan WNI asli dibuat sendiri oleh ahli waris dengan disaksikan

dua orang saksi dan dikuatkan oleh Kepala Desa/ Kelurahan dan Camat

tempat tinggal pewaris pada waktu meninggal dunia. Peraturan tersebut

saat ini sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sehingga ketentuan

hukum terkait dengan pembuatan Surat Keterangan Waris mengikuti

peraturan perundang-undangan terbaru.

Kewenangan bagi notaris dalam pembuatan Surat Keterangan Waris

ini apabila ditinjau dari teori kewenangan maka yang dimaksud dengan

kewenangan atau wewenang pada dasarnya adalah kekuasaan hukum, hak

untuk memerintah atau bertindak; hak atau kekuasaan pejabat publik untuk

mematuhi aturan hukum dalam lingkup melaksanakan kewajiban


132

publik.44Dalam hal ini kewenangan notaris diatur dalam Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

Notaris dalam memperoleh kewenangan ini termasuk dalam kategori

kewenangan atribut yaitu kewenangan yang digariskan atau berasal dari

adanya pembagian kekuasaan oleh peraturan perundang-

undangan. 45Dalam pelaksanaan kewenangan atributif ini pelaksanaanya

dilakukan sendiri oleh pejabat atau badan yang tertera dalam peraturan

dasarnya. Terhadap kewenangan atribut mengenai tanggung jawab dan

tanggung gugat berada pada pejabat atau badan sebagaimana tertera dalam

peraturan dasarnya.

Adanya penggolongan penduduk tersebut dikarenakan adanya

pengaruh politik hukum yang semata-mata untuk mengisi kekosongan

hukum (rechtvacuum), sehingga setelah terbitnya Undang-Undang Nomor

40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Ras dan Etnis maka penggolongan

penduduk sudah tidak ada lagi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian46

yang menemukan bahwa penggolongan penduduk dalam pembuatan surat

keterangan waris

terkait pendaftaran hak atas tanah setelah berlakunya Undang-Undang

44
Nur Basuki Winanmo, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi,
laksbang mediatama, Yogyakarta, 2008, hlm. 65.
45
Nur Ibid
46
Ni Ketut Novita Sari, Sihabudin, Bambang Sutjito, 2019, Penggolongan Penduduk Dalam
Pembuatan Surat Keterangan Waris Terkait Pendaftaran Hak Atas Tanah Setelah Berlakunya
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
RechtIdee, vol 14 (2), hal. 222
133

Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia

masih terjadi karena merupakan politik hukum dari pemerintahan Kolonial

Belanda, hukum yang berlaku saat ini pada dasarnya merupakan produk

pemerintahan Hindia-Belanda yang berlaku di Indonesia berdasarkan atas

asas konkordansi, keberlakuan ketentuan tersebut semata-mata untuk

mengisi kekosongan hukum (rechtvacuum).

Pembedaan golongan penduduk dalam pembuatan surat keterangan

waris selama itu didasarkan pada Pasal 14 ayat 1 dan 3 Grootboeken ner

Nationale Schuld, yang dengan asas konkordansi juga diberlakukan di

Hindia Belanda. Hal ini sebagaimana menurut Laili47 bahwa ketentuan

tersebut dianggap sebagai lex specialist yang secara khusus menjadi dasar

atas pembuatan surat keterangan waris, yang kemudian dalam sistem

hukum Indonesia pasca kemerdekaan diakui dan diterima sebagai doktrin

dan yurisprudensi hingga kemudian dianggap sebagai hukum kebiasaan

pula.

Budiono48 menyebutkan bahwa Pasal 14 ayat 1 dan 3 Grootboeken

ner Nationale Schuld menjadi dasar pembuatan Surat Keterangan Waris

bagi golongan Timur Asing Cina atau bagai Warga Negara Indonesia

Keturunan Tionghoa. Sedangkan bagi golongan Timur Asing lainnya,

maka pembuatan Surat Keterangan Waris dibuat oleh Balai Harta

47
Fardatul Laili. 2018. Analisis Pembuatan Surat Keterangan Waris Yang Didasarkan Pada
Penggolongan Penduduk (Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008
Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis). Artikel Penelitian Magister
Kenotariatan, Universitas Brawijaya, hal. 8
48
Herlien Budiono, 2013, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Bndung:
Citra Aditya Bakti, hal. 9
134

Peninggalan (Weeskamer), sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat 2

Ordonnantie tanggal 22 Juli 1916, S. 1916: 517 diubah LN 1931: 168 dan

LN 1937:611.

2. Masalah Yang Dihadapi Oleh Notaris Berkaitan Dengan Pembuatan

Surat Keterangan Waris Berkaitan Dengan Masih Adanya Penggolongan

Penduduk di Indonesia

Surat Keterangan Waris dibentuk menggunakan tujuan buat

mengambarkan siapa-siapa yang adalah pakar waris atas harta peninggalan

yang sudah terbuka berdasarkan aturan menurut beberapa porsi atau bagian

masing-masing pakar waris terhadap harta peninggalan yang sudah terbuka

tadi. Surat Keterangan Waris adalah surat bukti waris, yaitu surat yang

mengambarkan bahwa yang disebutkan pada Surat Keterangan Waris tadi

merupakan pakar waris dan pula pewaris. Surat Keterangan Waris pula dipakai

buat pulang nama atas barang harta peninggalan yang diterima, dan atas nama

pewaris sebagai atas nama semua pakar waris. 49 Pembuatan Surat Keterangan

Waris yang dilakukan sang Notaris tentu nir terlepas menurut banyak sekali

hambatan-hambatan yang terdapat. H. Budi Untung mengungkapkan bahwa

hambatan-hambatan tadi bisa berupa:

a. Hambatan yang pertama mampu menurut Notaris itu sendiri, dimana

Notaris tadi nir menguasai dan nir tahu menggunakan segala ketentuan Surat

Keterangan Waris pada Indonesia, model perkara yang pernah ditemui

merupakan terdapat Notaris yang menciptakan Surat Keterangan Waris

49
Effendi Parangin, Hukum Waris, Jakarta, Rajawali Press, 2003, Halaman 27.
135

menggunakan bentuk menjadi akta partij akta yang seharusnya adalah

ambetelek akta.

b. Kurang telitinya Notaris mengusut dan memastikan kelengkapan dokumen-

dokumen yang dibutuhkan buat pembuatan Surat Keterangan Waris.

c. Kesulitan bagi Notaris buat memastikan saksi yang dihadirkan wajib

mengetahui mengenai keluarga pewaris yang sudah mangkat dunia,

contohnya saksi sahih-bennar mengetahui jumlah anak pewaris, agar nir

terdapat pakar waris yang namanya nir dicantumkan ke pada Surat

Keterangan Waris

d. Masih seringnya ditemui saksi-saksi atau pakar waris yang nir amanah pada

menaruh warta.

e. Belum adanya unifikasi aturan tentang pengaturan aplikasi Surat

Keterangan Waris pada Indonesia. Untuk kepentingan aplikasi tugas jabatan

Notaris yang baik, dikenal beberapa asas, yang keliru satunya yaitu asas

kecermatan. Notaris pada merogoh suatu tindakan wajib dipersiapkan dan

didasarkan dalam anggaran aturan yang berlaku. Meneliti seluruh bukti

yang diperlihatkan pada Notaris dan mendengarkan warta atau pernyataan

para pihak harus dilakukan menjadi bahan dasar buat dituangkan pada akta.

Asas kecermatan ini adalah penerapan menurut Pasal 16 ayat (1) alfabet a,

diantaranya pada menjalankan tugas jabatannya harus bertindak seksama. Pada

hakikatnya, Notaris selaku pejabat generik hanyalah mengkonstantir atau

merelateer atau merekam secara tertulis dan otentik menurut perbuatan aturan

pihak-pihak yang berkepentingan. Notaris nir berada pada dalamnya, Notaris


136

adalah pihak luar, yang melakukan perbuatan aturan itu merupakan pihak-

pihak yang berkepentingan. Inisiatif terjadinya pembuatan akta Notaris atau

akta otentik itu berada dalam pihak-pihak. Oleh lantaran itu, akta Notaris atau

akta otentik nir mengklaim bahwa pihak-pihak “menyampaikan sahih” namun

yang dijamin sang akta otentik merupakan pihak-pihak “sahih menyampaikan”

misalnya yang termuat pada pada akta.50

Menurut Muhammad Firdauz Ibnu Pamungkas, kebenaran perkataaan

pakar waris pada proses pembuatan Surat Keterangan Waris pada hadapan

Notaris misalnya yang termuat pada pada akta bukan tanggungjawab Notaris,

kebalikannya Notaris menyatakan, bahwa para pihak atau pakar waris sahih

menyampaikan demikian, apakah yang dikatakan pada pada Surat Keterangan

Waris yang disampaikan pada Notaris itu mengandung kebenaran ataukah

kebohongan, hal tadi bukan tanggungjawab Notaris. Notaris hanya merekam

apa yang dikatakan sang para pihak yang menghadap Notaris, bila yang

dikatakan itu nir sahih atau mengandung kebohongan dan kepalsuan, maka akta

atau Surat Ketrangan Waris tadi permanen asli, bukan palsu, yang nir absah

atau yang palsu dan Indonesia sebagai negara merdeka harus mengakhiri

diskriminasi dan diskriminasi mengenai berbagai bentuk dan siapa

(pejabat/lembaga) yang harus membuktikan pewarisan. Notaris dapat

bertindak sebagai satu-satunya pihak (pegawai negeri/lembaga) yang dapat

memberikan kesaksian sebagai ahli waris guna menghapuskan dan

50
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Aspek Pertanggung jawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta,
Bandung, CV Mandar Maju, 2011, Halaman 65.
137

menghilangkan diskriminasi dalam bentuk formal dan pegawai

negeri/lembaga yang memberikan bukti pewarisan kepada rakyat Indonesia.

Sebagai notaris yang berdomisili di negara merdeka, notaris harus terlibat aktif

dalam implementasi nilai kemerdekaan dalam akta yang sebenarnya. Notaris

bersedia mewakili pembaharuan dan berwenang mengeluarkan dalam bentuk

(formal) pewarisan, yaitu akta waris bagi seluruh warga negara Indonesia,

tanpa membedakan golongan/suku/suku/agama, harus menjadi satu-satunya

notaris yang diberikan. Anda harus menampilkan diri sebagai pegawai negeri

yang melayani kepentingan umum. Notaris bukanlah pelayan yang baik jika

memiliki visi dan misi kolonial dalam diri kita. Adalah keinginan untuk

melakukan tindakan hukum yang diskriminatif, terutama untuk membuktikan,

memelihara dan melaksanakan pewarisan. Oleh karena itu, diharapkan Notaris

dapat memantapkan dirinya sebagai Notaris dan menjadi PNS yang unggul.

Salah satu cara yang perlu dilakukan adalah dengan melaksanakan kewenangan

notaris sebagai pejabat yang berwenang memberikan bukti pewarisan berupa

piagam partai kepada seluruh rakyat Indonesia yang tidak berdasarkan suku

atau golongan.
140

BAB V

PENUTUP

A. SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya maka

dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Notaris mempunyai peran dalam pembuatan surat keterangan waris yang

terkait dengan penggolongan penduduk di Indonesia yaitu sebagai satu-

satunya pejabat yang memiliki kewenangan membuat bukti otentik bagi ahli

waris dalam bentuk Surat Keterangan Waris tanpa membeda-bedakan

golongan etnis, suku maupun agama. Aturan mengenai pembuatan Surat

Keterangan Waris terkait dengan penggolongan penduduk sangat erat

kaitannya dengan pengaruh politik dari pemerintah Belanda berupa

penggolongan penduduk yang diberlakukan untuk memecah belah

penduduk Indonesia dikarenakan perbedaan kebudayaan, namun seiring

berjalannya waktu, pembuatan Surat Keterangan Waris yang didasarkan

pada penggolongan penduduk masih lemah karena tidak lagi sesuai dengan

perkembangan politik hukum yang dianut oleh Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Hal ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008

tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis sehingga tidak ada lagi

pembedaan/penggolongan penduduk dalam kaitannya dengan pembuatan

Surat Keterangan Waris sebagai alat bukti yang sah. Selain itu didasarkan

pula pada Pasal 15 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan


141

Notaris, yang memberikan kewenangan bagi notaris untuk membuat akta

otentik termasuk akta keterangan waris/Akta Keterangan Hak Mewarisi

serta Pasal 111 ayat (1) Permen ATR/KBPN RI Nomor 16 Tahun 2021

bahwa Akta Keterangan Hak Mewaris yang dibuat oleh Notaris, tidak hanya

berlaku bagi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa, melainkan untuk

semua Warga Negara Indonesia.

2. Peran Notaris dalam pembuatan Surat Keterangan Waris terkait masih

adanya penggolongan penduduk di Indonesia yaitu sebagai pejabat yang

berwenang membuat surat keterangan ahli waris bagi Warga Negara

Indonesia keturunan Tionghua sesuai Pasal 111 ayat (1) Peraturan Menteri

Negara Agraria/Kepala Kantor Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997

tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah, sedangkan bagi WNI turunan Timur Asing, pembuatan

Surat Keterangan Waris menjadi kewenangan Balai Harta Peninggalan dan

WNI asli dibuat sendiri oleh ahli waris dengan disaksikan dua orang saksi

dan dikuatkan oleh Kepala Desa/ Kelurahan dan Camat tempat tinggal

pewaris pada waktu meninggal dunia. Adanya penggolongan penduduk

tersebut dikarenakan adanya pengaruh politik hukum yang semata-mata

untuk mengisi kekosongan hukum (rechtvacuum), sehingga setelah

terbitnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan

Diskriminasi Ras dan Etnis maka penggolongan penduduk sudah tidak ada

lagi.
142

B. SARAN

Berdasarkan simpulan di atas, maka peneliti dapat memberikan saran-

saran sebagai berkut:

1. Pembuatan Surat Keterangan Waris bagi bagi WNI bagi bagi golongan

pribumi, Timur Asing maupun Tionghoa hendaknya di buat dihadapan

notaris karena akta yang dibuat notaris adalah mutlak, mengikat dan bersifat

sempurna serta saat ini telah ada ketentuan hukum di Indonesia bahwa tidak

ada lagi penggolongan kependudukan.

2. Pemerintah hendaknya membuat kebijakan secara khusus terkait dengan

pembuatan Surat Keterangan Waris sehingga tidak ada lagi masyarakat

yang membuat akta di bawah tangan/hanya disaksikan oleh pejabat desa,

terutama ditujukan kepada Badan Pertanahan Nasional dengan cara

menjadikan Surat Keterangan Waris yang dibuat oleh notaris sebagai salah

satu persyaratan dokumen yang diajukan ke Badan Pertanahan Nasional

seperti halnya pembuktian ketika pendaftaran peralihan hak/balik nama.


143

DAFTAR PUSTAKA

Buku Referensi :
Anshori Abdul Ghofur, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan
Etika, UII Press, Yogyakarta, 2009.
A. Kohar, Notaris Berkomunikasi, Penerbit Alumni, Bandung, 2000.
Effendi Parangin, Hukum Waris, Jakarta, Rajawali Press, 2003.
G. H. S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris (Notaris Reglement), Cetakan
Pertama, Erlangga, Jakarta, 1980.
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia; Tafsir Tematik Terhadap Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Cetakan Pertama, Refika
Aditama, Bandung, 2007.
Tan Thong Kie, Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris, Ichtiar Baru Van
Hoeve, Jakarta, 2007.
Hartanti Sulihandri dan Nisya Rifiani, Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Notaris,
Dunia Cerdas, Jakarta. 2013.
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2004.
Nur Basuki Winanmo, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi,
Laksbang Mediatama, Yogyakarta, 2008.
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum , Kencana, Jakarta, 2008.
R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat Di Indonesia, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 1993.
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya, Bandung, 1999.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Aspek Pertanggung jawaban Notaris Dalam
Pembuatan Akta, Bandung, CV Mandar Maju, 2011.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press,
Jakarta, 1986.
Soejono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan, Jakarta, 2013.
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, cet. 9, Bale Bandung,
Bandung, 1988.
144

Penulisan Hukum :
Irwan Budiyanto, Dalam Membuat Surat Keterangan Waris Setelah Berlakunya
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Studi
Terhadap Notaris di Semarang), Universitas Diponegoro Semarang,
http://eprints.undip.ac.id/15659/1/Irwan_Budiyanto.pdf
Wilyanto, Tanggung Jawab Notaris dalam Membuat Surat Keterangan Waris,
Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-1/20269664-T37000-Wilyanto.pdf.
Hendri Dharma Suryadi, “Pembuatan Surat Keterangan Waris dalam Proses
Peralihan Hak Atas Tanah Karena Pewarisan di Kota Padang”, Fakultas
Hukum Universitas Andalas.
Jahja Santoso, “Tanggung gugat Notaris Dalam Pembuatan Keterangan Waris”.
Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
Adit Wiratama, Akta Pembagian Hak Bersama yang Dibuat Notaris berdasarkan
Surat Keterangan Waris Palsu atau Dipalsukan (Studi Kasus Putusan
Mahkamah Agung Nomor 688/K/Pid/2017), Fakultas Hukum Universitas
Tarumanegara.

Anda mungkin juga menyukai