Praktikum 1 - Metode Apus Sperma

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN PRAKTIKUM

PRAKTIKUM MIKROTEKNIK
“TEKNIK PEMBUATAN SEDIAAN APUS SPERMATOZOA”

NAMA : VERA YUNIAR


NIM : 1711013220016
KELOMPOK : II (Dua)
ASISTEN : NOVITA HERNANI MAULINDA

I. TUJUAN
Mengenal tahap-tahap pembuatan, bahan, dan alat untuk praktikum teknik
pembuatan sediaan dengan metode apus/smear.

II. TINJAUAN PUSTAKA


Sperma merupakan sel gamet yang terdapat di saluran reproduksi laki-laki.
Sperma terdiri dari dua bagian, yaitu zat cair dan sel. Zat cair disini adalah tempat
hidup sperma, sedangkan sel-sel yang hidup dan bergerak dinamakan
spermatozoa. Spermatozoa merupakan sel padat dan memiliki karakteristik yang
khas, tidak tumbuh atau membagi diri, dan tidak mempunyai peranan fisiologis
apapun pada hewan yang menghasilkannya. Hal tersebut dikarenakan
spermatozoa semata-mata hanya untuk membuahi telur pada jenis yang sama. Sel
sperma mempunyai struktur berupa kepala, leher, dan ekor yang mana sel tersebut
merupakan hasil dari maturasi dari sel epitel germinal yang disebut sebagai
spermatogonia (World Health Organization, 1992). Struktur dari spermatozoa
dapat dilihat dengan jelas apabila diamati di bawah mikroskop yang sebelumnya
dilakukan pembuatan sediaan terlebih dahulu menggunakan metode apus.
Menurut Alfian dkk., (2014), metode apus merupakan salah satu metode
dalam mikroteknik yang dilakukan dengan cara membuat sediaan mikroskopis
dengan jalan mengoles atau membuat selaput tipis dari bahan yang berupa cairan
atau bukan cairan di atas kaca objek sehingga metode ini juga dikenal dengan
istilah metode oles (smear). Tujuan dari metode ini adalah untuk memeroleh
apusan tipis sehingga sel dapat diamati dengan jelas di bawah mikroskop. Metode
apus biasanya digunakan untuk pembuatan sediaan darah, spermatozoa, cairan
haemolimf belalang, protozoa, mukosa mulut, mukosa vagina, serta spermatozoa.
Tahapan dalam proses pembuatan sediaan apusan umumnya meliputi
penyemiran, fiksasi, pewarnaan, pembilasan, dan pengentalan. Tahapan-tahapan
tersebut pada dasarnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain kerena memiliki
tujuan tertentu dan setiap tahap akan memengaruhi hasil sediaan yang nantinya
akan diamati. Apabila setiap tahapan pembuatan sediaan dilakukan dengan baik
dan benar, maka morfologi dari spermatozoa dapat diamati sehingga dapat
diketahui apakah spermatozoa tersebut normal atau abnormal (Nugraheni dkk.,
2003).

III. PROSEDUR KERJA

5 buah kaca objek yang telah diberi


label disiapkan dan diberi keterangan
sebagai berikut.
1. SMG 10% atau larutan giemsa
dengan perbandingan 3:1
sebanyak 3 buah.
2. SMG 3% sebanyak 2 buah.

Mencit (Mus musculus) yang telah


dibius sebelumnya dibedah
menggunakan kloroform. Kemudian,
saluran vas deferensnya diambil.

Saluran vas deferens yang sudah


diambil diletakkan ke dalam cawan
petri berisi larutan NaCl fisiologis.
Kemudian, spermatozoa dikeluarkan
dari dalam saluran vas deferens
dengan cara dipijit menggunakan
pinset.

Cairan spermatozoa diteteskan


dengan bantuan pipet pada 5 buah
kaca objek yang telah disiapkan
sebelumnya.
Metode apus dilakukan pada cairan
spermatozoa di kaca objek dengan
bantuan kaca objek lain. Sudut yang
digunakan untuk pengolesan adalah
45º dan dilakukan dengan cepat agar
memeroleh apusan yang tipis.
Kemudian, hasil apusan tersebut
didiamkan sampai kering oleh angin.

Metanol diteteskan pada masing-


masing sediaan yang berada di kaca
objek berlabel dengan bantuan
staining jar. Kemudian, diamkan
selama 5 menit (proses fiksasi).

Larutan giemsa 3:1 dan 3%


diteteskan masing-masing ke
sediaan di kaca objek sesuai
dengan labelnya.

Sediaan dikering anginkan selama


30 menit.

Sediaan dibilas dengan akuades


dan ditetesi dengan entellan.
IV. HASIL
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, maka didapatkan hasil sebagai
berikut.

No Gambar Gambar Referensi Keterangan


1 3 1. Kepala
1 3 (Head)
2 2.Bagian
tengah
2 (Middle
1 place)
3. Ekor
SMG 3% perbesaran 40X Spermatozoa Mencit (Tail)
(Lisanti dkk., 2016)

V. PEMBAHASAN
Metode apus merupakan salah cara untuk membuat suatu sediaan yang
dilakukan dengan mengoles atau membuat selaput tipis dari bahan yang
digunakan. Bahan yang biasanya digunakan adalah berwujud cairan seperti sel
hewan, tetapi dapat juga tidak berwujud cairan. Spermatozoa sendiri adalah sel
gamet hewan yang berasal dari individu jantan yang terdeferensiasi. Fungsiya
adalah untuk mengantarkan material genetis jantan ke betina dan mengaktifkan
program perkembangan telur (Andytra dkk., 2013). Sel sperma memiliki tiga
struktur utama, yaitu kepala, bagian tengah (middle place), dan ekor. Tujuan
digunakannya metode apus pada praktikum kali ini adalah untuk mengetahui
bagian-bagian dari sel sperma yang mana bagian-bagian tersebut dapat dilihat di
bawah mikroskop apabila sel sperma dibuat dahulu sediaannya.
Sel sperma yang digunakan berasal dari mencit. Sediaan sperma dari mencit
ini dibuat dengan beberapa tahapan. Setiap tahapan yang dilalui memiliki peranan
penting untuk mendapatkan hasil yang sesuai. Tahapan yang pertama yaitu,
membedah mencit untuk mendapatkan sel spermanya. Bagian yang diambil
berupa saluran vas deferens. Menurut Faranta (2009), vas deferens merupakan
bagian dari duktus genitalis selain epididimis. Epididimis berfungsi sebagai
tempat penyimpangan sementara sperma sampai sperma menjadi matang. Sperma
yang matang tersebut bergerak menuju van deferens. Vas deferens merupakan
saluran lurus yang mengarah ke atas dan merupakan lanjutan dari epididimis
menuju vesikula seminalis. Vas deferens berfungsi sebagai saluran tempat
jalannya sperma dari epididimis. Oleh karena itu, vas deferens digunakan pada
praktikum ini untuk mengambil sperma di dalamnya. Setelah saluran vas deferens
diambil, langkah berikutnya yaitu meletakkannya di dalam cawan petri yang berisi
larutan NaCl fisiologis. Menurut Kurniawan & Aryana (2015), larutan NaCl
fisiologis merupakan jenis larutan yang tidak memiliki kandungan zat aktif.
Fungsi penggunaan larutan NaCl pada praktikum kali ini adalah sebagai
pengencer agar memudahkan dalam pengolesan dan juga untuk menstabilkan
kondisi lingkungan dari sel yang akan digunakan dari dalam tubuh hewan ke
lingkungan luar. Tahapan berikutnya yaitu, menesteskan cairan sel sperma yang
telah diencerkan dengan larutan NaCl fisiologi pada lima buah kaca objek yang
telah diberi label. Selanjutnya, mengapus cairan sel sperma dengan cara
meletakkan kaca objek lainnya di atas kaca objek yang berisi cairan sel sperma
dengan sudut ±45º. Pengapusan dilakukan dengan cepat dan hati-hati agar
diperoleh olesan tipis. Kemudian, masing-masing sediaan yang berada di atas kaca
objek tersebut ditetesi oleh metanol. Metanol (CH3OH) sendiri merupakan larutan
fiksatif koalugan yang mendenaturasi protein. Fiksatif koalugan adalah bahan
kimia yang dibutuhkan untuk membantu proses pengendapan partikel-partikel
kecil yang tidak dapat mengendap dengan sendirinya. Fiksasi dimulai ketika
metanol memiliki konsentrasi lebih dari 80%. Akan tetapi, larutan fiksatif ini
dapat menyebabkan jaringan menjadi terlalu rapuh dan keras. Metanol biasanya
digunakan untuk fiksasi blood film dan kultur sel (Musyarifah & Agus, 2018).
Tahapan ketiga, yaitu melakukan fiksasi selama 5 menit. Kemudian, melakukan
proses pewarnaan (staining) menggunakan larutan giemsa 10% (3:1) dan larutan
giemsa 3%. Menurut Puasa (2017), pewarnaan giemsa merupakan campuran
antara larutan metilen blue dengan larutan eosin. Direktur Jenderal PP dan PL
Kementrian Kesehatan 2014, menyatakan bahwa variasi konsentrasi dan lama
pewarnaan menggunakan larutan giemsa dapat berpengaruh terhadap hasil.
Larutan giemsa 10% biasanya memiliki waktu pewarnaan 20-25 menit sedangkan
larutan giemsa 3% memiliki waktu pewarnaan 45-60 menit. Akan tetapi, pada
praktikum ini proses pewarnaan baik larutan giemsa 10% (3:1) dan larutan giemsa
3% sama-sama dilakukan dalam waktu 30 menit. Setelah proses pewarnaan
selesai, selanjutnya sediaan dibilas menggunakan akuades dan mengamati hasil
yang di bawah mikroskop. Setelah itu, hasil terbaik yang didapat ditetesi dengan
Entellan yang berfungsi sebagai bahan perekat (Hamny dkk., 2016). Hasil terbaik
yang didapat pada larutan giemsa 3%, hal ini membuktikan bahwa terdapat
perbedaan hasil antara sediaan yang menggunakan larutan giemsa 3% dan 10%.
Perbedaan hasil yang didapat karena pada dasarnya waktu pewarnaan dari masing-
masing larutan giemsa dengan konsentrasi yang berbeda juga berbeda.
Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa, pewarnaan yang paling optimal
pada praktikum kali ini adalah dengan larutan giemsa 3% karena intensitas warna
yang dihasilkan tinggi dibandingkan yang lainnya. Hal tersebut berdasarkan
penjelasan dari Syaifudin dkk., (2018) yang menjelaskan bahwa sebenarnya
keoptimalan konsentrasi larutan giemsa yang digunakan tergantung dari hasil
pengamatan di bawah mikroskop. Konsentrasi larutan giemsa optimal dilihat dari
intensitas warna yang dihasilkan, jika intensitasnya tinggi makan konsentrasi
larutan giemsa tersebut dapat dikatakan optimal.
Hasil dari pengamatan sediaan dengan giemsa 3% di bawah mikroskop
perbesaran 40x dapat terlihat bahwa sel sperma terbagi menjadi tiga bagian yaitu,
kepala, bagian tengah (middle place), dan ekor. Menurut Garner dan Hafez
(2000), spermatozoa terbagi menjadi dua bagian yaitu kepala dan ekor. Kepala
spermatozoa berbentuk bulat, lonjong, dan pipih yang terdiri atas bagian akrosom
anterior dan post akrosomal posterior. Kandungan pada tudung akrosom adalah
akrosin, hyaluronidase, dan enzim hidrolitik lainnya yang berfungsi untuk
menembus ovarium dan membrane oosit. Bagian berikutnya yaitu ekor,
sebenarnya ekor disini juga termasuk bagian tengah dari spermatozoa. Komponen
utama dari ekor spermatozoa adalah rangka pusat, membran sel, dan sekelompok
mitokondria yang terdapat pada proksimal dari ekor. Ekor spermatozoa bergerak
maju mundur sehingga memberikan motilitas pada sperma. Gerakan tersebut
disebabkan oleh adanya gerakan meluncur longitudinal sevara ritmis di antara
tubulus posterior dan anterior yang membentuk aksonema. Walaupun dapat
diidentifikas bagian-bagian spermatozoa tersebut di bawah mikroskop, tetapi
masih terlihat kurang jelas dan menggumpal. Hal tersebut mungkin dikarenakan
pada waktu pengapusan cairan sel sperma masih kurang tipis dan kurangnya
lamanya waktu pewarnaan. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa
metode apus ini merupakan metode yang cepat dan murah untuk mendapatkan
sediaan, tetapi jika melakukannya kurang tepat maka akan membuat sediaan
menjadi kurang tipis sehingga saat diamati kurang terlihat jelas.

VI. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil yang didapat dari praktikum mengenai teknik pembuatan
sediaan apus spermatozoa dapat disimpulkan, yaitu sebagai berikut.
1. Spermatozoa mempunyai tiga bagian utama, yaitu kepala, bagian tengah
(middle place), dan ekor.
2. Bagian-bagian dari spermatozoa dapat diamati dengan membuat sediaan
apusnya terlebih dahulu. Sediaan apus spermatozoa didapat melalui beberapa
tahapan, yaitu pembedahan mencit untuk mengambil sel spermanya, fiksasi
menggunakan metanol, pewarnaan dengan larutan giemsa 3% dan 10%
proses perekatan menggunakan Entellan.
3. Pewarnaan yang optimal didapatkan pada larutan giemsa 3% karena struktur
dari spermatozoa dapat terlihat.

VII. SARAN
Praktikum kali ini sudah memberikan gambaran mengenai bagaimana cara
bekerja untuk membuat sediaan dengan metode apus. Akan tetapi, pada proses
pewarnaan masih kurang sesuai dengan teori yang ada. Saran untuk praktikum
selanjutnya adalah agar mempelajari dahulu apakah perlakuan yang diberikan
sudah tepat atau belum.

VIII. DAFTAR PUSTAKA


Alfian, A. Dewi, D. A. Nasution, dkk. 2014. Embriologi Sediaan Spermatozoa.
Laporan Praktikum. Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Syah Kuala Darussalam, Banda Aceh.
Andytra, A., D. Roslina, S. I. Sari, & Y. Fauziah. 2013. Teknik Pembuatan
Preparat Smear Sel Sperma. Laporan Praktikum. Jurusan Pendidikan
Biologi Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.

Faranta, O. V. 2009. Kualitas Spermatozoa pada Tikus Wistar Jantan Diabetes


Melitus. Laporan Akhir Penelitian Karya Tulis Ilmiah. Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

Garner, D. L., & E. S. E. Hafez. 2000. Spermatozoa and Seminal Plasma in


Reproduction in Farm Animals 7th Edition. Lippincott Wiliams and
Wilkins, Maryland.

Hamny, S. Ramadhani, M. Sabril, dkk. 2016. Kajian Histokimia Sebaran


Karbohidrat pada Kelenjar Mandibularis dan Kelenjar Lingualis
Ayam Petelur (Gallus sp.). Jurnal Veterinaria 10(2): 147-153.

Kurniawan, B., & W. F. Aryana. 2015. Binahong (Cassia alavata L.) as


Inhibitor of Escherichia coli Growth. Medical Journal of Lampung
University 4(4): 100-104.

Lisanti, E., D. Sajuthi, M. Agil, I. Arifiantum, & A. Winarto. 2016. The DNA
and Spermatozoa Quality of Mice (Mus musculu albinus) after
Administration Aqueous Leaves and Seeds Extract of Neem
(Azadirachta indica A. Juss). IOSR Journal of Pharmacy 6(10): 2250-
3013.

Musyarifah, Z., & S. Agus. 2018. Proses Fiksasi pada Pemeriksaan


Histopatologik. Jurnal Kesehatan Andalas 7(3): 443-453.

Nugraheni, T., O. P. Astirin, & T. Widiyani. 2003. Pengaruh Vitamin C


terhadap Perbaikan Spermatogenesis dan Kualitas Spermatozoa
Mencit (Mus musculus L.) Setelah Pemberian Ekstrak Tembakau
(Nicotina tabacum L.). Jurnal Biofarmasi 1(1): 13-19.

Puasa, R. 2017. Studi Perbandingan Jumlah Parasit Malaria Menggunakan


Variasi Waktu Pewarnaan pada Konsentrasi Giemsa 3% di
Laboratorium RSUD Dr. H. Chasan Boesoirie Ternate. Jurnal Riset
Kesehatan 6(2): 23-27.

Syaifudin, M., I. Irma, & D. Ramadhani. 2018. Optimalisasi Pewarnaan


Giemsa pada Apusan Darah Tipis Terinfeksi Plasmodium berghei
untuk Mendukung Pengembangan Vaksin Malaria Iradiasi. Jurnal
Biotek Medisiana Indonesia 7(1): 77-84.

World Health Organization. 1992. Penuntun Laboratorium WHO untuk


Pemerikasaan Semen Edisi ke-3. Universitas Sriwijaya, Palembang.
Nilai Paraf

Anda mungkin juga menyukai